BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG Sebuah karya sastra dikatakan sebagai manifestasi dari seorang pengarang, baik sebagai bagian dari suatu sosial masyarakat tertentu, maupun sebagai individu yang memiliki keunikannya sendiri. Dapat dikatakan pula jika sebuah puisi, prosa, drama ataupun film merupakan wadah bagi seorang pengarang dalam merefleksikan sekaligus melakukan kritik terhadap kondisi sosial tertentu seperti persoalan kelas sosial, rasisme, etnisitas, agama, ketidakadilan gender, dst. Sebut saja pengarang-pengarang besar Prancis seperti Flaubert, Balzac, Émilie Zola di mana karya-karya mereka seperti Madame Bouvary, La Comédie Humaine, antologi Les Rougon-Macquart, dan lain sebagainya, dianggap sebagai representasi suatu situasi sosial Prancis pada suatu dekade tertentu sekaligus sebagai usaha mendobrak tatanan sosial tersebut yang dianggap timpang dan bobrok. Sementara di Indonesia sendiri dapat kita lihat karya-karya sastrawan besar seperti Pramoedya Ananda Toer dengan karya-karya realis-nya yang mengkritisi rezim pemerintahan Orde Baru. Pada masa sekarang, kita mengenal Andrea Hirata yang mampu mengangkat gambaran kesenjangan kelas di masyarakat Belitong pada masa lalu sekaligus kritik atas bobroknya sistem pendidikan di Indonesia. J.M.G. Le Clézio seorang pengarang kontemporer berkebangsaan ganda ‗franco-mauricien‟ turut hadir sebagai salah satu sastrawan masa kini yang
1
2
dianggap memiliki kepedulian besar terhadap suatu kondisi masyarakat tertentu dan mengangkatnya dalam karya sastra sebagai bentuk kritik atas ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi. Hal ini diungkapkan oleh Horace Engdhal, salah satu juri Nobel sastra menanggapi diberikannya anugrah Nobel sastra kepada Le Clézio pada tahun 2008, bahwa Le Clézio adalah un ecrivain de la Rupture1. Pengalaman hidup yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain yang telah dilalui Le Clézio semenjak kecil menjadi faktor utama yang mendasari penceritaan dalam novel-novel leclezien2. Le Clézio lahir dalam situasi sulit di masa Perang Dunia II, kemudian melakukan perjalanan besar menuju Nigeria pada usia 8 tahun bersama ibunya untuk menyusul sang ayah yang sedang bertugas militer di wilayah tersebut, dilanjutkan dengan pengembaraannya dari satu negara ke negara lainnya seperti Meksiko, Thailand, Korea, China, dan Mauritius. Hal tersebut menjadikan Le Clézio tumbuh sebagai sosok yang memiliki wawasan luas, khususnya mengenai sejarah perkembangan isu-isu sosial di berbagai belahan dunia yang pernah disinggahinya. Pengalaman bersentuhan langsung dengan beragam budaya lain tersebutlah yang mampu menjadikan Le Clézio sebagai salah satu pengarang yang dianggap mampu menyuarakan suarasuara marjinal dari berbagai budaya di belahan bumi yang berbeda. Tak
1
Dalam pengertiannya, kata ―Rupture‖ merupakan istilah lain dari bentuk ―dés-accord‖ atau pertentangan terhadap peraturan yang sudah mapan, penolakan terhadap norma-norma sosial, moral atau bentuk-bentuk estektika. Dimana dalam konteks kepenulisan, suara yang lemah dapat menjadi bentuk kritik yang hendak disampaikan oleh pengarang.(Salles, 2010:31) 2 Istilah bagi karya-karya yang dihasilkan oleh J.M.G.Le Clézio
3
mengherankan bahwa kemudian, Le Clézio dianggap sebagai pengarang dunia, yang memiliki sisi multikulturalisme dalam dirinya3. Citra yang dilekatkan pada dirinya tersebut memang tak dapat terlepas dari sejarah hidup Le Clézio yang telah berpindah-pindah dari satu sisi dunia ke sisi yang lainnya tersebut. Namun di samping itu, perkembangan dan produktifitasnya dalam berkaryalah yang tentu menjadi faktor besar dalam kesuksesannya di dunia kesusastraan yang digelutinya. Lebih dari 30 karya telah ditelurkannya baik essay, cerpen, maupun novel. Selain itu, dedikasinya sebagai pengajar sastra di beberapa Universitas di beberapa negara seperti China, Korea Selatan, Meksiko, Texas, serta Thailand menunjukkan dedikasi besarnya terhadap kesusastraan itu sendiri. Selain itu, evolusi gaya kepenulisannya juga turut menjadi perhatian para pembaca Le Clézio. Adrian Tahourdin, editor Times Literary Supplement mengungkapkan bahwa terdapat dua fase besar dalam karier kepengarangan Le Clézio. pada awal kepenulisannya, Le Clézio dikenal dengan karya-karyanya yang bersifat eksperimental, tentang kejiwaan, hingga pertengahan 1970-an kemudian beralih ke dalam gaya yang lebih liris, naratif tradisional, dan mulai mengeksplorasi lebih banyak budaya (Kompas, 21 Oktober 2008). Pada pertengahan 1980-an, Le Clézio nampak mulai tertarik dengan kisahkisah yang terinspirasi dari kisah masa lalu keluarganya sebagai latar dalam
3
These realistic novels—my own favorites among his prolific oeuvre—lightly fictionalized Le Clézio‟s own fatherless childhood and colorful family background, which is connected variously to Brittany, the town of Nice, England, Nigeria, and the island of Mauritius.[....] Multiculturalism comes naturally to Le Clézio, and he has long ruminated on the issue, indeed while writing novels like these. (http://www.theguardian.com/books/2010/apr/10/le-clezio-nobel-prize-profile diakses pada September, 2015)
4
cerita-ceritanya4. Setelah muncul novel-novel seperti Le Chercheur d‟or (1985) dan Voyage à Rodrigues (1986) yang terinspirasi dari kisah sang kakek yang berasal dari Mauritius, serta La Quarantaine (1995), dan Révolutions (2003) yang merupakan kisah yang terinspirasi dari sosok sang Ayah, novel Ritournelle De La Faim—yang kemudian untuk selanjutnya disingkat dengan RDLF—terbit sebagai roman familial terakhir yang ditulisnya. Novel ini juga merupakan novel terakhir yang dipublikasikan sesaat sebelum dianugrahinya J.M.G. Le Clézio oleh prix nobel litterature pada tahun 2008. Hal tersebut menunjukkan bahwa novel RDLF cukup mendapat perhatian penikmat sastra ketika itu. Selain itu, novel ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul ―The Same Old Story of Hunger‖. Secara singkat, novel ini menceritakan tentang Ethel Brun yang lahir dalam keluarga borjuis-mauritius di Paris pada masa interwar hingga pasca Perang Dunia II. Kisah Ethel dimulai pada tahun 1939, ketika ia masih berusia 10 tahun. Ketidakharmonisan keluarganya dikarenakan pertengkaran kedua orang tuanya, serta ketidakcocokan antara ayah dan kakeknya, membuat Ethel merasakan ketidakbahagiaan dalam hidupnya. Hal tersebut yang mendorong Ethel berupaya menemukan kebahagiaan yang lain di luar lingkungannya tersebut. Ethel akhirnya merasakan kebebasan melalui persahabatan yang dijalinnya dengan Xenia, seorang gadis imigran miskin dari Rusia serta kisah cinta dengan Laurent
4
Cette histoire familiale, Le Clézio l‟a transposée dans divers romans : Le Chercheur d‟or (1985) Voyage à Rodrigues (1986), La Quarantaine (1995), Révolutions (2003) et RDLF (2008). (http://www.associationleclezio.com/ressources/biographie.html diakses pada September 2015)
5
Feld, seorang pria Inggris berdarah Yahudi. Kisah berlanjut ketika keluarga Ethel mengalami kebangkrutan hingga meletusnya Perang Dunia II yang memaksa Ethel dan kedua orang tuanya untuk mengungsi ke wilayah selatan Prancis. Kemiskinan dan kelaparan melanda keluarga ini hingga akhirnya mereka berhasil melewati masa perang. Kisah berakhir dengan kepindahan Ethel ke Kanada setelah sebelumnya menikah dengan kekasihnya yang kembali dari perang, Laurent Feld. Yang menarik adalah bahwa novel RDLF sendiri merupakan novel familial pertama Le Clézio yang merupakan inspirasi dari sisi maternal-nya. Hal tersebut seperti yang dipaparkannya oleh Maya Jaggi melalui wawancaranya dengan Le Clézio ―His latest novel, „Ritournelle De La Faim‟ (2008), which he wrote while teaching in South Korea, looks back to his mother's generation of Mauritians in Paris between the wars‖5. Hal tersebut juga nampak pada kutipan dalam novel berikut ini : ―Ma mère, quand elle m‟a raconté la première du Boléro [....] J‟ai écrit cette histoire en mémoire d‟une jeune fille qui fut malgré elle une héroïne à vingt ans‖( Le Clézio, 2008:205-206). Ibuku ketika pertama kali ia bercerita tentang Bolero [...] aku menulis cerita ini untuk mengenang seorang gadis muda yang meskipun baru berusia 20 tahun namun telah menjadi seorang pemeran utama.
Selain itu, dipilihnya kota Paris dan Nice pada masa interwar hingga Perang Dunia II sebagai latar cerita turut membuat novel RDLF berbeda dengan novel-novel familial yang diusung Le Clézio sebelumnya, di mana novel-novel
5
http://www.theguardian.com/books/2010/apr/10/le-clezio-nobel-prize-profile diakses pada September, 2015.
6
familialnya tersebut --bahkan hampir sebagian besar dari keseluruhan karyakaryanya-- mengambil latar cerita berupa kehidupan sosial dari wilayah-wilayah yang pernah disinggahinya. Hal ini menjadi ketertarikan sendiri mengingat Prancis adalah tanah kelahiran pengarang, identitas pertama yang di dapatnya— sebelum akhirnya mendapat identitas kebangsaan ganda ‗Franco-mauricien‘. Meskipun lahir dan tumbuh di Prancis, namun budaya Mauritius yang dibawa oleh sang ayah masih sangat mempengaruhi kehidupan seorang J.M.G. Le Clézio, sehingga menjadi persoalan menarik ketika Le Clézio yang memiliki dua identitas tersebut menuangkan kisah mengenai Prancis, yang adalah --namun sekaligus bukan sepenuhnya-- identitas dirinya. Selain itu, Perang Dunia II yang turut menjadi latar cerita dalam novel ini dapat dikatakan sebagai wujud nostalgia pengarang tentang masa kecilnya, di mana Le Clézio memang lahir dan tumbuh pada masa tersebut. Hal tersebut nampak melalui narasi singkat pengarang mengenai kenangannya sebagai seorang anak yang lahir dan tumbuh dalam situasi perang dunia “Je connais la faim, je l‟ai ressentie. Enfant, à la fin de la guerre[...]‖ (Aku tahu apa itu lapar, aku merasakannya. Akulah anak yang terlahir di akhir perang yang bergejolak) (Le Clézio, 2008:11). Lebih jauh, dikisahkannya tokoh sentral dalam RDLF dalam sosok Ethel Brun, seorang anak yang berasal dari keturunan keluarga borjuis pada masa itu menjadi hal yang menarik dari novel ini. Penceritaan yang berbeda mengenai sosok Heroine dalam kesusastraan leclézien --yang tumbuh dalam lingkup sosial yang berasal dari kelas borjuis-- menjadi warna tersendiri yang ditawarkan oleh
7
Le Clézio untuk menghadirkan kritik akan kesenjangan kelas yang terjadi dalam tubuh masyarakat Prancis kala itu. Hal tersebut juga ditekankan dalam kutipan berikut: ―[...] Ajoutons la singularité d‟Ethel—blanche, intellectuelle, bourgeoise, quoique déchue—qui se distingue des autres personnages femmes chez Le Clézio, souvent errantes, marginales, pauvres : Béa B., Laïla, Surya, par example.‖( Balint-Babos, 2013:63) [...] Ditambah dengan keunikan Ethel—putih, intelektual, borjuis, meskipun lemah—yang berbeda dari karakter perempuan lain di Le Clézio, sering berkeliaran, marginal, miskin, Bea B., Laila, Surya, misalnya.‖ Kehadiran tokoh Ethel yang ‟blanche, intellectuelle, bourgeoise‟, namun sekaligus merasakan ketidakbahagiaan sebagai seorang anak dari keluarga golongan kelas atas tersebut seolah menjadi sebuah antitesis yang dimunculkan pengarang sebagai bentuk kritik terhadap kehidupan borjuasi melalui sosok heroine dalam novel ini. Sikap-sikap yang ditunjukkan tokoh Ethel seperti persahabatan diam-diam dengan gadis imigran miskin dari Rusia, serta ketidaksukaan dirinya dengan sikap-sikap keluarga maupun kolega-kolega ayahnya, seolah menunjukkan penolakannya terhadap nilai-nilai borjuisme dalam dirinya. Selain itu, penggambaran buruk mengenai kehidupan kaum borjuasi sebagai rulling class dihadirkan oleh Le Clézio melalui kehidupan keluarga Brun, khususnya melalui sosok sang ayah, Alexandre Brun, yang menganggur dan suka berfoya-foya. Namun, persoalan kritik borjuasi yang nampak dihadirkan dalam keseluruhan cerita melalui penggambaran satir keluarga Brun sebagai lingkungan utama dalam cerita RDLF tersebut perlu dianalisis lebih mendalam, di mana
8
secara menarik Le Clézio menghadirkan sosok heroine—protagonis dalam novel—yang justru berasal dari kelas borjuasi itu sendiri. Sikap resisten yang dimunculkan oleh Ethel seolah menjadi indikasi antikapitalisme yang hendak diusung oleh pengarang. Hal tersebut diperkuat dengan jatuh miskinnya keluarga Brun dikarenakan sikap serakah dan egois dari Alexandre Brun yang seolah menunjukkan kekalahan bagi kelas borjuis sebagai pihak yang superior dalam persoalan kesenjangan kelas yang menjadi fenomena sosial kala itu. Namun, ambivalensi kemudian seolah muncul dalam sikap Ethel yang
memperjuangkan warisan proyek rumah ungu dari alm.kakeknya
‗M.Soliman‘ dan juga usahanya dalam menghindarkan keluarganya dari kebangkrutan yang semuanya adalah akibat dari ketamakan sang ayah. Perjuangan
Ethel
untuk
‗tidak
menjadi
miskin‘
tersebut
justru
menimbulkan ambiguitas sikap resisten Ethel terhadap nilai-nilai borjuis tersebut. Hal ini seolah memposisikan Ethel pada posisi—meminjam istilah
Žižek—
looking awry, di mana subjek selalu berada pada posisi ambivalen dan serba salah6. Selain itu, penggambaran citra buruk kaum bawah melalui fenomena lesbian di lingkungan Xenia serta penggambaran watak tokoh Xenia yang egois dan oportunis justru seolah menjadi fenomena dari kapitalisme yang juga
6
Hal ini oleh Zizek dijelaskan ketika yang imajiner akan selalu menjadi yang dihasrati subjek untuk menuju ke-diri-an yang penuh, sementara yang imajiner hanyalah gambaran ilusi yang untuk meraihnya adalah mustahil tanpa yang Simbolik (meskipun tatanan Simbolik juga menegaskan akan kegagalan subjek untuk menuju yang Nyata). Simbolik sebagai sendiri kemudian menjadi jurang yang secara terus menerus menjerumuskan subjek dalam hasrat Liyan, yang berarti kegagalan bagi subjek sendiri.
9
menggerogoti kaum kelas bawah7. Hal ini kemudian menjadi permasalahan ketika sosok Xenia, adalah penggambaran sosok ideal dalam kehidupan Ethel, yang membuat Ethel dapat terlepas dari kehidupan keluarga borjuis yang selama ini mengungkungnya, namun pada akhirnya justru memilih menikah dengan seorang pria kaya raya. Adanya sikap-sikap yang seolah ambivalen di dalam novel RDLF inilah yang oleh Fredric Jameson, seorang kritikus Marxis dari Amerika, merupakan manifestasi dari ketidaksadaran. Jameson berpendapat bahwa hubungan antara makna yang termanifestasikan dengan yang laten seringkali berkebalikan. Proses keterkaitan ini juga tidak bersifat manasuka atau arbritrer, melainkan ada kekuatan yang selalu mengontrol dan membentuk lintasan ketidaksadaran menuju kesadaran, dari laten menuju manifes, yang oleh Jameson diyakini sebagai kekuatan-kekuatan historis (Akmal, 2013:80). Sementara itu, dikaitkan dengan bentuk cerita yang mengusung memori mengenai kehidupan masa lalu sang ibu hingga Le Clézio sendiri menimbulkan persoalan subjektivitas yang mungkin hadir dalam penceritaan yang justru dapat semakin menjebak pengarang dalam bentuk-bentuk ambivalensi itu sendiri. Untuk itu, kritik borjuasi yang hadir melalui cerita familial keluarga Brun ini sangat penting untuk dikaitkan dengan sejarah ketika novel RDLF ini diciptakan guna menapatkan latensinya.
7
Pada masa antara-perang-dunia, kemerosotan moral masyarakat menjadi salah satu fenomena yang hadir sebagai akibat kesenjangan yang terjadi antar kelas. Krisis ekonomi yang terjadi pasca Perang Dunia I serta arus imigrasi yang memuncak, kemudian turut menjadi faktor pendorong dari demoralisasi yang terjadi di Prancis pada masa tersebut.
10
Menurut Jameson, sejarah dalam kaitannya dengan teks, tidak muncul pada level surface, melainkan terkubur di dalam sebagai political unconscious. Sejarah tidak mudah diakses sehingga perlu diinterpretasikan. Sementara interpretasi berakar pada sejarah. Inilah situasi dialektika yang paling inti dari teori Jameson yang menjadi basis metodologisnya (Akmal, 2013:79). Ideologeme oleh Jameson kemudian hadir sebagai satuan terkecil dari ideologi yang bisa menjadi unit analisis dari suatu teks, guna mendapatkan latensi yang terdapat pada teks RDLF yang terletak pada level ‗ketaksadaran‘-nya. Untuk itu, penelitian ini akan menggunakan konsep dialektika yang diusung Jameson melalui analisis tiga tahapan horizon interpretasi yang ditawarkannya guna menemukan makna laten dari novel RDLF hingga pada akhirnya dapat ditemukan posisi pengarang, terutama jika dikaitkan dengan indikasi munculnya ambivalensi dari pola tokoh (-tokoh) dalam novel tersebut dalam konteks permasalahan kritik borjuasi yang diusung pengarang.
1.2.RUMUSAN MASALAH Superioritas borjuasi menjadi persoalan utama yang dikritisi dalam penelitian ini. Hal tersebut nampak melalui kehadiran tokoh utama ‗Ethel Brun‘ yang merupakan seorang anak tunggal yang tumbuh dalam keluarga borjuis yang egois dan serakah. Ketidakbahagiaan yang dirasakannya serta persahabatannya dengan seorang imigran miskin hingga hubungan cintanya dengan seorang pria Yahudi menjadi indikasi adanya upaya penolakan atas bentuk-bentuk diskriminasi sebagai akibat kesenjangan kelas maupun perbedaan ras yang terjadi pada masa
11
tersebut. Selain itu, kemiskinan yang dialami keluarga borjuis ini menjadi upaya pengarang dalam meruntuhkan nilai-nilai superioritas tersebut. Namun ambiguitas justru
ditunjukkan
Ethel
melalui
perjuangannya
dalam
menghindarkan
keluarganya dari kebangkrutan. Selain itu, sosok Xenia yang nampak oportunis dengan memutuskan menikah dengan seorang pria kaya demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik turut menjadi hal yang kontradiktif terhadap upaya kritik borjuasi yang diusung dalam novel ini. Hal tersebut memunculkan kecurigaan atas kekuatan resistensi yang hadir di dalam teks sebagai wujud penolakan atas sebuah ideologi; apakah bersifat subversif atau justru pengarang masih terjebak pada suatu sikap yang sebenarnya masih tunduk pada suatu tatanan ideologis tertentu. Melalui persoalan-persoalan diatas, maka konsep tiga horison interpretasi yang diusung Jameson dalam bukunya ―The Political Unconscious‖ akan menjadi pisau bedah untuk mengetahui bagaimana latensi novel RDLF sebagai sebuah bentuk kritis atas kesenjangan kelas melalui penggambaran borjuasi pada masa interwar hingga Perang Dunia II maupun persoalan kultural ketika novel ini diciptakan guna mendapati posisi ideologis pengarang. Maka, berikut ini adalah permasalahan yang berhasil dirumuskan dalam penelitian ini: 1.
Bagaimana manifestasi kritik terhadap borjuasi dihadirkan sebagai resolusi imajiner pengarang dalam novel RDLF karya J.M.G. Le Clézio?
2.
Bagaimana novel RDLF karya J.M.G. Le Clézio dihadirkan melalui fungsinya sebagai symbolic text?
12
3.
Bagaimana posisi pengarang dalam kaitannya mengenai manifestasi modusmodus produksi dalam Novel RDLF karya J.M.G. Le Clézio?
1.3.TUJUAN PENELITIAN Bagian ini akan menguraikan tujuan dari penelitian ini sebagai signifikansi yang memberikan dampak untuk kedepannya terutama pada pengkajian sastra yang secara tidak langsung menjadi sinkronisasi dari jawaban atas perumusan masalah yang telah diajukan sebelumnya. Berdasarkan rumusan masalah yang sudah diajukan di atas, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan masalah yang sudah dirumuskan. Jika diuraikan lebih terperinci, maka tesis ini akan mengelaborasikan; 1.
Struktur naratif cerita untuk mengungkapkan isi yang terkandung dalam novel RDLF. Hal ini ditujukan untuk mengetahui kritik borjuasi yang dilakukan pengarang sebagai sebuah resolusi imajiner yang dihadirkan oleh pengarang. Proses analisis selalu mengaitkan teks RDLF dengan teks-teks eksternal berupa teks sejarah dan teks sosio-ekonomi hingga akhirnya menemukan sub-text yang terdapat dalam novel.
2.
Menemukan makna laten dari teks melalui penyasaran ideologemeideologeme yang terdapat dalam novel RDLF dengan tetap mengaitkan teks dengan teks-teks eksternal berupa teks sejarah dan teks sosio-ekonomi.
3.
Menemukan bentuk modus-modus produksi yang terdapat dari novel RDLF, untuk kemudian menemukan posisi pengarang sebagai subjek yang
13
ambivalen atau bahkan telah menjadi subjek sinis yang mengalami ketertundukan terhadap ideologi dominan.
1.4.TINJAUAN PUSTAKA Berdasarkan penelusuran yang telah peneliti lakukan, masih sangat sedikit penelitian dengan objek kajian novel RDLF. Di Indonesia sendiri terdapat dua penelitian skripsi yang mengangkat novel RDLF sebagai objek kajiannya. Selanjutnya terdapat tiga artikel kritik mengenai novel RDLF yang penulis dapatkan melalui sumber tertulis maupun melalui media elektronik. Penelitian pertama berjudul ―Analisis Struktural-Semiotik novel RDLF karya J.M.G. Le Clézio‖. penelitian ini merupakan penelitian yang sebelumnya dilakukan penulis sendiri sebagai tugas akhir untuk meraih gelar Sarjana pada tahun 2012 sehingga dapat dikatakan penelitian ini adalah penelitian lanjutan penulis mengenai novel RDLF sebagai upaya untuk mengkaji lebih mendalam mengena novel ini melalui perspektif yang berbeda. Penelitian ini menganalisis mengenai unsur-unsur internal yang membangun novel ini melalui analisis struktural. Unsur internal yang dikaji berupa alur cerita, penokohan, latar, sudut pandang, dan tema. Hasil dari penelitian ini adalah deskripsi mengenai unsurunsur intrinsik yang membangun penceritaan novel RDLF dan untuk kemudian menemukan tema mayor maupun minor yang terkandung dalam novel ini. penelitian selanjutnya difokuskan lebih mendalam dengan menganalisis maknamakna dari simbol-simbol yang mungkin ditemukan di dalam novel melalui perspektif semiotika C. S. Peirce.
14
Penelitian kedua berjudul ―Dominasi Sosial dan Kekuasaan dalam Novel RDLF Karya Jean Marie Gustave Le Clézio‖ yang ditulis oleh Yulies Maratul F. pada tahun 2014. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan unsur-unsur dominasi yang terdapat dalam novel RDLF. Teori dominasi sosial yang digunakan berhasil mengungkap sistem dominasi sosial yang dipengaruhi oleh adanya unsurunsur kekuasaan. Dominasi tersebut terjadi pada tindakan, ucapan, ataupun pemikiran dalam hubungan antarindividu maupun antarkelompok. Penelitian ini kemudian berhasil menemukan dua jenis dominasi yang terkandung dalam RDLF. Dalam novel RDLF, dominasi terjadi tidak hanya antarkelompok namun juga terjadi antarindividu di dalam tubuh kelompok itu sendiri. dominasi sosial yang terjadi tidak sekedar mengandalkan kekuatan fisik namun juga kekuasaan dalam mempengaruhi, mengendalikan, dan mengatur pikiran orang lain. Dominasi dalam tubuh kelompok terjadi melalui hubungan keluarga tokoh utama dengan tokohtokoh lainnya, baik ayah, ibu, dan kakek. dominasi kelompok ditunjukkan melalui dua peristiwa yaitu pameran kolonial dan peristiwa holocaust. Selanjutnya adalah salah satu artikel yang ditulis oleh Adina Balint Babos berjudul ―Penser “L‟experiénce intérieure” au féminin dans RDLF”yang terdapat dalam kumpulan artikel kritik Le Clézio volume keenam berjudul ―Voix de Femmes‖ yang diterbitkan secara berkala oleh asosiasi pembaca Le Clézio setiap tahunnya. Penelitian ini berupaya untuk menemukan pengalaman batin mengenai pergerakan sosok tokoh perempuan Ethel Brun dalam novel RDLF yang dipandang berbeda dengan tokoh-tokoh perempuan yang pernah ditulis oleh Le Clézio dalam karya-karya sebelumnya. Konsep “experiénce intérieure‟ Kristeva
15
digunakan penulis untuk membedah bagaimana pergerakan tokoh Ethel Brun sebagai tokoh perempuan sekaligus tokoh sentral dalam cerita ini dipandang melalui perspektif feminin. Hasil dari penelitian ini adalah bagaimana tokoh Ethel yang dianggap plural—plural disini adalah tokoh yang adalah sekaligus seorang anak kecil, remaja, gadis yang jatuh cinta, dan seorang ibu—menjadi suara akan ketidakadilan sosial yang terjadi pada masa interwar hingga perang dunia. Melalui kediaman—tanpa perlawanan fisik—tokoh Ethel yang mengalami perkembangan baik secara fisik maupun batin menjadi cara bagi Le Clézio untuk menggugat ketidakadilan dengan kedewasaan yang dialami oleh tokoh utama dalam menghadapi situasi yang terjadi di sekelilingnya. Hal ini kemudian dikaitkan dengan musik bolero yang merupakan kunci lain di mana ketidakadilan tergambarkan melalui crescendonya namun sekaligus merupakan harapan akan kabar baik mengenai kebebasan. Kelemahan dari kritik ini adalah kurang konsistennya analisis yang dilakukan. Bahwa penekanan pada aspek feminitas sebagai aspek awal yang dipermasalahkan di sini justru terabaikan. Selanjutnya adalah esai yang ditulis oleh Justine Feyereisen dari Université Libre de Bruxelles et Université de Savoie yang berjudul ―L‟écriture de l‟événement ou l‟événement de l‟écriture: RDLF de Jean-Marie Gustave Le Clézio‖. Esai ini berjumlah 14 halaman bertujuan untuk menganalisis novel RDLF sebagai novel autobiografi sekaligus autofiksi, yaitu bagaimana novel RDLF ditulis antara sebagai sebuah fiksi yang imajiner dan representasi dari sebuah realitas—dalam hal ini adalah pengalaman masa lalu pengarang dan sang ibu yang menjadi sosok inspiratif atas penciptaan tokoh Ethel dalam cerita ini—Feyereisen
16
menggunakan konsep ―phenomenologique de la mémoire‖ dari C.Romano, di mana struktur penceritaan dalam novel ini kemudian dianalisis melalui pemlotan peristiwa-peristiwa dalam ―le sens evenementiel‖. Hasil dari penelitian ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu: Une memoire foctionnalisee”dan“une memoire sensitive‖. Pada analisis awal dikemukakan bagaimana novel RDLF adalah tindakan menulis yang didahului atas memori yang tidak disadari, dan seorang pengarang adalah sebagai yang menjalankan pena dianggap telah mati. Tokoh Ethel sebagai tokoh dalam novel terlepas sebagai sosok yang terinspirasi dari masa lalu penulis, adalah tokoh yang diceritakan oleh narator anonim sebagai sebuah presentasi objektif tentang dunia melalui ketakutan yang dialaminya sekaligus observasi yang dilakukannya sepanjang cerita melalui sudut pandang orang pertama ketiga. Selanjutnya adalah novel RDLF sebagai une memoire sensitive di mana pada bagaian hasil, dipaparkan memoire sebagai pengalaman naratif baik berupa pertemuan, perpisahan, dan jejak-jejak atas suatu jejak peristiwa.
1.5.KAJIAN TEORI Bagian ini akan menjadi dasar-dasar pijakan teoritis untuk menopang setiap argumen yang akan diproposisikan, yang juga sebagai hasil analisis dari penelitian ini. Dengan berpijak pada kajian teoritis yang aplikatif ini, maka hasil analisis dapat menjadi acuan yang signifikan. Adapun kajian teori yang utama tentu saja gagasan-gagasan yang diajukan oleh Fredric Jameson mengenai ketidaksadaran politis.
17
1.5.1. Ketidaksadaran Politis: Teks dan Sejarahnya Penelitian ini menggunakan konsep Political Unconscious yang terdapat dalam buku Political Unconscious: Narrative as Socially Symbolic Act karya kritikus Marxis Amerika, Fredric Jameson sebagai pisau bedah. Konsep keseluruhan dalam buku ini setidaknya bersandar pada dua terma besar sebagai pijakan pemikiran Jameson, yaitu Marxisme8 dan Psikoanalisis9. Jameson meyakini bahwa
kekuatan ideologi dominan hadir dalam sejarah yang
tersembunyi di balik sebuah teks sastra. Jameson menegaskan hal tersebut melalui kutipan berikut: It is in detecting the traces of that uninterrupted narrative, in restoring to the surface of the text the repressed and burried reality of this fundamental history, that the doctrine of a political unconscious finds its functions and its necessity (2002:4)
8
Dengan tetap mengacu pada konsep-konsep dasar khas Marxisme—dialektika dan materialisme historis—Jameson dalam kritiknya terhadap posmodern meyakini bahwa masih adanya dominasi kapitalisme yang hadir dalam wajah yang berbeda, yaitu kapitalisme lanjut atau yang sering disebut dengan kapitalisme multinasional. Jameson sendiri membagi evolusi kapitalisme dalam tiga tahapan, yaitu kapitalisme pasar, kapitalisme monopoli, dan kapitalisme multinasional (Jameson, 1991:35). Namun, berbeda dengan Marxis ortodoks, Jameson—sejalan dengan Althusser—menganggap bahwa base-structure tidak secara langsung mendeterminasi superstructure. Base-stucture bahkan bersifat semi-otonom, di mana teks sastra sebagai suprastruktur berpotensi kuat untuk beresistensi terhadap-nya. Disinilah konsep dialektika tersebut berlangsung, di mana sejarah selalu terkubur dan hanya ditemukan pada makna laten melalui proses interpretasi. Sementara interpretasi itu sendiri berakar dari sejarah (Ramayda, 2014: 78). Antara utopia dan ideologi akan selalu berkontestasi di dalam wacana dengan tetap berupaya untuk membongkar kemungkinan-kemungkinan opresi dari ideologi dominan. 9 Jameson mengambil ide dasar Freud mengenai ketidaksadaran. Freud yang membagi konsep kejiwaan manusia dalam tiga tingkatan: superego, ego, dan id. Ketaksadaran berada pada id manusia, di mana ego sebagai bentuk kesadaran diri berupaya merepresinya, namun tidak sepenuhnya berhasil. Maka, tugas peneliti, bagi Jameson adalah berupaya menemukan struktur ketaksadaran tersebut hingga makna terdalamnya melalui tahapan-tahapan interpretasinya. Bentuk ketaksadaran tersebut dapat dikatakan sebagai wujud respon dari yang simbolik terhadap upayaupaya resistensi dari teks. Selain itu, Jameson juga menganalogikan konsep tahapan cermin yang diajukan Lacan dalam analisisnya. Baginya teks muncul sebagai teks imajiner yang selalu berada dalam pengaruh sejarahnya. Sementara yang riil muncul dalam konteks Marxisme sehingga teks memiliki kemungkinan untuk terdistorsi sedemikian mungkin, di mana hasrat subjek sendiri hadir sebagai manifestasi dari hasrat kolektif terhadap the Other(dengan O yang kapital) yang terletak pada level ketaksadarannya.
18
Sejarah hadir pada level ketaksadaran teks yang terletak pada latensi sebuah teks. Sementara makna laten tersebut hanya dapat ditemukan melalui penyasaran lebih mendalam terhadap makna manifest yang berada pada tataran surface teks. Teks sastra muncul sebagai hasil rewriting melalui proses interpretasi atas sejarah yang melatarbelakanginya. Sejarah itu diyakini mengandung muatan ideologi dominan suatu masyarakat. Interpretasi ini menghasilkan sebuah upaya resistensi atas ideologi tersebut. Di sisi lain, ideologi dominan
secara
bersamaan
bereaksi
terhadapnya
dan
berperan
dalam
mempertahankan status quo-nya melalui bentuk-bentuk opresi yang tidak serta merta dapat kita tangkap pada tataran permukaan teks. Untuk itu, interpretasi kritis terhadap karya diperlukan untuk menemukan makna laten dalam karya sastra sekaligus membongkar kemungkinan-kemungkinan opresi dari ideologi dominan yang justru membawa teks pada sebuah ambivalensi atau bahkan ketertundukan terhadap dominasi tersebut. Terlebih lagi, muatan politis historis ini juga selalu terkait dengan kepentingan pengarang, baik yang pra-sadar, sadar dan melampauinya. Hal ini pula yang menciptakan gap pada struktur kesadaran berkelas dalam sastra, anggapan mengenai sastra adiluhung, picisan, murahan dan lain sebagainya, merupakan dampak dari campur tangan pengarang dalam proses eksplorasinya. Dengan kata lain, tingkat kesulitan dalam proses penciptaan karya sastra juga merupakan kenikmatan ideologis tersendiri. There is the private matter of my own pleasure in writing these texts: it is a pleasure tied up in the peculiarities of my „difficult‟ style (if that‟s what it is). I wouldn‟t write them unless there were some minimal gratification in it for myself, and I hope we are not too alienated or instrumentalised to reserve some small place for what used to be called handicraft satisfaction (Jameson, 1982: 88).
19
Di sini dapat dialokasikan implikasi yang dirujuk oleh Jameson bahwa selalu ada kenikmatan personal dalam suatu bentuk kritik tekstual, simbolik, dan lain sebagainya yang tentunya sangat berkaitan dengan ketidaksadaran. Ada semacam kepuasan yang lebih dari sekedar kritis, sehingga teks sastra sangat erat kaitannya dengan pola-pola legitimasi-sasi seperti ini. Seperti yang sudah disinggung, sastra dapat dilihat sebagai sebuah produk hasil imajinasi individu yang akan selalu memiliki muatan politis di dalamnya. Hal ini tidak terlepas dari keyakinan bahwa teks sastra sendiri merupakan hasil dari interpretasi-interpretasi yang telah dilakukan oleh pengarang sebelumnya. Lebih lanjut, Jameson (dalam Roberts, 2001:21) menyatakan bahwa sastra „is to be thought of as something more and other than … the false consciousness, that we associate with the word ideology‟, sehingga, melampaui oleh apa yang dikatakan Marx sebagai kesadaran palsu, Jameson menekankan bahwa ideologi (dalam artian ideologi dominan) sebagai sesuatu yang dikritisi oleh pengarang (tindakan politis), di sisi lain akan selalu muncul pada level ketaksadaran teks sebagai bentuk reaksi terhadap bentuk-bentuk penolakan terhadapnya. Sebagai contoh, bentuk-bentuk sastra realis seperti Madame Bovary karya Flaubert, dianggap muncul sebagai salah satu bentuk perjuangan feminis di kala itu melalui wujud teks sastra. Madame Bovary menjadi simbol perjuangan perempuan atas kebebasan diri perempuan kala itu. Madame Bovary melalui tindakan-tindakannya yang dianggap melenceng dari norma sosial justru hadir sebagai subjek revolusioner yang berupaya melepaskan diri dari sistem masyarakat yang ketika itu oleh Flaubert dianggap menindas hak-hak perempuan.
20
Namun, justru tindakan-tindakan yang melenceng yang dilakukannya menjadi sebuah tanda tanya besar yang perlu disasar untuk mendapati posisi teks yang dikaitkan dengan sejarah, di mana sikap materialistis yang dimilikinya justru menjadi gambaran ketertundukan terhadap kapitalisme sebagai ideologi dominan kala itu. Disinilah sisi ketaksadaran politis yang berusaha ditekankan oleh Jameson, bahwa sebuah teks yang kemudian disebut sebagai tindakan simbolik (symbolic act), mengandung sebuah bentuk resistensi, namun disaat yang bersamaan ideologi dominan juga memberikan reaksi dalam level ketaksadaran itu sendiri. Perlu dicatat bahwa sisi dominan ideologi merupakan sebuah totalitas yang tidak dapat dihindari oleh subjek, karena subjek sudah selalu ditundukkan oleh yang ideologis, yang disebut dengan reifikasi.
Reification is a process that affects our cognitive relationship with the social totality. It is a disease of thatmapping function whereby the individual subject projects and models his or her insertion into the collectivity. The reification of late capitalism—the transformation of human relations into an appearance of relationship between things— renders society opaque: it is the loved source of the mystifications on which ideology is based and by which domination and exploitation are legitimized (Jameson, 1988:146).
Sederhananya, subjek yang selalu sudah ditundukkan oleh yang ideologi, akan selalu memiliki distorsi dalam melihat suatu realitas yang menjadikan subjek secara tidak sadar berada dalam naungan ideologi. Bukan hanya seorang subjek melainkan subjek secara komunal yang menegaskan totalitas ideologi dalam ketidaksadaran sosial. Dengan kata lain, reifikasi bukan sekedar sebuah proses alienasi—yang dalam pengertian ketika subjek dibuang pada sebuah margin yang
21
menenggelamkan subjek dalam realitasnya—, melainkan alienasi sebagai sebuah proses totalisasi subjek menuju ketidaksadaran yang inheren dalam kekuasaan ideologi yang mendistorsi antara yang realitas dan yang palsu. Dalam konteks sastra, pengarang dapat disebut sebagai agen atau subjek yang juga berada dalam suatu ketidaksadaran politis tersebut, ketidaksadaran politis ini berupaya untuk mengeksplor multiple paths yang membawa kita pada unmasking of cultural artifacts—teks sastra—sebagai sebuah tindakan simbolik sosial (Jameson, 2002:5). Untuk itu, interpretasi kritis terhadap karya diperlukan untuk menemukan makna laten dari interpretasi sejarah dalam karya sastra. Hal tersebut ditujukan untuk mengetahui hubungan dialektik antara ideologi dengan teks sebagai sebuah resolusi imajiner—yang kemudian oleh Jameson disebut sebagai utopia yang mengandung harapan-harapan atas gejala-gejala budaya yang melatarbelakanginya—hingga akhirnya mengetahui posisi teks sebagai sebuah narrative apparatus.
1.5.2. Dialektika Ideologi dan Utopia Jameson dalam bukunya Policial Unconscious turut memaparkan mengenai ‗The Dialectic of Utopia and Ideology‟. Jameson menekankan pentingnya membaca karya dengan hermeneutika ganda, yaitu hermeneutika negatif dan hermeneutika positif. Hermeneutika negatif melihat teks sebagai ideologi (dalam pengertian yang peyoratif). Sementara hermeneutika positif melihat teks sebagai kekuatan subversif yang muncul dari impuls-impuls utopia yang
menciptakan
masyarakat—yang
dalam
cita-cita
Marxisme
adalah
22
masyarakat tanpa kelas. Jameson menjelaskan hermeneutika ganda sebagai berikut : Such in the general theoritical framework in wich i would wish to argue the methodological proposition outlined here: that a Marxis negative hermeneutic, a Marxis practice of ideological analysis proper, must in the practical work of reading and interpretation be exercised simultaneously with a Marxist positive hermeneutic, or a decipherment of the Utopian impulses of these same still ideological cultural texts.[...] an instrumental analysis is coordinated with a collective-associational or communal reading of culture, or in which a functional method for describing cultural texts is articulated with an anticipatory one (2002:286).
Sehingga dalam perspektif Jameson, ideologi dan utopia muncul secara serentak melalui hermeneutika ganda, di mana teks muncul sebagai perwujudan dari dorongan-dorongan utopian yang merupakan ekspreksi reaksionis terhadap ideologi dominan, dan sebaliknya, ideologi dominan sendiri dipahami sebagai infrastruktur yang akan selalu melakukan reaksi atas kekuatan-kekuatan resistensi yang ditawarkan melalui karya sastra. Jameson memahami utopia sebagai ―image of „the ultimate concrete collective life of an achieved Utopian or classless society‖ (Kouvelakis, 2008:707). Utopia menjadi penggambaran atas suatu kondisi yang ideal—yang dalam cita-cita Marxis di sebagai masyarakat tanpa kelas. Dengan kata lain, Jameson mengejar suatu dunia utopia yang melampaui konflik yang ada dalam realitas palsu yang ada, seperti yang dikatakan Goldstein bahwa Jameson berada dalam ―pursuit of a utopian realm transcending “instrumental” institutional conflicts‖ (1990: 149, 151). Hal ini juga sekaligus menjelaskan bahwa Utopian thought represented a diversion of revolutionary energy into idle wish-fulfillments and imaginary satisfactions … now it is practical thinking which everywhere stands as a testimony to the power of that
23
system to transform even its adversaries into its own mirror image. The Utopian idea, on the contrary, keeps alive the possibility of a world qualitatively distinct from this one (Jameson, 1971:110-111). Apa yang dimaksud oleh Jameson adalah bahwa dunia utopia tidak merujuk pada totalitas kebebasan subjek, melainkan—paling tidak—pengalihan dari harapan semu yang ditawarkan oleh ideologi dengan berbagai ilusi-ilusinya yang sebenarnya tidak pernah memenuhi ekspektasi subjek. Oleh karena itu, utopia seperti sebuah stimulasi subjek untuk keluar dari bayangan totalitas ideologi itu sendiri daripada penjebakan subjek lebih dalam ideologi. Hal ini yang kemudian Jameson pertegas dengan analogi-analoginya, bahwa subjek: … no longer fettered by the constraints of a now oppressive sociality, blossom into the neurotics, compulsives, obsessives, paranoids, and schizophrenics whom our society considers sick but who, in a world of true freedom, may make up the flora and fauna of „human nature‟ itself (Jameson, 1990: 102). Penegasan ini juga yang ―menyudutkan‖ Jameson sebagai pemikir Marxis dengan nuansa posmodernisme yang lebih menekankan pada kebebasan otoritatif subjek secara individual, relatif dan pluralis. Lebih jauh, Jameson mendapati masyarakat kini telah mengalami neurosis, atau kecemasan serta kegelisahan palsu, namun bukan karena adanya ide-ide utopis melainkan konteks di mana ideide tersebut dapat dengan bebas diucapkan dan didiskusikan telah hilang dari kehidupan saat ini. Hal ini yang justru menimbulkan kekhawatiran ketika hal-hal yang ideal tersebut dimaknai sebagai hal yang dangkal, di mana kebebasan dan kesetaraan dianggap sebagai standard akan kehidupan yang ideal. Inilah yang menjadi fokus Jameson, di mana karya sastra—sebagai yang utopis—perlu didekonstruksi melalui proses interpretasi-interpretasi melalui tataran isi hingga
24
bentuk karya tersebut guna mengungkap makna laten dibalik segala bentukbentuk etis dan politis dari sebuah teks sastra. Karena proses pemahaman tersebut adalah inti dari pemaknaan utopis yang diharapkan sebagai sebuah upaya guna membongkar dan menemukan potensi-potensi dari utopia itu sendiri. Potensi tersebut adalah berupa kemampuan ideologi untuk menyebar ke dalam budaya massa, sebanyak apapun kritik yang dilontarkan terhadapnya, sehingga interpretasi terhadap utopia dapat dikatakan sebagai sebuah proses menginterpretasi konsep-konsep ideal itu sendiri yang berpotensi menyembunyikan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja hanya merupakan repetisi maupun opresi dari sistem dominan. Utopia hadir melalui interpretasi-interpretasi—yang dalam analisisnya oleh Jameson dikonsepsikan melalui tiga horison pembacaan—sebagai sesuatu bentuk pencapaian yang ideal. Pada tahap pertama, elemen utopia dapat ditemukan pada penolakan teks terhadap kontradiksi sosial sehingga teks menemukan solusi imajiner. Pada horison tahap kedua, merujuk pada analisis ideologeme pada teks, makna laten ditemukan sebagai bentuk esensi dari yang ideal itu sendiri pada level ketaksadaran teks. Pada horison ketiga, utopia muncul sebagai yang diyakini sebagai masyarakat awal sejarah, di mana masyarakat muncul dari runtuhnya sistem kapitalisme, dan lahir pada sejarah baru, sebuah kapitalisme lanjut. Dari sini, apa yang dapat ditarik adalah hubungan antara ketidaksadaran, utopia dengan realitas yang berada di luar kesadaran subjek yang hanya terekam melalui mode interpretasi subjek. Interpretasi di sini merupakan pivot dari apa
25
yang sebenarnya terjadi dalam dunia sosial, semisal beberapa kelompok mendiskusikan mengenai kedamaian, demokrasi dan lain sebagainya, mereka terjerembab dalam pusaran makna yang mereka pahami secara komunal, meskipun ada subjektifitas yang hadir. Subjektifitas ini pula yang menjadi horizon menuju lembah utopia dari apa yang dimaksudkan oleh Jameson, sehingga subjek tidak terkekang oleh totalitas nilai serta batasan dari apa yang disediakan oleh ideologi. Dalam konteks ini, sastra menjadi bersayap, karena di satu sisi menawarkan suatu horizon namun di sisi lain sastra bias menjadi ―pabrik‖ yang mereproduksi makna ideologis yang selama ini dilawan.
1.5.3. Tiga Horison Interpretasi Seperti slogan yang selalu diungkapkan oleh Jameson, always historicize! Makna yang terkandung dalam sebuah teks sebagai symbolic act tidak dapat ditemukan melalui pemaknaan pada level permukaan saja. Sastra merupakan sebuah symptom yang di mana terdapat muatan ketaksadaran politis di dalamnya yang perlu digali secara lebih mendalam melalui interpretasi berlapis guna menemukan makna laten dari teks tersebut. Jameson kemudian memberikan tiga kerangka teoritik dalam menganalisis teks sastra guna mendapatkan makna laten melalui interpretasi-interpretasi yang dilakukan terhadap teks dengan kaitannya dengan teks-teks sejarah dan sosio-ekonomi yang melatarbelakanginya. Tiga horizon pembacaan tersebut adalah horison politis, sosial, dan modus produksi.
26
1.5.3.1. Horison Pembacaan Politis Pada horison pertama; horison politis, teks dipahami sebagai teks individual. Namun berbeda dengan pandangan intrinsik, teks dimaknai sebagai symbolic act, yaitu sebagai sebuah resolusi simbolik dari kontradiksi sosial. Prinsip dasar analisis atau interpretasi pada horison ini adalah: naratif individual, di mana struktur formal individual dipahami sebagai resolusi imajiner terhadap sebuah kontradiksi nyata (Jameson, 2002: 62). Pada tahap pertama ini teks dipahami sebagai sebuah resolusi imaginer dari pengarang atas kontradiksi sosial sebagai hasil interpretasi dari pengalaman hidupnya. Tipe interpretasi di sini kemudian dipahami sebagai hasil dari proses rewriting, yaitu penulisan ulang teks sastra dengan berbagai cara tertentu terhadap subtext historis atau ideologis. Adapun sebagai subtext, kontradiksi sosial-historis terepresi dan eksis hanya sebagai sebuah absent cause yang tidak dapat secara langsung dikonseptualisasi oleh teks. Subtext tersebut menurut Jameson―not immediatly present as such, not some common-sense external reality, nor even the conventional narrratives of history manual, but rather must itself always be (re)constructed after the fact (Jameson, 2002: 66). Dengan kata lain, sub-teks hadir sebagai sebuah dinamika dari fakta yang telah diolah, mengaburkannya, merevolusinya menjadi sebuah kebuntuan yang menawarkan kejamakan makna dalam penelusurannya, bukan gagasan umum yang disepakati oleh masyarakat.
27
1.5.3.2.Horison Pembacaan Sosial Pada horison kedua, teks dipahami sebagai ideologeme. Ideologeme menurut Jameson merupakan unit terkecil dari ideologi yang dapat dipahami dari wacana-wacana kolektif dan antagonistis antar kelas-kelas sosial (Jameson, 2002: 61). Kontradiksi-kontradiksi sosial pada tahap ini muncul sebagai pertentangan yang tak terelakkan antar dua kelompok yang beroposisi. Teks tidak lagi dilihat sebagai sebuah solusi indvidu, namun secara lebih luas, teks hadir sebagai ruang (wacana) di mana kedua kelompok saling bersaing secara nyata, di mana wacana kelompok dominan bereaksi terhadap bentuk-bentuk perlawanan kelas bawah terhadapnya. Lebih lanjut, Jameson memaparkan mengenai ideologeme sebagai sebuah formasi yang bersifat amfibi, memiliki karakteristik struktur esensial yang bisa saja diuraikan kemungkinannya memanifestasikan diri sebagai pseudoidea – konsepsi atau sistem kepercayaan, nilai abstrak, sebuah opini atau praanggapan— maupun sebagai proto naratif, semacam fantasi kelas yang pokok mengenai karakter kolektif yang merupakan kelas-kelas dalam oposisi (Jameson, 2002: 7273). Ideologeme ini kemudian dapat dipahami sebagai kekuatan di mana teks menunjukkan kekuatan subversifnya, sementara disaat bersamaan ideologi dominan bereaksi terhadapnya. Jameson kemudian menegaskan di mana konflik antara dua kelas antagonistik ini sendiri berada pada tataran wacana. Ia menegaskan ―On this rewriting, the individual utterance or text is grasped as a symbolic move in an essentially polemic and strategic ideological confrontation between the clasess‖
28
(2002:70-71). Sehingga dapat dipahami bahwa teks bukan lagi semata-mata bentuk perjuangan nyata perlawanan yang tertindas terhadap yang dominan. Teks lebih dipahami sebagai sebuah wacana yang menjadi situs di mana dua wacana saling bertentangan dari segi isi dan pada saat yang bersamaan saling terkait satu sama lain (Jameson, 2002:61). Oleh karena itu, bagi Jameson, adanya tarikmenarik di sini sekaligus membawa kita pada makna laten di mana kemungkinan jejak-jejak represi yang dilakukan oleh ideologi dominan—kapitalisme—dapat ditemukan. Teks tidak lagi dipahami sebagai teks individu, tetapi telah direkonstruksi dalam bentuk wacana kolektif, di mana tatanan sosial menjadi memperlebar pemahaman kita terhadap teks sebagai objek kultural. Roberts (2001:81) mengungkapkan argumennya bahwa ―The total unity is present in the unconscious of the text (they are part of the latent form of the text), where literature inevitably refers back to and embodies the social and economic realities out of which it was created,‖ sehingga kesatuan makna total hadir dalam ketidaksadaran teks, di mana sastra mau-tidak-mau merujuk kembali dan mewujudkan realitas sosial dan ekonomi dari mana ia diciptakan. Impuls-impuls utopia yang muncul tidak lagi dipahami sebagai resolusi imajiner individu atas kontradiksi kelas. Utopia muncul sebagai fantasi ideal yang terbentuk melalui penghasratan diri yang sesungguhnya merupakan hasrat dari— dalam istilah psikoanalisis—the Other. Sebagaimana diungkapkan Jameson bahwa ―[...] in which one of the ugliest of all human passions, antisemitism, is shown to be profoundly Utopian in character, as a form of cultural envy which is
29
at the same time a repressed recognition of the Utopian impulse (Jameson, 2002:278). Menurut Lacan bahwa bahasa yang mengkonstitusi seluruh ranah Simbolik, merupakan satu-satunya cara agar sang Diri dapat masuk ke dalam realitas kebudayaan; bahasa merupakan filter bagi Diri—atau apa yang disebut Frederic Jameson sebagai ―biological namelessness‖—agar ia dapat dipahami oleh yang lain, agar ia menjadi ―ada‖. Disinilah teks muncul sebagai sebuah sinisme. Sastra telah terdistorsi sedemikian rupa yang kemudian muncul sebagai teks kolektif yang secara tak sadar adalah bentuk pemenuhan hasrat simbolik yang termanifestasikan pada hasrat individu pada tataran surface yang kita bahas pada horison pembacaan pertama.
1.5.3.3. Horison Pembacaan Modus Produksi Pada horison ketiga, teks disituasikan pada modus produksi yang melahirkannya. Pada fase ini, Jameson menamakan teks sebagai ideology of form, yaitu ―pesan-pesan simbolik‖ yang ditransmisikan kepada kita oleh koeksistensi dari berbagai sistem tanda yang merupakan jejak-jejak dan antisipasi-antisipasi dari modus-modus produksi (2002: 62). Sehingga sebuah kritik pengarang menjadi persoalan yang mengemuka di sini. Jameson mencontohkan melalui analisisnya terhadap novel-novel karya Balzac, di mana kehidupan masa lalu keluarga Balzac telah direkonstruksi sedemikian rupa sebagai sebuah bentuk kisah familial di dalam karya-karyanya yang pada akhirnya menjadi mediasi atas persoalan yang lebih besar, yaitu
30
kontradiksi yang terjadi antara kekuatan revolusioner rakyat terhadap kelas feodal. Hal yang perlu ditekankan pada analisis ini adalah, bagaimanapun, fungsi-fungsi parental di sini dipahami sebagai kode-kode sosial ataupun posisi simbolik dari teks individu. Pemenuhan hasrat individu melalui impuls-impuls utopia dalam teks sastra, yang terbentuk melalui latar sejarah kehidupan pribadi pengarangnya, muncul sekaligus sebagai perwakilan yang simbolik. Utopia muncul sebagai pemenuhan hasrat pengarang sebagai bagian dari masyarakat kolektif. Dikarenakan adanya sebuah bentuk keberlanjutan sejarah—kapitalisme lanjut sebagai lanjutan atas dominasi kapitalisme—masih akan selalu menyisakan kecemasan dalam diri subjek kolektif—dalam hal ini pengarang—. Maka, pada horison interpretasi terakhir ini, akan dianalisis bagaimana modus-modus produksi termanifestasikan dalam teks yang tidak dapat terlepas dari sejarah subjek pengarang. Hal tersebut sekaligus, teks akan selalu dikaitkan dengan sejarah sosial di mana pengarang menciptakannya.
1.6.METODOLOGI PENELITIAN Bagian ini menguraikan hal-hal metodis yang berguna untuk menopang proses penelitian yang lebih akademis dan memiliki kredibilitas serta keakuratan. Adapun proses yang dilakukan dalam penelitian yang dibagi dalam dua cara, yaitu pengumpulan data dan analisis data.
31
1.6.1. Metode Pengumpulan Data Menurut Faruk (2012: 22) metode dan teknik pengumpulan data pada dasarnya adalah seperangkat cara atau teknik yang merupakan perpanjangan dari indera manusia karena tujuannya adalah mengumpulkan fakta-fakta empirik yang terkait dengan masalah penelitian. Penelitian ini dibagi ke dalam dua objek kajian, yaitu objek material dan objek formal. Objek material dalam penelitian ini adalah novel Ritournelle De La Faim karya Jean Marie Gustave Le Clézio yang diterbitkan pada tahun 2008 oleh Gallimard, Paris. Sementara objek formalnya berupa interpretasi pengarang yang termanifestasikan dalam narasi familial borjuis novel Ritournelle De La Faim. Data dalam penelitian ini adalah kualitatif. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel Ritournelle De La Faim karya Jean Marie Gustave Le Clézio. Dari teks tersebut akan dikumpulkan satuan-satuan tekstual yang merepresentasikan satuan-satuan kenyataan tekstual yang mengindikasikan kritik terhadap nilai-nilai borjuasi. Tahap ini kemudian menjadi jalan untuk menemukan subtext dari novel RDLF kemudian disasar kembali guna menemukan makna laten yang terdapat pada ketaksadaran teks. Sementara data sekunder bersumber pada teks-teks eksternal yaitu teks-teks sejarah dan sosio-ekonomi
yang menjadi
struktur dasar pembentuknya maupun teks-teks biografi dari subjek pengarang. Kemudian satuan-satuan kenyataan tekstual dan teks-teks sejarah tersebut dianalisis melalui pembacaan dialektik. Data yang merupakan satuan tekstual dari novel RDLF tersebut dikumpulkan melalui metode simak. Metode simak sendiri menurut Faruk (2012:
32
168) adalah menyimak satuan-satuan linguistik yang signifikan yang ada dalam teks karya sastra yang menjadi sumbernya atas dasar konsep-konsep teoritik yang digunakan. Kemudian data yang dikumpulkan berupa kalimat, pernyataan tokoh dan dialog antar tokoh yang dikutip dari novel maupun dari teks-teks eksternal seperti artikel, jurnal, dan sumber representatif lainnya. Data-data tersebut akan dijabarkan dan dianalisis melalui pembacaan dialektik dalam konsep tiga horizon bertingkat Jameson yang telah dikemukakan pada kajian teori.
1.6.2. Metode Analisis Data Metode analisis data merupakan seperangkat cara atau teknik penelitian yang merupakan perpanjangan dari pikiran manusia karena fungsinya bukan untuk mengumpulkan data, melainkan untuk mencari hubungan antar data yang tidak akan pernah dinyatakan oleh data itu sendiri (Faruk, 2012: 25). Untuk mengkaji atau menganalisis data yang telah dipilah sebelumnya, digunakan tiga horison interpretasi Jameson sebagai berikut: 1. Horison politis sebagai langkah awal yaitu dengan melakukan penstrukturan terhadap novel RDLF untuk mengetahui bentuk subjektivitas pengarang berupa kritiknya terhadap nilai-nilai borjuasi sebagai bentuk resolusi imajiner teks untuk kemudian didapati subtext dari novel RDLF. 2. Selanjutnya,
untuk
mengkaji
ideologeme
digunakan
horison
interpretasi Jameson yang kedua, yakni horison sosial. Ujaran
33
individual (parole) atau teks dipahami sebagai sebuah polemik dan strategi konfrontasi ideologis antar kelas. 3. Untuk mengkaji ideologi bentuk digunakan horison interpretasi ketiga Jameson, yakni horison modus produksi. Modus-modus produksi disasar melalui tataran bentuk hingga isi novel RDLF yang direstruktur atau ditulis ulang (rewritting) sebagai sebuah lapangan kekuatan yang meregistrasikan dinamika sistem tanda cara produksi. Dari sini, penelitian dapat diproses dengan procedural yang selayaknya.
1.7.Sistematika Penyajian Penelitian ini kemudian terbagi dalam lima bab sebagai berikut : Bab I merupakan Pendahuluan yang terdiri dari beberapa subbab latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II hingga Bab IV berisi pembahasan mengenai analisis terhadap data-data yang telah dikumpulkan baik dari teks novel RDLF maupun teks-teks eksternal berupa teks-teks sejarah dengan mengungkapkan sisi sosio-ekonomi dan sisi politis teks sastra RDLF. Tiga bab tersebut merupakan hasil dari pembacaan dialektik melalui konsep pembacaan tiga horizon bertingkat Jameson. Bab II berisi hasi analisis fungsi teks sebagai symbolic act atau solusi imajiner pengarang. Pada bab III diungkapkan ideologeme teks dalam kaitannya dengan pengungkapan makna laten dari teks melalui pertimbangan teks sejarah yang melatarbelakanginya Bab IV peneliti akan mengungkapkan bentuk teks sebagai ideology of form atau ekspresi simbolik dari
34
sistem kapitalisme yang lanjut pada novel RDLF. Bab 5 merupakan kesimpulan dari keseluruhan analisis dengan menekankan pada peran politik teks yang telah diungkapkan dari tiga pembacaan sebelumnya, yaitu peran ganda (hermeneutika ganda) dari teks baik sebagai alat ideologis dan kritik terhadap kondisi kapitalisme lanjut pada era kontemporer yang dituangkan dalam novel RDLF.