BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Kemajuan teknologi terutama dalam bidang transportasi mengakibatkan
meningkatnya jumlah dan jenis kendaraan bermotor dan hal ini berdampak pada meningkatnya kasus kecelakaan kendaraan bermotor yang menimbulkan cedera kepala. Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Gangguan yang ditimbulkan dapat bersifat sementara maupun menetap seperti defisit kognitif, psikis, intelektual serta gangguan fungsi fisiologis lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena trauma kepala dapat mengenai berbagai komponen kepala mulai dari bagian terluar hingga terdalam, termasuk tengkorak dan otak. Menurut Guerrero et al (2000) bagian kegawat daruratan menunjukkan bahwa penyebab primer cedera kepala karena trauma pada anak-anak adalah karena jatuh, dan penyebab sekunder adalah terbentur oleh benda keras. Penyebab cedera kepala pada remaja dan dewasa muda adalah kecelakaan kendaraan bermotor dan terbentur, selain karena kekerasan. Penyebab cedera kepala terbanyak adalah 45% akibat kecelakaan lalu lintas, 30% akibat terjatuh, 10% kecelakaan dalam pekerjaan, 10% kecelakaan saat rekreasi dan 5% akibat diserang (Dawodu, 2007). Di Indonesia kecelakaan kendaraan bermotor mencapai 13.339 kejadian mengakibatkan kematian
1
2
9.865 jiwa, luka berat 6.143 jiwa serta luka ringan 8.694 jiwa dari semua kasus kecelakaan kendaraan bermotor, 50% adalah berupa cedera kepala (DepkesRI, 2005). Cedera kepala merupakan penyebab kecacatan dan kematian terbesar di seluruh dunia. Cedera kepala juga menjadi penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak dan orang dewasa umur 1-45 tahun. Cedera kepala sedang dan berat menjadi faktor penyebab peningkatan kasus penyakit Alzheimer 4,5 kali lebih tinggi (Turliuc, 2010). Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus cedera kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal (PERDOSI, 2009). Di RSUP Sanglah Denpasar, insiden cedera kepala pertahun rata-rata di atas 2000 kasus, di mana 30% merupakan pasien cedera kepala sedang dan berat (Register IRD Sanglah, 2011). Cedera
kepala
dikelompokkan
berdasarkan
berat
ringannya
dengan
menggunakan observasi kesadaran yang dikenal dengan Glasgow coma scale (GCS) dan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu cedera kepala ringan (nilai GCS 14-15), cedera kepala sedang (nilai GCS 9-13) dan cedera kepala berat (nilai GCS 3-8) (Torner, Choi, Barnes, 1999). Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah
3
cedera kepala berat (CKB). Cedera kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan kematian (CDC, 2010). Yang terpenting dalam penanganan cedera kepala adalah deteksi dini untuk menentukan ada tidaknya lesi akut intrakranial yang membutuhkan operasi dan untuk menangani lesi tersebut sebelum timbul komplikasi (Golden et al, 2013). Lesi akut intrakranial mencerminkan seriusnya cedera kepala. Makin rendah GCS semakin besar kemungkinan terjadi lesi akut intrakranial. Fokus penanganan lesi akut intrakranial adalah menentukan perlu tidaknya tindakan operasi untuk memperbaiki keadaan pasien. Dari kajian pustaka ada beberapa faktor risiko yang dapat memprediksi adanya lesi akut intrakranial pada CKS dan perlunya tindakan operasi. Membedakan faktor klinis yang perlu operasi atau tidak pada CKS, dapat membantu dokter bedah di daerah yang tidak punya CT scan untuk menuntukan apakah pasien perlu segera dirujuk atau tidak. Oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti menentukan dua end point dari penelitian yaitu: 1) faktor risiko lesi akut intrakranial pada CKS dan 2) faktor risiko perlunya tindakan operasi pada CKS. Beberapa faktor risiko pada kedua end point tersebut dikaji dan kemudian diuji baik dengan bivariat atau multivariat kemaknaan faktor risiko tersebut terhadap kedua end point itu. Dari beberapa kajian pustaka, penulis mengidentifikasi ada beberapa faktor risiko yang berperan terhadap lesi akut intrakranial pada CKS, antara lain: usia, skor awal Glasgow Coma Scale (GCS), diameter pupil dan reaksi cahaya, nyeri kepala, patah tulang kepala dan hipotensi. Identifikasi faktor risiko penting untuk
4
memprediksi terjadinya lesi akut intrakranial terutama pada pasien yang datang ke unit gawat darurat. Diharapkan dengan mengidentifikasi faktor risiko dapat memprediksi pasien yang memerlukan operasi atau tidak. Penanganan untuk dokter bedah umum yang bekerja di rumah sakit yang tidak memiliki CT scan, dengan mengidentifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan perlunya tindakan operasi, dapat dipakai sebagai acuan untuk merujuk atau tidak pasien CKS. Bila didapatkan faktor risiko lesi akut intrakranial dan mendukung tindakan operasi, maka pasien segera dirujuk, bila tidak maka pasien dapat dirawat di rumah sakit tersebut. Dengan demikian, penanganan yang cepat dan tepat serta diteksi sedini terhadap pasien-pasien cedera kepala sedang dengan atau tanpa lesi akut intrakranial diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien cedera kepala. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dipandang perlu melakukan penelitian mengenai faktor – faktor klinis yang berhubungan dengan lesi akut intracranial dan perlunya tindakan operasi pada pasien cedera kepala sedang di RSUP Sanglah Denpasar. 1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah penelitian
sebagai berikut: 1. Apakah pasien CKS dengan usia lebih dari 60 tahun adalah faktor risiko terjadinya lesi akut intrakranial?
5
2. Apakah pasien CKS dengan usia lebih dari 60 tahun memiliki risiko terjadinya lesi akut intrakranial yang memerlukan operasi lebih tinggi? 3. Apakah pasien CKS dengan skor awal GCS 9-10 merupakan faktor risiko terjadinya lesi akut intrakranial? 4. Apakah pasien CKS dengan skor awal GCS 9-10 merupakan risiko terjadinya lesi akut intrakranial yang memerlukan operasi lebih tinggi? 5. Apakah pasien CKS dengan hipotensi adalah faktor risiko terjadinya lesi akut intrakranial? 6. Apakah pasien CKS dengan hipotensi memiliki risiko terjadinya lesi akut intrakranial yang memerlukan tindakan operasi lebih tinggi? 7. Apakah pasien CKS dengan reflek pupil anisokor merupakan faktor risiko terjadinya lesi akut intrakranial? 8. Apakah pasien CKS dengan reflek pupil anisokor merupakan risiko terjadinya lesi akut intrakranial yang memerlukan tindakan operasi lebih tinggi? 9. Apakah pasien CKS dengan patah tulang kepala adalah faktor risiko terjadinya lesi akut intrakranial? 10. Apakah pasien CKS dengan patah tulang kepala memiliki risiko lesi akut intrakranial yang memerlukan tindakan operasi lebih tinggi? 11. Apakah pasien CKS dengan waktu kejadian sampai mendapat penanganan dirumah sakit > 6 jam adalah faktor risiko terjadinya lesi akut intrakranial?
6
12. Apakah pasien CKS dengan waktu kejadian sampai mendapat penanganan dirumah sakit > 6 jam memiliki risiko terjadinya lesi akut intrakranial yang memerlukan tindakan operasi lebih tinggi? 13. Apakah pasien CKS dengan gangguan Faal Hemostasis (pemanjangan partial thromboplastin time dan pemanjangan aktif partial thromboplastin time) adalah faktor risiko terjadinya lesi akut intrakranial? 14. Apakah pasien CKS dengan gangguan Faal Hemostasis (pemanjangan partial thromboplastin time dan pemanjangan aktif partial thromboplastin time) memiliki risiko terjadinya lesi akut intrakranial yang memerlukan tindakan operasi lebih tinggi? 15. Apakah pasien CKS dengan hypoxia adalah faktor risiko terjadinya lesi akut intrakranial? 16. Apakah pasien CKS dengan hypoxia memiliki risiko terjadinya lesi akut intrakranial yang memerlukan tindakan operasi lebih tinggi? 17. Apakah pasien CKS dengan jenis kelamin laki-laki mempunyai faktor risiko lesi akut intrakranial? 18. Apakah pasien CKS dengan jenis kelamin laki-laki memiliki risiko terjadinya lesi akut intrakranial yang memerlukan tindakan operasi lebih tinggi? 1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan umum
7
Untuk mengetahui faktor – faktor risiko yang berperan terhadap terjadinya lesi akut intrakranial dan perlu tidaknya tindakan operasi pada pasien cedara kepala sedang di RSUP Sanglah Denpasar. 1.3.2. Tujuan khusus 1. Mengetahui bahwa pasien CKS dengan usia lebih dari 60 tahun adalah faktor risiko terjadinya lesi akut intrakranial. 2. Mengetahui bahwa pasien CKS dengan usia lebih dari 60 tahun memiliki risiko terjadinya lesi akut intrakranial yang memerlukan operasi lebih tinggi. 3. Mengetahui adanya hubungan pasien CKS dengan skor awal GCS 9-10 terhadap terjadinya lesi akut intrakranial. 4. Mengetahui adanya hubungan pasien CKS dengan skor awal GCS 9-10 terhadap terjadinya lesi akut intrakranial yang memerlukan operasi lebih tinggi. 5. Mengetahui bahwa pasien CKS dengan hipotensi adalah faktor risiko terjadinya lesi akut intrakranial. 6. Mengetahui bahwa pasien CKS dengan hipotensi memiliki risiko terjadinya lesi akut intrakranial yang memerlukan tindakan operasi lebih tinggi. 7. Mengetahui adanya hubungan antara pasien CKS dengan reflek pupil anisokor sebagai faktor risiko terjadinya lesi akut intrakranial. 8. Mengetahui adanya hubungan antara pasien CKS dengan reflek pupil anisokor terhadap risiko terjadinya lesi akut intrakranial yang memerlukan tindakan operasi lebih tinggi.
8
9. Mengetahui bahwa pasien CKS dengan patah tulang kepala adalah faktor risiko terjadinya lesi akut intrakranial. 10. Mengetahui bahwa pasien CKS dengan patah tulang kepala memiliki risiko lesi akut intrakranial yang memerlukan tindakan operasi lebih tinggi. 11. Mengetahui bahwa pasien CKS dengan waktu kejadian sampai mendapat penanganan dirumah sakit > 6 jam merupakan faktor risiko terjadinya lesi akut intrakranial. 12. Mengetahui bahwa pasien CKS dengan waktu kejadian sampai mendapat penanganan dirumah sakit > 6 jam memiliki risiko terjadinya lesi akut intrakranial yang memerlukan tindakan operasi lebih tinggi. 13. Mengetahui bahwa pasien CKS dengan gangguan Faal Hemostasis (pemanjangan partial thromboplastin time dan pemanjangan aktif partial thromboplastin time) adalah faktor risiko terjadinya lesi akut intrakranial. 14. Mengetahui bahwa pasien CKS dengan gangguan Faal Hemostasis (pemanjangan partial thromboplastin time dan pemanjangan aktif partial thromboplastin time) memiliki risiko terjadinya lesi akut intrakranial yang memerlukan tindakan operasi lebih tinggi. 15. Mengetahui bahwa pasien CKS dengan hypoxia adalah faktor risiko terjadinya lesi akut intrakranial. 16. Mengetahui bahwa pasien CKS dengan hypoxia memiliki risiko terjadinya lesi akut intrakranial yang memerlukan tindakan operasi lebih tinggi.
9
17. Mengetahui bahwa pasien CKS desngan jenis kelamin laki-laki mempunyai faktor risiko lesi akut intrakranial. 18. Mengetahui bahwa pasien CKS dengan jenis kelamin laki-laki memiliki risiko terjadinya lesi akut intrakranial yang memerlukan tindakan operasi lebih tinggi. 1.4.
Manfaat
1.4.1. Manfaat Ilmiah Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam upaya mengetahui faktor - faktor klinis yang berhubungan dengan terjadinya lesi akut intrakranial dan perlunya tindakan operasi pada pasien cedara kepala sedang. 1.4.2. Manfaat Praktis Dengan mengidentifikasi faktor-faktor risiko tersebut, diharapkan dapat menjadi patokan untuk menditeksi secara dini pasien yang memiliki risiko terjadinya lesi akut intrakranial dan pasien yang memerlukan tindakan operasi, sehingga tercapai prinsip penanganan cedera kepala, yaitu deteksi dini komplikasi dan penanganan yang sedini mungkin.