BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Ibadah haji merupakan syari’at yang ditetapkan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim. Dan hal ini juga diwajibkan kepada umat Islam untuk menjalankan ibadah tersebut bagi mereka yang mampu. Sebagaimana firman Allah SWT.:
! " # $%!& ' ()* 1/0.
!&- +,
Artinya: “Dan permaklumkanlah kepada seluruh manusia itu untuk melakukan ibadah haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, mengendarai onta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh”. (QS. Al Hajj: 27).1 Setiap orang Islam tentu mendambakan untuk menunaikan ibadah haji untuk memenuhi rukun Islam yang kelima, bagi umat Islam yang bermukim disekitar tanah Arab, pergi menunaikan haji mungkin tidak menjadi masalah karena kedekatan tempat tinggal mereka. Tetapi bagi umat Islam yang berada di Asia Tenggara (Cina, Jepang, Malaysia, Indonesia dan lain sebagainya), perjalanan ke Makkah merupakan pengembaraan yang mengagumkan. Berbagai cara ditempuh baik dengan kapal laut yang memakan waktu yang berminggu-minggu, berjalan kaki atau naik kendaraan darat yang memakan waktu yang berbulan-bulan. Sekarang dengan bertambah majunya
1
Abd. Al Baqi, Muhammad Fuad, Al Mijam al Mufharas Liahfadz al-Qur’an al Karim, Beirut, Dar al-Fikr, Cet. IV, 1994, hlm. 32.
1
2 ilmu pengetahuan dan makin lancarnya transportasi kemudahan sudah banyak didapatkan.2 Walaupun jamaah haji yang bertemu di Baitullah (rumah Allah) sama-sama memiliki niat yang semata-mata untuk beribadah, namun atsar (bekas) ibadah tersebut bagi tiap person tidaklah sama, karena Nabi SAW. bersabda: “Kalian umatku lebih mengetahui urusan dunia”, artinya banyak cara menuju Baitullah sepanjang tidak melanggar syari’at yang telah ditentukan Allah SWT.3 Kewajiban melaksanakan ibadah haji bagi umat islam didasarkan nash al-Qur’an yaitu firman Allah SWT: 1@0.(& , >? -22222
34 56!789: 5&
;4 !& <=# $%!&
6$! 22222
Artinya: “…Dan wajib atas manusia untuk Allah mengunjungi Baitullah, yaitu manusia yang mempunyai kesanggupan pergi kepada-Nya…”. (QS. Ali Imron: 97).4 Kesanggupan atau yang dikatakan istitho’ah dalam ayat al-Qur’an yang menjadi salah satu syarat wajib haji, barulah dipandang telah berujud bagi orang yang menunaikan haji itu apabila telah terdapat hal-hal yang di bawah ini: 1. Yang menghadapi perintah haji itu seorang yang mukallaf yang sehat badan. 2. Perjalanan yang ditempuh aman dari segala bahaya, baik terhadap jiwa atau harta. 2
Zakiah Darajad, Haji Ibadah yang Unik, Jakarta, Ruhama, Cet. ke-6, 1994, hlm. 7. Empat Satu Kelompok, Cara Mudah Naik Haji, Buku Panduan untuk Calon Haji dan Umroh, Bandung, Mizan, 1993, hlm. 17. 4 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang CV. Al-Waah, 1993, hlm. 92. 3
3 3. Ada alat angkutan pulang pergi, baik darat, laut dan udara. 4. Memiliki pembelanjaan.5 Menurut pendapat jumhur ulama, bahwasanya orang yang sanggup menunaikan ibadah haji, kemudian dia mengalami keuzuran, karena sangat tua dan dia tidak mengerjakan hajinya diwaktu kuat, maka haruslah hajinya itu dikerjakan oleh orang, karena ia sudah tak mungkin lagi mengerjakan sendiri. Dia dipandang sama dengan orang yang telah meninggal yang belum menunaikan ibadah haji. Haji orang yang semacam ini dapat dikerjakan orang lain atas namanya.6 Demikianlah pendapat jumhur, dalam masalah ini mereka berdalil dengan hadits disampaikan oleh Al Fadhal Ibnu Abbas, ujarnya:
! H IJ4
F& KL
M6% N4 = * 6D& !&
(& G F& > 5
.;! ABC: D E* & (&
;4 O (& P9: Q & 4 RS !& T J& 2BCT.>A
Artinya: “Seorang wanita dari golongan Khot’am berkata: Ya Rasulullah sesungguhnya difardhukan Allah atas hamba-hamba-Nya haji. Ayah saya sangat tua tidak lagi sanggup duduk di atas kendaraan, apakah boleh saya menunaikan ibadah haji atas namanya? Nabi menjawab: boleh”.7 Dari keterangan di atas jelas bahwa orang yang sudah berkewajiban haji tapi karena sudah tua atau karena yang lainnya seperti sakit yang tidak dapat bergerak itu boleh menyuruh orang lain untuk melakukan hajinya.
5
T. M. Hasbie Asshiddiqie, op. cit. Ibid 7 al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz I, Dar al-Kitab al-Alamiah,: Beirut, Libanon, t.th, 6
hlm. 571.
4 Imam Ahmad tidak mewajibkan mengulangi haji bagi orang yang sakit keras walaupun sembuh kembali. Hal ini ialah agar tidak mengakibatkan dua kali haji.8 Kemudian menurut pendapat jumhur, bahwa itu belum lagi cukup, karena ternyata harapannya akan sembuh belum putus dan yang dilihat adalah akhir dari kesudahannya.9 Dalam hal ini seorang ulama’ yang sangat terkenal Ibnu Hazm berpendapat yang terdapat dalam kitab Al-Muhalla:
P9: Q WS3" W!Y" 6 a3Q!& 6 F&
]
,
! " .B5 6 FHVH4 %!&
U!& HJ UX 6%
LXF&
J6T & 4 D&
* )& .U, S
"& >A 4&
!&
JC (& & 4 3 HJ ZX 5 (& WS3" G 6% * 4 D& 4 ! [ W!) ( 4 %!& 4 R B! &) b
! 6U\! 3]& ^_ VT
` %" &
!& +%9 NQc !& H c UX &)& W!)
6% KJ 6:] UC" 6 d c !& EJ
4 W!Y" B5 6
Artinya: “Ibnu Hazm berkata: bahwa Nabi menganjurkan supaya dikerjakan haji bagi orang yang tidak sanggup, baik dengan kendaraan, ataupun jalan kaki, dan Nabi menerangkan bahwa hutang kepada Allah dapat dibayar orang lain. Maka hal itu mempunyai pengertian bahwa hutang telah terbayar dan sah pembayarannya itu. Dengan tiada keraguan sedikitpun, kita menetapkan bahwa segala sesuatu yang telah terbayar dengan dikerjakan orang lain, maka sudah barang tentu tidak lagi menjadi perbuatan yang masih di fardlu untuk dikerjakan lagi, kecuali ada nash yang dimaksudkan. Andaikata harus diulangi, tentu Nabi Muhammad SAW. melarang yang demikian itu. Karenanya tidaklah perlu lagi diulangi oleh yang bersangkutan, karena sudah dikerjakan orang lain”.10
8
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid V, PT. Al Ma’arif, Bandung, 1986, hlm 48. Ibid. 10 Ibnu Hazm, Al Muhalla, Darul Fikr, Jilid IV, t. th., hlm. 62. 9
5 Demikianlah pendapat Ibnu Hazm yang dinilai cukup kontroversi bila dibandingkan dengan pendapat para Imam madzhab. Karena itu penulis sangat tertarik untuk mengkajinya, dan menganalisis pendapat Ibnu Hazm tersebut, dengan harapan hasilnya dapat memperkaya khazanah fiqh Islam. Penulis bermaksud menganalisis pendapat Ibnu Hazm tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul: “STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU HAZM TENTANG TIDAK DIWAJIBKANNYA HAJI BAGI ORANG YANG SAKIT KERAS KARENA DIWAKILKAN” B. Rumusan Masalah Dengan mengacu pada latar belakang tersebut di atas, ada beberapa pokok permasalahan yang akan penulis bahas dalam bentuk skripsi, namun dari beberapa pokok permasalahan yang ada hanya penulis batasi pada pokok permasalahan yang tersebut di bawah ini: 1. Bagaimana pendapat dan alasan Ibnu Hazm tentang tidak diwajibkannya mengulangi haji bagi orang yang sakit keras karena sudah diwakilkan? 2. Bagaimana metode istimbath hukum yang dipergunakan Ibnu Hazm? 3. Implementasi pendapat Ibnu Hazm untuk masa kini. Dari pokok permasalahan tersebut di atas penulis sangat ingin sekali membahasnya dalam bentuk skripsi. C. Tujuan Penulisan Skripsi Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis:
6 1. Untuk mengetahui alasan dan pendapat Ibnu Hazm tentang tidak diwajibkannya mengulangi haji bagi orang yang sakit keras karena sudah diwakilkan 2. Mengetahui dasar istinbath hukum yang dipergunakan oleh Ibnu Hazm dalam berpendapat. 3. Untuk mengetahui implementasi pendapat Ibnu Hazm untuk masa kini. D. Telaah Pustaka Dalam telaah pustaka ini perlu dijelaskan bahwa sepanjang pengetahuan penulis di Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo telah banyak sarjana yang membahas tentang haji, namun dengan fokus materi yang berbeda, diantaranya Aflahatul Amiroh (Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang angkatan 1997), yang meneliti tentang Kebolehan Wanita Melaksanakan Ibadah Haji Pada Masa Iddah Mati. Dalam penelitiannya menjelaskan tentang kebolehan menjalankan haji bagi seorang wanita dalam masa Iddah mati.11 Khusnul Khotimah (Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang angkatan 1997), yang meneliti tentang Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Ibadah Haji Lebih Dari Sekali Di Desa Bentasari Kec. Kroya Kab. Cilacap. Dalam penelitiannya dijelaskan kasus di Desa Bentasari Kec. Kroya Kab. Cilacap pelaksanaan haji tentang pelaksanaan ibadah haji yang dilakukan lebih dari satu kali, yang mengakibatkan nilai hukum sunnah
11
Aflahatul Amiroh (Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang angkatan 1997), judul Kebolehan Wanita Melaksanakan Ibadah Haji Pada Masa Iddah Mati.
7 dari mengulang haji dapat berubah menjadi makruh, bahkan bisa menjadi haram.12 Meskipun telah banyak penulis yang meneliti tentang Pemikiran Ibnu Hazm, seperti Ali Asyhar (Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang angkatan 1999) yang berjudul Akibat Hukum Menyusui Orang Dewasa (Studi Analisis Pemikiran Ibnu Hazm),13 Ahmad Hamamudin (Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang angkatan 1999) berjudul Studi Kritis Pendapat Ibnu Hazm Tentang Safar Sebagai Syarat Kebolehan Gadai.14 Dari penulisan ilmiah di tersebut belum ada yang membahas secara komprehensif pemikiran Ibnu Hazm tentang haji. Dan yang lebih penting implementasi yang di timbulkan dari pendapat Ibnu Hazm tersebut terhadap realitas masyarakat. Dari pembacaan itu, menurut penulis perlu kiranya meneliti tentang pendapat Ibnu Hazm tentang tidak diwajibkannya mengulangi haji bagi orang yang sakit keras karena sudah diwakilkan. Dengan demikian fokus pembahasan dalam skripsi yang penulis susun ini merupakan karya yang berbeda dengan penelitian sebelumnya, sehingga masih penting mengangkat tema ini ke dalam karya ilmiah.
12
Khusnul Khotimah (Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang angkatan 1997), yang meneliti tentang Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Ibadah Haji Lebih Dari Sekali Di Desa Bentasari Kec. Kroya Kab. Cilacap. 13 Ali Asyhar (Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang angkatan 1999) yang berjudul Akibat Hukum Menyusui Orang Dewasa (Studi Analisis Pemikiran Ibnu Hazm). 14 Ahmad Hamamudin (Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang angkatan 1999) berjudul Studi Kritis Pendapat Ibnu Hazm Tentang Safar Sebagai Syarat Kebolehan Gadai.
8 E. Metode Penulisan Skripsi Agar dapat mencapai hasil yang maksimal, ilmiah dan sistematis, maka metode penulisan mutlak diperlukan. Dalam penulisan skripsi ini penulis akan menggunakan metode sebagai berikut: 1. Metode Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan metode library research, yaitu penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan membaca buku-buku dan kitab-kitab yang berkaitan dengan masalah ini.15 Hal ini dimaksudkan untuk menguji sumber data tertulis yang telah dipublikasikan ataupun belum. Adapun data dalam penelitian ini dapat digolongkan menjadi dua: a. Data Primer Yaitu sumber data yang memberikan data langsung.16 Dalam penelitian ini sebagai sumber primernya adalah buku atau kitab alMuhalla karya Ibnu Hazm dan metode penetapan hukum (istinbath alhukm) Ibnu Hazm yang tertuang dalam kitab al-Ihkam fi Ushul alAhkam. b. Data Sekunder Yaitu sumber data yang mendukung dan melengkapi sumber-sumber data primer.17 Adapun data sekunder yang penulis dalam penulisan skripsi ini adalah buku-buku tentang pendapat para ulama yang 15
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University, Cet. ke-9, 2000, hlm. 30. 16 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiyah (Dasar-Dasar Metode Teknik), Tarsito, Bandung, 1990, hlm.134 17 Ibid.
9 melengkapi dalam pembahasan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini. 2.
Analisis Data Sebagai tindak lanjut dalam pengumpulan data, maka metode pengumpulan data menjadi signifikan untuk menuju sempurnanya penelitian ini. Dalam analisis data, penulis menggunakan metode sebagai berikut: a. Deskriptif Analisis, yaitu menggambarkan atau melukiskan obyekobyek permasalahan berdasarkan fakta secara sistematis, memberikan analisis secara cermat, kritis, luas dan mendalam terhadap obyek kajian dengan mempertimbangkan kemaslahatan.18 Metode ini digunakan terutama pada pandangan Ibnu Hazm mengenai tidak diwajibkannya mengulangi haji bagi orang yang sakit keras karena sudah diwakilkan. b. Metode Hermeneutik, yaitu salah satu pendekatan yang menggunakan logika linguistik dalam membuat telaah atas karya sastra.19 Logika linguistik membuat penjelasan dan pemahaman dengan menggunakan “makna kata” dan selanjutnya “makna bahasa” sebagai bahan dasar.
F. Sistematika Penulisan Skripsi Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab yang diuraikan menjadi sub-sub. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
18 19
Hadari Nawawi, Op. Cit., hlm. 63 Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: Rakesarasin, 1993, hlm. 314
10 Bab I
: Pendahuluan Dalam bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, telaah pustaka, metode penulisan skripsi, sistematika penulisan skripsi.
Bab II : Tinjauan Umum tentang Haji Bab ini memuat tentang pengertian haji dan dasar hukum, syarat, rukun dan wajib haji. Bab III : Pendapat Ibnu Hazm tentang tidak diwajibkannya mengulangi haji bagi orang yang sakit keras karena sudah diwakilkan Bab ini memuat biografi Ibnu Hazm, dasar istimbath hukum Ibnu Hazm, kemudian mengenai pendapat Ibnu Hazm tentang tidak diwajibkannya mengulangi haji bagi orang yang sakit keras karena sudah diwakilkan. Bab IV : Dalam bab ini akan menganalisis terhadap pendapat Ibnu Hazm tentang tidak diwajibkannya mengulangi haji bagi orang yang sakit keras karena sudah diwakilkan, kemudian menganalisis istimbath Ibnu Hazm serta implementasi pendapat Ibnu Hazm tentang tidak diwajibkannya mengulangi ibadah haji bagi orang yang sakit keras karena sudah diwakilkan untuk masa kini. Bab V : Penutup Dalam bab ini memuat tentang kesimpulan, saran-saran dan penutup.