BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Islam masuk ke wilayah Asia Tenggara pada masa Khalifah ketiga Utsman (644-656), dan masuk ke Indonesia sekitar abad ke-11 dengan bukti penemuan batu nisan muslim tertua di Leran Jawa Timur bertuliskan nama Maimun tahun 475 H (1082 M).
Penyebaran Islam ke Indonesia secara umum terjadi dalam
dua proses. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia (Arab, Cina, India) yang telah memeluk agama Islam tingal secara tetap di suatu wilayah Indonesia, dan mengikuti gaya hidup lokal.1 Sebelum Islam masuk, rakyat Indonesia terlebih dahulu menganut agama Hindu dan Budha serta aliran kepercayaan seperti animisme dan dinamisme. Agama Hindu dan Budha telah menjadi agama besar pada saat itu, terbukti dengan banyaknya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang
berkembang
pesat
di
Nusantara.
Ajaran-ajaran
Hindu-Budha
terinternalisasi kuat dalam aktivitas masyarakat seperti adanya ritual-ritual dan sesajen yang dipersembahkan kepada para dewa-dewa. Hingga kemudian agama Islam masuk dan berkembang di Nusantara dengan berbagai cara seperti perdagangan dan amalgamasi (perkawinan campuran).
1 M.C. Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. Hal 27
Ajaran Hindu-Budha yang telah terinternalisasi kuat hingga berabad-abad, menjadikan Islam harus berusaha keras agar ajarannya bisa diterima oleh masyarakat, salah satu caranya adalah dengan bantuan budaya lokal. Dalam proses ini, terjadi akulturasi budaya antara ajaran Islam dengan budaya masyarakat setempat, sehingga masyarakat mulai menerima ajaran Islam namun tetap bisa berpegang pada budaya lokal yang telah menjadi kepercayaan bersama sejak lama. Proses akulturasi ini terjadi di berbagai aspek seperti kesenian, politik, perkawinan dan lain lain yang memudahkan masyarakat menerima ajaran Islam. Salah satu contoh usaha yang dilakukan untuk memadukan antara ajaran Islam dengan budaya lokal adalah yang dilakukan oleh Walisongo di Pulau Jawa dengan mengambil instrumen kebudayaan lokal untuk menyebarkan nilai-nilai Islam. Misalnya dalam hal kesenian, walisongo mengembangkan lirik dan langgam tembang-tembang macapat sebagai sarana untuk memberikan nilai-nilai Islam antara lain gambuh, sinom, mijil, dandang gula dan lain lain.2 Penyebaran Islam dengan berbagai sarana inilah yang menjadikan ajaran Islam mudah diterima oleh masyarakat pada saat itu. Perpaduan antara ajaran Islam dengan budaya lokal berkembang hingga saat ini, seperti masih adanya upacara-upacara adat yang dilakukan di tengah ajaran Islam yang dianut seperti upacara sedekah bumi, nglarung dengan menggunakan sesajen-sesajen yang sebenarnya merupakan warisan budaya dari zaman Hindu-Budha dahulu, namun 2
Suparjo. Islam dan Budaya: Strategi Kultural Walisongo dalam membangun Masyarakat Muslim Indonesia. Jurnal Dakwah dan Komunikasi. Vol 2 No. 2 Jul-Des 2008. Purwokerto: Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto. Hal 182
menggunakan doa-doa sesuai dengan ajaran Islam, terutama di pulau Jawa. Keadaan seperti ini yang kemudian disebut sebagai Islam kejawen, dengan bentuk-bentuk ritual yang berbeda dengan umat Islam di negara lain. Islam masuk ke Indonesia dengan cara yang lebih elastis dan memperlihatkan wajah Islam yang lebih toleran terhadap budaya lokal. Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya Islam yang ada di Timur Tengah ke Indonesia,3 melainkan disesuaikan dengan simbol budaya lokal. Perkembangan Islam yang sangat pesat menjadikan Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak (kurang lebih 85%) dengan berbagai latar belakang sosial dan budaya. Bentuk masyarakat Indonesia yang sangat heterogen menjadikan Islam sebagai agama yang tidak berwajah tunggal, namun memiliki banyak aliran sesuai dengan ideologi yang ingin dicapai. Secara institusional memang aliran-aliran tersebut berwajah Islam, namun secara ritual dan ideologi berkembang berbagai macam aliran baik yang bersifat fundamental maupun moderat, seperti Islam Ahmadiyyah, Syiah, Suni, Aboge, dan lain-lain. Masing-masing aliran tersebut memiliki penganut dan karakteristik ideologi yang ingin dibangun, serta identitas yang ingin ditegaskan baik melalui simbol-simbol keagamaan yang digunakan, ritual yang dijalankan, maupun kepercayaan yang diyakini. Salah satu aliran Islam yang berkembang, terutama di pulau Jawa adalah komunitas Islam Aboge (Alip Rebo Wage).
3
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan. Hal 191
Komunitas
Islam
Aboge
merupakan
aliran
keagamaan
yang
menggabungkan antara unsur kebudayaan Jawa dengan ajaran Islam, yaitu dalam hal penentuan tanggal (kalender). Aliran ini banyak berkembang di Jawa tengah dan Jawa Barat, terutama di daerah Banyumas dan Purbalingga. Perbedaan aliran Aboge dengan ajaran Islam pada umumnya adalah pada kalender (penanggalan) dalam penentuan hari-hari besar agama. Aliran Aboge tidak menggunakan kalender hijriah maupun masehi seperti biasanya, namun menggunakan kalender Jawa Alip Rebo Wage yang artinya tahun pertama dalam satu windu dalam tahun Jawa adalah tahun Alip dan harinya jatuh pada hari Rebo Wage. Tahun Alip dan harinya Rebo Wage merupakan tanggal 1 tiap bulan Muharam dalam kalender hijriyah atau tanggal 1 Sura dalam kalender Jawa. Perhitungan ini mengakibatkan perbedaan dalam menentukan hari dan tanggal berdasarkan perhitungan Jawa maupun Hijriyah, termasuk bulan Ramadhan dan Idul Fitri serta hari besar agama lainnya.4 Perbedaan perhitungan kalender berdasarkan perhitungan Jawa pada aliran Aboge menjadikannya berbeda dengan ajaran Islam pada umumnya yang menggunakan kalender Hijriyah. Penggunaan kalender Hijriyah telah disepakati bersama oleh umat Islam dan telah mendapat legitimasi dari MUI (Majelis Ulama Indonesia). Kementrian Agama sebagai institusi tertinggi pun telah menetapkan berbagai hari besar agama seperti Idul Fitri dan Idul Adha sesuai dengan penanggalan Hijriyah dan
4 Siska Laelatur Barokah. 2013. Eksistensi Komunitas Islam Aboge di Desa Cikakak Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas.Skripsi. Yogyakarta: UNY. Hal 68
diikuti oleh sebagian besar umat muslim Indonesia. Legitimasi dari MUI dan Kementrian Agama tidak menjadikan aliran Aboge untuk meninggalkan tradisinya. Hingga sekarang, penganut Aliran Aboge masih setia menggunakan penanggalan Jawa (Wage, Kliwon, Manis atau Legi, Pahing, dan Pon) sebagai acuan dasar untuk menentukan berbagai hari besar keagamaan, sehingga tidak jarang terjadi perbedaan waktu pada perayaan hari besar keagamaan. Karena perbedaan penanggalan inilah, menyebabkan pula adanya upacara dan ritual-ritual lain pada Islam Aboge yang tidak dilakukan oleh umat Islam secara umum. Di tengah kuatnya peran lembaga agama dalam mengatur berbagai kegiatan keagamaan serta penganut Islam secara umum yang menggunakan kalender hijriyah, penganut Komunitas Aboge masih terus mempertahankan tradisinya untuk tetap menggunakan perhitungan kalender Jawa dan melakukan ritual-ritual lain. Komunitas Aboge masih percaya dan berpegang pada kebudayaan lokal dengan melibatkan unsur budaya Jawa dalam kehidupan beragama (dalam hal ini adalah penggunaan kalender Jawa) yang menyebabkan komunitas Aboge dianggap ”berbeda” dengan Islam secara umum yang menggunakan perhitungan berdasarkan kalender Hijriyah. Seperti yang diungkapkan oleh Bassam Tibi5 bahwa dalam agama, konsepsi manusia mengenai realitas tidak didasarkan pada pengetahuan tetapi pada keyakinan terhadap suatu otoritas, yang berbeda antara
5
Hal 14
Bassam Tibi. 1999. Islam, Kebudayaan, dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
agama satu dengan agama lain. Begitu pula pada komunitas Aboge yang memahami Islam berdasarkan keyakinan mereka akan penggunaan kalender Aboge, walaupun Islam mayoritas menggunakan kalender hijriyah sebagai patokan penanggalan Islam. Hal ini menjadi menarik ketika bertemu pada satu titik yaitu aliran Aboge dihadapkan pada legitimasi penanggalan Hijriyah yang telah diikuti bersama, dengan kepercayaan-kepercayaan lokal yang telah diyakini sejak lama, namun menjadikan aliran tersebut tetap bertahan. Pembahasan pada proses bertahannya komunitas Aboge dalam menjaga tradisi dan persinggungan dengan ajaran Islam mayoritas menjadi menarik untuk dibahas dalam bingkai habitus dan arena yang dibangun oleh penganut komunitas, serta modal apa saja yang digunakan untuk menghidupi arena spiritualitas, politik, dan budaya dalam kehidupan sosial dan agama pada pengikut komunitas Aboge. Aliran Aboge yang telah berkembang lama di daerah Banyumas dan sekitarnya tidak terlepas dari loyalitas penganutnya yang masih berpegang teguh pada ajaran Aboge. Aliran Aboge sebagai sebuah realitas sosial dibentuk oleh penganutnya dan kemudian diinternalisasi dan diyakini sebagai sebuah ajaran bersama. Di samping dari sisi internal penganut ajaran Aboge, hal lain yang menarik adalah terkait hubungan dengan pihak lain seperti pemerintah maupun lembaga pendidikan. Sebagian besar penduduk desa Cikakak adalah penganut aliran Aboge, namun masih bisa hidup rukun berdampingan dengan masyarakat
sekitar yang bukan penganut Aboge. Hubungan keduanya berjalan dengan baik, tidak ada pertentangan maupun konflik yang berarti terkait perbedaan penanggalan yang berdampak pada perbedaan penentuan hari-hari besar keagamaan. Diantara keduanya, kerjasama pun sering dilakukan guna menjaga keharmonisan. Misalnya ketika penganut Aboge sedang melaksanakan upacara adat (tradisi) maka masyarakat sekitar akan ikut berpartisipasi. Hal ini menjadi menarik untuk dilihat terkait dengan bagaimana pengikut Aboge melakukan pelestarian adat tetapi tetap mempertahankan hubungan sosial dengan masyarakat sekitar. Kehidupan penganut Aboge sama layaknya masyarakat muslim pada umumnya. Komunitas Aboge tidak memiliki pengecualian terhadap akses pada dunia pendidikan, kesehatan, politik, dan relasi sosial dengan masyarakat umum. Komunitas Aboge berpendapatt bahwa yang membedakan mereka dengan Islam mayoritas hanya pada penanggalan yang menggunakan kalender Aboge saja, di samping itu sama persis dengan masyarakat Islam lainnya termasuk dalam hal peribadatan dan ajaran. Begitu pula dalam kehidupan
sosial,
komunitas
Aboge
berhak
bergabung
dalam
organisasi-organisasi sosial, termasuk organisasi keagamaan. Salah satu organisasi keagamaan yang berkembang di komunitas Aboge desa Cikakak adalah Nahdlatul Ulama (NU). Hampir sebagian besar masyarakat desa Cikakak dan penganut Aboge adalah anggota NU. Secara umum, Kabupaten Banyumas merupakan basis organisasi NU yang lumayan besar,
dibandingkan dengan organisasi Islam moderat6 lainnya seperti Muhammadiyah. NU didirikan pada 31 januari 1926 di Surabaya oleh KH Hasyim Asy’ari bersama KH Wahab Hasbullah.
Organisasi ini dilatarbelakangi oleh situasi
keagamaan waktu itu, khususnya berkaitan dengan semakin derasnya arus pembaharuan Islam yang dipandang dapat mengganggu eksistensi tradisi keagamaan yang telah kuat mengakar. NU lahir sebagai representasi paham konservatif di bawah karisma para ulama independen dan tersentralisasi pada masyarakat pedesaan. Keterlibatan NU dalam kancah politik praktis secara signifikan baru dimulai pada tahun 1939 ketika ia bergabung dalam Majlisul Islam A’la Indonesia (MIAI), diwujudkan dengan pertemuan yang membahas isu-isu politik oleh NU. Tanggal 15 april 1952, NU memisahkan diri dari Masyumi karena beberapa ketegangan politik yang terjadi, dan kemudian mendirikan parpol sendiri. Posisi NU dalam politik semakin berjaya dibuktikan dengan diperolehnya suara 18.4% dan menduduki posisi ketiga pada pemilu 1955.
Pada pemilu tahun 1971, NU
menduduki posisi kedua sebesar 18,7% setelah Golkar yang menang mutlak. NU berusaha merumuskan format baru Islam politik yang dipandang lebih relevan dengan watak pluralisme masyarakat Indonesia. Perkembangan NU sebagai organisasi Islam yang bermuatan politis lebih plural. NU yang berpegang pada ajaran ahlusunnah wal jamaah yang dipahami sebagai etika dalam melakukan
6 Moderat menurut KBBI adalah menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem; berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah.
apapun, baik ibadah formal maupun ibadah sosial, dan menjadikannya aliran yang mengutamakan keseimbangan orientasi dalam memahami ajaran Islam. Semangat paham aswaja ini adalah semangat inklusifisme, yang membuka ruang-ruang dialog, toleransi, dan rekonsiliasi.7 NU sebagai organisasi Islam layaknya muslim pada umumnya, yaitu menggunakan kalender hijriyah sebagai patokan penentuan hari-hari besar keagamaan. Salah satu perbedaan mendasar antara NU dan Aboge adalah perhitungan kalender yang digunakan. Walaupun demikian, keduanya tetap bersinergi meski tidak secara khusus mengidentifikasikan diri sebagai anggota NU (secara organisatoris), namun masyarakat (komunitas Aboge) pada khususnya lebih merasa sejalan dengan ajaran-ajaran NU yang dianggap masih melestarikan adat dan kebudayaan Jawa. Perbedaan penggunaan kalender hijriyah dan kalender Aboge pada komunitas Aboge dan ajaran NU tidak menjadi penghalang. Walaupun penganut Aboge mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari NU, namun mereka tetap menggunakan kalender Aboge sebagai acuan penanggalan. Hal ini menjadi menarik ketika komunitas Aboge dan organisasi NU bisa saling mengakomodasi satu sama lain dengan adanya perbedaan pada penggunaan kalender yang berdampak pada perbedaan waktu perayaan hari-hari besar keagamaan. NU sebagai organisasi keislaman yang dianggap lebih plural terhadap ajaran-ajaran lain
7
Asep Saeful Muhtadi. 2005. Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama. Jakarta: LP3ES.
Komunitas Aboge ini menyebut dirinya sebagai masyarakat muslim (Islam) pada umumnya yang percaya pada rukun Islam dan rukun iman. Namun, di sisi lain komunitas Aboge juga merupakan komunitas adat yang masih terus melestarikan budaya yang dianut sejak lama, yaitu terkait dengan penggunaan kalender Jawa yang berdampak pada adanya upacara-upacara kejawen lainnya. Adanya dua identitas yang berbeda ini menjadikan komunitas Aboge melakukan perpaduan budaya dengan tetap menjaga keduanya yaitu antara Islam dan adat. Akibatnya terjadi persinggungan antara ajaran Islam dan budaya kejawen yang kemudian disebut sebagai konsep sinkretisme8, di mana komunitas Aboge menganut agama Islam namun tidak menggunakan kalender hijriyah seperti Islam mayoritas, dan tetap menggunakan kekhasan pada bentuk kalender yaitu penanggalan Jawa (Wage, Kliwon, Manis, Pahing, Pon). Agama sebagai salah satu unsur kebudayaan juga tidak bisa terlepas begitu saja dari dasar budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat, seperti masyarakat desa Cikakak. Budaya yang telah menjadi “way of life” dari zaman dahulu
dan menjadi ciri khas
tersendiri pada masyarakat Cikakak adalah Aboge yang merupakan sistem penanggalan berdasarkan hitungan Jawa (kurub). Salah satu unsur yang mendukung berkembangnya kebudayaan adalah agama, dimana masyarakat Cikakak sebagian besar menganut agama Islam. Keduanya, yaitu agama dan budaya, dalam hal ini Islam dan Aboge tidak dapat dipisahkan satu sama lain
8 Menurut KBBI sinkretisme adalah paham (aliran) baru yang merupakan perpaduandari beberapa paham (aliran) yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan, dan sebagainya.
karena saling bersinggungan. Serta agama (religi) merupakan salah satu unsur kebudayaan yang paling tinggi tingkatannya dalam masyarakat. Pada masyarakat desa Cikakak, keduanya saling berkaitan erat dimana Aboge merupakan identitas Cikakak, dan Islam merupakan identitas Aboge. Keterkaitan keduanya ini menjadikan pula melekatnya identitas kejawen dan agama yang disandang oleh masyarakat Cikakak. Persinggungan ini tidak hanya melekat pada ranah ideologis saja, tetapi juga berada di ranah praksis kehidupan sosial-kultural dari komunitas Aboge di desa Cikakak. Kehidupan sosial terutama dalam bidang keagamaan pun mengalami persinggungan dengan identitas Aboge yang masih memegang budaya Jawa dengan kuat, keanggotaan dalam organisasi sosial misalnya. Persinggungan antara agama dan budaya (khususnya budaya Jawa) menjadi cerita masif yang telah berkembang sejak lama. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Clifford Geertz di daerah Mojokuto tentang pembagian masyarakat Islam Jawa ke dalam tiga kategori yaitu priyayi, santri, dan abangan.9 Serta penelitian yang dilakukan oleh Robert W. Hefner pada masyarakat pegunungan Tengger tentang Hindu Jawa dan proses Islamisasi10. Keduanya memiliki standing point yang sama dengan penelitian ini
9
Untuk pemahaman selanjutnya mengenai persinggungan antara Islam dan budaya Jawa, baca di Clifford Geertz. The Religion of Java yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa. 1981. Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya. (terlepas dari kritik terhadap konsep pembagian masyarakat Islam Jawa oleh Geertz yang dianggap tidak sepadan, yaitu santri dan abangan berada dalam frame keagamaan, sedangkan priyayi berada dalam frame kelas sosia). 10 Untuk pemahaman selanjutnya lihat di Robert W Hefner. 1985. Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam. United Kingdom. Princenton University Press.
yaitu dengan melihat bagaimana persinggungan antara budaya Jawa dengan agama yang memberikan corak khas pada perkembangan agama-agama di Jawa. Komunitas Aboge sebagai bagian dari masyarakat juga berinteraksi dengan masyarakat lain, salah satunya adalah berafiliasi pada organisasi sosial Islam seperti NU. Komunitas Aboge sebagai komunitas adat lebih condong pada tradisi kejawen, sedangkan ideologi NU lebih condong pada ajaran Islam (dengan semangat Ahlu sunnah wal jamaah) namun bisa saling mengakomodasi dan menerima satu sama lain menjadi keunikan tersendiri. Bagaimana keduanya mampu menampung perbedaan ideologi dalam bingkai agama dan budaya. Keunikan komunitas Aboge akan dilihat dalam ranah budaya, politik, dan spiritualitas berkaitan dengan kehidupan sosial-keagamaan penganutnya. Beberapa keunikan ini menjadi alasan mengapa penelitian ini penting untuk dilakukan.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah antara lain: 1.
Bagaimana bentuk persinggungan (sinkretisme) dalam konteks antara agama dan budaya yang tercermin dari tradisi komunitas Aboge?
2.
Bagaimana komunitas Aboge membentuk habitus dalam arena spiritualitas, budaya, dan politik khususnya dalam relasi dengan organisasi NU (Nahdlatul
Ulama)?
C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui bentuk persinggungan (sinkretisme) dalam konteks antara agama dan budaya yang tercermin dari tradisi komunitas Aboge.
2.
Untuk mengetahui bagaimana komunitas Aboge membentuk habitus dalam arena spiritualitas, budaya, dan politik khususnya dalam relasi dengan organisasi NU (Nahdlatul Ulama).
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Akademis a.
Penelitian ini diharapkan dapat, pertama memberikan sumbangan pemikiran baru terhadap bidang kajian sosiologi terutama pada kajian sosiologi agama. Kedua, memberikan wawasan tentang bagaimana suatu realitas keagamaan seseorang sebagai suatu realitas sosial dipengaruhi oleh budaya yang melingkupi masyarakatnya. Ketiga, memberikan wawasan bahwa agama merupakan fenomena yang berwajah ganda sesuai dengan konstruksi penganutnya.
b.
Secara akademis, penelitian ini dapat memberi wacana baru bahwa dalam praktiknya penafsiran suatu agama tidak pernah berwajah tunggal
namun sesuai dengan lokus berkembangnya agama tersebut, terbukti dengan banyaknya aliran yang muncul dalam agama Islam, salah satunya aliran Aboge. 2. Manfaat Praksis a.
Penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat untuk mengetahui bahwa dalam masyarakat terdapat banyak macam agama bahkan aliran dalam agama itu sendiri. Harapannya dapat memberikan pembelajaran bagi masyarakat tentang toleransi akan perbedaan berbagai aliran agama yang ada, dan dapat menerima sebagai suatu perbedaan yang perlu dihormati.
b.
Penelitian mengenai Aliran Aboge ini diharapkan dapat memberikan wawasan
baru kepada internal penganut Aboge bagaimana untuk
mempertahankan
eksistensi
ajaran
tersebut
di
tengah
berkembangnya ajaran Islam pada umumnya. Serta bagaimana untuk bersinergi dengan kelompok masyarakat lain agar tercipta keselarasan dalam kehidupan sosial masyarakat.
E. KAJIAN LITERATUR Penelitian tentang Islam Aboge sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa orang, sehingga dijadikan rujukan dalam melaksanakan penelitian ini. Penelitian sebelumnya yang juga membahas mengenai aliran Aboge adalah penelitian skripsi (2013) yang dilakukan oleh Siska Laelatul Barokah mahasiswa UNY
mengenai eksistensi komunitas Islam Aboge di desa Cikakak Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas. Penelitian ini memaparkan mengenai bagaimana ajaran komunitas Aboge yang berbeda dari Islam secara umum, terutama dalam hal penggunaan kalender Jawa dalam menentukan hari besar keagamaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk menjaga eksistensi masyarakat Aboge agar tetap eksis dilakukan dengan berbagai cara antara lain; dengan cara menjaga solidaritas dan kekompakan sesama warga Aboge, taat mengikuti petuah para orang tua dan yang dituakan dari dulu sampai sekarang, serta adanya dawuh pengandiko yaitu proses regenerasi pengajaran. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti adalah terletak pada subjek penelitian yaitu sama-sama mengkaji komunitas Aboge di desa Cikakak. Sedangkan perbedaannya terletak pada masing-masing fokus penelitian yang dilakukan. Penelitian sebelumnya hanya menjelaskan pada eksistensi komunitas Aboge terutama pada pemaparan ajaran serta sejarah masuknya Islam Aboge, namun belum menjelaskan secara jelas bagaimana proses aliran Aboge bisa terus eksis dan diyakini oleh penganutnya. Penelitian ini mencoba untuk fokus pada proses bagaimana aliran Aboge tetap bertahan di tengah perkembangan institusi agama yang melegitimasi ajaran Islam secara umum. Penelitian ini juga melihat bagaimana relasi antara komunitas Aboge dengan kehidupan sosial di sekitar, yaitu keanggotaan pada organisasi ke-Islam-an seperti Nahdlatul Ulama (NU). Penelitian ini juga melihat
komunitas Aboge dalam ranah budaya, spiritualitas, dan politik (berkaitan dengan afiliasi pada organisasi NU). Penelitian kedua adalah penelitian Tesis (2011) yang dilakukan oleh Mahda Reza Kurniawan mahasiswa program magister IAIN Walisongo yang berjudul Tradisi Nahdlatul Ulama dalam Perspektif Hukum Islam. Hasil penelitian ini adalah kelompok NU lebih memiliki responsifitas terhadap adat istiadat dan tradisi masyarakat Jawa, dimana merupakan perilaku beragama dalam kerangka melaksanakan ajaran agama yang dilatarbelakangi oleh konteks sosial budaya Jawa. Sebagai pelaksana ajaran agama, jamaah NU melaksanakan substansi ajaran agama di dalam Alquran dan Hadist menjadi kehidupan konkret dalam kenyataan riil sesuai dengan prinsip dan karakter sosial budaya penganutnya, mulai dari bentuk keyakinan, perilaku individu, perilaku kelompok, hingga pada institusi kebergamaan.11 Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan peneliti adalah pada subjek penelitian yaitu tentang NU dan penerimaan tentang terhadap adat dan tradisi Jawa. Perbedaan dengan penelitian ini adalah jika penelitian Reza hanya fokus pada sisi internal keyakinan kelompok NU saja dan pembahasan mengenai hukum Islam dalam kacamata NU, maka penelitian ini menghubungkan dengan komunitas lain yaitu komunitas Aboge. Bagaimana
11 Mahda Reza Kurniawan. Tradisi Nahdlatul Ulama dalam Perspektif Hukum Islam. Tesis. IAIN Walisongo
relasi antara Aboge dan NU pada ranah persinggungan antara agama dan budaya di desa Cikakak kabupaten Banyumas. Kajian literatur ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Elita Fihtri dan Pambudi Handoyo tahun 2015 mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Surabaya berjudul Habitus Dugem Kelompok Youngstar sebagai Ritus Modernitas di Surabaya. Penelitian ini melihat bahwa habitus Dugem sudah menjadi ritus di era modern ini. Pembangunan sarana hiburan menjadi sangat strategis dan mampu membuat aktor terjebak ke dalam kungkungan transaksional atau nilai tukar dalam dunia industri hiburan. Dugem membuat penikmatnya terhipnotis untuk menjadi hedonis. Kelompok Youngstar dibagi dalam dua kategori, yaitu kelas menengah ke bawah dan kelas menengah ke atas. Penelitian ini digunakan sebagai kajian literatur untuk melihat bagaimana penggunaan teori habitus Bourdieu dalam level komunitas. Bagaimana penggunaan teori habitus yang merupakan jembatan antara struktur objektif dengan syruktur subjektif mampu dianalisis dalam konteks komunitas (mezo) bukan lagi dalam konteks individu (mikro). Penelitian yang telah dilakukan ini berusaha mengadopsi konteks level analisis teori boudieu dalam konteks komunitas, yaitu komunitas adat Aboge.12
12
Elita Fihtri dan Pambudi Handoyo. 2015. Habitus Dugem Kelompok Youngstar sebagai Ritus Modernitas. Jurnal Paradigma Volume 03 No 01 Tahun 2015. Diunduh di http://www.scribd.com/doc/253262925/HABITUS-DUGEM-KELOMPOK-YOUNGSTAR-SEBAGAI -RITUS-MODERNITAS-DI-SURABAYA#scribd pada hari Jumat tanggal 13 Juni 2015 pukul 15.18.
F. KERANGKA TEORITIS 1.
Teori Sinkretisme Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, sinkretisme adalah paham atau
aliran yang merupakan perpaduan dari beberapa paham yang berbeda untuk mencari keserasian dan keseimbangan. Dalam penelitian ini sinkretisme yang dimaksud adalah perpaduan antara kebudayaan Jawa dengan nilai-nilai agama Islam. Perpaduan ini dimulai dari bentuk dakwah yang dilakukan oleh Walisongo dalam sosialisasi Islam pada waktu itu, dimana masyarakat masih kental dengan budaya Jawa yang diadaptasi dari ritual-ritual agama Hindu dan Budha. Berdasarkan latar belakang historis tersebut, diperlukan penyesuaian antara ajaran Islam dengan budaya dan kebiasaan masyarakat setempat. Dari proses tersebut terbentuklah nuansa keislaman Jawa seperti yang ada pada masyarakat Aboge yang merupakan pembauran antara kebudayaan Jawa dan ajaran Islam.13 Konsep sinkretisme muncul karena adanya penggabungan antara tradisi lokal dengan agama Islam, akibat pengaruh kerajaan Hindu-Budha hingga beberapa abad di daerah Jawa. Dari perspektif ini, kemudian dipahami bahwa Islam tidak merasuk secara mendalam pada pikiran dan tindakan masyarakat lokal. Mereka mungkin mengaku Islam, namun pengakuan ini tidak sesuai dengan ketaatan pada prinsip inti, doktrin,
dan praktik
keagamaan
yang
benar-benar
13 Muchlisin Ibnu Amrin. 2005. Sekaten dan Sinkretisme Agama. Dalam Privatisasi Sekaten? Yogyakarta: Pusat Studi Parisiwisata UGM
menggambarkan ajaran Islam.14 Kemudian muncul konsep sinkretisme sebagai jalan tengah untuk penggabungan antara tradisi Jawa dengan ajran Islam. Secara etimologis, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau kerannynai yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan. Sinkretisme dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan benar salahnya sesuatu agama, yakni suatu sikap yang tidak mempersoalkan murni atau tidaknya suatu agama.15 Sinkretisme disini yang dimaksud adalah perpaduan antara budaya Jawa (komunitas Aboge) dengan ajaran Islam yang berkembang di desa Cikakak Kecamatan Wangon Banyumas. Proses sinkretisasi yang berlangsung antara budaya Jawa dan budaya Islam dapat berjalan dengan mulus karena berada dalam tatanan simbolis. Dalam artian, Islamisasi Jawa tidak dilakukan pada tataran yang kasar (wadah, kulit luar), tetapi diarahkan pada kehalusan (isi, inti). Istilah sinkretis juga digunakan untuk menunjuk pada beberapa kasus bilamana satu unsur atau beberapa unsur dari satu agama tertentu dipungut dan diterapkan pada agama lain, yang tanpa secara dasariah merubah karakter agama yang memungut dan menerima, dalam hal ini disebabkan oleh relatif sedikitnya unsur yang dipungut dan diterapkan.16
14
Timothy Daniels. 2009. Islamic Spectrum in Java. England: Ashgate Publising Limited. Hal
15
Abdul Jamil dkk. 2002. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media. Hal 87 M. Wasim Bilal.1994. Sinkretisme dalam Kontak Agama dan Budaya di Jawa. Dalam Jurnal
36 16
Konsep persinggungan antara budaya dan agama berangkat dari sejarah Indonesia pada zaman pra- Islam (Hindu dan Budha) yang telah diyakini sejak lama. Kemudian masuknya ajaran Islam tidak serta merta membuat masyarakat Indonesia, Jawa pada khususnya meninggalkan ajaran-ajaran pra-Islam. Sejarah panjang tradisi dan budaya membawa dampak pada kehidupan beragama masyarakat
Jawa.
Kuntowijoyo
menyebutkan
bahwa
Indonesia
pernah
mengalami dualisme kebudayaan, yaitu antara budaya keraton dan budaya populer dikaitkan dengan pengaruh Islam dalam kedua bentuk kebudayaan tradisional itu. Pertama, konteks budaya
istana dan keraton yang dikembangkan
oleh abdi dalem dan raja berkepentingan menciptakan simbol budaya tertentu dengan tujuan untuk melestarikan kekuasaannya. Dalam hubungannya dengan konsep kekuasaan,
terlihat adanya perbedaan yang besar antara kebudayaan
Jawa dan Islam. Sementara dalam kebudayaan Jawa dikenal konsep mengenai raja absolut, Islam justru menekankan
konsep mengenai raja yang adil. Sikap
keraton Jawa terhadap pengaruh Islam cenderung difensif, yaitu menerima pengaruh-pengaruh tertentu dari Islam selama pengaruh tersebut dapat diadopsi untuk status quo kekuasaan Jawa dan dapat ditundukkan dalam konsep kosmologinya. Budaya keraton menunjukkan sikap sinkretik terhadap pengaruh Islam. Selanjutnya, dinamika budaya populer yang berkembang di masyarakat Jawa pengaruh Islam lebih sangat terasa dan menyerap pengaruh Islam secara lebih ilmu Pengetahuan Agama Islam Al-Jamiah No. 55 Tahun 1994. Hal 110
leluasa. Meskipun budaya populer juga masih memiliki sifat-sifat mistis dan teologisnya, namun pengaruh Islam hampir mendominasi corak perkembangan budaya populer. Misalnya dalam konsep upacara “pangiwahan” yang dimaksudkan memuliakan pernikahan, kelahiran, dan kematian agar manusia dapat menjadi “wiwoho”, menjadi mulia. Konsep mulia ini merupakan konsep yang diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia sebagai makhluk mulia.17 Bentuk-bentuk upacara dalam budaya populer lebih mencerminkan aplikasi nilai Islam namun dengan simbol Jawa.18 Konsep dualisme kebudayaan pada masyarakat Jawa yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo berkaitan dengan persinggungan antara perkembangan budaya dan pengaruh Islam. Kekuatan tarik menarik antara dua unsur budaya yang pada akhirnya menghasilkan sinkretisme. Kuntowijoyo mengartikan konsep sinkretis
lebih pada budaya keraton (istana)
karena masih kuatnya keinginan untuk mempertahankan tradisi-tradisi pra Islam. Menerima Islam dalam batas-batas tertentu, tapi penerimaannya sangat dipengaruhi
oleh
kepentingan
pelestarian
simbol-simbol
pra
Islam.
Kesimpulannya, konsep sinkretisme Kuntowijoyo mengarah pada persinggungan (pengaruh) antara budaya dengan ajaran Islam, dimana kekuatan Islam hanya digunakan untuk melestarikan status quo kekuasaan simbol-simbol dan kosmologi Jawa.
17 18
Kuntowijoyo. 1991. Op.Cit. Hal 230-234 Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid. Bandung: Mizan. Hal 237
Sinkretisme sebagaimana dipahami John R. Bowen dalam tulisannya Religious Practice adalah percampuran antara dua tradisi atau lebih, yang terjadi ketika masyarakat mengadopsi sebuah agama baru dan berusaha membuatnya tidak bertabrakan dengan gagasan dan praktik budaya lama. Sinkretisme adalah konsep yang mengandung harmonisasi dari nilai-nilai budaya yang berbeda, yang diikuti para pelaku budaya dari sekte-sekte yang berbeda. Indikator-indikator dari sinkretisme antara lain:19 a.
Harmonisasi nilai-nilai budaya (aliran yang berbeda). Item-itemnya antara lain: (1) religius: doa, ubarampe, ikrar, dan (2) estetika: seni pertunjukan, seni sastra, seni rupa, dan seni kerajinan.
b.
Harmonisasi dari pelaku sekte yang berbeda. Item-itemnya adalah (1) gotong royong: berkumpul, kebersamaan, sepi ing pamrih rame ing gawe, dan (2) toleransi: tepaseliro, ngono ya ngono ning ojo ngono, nJawani, rasa, dan sungkan.
Sinkretisme selalu berkaitan dengan prinsip-prinsip, ajaran-ajaran, atau pemikiran tertentu yang terwujud dalam simbol-simbol dan penafsiran. Dengan adanya sinkretisasi, maka penganut-penganut berbagai sistem ajaran yang berbeda tidak akan merasa bahwa mereka menganut prinsip yang berlawanan, yang tidak dapat diselaraskan, dicocokan, atau dicari titik temunya sama sekali,
19 Sutiyono. 2010. Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Hal 65
yang kemudian dapat membuat permusuhan. Sebaliknya, dengan adanya sinkretisasi atau penyelarasan dan penggabungan berbagai prinsip yang berbeda dalam suatu kerangka penafsiran baru yang lebih komprehensif, para penganut sistem ajaran dan prinsip yang berlawanan dapat
mempertemukan pandangan
mereka, dan hidup berdampingan dengan ajaran yang berbeda. Meminjam konsep dari Heddy Shri Ahimsa Putra, sinkretisasi yang terjadi dilakukan dengan menciptakan relasi-relasi simbol antar berbagai elemen dan perangkat prinsip yang berbeda, yaitu:20 1.
Relasi Genealogis Relasi genealogis dalam sinkretisme guna melihat akar-akar elemen budaya Jawa dan Islam. Dalam penelitian ini relasi genealogis akan melihat bagaimana hubungan antara sejarah panjang tradisi Aboge dengan agama Islam hingga mampu berjalan beriringan.
2.
Relasi logis Relasi logis melihat bahwa peristiwa yang dialami oleh tokoh Islam dianggap juga pernah terjadi pada tokoh budaya Jawa (dalam hal ini adalah tokoh Aboge) atau sebaliknya.
3.
Relasi historis Relasi historis menjadi unsur lain dalam kaitan antara budaya Jawa dengan Islam. Dalam hal ini komunitas Aboge memiliki sejarah panjang
20
Heddy Shri Ahimsa Putra. 1995. Islam Jawa dan Jawa Islam: Sinkretisasi Agama di Jawa. Hal 3-5 Dalam Makalah Seminar Sehari “Islam dan Kebudayaan Jawa: Akulturasi,Perubahan, dan Perkembangan” yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.
yang berkaitan erat dengan sejarah Islam sebagai agama yang dianut oleh komunitas Aboge. Sejarah Aboge diwakili dengan sejarah budaya Jawa, baik dunia pewayangan maupun terkait dengan perhitungan hari berdasarkan pasaran Jawa. 4.
Relasi profetis Relasi profetis mendasari hubungan antara keyakinan-keyakinan Jawa yang berkembang di komunitas Aboge dan keyakinan yang bersumber dari ajaran Islam (alquran dan hadis). Relasi keyakinan keduanya menjadi salah satu simbol dari adanya proses sinkretis antara Aboge dan Islam baik pada masa dulu maupun saat ini.
5.
Relasi kooperatif Relasi kooperatif menjadi basis perilaku saling menghormati perbedaan antara Islam dan tradisi Jawa yang kemudian tertuang dalam ajaran-ajaran komunitas Aboge.
Perpaduan kedua unsur ini (agama Islam dan budaya Jawa) bertujuan untuk mencapai keselarasan dalam hidup bermasyarakat. Di mana masyarakat tidak berada dalam entitas tunggal, namun memiliki banyak identitas yang saling bersinggungan, komunitas Aboge misalnya. Komunitas ini telah menjunjung budaya (kepercayaan dan ritual) sejak lama, jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia, sehingga telah terinternalisasi dengan baik turun temurun ke generasi
selanjutnya. Islam datang membawa ajaran baru yang belum pernah ada sebelumnya. Syarat agar ajaran Islam bisa diterima dan budaya Jawa bisa tetap dilestarikan harus melalui kompromi antara kedua unsur tersebut. Hingga saat ini, kompromi tersebut masih tetap berjalan dalam konsep sinkretisme, dimana komunitas Aboge memeluk agama Islam namun masih menggunakan kalender Jawa (sistem Aboge) sebagai bentuk penanggalan, termasuk untuk menentukan hari besar keagamaan. Sinkretisme antara budaya Jawa yang diyakini oleh komunitas Aboge dengan ajaran agama Islam dilihat dalam bingkai genealogis, logis, historis, profetis, dan kooperatif. Sehingga dengan analisis ini bisa ditemukan bentuk sinkretisme antara ajaran komunitas Aboge dengan Islam mulai dari latar belakang sejarah hingga kerjasama dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Konsep sinkretisme ini juga digunakan untuk mengetahui bagaimana persinggungan antara ajaran Islam denga tradisi-tradisi Aboge seperti penanggalan berdasarkan kalender Aboge (kurub) mampu mengikat masyarakat dan tetap berjalan beriringan, bahkan menjadi kearifan lokal hingga sekarang. Teori sinkretisme ini digunakan untuk menjembatani realitas dan analisis pada persinggungan antara budaya Jawa yang tercermin dalam komunitas Aboge dengan ajaran Islam yang dianut oleh komunitas Aboge. Konsep sinkretisme yang masih berada dalam tataran makro, kemudian diderivasi menjadi beberapa indikator untuk melihat secara jelas bagaimana komunitas Aboge memadukan
antara budaya Jawa dengan ajaran Islam. Melihat bagaimana bentuk sinkretisme, penelitian ini meminjam konsep dari Heddy Shri Ahimsa, dalam tataran genealogis, logis, historis, profetis, dan kooperatif. Diharapkan nantinya dapat diketahui bagaimana persinggungan yang dialami oleh komunitas Aboge dalam mengakomodasi identitas budaya dan keagamaan mulai dari tataran sejarah hingga praksisnya. Konsep sinkretisme digunakan untuk melihat perjuangan komunitas Aboge dalam persinggungan antara arena budaya dan spiritualitas. Mengingat keduanya memiliki identitas yang berbeda dan harus diakomodasi oleh Aboge, dimana Aboge dan Islam adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Maka dari itu diperlukan konsep yang dapat melihat persinggungan keduanya dalam konteks komunitas Aboge di desa Cikakak. Aboge berkewajiban memelihara tradisi yang telah diyakini sejak lama, dan bertanggungJawab atas label “desa adat”, serta berkewajiban pula menjalankan ajaran Islam sebagai konsekuensi atas agama yang dianut. Dua identitas kuat dalam satu komunitasi ni yang perlu dijaga tanpa saling menghilangkan. Hingga kemudian konsep sinkretisme
digunakan
dalam
penelitian
ini
untuk
melihat
persinggungan-persinggungan yang lebih jauh antara tradisi Aboge dan Islam.
2.
Teori Reproduksi Budaya Pierre Boudieu Teori reproduksi budaya Bourdieu digunakan dalam penelitian ini untuk
melihat bagaimana komunitas Aboge terus mereproduksi budaya agar ajarannya
tetap eksis di tengah perkembangan komunitas adat lain serta umat muslim secara mayoritas. Seperti yang dikemukakan Bourdieu bahwa proses reproduksi sosial dan kultural ini bertanggung Jawab kepada ‘kontinuitas dan regularitas’ struktur sosial.21 Dalam memelihara kontinuitas struktur sosial, reproduksi budaya membutuhkan komponen yaitu habitus dan arena yang keduanya saling mendefinisikan satu sama lain. Di dalam habitus dan arena, terdapat modal yang melingkupi sehingga arena (ranah) memiliki arti. Konsep antara habitus, arena, dan modal akan dijelaskan di bawah ini guna memperoleh pemahaman yang lebih kompleks pada pengaplikasian teori dalam konteks komunitas Aboge. a.
Habitus Menurut Bourdieu, Habitus adalah suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif.22 Habitus mencakup pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang dunia, yang memberikan kontribusi sendiri pada realitas dunia itu. Secara literer habitus adalah satu kata bahasa latin yang mengacu kepada kondisi, penampakan, atau situasi yang tipikal atau habitual, khususnya pada tubuh. Disposisi dan sekam klasifikatori generatif yang merupakan esensi dari habitus tersimbolkan dalam hakikat manusia sejati. Perwujudan ini memiliki tiga makna, yaitu: pertama, dalam nalar yang sepele habitus hanya ada ‘di dalam
21
Richard Jenkins. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Hal 118 Pierre Bourdieu dalam Richard Harker dkk. 2009. (HabitusxModal)+Ranah= Praktik. Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra. Hal 13 22
kepala’ aktor (dan kepala adalah bagian dari tubuh). Kedua, habitus hanya ada di dalam melalui dan disebabkan oleh praksis aktor dan interaksi antara mereka dan dengan lingkungan yang melingkupinya. Habitus tidak hanya termanifestasikan dalam perilaku namun merupakan suatu bagian integral darinya. Ketiga ‘taksonomi praktis’ yang dibicarakan dan pada inti skema generatif habitus, berakar di dalam tubuh, dapat diakses pancaindra, dalam hal menalarkan dan berakar dalam pengalaman sensoris- dari cara pandang seseorang yang disimbolkan.23 Kita bisa juga menyebut habitus sebagai akal sehat. Dimana habitus diperoleh sebagai akibat dari ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang panjang. Jadi habitus bervariasi tergantung pada sifat posisi seseorang di dunia tersebut, tidak semua orang memiliki habitus yang sama. Namun mereka yang menempati posisi sama di dunia sosial cenderung memiliki habitus yang sama. Habitus termanifestasikan pada individu tertentu diperoleh dalam proses sejarah individu dan merupakan fungsi dari titik
tertentu
dalam
sejarah
sosial
tempat
ia
terjadi.
Bourdieu
menggambarkan bahwa habitus merupakan dialektika antara internalisasi eksternalitas dan eksternalisasi internalitas, serta antara subjektivisme dan objektivisme.24
23 24
Hal 581
Richard Jenkins. Op.Cit. Hal 107,108 George Ritzer dan Dauglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Konsep
habitus
ini
digunakan
dalam
penelitian
terkait
guna
menganalisis bagaimana habitus yang dibangun dan diturunkan oleh komunitas Aboge demi mempertahankan keberadaan komunitas. Serta bagaimana habitus yang dibangun berkaitan dengan afiliasi terhadap organisasi sosial keagamaan sepeti NU. b.
Arena (Ranah) Arena menurut Bourdieu adalah suatu arena sosial yang di dalamnya perjuangan atau manuver terjadi untuk memperebutkan sumber atau pertaruhan dan akses terbatas. Arena didefinisikan sebagai taruhan yang dipertaruhkan-benda kultural, perumahan, kemajuan intelektual, pekerjaan, kekuasaan, kelas sosial, prestise atau lainnya. Setiap arena, karena isinya memiliki logika berbeda dan struktur keharusan dan relevansi yang merupakan produk dan produsen habitus yang bersifat spesifik dan menyesuaikan diri dengan arenanya.25 Dunia sosial terbagi ke dalam ranah-ranah, yaitu wilayah-wilayah sosial yang berbeda dan semi-otonom terhadap ranah-ranah lain. Artinya, ranah-ranah bekerja dengan mekanisme, hukum, dan logika yang khas, tetapi saling mempengaruhi sesuai tingkat otonomi relatifnya. Pembagian dunia sosial dan otonomisasi ranah terjadi melalui proses historis yang panjang, dan bukannya tak terbalikkan. Habitus dan ranah berada dalam hubungan dialektis. Di satu sisi, ranah membentuk habitus yang sesuai dengan struktur dan cara kerjanya. Keikutsertaan dalam
25
Richard Jenkins. Op.Cit. Hal 125
sebuah ranah mengandaikan kepercayaan dan penerimaan begitu saja terhadap segala struktur, aturan, dan nilai sumberdaya yang diperebutkan di dalamnya. Di sisi lain, habitus juga membentuk dan mengubah ranah sesuai dengan strukturnya. Makna dan nilai yang terobjektifikasi melalui sejarah dalam bentuk institusi dan mekanisme hanya aktif sepenuhnya jika dihidupkan kembali oleh habitus dalam bentuk praktik.26
Arena menjadi tempat berlangsungnya strategi dan perjuangan. Adalah struktur arena yang “menopang dan mengarahkan strategi yang digunakan oleh orang-orang yang menduduki posisi ini untuk berupaya, baik individu atau kolektif, mengamankan atau meningkatkan posisi mereka, dan menerapkan prinsip hierarkis yang paling cocok untuk produk mereka”. Bourdieu mengemukakan proses tiga tahap analisis terhadap arena. Pertama, dengan merefleksikan keutamaan arena kekuasaan, adalah menelusuri hubungan arena spesifik tertentu dengan arena politik. Langkah kedua, memetakan struktur objektif hubungan antarposisi di dalam arena tersebut. Analisis harus berusaha menentukan sifat habitus agen yang menduduki berbagai jenis posisi dalam arena tersebut.27 Bourdieu menyebutkan di dalam arena apapun, agen-agen yang menempati berbagai macam posisi yang tersedia (atau yang menciptakan posisi-posisi baru) terlibat di dalam
26
Pieree Bourdieu dalam Indi Aunullah. 2006. Bahasa dan Kuasa Simbolik dalam pandangan Pierre Bourdieu. Skripsi. Yogyakarta: UGM. Hal 49-50 27 George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Op.Cit. Hal 583
kompetisi merebutkan kontrol kepentingan atau sumber daya yang khas dalam arena bersangkutan.28 c.
Modal Kedudukan modal dalam ranah sangat penting, yaitu agar ranah (arena) memiliki arti. Bourdieu menyebutkan “penempatan dan pendudukan strategis yang harus dipertahankan dan dikuasai di arena pertempuran”. Adalah modal yang memungkinkan orang mengendalikan nasibnya sendiri maupun nasib orang lain.29 Modal merupakan hubungan sosial, artinya suatu energi sosial yang hanya ada dan membuahkan hasil-hasil dalam arena perjuangan dimana ia memproduksi dan mereproduksi.30 Ada empat jenis modal yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal kultural, dan modal simbolis. 1) Modal ekonomi: adalah modal yang secara langsung bisa dikonversi dalam bentuk uang dan bisa diobjektifkan dalam bentuk hak milik. Modal ekonomi merupakan jenis modal yang relatif paling independen. Jika modal lain lebih terikat pada ranah tertentu, modal ekonomi lebih leluasa ditransfer antar-ranah, juga paling mudah diwariskan pada orang lain.31
28
Pierre Bourdieu. 2010. Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Hal xviii 29 Ibid. 30 Bourdieu. 1979:127 dalam Haryatmoko. 2003. Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa. Basis Nomor 11-12, tahun ke-52, November-Desember 2003. 31 Bourdieu dalam Indi Aunullah. Log.Cit.
2) Modal sosial: hubungan-hubungan dan jaringan hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan sosial. 3) Modal kultural: Modal kultural menyoroti bentuk-bentuk pengetahuan kultural, kompetensi-kompetensi atau disposisi-disposisi tertentu. Modal kultural didefinisikan sebagai suatu bentuk pengetahuan, suatu kode internal, atau suatu akuisisi kognitif yang melengkapi agen sosial dengan empati terhadap ,apresiasi terhadap, atau kompetensi di dalam, pemilah-milahan relasi-relasi dan artefak-artefak kultural.32 4) Modal simbolis: Modal simbolis mengacu pada derajat akumulasi prestise, ketersohoran, konsekrasi atau kehormatan,dan dibangun di atas dialektika pengetahuan dan pengenalan.33
Dalam sebuah arena, penting untuk menginvestasikan modal seseorang dengan cara sedemikian rupa untuk mendapatkan keuntungan atau ‘laba’ maksimum dari partisipasinya di dalam arena tersebut. Karena dalam kondisi normal, tak seorang pun memasuki permainan karena ingin kalah.
32 33
Pierre Bourdieu. Op.Cit Hal xix Dua modal terakhir menurut Bourdieu adalah modal yang paling penting
Teori reproduksi budaya Bourdieu ini digunakan untuk menganalisis bagaimana komunitas Aboge bertahan dalam arena spiritualitas, budaya, dan arena politik (terkait keanggotaannya dalam organisasi NU) serta bagaimana bentuk modal sosial, ekonomi, kultural, dan simbolis yang digunakan dalam strategi memberi arti pada habitus serta ranah atau arena tersebut. Melalui konsep habitus sebagai peristiwa kolektif yang terbentuk dalam arena tertentu, penelitian ini berusaha menggali bagaimana komunitas Aboge dibentuk dalam habitus atau peristiwa kolektif yang mengikat mereka dan diregenerasikan dari waktu ke waktu melalui arena budaya (tradisi Jawa). Selain itu, habitus yang terbentuk dalam komunitas Aboge juga dijelaskan dalam arena spiritualitas (yaitu kaitannya dengan ajaran Islam yang dianut) serta arena politik (kaitannya dengan afiliasi pada organisasi keislaman NU). Penggunaan teori produksi kultural ini menjelaskan bagaimana habitus komunitas Aboge dihasilkan oleh dunia sosial yang mereka jalani, sekaligus menghasilkan dunia sosial baru sehingga Aboge masih terus eksis keberadaannya hingga sekarang. Pembentukan habitus juga tidak terlepas dari arena yang mereka tempati, maka dari itu penelitian ini menggali bagaimana habitus yang terbentuk dari komunitas Aboge dari arena budaya, spiritualitas, dan politik yang tumbuh dalam komunitas tersebut. Keberhasilan para penganut Aboge untuk bisa survive dalam membangun habitus tidak akan terlepas dari modal yang mereka miliki. Konsep modal yang dipaparkan oleh Bourdieu yaitu modal ekonomi, sosial, kultural, dan
simbolis digunakan untuk mengidentifikasi bagaimana modal tersebut digunakan oleh komunitas Aboge. Dari keempat modal tersebut, adakah modal terkuat yang mempengaruhi pengembangan habitus, atau ada modal lain di luar konsep Bourdieu yang justru menjadi basis komunitas Aboge sehingga tetap berkembang dan ada hingga saat ini. Teori habitus yang dalam konteksnya digunakan untuk menganalisis individu dalam level mikro, guna melihat bagaimana implikasi struktur objektif dan pemaknaan subjektif individu pada praktik yang dilakukan (habitus) oleh individu. Analisis pada level individu ini mengarah pada praktik individu yang berbeda dalam konteks struktur objektif yang sama akibat perbedaan modal yang dimiliki. Berbeda dengan konteks munculnya teori di Prancis dalam level mikro, teori habitus ini mencoba digunakan dalam level yang lebih besar, yaitu level komunitas sebagaimana yang banyak berkembang di Indonesia dengan tipe masyarakat yang komunal. Perbedaan tipe masyarakat antara individual dan komunal menjadi dasar mengapa level analisis teori habitus menjadi level analisis mezo, terlebih dalam konteks penelitian ini individu yang menjadi subjek kajian adalah kelompok adat, sehingga pengkajian tentang satu individu saja belum cukup, maka diperlukan pengkajian individu dalam memahami adat (struktur objektif) itu secara umum. Dalam penelitian ini, level analisis teori habitus berada dalam tataran mezo, yaitu pemaknaan individu (penganut Aboge) terhadap struktur objektif
(adat dan tradisi) dalam kerangka komunitas untuk mendapatkan pemahaman secara utuh sebagai kelompok adat. Struktur subjektif sebagai salah satu komponen pembentukan habitus tetap diperoleh dari penganut Aboge sebagai individu, namun data tersebut kemudian dikumpulkan secara kolektif untuk dianalisis sebagai komunitas, yaitu bagaimana setiap individu tersebut memberikan pemahaman subjektif terhadap suatu tradisi sebagai struktur objektif secara kolektif. Dari alasan inilah, teori habitus pada penelitian ini digunakan dalam level analisis mezo. Hasil dari jembatan antara subjektivitas dan objektivitas dalam arena perjuangan budaya, spiritual, dan politik dianalisis dalam kerangka penganut Aboge sebagai komunitas, bukan lagi sebagai individu. Hal ini sejalan dengan penggunaan jenis penelitian fenomenologi, di mana dalam penelitian fenomenologi pengumpulan data dalam pemaknaan subjek terhadap suatu realitas, bertujuan untuk mendapat gambaran utuh terhadap realitas itu sendiri.
G. KERANGKA PIKIR
Kelompok masyarakat
Berbasis Agama
Berbasis Adat
Organisasi keislaman (Nahdlatul Ulama).Menggunakan kalender hijriyah. Memiliki prinsip ahlu sunnah waljamaah dan berorientasi politik
Komunitas Aboge di banyumas (Islam kejawen) Yang menggunakan kalender Aboge (Alip Rebo Wage) dan perhitungan
Diafiliasi oleh beberapa kelompok masyarakat, salah satunya oleh masyarakat yang masih berpegag pada tradisi Relasi (praktik sosial) timbal balik antara komunitas Aboge dengan NU dalam bentuk afiliasi dan akomodasi
Bentuk modal serta habitus yang dibangun dalam konteks Bagan 1. Keragka Pikir dan sinkretisme antara budaya agama.
H. METODE PENELITIAN 1.
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di desa Cikakak Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas. Lokasi ini dipilih karena desa tersebut merupakan desa dengan sebagian besar penduduknya menjadi penganut aliran Aboge, serta merupakan basis penganut NU yang kuat. Alasan ini menjadi dasar agar subjek penelitian mudah diobservasi dan diteliti karena berada pada satu kawasan dan jumlah pengikut yang relatif banyak.
2.
Waktu Penelitian Penelitian tentang komunitas Aboge sebagai kajian fenomenologis di desa Cikakak Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas ini dilakukan dalam kurun waktu kurang lebih 2 bulan mulai bulan November hingga Desember 2014.
3.
Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi. Tokoh penting fenomenologi yaitu Edmund Husserl menyatakan
tujuan
fenomenologi
adalah
mendeskripsikan
dengan
sebaik-baiknya gejala yang ada di luar diri manusia sebagaimana gejala tersebut menampilkan dirinya di hadapan kesadaran manusia.34 Namun dalam penelitian ini, menggunakan metode fenomenologi dari Alfred
34 Heddy shri Ahimsa Putra. 2012. Pendekatan Fenomenologi untuk Memahami Agama. Walisongo Volume 20 Nomor 2, November 2012. Hal 284
Schutz yang mampu menerjemahkan fenomenologi ke dalam ilmu sosiologi, khususnya pada kajian agama. Upaya Schutz dalam kajian fenomenologi menekankan bahwa kesadaran dan interaksi bersifat saling membentuk. Schutz juga mengatakan bahwa setiap individu berinteraksi dengan dunia dengan “bekal pengetahuan” yang terdiri atas konstruk-konstruk dan kategori-kategori
“umum”
yang
pada
dasaranya
bersifat
sosial.
Fenomenologi sosial Schutz dimaksudkan untuk memusatkan ilmu sosial yang mampu “menafsirkan dan menjelaskan tindakan dan perilaku manusia” dengan cara menggambarkan struktur-struktur dasar. Inilah isu utama inerpretatif yang memusatkan perhatian pada makna dan pengalaman subjektif sehari-hari, yang bertujuan untuk menjelaskan bagaimana objek dan pengalaman terciptakan secara penuh makna dan dikomunikasikan dalam kehidupan sehari-hari.35 Secara khusus, penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian fenomenologi agama, dimana unsur-unsur agama di dalamnya berasal dari pengalaman individual. Kajian fenomenologi gejala keagamaan berusaha mendeskripsikan kesadaran perilaku keagamaan mengenai simbol-simbol yang digunakan.36 Kajian fenomenologi agama sebagai suatu struktur organis dalam suatu periode tanpa memperdulikan asal-usul historis dari kepercayaan dan praktiknya yang beragam, namun lebih memusatkan 35
Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Research. Penj Dariyanto dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 336-337 36 Heddy Shri Ahimsa-Putra. Op.Cit. Hal 296
perhatian pada maknanya bagi para pemeluknya. Hakikat dari fenomena religius yang dimengerti dalam arti empiris dari struktur umum suatu fenomena yang mendasari setiap fakta religius.37 Kajian tentang aliran Aboge di desa Cikakak dalam penelitian ini berusaha memandang bagaimana komunitas Aboge meyakini ajarannya dan membangun relasi sosial dengan kelompok lain, yaitu organisasi keIslaman Nahdlatul Ulama (NU). Keduanya memiliki perbedaan berbasis budaya dan agama. Aboge yang masih menggunakan penanggalan Jawa sebagai kalender, sedangkan NU yang menggunakan kalender Hijriyah seperti Islam pada umumnya. Namun keduanya bisa saling mengakomodir kepentingan satu sama lain. Penggunaan metode ini guna mengetahui bagaimana relasi yang terbentuk dan titik persinggungan yang dihasilkan dari adanya relasi tersebut. Berdasarkan penggunaan jenis penelitian fenomenologi ini, peneliti berada pada posisi sebagai observer, karena peneliti melakukan pengamatan terhadap tradisi dan perilaku sehari-hari para penganut Aboge, yang kemudian dianalisis berdasarkan teori yang digunakan, dan diterjemahkan dalam konteks sinkretisme dan habitus yang terbentuk. 4.
Subjek dan Objek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah para penganut Aboge di desa Cikakak Kabupaten Banyumas, tokoh kunci komunitas Aboge, serta tokoh dan pengurus organisasi NU di Cikakak. Sedangkan yang menjadi objek
37
Mariasusai Dhavamony. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius. Hal 27
dalam penelitian ini adalah bentuk sinkretisme antara adat Aboge dengan ajaran Islam, serta bagaimana hubungan timbal balik antara komunitas Aboge dengan
NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang banyak
diikuti oleh penganut Aboge. Selain itu objek penelitian juga berfokus pada pembentukan habitus dalam arena spiritualitas, budaya, dan politik antara komunitas Aboge dengan NU. 5.
Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan data sekunder. Data primer adalah suatu objek atau dokumen original-material mentah dari pelaku yang disebut “first-hand information”. Data yang dikumpulkan dari situasi aktual ketika peristiwa terjadi. Data primer di sini adalah data dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti. Sedangkan data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari tangan kedua atau dari sumber-sumber lain yang telah tersedia sebelum penelitian dilakukan. Sumber sekunder meliputi studi pustaka, dokumentasi, komentar, interpretasi, atau pembahasan tentang materi.38 Penelitian ini menggunakan data primer berupa Jawaban informan dari wawancara yang dilakukan pada masyarakat secara umum dan tokoh aliran Aboge di desa Cikakak serta tokoh NU di kabupaten Banyumas. Ketiga golongan masyarakat tersebut menjadi informan dengan asumsi bahwa mereka mengetahui mengenai seluk beluk serta kehidupan sehari-hari yang dijalani
38
Ulber Silalahi. 2010. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama. Hal 291.
komunitas Aboge dan NU di desa Cikakak, sehingga mampu memberikan data yang valid dan komprehensif sesuai dengan yang dibutuhkan peneliti. Data primer juga diperoleh dari hasil observasi (pengamatan) terhadap ritual-ritual, ajaran Aboge, dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan komunitas Aboge dan juga NU di desa tersebut. Data sekunder penelitian didapatkan dari hasil dokumen, buku, atau penelitian yang dilakukan sebelumnya. 6.
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan pencatatan peristiwa-peristiwa, hal-hal, keterangan-keterangan, atau karekteristik-karakteristik sebagian atau seluruh elemen populasi yang akan menunjang atau mendukung penelitian. Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utamanya adalah mendapatkan data guna terlaksananya sebuah penelitian terkait. Pengumpulan data dapat dilakukan menggunakan teknik tertentu, antara lain: a.
Observasi Observasi merupakan suatu aktivitas penelitian dalam rangka pengumpulan data sesuai dengan masalah penelitian, melalui proses pengamatan di lapangan. Dalam pelaksanaan observasi, peneliti memiliki pedoman observasi yang berisi daftar mengenai sesuatu yang ingin di observasi, dan melakukan pencatatan yang sistematis. Penelitian ini menggunakan observasi partisipatoris sebagian, karena
peneliti hanya terlibat sebagian dari kehidupan informan dan terlibat dalam acara-acara yang dilakukan oleh aliran Aboge dan organisasi NU. Observasi dilakukan di desa Cikakak sebagai desa yang sebagian besar menganut aliran Aboge dan menjadi anggota Nahdlatul Ulama. b.
Wawancara Mendalam Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan jalan komunikasi, yakni melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data (pewawancara) dengan sumber data (informan). Penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam, yaitu menggali informasi secara lebih dalam dari informan mengenai bagaimana relasi antara komuitas Aboge dengan NU dalam bingkai persinggungan budaya dan agama. Wawancara dilakukan dengan informan yang telah ditentukan yaitu juru kunci (kunci dalem dan kunci lebak) dan tokoh komunitas Aboge (Pak Suyitno, Pak Sumedi, Pak Edi), tokoh organisasi NU (Pak Ahmad Zaeni), dan penganut komunitas Aboge di desa Cikakak secara umum (Pak Riswandi, Bu Hadiyem, Mas Aji).
Beberapa
informan
tersebut
dianggap
mengetahui
informasi-informasi terkait tema penelitian yang dilakukan, yaitu mengenai tradisi, keyakinan, serta pengalaman hidup sehari-hari pada komunitas Aboge di desa Cikakak.
c.
Dokumentasi Penggunaan dokumen sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan. Adanya dokumentasi ini dimaksudkan untuk mencari dan melengkapi data. Dokumentasi dalam penelitian ini dapat berupa foto, rekaman, video, atau dokumen-dokumen penting dari Komunitas Aboge dan NU guna melengkapi data penelitian.
d.
Studi Pustaka Teknik pengumpulan data lain yang dilakukan adalah studi pustaka. Studi kepustakaan merupakan suatu kegiatan penelusuran dan penelaah literatur. Kegiatan ini dilakukan untuk mencari sumber data sekunder yang mendukung penelitian dengan menggunakan bahan-bahan dokumentasi, buku, majalah, hasil penelitian terdahulu, maupun arsip-arsip lainnya yang mendukung penelitian. Penggunaan studi pustaka bertujuan untuk mengetahui relevansi penelitian dengan data-data yang diperoleh.
7.
Teknik Mengambil Data Dalam penelitian ini, teknik pengambilan data menggunakan teknik purposive. Yaitu mencari informan yang dianggap paling mengetahui informasi mengenai aliran Aboge dan organisasi NU di desa Cikakak. Teknik
ini digunakan agar peneliti mendapatkan data yang valid terkait dengan tema penelitian yaitu tentang bentuk relasi, persinggungan, dan nilai-nilai apa saja yang ditawarkan oleh keduanya (Aboge dan NU) sehingga bisa saling menerima satu sama lain, dan menjadi identitas yang kuat sebagai masyarakat desa Cikakak.
I.
BATASAN PENELITIAN Penganut Aboge Tidak hanya berada di desa Cikakak saja, namun ada di
beberapa daerah lain seperti Purbalingga dan Cilacap, dan masing-masing memiliki adat dan tradisi sendiri sesuai daerahnya. Untuk menjaga fokus penelitian, maka diperlukan pembatasan penelitian agar pembahasan tidak melebar ke penganut Aboge di daerah lain. Dari alasan tersebut, maka subjek penelitian ini dibatasi pada komunitas Aboge yang berada di desa Cikakak Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas dengan segala adat dan tradisi yang melingkupinya.