BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Islam sebagai agama universal memberikan pedoman hidup bagi manusia menuju kehidupan yang bahagia yang pencapaiannya sangat tergantung pada aspek pendidikan. Dalam Islam terdapat istilah “ilmu yang bermanfaat”. Adapun dalam mendapatkan ilmu yang bermanfaat tidak semudah membalikan tangan. Setiap orang tentulah memperoleh pendidikan dalam pengajaran dari orang lain. Adakalanya dengan informal atau formal atau juga kedua-duanya. Pendidikan pada dasarnya adalah interaksi pendidik dan peserta didik. Pada intinya bertujuan untuk memberi pengetahuan, mengubah tingkah laku dan meningkatkan kualitas menjadi lebih baik merupakan proses kegiatan yang bertujuan untuk membentuk kedewasaan pada diri anak. Sebagai suatu kegiatan yang sadar akan tujuan, maka dalam pelaksanaannya berada dalam suatu proses yang berkesinambungan dalam setiap jenis dan jenjang pendidikan. Semua itu berkaitan dalam suatu sistem pendidikan yang integral,1 dan dikemas dalam suatu sistem yang saling berkaitan antara satu unsur dengan unsur lainnya.
1
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), 22.
1
2
Salah satu unsur dari proses pendidikan adalah peserta didik. Peserta didik juga memegang peranan yang sangat penting. Ia memiliki apa-apa yang akan dikembangkan. Ia akan mengolah apa-apa yang diajarkan padannya, dan ia juga mempunyai beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Selain itu peserta didik merupakan subyek dan obyek. Oleh karenanya, aktifitas kependidikan tidak akan terlaksana tanpa keterlibatan peserta didik di dalamnya. Dalam melaksanakan proses pendidikan hendaknya peserta didik menyadari tugas dan kewajibannya. Peserta didik mempunyai hak dan kewajibankewajiban dalam mengolah proses belajar serta mempunyai etika dalam mengatur hak dan kewajibannya, yaitu bagaimana etika peserta didik terhadap pada dirinya, terhadap gurunya, terhadap pelajaran, etika mengunakan literatur, dan alat-alat yang digunakan dalam belajar hal-hal yang harus dipedomi bersama guru dan teman-temannya. Itu semua merupakan etika-etika yang dalam pendidikan agama Islam harus diketahui dan dilaksanakan oleh peserta didik. Dalam agama Islam belajar dan mengajar merupakan ajaran keagamaan yang sangat luhur, sehingga unsur pelaksanaannya harus memperlihatkan etikaetika yang luhur pula, tidak hanya sekedar menghilangkan kebodohan tetapi juga diniatkan ibadah, menata hubungan yang baik antara manusia dengan manusia lainya dan lingkunganya, mencari ridlo Allah serta mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam. Semua ini dapat tercapai dengan pendidikan yang disertai dengan akhlaq mulia dan meningalkan akhlaq yang buruk. Dalam AlQuran:
3
ب َ >IَG:ِ Qْ ا9ُ Iُ:Cُ AِّNَ Eُ ْ َو9:ُ ;ْ ِّآOَ IُE> َوIَ@Jِ >َEْ َأ9:ُ ;ْ IَAL َ ْا5AُGْ Eَ ْ9:ُ @ْ Fِ 3 ً ْ57 ُ ْ ُر9:ُ ;ْ =ِ >َ@Aْ 7 َ َْ>َارCَآ (١[١ :ةWXYQ )ا.ن َ ْ5Cُ AَNْ Jَ ْا5Uُ ْ5:ُ Jَ ْ9Qَ >َF ْ9:ُ Cُ AِّNَ Eُ َوRَ Cَ :ْ S ِ Qْ وَا Artinya: “Sebagaimana (kami telah menyempurnakan ni’mat kami kepadamu) kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepada al-kitab dan al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”. (Qs. Al-Baqoroh: 151). Demikian juga hadist Nabi:
> ِر َمIIIَ:Fَ 9َ I IّCِ Jَ j ُ ِh ُ I IْiNِ bُ >َCUg ِا:م. صeل ا5III7>ل رIII_:>لIII_ةWEW هaIIIb اcIIIL (nCo اp)روا.ق ِl َm ْj َ ْا Artinya: “Sesunguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan budi pekerti”. (HR.Ahmad).2 Dalam kontek dalil di atas sangat penting dijadikan pijakan dalam pembentukan etika proses belajar. Pentingnya etika didasarkan atas tujuan pendidikan yang menurut al-Qur’an tidak lain adalah untuk membina manusia seutuhnya secara pribadi dan kelompok untuk dapat menjalankan fungsinya sebagai kholifah dan hamba Allah guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah,3 atau dengan kata yang lebih singkat dan sering
2
Chabib Thoha, Metodologi Pengajaran Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Fakultas Tarbiyah IAIN Wali Songo Semarang, 2004), 110-113. 3 Abudin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Murid (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 3.
4
digunakan oleh al-Qur’an adalah bertaqwa kepadanya.4 Proses di atas oleh Rasul diawali dengan proses penataan diri (tazkiyah) dan diikuti oleh proses ta’līm.5 Dalam kerangka tujuan dan proses pendidikan, maka peserta didik dapat terbina unsur-unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akal dan jiwa menghasilkan ilmu pengetahuan, kesucian dan etika, pembinaan jasmaninya menghasilkan ketrampilan. Namun demikian dalam proses interaksi belajar peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan sering dipenuhi banyak faktor. Tetapi peserta didik tidak dapat menempatkan diri sebagai pencari ilmu (thālib al-ilm). Hal ini dikarenakan banyak yang lalai akan tugas dan kewajibannya, banyak diantara mereka yang berperilaku tidak sopan santun. Dengan adanya pengaruh-pengaruh tersebut sering muncul ketidakseimbangan tujuan pendidikan yang hakiki.6 Ketidaktercapaian tujuan pendidikan yang hakiki tersebut disebabkan karena telah ditingalkannya nilai etis humanities terhadap guru maupun temantemannya. Selain itu pula nilai etik spiritual yang didasarkan pada agama dan diganti dengan nilai-nilai material.7 Dalam keadaan yang demikian, maka perlu dibangun kembali etika-etika peserta didik dalam menuntut ilmu yaitu etika terhadap guru, dirinya, pelajaran dan teman-temannya. 4
Kata “takwa” dalam al-Qur’an mencakup segala bentuk dan tingkat kebajikan dan karenanya ia merupakan wasiat tuhan kepada seluruh makhluk dengan berbagai tingkatnya sejak nabi hingga orang-orang awam. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1995), 176. 5 Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi (Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2003), 41-42. 6 Abidin Ibnu Rusd, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 7. 7 Abudin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Murid, 7.
5
Tadzkirah Al-Sāmi’ wa Al-Mutakallim Fī Adab Al-Ālim wa Al-Muta’allim, sebagai kitab karangan Ibnu Jama’ah tepat dijadikan pertimbangan dalam pendidikan, termasuk dalam mentaati kembali etika-etika kita sebagai peserta didik. Kitab ini dikarang atas kesadaran beliau terhadap etika peserta didik dalam mencari ilmu pengetahuan guna memperoleh ilmu bermanfaat maka perlu memperhatikan etika yang mesti di terapkan ketika ia belajar diantaranya mempunyai niat yang lurus, sabar, ikhlas, dan lain-lain. Beliau menginginkan dalam kegiatan pendidikan itu disertai perilaku sosial yang santun.8 Sejalan pemikiran
diatas, maka menjadi urgen sekali jika kemudian
segera dilakukan kajian mengenai konsep etika peserta didik dalam pendidikan Islam khususnya tentang teori-teori pendidikan yang terdapat dalam kitab Tadzkirah Al-Sāmi’ wa Al-Mutakallim Fī Adab Al-Ālim wa Al-Muta’allim. Melalui kajian yang dihasilkan para tokoh pendidikan akan menghasilkan tawaran-tawaran konsep etika peserta didik untuk perkembangan dewasa ini. Atau paling tidak, khazanah pendidikan yang dapat dioperasiasikan dengan baik. Dari pemaparan latar belakang permasalahan diatas, maka penulis berminat untuk mengangkat permasalahan
tersebut di atas ke dalam karya
penulisan skripsi dengan tema “ETIKA PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM MODERN (TELAAH ATAS PEMIKIRAN IBNU
8
Kitab ini selesai disusun pada tanggal 1273 M atau 672 H berbicara tentang konsep etika belajar mengajar dalam pendidikan Islam. Lihat Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 142-152.
6
JAMA’AH
DALAM
KITAB
TADZKIROH
AL-SĀMI’
WA
AL-
MUTAKALLIM FĪ ADAB AL-ĀLIM WA AL-MUTA’ALLIM)”.
Dalam kajian ini, penulis akan melakukan analisis teks dan mencari relevansi teks dengan sistem pendidikan saat ini. Dengan analisis tersebut dapat ditarik sejumlah nilai yang singkron dari kitab diatas dengan sistem pendidikan etika masa kini dan masa yang akan datang.
B. Rumusan Masalah Dengan melihat latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan pokok masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah etika peserta didik terhadap dirinya menurut Ibnu Jama’ah dalam pendidikan Islam modern ? 2. Bagaimanakah etika peserta didik terhadap gurunya menurut Ibnu Jama’ah dalam pendidikan Islam modern ? 3. Bagaimanakah etika peserta didik terhadap pelajarannya menurut Ibnu Jama’ah dalam pendidikan Islam modern ? 4. Bagaimanakah etika peserta didik terhadap kitab dan literatur yang digunakan menurut Ibnu Jama’ah dalam pendidikan Islam modern ?
C. Tujuan Penelitian
7
Adapun tujuan pembahasan yang hendak dilakukan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui etika peserta didik terhadap dirinya menurut Ibnu Jama’ah dalam pendidikan Islam modern. 2. Untuk mengetahui etika peserta didik terhadap gurunya menurut Ibnu Jama’ah dalam pendidikan Islam modern. 3. Untuk mengetahui etika peserta didik terhadap pelajarannya menurut Ibnu Jama’ah dalam pendidikan Islam modern. 4. Untuk mengetahui etika peserta didik terhadap kitab dan literatur yang digunakan menurut Ibnu Jama’ah dalam pendidikan Islam modern.
D. Manfaat Penelitian Dalam setiap penelitian yang didasari dengan analisa dan ketekunan yang tinggi akan mendatangkan manfaat dan kegunaan ini adalah: 1. Kegunaan Ilmiah Kajian skripsi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi khazanah pendidikan Islam, khususnya terhadap perspektif Ibnu Jama’ah dalam kitab Tadzkirah Al-Sāmi’ wa Al-Mutakallim Fī Adab Al-Ālim wa AlMuta’allim tentang etika peserta didik. 2. Kegunaan terapan Penelitian ini di harapkan dapat dijadikan sebagai kontribusi bagi lapisan masyarakat, lembaga pendidikan, dan terkhusus bagi para peserta
8
didik untuk menela’ah kembali hak, kewajiban, serta etika peserta didik terhadap dirinya sendiri, guru, pelajaran dan teman-teman, literatur yang digunakan dalam kancah pendidikan.
E. Landasan Teori Etika (disebut juga akhlak) adalah ilmu tentang tingkah laku dan nilai moral sebagai kaidah untuk mengukur apakah perbuatan tersebut baik atau buruk serta menerangkan apa yang seharusnya dikerjakan dan harus dipelajari manusia di dalam pebuatannya.9 Dalam kamus besar bahasa Indonesia, etika adalah tentang ilmu apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).10 Berkaitan dengan pembahasan ini, maka etika yang penulis maksud adalah adat, sikap, cara berpikir dan bertingkah laku seseorang dalam kegiatan belajar mengajar yaitu adab atau sopan santun dalam pendidikan.11 Pendidikan Islam adalah sebuah proses pembentukan akhlak dengan segala potensi manusia yang bersifat fitri yang dimilikinya sesuai dengan ajaran Islam yaitu berdasarkan al-Qur’an dan hadits. Dan sebagai usaha pembinaan dan pengembangan potensi manusia secara optimal sesuai dengan statusnya, dengan pedoman kepada syari’at Islam yang disampaikan kepada Rasul Allah dengan segala aktifitasnya guna tercipta suatu kondisi kehidupan islami yang ideal. Lebih 9
A. Tabrani Rusyan, Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar (Bandung: PT. Rosda Karya, 1994), 64. 10 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, cet. III), 39. 11 Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2004), 31-34.
9
jelasnya menurut D. Marimba, pendidikan Islam adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama.12 Adapun peserta didik adalah orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi dasar yang masih perlu dikembangkan.13 Disini, peserta didik merupakan makhluk tuhan yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun pertimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dipertimbangkan.14 Melalui paradigma tersebut menjelaskan bahwa peserta didik merupakan subyek dan obyek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain untuk mengarahkan mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan. Sedangkan pemikiran Ibnu Jama’ah tentang peserta didik terkait erat dengan pemikirannya tentang ulama. Menurut beliau, peserta didik yang baik adalah mereka yang memiliki karakter sebagaimana yang melekat pada diri ulama.15 Pendidikan Islam sangat peduli terhadap hak dan kewajiban para peserta didik termasuk di dalamnya etika-etika yang harus menjadi pedoman bagi para 12
29.
13
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1998),
Al-Rasyidin, Filsafat Pendidikan Islam (Ciputat: Ciputat Press, 2005), 47. Ibid., 47. 15 Badr Al-Din Ibnu Jama’ah Al-Kinani, Tadzkirah Al-Sāmi’ Wa Al-Mutakallim Fî Adab AlĀlim Wa Al-Muta’allim (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tt), 125. 14
10
peserta didik. Diantara hak-hak murid adalah diperolehnya kemudahankemudahan untuk memperoleh fasilitas pendidikan agar proses belajarnya bisa berlangsung lebih mudah setiap saat, dan kesempatan belajar tanpa harus dibedakan si kaya dan si miskin. Suatu hal yang harus disadari, hendaknya menempatkan orang yang mencari ilmu dalam posisi yang mulia dan agung, sebab mereka adalah prang yang berusaha mencari sesuatu yang paling berharga di dunia, yakni ilmu pengetahuan. Orang yang senantiasa bergiat diri mencari ilmu, berarti ia berjalan di jalan yang menuju surga.16 Diantara prinsip yang harus dilaksanakan peserta didik dalam pendidikan Islam adalah berakhlak mulia karena lebih mulya dan utama dari ilmu, menjadikan sebagai dasar untuk suksesnya kegiatan belajar mengajar adalah sesuatu yang pasti, bahwa di dalam akhlak yang mulia terdapat inti hikmah dan petunjuk pokok. Setiap pendidikan yang didasarkan pada akhlak peradaban yang mulia dianggap sebagai pendidikan yang hampa nilai. Demikian juga peradaban yang tidak didasarkan pada tujuan baik, ia dianggap sebagai peradaban sesat.17 Pendidikan agama berkaitan rapat dengan pendidikan akhlak. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pendidikan akhlak dalam pengertian Islam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama. Sebab yang baik adalah baik menurut agama. Sedangkan yang buruk adalah dianggap buruk 16
M. Athiyah Al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam (Yogyakarta: Titian Illahi,
1996), 67.
17
Ibid., 75.
11
oleh agama. Sehingga nilai-nilai akhlak, keutamaan akhlak dalam masyarakat Islam adalah akhlak dan keutamaan yang diajarkan oleh agama. Sehingga seorang muslim tidak sempurna agamanya bila akhlaknya tidak baik. Hampir-hampir disepakati bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Sebab salah satu tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah pembinaan akhlak karimah.18
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian a. Pendekatan Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif, artinya pembahasan yang ada dalam penelitian ini mendasar pada konsep pendidikan Islam, baik umum maupun khusus. Pendapat ini digunakan untuk memahami etika peserta didik dalam kitab Tadzkirah Al-Sāmi’ wa Al-Mutakallim Fî Adab Al-Ālim wa Al-Muta’allim. b. Jenis Penelitian Adapun jenis penelitian dalam skripsi ini adalah literer atau penelitian perpustakaan (Library Research) yang berarti sebuah study dengan mengkaji buku-buku yang ada kaitanya dengan skripsi ini yang diambil dari perpustakaan. Semua sumber berasal dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan permasalahan penelitian dan literaturliteratur lainya. 18
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Mulia Kalam, 2006), 88-89.
12
2. Sumber Data Sumber data yang dijadikan rujukan oleh penulis dalam membuat skripsi ini merupakan data yang diperoleh dari bahan-bahan atau rujukan utama dalam mengadakan suatu penelitian untuk mengungkapkan dan menganalisa suatu pernyataan dari suatu penelitian tersebut. Adapun sumber data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah: a. Sumber data primer, yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitab Tadzkirah Al-Sāmi’ wa Al-Mutakallim Fī Adab Al-Ālim wa Al-Muta’allim. b. Sumber data sekunder, yang di maksud sumber data sekunder adalah bahan atau rujukan yang ditulis oleh tokoh-tokoh lain yang berkaitan dengan masalah-masalah dalam kajian ini,antara lain: 1) Al-Rasyidin, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pedekatan Histories, Teoritis, dan Praktis, Jakarta: Ciputat Press, 2005. 2) Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 2004. 3) H. Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. 4) Abidin ibn Rusd, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. 5) Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Pespektif Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994.
13
6) M.Athiyah Al-Abrasy, Al-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa Falasifatuhu, Beirut: Dar Al-fikr, tt. 7) Imam Al-ghazali, Ihya Ulumuddin, Semarang: Al-Syifa’.tt. 8) Chabib Thoha, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.1996. 9) Zakiyah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara,1995. 10) Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1998. c. Sumber
data
tersier,
yaitu
data
yang
memberikan
petunjuk
maupun,penjelasan terhadap data primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan artikel-artikel yang berhubungan dengan topik-topik yang di bahas dalam skripsi ini. 3. Teknik Pengolahan Data Penelitian ini termasuk kategori penelitian kepustakaan (Library Research). Oleh karena itu teknik yang digunakan adalah pengumpulan data literer yaitu penggalian bahan-bahan pustaka yang koheren dengan obyek pembahasan yang dimaksud. Adapun metode analisis data yang digunakan mengolah data dalam penelitian ini adalah : a. Editing data, yaitu proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstraksikan dan tranformasi data yang muncul dari data-data yang terkumpul.
14
b. Penyajian data, yaitu penyajian sekumpulan data yang telah tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan. c. Menarik kesimpulan, dari beberapa uraian yang telah dikemukakan kemudian penulis menyimpulkan dengan mengkaitkan pendidikan Islam pada pemikiran etika peserta didik menurut Ibnu Jama’ah dalam kitab Tadzkirah Al-Sāmi’ wa Al-Mutakallim Fî Adab Al-Ālim wa Al-Muta’allim. 4. Metode Analisa Data Setelah data-data tersebut diolah, maka selanjutnya data tersebut dianalisa dengan menggunakan beberapa metode, yaitu : a. Content analisis, merupakan analisis ilmiyah tentang isi pesan suatu komunikasi. b. Analisa deduktif adalah analisa untuk memperoleh kesimpulan dimulai dari pernyataan umum menuju pernyataan-pernyataan yang khusus dengan mengunakan penalaran. c. Analisa induktif adalah analisa untuk memperoleh kesimpulan dimulai dari pernyataan atau fakta-fakta khusus menuju kepada kesimpulan yang bersifat umum. Dalam penelitian ini, setelah data diperoleh sesuai dengan fokus penelitian,
kemudian
data
dipaparkan
sesuai
dengan
tema-tema
pengelompokan. Kemudian data-data yang terkumpul dianalisa diskriptif kualitatif.
15
G. Sistematika Pembahasan Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terdiri dari lima bab yang saling berkaitan yang merupakan kesatuan yang utuh, yaitu : Bab Satu adalah pendahuluan, dalam bab ini merupakan pola dari keseluruhan isi skripsi yang terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori dan tela’ah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab Dua merupakan gambaran umum pendidikan Islam modern dan peserta didik menurut perspektif Ibnu Jama’ah yang menjadi landasan teori dan penelitian ini, yang meliputi pengertian pendidikan Islam, dasar dan tujuan pendidikan Islam, makna etika dalam pendidikan Islam, peserta didik dalam pendidikan Islam, hakikat dan kriteria peserta didik dalam pendidikan Islam. Bab Tiga membahas pemikiran ibnu jama’ah tentang etika peserta didik perspektif Ibnu Jama’ah dalam pendidikan Islam pada kitab Tadzkirah Al-Sāmi’ wa Al-Mutakallim Fī Adab Al-Ālim wa Al-Muta’allim, yang menjadi data dari penelitian ini adalah meliputi Biografi Ibnu Jama’ah, Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan, Kondisi Sosial-Kultural Pada Masa Ibnu Jama’ah, Karya-Karya Ibnu Jama’ah, Etika Peserta Didik Terhadap Dirinya, Etika Peserta Didik Terhadap Pendidik, Etika Peserta Didik Terhadap Pelajaran, Etika Peserta Didik Terhadap Kitab Dan Literatur Yang Digunakan.
16
Bab Empat berisi tentang analisa pemikiran Ibnu Jama’ah tentang etika peserta didik perspektif Ibnu Jama’ah dalam kitab Tadzkirah Al-Sāmi’ wa AlMutakallim Fī Adab Al-Ālim wa Al-Muta’allim Dalam Pendidikan Islam Modern, yang meliputi Analisa Etika Peserta Didik Terhadap Dirinya Menurut Ibnu Jama’ah Dalam Pendidikan Islam Modern, Analisa Etika Peserta Didik Terhadap Gurunya Menurut Ibnu Jama’ah Dalam Pendidikan Islam Modern, Analisa Etika Peserta Didik Terhadap Pelajarannya Menurut Ibnu Jama’ah Dalam Pendidikan Islam Modern dan Analisa Etika Peserta Didik Terhadap Kitab Dan Literatur Yang Digunakan Menurut Ibnu Jama’ah Dalam Pendidikan Islam Modern. Bab Lima merupakan kesimpulan dari pembahasan skripsi ini yang berisi kesimpulan dan jawaban, saran-saran dan penutup.
17
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i HALAMAN PERSETUJUAN ....................................................................................ii HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................................iii HALAMAN MOTTO...................................................................................................iv HALAMAN PERSEMBAHAN...................................................................................v KATA PENGANTAR ..................................................................................................vi ABSTRAK......................................................................................................................viii TRANSLITERASI ........................................................................................................ix DAFTAR ISI .................................................................................................................xi BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ....................................................................................1 B. Rumusan Masalah ................................................................................6 C. Tujuan Penelitian .................................................................................6 D. Manfaat Penelitian ...............................................................................7 E. Landasan Teori ....................................................................................8 F. Metode Penelitian ................................................................................11 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ....................................................11 2. Sumber Data ..................................................................................12 3. Teknik Pengolahan Data ................................................................13
18
4. Metode Analisa Data .....................................................................14 G. Sistematika Pembahasan .....................................................................15 BAB II
: ETIKA PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM A. Hakikat Pendidikan Islam.....................................................................17 B. Makna Etika Dalam Pendidikan Islam ................................................28 C. Peserta Didik Perspektif Pendidikan Islam .........................................37
BAB III
: ETIKA PESERTA DIDIK PERSPEKTIF IBNU JAMA’AH DALAM KITAB TADZKIRAH AL-SĀMI’ WA AL-MUTAKALLIM FĪ ADAB AL-ĀLIM WA AL-MUTA’ALLIM A. Biografi Ibnu Jama’ah ..........................................................................45 1. Latar Belakang Kehidupan dan Kondisi Sosial Kultural Pada Masa Ibnu Jama’ah.........................................................................45 2. Karya Tulis Ibnu Jama’ah...............................................................49 B. Etika Peserta Didik Menurut Ibnu Jama’ah..........................................57 1. Etika Peserta Didik Terhadap Dirinya Menurut Ibnu Jama’ah.......57 2. Etika Peserta Didik Terhadap Pendidik Menurut Ibnu Jama’ah ....64 3. Etika Peserta Didik Terhadap Pelajaran Menurut Ibnu Jama’ah....72 4. Etika Peserta Didik Terhadap Kitab dan Literatur Yang Digunakan Menurut Ibnu Jama’ah ................................................78
19
BAB IV
: ANALISA KONSEP ETIKA PESERTA DIDIK PERSPEKTIF IBNU JAMA’AH DALAM KITAB TADZKIRAH AL-SĀMI’ WA AL-MUTAKALLIM FĪ ADAB AL-ĀLIM WA AL-MUTA’ALLIM A. Analisa Etika Peserta Didik Terhadap Dirinya Menurut Ibnu Jama’ah ................................................................................................ 89 B. Analisa Etika Peserta Didik Terhadap Pendidik Menurut Ibnu Jama’ah ................................................................................................ 92 C. Analisa Etika Peserta Didik Terhadap Pelajaran Menurut Ibnu Jama’ah ............................................................................................... 94 D. Analisa Etika Peserta Didik Terhadap Kitab Dan Literatur Yang Digunakan Menurut Ibnu Jama’ah ...................................................... 97
BAB V
: PENUTUP A. Kesimpulan...........................................................................................101 B. Saran .....................................................................................................102
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN BIOGRAFI PENULIS PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
20
DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA
Al-Abrasy, M.Athiyah. Al-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa Falasifatuhu. Beirut: Dar Al-fikr, tt. Al-Ghazali, Imam. Ihya Ulumudin. Semarang: Al-Syifa’.tt. Al-Kinani, Badar Al-Din Ibnu Jama’ah. Tadzkirah Al-Sāmi’ Wa Al-Mutakallim Fî Adab Al-Ālim Wa Al-Muta’allim. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tt. Al-Rasyidin, Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam, pedekatan Histories, Teoritis, dan Praktis. Jakarta: Ciputat Press, 2005. Daradjat, Zakiyah. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara,1995. Ihsan, Hamdani. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1998. Nata, H. Abudin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. Rusd, Abidin ibn. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Suwendi. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Grafindo Persada, 2004. Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Pespektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994. Thoha, Chabib. Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.1996.
21
BAB II ETIKA PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM MODERN
A. Hakekat Pendidikan Islam Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberi awalan “pe” dan akhiran “kan”, mengandung arti “perbuatan”. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu: Istilah pendidikan ini berasal dari Yunani yaitu “paedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris “education”, yang berarti bimbingan. Dalam bahasa Arab sering diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan. Sedangkan nama Islam sendiri diambil dari Nabi saw yaitu agama yang dibawa oleh Nabi SAW. Islam berisi ajaran tentang kehidupan manusia. Ajaran tersebut dirumuskan berdasarkan al-Qur’an dan Hadist.19 Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil).20
19
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2004), 24.
20
29.
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1989),
22
Dalam al-Quran tidak ditemukan kata al-tarbiyah, namun terdapat istilah lain seakar denganya yaitu al-rabb, rabbayani, yarbi dan rabbuny.21 Menurut mu’jam, kata tarbiyah memiliki tiga akar kebahasaan yaitu: a. b. c.
R;bWJ ,5bWE ,>b رmemiliki arti tumbuh dan berkembang. R;bWJ ,5bWE,ab رmemiliki arti tumbuh menjadi besar. R;bWJ ,بWE , ربmemiliki arti memperbaiki, memelihara dan lain-lain. Konsep lain dari pendidikan adalah ta’lim, yang merupakan masdar dari
kata ‘allama yang mempunyai arti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan dan ketrampilan.22 Konsep ta’dib juga digunakan dalam pendidikan yang biasa diterjemahkan dengan “pelatihan dan pembiasaan”23. Menurut Ibnu Mazhur merupakan padanan kata “allamin”, hal ini diartikan sama dengan istilah ta’lim.24 Menurut al-Naquib al-Attas, ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu yang di dalam tatanan penciptaan, sehinga kearah pengenalan dan pengakuan ini berdasarkan sabda nabi:
(aAL cL W:NQ اp )روا.ْaYِ Eْ ْ ِدJَ c َ َo ْ >َ=َ aّbِ َرaِ@bَ دg َا
21
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, 19. Mustofa al-Maraghi, Tafsir Maraghi, Juz. I (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 30. 23 Abdurrahman Mas’ud, et.al., Paradigma Pendidikan Islam (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Wali Songo Semarang, 2001), 63. 24 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 15. 22
23
Al-Ghazali menawarkan istilah al-Riyadhah yaitu proses pelatihan individu.25 Beliau mengkhususkan fase anak-anak sedang yang lain tidak tercakup di dalamnya. Pada masa sekarang konsep yang popular dipahami orang adalah tarbiyah karena menurut M. Athiyah Al-Abrasyi termasuk yang mencakup keseluruhan kegiatan pendidikan tarbiyah merupakan upaya yang mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna, etika dalam berfikir, giat dalam mengungkap bahasa lisan maupun tulisan serta memiliki ketrampilan. Sedang untuk istilah lain merupakan bagian dari kegiatan tarbiyah. Dengan kata lain pendidikan Islam disebut dengan tarbiyah Islamiyah.26 Dari uraian di atas, sebenarnya penggunaan ketiga konsep tidak perlu terjadi, jika konsep yang dikandung diaplikasikan dalam lingkup lembaga pendidikan formal. Namun demikian, masih dituntut bersikap efektif, tanpa melakukan diskreditasi pada istilah konsep yang dianggap kurang relevan untuk dikembangkan. Bila mana ketiga istilah konsep ditampilkan, maka akan diketemukan kelebihan dan kekurangannya. Dalam penerapannya menjadi sebagai berikut: (a). Istilah tarbiyah disepakati untuk dikembangkan, karena kandungan dan cakupannya lebih luas dibanding dengan kedua istilah lainnya; (b). Dalam proses belajar mengajar, konsep ta’lim bagaimana tidak bisa
25 26
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 13. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 16.
24
diabaikan, mengingat salah satu cara atau metode mencapai tujuan tarbiyah adalah melalui proses ta’lim; dan (c). Tarbiyah maupun ta’lim harus lebih mengacu pada konsep ta’dib dalam perumusan arah dan tujuan aktifitasnya, sehingga rumusan tujuan pendidikan Islam lebih memberikan porsi utama pengembangan pada pertumbuhan dan pembinaan keimanan, keislaman dan keikhlasan, dengan tanpa mengabaikan pertumbuhan dan pengembangan kemampuan intelektual peserta didik.27 Abd. Halim Soebahar, memberikan penjelasan dari uraian-uraian sebelumnya, khususnya posisi ketiga istilah dalam satu kesatuan aktivitas pendidikan:28 Melalui cara ta’lim
Melalui cara pembiasaan
AL-TA’DIB
AL-TARBIYAH
Melalui cara keteladanan
Melalui cara-cara lainnya Dengan demikian maka sasaran psikologis yang perlu dididik dan dikembangkan melalui proses pendidikan, secara selaras, serasi, seimbang ialah (1). Kemampuan kognitif (Inmā’al-madārik) yang berpusat pada otak berupa kecerdasan akal; (2). Kemampuan afektif (tahdzib al-akhlāq) yang tersirat di 27
Basuki, Miftahul Ulum, Pengantar Pendidikan Islam (Ponorogo: STAIN Press, 2007), 11. Basuki, “Holistika Konsep Pendidikan Islam, Ta’dîb, Ta’lîm dan Tarbiyah“. Al-Tahrir, Vol. 6, No. 2, Juli 2006. (Ponorogo: STAIN PO, 2006), 220-221. 28
25
dalam dada, serta (3). Kemampuan yang terletak di tangan untuk bekerja atau yang disebut dengan kemampuan motorik (inmā’al-jism). Tiga komponen tersebut biasa dikenal dengan istilah 3 H (Head, Heart, Hand), yaitu berfikir, bersikap dan berbuat yang merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.29 Dalam pendidikan Islam yang dikembangkan oleh pemikir Islam terhadap beberapa konsep pendidikan Islam diantaranya adalah: 1. Hasan Langgulung, ia merumuskan konsep pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akherat.30 2. M. Yusuf Al-Qardawi, ia memberikan pengertian bahwa konsep tujuan hidup pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmani, akhlak dan keterampilannya.31 3. Ahmad Tafsir menyatakan bahwa untuk merumuskan pendidikan Islam secara umum, harus diketahui terlebih dahulu hakekat manusia menurut Islam, yakni makhluk yang mempunyai unsur jasmani dan rohani, fisik dan jiwa yang memungkinkan dapat diberikan pendidikan. Dan selanjutnya manusia ditugaskan untuk menjadi khalifah di bumi sebagai pengalaman ibadah
29
Ibid. Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), 196. 31 Basuki, Miftahul Ulum, Pengantar Pendidikan Islam, 14. 30
26
kepada Tuhan dalam arti yang seluas-luasnya. Konsepsi ini pada akhirnya akan membantu merumuskan tujuan pendidikan pada hakekatnya adalah gambaran ideal manusia.32 4. Muhammad Athiyah Al-Abrasy menyatakan pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam. Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan Islam.33 5. Abudin Nata menyatakan bahwa ciri-ciri pendidikan Islam adalah: (1). Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan; (2). Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT; (3). Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya; (4). Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmani, sehingga memiliki
ilmu,
akhlak
dan
ketrampilan
yang
semua
dapat
dapat
digunakannya; (5). Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akherat.34 Sedangkan secara istilah, pendidikan Islam menurut beberapa tokoh pendidikan Islam diantaranya:
32
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, 34. Basuki, Miftahul Ulum, Pengantar Pendidikan Islam, 15. 34 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 53. 33
27
1. Menurut Abdur Rahman Nahlawi:
aIَQْدِى ِاIُE ْ ِيIgQ ا L ِ >IَCGِ ْ ِ ْ وَا ِ Iْ@َ Qْ َا9ُ ِ @ْ IgGQ ا َ Iِ هRُ ;َ Fِ l َ Iْ7 ِ ْ َاRُ ;َ bِ ْWGg Qَا .Rِ L َ >َC َ Qْ ْ ِد وَاWَ Qْ ;َ> ِة اo َ aِ= >;Aِّ ُآRِ Xَ ْ;Yِ ْ Jَ ِم َوl َ7 ْ ِ ْ@َ> ِء اGِ ْا Artinya: “Pendidikan Islam adalah pengaturan pribadi dan masyarakat sehingga dapat memeluk Islam secara logis, dan sesuai secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu maupun kolektif”.35 2. Muhammad Fadli al-Jamali: Pendidikan Islam ialah proses mengarahkan manusia kepada kehidupan yang menyangkut derajat kemanusiaan sesuai kemampuan dasar. 3. Naquib al-Attas mengatakan bahwa pendidikan Islam tidak sama dengan cerminan pendidikan barat yaitu memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda. Adapun secara singkat karakteristik pendidiikan Islam adalah:36 1. Pendidikan Islam adalah penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah SWT. 2. Pengakuan akan potensi dan kemampuan seseorang berkembang dalam suatu kepribadian. 3. Pengalaman ilmu pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan dan masyarakat.
35 36
Hamdan Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), 15 M. Suyudi, Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an (Yogyakarta: Mikraj, 2005), 55.
28
Dari ketiga uraian di atas dapat disimpulkan bahwa esensi karakteristik pendidikan Islam adalah beribadah hanya kepada Allah SWT. Dengan demikian konsep pendidikan Islam adalah tidak lepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yakni untuk mencipta pribadi hamba Allah SWT.37 Gambaran tentang berbagai konsep di atas secara istilah dapat disimpulkan segala upaya atau proses pendidikan yang dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia baik individu maupun sosial, untuk mengarahkan potensi dasar (fitrah) maupun azas yang sesuai dengan fitrahnya melalui proses intelektual dan spiritual berdasarkan nilai Islam untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat.38 Sebagai aktifitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian muslim, maka Islam memerlukan azas atau dasar dan juga tujuan yang dijadikan landasan kerja. Dengan dasar ini akan memberikan arah bagi pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dasar terpenting dalam pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan al-Hadits.39 Adapun tujuan utama yang ingin dicapai ialah mewujudkan manusia yang beriman, bertaqwa kepada Allah, sehingga mampu menunaikan tugas dan kewajibannya selaku makhluk Allah, menjalankan dan membangun tugas-tugas masyarakat, kebangsaan, keagamaan, tugas membangun peradaban Islam dan
37
Basuki, Miftahul Ulum, Pengantar Pendidikan Islam, 14. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 34. 39 Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 56. 38
29
kehidupan bersama secara keseluruhan sesuai dengan prinsip kehidupan menurut al-Qur’an dan al-Sunnah.40 Pembahasan tentang tujuan pendidikan sangat terkait erat dengan unsurunsur dari sistem pendidikan. Unsur-unsur yang saling terkait dengan sistem pendidikan Islam terdiri dari komponen-komponen, diantaranya adalah: 1. Tujuan Penjabaran tujuan pendidikan Islam tidak dapat dilakukan tanpa melihat komponen-komponen sifat dasar (tabi’at) yang ada pada manusia. Sifat dasar yang ada pada manusia adalah tubuh, ruh dan akal. Tujuan umum pendidikan Islam harus dibangun berdasarkan ketiga komponen di atas. Tujuan ini terdiri dari tujuan (al-ahdāf al-jismiyyah), tujuan rohani (al-ahdāf al-Ruhaniyyah), tujuan akal (al-ahdāf al-aqliyyah). Secara esensial, tujuan pendidikan Islam sama adalah membentuk kepribadian muslim yang taat beribadah kepada Allah SWT.41 Sedangkan prinsip yang digunakan dalam tujuan pendidikan Islam meliputi: prinsip menyeluruh, prinsip keseimbangan, kejelasan, tak ada pertentangan, realisme dan dapat dilaksanakan serta prinsip perubahan. Sedangkan ciri-ciri tujuan pendidikan Islam ialah sifatnya bercorak agama dan akhlak, keseluruhan termasuk aspek pribadi dan sosial, keseimbangan, kejelasan, tidak ada pertentangan, realistik dan dapat dilaksanakan. 40
Armai Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 70-71. 41 Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma, 57.
30
2. Pendidik Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada peserta didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai kedewasaannya mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah, khalifah di muka bumi, sebagai makhluk sosial dan sebagai individu. Sebagai pendidik ia mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat besar dan banyak sekali, termasuk dalam lembaga masyarakat. Dalam pendidikan Islam seorang pendidik juga diharapkan mempunyai syarat-syarat pendidik sesuai dengan ajaran Islam.42 3. Peserta Didik Adalah seorang yang sedang mengalami perkembangan jasmani dan rohani. Peserta didik ialah subyek dan obyek dalam dunia proses belajar mengajar. Sebagai peserta didik ia juga mempunyai tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan dan ia juga diharapkan mempunyai etika atau akhlak sebagai peserta didik.43 4. Lingkungan Pendidikan Adalah sesuatu yang berada di luar individu peserta didik yang memberi pengaruh terhadap perkembangan dan pendidikannya. Termasuk
42 43
Ibid., 58. Ibid.
31
lingkungan di dalamnya, keluarga, sekolah, masyarakat, individu dan negara.44 5. Alat atau Sarana Pendidikan Suatu tindakan atau perbuatan yang sengaja diadakan untuk mempermudah pencapaian tujuan pendidikan. Termasuk alat pendidikan ialah sarana fisik (lembaga dan media pendidikan), sarana non fisik yang meliputi kurikulum, metode, evaluasi, manajemen, landasan dasar, mutu pelajaran, keuangan.45 Dari kelima unsur pendidikan Islam di atas merupakan suatu totalitas yang saling terkait satu dengan yang lainnya yang disebut dengan sistem. Kelima unsur tersebut tidak bisa dipisahkan dan sangat besar pengaruhnya terhadap dunia pendidikan Islam. Bila salah satu kurang mendukung, niscaya pendidikan Islam akan sulit berkembang. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus memperhatikan dan mengembangkan sistem pendidikan yang integral sehingga dapat berkembang dimasa mendatang yang berbahagia di dunia dan akherat. Inilah yang disebut tujuan akhir pendidikan Islam.46 Dari berbagai uraian tentang pendidikan Islam di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pendidikan Islam mendambakan dan ikut berupaya melahirkan generasi penerus (out put) yang memiliki kepribadian utuh (integrated 44
Ibid., 59. Armai Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, 72-84. 46 Lihat dalam QS. Al-Dzâriat (51): 56: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku”. Lihat juga, QS. Al-Imrân (3): 102, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Islam”. 45
32
personality) sehingga dapat memakmurkan dan memuliakan kehidupan material dan spiritual, keluarga dan masyarakat berdasarkan nilai-nilai Islam. Karena hal itu merupakan kebutuhan mutlak dipenuhi demi kesejahteraan dunia dan akherat.
B. Makna Etika Dalam Pendidikan Islam Kata etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, Ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berfikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan.47 Kata yang dekat etika adalah moral. Kata moral berasal dari bahasa latin Mos dan jamaknya adalah Mores yang berarti kebiasaan, adat.48 Dalam bahasa Inggris termasuk juga bahasa Indonesia, kata etika dan moral diberi pengertian yang sama, yaitu nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Selain itu, dalam bahasa Indonesia kita kenal istilah etiket. Etika di sini berarti moral atau sopan santun.49 Etika dan etiket menyangkut perilaku manusia secara normatif dan memberi norma (apa yang dilakukan) bagi perilaku manusia.50 Sehingga etika di sini bisa diartikan, suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia 47
M. Jazeri, Pemikiran Ibnu Jama’ah tentang Etika Pendidikan, Al-Tahrir (Juli, 2006), 234. Ibid. 49 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. II (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 23. 50 Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma Dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2004), 32-35. 48
33
kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.51
َ Im ْ )َا Di dalam Islam, istilah etika lazim disebut dengan akhlak (ْقl ُ ) yang berarti adat kebiasaan (> َد ُةIَNQْ )َا, merupakan bentuk jamak dari khuluq (ْIُAm perangai, tabiat ( ُ IْY g Qَ)ا, watak, adab atau sopan santun dan agama.52 Akhlak disebut juga ilmu tingkah laku atau perangai (‘ilm al-sulûk), atau tahdzib alakhlâq (filsafat akhlak) atau al-hikmah al-‘amâliyyat, yaitu pengetahuan tentang keutamaan dan tata cara memperolehnya, agar jiwa menjadi bersih dan pengetahuan tentang kehinaan jiwa dan cara mensucikannya.53 Para ulama ilmu akhlak merumuskan definisi yang berbeda-beda diantaranya adalah: 1. Al-Qurthuby
Rِ IَXAْ S ِ Qْ اc َ IِF Wُ ;ْ ِ IَE ُ Ug 3 َ ِ ,>Xً Aُm ُ agC َ Eُ ب ِ َدj َ ْ اc َ Fِ ُ َ ْ Uَ ن ُ >َUْ ِ ْ ِ اbِ ُ m ُ ْ>ءEَ 5َ َ> ُهF .54ِ ;ْ =ِ
51 52
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak) (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988), 3. Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Lughah wa al-‘Alam, Cet. XXXVII, (Beirut: Dar al-Masyriq,
1997), 58.
53
Secara sederhana arti kata akhlak bisa disamakan dengan kata etik, moral dan etiket. Akan tetapi terdapat pengertian yang berbeda ketika menyangkut perilaku lahir dan batin manusia. Kata moral dan etiket cenderung dimaksudkan sebagai perilaku lahiriyyah semata. Lihat Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma Dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, 31-32. 54 Al-Qurthuby, Tafsir Al-Qurthuby, Juz. VIII (Kairo: Dar al-Sya’by, tt), 6706.
34
Artinya: “Suatu perbuatan manusia yang bersumber dari adab-adab kesopanannya disebut akhlak, karena perbuatan itu termasuk bagian dari kejadiannya”. 2. Ibnu Maskawih
.Rٍ Eg َر ِو3 َ َوWٍ :ْ =ِ Wِ ;ْ َ ْcFِ >َ¢Qِ>َN=ْ َاaَQَِ> إ¢Qَ Rٌ ;َ L ِ دَا¥ ِ ْ @َ Qِ ٌَ>لo : ُ Aْ َ Qْ َا Artinya: “Akhlak ialah keadaan jiwa yang selalu mendorong manusia berbuat, tanpa memikirkannya dan tanpa ada periwayatan”.55 3. Abu Bakar Jabir Al-Jazairy
Rُ IIIgEدَا ِرj َ ْل ا ُ >IIIَN=ْ j َ ْ> اIIIَ¢@ْ L َ ُرnُ ْ IIIَJ ¥ ِ ْ @g IIIQ اaIIIِ= Rٌ َ IIIِ7 رَاRٌ IIIَ¦;ْ َه ُ IIIْA َ Qْ َا .Rٍ S َ ;ْ Yِ _َ َوRٍ Aَ;ْ Cِ َ َوRٍ ¦َ ;ِّ 7 َ َوRٍ @َ َo َ ْcFِ Rُ Eg ;َ> ِرGِ m ْ ِ ْا Artinya: “Akhlak adalah bentuk kejiwaan yang tertanam dalam diri manusia, yang menimbulkan perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela dengan cara yang disengaja”. 4. Imam Al-Ghazaly
Rٍ Qَْ5¢ُ ُ bِ ل ُ >َN=ْ j َ ْ ُر اnُ ْ Jَ >َ¢@ْ L َ Rٌ َ7 ِ رَا¥ ِ ْ @g Q اaِ= Rٍ ¦َ ;ْ ْ َهcL َ ٌَ> َرةYL ِ ُAْ َ Qْ >َ= ُرnُ ْ IَJ ¨ ُ Iْ;S َ bِ Rُ Iَ¦;ْ ¢َ Qْ اh ِ IَU>َِ§نْ آIَ= Rٍ Eg َو َر ِوWٍ :ْ =ِ aَQ ِاRٍ َ >َo Wِ ْ; َ ْcFِ Wِ ْ Eُ َو >IًXAُm ُ Rُ Iَ¦;ْ ¢َ Qْ © ا َ IْAJِ ْh;َ Cِّ Iُ7 >ًLْWIَª َوl ً IْXL َ ْ َد ُة5IُCS ْ Cَ Qْ اRُ Aَ;ْ Cِ َ Qْ ل ا ُ >َN=ْ j َ َْ> ا¢@ْ L َ َ Iِ هaIِGQg اRُ Iَ¦;ْ ¢َ Qْ اh ِ ;َ Cِّ Iُ7 Rُ IَS;ْ Yِ Xَ Qْ ل ا ُ >َN=ْ j َ َْ> ا¢@ْ L َ > ِد ُرgQن ا َ >ً َوِإنْ آ.>ً@ َo َ 56
.>ً¦;ِّ 7 َ >ًXAُm ُ َ> ِد ُرCَ Qْ ا
Artinya: “Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang dilakukan tanpa melalui maksud untuk memikirkan. Maka jika sifat tersebut melahirkan suatu tindakan yang terpuji menurut ketentuan akal dan norma agama, dinamakan akhlak yang baik. Tetapi manakala ia 55 56
Mahjuddin, Kuliah Akhlaq Tasawuf (Jakarta: Kalam Mulia, 1996), 3. Al-Ghazaly, Ihya’ Ulumûddin, Juz. III (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 52.
35
melahirkan tindakan yang jahat, maka dinamakan akhlak yang buruk”. Dari berbagai definisi di atas, bahwa akhlak merupakan bagian dari kejadian manusia. Oleh karena itu, kata al-khuluk tidak dapat dipisahkan pengertiannya dengan kata al-khilqah, yaitu: fitrah yang dapat mempengaruhi perbuatan manusia.57 Sedangkan Ibnu Maskawih dan Abu Bakar Jabir Al-Jazairy menekankan bahwa akhlak adalah keadaan jiwa yang selalu menimbulkan perbuatan yang gampang dilakukan meskipun beliau berdua menekankan keadaan jiwa sebagai sumber timbulnya akhlak. Menurut Imam Al-Ghazaly, bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang dapat dinilai baik atau buruk, dengan menggunakan ukuran ilmu pengetahuan dan norma agama.58 Dari beberapa definisi di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa definisi akhlak adalah perbuatan manusia yang bersumber dari dorongan jiwanya, yang melahirkan perbuatan manusia. Adapun sumbernya dari kekuatan batin yang dimiliki oleh setiap manusia, yaitu: 1. Tabiat (pembawaan), merupakan dorongan jiwa yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan manusia, tetapi disebabkan oleh naluri dan faktor sifat-sifat warisan orang tua.
57 58
M. Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), 348. Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 1.
36
2. Akal pikiran adalah dorongan jiwa yang dipengaruhi oleh lingkungan manusia setelah melihat sesuatu, mendengarkannya, merasakannya dan hanya bisa menilai dari segi lahir saja. 3. Hati nurani yaitu dorongan jiwa yang mempunyai sifat abstrak atau dalam tasawuf berarti bashirah. Ketiga kekuatan kejiwaan dalam diri manusia inilah yang menggambarkan hakekat manusia itu sendiri. Maka konsepsi pendidikan dalam Islam, selalu memperhatikan ketiga kekuatan tersebut, agar dapat berkembang dengan baik dan seimbang, sehingga terwujud manusia yang ideal menurut pandangan Islam. Bila kita mendengar kata akhlak, maka yang akan muncul di benak kita adalah etika dan moral. Arti ketiga istilah tersebut ada yang memandang sama, tetapi ada juga yang mengatakan berbeda.59 Dalam pembahasan di depan telah diterangkan makna akhlak adalah sama dengan etika. Namun yang menjadi simpang siur adalah makna etika dengan moral. Sebenarnya definisi etika telah penulis bahas di depan. Meskipun kedua istilah tersebut mempunyai kesamaan pengertian, namun dari sisi lain mempunyai unsur perbedaan, diantaranya:60 1. Istilah etika digunakan untuk mengkaji sistem nilai yang ada, karena itu etika merupakan suatu ilmu.
59
Mahjuddin, Kuliah Akhlaq Tasawuf, 7. Franz Magniz, Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 14. 60
37
2. Istilah moral digunakan untuk memberikan kriteria perbuatan yang sedang dilakukan. Oleh karena itu, moral bukan suatu ilmu, tetapi merupakan suatu perbuatan manusia. Kedua pernyataan ini disamakan pengertiannya dalam bahasa Indonesia untuk mengungkap atau menyatakan perbuatan atau perkataan yang baik dan beradab.61 Tanpa memerlukan pertimbangan, di sini tidak kita artikan bahwa perbuatan itu tanpa dikehendaki, atau melalui pemikiran tetapi perbuatan itu sudah menjadi adat kebiasaan yang benar, dikehendaki dan sudah tertanam dalam jiwa manusia. Perbuatan manusia dapat dianggap sebagai manifestasi dari akhlaknya, apabila dipenuhi dua syarat, yaitu: Pertama, perbuatan itu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga menjadi kebiasaan. Kedua, perbuatan itu dilakukan karena dorongan emosi jiwanya, bukan karena tekanan dan dorongan dari luar seperti paksaan, bujukan dan lain sebagainya.62 Dalam Islam, etika atau akhlak sangat penting bagi manusia. Bahkan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam perilaku kehidupan manusia. Kepentingan akhlak ini tidak saja dirasakan oleh manusia itu sendiri dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat bahkan dalam kehidupan bernegara. Akhlak merupakan mutiara hidup yang membedakan makhluk satu
61 62
Mahjuddin, Kuliah Akhlaq Tasawuf, 7-8. Musthofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), 12-14.
38
dengan lainnya.63 Sebab, seandainya manusia hidup tanpa akhlak, maka akan hilang derajatnya. Manfaat dari mempelajari etika atau akhlak adalah memperoleh kemajuan rohani, penuntun kebaikan, memperoleh kesempurnaan iman.64 Sehingga penanaman etika atau akhlak pada seseorang merupakan suatu keharusan khusus dalam pendidikan, adapun etika sangat perlu diajarkan. Hal ini perlu ditekankan dalam kegiatan belajar mengajar etika memegang peranan penting.65 Dalam pendidikan Islam, dasar konsep akhlak dapat dirumuskan sebagai berikut:66 1. Pandangan pendidikan Islam terhadap pendidikan akhlak bersifat mendalam dan menyeluruh, tidak terikat pada suatu pandangan tertentu dan tidak bertentangan dengan teori atau filsafat pendidikan manapun. 2. Dalam dasar pendidikan Islam tentang akhlak terlihat arah pandang yang komprehensif mencakup semua aspek positif perkembangan integral, intelektual, spiriutual, fisik dan aspek-aspek perkembangan lainnya. 3. Konsep tersebut menghendaki penggunaan segala metode dan sarana prasarana pendidikan, tidak berpusat pada suatu metode atau sarana tertentu, tidak pula mengutamakan sebagian atas sebagian yang lain. 63
Lihat Yatimin, Etika Seksual dan Penyimpangannya Dalam Islam: Tinjauan Psikologi Pendidikan Dari Sudut Pandang Islam (Pekan baru: Amzah, 2003), 10. 64 Chabib Thoha, Metodologi Pengajaran Agama, 12-14. 65 A. Thabrani, Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), 69. 66 Hery Noer, H. Munazier, Watak Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung Insani, 2003), 153.
39
4. Konsep tersebut bukan hasil kompromi antara pandangan kefilsafatan dan pandangan kependidikan Islam. Pandangan yang mengatakan bahwa konsep tersebut merupakan hasil kompromi hanya didasarkan atas adanya titik temu antara keduanya dalam beberapa bagian kecil. Pandangan seperti itu seringkali membuat pendukungnya terjebak dalam penafsiran dan pentakwilan serta pemaknaan yang melebihi seharusnya. 5. Konsep yang menyeluruh tersebut merupakan kerangka yang membentuk dasar akhlaki pendidikan, baik pada tatanan teoritis maupun praktis. Sedangkan dasar moral pendidikan Islam terdiri dari sejumlah azas yang secara keseluruhan membentuk konsep kultural tentang pendidikan Islam.67 Pada intinya pendidikan Islam secara spesifik pengajaran akhlak atau etika terhadap peserta didik bertujuan:68 1. Menumbuhkan pembentukan kebiasaan berakhlak mulia dan beradat kebiasaan yang baik. 2. Memantapkan rasa keberagaman pada siswa, membiasakan diri berpegang teguh pada akhlak mulia dan membenci akhlak yang rendah dan sabar. 3. Membimbing siswa ke arah sikap yang sehat yang dapat membantu mereka berinteraksi sosial.
67 68
Ibid. Chabib Thoha, Metodologi Pengajaran Agama, 136.
40
4. Selalu tekun beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dan bermualah yang baik, membiasakan siswa bersopan santun dalam berbicara dan bergaul baik di sekolah maupun di luar sekolah. Dari penjelasan di atas dapat ditarik garis tengah bahwa segala sesuatu itu dinilai baik dan buruk, terpuji dan tercela. Adapun dasar pembinaan akhlak bersumber dari al-Qur’an dan hadits. Dalam al-Qur’an terdapat kira-kira 1.500 ayat yang mengandung ajaran akhlak baik teoritis maupun praktis. Begitu juga hadits nabi yang banyak jumlahnya.69 Bertitik tolak dari pengertian akhlak dan etika yang mengandung arti kelakuan, maka dapat dikatakan bahwa kelakuan manusia beraneka ragam sesuai dengan firman Allah:
(٤ :¬;AQ )ا.agG« َ Qَ ْ9:ُ ;َ Nْ 7 َ ن gإ Artinya: “Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda”. Keanekaragaman tersebut dapat ditinjau dari berbagai sudut antara lain nilai perbuatan dengan baik dan buruk serta obyeknya yakni kepada siapa perbuatan tersebut yaitu ditujukan. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia mempunyai dua sisi yaitu sisi kebaikan dan sisi keburukan. Orang yang selalu melaksanakan akhlak mulia akan senantiasa serasa damai dan mendapat pahala berlipat ganda di akhirat. Islam menginginkan suatu masyarakat yang berakhlak mulia yang mempunyai akar dari individu. Dengan kata lain bahwa akhlak utama 69
M. Azmi, Pembinaan Akhlak Anak Usia Pra-Sekolah: Upaya Mengefektifkan Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Keluarga (Yogyakarta: Belukar, 2006), 57.
41
yang ditampilkan seseorang merupakan cerminan diri yang mempunyai orientasi tujuan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akherat.
C. Peserta Didik Perspektif Pendidikan Islam Secara kodrati peserta didik memerlukan pendidikan atau bimbingan. Dasar kodrati ini dapat dimengerti dari kebutuhan-kebutuhan dasar yang yang dimiliki oleh setiap orang yang hidup di dunia ini.70 Para ulama berbeda pendapat terhadap term peserta didik, diantaranya adalah: 1. Murid Kata murid berasal dari bahasa arab
ًاnIْEWِ Fُ , ِإرَا َد ًة,nُ IْEWِ Eُ , َا َرا َدyang
mempunyai arti orang yang mengiginkan (the willer), pengertian seperti ini dapat di mengerti karena seorang murid adalah orang yang menghendaki agar mendapat ilmu pengetahuan, ketrampilan, pengalaman dan kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya dunia akhirat.71 2. Al-Tilmidz Al-Tilmidz juga berasal dari bahasa arab, namun tidak mempunyai akar kata dan berarti pelajar. Kata ini digunakan untuk menunjuk kepada murid yang belajar di madrasah.72
70
Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), 113. Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2005), 54. 72 Ibid. 71
42
3. Al-Mudarris
َ رg َد Al-Mudarris juga berasaldari bahasa arab yang berasal dari kata س yang berarti orang yang mempelajari sesuatu. Kata ini dekat dengan kata madrasah dan seharusnya digunakan untuk arti pelajar suatu madrasah, namun pada prateknya tidak demikian.73 4. Al-Thalib Al-thalib berasal dari
ٌ¯IِQ>َ° ,>ًYAَ° َ ,¯ ُ Aُ ْ Eَ ,¯ َ Aَ° َ yang berarti orang
yang mencari sesuatu. Hal ini dikarenakan pelajar atau peserta didik adalah orang yang mencari pengetahuan, keterampilan.74 Dari istilah ke-empat istilah di atas yang paling dominan adalah kata thalib. Istilah thalib banyak digunakan oleh para ahli pendidikan Islam sejak zaman klasik sampai zaman sekarang. Diantara para tokoh yang menggunakan istilah ini adalah imam al-Ghazali dalam hubungan ini menyatakan bahwa althalib bukan kanak-kanak yang belum dapat berdiri sendiri melainkan seseorang yang telah dapat mencari sesuatu, melainkan ditujukan kepada orang yang memiliki keahlian, berpengetahuan, mendahulukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, sudah bertanggung jawab dalam melaksanakan kewajiban agama yang di bebankan, menemukan apa yang dinilai baik, dan tidak pula dibebankan kepadanya untuk berusaha dalam mendapatkan ilmu dan sunguh-sunguh dalam mencarinya.75 73
Ibid., 55 Abudin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Murid, 49-54. 75 Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam , 55. 74
43
Pendapat al-Ghazali tersebut sejalan dengan pendapat Ibnu Jama’ah sebagaimana dikemukakan Dr. Abd. al-Amir Syams al-Din yaitu bahwa yang dimaksud al- thalib adalah orang yang telah mencapai tingkatan kecerdasan, dapat berfikir dengan baik dan berusaha sejalan dengan kepribadian dan kecerdasannya dalam memilih jalan dalam mendapatkan ilmu dan upaya-upaya untuk mencapainya. Semua ini dihubungkan dengan upaya pada setiap sesuatu yang diatur kearah tercapainya tujuan dan keharusan, baik yang bersifat fisik, pemikiran, kehidupan dan budi pekerti.76 Istilah lain yang berhubungan dengan peserta didik adalah al-Muta’allim. Kata ini berasal dari
>IًC;ْ AِNْ Jَ ,9ُ IّAِNَ Eُ ,9َ IgAL َ
yang berarti orang yang mencari ilmu
pengetahuan. Istilah ini termasuk yang paling banyak digunakan oleh para ulama pendidikan dalam menjelaskan pengertian murid, dibandingkan dengan istilah lainnya, seperti Burhanudin al-Zarnuji,77 al-Imam Muhyiddin Yahya Bin Syaraf al-Nawawi, Maulana al-Alam al-Hajar al-Husayn Amir al-Mu’minin al-Mansur Bi Allah al-Qosim Bin Muhammad Bin Ali, Ibnu Khaldun Dan Ibnu al-Azraq dan Muhammad Wathasi. Jika kita merujuk kepadaa al-Qur’an dan al-hadist dapat dijumpai tentang pengunaan kata al-Muta’allim untuk arti pelajar atau orang yang menuntut ilmu pengetahuan. Dalam al-Qur’an dijumpai kata “allama” pada ayat 30 surat alBaqarah. Kata allama serumpun dengan kata Muta’allim. 76
Abudin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Murid, 49-54. Lihat, Imam Burhanuddin al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’alum (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1962), 87. 77
44
Rِ :َ ±ِ l َ Cَ Qْ اaَAL َ ْ9¢ُ ² َ Wَ L َ 9g ³ُ >َ¢Aَ> َء ُآC7 ْ3 َ ْ َا َد َم ا9َ AgL َ َو Artinya: “Dan (Allah) telah mengajar kepada adam tentang beberapa nama, kemudian ia mendemonstrasikannya nama-nama tersebut kepada malaikat (Qs.al-Baqarah, 2 : 24) Dalam ayat tersebut Allah bertindak sebagai pengajar (mu’allim) dan Nabi Adam sebagai (Muta’allim).78 Selanjutnya jika dibandingkan dengan istilah-istilah yang mengacu kepada pengertian murid sebagaimana disebutkan di atas, tampaklah bahwa penggunaan kata al- Muta’allim jauh lebih banyak digunakan dibandingkan dengan kata murid, tilmidz atau istilah lainya. Hal ini dipahami mengingat kata al- Muta’allim lebih bersifat universal yaitu mencakup semua orang yang menuntut ilmu pada semua tingkatan, mulai dari tingkatan dasar sampai dengan tingkat perguruan tinggi. Dengan istilah lain al- Muta’allim mencakup pengertian istilah murid, tilmīdz, mudarris, thālib, dan sebagainya. Sedangkan istilah lain bersifat spesifik dan terbatas. Peserta didik adalah satu komponen dalam sistem pendidikan Islam. Peserta didik merupakan satu material (bahan mentah) di dalam proses transformasi yang di sebut pendidikan. Peserta didik adalah sebagai subyek dan obyek. Sebagai subyek karena menentukan hasil belajar dan sebagai obyek karena menerima pelajaran dari guru.79
78 79
268.
Abdurrahman Mas’ud, et.al., Paradigma Pendidikan Islam, 60. Zakiah Darajat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995),
45
Menurut Syamsul Nizar dalam makalahnya mendiskripsikan lima kriteria peserta didik: a. Peserta didik bukan miniatur orang dewasa tetapi memiliki dunianya sendiri. b. Peserta didik memiliki periodisasi perkembangan dan pertumbuhan. c. Peserta didik adalah makluk Allah yang memiliki perbedaan individu baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan di mana ia berada. d. Peserta didik merupakan dua unsur pertama jasmani dan rohani, unsur jasmani, memiliki daya fisik dan unsur rohani memiliki, daya akal hati nurani dan nafsu. e. Peserta didik adalah manusia yang memilki potensi dan fitrah yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.80 Dalam proses pendidikan peserta didik disamping sebagai obyek juga menjadi subyek. Oleh karena itu agar seorang pendidik berhasil dalam proses pendidikan,
maka
ia
harus
memahami
peserta
didik
karakteristiknya. Diantara aspek yang harus di pahami oleh pendidik yaitu : a. Kebutuhannya b. Dimensi-dimensinya c. Intelegensinya d. Kepribadiannya
80
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 77-78.
dengan
segala
46
Adapun hakikat dari peserta didik menurut Islam adalah memerlukan pendidikan atau bimbingan. Berdasarkan firman Allah:
(٧٨ :¬S@Q )ا.>ً¦;ْ ª َ ن َ ْ5Cُ AَNْ Jَ 3 َ ْ9:ُ Jِ >َ¢Fg ن ُا ِ ْ5 ُ bُ ْcFِ ْ9:ُ َ Wَ m ْ َأe ُ وَا Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun”. (QS. An-Nahl: 78). Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan status manusia sebagaimana mestinya adalah melalui pendidikan.81 Segala bentuk kegiatan belajar melalui berbagai tugas, maka murid harus memelihara adab terhadap guru maupun adap terhadap sesama teman belajar, khususnya pergaulan antara pria dan wanita. Seorang murid akan berhasil dalam belajarnya apabila ia mampu memahami bahwa belajar pada hakikatnya adalah proses jiwa bukan fisik.82 Diantara adab-adab murid dalam lingkungan sekolah adalah:83 1. Adab terhadap guru Hubungan antara guru dengan murid amat dekat sekali tetapi jalinan itu tidak boleh meniadakan jarak dan rasa hormat terhadap guru. Maka menjadi tugas murid untuk memuliakan guru dengan cara:84
81
Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, 113-114. Abidin Ibnu Rusn. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 77. 83 M. Athiyah Al-Abrasyi, Al-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa Falasifatuha (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 147. 84 Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Pusa), 219. 82
47
a. Ucapkan salam terlebih dahulu bila berjumpa. b. Tunjukkan perhatian ketika guru memberikan pelajaran, bertanya dengan sopan. c. Bersikap merendahkan diri. d. Patuh dan hormat atas perintah guru. e. Tidak berjalan di muka guru. 2. Adab terhadap sesama murid Khususnya diantara murid pria dan wanita, karena dalam pergaulan diantara mereka sering memicu mengganggu kehidupan belajar.85 Diantara adab mereka adalah: a. Senantiasa menjaga jarak. b. Berpakaian pantas dan sopan. c. Saling ingat-mengingatkan. d. Membina pergaulan sesuai dengan norma-norma agama. Ali Bin Abi Thalib memberikan syarat bagi peserta didik dengan enam macam, yang merupakan kompetensi mutlak dan dibutuhkan tercapainya tujuan pendidikan. Sebagaimana dalam syairnya:
ن ٍ >َ;Yَ bِ >َ¢L ِ ْ5Cُ ْ Fَ ْcL َ © َ ;ْ Yِ Uْ ُ7 َ # Rٍ Gg ِ bِ 3 g ِإ9ِ Aْ Nِ Qْ ل ا ُ >َ@Jَ 3 َ 3 َ َا ِ¹ ْ ص وَا ٍ ْWo ِ ن َو ٍ >ََذآ ن ٍ >َFل َز ِ ْ5° ُ َ> ٍذ َوG7 ْ َ> ِد اªْ َوِار# Rٍ ¸َ Aْ bُ َ> ٍر َوY
85
Ibid.
48
“Ingatlah! Engkau tidak akan bisa memperoleh ilmu pengetahuan kecuali dengan enam perkara; yang akan kujelaskan semua kepadamu secara ringkas. Yaitu kecerdasan, cinta kepada ilmu, kesabaran bekal biaya, petunjuk guru dan masa yang lama”.86 Dengan berpijak pada paradigma belajar sepanjang masa, maka istilah yang tepat untuk menyebut individu yang menuntut ilmu adalah peserta didik bukan anak didik.87 Hal ini dikarenakan lebih luasnya cakupan yang tidak hanya melibatkan anak-anak tetapi juga orang dewasa. Tidak hanya itu, penyebutan peserta didik mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan tidak hanya di sekolah tetapi juga di masyarakat, majelis taklim dan sebagainya.
86 87
Ibrahim Ismail, Petunjuk Menjadi Cendekiawan Muslim (Semarang: Toha Putra, 2000), 25. Abdul mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2006), 103.
49
BAB III ETIKA PESERTA DIDIK PERSPEKTIF IBNU JAMA'AH DALAM KITAB TADZKIRAH AL-SÂMI' WA AL-MUTAKALLIM FĪ ADAB AL-ÂLIM WA AL-MUTA'ALLIM
A. Biografi Ibnu Jama'ah 1. Latar Belakang Kehidupan dan Kondisi Sosial Kultural Pada Masa Ibnu Jama'ah Nama lengkapnya adalah Badr al-Din Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Sa'ad Allah Ibnu Jama'ah Ibnu Hazim Ibnu Shakar Ibnu Abd Allah alKinany.88 Ia lahir di Hamwa dan Mesir, pada malam Sabtu, tanggal 4 Rabi'ul Akhir, 639 H./1241 M., dan wafat pada pertengahan malam akhir hari Senin, tanggal 21 Jumadil Ula tahun 733 H./1333 M., dimakamkan di Qirafah, Mesir.89 Dengan demikian usianya 64 tahun 1 bulan 1 hari. Pendidikan awal yang diperoleh Ibnu Jama'ah berasal dari ayahnya sendiri, Ibrahim Sa'ad Allah Ibnu Jama'ah (596-675 H.), seorang ulama besar ahli fiqih dan sufi. Selain kepada ayahnya, Ibnu jama'ah juga berguru kepada sejumlah ulama. Ketika berada di Hammah ia berguru kepada Syaikh al-
88
Badr al-Din Ibnu Jama'ah al- Kinani, Tadzkirah al-Sâmi' wa al-Mutakallim fi adab al-Âlim wa al-Muta'allim (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah tt), 14. 89 Taj al-Din Nashr Abd al-Wahhab Ibnu Taqy al-Din al-Sabuky, Thabaqāt al-Syafi'yah alKubra (Beirut: Dar al-Ma'rifah, tt), 330. lihat juga, Abu al-Fida al-Hafidz Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihayah, (Beirut: Maktabah Al-Ma'arif, 1996), 163.
50
Syuyukh Ibnu Izzun; dan ketika di Damaskus ia berguru kepada Abi al-Yasr, Ibnu Abd Allah, Ibnu al-Azraq, Ibnu Ilaq ad-Dimasyiqi. Selanjutnya ketika di Kairo, ia berguru kepada Taqy ad-Din Ibnu Razim, Jamal ad-Din Ibnu Malik, Rasyid al-Athar, Ibnu Abi Umar, At-Taj al-Qasthalani, Al-Majd Ibnu Daqiq al-'Id, Ibnu Abi Musalamah, Makki Ibnu 'Illan, Isma'il al-'Iraqi, Al-Mushthafa, Al-Bazaraiy, dan lain-lain.90 Berkat didikan dan pengembaraan dalam menuntut ilmu tersebut, Ibnu Jama'ah kemudian menjadi seorang ahli hukum, ahli pendidikan, juru dakwah, penyair, ahli tafsir, ahli hadits dan sejumlah keahlian dalam bidang lainnya. Namun demikian Ibnu Jama'ah tampak lebih menonjol dan dikenal sebagai ahli hukum, yakni sebagai hakim. Hal ini disebabkan karena sebagian masa hidupnya dihabiskan untuk melaksanakan tugasnya sebagai hakim di Syam dan Mesir. Sedangkan profesinya sebagai pendidik, terjadi ketika ia bertugas mengajar di beberapa lembaga pendidikan yang dibangun oleh Ibnu Thalun di Damasyqus dalam waktu yang cukup lama. Dilihat dari masa hidupnya, Ibnu Jama'ah hidup pada masa Dinasti Ayyubiyah dan Dinasti Mamluk. Dinasti Ayyubiyah dengan pimpinanya Shalhuddin al-Ayyubi menggantikan dinasti Fatimiyah pada tahun 1174 M. dinasti Ayyubiyah diketahui telah membawa angin segar bagi pertumbuhan dan perkembangan paham Sunni, terutama dalam bidang fiqih Syafi'iyah. 90
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri kajian Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), 112.
51
Sedangkan pada masa Dinasti Fatimiyah yang dikembangkan adalah paham Syi'ah.91 Selanjutnyan Dinasti Ayyubiyah ini jatuh ke tangan kekuasaan kaum Mamluk. Mereka pada mulanya para budak yang mendapatkan perlakuan khusus dari kalangan Ayyubiyah sehingga mendapat tempat di pemerintahan dan menggantikan Dinasti Ayyubiyah. Sultan Mamluk yang pertama adalah Aybak (1250-1257 M.) dan yang terkenal adalah Sultan Baybars (1260-1277 M.) yang mampu mengalahkan hulagu Khan di Ainun Jalut. Akhirnya kekuasaan kaum Mamluk ini harus berakhir pada tahun 1517 M. pada masa kaum mamluk ini telah membawa pengaruh positif bagi kelangsungan Mesir dan Suria, terutama dari serangan kaum Salib, serta mampu menahan serangan kaum Mongol di bawah pimpinan hulagu dan Timur Lenk. Dengan usaha kaum Mamluk itu, Mesir tidak mengalami kehancuran sebagaimana yang dialami negeri Islam lainnya.92 Pada masa Ibnu Jama'ah, kondidi struktur sosial keagamaan sedang memasuki masa-masa penurunan. Baghdad sebagai symbol peradaban Islam, sudah hancur yang kemudian berakibat pada pelarangan secara kuat terhadap kajian-kajian Filsafat dan Kalam, bahkan terhadap ilmu pengetahuan nonagama. Pelarangan ini didukung oleh ulama dan mendapat pengakuan dari penguasa. Bahkan pada masa itu tengah gencar-gencarnya isu tentang
91 92
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2005), 126. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI-Press, 1985), 81-82.
52
tertutupnya pintu ijtihad. Dengan demikian Ibnu Jama'ah dibesarkan dalam tradisi Sunni yang kontra rasionalis serta kurang mendukung pengembangan ilmu pengetahuan non-agama. Pada masa Ibnu jama'ah telah muncul berbagai lembaga pendidikan. Diantaranya adalah: a. Kuttab, yaitu lembaga pendidikan dasar yang digunakan untuk memberikan kemampuan membaca dan menulis. b. Pendidikan Istana, yaitu lembaga pendididkan yang dikhususkan untuk anak-anak pejabat dan keluarga Istana. c. Kedai atau teks kitab yang fungsinya untuk menjual kitab serta tempat berdiskusi antara pelajar. d. Rumah para ulama, yaitu tempat yang sengaja disediakan oleh para ulama untuk mendidik para siswa. e. Rumah sakit yang dikembangkan selain untuk kepentingan medis juga untuk mendidik tenaga-tenaga yang akan bertugas sebagai perawat dan juga sebagai tempat pengobatan. f. Perpustakaan yang berfungsi selain tempat menyimpan buku-buku yang diperlukan juga untuk keperluan diskusi dan melakukan penelitian. Di antara perpustakaan yang cukup besar adalah Dar al-Hikmah.
53
g. Masjid yang berfungsi selain tempat melakukan ibdah shalat, juga sebagai kegiatan pendidikan dan sosial.93 Selain itu, pada masa Ibnu Jama'ah juga telah berkembang lembaga pendidikan madrasah. Menurut Michael Staton, madrasah yang pertama kali didirikan adalah Madrasah Nidham al-Muluk yang didirikan oleh Wazir Nidhamiyah pada tahun 1064 M. sementara itu Richaerd Bulliet berpendapat bahwa madrasah yang pertama kali dibangun adalah madrasah al-Bayhaqiyah yang didirikan oleh Abu Hasan Ali al-Baihaqy pada tahun 400 H./1009 M. bahkan, menurut Bulliet ada 39 madrasah yang berkembang di Persia, Iran yang dibangun dua abad sebelum Madrasah Nidham al-Muluk.94 Dengan demikian, terlihat bahwa pada masa Ibnu Jama'ah lembaga pendidikan telah berkembang pesat dan telah mengambil bentuk yang bermacam-macam. Suasana inilah yang membantu mendorong Ibnu jama'ah menjadi seorang ulama yang menaruh perhatian terhadap pendidikan. 2. Karya Tulis Ibnu Jama'ah Ibnu Jama'ah adalah seorang ulama yang tergolong kreatif dan produktif. Karya-karya Ibnu Jama'ah pada garis besarnya terbagi kepada masalah pendidikan, astronomi, ulumul hadits, ulum at-Tafsir, Ilmu Fiqih dan Ushul al-Fiqih. Kitab Tadzkirah al-Sāmi' wa al-Mutallimin fī Adab al-Ālim wa al-Muta'alim merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan. 93
Asma Hasan fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Jakarata: Bulan Bintang,
1979), 30.
94
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, 125.
54
Sementara itu kitab Usthurulab merupakan kitab yang membicarakan masalah astrologi. Kitab ini diajarkan oleh Ibnu Jama'ah kepada para muridnya di Damaskus. Kitab al-Munhil al-Rawy fi 'Ulūm al-Hadits al-Nabawi merupakan ringkasan dari kitab Ilmu Hadits yang di tulis Ibnu as-Shalah. Dalam kitab ini, Ibnu Jama'ah menambahkan beberapa catatan dan mengurutkan beberapa pembahasan. Kitab ini selesai di tulis pada bulan Sya'ban tahun 687H. di Damaskus.95 Ibnu Jama'ah sesungguhnya tokoh yang telah memiliki reputasi dalam berbagai bidang. Hal ini diakui oleh Ibnu Hajar bahwa Ibnu Jama'ah adalah shāhib ma'ārif, yadlrib fîkulli fann bisubmi " [ahli pengetahuan dalam berbagai bidang dan dialektikanya]". Al-Suyūthi sendiri mengomentarinya sebagai orang
yang memiliki karya dalam berbagai bidang. Karya-karya Ibnu Jama'ah pada garis besarnya terbagi ke dalam sebelas disiplin ilmu pengetahuan. Berikut daftar karya-karya Ibnu Jama'ah yang dikelompokkan secara tematis yang didasarkan atas judul-judulnya. Pertama, disiplin 'Ulūm al-Qur’ān terdiri atas (1) Ghurr al-Tibyān fī man lam Yusammi fī al-Qur'ān, (2) al-Tibyān li Mubhimāh al-Qur'ān, (3) alFawāid al-Lāihat min Sūrah al-Fātihah, (4) Kasyf al-Ma'āny 'an alMutasyābih min al-Matsānī, dan (5) al-Muqtadh fī Fawāid Takrīr alQashāsh.
95
Abudin Nata, Pemikiran Para tokoh Pendidikan Islam, 15.
55
Kedua, disiplin 'Ulum al-Hadīts terdiri atas (6) al-Munhil al-Rawī fī 'Ulūm al-Hadīts al-Nabawī yang merupakan ringkasan dari kitab Ilm alHadits yang ditulis Ibnu al-Shalah. Dalam kitab ini, Ibnu Jama'ah menambahkan beberapa catatan dan mengurutkan beberapa pembahasan. Kitab ini selesai ditulis pada bulan Sya'ban tahun 687 H. di Damaskus. (7) alFawāid al-Ghazīrat al-Mustanbihat min Ahādīts Barīrah, (8) al- Mukhtashar fī 'Ulūm al-Hadīts, (9) Mukhtashar fī Munāsabāt Tarājum al-Bukhārī li Ahādīts al-Abwāb, (10) Mukhtashar Aftsā al-Amal wa al-Syawq fī 'Ulūm alHadīts al-Rasūl li Ibnu al-Shalāb, (11) Arba'ūn Hadītsan Tusā'iyan. Ketiga, disiplin Kalam terdiri atas (12) al-Radd 'alā al-Musyabbahah fī Qaulih Ta'ālā "al-Rahmān 'alā al-'Arsī Istawā", (13) al-Tanzib fī Ibthāl Hujaj al-Tasybīh, (14) Īdlāb al-Dalīl fī Qatb'i Hujaj Ahl al-Ta'thil. Keempat, disiplin Fiqih terdiri atas (15) al-'Umdat fī al-Ahkām, (16) al-Tbā'at fî Fadlīlat al-Shalāt al-Jamā'ah, (17) Kasyf al-Ghimmat fī Ahkām Ahl al-Dzimah, (18) al-Masālik fi 'ilm al-Manāsik, dan (19) Tanqīb alMunāzharag fī Tashhih al-Mukbābara. Kelima, disiplin politik terdiri atas (20) Hujjat al-Sulūk fī Muhādāt alMulūk, (21) Tahrīr al-Ahkām fī Tadbīr Ahl al-Islām. Keenam, disiplin sejarah terdiri atas (22) al-Mukhtashar al-Kabīr fī alShīrah, dan (23) Nūr al-Rawd. Ketujuh, disiplin Nahwu terdiri atas (24) Syarh Kafiyāt Ibnu al-Hājib, dan (25) al-Diyā al-Kāmil wa Syarh al-Syāmil.
56
Kedelapan, disiplin sastra terdiri atas (26) Lisān al-Adab, (27) Dīwān al-Khithab, (28) Arjūzat fī al-Khulafā, dan (29) Arjuzāt fī Qudhāt al-Syām. Kesembilan, disiplin perang terdiri atas (30) Tajnīd al-Ajnād wa Jihād, (31) Mustanid al-Ajnād fī Ālāt al-Jihād, dan (32) Awtsaq al-Asbab. Kesepuluh, disiplin astrologi terdiri (33) Usthurulāb. Kitab ini diajarkan oleh Ibnu Jama'ah kepada para pelajarnya di Damaskus. Kesebelas, displin kependidikan terdiri atas (34) Tadzkirat al-Sāmi' wa al-Mutakallim fī Adab al-'Ālim wa al-Mutakallim.96 Klasifikasi disiplin di atas sesungguhnya didasarkan atas indikasi judul-judul karya Ibnu jama'ah. Secara umum, judul-judul tersebut jelas memberi petunjuk tentang tema bahasannya. Jika klasifikasi tematis tersebut cenderung tepat, tidaklah salah jika ada kesimpulan bahwa Ibnu jama'ah merupakan seorang ilmuwan ensiklopedis. Buah karya sejumlah 34 dalam 11 disiplin pengetahuan yang berbeda mendeskripsikan produktibitas penulisnya. Sungguhpun
demikian,
beberapa
karya
tersebut
sangat
sulit
ditemukan. Penelitian Abd al-Jawwād Khalaf memberi informasi bahwa paling tidak ada 16 judul yang manuskripnya masih tersimpan di berbagai koleksi di negara Timur Tengah dan barat. Judul-judul tersebut adalah Ghurr al-Thibyān fī man lam Yusammi fī al-Qur'ān, Kasyf al-ma'āny 'an alMutasyābih min al-Matsāny, al-Fawāid al-Lāihat min Sūrat al-Fātihah, alMunhil al- Rawī fī 'Ulūm al-Hadits al-Nabawī, Mukhtasbar fī Munāsabāt 96
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, 36-38.
57
Tarājum al-Bukhārī li Ahādīts al-Abwāb, Arba'ūn Hadītsan Tusā'iyan, Tanqīb al-Munāzbarat fī Tashhih al-Mukhābarab, 'Īdlāh al-Dalīl fī Qatb'i Hujaj Ahl al-Ta'thil, Tahrīr al-Ahkām fī Tadbīr Abl al-Islām, al-Mukhtasbar al-Kabīr fī al-Shīrab, Nūr al-Rawd, Syarh Kafiyāt Ibnu al-Hājib, Arjūzat fī al-Khulafā, Arjuzāt fī Qudhāt al-Syām, Usthurulāb, dan Tadzkirah al-Sāmi' wa alMutakallim fī Adab al-'Ālim wa al-Mutakallim.97 Karya-karya
lainnya
kemungkinan
telah
hilang
atau
belum
teridentifikasi dalam koleksi-koleksi manuskrip Arab. Tampaknya perhatian studi terhadap karya-karya Ibnu Jama'ah kurang menunjukkan semangat yang besar, terbukti dengan masih minimnya studi dan upaya-upaya melakukan edisi dan penerbitan. Sejauh informasi yang terkumpul menunjukkan ada lima judul yang telah diedit dan dicetak, yakni Tadzkirat al-Sâmi' wa alMutakallim fî Adab al-'Âlim wa al-Mutakallim, Gburr al-Thibyān fī man lam Yusammi fī al-Qur'ān, Kasyf al-Ma'āny 'an al-Mutasyābih min al-Matsāny, al-Munhil al-Rawī fī 'Ulūm al-Hadits al-Nabawī, dan Arba'ūn Haditsan Tusā'iyan. Hal ini pada sisi tertentu cukup menentang bagi para intelektual untuk mengkaji terhadap khazanah tersebut sehingga dapat diketahui kontribusi Ibnu Jama'ah bagi pertumbuhan peradaban Islam dari dulu hingga kini.
97
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, 113.
58
3. Kitab Tadzkirah Al-Sâmî Nama lengkap karya kependidikan Ibnu Jama'ah adalah Tadzkirat al Sâmi' wa al-Mutakallim fî Adab al-'Âlim wa al-mutakallim. Mushtafâ bin Abd Allah Hajj Khalifah dan Isma'il Basy al-Baghdadi menyebutnya dengan nama Tadzkirat al Sâmi' wa al-Mutakallim fî Adab al-'Âlim wa al-mutakallim li Badr al-Dîn bin Jamâ'ah. Kitab selesai disusun oleh Ibnu Jama'ah pada tnggal 14 Dzu al-Hijjah tahun 672H/1273 M. Ibnu Jama'ah menulis kitab ini didasari oleh sebuah pandangan bahwa perlu adanya literatur yang membahas tentang (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan, baik etika yang berkaitan dengan mengajar ('ālim), pelajar (thālib), penggunaan literatur/buku (al-kutub), maupun tempat tinggal (sukn), sehingga ilmu mudah didapat. Keinginan ini tampaknya didorong oleh kondisi bahwa banyak peserta didik yang mencari ilmu namun perasaan malu meluputi diri mereka sehingga enggan untuk datang ke majlis. Selain itu, untuk menemui ulama ketika itu sangat jauh, sehingga perlu perjalanan yang cukup panjang dan singgah di daerah lain. Keadaan demikian, menurut Ibnu Jama'ah sangat membutuhkan satu kerangka acuan etika yang memberikan kenyamanan dalam berperilaku selama belajar. Mengenai adanya pembahasan tersendiri terhadap aspek tempat tinggal (sukn) disebabkan karena, pada masa itu, dalam tradisi lembaga pendidikan biasanya masing-masing menyediakan asrama sehingga hal itu perlu mendapat kajian yang lebih luas.
59
Ibnu Jamâ'ah menjelaskan bahwa kitab ini disusun berdasarkan informasi yang didapat dari para gurunya dan pendapat-pendapat yang berkembang dalam berbagai diskusi (mudzākarah) yang kemudian ditulis dalam sebuah buku, namun tidak dengan mencantumkan sanad dan petunjukpetunjuk lainnya. Hal in dimaksudkan agar buku ini lebih mudah dipelajari. Muhammad Hasyim al-Nadwy agaknya tertarik untuk menyunting (men-tahqiq) kitab ini. Menurutnya, kitab tersebut sarat dengan muatanmuatan kependidikan yang sangat terinci, disertai dengan ungkapan-ungkapan yang memilik nilai artistik (balaghah) tersendiri dan dalam bab-bab pembahasannya mempunyai nilai yang sangat strategis dalam pengembangan konsep pendidikan. Pada awalnya, menuskrip kitab Tadzkirah al-Sāmi' didapat oleh al-Nadwy dari perpustakaan Ramfur, India. Dengan sangat serius dan teliti, al-Nadwy menyunting menuskrip itu dengan berusaha agar kandungan kitab yang disuntingnya sejalan dengan tujuan yang dikehendaki penyusun (mushannif). Selain itu, al-Nadwy melengkapi menuskrip asli yang didapatnya, perbedaan-perbedaan yang ada dalam menuskrip tersebut, mengemukakan penambahan dan rangkaian akhir menuskrip, menunjukkan sumber-sumber asal literatur, membubuhkan gagasan-gagasan ulama, menjelaskan keterangan-keterangan kita, kalimat, juga uraian yang sekiranya perlu dicantumkan. Dalam penyunting kitab Tadzkirah al-Sāmi', al-Nadwy mengacu pada tiga buah sumber manuskrip. Pertama, manuskrip yang didapat dari
60
perpustakaan Ramfur, India. Manuskrip ini tampaknya dapat dijamin keasliannya, sebab naskah ini di bawah pengawasan pemerinta Ramfur. Manuskrip ini selesai ditulis pada hari Jum'at bulan Shafar tahun 742 H. ini berarti manuskrip ini ditulis secara rapi 9 tahun setelah wafatnya Ibnu Jama'ah. Dalam kitab ini, manuskrip yang berasal dari perpustakaan Ramfur ditandai engan huruf ra ( )ر. Kedua, manuskrip yang berasal dari perpustakaan Almaniyah dengan nomor katalog 1556. menurut al-Nadwy, manuskrip ini lebih valid (al-ashah) ketimbang manuskrip lainnya. Manuskrip kedua ini selesai ditulis oleh Syekh Zain al-Din pada hari Jum'at, 14 Ramadhan 862 H. anotasi yang dipakai untuk manuskrip kedua dalam kitab Tadzkirat al-Sâmi' ditandai dengan huruf alif ()ا. Ketiga, manuskrip yang diperoleh dari perpustakaan al-Ashfatiyah, Haidarat, Dakkan. Manuskrip ini berisi kumpulan risalah-risalah tashawuf, zuhd, dan akhlak. Manuskrip jenis ketiga ini ditandai dengan kode huruf shad fa (Á¹) . Agaknya, karena interval masa yang cukup lama antara penulis kitab yang dilakukan Ibnu jama'ah dengan penulisan manuskrip tersebut, tidak mengherankan jika ada beberapa bagian naskah yang hilang. Dalam kaitan ini, Mehdi Nakosteen mengemukakan, dengan mengutip pendapat Totah, "According to Totah, two of the chopters are missing. The table of contents some interesting pedagogic topic, including the art of learning, teacher-
61
student conduct and relation, the followship of books, and the rules or etiquette of dormitory life in colleges". [Menurut Totah, ada dua bagian yang hilang. Dari daftar isinya dapat diketahui adanya topic-topik pendidikan yang menarik, termasuk cara-cara belajar, hubungan guru-murid dan murid-guru, dan aturan atau etika dalam kehidupan asrama di sekolah]. Secara keseluruhan, kitab Tadzkirah al-Sāmi' terdiri atas satu bab pembahasan. Dalam bab pendahuluan, dipaparkan ilmu dan etika belajar, tujuan penulisan dan kegunaan kitab serta menyajikan poin-poin yang akan diuraikan dalam bab-bab berikutmya. Bab pertama menguraikan tentang keutamaan ilmu, ahl al-'ilm, dan keunggulan mencari ilmu pengetahuan. Bab kedua menyajikan etika pendidik ('ālim) terhadap pribadinya, menjaga peserta didik (thālib) dan pelajaran. Bab ketiga membahas tentang etika peserta didik (thālib) terhadap dirinya sendiri, pendidik ('ālim), teman, dan pelajaran. Bab keempat mengulas etika dalam menggunakan dan memanfaatkan literatur atau kitab. Bab kelima memaparkan tentang etika bertempat tinggal (asrama) bagi pendidik ('ālim) dan peserta didik (thālib).
B. Etika Peserta Didik Menurut Ibnu Jama’ah 1. Etika Peserta Didik Terhadap Dirinya Menurut Ibnu Jama’ah Dalam pendidikan islam terhadap unsur-unsur yang mempengaruhi kesuksesan belajar salah satu unsurnya adalah faktor internal yang bersumber dari dalam (dirinya sendiri) murid. Ibnu Jama'ah menyajikan pemikiran
62
tentang etika peserta didik dalam kitab beliau menjadi sepuluh pembagian diantaranya adalah: a. Hendaknya murid mensucikan hatinya dari segala jenis tipuan ucapan kotor niat jahat, dengki buruk aqidah dan buruk ahlaq. Hal ini dilakukan agar bisa mempermudah dalam proses penerimaan ilmu dan pemahaman makna-makna yang sulit dan kebenaran makna. sepertihalnya sebagai ulama mengatakan ilmu adalah ibadahnya hati, shalat sirr (halus) dan pendekatan batin kepada Allah ta'ala. Sebagaimana shalat yang menjadi tugas-tugas
anggota
badan
(dhohir)
tidak
sah
kecuali
dengan
membersihkan atau mensucikan lahir dari hadas dan kotoran, begitu juga tidak sah yang mana ilmu merupakan ibadah hati maka maka bersucinya dari sifat-sifat kotor. Hadas yang diumpamakan dengan akhlak dan perkara yang dapat merendahkan ilmu juga di umpamakan sebagai perkembangan bumi ketika digunakan untuk menanam tanaman maka akan tumbuh buah. b. Memperbaiki niat dalam mencari ilmu dengan menyengaja (bertujuan) mencari ridho Allah ta'ala beramal dengannya menghidupkan syaria'at menerangi hati dan memperindah hati, mendekatkan diri kepada Allah dihari qiyamat, akan kembali kepada orang yang mempunyai ilmu dengan ridho dan keutamaannya yang agung. Bahwasannya mengihklaskan niat sebelum mensucikan dan menambah barokah. Jikalau tujuannya selain
63
kepada Allah yaitu bertujuan untuk dunia maka ia akan mendapat harta saja. Murnikan niat didalam majlis, maka ilmu akan diterima dan di bersihkan serta bertambah berkah, jikalau bertujuan selain Allah maka akan dihapus hanya mendapat rugi dan sia-sia. c. Seyogyanya menyegerakan dalam mencari ilmu di saat waktu muda dan waktu longgar dalam pencapaian ilmu. Jangan sampai menunda-nunda dan banyak berangan-angan. Karena setiap jam yang terlewatkan dari umur wajib untuk menghasilkan ilmu dan tidak ada ganti untuknya. Hendaknya murid memutuskan perkara yang telah diprediksi berupa hubungan serta perkara yang menghalangi dari kesempurnaan pencarian ilmu. Mencurahkan segenap kemampuan dan kekuatan (kesungguhan) terhadap pencapaian ilmu. Ulama’ salaf lebih menyukai mengembara meninggalkan keluarga dan jauh dari tanah airnya karena sesungguhnya dapat mencegah terhadap dangkalnya pikiran dan meninggalkan kebenaran. Tidak akan pernah mendapatkan ilmu kecuali orang yang meninggalkan tokonya, meninggalkan ladang kemudian hijroh menuju teman serta meninggal dunia bersama ahlinya maka tidak akan ditemukan jenazahnya. Hal ini adalah sebagai perumpamaan jikalau bersungguhsungguh dalam mencari ilmu maka ia harus mengumpulkan segenap hati dan pikirannya.
64
d. Hendaknya murid bersifat menerima apa adanya yang datang kepadanya (qona'ah) berupa bekal dan pikiran walaupun berupa pakaian usang, maka dengan bersabar terhadap sempitnya hidup dalam mencari ilmu untuk mendapat keluasan ilmu, mengumpulkan urusan hati dari angan-angan maka akan memancar sumber hikmah. Tidaklah seorang mengambil ilmu dengan suatu perkara lain yang ia miliki dan kemulyaan diri tetapi merupakan pencarian ganti dari sempitnya hati, kehidupan dan membantu ulama maka akan sukses. Tidak pantaslah seseorang dalam mencari ilmu kecuali orang yang rugi dan tidak juga orang kaya yang tercukupi. Tidak akan ada bagi kamu ilmu ini sampai sifat faqir menimpa dan mementingkan ilmu diatas segalanya. Adapun mengembara adalah lebih utama. e. Murid hendaknya membagi waktu diantara waktu malam dan siang hari serta
menggunakan
waktu
longgar
yang
tersisa
dari
umurnya.
Sesungguhnya sisa umurnya tidak lagi berhaga tanpa belajar. Adapun waktu yang paling efektif untuk menghafal adalah waktu dzuhur, membahas suatu masalah waktu pagi, menulis diwaktu tengah hari sedang menelaah dan mengulangi kembali pelajaran diwaktu malam hari. Sedangkan menurut iman khotib paling bagus untuk menghafal adalah waktu dzuhur, tengah hari dan waktu pagi. Menghafal waktu malam lebih
65
memberi maanfaat dari pada waktu siang dan menghafal waktu lapar lebih berfaedah dari pada waktu kenyang. Adapun tempat-tempat yang bebas untuk menghafal adalah di kamar atau tempat yang jauh dari keramaian dan tidak bagus menghafal didekat tumbuh-tumbuhan, sayuran, sungai, tengah jalan, suara-suara yang membuat lalainya hati, suara gaduh, karena semua tersebut merupakan jalan pencegah dari kekosongan hati pada umumnya. f. Memperhatikan sebab-sebab dominan dalam mencari ilmu semisal selalu sibuk dalam mencari kefahaman, tidak ada rasa bosan makan secukupnya dari perkara halal. Sebagai contoh imam al-Syafi'i tidak merasa kenyang sejak enam belas tahun. Sesungguhnya banyak makan mengurangi banyaknya minum sehingga mengurangi tidur, bodoh, sempitnya hati, lemahnya panca indra, malasnya badan. Pahamilah perkara ini dikarenakan apa-apa yang ada didalamnya tidak disukai oleh syara’ dan dapat tertimpa penyakit bahaya. Tidaklah seorang wali dan pembesarnya ulama mempunyai sifat atau disifati dengan banyak makan serta tidak dipuji hanya karena makan. Adapun yang dipuji karena banyak makan adalah hewan ternak yang tidak berakal tetapi ditujukan untuk bekerja. Hati yang sehat lebih mulya dari pada hanya disia-siakan dan di kosongkan dengan ukuran kehinaan dari makanan. Adapun dampak bahaya banyak makan dan minum tanpa ada
66
hajat ialah hanya sering keluar dan masuk wc saja, tetapi seyogyanya bagi orang cerdas hendaknya menjaga diri dari masuk keluarnya Wc saja, tetapi bertujuan meraih kemenangan dalam menghasilkan ilmu termasuk didalamnya juga banyak tidur mustahil akan dapat ilmu secara umumnya. g. Hendaknya murid memperlakukan dirinya dengan sifat wira'i (menjauhi perkara syubhat) dalam semua perkara, pembuatan bersungguh-sungguh meneliti kesalahan dalam makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan semua
hal
yang
dibutuhkannya,
supaya menyinari
hatinya dan
diterimannya ilmu. Murid hendaknya tidak menerima perkara hanya melihat secara syara’ selagi dia bisa untuk bersifat wira'i tidak menggunakannya kecuali ada kebutuhan atau bagian yang diperolehkan tetapi lebih dari itu, untuk mencari derajat yang tinggi. Hendaknya murid melaksanakan keringanan (rukhshoh) sesuai tempatnya ketika dibutuhkan adanya sebab untuk diikuti. h. Murid menyedikitkan makanan yang menjadi sebab dominan bodoh, lemahnya panca indra sepereti makan apel masam Baqilia (sejenis sayurmayur) minum cuka. Begitu juga makan yang menimbulkan riak (lendir dikepala) yang bisa membuat bodoh hati, memberatkan badan berupa berupa makan berlemak seperti susu, keju, ikan dan semisalnya. Hendaknya bagi murid menggunakan perkara yang Allah menjadikan sebab bagus hati seperti makan anggur diwaktu pagi, air
67
mawar, dan sebagainya. Hendaknya menjahui perkara yang dapat berakibat lupa secara tertentu seperti makan sesuatu bekas gigitan tikus, membaca nisan di perkuburan, masuk antara dua unta yang di pasung, menjatuhkan kutu (dalam keadaan hidup) adapun hal ini telah teruji kebenarannya. i. Murid hendaknya menyedikitkan tidur selama tidak membahayakan untuk badan dan hatinya, serta dilarang untuk menambah porsi tidur dalam sehari semalam diatas delapan jam (sepertiga waktu), jikalau bisa menyedikitkan dari waktu diatas maka lakukanlah. Diperbolehkan mengistirahatkan badan, penglihatannya jika ia telah bosan terhadap sesuatu boleh juga jika telah merasa lemah dengan cara menyegarkan kembali (refresing). Segera kembali ke keadaan semula, bila semuannya telah merasa kembali selagi dia tidak menyia-nyiakan waktu. Diperbolehkan menghilangkan perkara bosan dengan cara olah raga badan dan berjalan-jalan karena berjalan-jalan adalah olah raga yang paling baik telah dikatakan juga bahwa dengannya bisa membangkitkan panas tubuh, menghilangkan kelebihan campuran zat beracun yang memberi semangat terhadap badan. j. Murid hendaknya meninggalkan banyak bergaul karena meninggalkannya merupakan perkara yang paling penting. Seyogyanya bagi pencari ilmu tidak bergaul dengan lawan jenis. Adapun pergaulannya hanya menyia-
68
nyiakan umur tanpa faedah, menghabiskan harta, merendahkan harga diri. Bila dalam hal ini (bergaulnya) tidak ahli dalam menggunakan harta dan menghilangkan agama bila bukan ahli agama. Murid hendaknya tidak bergaul kecuali dengan orang yang memberi
manfaat
dan
dapat
mengambil
manfaat
darinya
bila
menginginkan seseorang sebagai teman hendaknya bersahabat dengan orang yang shaleh, beragama, bertaqwa, wira'i, cerdas, lebih banyak perbuatan baik dari pada jeleknya, mempunyai peran, sedikit bertengkar, bila lupa ia mengingatkan dam bila ingat maka ia menjaganya. 2. Etika Peserta Didik Terhadap Pendidik Menurut Ibnu Jama’ah Dalam pembahasan di bawah ini, terdapat tiga belas etika peserta didik terhadap gurunya. Perlu diperhatikan bahwasannya guru adalah sebagai unsur pokok dalam seorang murid. Mendapat ilmu yang bermanfaat, karena ridho guru merupakan salah satu kuncinya. Adapun ketiga belas etika sebagaimana berikut: a. Sesungguhnya bagi murid mendahulukan memilih guru dan istikharah kepada Allah kepada siapa dia akan mengambil ilmu darinya. Hendaknya mengambil guru yang bagus akhlak dan adabnya bila memungkinkan sempurna keahliannya, nyata kasih sayangnya, jelas wibawanya, dikenal sifat ‘ifahnya (menjaga diri dari meminta-minta), bagus metode
69
mengajarnya dan tidak suka terhadap murid yang mencari ilmu yang tidak memiliki sifat wira’i, agama atau tidak berakhlak baik. Sebagian ulama salaf mengatakan ilmu itu agama, maka lihatlah dari mana engkau (murid) mengambil agama. Hendaknya tidak membatasi diri dari mengambil ilmu dari orang yang sudah mashur dan meninggalkan mengambil dari orang yang tidak mashur karena hal ini termasuk dari perilaku sombong terhadap ilmu dan menjadikannya dungu. Bila ingin menghasilkan ilmu yang sempurna hendaknya murid mencoba perbuatan orang-orang salaf dan khalaf. Murid akan menemukan kemenangan terhadap guru yang bertaqwa. Hendaknya murid bersungguh-sungguh mencari guru yang mempunyai ilmu syari’at tinggi dan mendapat pengakuan (dikukuhkan) oleh guru lain pada masa tersebut, mempunyai hubungan kemasyarakatan yang luas. b. Murid harus patuh terhadap guru dalam segala perkara. Tidak diperkenankan keluar dari pengawasan beliau, selalu berada di dekatnya seperti seorang yang sakit didampingi oleh seorang dokter ahli. Bermusyawarahlah dengan guru terhadap perkara yang menjadi tujuan dan bersungguh-sungguh mendapatkan Ridha guru, terhadap perkara yang dijadikan pegangan, bersikap menghormati serta mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan lantaran melayani guru. Tidaklah
ilmu
diperoleh
kecuali
dengan
tawadu’
dan
mendengarkan perkataan ketika guru memberi isyarat terhadap murid
70
dikala belajar maka ikutilah. Meninggalkan pendapat beliau adalah kesalahan murid karena perkara ini lebih bermanfaat dari pada benarnya murid dalam dirinya. Allah telah mengingatkan hal tersebut dalam Nabi Musa dan Hidhir AS. c. Murid memandang guru dengan pandangan yang mulya dan beri’tikat guru mempunyai derajat sempurna, hal ini lebih membawa manfaat. Sebagian ulama salaf bila menginginkan menghadap gurunya maka ia bersedekah.
Hendaknya
tidak
berbicara
dengan
menggunakan ta’ khathāb dan kaf khathāb (contoh:
buruk
dengan
h َ IْU َاc َ Eْ ْ َاcFِ dengan
menampakkan huruf ta’), tidak diperbolehkan memanggil dari jarak jauh. Adapun memanggil beliau dengan panggilan sayid (n;I7
>IE atau ىGI7ا
>IIE).
9Q>IINQ>ا¢Eا
Imam Khothib menambahkan dengan memanggil
Â=>IISQ>ا¢Eا
atau
tidak menyebut nama beliau, kecuali penyebutan nama
tersebut untuk menunjukkan pengagungan. d. Murid hendaknya mengetahui hak guru dan tidak lupa terhadap keutamaan beliau. Syu’bah berkata: “ketika aku mendengarkan hadits dari seseorang maka aku menjadi budaknya seumur hidup”. Hendaknya mendoakan terhadap guru diwaktu hidupnya, menjaga keturunannya, kerabatnya dan tanggungan guru setelah beliau wafat, melakukan ziarah kubur beliau,
71
memintakan ampunan, shodaqah, menjaga ilmu dan agama, mengikuti gerak-gerik dan diamnya guru, ibadah beliau serta tata krama beliau. e. Bersabar atas perilaku guru berupa perilaku buruk dan tidak membelokkan hal tersebut dari ketetapan dan bagusnya aqidah. Mentafsiri bahwa perbuatan yang tampak tersebut adalah benar. Menisbatkan perbuatan tersebut
ditujukan
kepada
murid
bahwa
sesungguhnya
untuk
melanggengkan cinta terhadap guru, menjaga hatinya, bermanfaat bagi murid di dunia dan akherat. Sebagian ulama salaf berkata “barang siapa tidak sabar terhadap hinanya belajar maka dalam seumur hidup dia akan berada dalam kebutaan bodoh dan bagi orang yang sabar maka akan mendapat kemulyaan dunia dan akhirat. f. Hendaknya murid berterima kasih atas segala yang diajarkan yang di dalamnya terdapat keutamaan dan peningkatan atas kekurangan atau malas mendatangi, sembrono menetapi peringatan petunjuk. Semua ini termasuk dari guru yang menjadi nikmat Allah, sebagai bentuk perhatian guru, motivasi terhadap mashlahah. g. Hendaknya murid tidak masuk ke dalam majelis umum guru kecuali dengan izin beliau. Sama halnya ketika beliau dalam keadaan sendiri. Bagi murid ketika menghadap guru dengan sempurna (baik) suci badan dan pakaian. Kapan saja bila masuk dalam majelis guru sedangkan guru dalam keadaan berbicara dengan orang lain, maka murid hendaknya diam. Ataupun ketika guru dalam keadaan shalat, menulis, berdzikir, muthalaah,
72
maka jangan mengawali pembicaraan, menghindari berbicara panjang lebar kecuali memang telah diperintahkan. Bagi murid hendaknya ketika menghadap guru dalam keadaan hatinya kosong dari kesibukan, hatinya bening, tidak dalam keadaan mengantuk, marah, lapar dan haus yang sangat. Hal ini bertujuan untuk melapangkan dadanya dalam menerima apa-apa yang diterima. Tidak menuntut terhadap guru untuk membacakan pelajaran dalam keadaan waktu yang payah. h. Hendaknya murid duduk di depan guru dengan sikap duduk yang baik yaitu duduk bersila dengan tawadu’, tunduk, khusyu’, diam, menghadap guru dengan menundukkan kepala, memandang guru dan menerima pelajaran. Tidak diperkenankan menoleh ke kiri, ke kanan, atas, bawah tanpa ada kebutuhan. Tidak bersandar di tembok satir (tembok penghalang), tidak berbicara secara berlebihan, tidak tertawa terhadap perkara yang lucu dari diri guru, tetapi bila senyum telah menjadi kebiasaan maka boleh senyum tanpa ada suara sekalipun. Tidak boleh berpangku tangan, mengeluarkan dahak dan meludah. i. Menyantunkan ucapan dengan guru dan tidak mengatakan kata tidak secara
langsung
sebagai
penyanggah
tetapi
dengan
cara halus.
Menghindari berseteru dalam pelajaran, menjaga ucapan terhadap guru, tidak pantas murid mengatakan
© َ Iِb ÃIْE ِا. Berhati-hati dari ucapan yang
73
dapat mengagetkan guru, berupa penolakan. Hal ini terjadi bagi murid yang tidak bagus adabnya terhadap manusia. j. Jika mendengarkan guru yang menuturkan cerita dalam suatu masalah, faedah yang asing, menembangkan syair, dan murid telah hafal, maka hendaknya murid mendengarkan cerita tersebut dengan seksama mengambil faedah darinya seperti belum pernah mengerti sekalipun. Hendaknya murid tidak mengulang-ngulang pertanyaan yang belum diketahui atau belum dipahami karena hal itu merupakan menyianyiakan waktu. Sebagian dari guru membiasakan sesuatu secara perlahanlahan. Jikalau murid tidak mendengar perkataan guru, atau tidak paham terhadap ucapan guru dikarenakan terlalu menunduk, maka murid meminta untuk mengulangi dan memahamkan setelah menjelaskan dengan cara yang halus. k. Murid tidak mendahului guru dalam menjelaskan suatu penjelasan dari masalah atau jawaban pertanyaan darinya atau orang lain. Tidak menampakkan pengetahuan yang dimiliki terhadap penjelasan sebelum guru. Bila guru meminta dari murid terlebih dahulu maka hal ini diperbolehkan. Hendaknya murid tidak memutus pembicaraan guru dengan ucapan yang mendahului, tidak berebut dengan yang lainnya, tetapi murid bersabar hingga guru selesai berkata baru murid berbicara. Murid dilarang
74
berbincang-bincang dengan jama’ah yang lain yang mana guru sedang berbincang-bincang dengannya atau jama’ah majlis. Hendaknya hati murid selalu mengikuti pelajaran dalam setiap waktu, sekiranya bila diperintahkan terhadap sesuatu masalah, ditunjuk guru tidak usah mengulangi kembali tetapi bergegas terhadap gurunya. Tidak boleh mengulang-ngulang
terhadap sesuatu atau menyangka
terhadap sesuatu dengan berkata “seandainya perkara ini begini”. l. Bila murid menerima sesuatu dari guru, maka murid menerima dengan tangan kanan. Jikalau pemberian tersebut berupa kertas pelajaran, kumpulan fatwa, cerita, tulisan syara’, maka murid membentangkannya dan menyerahkannya kembali. Murid tidak mengembalikan kertas tersebut dalam keadaan dilipat kecuali bila guru memberi isyarat untuk dilipat. Ketika guru memberikan kitab, murid menerimanya dengan bersiap-siap
membuka,
membaca,
tanpa
membutuhkan
untuk
memutarnya. Jika perlu untuk menganalisa di bab tertentu di dalam kitab hendaknya dengan dibuka adalah bab tersebut. Hendaknya murid tidak memanjangkan tangannya ketika menerima sesuatu jikalau tempatnya jauh. Begitu juga bagi guru tidak terlalu memanjangkan tangannya untuk mengambil sesuatu dari murid atau memberinya, hendaknya mengambil dengan cara murid berdiri dan guru tidak beranjak dari tempatnya. Jika duduk di depan guru maka cara mengambilnya adalah dalam keadaan
75
tidak terlalu dekat dengan guru. Terlalu dekat tersebut dapat dinisbatkan terhadap jeleknya budi pekerti. Bila guru memberikan pena kepada murid untuk dipanjangkan maka panjangkanlah dan dalam keadaan mata pena terbuka sehingga siap untuk menulis dengannya. Jikalau guru hendak berdiri maka bersegeralah menata alas kaki beliau bila tidak ada keberatan dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah SWT. m. Jikalau berjalan bersama guru hendaknya berada di depan ketika waktu malam dan berjalan di belakang ketika waktu siang. Kecuali jika menuntut untuk kondisi sebaliknya dalam keadaan berdesak-desakan dan selainnya. Mendahului pijakan tanah karena belum diketahui kondisinya semisal becek, telaga atau tanah yang berbahaya, menjaga percikan terhadap pakaian guru, bila berada dalam kondisi ramai, maka menjaga dengan kedua tangannya berada di depan atau di belakang guru. Bila berjalan di depan guru hendaknya sering menengok ke belakang. Jika hanya sendirian bersama guru dan diajak berbicara hendaknya berada di sebelah kanan guru. Tidak diperbolehkan berjalan di sampingnya kecuali ada hajat dan ditunjuk oleh gurunya. Bila bertemu guru di jalan hendaknya mengawali dengan salam jika dekat, tidak boleh mengucapkan salam dan memanggilnya dalam keadaan jauh.
76
3. Etika Peserta Didik Terhadap Pelajarannya Menurut Ibnu Jama’ah Dalam bab ini ada tiga belas pembagian yang mana mencakup di dalamnya etika terhadap pelajaran dan ketika membaca serta hal-hal yang dijadikan pegangan bersama guru dan teman-teman. Adapun pembagian tersebut ialah:98 a. Hendaknya mengawali belajar dengan kitabullah disini wajib menekankan aspek hafalan dan bersungguh-sungguh untuk memperkuat dengan tafsirnya serta ilmu yang berhubungan. Hal ini dikarenakan ilmu tafsir adalah induk dari segala bidang ilmu jadi, penting untuk dipelajari. Lalu murid menghafal dari setiap bidang ilmu yang di dalamnya meringkas hadist beserta ilmunya, ilmu ushul, nahwu, shorof, jangan hanya menyibukkan diri terhadap belajar al-qur'an dibaca setiap hari baik pagi maupun sore terutama hari jum'at. Hendaknya menjaga hafalan dari kelupaan setelah peserta didik tersebut hafal. Peserta didik mengambil suatu bidang ilmu dengan cara belajar yang baik serta menjaga perasaan guru. b. Murid hendaknya tidak terjebak dengan perselisihan (Ikhtilaf) ulama dan antar manusia secara mutlaq tentang masalah aqliyah dan sami'iyāt, karena bisa membawa kepada kebimbangan hati dan akal. Sebelumnya peserta didik harus menguatkan dengan suatu kitab dalam suatu bidang ilmu atau boleh satu kitab yang memuat beberapa bidang ilmu tetapi 98
Ibid., 112-163
77
dengan jalan telah diridhai oleh guru. Hendaknya menjauhi metode guru yang hanya mengambil pemahaman madzhab dan ikthilaf, tetapi tidak memberikan pegangan terhadap suatu mahzab. Hal ini akan membawa dampak yang buruk dari pada segi positifnya. Murid juga dilarang pada permulaan dia belajar mentalaah berbagai macam karangan kitab yang berbeda-beda karena hanya menyia-nyiakan waktu dan membingungkan. c. Sebelum menghafal hendaknya murid menstashih terlebih dahulu baik ditashih oleh guru atau yang lain. Yang sekiranya dapat mengukuhkan pelajaran. Hendaknya mengafalkan secara telaten hingga baik dan di ulang-ulang. Disarankan untuk membawa peralatan tulis menulis secara lengkap meliputi pena, tempat tinta, dan alat peruncing pena murid memberi harokat yang benar dalam hal bahasa dan ‘irob serta catatan penting pembenaran dari guru. d. Menyibukkan diri terhadap ilmu hadis dengan malihat sanad rowi mana hukum faedah, bahasa dan sejarahnya. Lebih utama belajar hadis dari shahih bukhari dan shahih muslim serta ilmu pokok yang dijadikan pegangan seperti kitab al-Muwatha’ karya Imam Malik bin Anas, Sunan Abi Daud al-Nāsāi, Ibnu Mājah, al-Tirmidzi, musnad al-Syafi'i. e. Ketika guru menjelaskan syarah, ringkasan, garis-garis penting dalam menguraikan pelajaran yang sulit, faedah penting, maka diperbolehkan membahas keilmuan yang lebih luas serta mentelaah secara terus menerus dan menta’liq (menggabungkan) apa yang didengar berupa masykilat-
78
musykilat, perbedaan antara hukum yang hampir serupa dalam cabang ilmu. Murid tidak boleh merasa cukup dengan pemahaman yang dimiliki atau dia meremehkan kaidah yang ditulis, tetapi bersegaralah menta’liq dan menghafalnya. Hendaknya belajar ilmu dikala masih muda karena mempunyai semangat yang tinggi. f. Mengikuti
halaqoh
gurunya
dalam
setiap
palajaran.
Dan
bila
memungkinkan untuk dibaca karena akan memberikan dampak yang baik yaitu sopan satun. Bila dimungkinkan lagi tidak merasa cukup hanya dalam halaqoh saja tetapi kesadaran. Hendaknya murid (di dalam halaqoh) memperhatikan dengan sunggguh-sungguh terhadap penjelasan baik berupa harakat, ta’liq penukilan dan lain-lainnya. Apabila murid tidak mendapatkan teman belajar makna dia belajar sendiri dan mengulangulang arti yang telah diterangkan berupa ma'na dan lafad didalam hatinya supaya berkesinambungan dengan suara hati seperti mengulangya lafad dalam tulisan. g. Jika hadir dalam majlis gurunya hendaknya mengucapkan salam kepada hadirin dengan suara yang bisa didengar oleh semuanya, terutama oleh guru. Hal ini untuk menambah rasa hormat dan memulyakan begitu juga dalam keadaan akan pulang. Tidak boleh melompati pada hadirin jika akan mendekat terhadap guru. Murid duduk sampai selesai dalam halaqoh tersebut tidak boleh membuat berdiri (mengusir) orang lain. Dilarang mendesak (desak-desakan) secara sengaja. Bila guru berada didepan maka
79
berada disamping kanan atau kiri, sedangkan bila berada di pinggir maka orang yang sekiranya pantas (derajatnya luhur) berada disamping guru. h. Adab terhadap teman-teman didalam majlis hendaknya murid mempunyai tata krama kepada orang yang hadir dalam majlis gurunya. Bahwasanya bertatakrama kepada temamnya termaksuk juga memulyakan gurunya. Tidak diperbolehkan duduk ditengah-tengah hadirin atau didepan seseorang kecuali dalam keadaan darurat sesuai dengan izin dari keduanya. Tidak boleh duduk diatas (pangkuan) orang yang lebih utama. Seyogyanyalah memberi sambutan atas kedatangan orang yang baru tiba menghindari dari kata kotor atau tercela, tidak memperluas posisi duduk karena akan mengganggu yang lain. Tidak boleh berbicara sendiri pada waktu ditengah pelajaran atau berbicara yang tidak menyangkut pelajaran atau memutuskan pembahasan berbicara tentang pelajaran yang tidak ada maknanya. Tidak diperbolehkan mengejek atau menegur atau membentak orang lain kecuali mendapat izin dari guru. Diperbolehkan menegur dengan halus dengan cara menasehati. Tidak boleh ikut andil dalam berbicara walaupun dia lebih faham terhadap pembahasan tersebut. i. Murid hendaknya tidak malu bertanya tentang sesuatu yang dianggap Musykil serta berusaha untuk faham. Hendaknya bertanya dalam keadaan pelan-pelan dan adab yang baik. Diibaratkan orag yang tipis wajahnya (pemalu) maka akan tipis pengetahuannya. Para pembesar (imam) juga berkata: "seorang yang malu bertanya maka tidak boleh ditanya". Apabila
80
Guru bertanya terhadap segi kefahaman, maka murid dilarang berkata" ya" bila belum paham. j. Murid hendaknya menjaga giliran tidak mendahului yang lainnya kecuali mendapat Ridla dari orang lain tersebut. Di makruhkan mendahulukan giliran kepada orang lain kecuali ada hajat. Apabila ada dua siswa yang memiliki giliran sama maka diundi atau dengan cara baru memilih untuk mendahulukan salah satunya. k. Seyogyanya menjaga posisi duduk yaitu berada di depan guru serta menjaga adab terhadap Guru baik ketika berdo'a bersama dengan kitab Allah tidak boleh membaca pelajaran atau (sorogan) di depan guru bila guru dalam keadaan sibuk (hatinya sumpek), malas, susah, marah, lapar, haus, mengantuk ingin menyediri, lelah. Apabila melihat guru ingin berhenti tanpa mengucap: “saya berhenti disini”. Bila diminta berhenti oleh guru maka harus berhenti tidak boleh melebihi batas yang telah ditentukan. Tidak diperbolehkan berkata kepada yang lain “cukup sekian” kecuali dengan izin guru. l. Membuka pelajaran ketika sampai pada gilirannya serta meminta izin
guru.
Jika
ta’āwudz (9 ِ ;ْ ِ Wg IQا (
guru
mengizinkan,
ن ِ >َ;ْ « g IQ اc َ Fِ e ِ >ِb ْ ُذ5IُL)َأ,
9ِ ;ْ o ِ Wg IQ اc ِ CْoWg IQ اe ِ ا9ِ ْ Iِb
َ AgIَ7َو sholawat ( 9
telah
maka
lalu membaca
), membaca hamdalah (
membaca basmalah
e ِ ِ nُ IْCS َ Qْ َا
) serta
ِ Yِ S ْ Iَ¹ ِ َوIِQ َاaIَAL َ َوnٍ Cg S َ Fَ >َUnِ ;ِّ 7 َ aَAL َ aAِّ¹ َ 9g ¢ُ AgQَ) ا
81
lalu mendoakan guru, kedua orangtua, gurunya guru, dirinya sendiri dan semua golongan muslim. Hal ini disarankan dalam keadan muthala'ah, mengulang-ulang, belajar dan menghadap guru atau bila guru tidak ada dan berdoa. Untuk menghormati pengarang kitab ketika ia membaca pada saat berdoa (disela-sela do'a) kepada guru berkata berdoa (
e اI²ر
(©IQ ذ5ISU @> )اوF >F@> و ا ;ª cL او9:@L ) yang ditujukan kepada guru dan ketika selesai dari balajar juga mendo'akan lagi. Jikalau murid meninggalkan do'a pada permulaan dikarenakan bodoh atau lupa maka segera diingatkan karena perkara diatas merupakan perkara penting dan tatakrama yang guru menganjurkan padanya. Adapun guru membahas terhadap doa murid tersebut. m. Memberi motivasi siswa untuk berhasil menghasilkan ilmu, menunjukkan menghindari kerusuhan meringankan biaya ongkos mereka dan mengingat perkara yang bisa membuat berhasil barupa faedah-faedah, kaidah-kaidah perkara yang asing dan memberi nasihat dengan nasihat agama. Diharapkan dengan perkara tersebut dapat menyinari hati, amalnya berkembang. Barang siapa yang bahil maka ilmunya tidak akan tetap apabila tetap, maka tidak menyinari hatinya. Dan telah dibuktikan oleh segolongan ulama salaf mereka tidak sombong dengan indahnya hati terus memuji Allah akan tambahnya nikmat.
82
4. Etika Peserta Didik Terhadap Kitab dan Literatur Yang Digunakan Menurut Ibnu Jama’ah Dalam pembahasan ini menerangkan tentang etika peserta didik terhadap kitab yang digunakan. Yang mana kitab merupakan salah satu alat ilmu. Disini dijelaskan tentang etika membetulkan (tashīh), mengoreksi kitab.. Disini terbagi dalam sebelas pembahasan diantaranya adalah: a. Sebaiknya bagi seorang pelajar mementingkan dalam memperoleh buku atau kitab yang dibutuhkan. Bila tidak bisa selagi membelinya maka dengan menyewa atau meminjam. Hal ini dikarenakan kitab merupakan suatu alat untuk mencapai suatu keberhasilan tetapi seseorang dilarang terpaku hanya untuk memperoleh kitab dijadikan keberuntungan suatu ilmu. Adapun mengkoreksi kitab mempunyai dampak terhadap kefahaman murid. Dilarang untuk memfokuskan perhatiannya dalam hal memperbaiki (memperindah) tulisannya, akan tetapi hendaknya yang perlu diperhatikan adalah kebenaran yang tepat dilarang meminjam kitab selagi dia mampu untuk membeli atau menyewa. b. Diperbolehkan meminjam kitab bagi atau terhadap orang yang merasa tidak dirugikan sebab orang yang meminjam kitab tersebut. Karena ada suatu golongan yang tidak suka meminjamkan kitab. Hendaknya meminjamkan kitab karena didalamnya terdapat unsur menolong terhadap ilmu serta mutlaqnya pinjam-meminjam berupa pahala dan keutamaan. Bagi peminjam hendaknya berterima kasih kepada orang yang memberi
83
pinjaman. Tidak boleh membawa kitab tersebut dalam jangka waktu yang lama tanpa ada hajat, hendaknya peminjam segera mengembalikan bila sudah selesai tanpa menunggu diminta untuk mengembalikannya meskipun orang yang memberi pinjaman tidak membutuhkan kitab tersebut, bagi peminjam dilarang merubah tulisan tanpa seijin pemiliknya. Tidak boleh menghitamkan tulisan, meminjamkan kepada orang lain atau menitipkannya tanpa ada udzur Syar'i, menyalin tanpa ijin pemilik kitab. Bila kitab tersebut adalah kitab wakafan kepada orang yang tidak jelas diperbolehkan untuk menyalinnya dengan tetap menjaga dan hati-hati dilarang menulis bila wadah tinta diletakkan di atas kitab tersebut. c. Apabila menyalin kitab atau sedang membacanya tidak boleh diletakkan di atas tanah tetapi diletakkan diatas meja atau sejenisnya supaya tidak cepat terputus ataupun rusak (sobek), serta biar tidak kotor. Bila kitab diletakan di kayu dan sejeninya. Hendaknya diletakkan di suatu yang dapat mencegah kulit kitab dimakan oleh anai-anai (hama) dengan cara menutupkan dua kitab, serta mengikatnya atau dengan cara lain. Menjaga sopan satun terhadap kitab dalam meletakannya karena ilmu yang ada didalamnya. Menghormati atau memulyakan terhadap pengarangnnya bila didalamnya terdapat bacaan al-Qur'an hendaknya meletakkan kitab tersebut berada paling atas dari pada kitab lain. Yang lebih utama ialah meletakannya dengan menggantungkan didinding yang bersih ditenga ruangan. Sedangkan berada dibawahnya ialah kitab hadis, ushuluddin,
84
ushuludin fiqih, syaraf, syair-syair arab, dan sebagainya. Apabila ada kitab yang sama berbobot maka dicari yang lebih banyak tulisan al-qur'an atau hadisnya. Bila sama dari segi bobotnya, maka kemulyaan pengarang yang membedakannya dan bila masih sama maka yang lebih mana dulu ditulis dan lebih banyak dijadikan pegangan oleh ulama’ dan dipilih yang lebih benar. Tidak banyak menaruh tanda berhenti membaca (pembatas buku). Hal ini dikarenakan akan mudah merusak kitab dan terpotong-potong atau (sobek). Tidak boleh menjadikan kitab sebagai tumpuan kitab lain terlebih bila kitab tersebut lebih tipis dan kitab yang menumpunya lebih tebal. Dilarang melipat bagian dalam kitab tersebut sehingga cepat rusak tidak menggarukkan buku pada kitab tersebut dengan keras. d. Apabila meminjam kitab sebaiknya meminjam kitab yang ia tidak mempunyainya kemudian mengembalikannya. Bila menginginkan untuk membeli kitab maka di cek terlebih dahulu bagian awal tengah, akhir kitab tersebut urutan bab-babnya, membuka kertasnya, mempertimbangkan kebenarannya. Jika waktu untuk mengoreksi sempit maka melihat dalam kitab tersebut perkara yang benar maka diakui akan kebenaran kitab tersebut. e. Apabila menyalin sesuatu yang ada pada kitab ilmu syariat sebaliknya dalam keadaan suci, menghadap kiblat suci anggota badan, memakai minyak wangi suci, memulai setiap tulisan dengan basmalah. Bila tulisan
85
tersebut merupakan permulaan maka diawali dengan kata pengantar berupa pujian kepada Allah SWT, sholawat kemudian menulis yang ada pada kita tersebut. Bila telah selesai (sempurna) suatu tulisan maka ditulis nama penulis karena yang demikian itu dapat banyak faedahnya. Setiap menulis lafad Allah maka disertakan dengan mengagungkan seperti maha luhur (wata'ālā, subhānalah, ‘azawajala). Bila menulis nama nabi dibubuhkan pula sholawat dan salam kepada beliau serta mengucapnya dalam lisan juga hal ini telah menjadi adat ulama’ salaf dan kholaf. Dengan harapan sesuai perintah dalam al-qur'an. Dilarang meringkas dalam menulis sholawat walaupun berkali-kali setiap barisnya sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang yang menulis
ÄAI¹ ,9AI¹ ,9NAI¹
karena yang demikian itu tidak pantas terhadap
sholawat dan salam. Sedangkan dalam penulisan sahalawat dan salam yang lengkap tanpa meringkasnya telah memberi pengaruh yang banyak. Bila menyebutkan nama sahabat apalagi para pembesar dari golongan mereka, maka dan
salam
ditulis pula I@L terhadap
e اaI² رdan tidak menulis sholawat
seseorang
kecuali
kepada
nabi
dan
juga
malaikat. Sedangkan bila menyebut salah satu ulama salaf maka diikuti pula eا
Co رjuga para pemimpin yang alim dan petunjuk agama islam.
86
f. Seyogyanyalah menghindari menulis dengan tulisan kecil bahwa sesungguhnya tulisan adalah merupakan symbol maka lebih jelas-jelasnya tulisan adalah tulisan yang bagus. Jika melihat tulisan yang kecil maka berkata: “tulisan ini sebagian ulama tidak diyakini orang sebagai tinggalan”. Sebagian lagi juga berkata: “tulislah perkara yang memberi manfaat dalam waktu butuh dan janganlah menulis sesuatu yang tidak bermanfaat dalam waktu butuh”. Adapun makna dari waktu butuh adalah waktu
dewasa
seseorang
dan
lemahnya
penglihatan.
Sebagaian
pengembara bermaksud menulis kecil dikarenakan untuk lebih ringannya membawa tulisan. Adapun hal ini bertujuan betul kecuali masalah yang hilang dalam suatu perkara itu lebih besar dan mashalahah ringannya membawa. Adapun menulis dengan tinta hibr (tinta dengan wadah atau bolpoin) lebih utama dari tinta midād (tinta tanpa wadah) karena lebih melekat. Ulama menyarankan pena tidak terlalu keras karena dapat menghambat penulisan menulis cepat. Begitu juga sebaiknya harus keras dan tidak terlalu lunak karena cepat kering (aus) ulama juga menyarankan bila ingin menulis bagus maka panjangkan mata pena tebalkan dan rautlah miring ke kanan hendaknya pisau peraut pena sangat tajam digunakan khusus untuk meraut pena dan menyobek kertas. Pisau jangan digunakan
87
untuk selainnya. Hendaknya alat untuk memetong pena haruslah sangat tajam. Ulama menilai bagus (pena) terhadap bambu persi batang abinus yang keras dan mengkilat. g. Jika murid ingin membenarkan tulisan dengan cara membandingkan dengan tulisan asli atau terhadap guru sebaiknya untuk memberi harokat yang sulit, titik yang perlu diberi titik dan memberi perhatian yang khusus meneliti tempat-tempat (alenia) yang perlu ditashih. Jika menginginkan untuk memberi keterangan terhadap keterangan tambahan di hasyiah maka lakukanlah penulisan tersebut dan memberi keterangan penjelasan di dalam hasyiah dengan terperinci. Contohnya, pada lafadz didalam hasyiah disebutkan ditulis
OIEWo
maka
>ءIo dan راءtanpa titik. Kemudian
sesudahnya ada ya’ akhir dan sesudahnya زاءatau dengan 9;I
,>ءE yang
akhir antara dua راءtanpa titik atau serupa dengan itu yang telah berlaku dengan jelasnya penulisan huruf yang menerima titik. Para ulama menjadikan titik dengan adanya itu sebagai tanda mengganti titik atau menceritakan seperti mengganti titik yang sama lafal atau mengharokati kecil seperti bulan sabit. Hendaknya menyalin tulisan yang telah ditashih. Dan dijelaskan adapun tulisan tadi didalam posisi ragu ketika mentelaah atau kemungkinan kecil
>ءIo kecil yang ditulis diatas
karangan naskah salah menulis contohnya lafad
اIIIآ
kecil di
88
hasyiah. Maka benarnya menulis kepala shād tanpa disambung ditulis di atas awal yang benar. Adapun bila telah bisa, maka menambahkan kepala shad dan mempunyai arti jika sudah benar. Jikalau hal ini terjadi didalam penulisan berupa satu kalimat maka tulisan tersebut ditulis diatasnya berupa huruf
3 dan menandai diatasnya.
Walaupun tambahan lafad permulaan kalimat atau menulis huruf di akhir tulisan berupa lafad
aIIQ ا.
3 dan
Adapun maknanya adalah gugur
sampai sini. Jika ditandai kesemuannya dengan jalan dicoret tipis maka akan tertera maksudnya. Dilarang menghitamkan kertas atau memberi titik-titik di tempat tulisan. Jikalau ada kalimat yang berulang-ulang dikarenakan penulis lupa maka dicoret yang kedua karena yang pertama berada diakhir garis maka dicoret merupakan cara efektif untuk menjaga awal garis kecuali bila disandarkan terhadap tulisan pertama, maka dicoret di atas garis kedua lebih utama untuk menghubungkan dengan yang disandari. h. Jika menginginkan suatu takhrij dalam suatu hasyiah maka dinamakan tahqīq. Adapun cara menulisnya dengan menulis condong kearah kanan lebih utama jika memungkinkan lalu menulis tahrij suatu tanda menuju keatas kertas tidak menurun ke bawah untuk menjaga tahrij sesudahnya dan menjadikan kepala huruf menuju arah kanan tulisan atau kekiri.
89
Seyogyanya murid menghitung kesalahan menulis yang berada dibaris sebelum ia menulisnya. Jikalau ada dua baris atau lebih jadikan akhir baris tadi dekat dengan tulisan yang mengiringi tulisan, bila kesalahan baris itu disebelah kanan. Dan bila berada disebelah kiri jadikan garis yang pertama dekat dengan tulisan. Penjelasan dapat dihapus beberapa kali bila dibutuhkan serta ditulis diakhirnya tahrij berupa lafat
ÄI¹
ada juga
sebagai ulama yang menulis kalimat setelah akhir kalimat didalam matan suatu kitab sebagai tanda bersambung kalimat. i. Di perbolehkan menulis hasyiah, faedah catatan penting dalam hasyiah kitab yang dimiliki dan jangan menulis lafad
ÄI¹ diakhirnya kalimat.
Sebagian ulama menulis hasyiah faedah berada diakhir kalimat. Dan tidak menulis kecuali faedah pentingnya berhubungan dengan tulisan tersebut seperti peringatan terhadap tanda baca, rumus tulisan yang salah dan lainlain. Tidak boleh mengutip beberapa masalah cabang-cabang yang langka dan tidak boleh memperbanyak catatan kaki hingga mempergelap kitab atau menyia-nyiakan catatan tempat harfiah. Seyogyanya tidak boleh ada tulisan antara garis-garis, tetapi ada sebagian ulama’ yang menulis dengan
menggunakan
tinta
merah
meninggalkan perkara ini lebih utama.
sebagai
pembeda.
Adapun
90
Selanjutya Ibnu Jama’ah menambahkan dengan memberikan contoh rumus-rumus dan cara mentakhrij yang benar adalah sebagaimana berikut:
@?> ا<ولABCزاEFرا 9A7 ; وAL e اaA¹ eل ا57 رp=_>د YU اa@;Q>CQ اnCSF cb nCo اnN7 5b> اUWYmوا cL دnF>@J RAm 5b اYUى اnL cb nCo ا5bا داسWF cL R_lL cb >دE زcL Wb>o cb nCSF .Ĺ ,WSb l رaF رlان ر
cSQ اYUى اWXCQ اcb nCSF cb aAL cSQ ا5b> اUWYmا >@³ a²>XQب ا5XNE cb Á75E >@³ >قS7 اcb nCSF cb YU>د اE زcb noا5Q اnYL >@³ ه>ب5Q اnYL cb e اnYL ا5 ادرآcEQ@> اm>;ª اYU اR_lL cb >دE زcL >جSQا WSb l رaF رl ان ر9A7 ; وAL e اaA¹ aY@Qا .@F p =>_>د9A7 ; وAL e اaA¹ aY@Q اaJ>= AGX=٧
٧
cIb W:Iª cIb nICo اÇ b Rb5G:CQ اaX¢;YAQ ىWY:Q اc@Q اcF cF>iQء اOQ اR U cF ذ5m>F ¨EnISQ ا9IAL cIF ٢٢٤١ 9_ رhSJ REWCQ اRUاOSQ اa= RÈ5SCQ اaN=>«Qى اWCQ اÁ;7 .٢١٠ ص
>@m5;ª cF RL>C @L >@³ cb nCSF cb nCo ا9¢@F اراnQ _>ل اaFد3;¬ اL>C7ا ٢ a@_
HIJKC@?> اABCز اEFرا WU cb c;SQ> ا¢@F - a7WSQ ا- aU>NCQ_>ل ا _>لpW; وa@EاnCQ>ن اC;A7 cb مl7 وىWE a7WSQا ٧
.a@_ ارnQا
٧
٤٤١ R_ ع ور١٩١٢ R@7 نn;Q a= س5:NQ>b ع5YCQ اaU>NCAQ >بU 3>ب اG آWUا
بJBMC اNOPJQ HRS TUاEVC اWORXY زEFرا
91
>@ ;ª > _>ل¹>_ 3 >CAÈ AG_ اىAGXb ÇYGL اab>SQ _>ل ا٧ هاa= ©Q ذ¥;Q وRAC¢CQ اc;NQ>b U اaAL ح هاlQ اcbا RY¸Q اcF cGCQ اa= >C آR°5X@CQ اc;¸Q>b U اbا5¹ ¬b Ä;S¹ lG_ >@FF ÇYGL اcF 5 وهWm¨ اEno a= RAC¢CQ اc;NQ> اCUوا .9AL اeد وا5_ U>=
c;SQ اcb nCSF W:b 5b اYU; اXQ اW>ه° 5b> اUWYmا >ركYF cb nCSF >@³ aCAQ اÁ75E cb nCo@> ا³ >نXQا >EW زآab اcb e اnYL >@³ >نX دهcb nQ>m >@³ R_nF >@³ ل5XE رداءnQ> اb اhNC7 ل5XJ رداءnQ ام اhNC7 _>ل ¯Uل آ¬ ذ5XE 9A7 ; وAL e اaA¹ eل ا57 رhNC7 >@FF ¬G_ آ> اوW«F >تF cF 3 اpW¸E انe اaL cbم ا5iA آcb aU>>ل هX= nQ>m _>لR_n¹ ا _>لnCNGF C7 Uث اnSE ;b رcb nCSF hNC7 aU>@:Qآ@>ز ا ;AL e اaA¹ eل ا57 رcL ثnSE hF>Q اcb >دةYL @F ¬YXE 9Q AGXb٧ ÇYG ا9³ >@FF ¬G_ cF _>ل9A7 و .لnL 3 ف وW¹
١٠٤ – ص- REWCQ اRUاOSQ اa= RÈ5SCQ اcF>iQء اOQ اcF aX¢;YQ اc@Q اR U WUا
HIJKCز اEF@اCا - >FاWo >F¯ دE 9Q>F >SQ>¹ >X@NF cFCQال اOE 3
>X@NF R;ª>SQ اaAL aX¢;YQ اÇ b >@ ;ª و_>لW¢Q اÁ;m a@NE Q>_ b رRL>° a= >LWF > اىX@NF 9AL اe واpW;
RIÈ5SCQ اcF>iQء اOQ اcF aX¢;YQ اc@Q اR U WUا ١٠٤ - ص- REWCQ اRUاOSQ اa=
j. Diperkenankan menulis bab, terjemah, pasal, menggunakan tinta merah dikarenakan lebih jelas diperkenankan juga terhadap nama, madzab, perkataan, metode, bahasa, atau bilangan. Ulama hadis dan fiqih
92
menggunakan untuk meringkas dan memisahkan antara dua pembatas, seyogyanya pisahkan antara dua pembahasan dengan tempat sendiri. Pena yang tebal tidak boleh sampai menyambung tulisan seluruhnya. Karena akan mengalami kesulitan dalam memahami maksud yang menyianyiakan waktu. Adapun orang yang tidak melakukan hal tersebut berarti termasuk orang yang teliti sekali. k. Pendapat ulama’ memukul-mukul buku lebih utama dari pada mengerik terutama dalam kitab hadis karena didalamnya ada prasangka dan kebodohan. Melakukannya hanya suatu kesia-siaan terkadang dapat melubangi hingga tembus kedalam maka buku tersebut akan lemah. Jikalau menghilangkan titik atau tanda baca maka mengeriknya lebih utama.
Jika
murid
membenarkan
tulisan
terhadap
guru
atau
membandingkan dengan yang lain maka hendaknya memberi tanda berhenti sampai mana ia pelajari atau tujuan dari yang memberi faedah maknanya. Jikalau berada dalam pembahasan mendengarkan hadis tulislah
ÒIAb dalam akhir hadis pertama atau kedua hingga paling akhir maka akan menjadi jelas jumlah bilangannya.
93
BAB IV ANALISA KONSEP ETIKA PESERTA DIDIK PERSPEKTIF IBNU JAMA’AH DALAM KITAB TADZKIRAH AL-SĀMI’ WA AL-MUTAKALLIM FÎ ADAB AL-ĀLIM WA AL-MUTA’ALLIM DALAM PENDIDIKAN ISLAM MODERN
A. Analisa Etika Peserta Didik Terhadap Dirinya Menurut Ibnu Jama’ah Dalam Pendidikan Islam Modern Pemberdayaan peserta didik dapat dilakukan oleh dirinya sendiri dengan cara mengembangkan sikap batin dan mental. Peserta didik benar-benar menampakkan kesempurnaan dan menjauhi nilai yang memberikan pengaruh negatif terhadap dirinya. Dalam bab ini penulis ingin mengemukakan hasil analisis konsep pemikiran Ibnu Jama’ah dalam pendidikan Islam modern diantaranya adalah: Pertama, etika peserta didik terhadap dirinya menurut Ibnu Jama'ah, peserta didik harus memiliki sebuah prinsip yang benar dan suci, menampakkan hal-hal terbaik. Demikian peserta didik senantiasa siap untuk menerima pengetahuan. Hal ini terbukti dari konsep pembersihan hati melalui niat ikhlas. Hal ini sejalan dengan konsep tujuan pendidikan Islam modern yaitu menjadi insan kamil.
94
Kedua, pengembangan potensi yang ada pada peserta didik dapat pula dilakukan oleh dirinya dengan menggunakan waktu belajar secara efektif dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Ibnu Jama'ah menitik beratkan pada usia muda yang ternyata merupakan masa yang tepat untuk dimanfaatkan bagi kepentingan belajar, sebab usia ini kemampuan intelegensi dan potensi lainnya sangat memungkinkan untuk dikembangkan. Dalam pendidikan modern ini anak diklasifikasikan menurut umur sehingga lembaga pendidikan memberikan pelajaran yang mudah anak didik serap sesuai kebutuhan yang ada. Dalam pendidikan modern menganjurkan anak didik mengikuti pelajaran tambahan karena berpedoman pada potensi anak akan cepat berkembang dan sangatlah perlu digali bakat yang ada dimulai pada usia dini terbukti maraknya lembaga pendidikan Islam yang muncul khusus anak balita. Sehubungan dengan hal di atas, Ibnu Jama'ah telah mengajukan konsep tentang penggunaan waktu untuk belajar. Menurut beliau waktu subuh merupakan waktu yang paling baik untuk menghapal, dikarenakan pikiran dalam keadaan jernih, pagi untuk membahas dan diskusi, siang hari untuk menulis dan malam untuk diskusi dan mengkaji ulang. Dapat ditarik kesimpulan peserta didik seyogyanya memiliki jadwal belajar untuk kesehariannya. Hal ini terbukti masih relevannya konsep tersebut dengan pendidikan Islam modern dengan menerapkan full day school dan pondok pesantren.
95
Ketiga, etika yang dikemukakan Ibnu Jama'ah terhadap peserta didik lebih menekankan pada pendidikan rohani atau pendidikan jiwa yang mengarahkan pada pendidikan akhlak dan lebih bersifat sufistik. Meski demikian pendidikan jasmani tetap diperhatikan mengingat jasmani adalah wadah dari rohani. Hal ini juga merupakan hal pokok dalam aktualisasi pencapaian rohani. Ibnu jama'ah dengan konsep etikanya mengatur waktu belajar, waktu makan, tidur, dan hal-hal yang berfaedah lainnya. Dalam pendidikan Islam modern konsep tersebut mulai terkikis dan hanya sedikit yang terus menekankan konsep di atas terhadap anak didik. Keempat, pendidikan rohani atau jiwa adalah pendidikan yang mengarahkan peserta didik dalam membentuk kepribadian akhlak yang luhur, dan mulia. Bagaimana membersihkan hati, mengatur niat, sabar Qana'ah dan bersikap wira'i adalah sebagian dari pendidikan rohani. Mereka harus berhati-hati dalam makan dan minum, hal ini berfungsi untuk menjaga konsentrasi belajarnya tidak terpecah, memori ingatan tetap terjaga dan perlu diingat raga juga mempunyaai hak. Menurut pendapat penulis bahwa penguatan pendidikan rohani atau dilakukan sebagai upaya untuk menyempurnakan, membersihkan, mensucikan serta membawa hati manusia untuk bertaqarub Ila Allah. Kaitannya dengan peserta didik, bahwa hanya dengan pendidikan jiwa, peserta didik dapat dengan sungguh-sungguh mendapatkan ilmu yang dipelajari. Hal ini sejalan dengan
96
pendidikan modern yang diaktualisasikan dengan memasukkan materi olah raga dalam belajarnya sehingga tidak hanya fokus terhadap rohani saja tetapi juga terhadap raga. Kelima, Ibnu Jama’ah juga mengatur konsep hubungan dengan siapakah peserta didik dianjurkan untuk bergaul dengan mempertimbangkan dampak positif dan negatif. Sejalan dengan hal di atas, Ibn Jama'ah memberikan perhatian yang besar terhadap lingkungan. Menurutnya bahwa lingkungan yang baik adalah lingkungan yang di dalamnya mengandung pergaulan yang menunjang tinggi nilai-nilai etis. Pergaulan yang ada bukanlah pergaulan bebas, tetapi pergaulan yang ada batasbatasnya. Hal ini terlihat dari pendapatnya yang mengatakan bahwa peserta didik tidak boleh bergaul dengan lawan jenisnya. Sebab hal itu akan menjadikan terbuangnya waktu serta menghambur-hamburnya materi. Bergaui dapat dilakukan jika nilai-nilai positif ada di dalamnya. Selanjutnya orang yang dapat dijadikan teman bergaul adalah mereka yang memenuhi kriteria yang menjunjung akhlak dan agama. Namun dalam kenyataan yang ada, etika di atas dalam konteks pendidikan moder kurang mendapat perhatian serius tentang pentingnya arti pergaulan tetapi hanya direpotkan dengan kenakalan remaja pada umumnya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa Ibn Jama'ah mengasumsikan bahwa pergaulan sebagai bagian dari lingkungan yang mempengaruhiproses pendidikan. Lingkungan mempunyai peranan dalam pembentukan keberhasilan
97
pendidikan. Keduanya menginginkan adanya lingkungan yang kondusif untuk kegiatan belajar-mengajar, yaitu kondisi lingkungan yang mencerminkan nuansanuansaetis dan agamis. Konsep ini tetap digunakan dalam pendidikan Islam modern.
B. Analisa Etika Peserta Didik Terhadap Guru Menurut Ibnu Jama’ah Dalam Pendidikan Islam Modern Pembahasan pada etika yang kedua dari peserta didik berkisar tentang segi metode yang bersifat teknik strategi dalam memilih guru dan ketabahan dalam belajar. Lebih lanjut dari analisis penulis dalam pembahasan ini adalah: Pertama, bahwa untuk memperoleh Ilmu pengetahuan yang baik, peserta didik mesti memilih dan mengikuti pendidik yang baik pula karena pendidik adalah seorang tauladan. Ibnu jama'ah dalam kitab beliau mengedepankan, hendaknya para peserta ddik memilih guru yang memiliki karakteristik yang baik ialah cakap dan professional, kasih sayang, menjaga diri dari hal-hal yang merendahkan martabat, pandai dalam mengatur strategi pembelajaran, dan berwawasan luas. Adanya persyaratan itu tampaknya lebih di fokuskan pada kerangka yang dapat menuntun peserta didik agar kritis selektif dalam memilih guru sehingga proses pengalaman kependidikannya nanti dapat memberi hasil. Dalam konsep ini sudah sangat jarang digunakan karena dalam perkembangannya peserta didik tidaklah memilih guru sesuai dengan kemauannya tetapi telah tersedia dan dipilih oleh lembaga pendidikan tersebut dengan menimbang
98
keahlian dan kelayakan dalam mengajar. Hal inilah yang perlu diperhatikan ulang lembaga. Biasanya mereka hanya memprioritaskan titel dalam pendidikannya dengan menimbang sedikit kriteria di atas tentulah hal ini sangat berpengaruh bagi peserta didik. Mungkin salah satu alasannya adalah sangat jarang seorang guru yang memenuhi kriteria di atas sedangkan ilmu pengetahuan semakin berkembang pesat sedangkan biasanya yang memenuhi standar kriteria guru jarang yang menguasai ilmu umum, maka lembaga tersebut memilih titel dan menimbang beberapa aspek lain. Kedua, bahwa peserta didik harus menghormati guru, tunduk, patuh, mengagungkan guru serta sabar atas perilaku guru, selama tidak menjadi kebiasaan dan meggoyahkan keimanan. Penulis mengasumsikan bahwa guru merupakan sosok yang patut digugu dan ditiru, sementara peserta didik sebagai orang
yang
belum
memiliki
kecakapan-kecakapan
tertentu
dan
masih
membutuhkan guru. Ketiga, seorang guru harus mempunyai hubungan dengan murid. Lebih mendasar lagi dapat dikatakan bahwa di dalam proses belajar-mengajar perlu adanya hubungan yang bersifat paedagogis antara guru dan murid. Dalam kegiatan pendidikan tersebut seorang guru harus dapat menyelami dan menghayati jiwa anak didik. Dalam pendidikan modern konsep tersebut digalakkan dengan berbagai cara. Keempat, selain itu Ibnu Jama'ah tampak sangat menekankan tentang pentingnya peserta didik mematuhi perintah pendidik. Dalam kaitan ini Ibn
99
Jama'ah berpendapat, bahwa pendidik meskipun salah, ia harus tetap dipatuhi. Sebab, kesalahan yang ada pada pendidik, dinilai lebih baik dari pada kebenaran yang ada pada peserta didik. Selain itu, peserta didik juga tidak dibenarkan untuk mempunyai gagasan yang tidak sejalan dengan pendidik. Dalam konsep ini sekilas bila kita hubungkan dengan pendidikan masa kini akan menimbulkan pro dan kontra. Kelima, Ibnu Jama’ah membawa konsep tentang guru. Dalam rangka pemberdayaan peserta didik sebagaimana akan dikemukakan pada bagian uraian ini, Ibnu Jama’ah membawa konsep tentang guru. Untuk ini Ibnu Jama’ah menawarkan sejumlah kriteria yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan menjadi guru. Kriteria pendidik tersebut meliputi enam hal. Pertama, menjaga akhlak selama melaksanakan tugas pendidikan. Kedua, tidak menjadikan profesi guru sebagai usaha untuk menutupi kebutuhan ekonominya. Ketiga, mengetahui sosial kemasyarakatan. Keempat, kasih sayang dan sabar. Kelima, adil dalam memperlakukan peserta didik. Keenam, menolong dengan kemampuan yang dimilikinya. Dari keenam kriteria tersebut, yang menarik adalah kriteria tentang tidak bolehnya profesi guru dijadikan sebagai usaha mendapatkan keuntungan material, suatu konsep yang di masa sekarang tampak kurang relevan, karena salah satu ciri kerja profesional, adalah pekerjaan dimana orang yang melakukannya menggantungkan kehidupan di atas profesinya itu. Namun Ibnu Jama’ah berpendapat demikian sebagai konsekuensi logis dari konsepsinya tentang
100
pengetahuan. Bagi Ibnu Jama’ah, pengetahuan (ilmu) sangat agung lagi luhur, bahkan bagi pendidik menjadi kewajiban tersendiri untuk mengagungkan pengetahuan tersebut, sehingga pendidik tidak menjadikan pengetahuannya itu sebagai lahan komoditasnya, dan jika hal itu dilakukan berarti telah merendahkan keagungan pengetahuan. Hemat penulis etika ini masih banyak dijumpai pada pendidikan di pesantren. Akan tetapi etika seperti yang dijelaskan sangat langka di tengah budaya globalisasi. Kelangkaan tersebut bukan berarti sudah tidak relevan. Akan tetapi banyaknya masalah yang melingkupinya.
C. Analisa Etika Peserta Didik Terhadap Pelajarannya Menurut Ibnu Jama’ah Dalam Pendidikan Islam Modern Bagian yang ketiga atas etika peserta didik adalah terhadap pelajarannya dan hal-hal yang harus dipegang ketika bersama guru dan teman-temannya. Dalam kitab Tadzkirah Al-Sâmi' Wa Al-Mutakallim Fi Adab Al-Âlim Wa AlMuta'allim Ibnu Jama'ah mengemukakan ada tiga belas etika yang perlu diketahui seorang peserta didik. Menurut penulis sebagian besar pembahasan ini adalah menyangkut tentang materi pelajaran kurikulum, metode pembelajaran, dan tata krama seperti yang telah disebut dalam bab terdahulu. Adapun analisa dari penulis terhadap etika di atas adalah: Pertama, secara sederhana pemikiran tentang materi pelajaran disebutkan hendaknya peserta didik belajar berbagai pelajaran yang mendukung dan
101
berkaitan dengan kitab Allah (Al-Qur'an) seperti pelajaran tafsir, nahwu, sharaf. Dalam konsep ini tetap diperhatikan dalam pendidikan Islam modern. Kedua, beliau juga melarang kita masuk kedalam perbedaan pendapat para ulama karena hal ini akan menggoyahkan peserta didik. Hendaknya peserta didik menghafalnya, membuat ikhtisar, dan selalu beristiqomah membacanya. Selain itu peserta didik dituntut mentashih terlebih dahulu materi yang dihafalnya atau yang dipelajari. Hal ini merupakan cermin sikap ketelitian terhadap pelajaran yang dipelajarinya memang benar-benar arah tujuannya. Pembahasan etika di atas menurut penulis agar seorang peserta didik mempunyai semangat juang yang kuat di dalam belajar menjadi ahli ilmu. Konsep di atas sebagai peringatan bagi guru untuk sering mengoreksi buku catatan murid, dalam hal ini sudah jarang terjadi. Adapun tujuannya membenarkan catatan individu bila terdapat kesalahan sehingga dapat dibenarkan dan tidak terjadi kesalahpahaman pelajaran tersebut. Ketiga, peserta didik diharapkan untuk tidak bersikap malu dalam bertanya. Hal ini penulis berpendapat bahwa Ibnu Jama'ah berpedoman sifat malu tidak memberikan penyelesaian dalam mengatasi problem dan kesulitan belajar peserta didik, juga tidak memberikan peluang untuk mengembangkan potensipotensi yang dimiliki. Budaya malu untuk bertanya akan menghantarkan peserta didik terhadap ketidak jelasan. Konsep ini merupakan landasan bagi lembaga pendidikan terhadap pembelajaran aktif yaitu aktifnya peserta didik dalam belajar.
102
Keempat, penjelasan etika peserta didik terhadap pelajarannya bila kita telaah lebih lanjut seakan membuka mata kita akan berjalannya suatu sistem pendidikan terutama di dunia pesantren yang terlihat kolot, yang hanya terjadi komunikasi satu arah, memasung kemerdekaan berpikir. Akan tetapi bukanlah begitu maksudnya. Boleh jadi ketatnya etika yang diterapkan menutup beberapa kasus etika lainnya. Sebagai satu contoh adalah, kurang adanya budaya berdiskusi dan tanya jawab dalam proses belajar mengajar di pesantren, bukan berarti bahwa pemikiran tersebut akan terpasung, akan tetapi karena dalam etika sebelumnya dijelaskan bahwa murid dilarang menyela penjelasan guru atau murid harus mendengarkan fatwa guru dan sebagainya, maka kemudian etika tersebut disalahpahami pengertiannya dengan tertutupnya pintu budaya bertanya dan berdiskusi di lingkungan pendidikan pesantren. Fenomena tersebut dilengkapi dengan adanya ketakutan bahwa apabila tidak memperhatikan apa yang dijelaskan guru, maka ilmu tidak membawa berkah dan tidak manfaat, maka semakin menambah murid untuk selalu menurut apa yang dikatakan guru. Kelima, guru selalu dianggap benar dan tidak boleh dipertanyakan kebenaran ilmunya, karena ilmu yang diajarkan bersumber dari kitab, di mana kitab tersebut bersumber pada al-Qur'an dan hadis. Dari sinilah kemudian muncul suatu pemahaman dikalangan pendidikan tradisional untuk selalu menerima apa yang diberikan (qanaah). Inilah alasan yang bersifat epistimologis mengapa sistem pendidikan di pesantren terlihat kaku dan kolot. Akan tetapi bila dilihat
103
dari pemikiran yang ditawarkan Ibnu Jama’ah, maka pemahaman yang salah tersebut segera berubah menjadi terbuka dan inovatif. Keenam, konsep Ibn Jama'ah tentang metode pembelajaran banyak ditekankan pada hafalan ketimbang dengan metode lain. Sebagaimana dikatakan bahwa hafalan sangat penting dala proses pembelajarannya, sebab ilmu didapat bukan dari tulisan di buku, melainkan dengan cara pengulangan secara terus menerus. Penekanan pada hafalan selain sebagai salah satu karakterstik tradisi Syafi'iyah juga agaknya menjadi salah satu ciri umum dalam pendidikan Islam. Hemat penulis metode hafalan memang kurang memberikan kesempatan kepada akal untuk mendaya gunakan secara maksimal dalam penajaman proses berpikir. Namun di sisi lain, hafalan sesungguhnya menantang kemampuan memori akal untuk aktif dan konsentrasi dengan pengetahuan yang didapat. Tetapi dalam pendidikan modern metode hafalan dan mengulang-ulang pelajaran mempunyai hasil yang baik.
D. Analisa Etika Peserta Didik Terhadap Kitab dan Literatur Yang Digunakan Menurut Ibnu Jama’ah Dalam Pendidikan Islam Modern Ibnu Jama'ah sadar bentuk akan penggunaan buku atau literatur. Beliau mengemukakan ada sebelas pembahasan. Adapun analisa yang dapat penulis isyaratkan adalah :
104
Pertama, beliau berpendapat bahwa murid harus mempunyai buku sebagai pengikat ilmu yang ada. Apabila kita sebagai penuntut ilmu dirasa kurang mampu untuk membeli buku, maka kita bisa mencatatnya atau meminjamkannya. Bila kita dengan secara sekilas, maka akan timbul persepsi bahwa pendidikan adalah mahal, seperti pendapat banyak orang. Tetapi, bila kita telaah lebih lanjut, buku merupakan pengikat ilmu dikarenakan kapasitas memori ingatan sangatlah terbatas. Ibnu Jama’ah memberikan penjelasan atas solusi bahwa peserta didik tidak harus membeli buku tetapi boleh meminjam, atau menyalin apabila dikalkulasi menjadi lebih ringan. Dalam pendidikan di indonesia biasa disebut dengan istilah ”Jer Basuki Mowo Beyo”, bahwasannya belajar haruslah berkorban dengan harta atau biaya. Kedua, dalam masalah catatan, beliau menghimbau agar menulis dengan cara indah dan rapi, hal ini dikarenakan menambah semangat belajar bila murid membuka catatannya. Lebih dari itu, isyarat yang penulis tangkap adalah catatan tersebut dapat dijadikan warisan kelak bagi generasi selanjutnya. Hal ini diibaratkan seperti karangan ulama terdahulu yang kitabnya masih terjaga hingga sekarang. Salah satu dalam menjaga dan memperindah tulisan pendidikan Islam modern memasukkan pelajaran kaligrafi demi menunjang kaidah tulisan yang benar dan indah. Ketiga, beliau juga berpendapat bahwa sebuah buku hanya bisa disebut cemerlang bila ia gelap. Artinya gelap karena banyaknya catatan tambahan yang ada. Hal ini memberikan isyarat murid harus mendengarkan penjelasan dan
105
mencatat keterangan guru. Dalam pendidikan Islam modern telah banyak terdapat media atau alat pembelajaran berupa audio visual. Jadi banyak diantara lembaga menggunakan kecanggihan teknologi semisal perekam suara komputer, jadi murid tidak perlu mencatat tetapi merekam penjelasan guru dan sewaktu-waktu bila diperlukan dapat diputar kembali tetapi tentunya lembaga mempunyai dampak positif dan negatif dari adanya teknologi tersebut. Keempat, satu hal yang terlihat menarik dan terlihat beda dengan materimateri yang bisa disampaikan dalam ilmu pendidikan pada umumnya adalah etika terhadap buku dan alat-alat pendidikan. Kalaupun ada etika untuk itu, maka biasanya itu dianggap sebagai aturan yang umum beraku dan cukup diketahui oleh masing-masing individu. Akan tetapi, beliau memandang bahwa etika tersebut penting dan perlu diperhatikan. Seperti halnya, bila kita akan menyalin suatu buku atau catatan syari'ah maka kita disarankan dalam keadaan suci menghadap qiblat, tinta dan kertas harus bersih, dan memulai dengan bacaan basmalah. Sedangkan bila menyalin catatan retorika maka dimulai dengan bacaan hamdalah dan shalawat Nabi. Kembali terlihat kejelian dan ketelitian dalam melihat permasalahan dan seluruh proses belajar bagi peserta didik. Hal ini tidak akan terperhatikan bila pengalaman mengenai hal ini tidak pernah dilakukannya. Oleh sebab itu, menjadi wajar apabila hal-hal yang kelihatan sepele tidak luput dari perhatian beliau. Karena beliau sendiri mengabadikan hidupnya untuk ilmu dan agama, serta memiliki karya-karya yang tak terhitung nilainya. Dalam konsep
106
di atas masih relevan dalam pendidikan pondok pesantren mereka berpedoman ilmu akan lebih cepat merasuk ke dalam jiwa. Kelima, untuk mengawali sesuatu proses belajar maupun etika yang harus diterapkan terhadap kitab atau buku yng dijadikan sebagai sumber rujukan menjadi catatan tersendiri, sebab hal ini tidak dijumpai pada etika-etika belajar pada umumnya. Sangatlah beralasan mengapa kitab yang menjadi sumber rujukan harus diperhatikan dan diperlakukan secara istimewa. Betapa tidak, buku catatan oleh seorang peserta didik yang mempunyai keistimewaan atau kelebhan ganda, tidak hanya ahli dalam bidangnya akan tetapi juga bersih dari jiwanya. Menurut penulis alasan demikianlah yang menyebabkan eksistensi sebuah kitab rujukan ulama, salaf terdahulu (literatur) mendapat perlakuan yang istimewa. Dasar epistimologis yang digunakan dalam menjawab perihal di atas. Dalam pendidikan masa modern, regenerasi suatu catatan hampir tiada mereka berfikir bahwa setiap generasi, catatan akan berganti. Jadi mereka tidak terlalu mengindahkan tentang buku catatan yang ada. Dari kempat penjelasan etika peserta didik di atas, penulis menyimpulkan bahwa peserta didik adalah orang yang mencari ilmu sedang ilmu adalah Nur atau cahaya, maka bila hendak mencapai Nur tersebut terlebih dahulu kita menata batin yang dapat dimulai dengan perbuatan dhohir seperti berwudlu, membaca basmalah, sholawat, dan hamdalah. Perbuatan di atas akan melahirkan kejernihan hati. Inti dari keempat etika diatas adalah tasawuf yang kental yang dinukil dari ulama salaf al-shâlih yang sesuai dengan al-Qur’an dan hadits Nabi. Dengan
107
adanya usaha yang sedemikian rupa diharapkan ilmu yang dicapai dapat bermanfaat membawa berkah di dunia dan di akhirat sesuai dengan tujuan dari pendidikan Islam bahagia di dunia dan akhirat.
108
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Adapun kesimpulan penulis dalam pembahasan skripsi ini adalah: 1. Etika peserta didik terhadap dirinya menurut Ibnu Jama’ah dalam konsep pendidikan Islam modern mempunyai pengaruh yang besar sebagai dasar teoritik dalam menentukan visi dan misi suatu pendidikan sehingga konsep tersebut masih sejalan dengan pendidikan Islam modern yang selalu menanamkan tujuan pendidikan berupa insan kamil yang kemudian dikembangkan sedemikian rupa seiring perkembangan zaman yang menitik beratkan pada potensi jiwa dan raga peserta didik. 2. Etika peserta didik terhadap gurunya menurut Ibnu Jama’ah dalam kancah pendidikan Islam modern adalah sebagai dasar rujukan etika bagi peserta didik yang dalam masa-masa ini banyak terkikis rasa hormat
terhadap
gurunya.
Serta
menegaskan
kembali
tentang
pentingnya menghormati guru sebagai salah satu kunci suksesnya pendidikan berupa ilmu yang bermanfaat melalui ridha yang diberikan. 3. Etika peserta didik terhadap pelajarannya menurut Ibnu Jama’ah dalam pendidikan Islam modern memberikan sumbangsih yang besar dalam menentukan kurikulum yang harus dipelajari bagi peserta didik
109
menurut pendidikan Islam yang benar serta menata kembali sikap yang benar dalam kegiatan belajar yakni memulai dengan ta’awudz, hamdalah, basmalah, serta mendoakan guru. Pada pendidikan Islam modern ini semakin jarang diperhatikan tentang etika di atas. 4. Etika peserta didik terhadap kitab dan literatur yang digunakan Ibnu Jama’ah
dalam konsep pendidikan Islam modern harus tetap
diperhatikan walaupun dalam kondisi modern mencatat tidak hanya pada buku tetapi berupa media atau alat pembelajaran harus tetap diperhatikan karena termasuk dalam kategori buku catatan yaitu sebagai
pengikat ilmu sehingga dengannya peserta didik diberi
kemudahan dalam memahami ilmu.
B. Saran-Saran Bagi peserta didik hendaknya berusaha mengaplikasikan etika-etika di atas dalam proses belajarnya karena etika tersebut merupakan anjuran dari ulama salaf yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits. Orang tua hendaknya menanamkan dasar-dasar etika semenjak usia dini. Adapun etika di atas dapat ditumbuhkan bila si anak menginjak usia sekolah. Adapun studi pemikiran mengenai etika peserta didik menurut Ibnu Jama’ah bagi sarjana muslim lainnya masih perlu dilanjutkan, mengingat masih banyak problem pendidikan yang segera perlu dibenahi. Dalam
110
literatur pendidikan Islam ternyata banyak sekali yang dimajukan oleh para ulama hingga saat ini yang belum sempat digali.
111
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi, M. Athiyah. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam. Yogyakarta: Titian Illahi, 1996. Al-Ālim Wa Al-Muta’allim. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tt. Al-Ghazaly. Ihya’ Ulumûddin, Juz. III. Beirut: Dar al-Fikr, tt. Al-Kinani, Badr al-Din Ibnu Jama'ah. Tadzkirah al-Sâmi' wa al-Mutakallim fi adab al-Âlim wa al-Muta'allim. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah tt. Al-Maraghi, Mustofa. Tafsir Maraghi, Juz. I. Beirut: Dar al-Fikr, tt. Al-Qurthuby. Tafsir Al-Qurthuby, Juz. VIII. Kairo: Dar al-Sya’by, tt. Al-Rasyidin. Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat: Ciputat Press, 2005. Al-Sabuky, Taj al-Din Nashr Abd al-Wahhab Ibnu Taqy al-Din. Thabaqāt alSyafi'yah al-Kubra. Beirut: Dar al-Ma'rifah, tt. Al-Zarnuji, Imam Burhanuddin. Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’alum. Mesir: Dar al-Ma’arif, 1962. Ali, M. Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Arif, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press, 2002. Amin, Ahmad. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988. Azmi, M. Pembinaan Akhlak Anak Usia Pra-Sekolah: Upaya Mengefektifkan NilaiNilai Pendidikan Islam Dalam Keluarga. Yogyakarta: Belukar, 2006. Basuki. Holistika Konsep Pendidikan Islam, Ta’dîb, Ta’lîm dan Tarbiyah. Al-Tahrir, Vol. 6, No. 2, Juli 2006. Ponorogo: STAIN PO, 2006. Darajat, Zakiah. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
112
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, cet. III. Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Pusat. Djamarah, Syaiful Bahri. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002. Fahmi, Asma Hasan. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Jakarata: Bulan Bintang, 1979. Ihsan, Hamdan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001. Ilyas, Yunahar. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Ismail, Ibrahim. Petunjuk Menjadi Cendekiawan Muslim. Semarang: Toha Putra, 2000. Jazeri, M. Pemikiran Ibnu Jama’ah tentang Etika Pendidikan, Al-Tahrir. Juli, 2006. Katsir, Abu al-Fida al-Hafidz Ibnu. al-Bidāyah wa al-Nihayah, (Beirut: Maktabah AlMa'arif. Langgulung, Hasan. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Bandung: AlMa’arif, 1980. Ma’luf, Louis. Al-Munjid fi Lughah wa al-‘Alam, Cet. XXXVII. Beirut: Dar alMasyriq, 1997. Mahjuddin. Kuliah Akhlaq Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia, 1996. Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif, 1998. Mas’ud, Abdurrahman. et.al., Paradigma Pendidikan Islam. Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Wali Songo Semarang, 2001. Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma. Jakarta: Ciputat Press, 2002. Mujib, Abdul. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media, 2006.
113
Munazier, Hery Noer, H. Watak Pendidikan Islam. Jakarta: Friska Agung Insani, 2003. Munir, Ahmad Tafsir Tarbawi. Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2003. Musthofa. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997. Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI-Press, 1985. Nata, Abudin. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Murid. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001. . Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. . Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000. Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Press, 2002. Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Mulia Kalam, 2006. Rusyan, A. Tabrani. Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Rosda Karya, 1994. Rusyd, Abidin Ibnu. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1995. Suseno, Franz Magniz. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1987. Suwendi. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Suwito. Filsafat Pendidikan Akhlak: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar, 2004. . Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media, 2005. Suyudi, M. Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an. Yogyakarta: Mikraj, 2005.
114
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004. Thabrani, A. Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994. Thoha, Chabib. Metodologi Pengajaran Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Fakultas Tarbiyah IAIN Wali Songo Semarang, 2004. Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi STAIN Ponorogo. Ponorogo: STAIN Press, 2008. Ulum, Basuki, Miftahul. Pengantar Pendidikan Islam. Ponorogo: STAIN Press, 2007. Yatimin. Etika Seksual dan Penyimpangannya Dalam Islam: Tinjauan Psikologi Pendidikan Dari Sudut Pandang Islam. Pekan baru: Amzah, 2003.