BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Kewarisan di Negara Indonesia belum dikodifikasikan secara integral atau belum merupakan suatu unifikasi hukum sehingga aturan perundang-undangan kewarisan yang terpadu secara nasional masih belum dapat diwujudkan. Saat ini masih terdapat tiga Sistem Hukum Waris yang berlaku secara nasional, yaitu Sistem Hukum Waris Barat (KUHPerdata), Hukum Waris Islam, dan Hukum Waris Adat. Pluralisme dalam bidang Hukum Kewarisan di Indonesia masih berjalan, sedangkan kodifikasi dan unifikasi Hukum Waris nasional masih dalam taraf cita-cita. Menurut Suparman Bidang Hukum Kewarisan ini tidak mudah untuk dilakukan unifikasi karena beraneka ragamnya corak budaya, agama, sosial dan adat istiadat serta sistem kekeluargaan dalam masyarakat Indonesia1. Pluralisme hukum tersebut, didukung oleh politik hukum pemerintah Hindia Belanda, sehingga hukum waris yang berlaku di Indonesia saat masih berlaku Pasal 131 jo 163 IS (Indische Staatsregeling) pada umumnya masih tergantung pada hukum si pewaris. Apabila pewaris termasuk golongan penduduk Eropa atau Timur Asing China, bagi mereka berlaku Hukum Waris Barat. Jika pewaris golongan penduduk Indonesia, maka yang berlaku adalah Hukum Waris Adat, sedangkan golongan penduduk yang beragama Islam dalam beberapa hal mereka akan mempergunakan hukum waris berdasarkan Hukum Waris Islam. Apabila pewaris termasuk golongan penduduk Timur Asing lainnya (Arab, India atau Pakistan), maka terhadap mereka berlaku Hukum Adatnya masing-masing2.
1
Eman Suparman, 1991, Intisari Hukum Waris Indonesia, CV Mandar Maju, Bandung, hlm. 7. Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, PT Refika Aditama, Bandung, hlm. 8-9.
2
1
2 Sejak
diproklamasikan
kemerdekaan
Negara
Republik
Indonesia,
maka
penggolongan penduduk tersebut sudah tidak relevan lagi. Hal ini dikarenakan berdasarkan Pasal 26 UUD 1945 ditentukan bahwa penduduk di Indonesia hanya dibagi dua golongan, yaitu warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Masalah kewarganegaraan ini dipertegas dengan adanya Pasal 7 Undangundang Nomor: 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dinyatakan bahwa setiap orang yang bukan warga negara Indonesia digolongkan sebagai orang asing. Bagi warga negara Indonesia dalam pewarisan masih dimungkinkan adanya pilihan hukum, mengingat sistem hukum kewarisan yang berlaku masih beraneka. Pasal 37 Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 dan Penjelasannya menyatakan bahwa harta bersama jika terjadi perceraian dapat diatur berdasarkan hukum agama, hukum Adat dan hukum-hukum lainnya (KUHPerdata). Masyarakat Jawa (wong Jowo atau tiang Jawi) merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang jumlah populasinya paling banyak dibandingkan dengan suku bangsa lainnya. Daerah yang menjadi orientasi kebudayaan Jawa adalah sekitar Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta dan Kediri. Menurut para ahli budaya, Yogyakarta dan Surakarta dianggap sebagai pusat utama kebudayaan Jawa3. Kodiran menyatakan daerah bekas kerajaan Mataram sebelum terpecah tahun 1975 (Yogyakarta dan Surakarta) merupakan pusat kebudayaan Jawa4. Hal ini diperkuat pendapat Van Vollenhoven sebagaimana dikutip oleh Soekanto, bahwa Yogyakarta dan Surakarta merupakan salah satu dari 19 lingkungan Hukum Adat yang memiliki cirikhas tersendiri karena adanya kraton5. Selain itu, di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kota Yogyakarta merupakan tempat keberadaan kraton sehingga masyarakatnya sangat rentan dipengaruhi
3
http://sejarawan.wordpress.com, Daerah Kebudayaan Jawa, diakses tanggal 20 Februari 2012. Kodiran, “Kebudayaan Jawa”, Dalam Koentjaraningrat, 1981, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, Djambatan, Jakarta,hlm. 322. 5 Soerjono Soekanto, 2001, Hukum Adat Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 18-20. 4
3 gaya hidup kraton. Hal ini dikarenakan dalam kraton, seorang raja merupakan penguasa sehingga menjadi primus inter pares di lingkungan wilayahnya. Artinya raja itu dapat dikatakan sebagai pemimpin sehingga sangat potensial berpengaruh terhadap orang yang dipimpinnya. Berkaitan ini Usman menegaskan bahwa pemimpin itu berada di sekitar center of the network system sehingga pemimpin itu sangat potensial menjadi panutan6. Kehidupan masyarakat dimanapun tidak dapat dipungkiri bahwa agama yang dianut seseorang cenderung mempengaruhi dalam berbagai aspek kehidupannya. Bagi umat yang beragama Islam, wajarlah jika hukum Islam di kalangan masyarakat Jawa sulit dinafikan eksistensinya. Oleh karena itu, bagi suku Jawa berjalannya pluralisme hukum antara Hukum Islam dan Adat sulit dihindari, bahkan hal tersebut merupakan sesuatu yang taken for granted. Sehubungan dengan masalah ini, Sudaryanto menyatakan bahwa dualisme hukum agama dan adat sulit dihindari karena dalam kenyataannya masyarakat yang menganut agama Islam sebelum mengenal ajaran Islam, mereka sudah terbiasa menjalankan dan diatur dengan norma Hukum Adat7. Tarik menarik atau pengaruh mempengaruhi antara Hukum Islam dan Adat dalam bidang kewarisan juga sulit dielakkan dalam kehidupan masyarakat Jawa. Sebagai contoh, walaupun masyarakat Kotagede dikenal dengan kampung santri tetapi dalam penerapan waris Islam terbukti belum dapat sepenuhnya dilaksanakan. Oleh karena, minat masyarakat Islam Kotagede dalam menjalankan hukum kewarisan Islam dari sejumlah 200 orang yang dijadikan sampel baru mencapai sekitar 70 % yang sudah menjalankan Hukum Islam dalam pembagian waris8.
6
Sunyoto Usman, 1998, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 60. Agus Sudaryanto, 2005, “Sepikul Segendong: Harmonisasi Hukum Adat dan Islam dalam Pewarisan terhadap Anak” dalam Atik Triratnawati dan Mutiah Amini (Eds), Ekspresi Islam Dalam Simbol-simbol Budaya di Indonesia, PT Adicita, Yogyakarta, hlm. 225.
7
8
Abdul Ghofur Anshori, 2002, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Eksistensi dan Adaptabilitas, Ekonisia Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta, hlm. 148.
4 Penelitian tersebut, mengindikasikan bahwa dalam bidang kewarisan masyarakat Jawa masih mengkompromikan antara Hukum Islam dan Hukum Adat. Masyarakat Jawa di kota Yogyakarta merupakan bagian dari masyarakat Jawa dengan budaya yang pada umumnya sama tetapi memiliki perbedaan dengan masyarakat Jawa pada wilayah Yogyakarta lainnya. Hal ini dikarenakan dalam wilayah kota Yogyakarta terdapat kraton yang sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat, sehingga dapat menyebabkan adanya perbedaan dan keunikan dengan masyarakat Jawa lainnya. Umumnya setiap masyarakat dalam kehidupannya selalu terjadi interaksi sosial, yaitu hubungan yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang perseorangan, antara kelompok dengan kelompok, dan antara orang perseorangan dengan kelompok manusia. Para pihak di dalam interaksi sosial ini saling bertukar pengalaman, pengetahuan, dan kepercayaan yang dimilikinya. Berdasarkan interaksi ini akhirnya menghasilkan sistem nilai. Menurut Soekanto, sistem nilai akan menentukan cara berpikir, yang kemudian menghasilkan sikap. Sikap ini merupakan kecenderungan untuk berbuat atau tidak berbuat terhadap manusia, benda dan keadaan tertentu. Sikap tersebut meliputi pelbagai aspek kehidupan, yaitu aspek kehidupan pribadi dan aspek kehidupan antar pribadi9. Tidak salah jika dikatakan bahwa setiap masyarakat di dalam berinteraksi antara warga satu dengan lainnya dapat dipastikan mempunyai nilai yang dijadikan pandangan hidup (way of life) yang khas tentang kehidupannya. Pandangan hidup manusia ini dijadikan dasar dan pedoman setiap tindakan dan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari10. Nilai itu menurut Rato, merupakan kristalisasi dari pengalaman sehari-hari para individu dalam masyarakat. Pengalaman yang berlangsung relatif lama dan dipandang berguna serta memberikan kemanfaatan dalam pergaulan kehidupan 9
Soerjono Soekanto, 1984, Antropologi Hukum Proses Pengembangan Ilmu Hukum Adat, CV Rajawali, Jakarta, hlm.112. 10 Sudarto, 2002, Metodologi Penelitian Filsafat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 39.
5 masyarakat, maka pengalaman yang bersifat abstrak dan dianggap luhur ini wajib dipertahankan11. Di dalam bidang kewarisan masyarakat Jawa di Kota Yogyakarta tentunya juga mempunyai nilai yang dijadikan dasar dan pedoman dalam melaksanakan proses peralihan harta dari pewaris kepada ahli warisnya. Pengkajian masalah kewarisan yang merupakan salah satu aspek kebudayaan Jawa tidak mungkin dihindari untuk memperhatikan sikap, perilaku maupun pandangan hidup yang dijalankan pada masyarakat Jawa di Kota Yogyakarta. Salah satu prinsip bidang waris dalam perspektif Hukum Adat adalah ahli waris utama dan pertama dari pewaris adalah anak-anaknya. Di samping itu, pewarisan atau penerusan harta warisan dalam Hukum Adat tidak selalu dibagi berdasarkan kesatuan yang dapat dinilai dengan uang, karena kadangkala dapat dibagi menurut jenis dan kepentingan ahli warisnya. Bagi masyarakat Jawa antara anak laki-laki dan perempuan sama haknya tetapi tidak berarti jenis atau jumlah harta warisan dibagi secara merata pada semua ahli waris. Iman Sudiyat menyatakan bahwa pembagian warisan di Jawa pada umumnya berdasarkan asas sigar semangka (bagian sama besar) dan sebagian lainnya berlaku asas nggendong mikul12. Di sisi lain, prinsipnya menurut Hukum Islam pewarisan terjadi didahului dengan adanya kematian, dan orang yang meninggal tersebut meninggalkan harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. Masalah ini berbeda dengan prinsip dalam Hukum Adat, karena proses pewarisan tidak selalu didahului dengan adanya kematian. Menurut Hukum Adat, tanpa kematian pewarisan dapat terjadi. Walaupun ada perbedaan antara pembagian warisan dalam Hukum Islam dan Hukum Adat Jawa, tetapi ada pula yang dapat berjalan beriringan, seperti prinsip pembagian sepikul segendong, bilateral individual maupun persamaan hak. Pemeluk agama Islam yang begitu besar jumlahnya,
11
Dominikus Rato, 2009, Pengantar Hukum Adat, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hlm. 69-70. Iman Sudiyat, 1983, “Peta hukum Waris di Indonesia” Simposium Hukum Waris Nasional, Jakarta, hlm. 16.
12
6 harus diakui tidak semua umatnya dapat menjalankan kewajiban agama sungguhsungguh secara totalitas (kaffah). Perbedaan dalam praktik agama itu sudah menjadi bagian kehidupan di kalangan masyarakat Jawa sejak munculnya Islam13. Hal ini dikarenakan secara sosiologis dan kultural hukum Islam memiliki fleksibilitas dan elastisitas. Artinya, meskipun ada kekuatan otonom yang terkandung dalam ketetapan Tuhan, tetapi dalam realisasinya mampu melakukan upaya transformative-adaptif14. Interaksi antara Islam dan Adat dalam aspek kewarisan pada masyarakat Kota Yogyakartapun tidak dapat dihindari karena hal itu merupakan suatu keniscayaan. Menurut Lukito berbagai nilai yang berasal dari Hukum Adat dan Islam dalam hukum kewarisan terjadi percampuran, karena beberapa ketentuan dalam hukum kewarisan Islam mengakomodasi ajaran Hukum Adat15. Pergulatan interaksi antara Hukum Islam dan Adat ini sejak zaman kolonial memunculkan berbagai teori persinggungan yang pernah berlaku di Indonesia, seperti teori receptio in complexu, teori receptie, atau receptio a contrario. Menurut kajian teori tersebut ditegaskan bahwa bagi umat Islam dalam bidang kewarisan sangat sulit dihindari adanya kaitan antara Hukum Adat dan Islam. Hal ini dikarenakan dalam ajaran Islam umat Islam tidak dilarang mengakomodasi Adat asalkan tidak bertentangan dengan sumber utama hukum Islam, yaitu Al Qur’an dan hadist16. Masalah ini dikuatkan pendapat Habiburrahman yang menegaskan, bahwa datangnya Islam dengan hukum Islam tidak serta merta menghilangkan hukum Adat yang telah ada sebelumnya. Hukum Islam merupakan hukum yang cukup mengakomodasi hukum Adat, karena kenyataannya hukum Adat seringkali diterima
13
Niels Mulder, 2001, Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia, LkiS, Yogyakarta, hlm. 1-2. Sirajuddin, 2008, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 14. 15 Ratno Lukito, 2008, Tradisi Hukum Indonesia, Teras, Yogyakarta, hlm. 144-146. 16 A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, 2006, Formalisasi Syariat Islam Dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 73-83. 14
7 sebagai hukum yang sah selama tidak bertentangan dengan hukum Islam17. Oleh karena itu, mengkaji pertautan antara Islam dan Adat dalam bidang kewarisan merupakan sesuatu yang diperlukan karena masalah ini dalam kehidupan umat Islam sulit dihindari, lebih-lebih untuk Kota Yogyakarta. Berbagai teori pertautan antara Adat dan Islam dalam kewarisan yang sudah ada sangat dimungkinkan berlaku pula di kota ini. Kenyataan kehidupan masyarakat kadangkala dalam pembagian waris tidak mesti berjalan dengan damai tetapi justru dapat memunculkan sengketa, sehingga hubungan persaudaraan menjadi renggang, memendam iri hati dan bahkan ikatan kekeluargaan menjadi terputus18. Penelitian Munawaroh sebagaimana dikutip oleh Triratnawati menunjukkan bahwa masalah warisan seringkali menimbulkan konflik antara saudara kandung, suami istri, ibu anak akibat ketidakpuasan salah satu pihak. Apalagi jika menyangkut tanah, karena masyarakat Jawa sangat fanatik dengan tanah19. Pepatah Jawa mengungkapkan sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati, perkara yang menyangkut wanita dan tanah jika diganggu akan dibela atau diperjuangkan sekalipun nyawa taruhannya20.Jika hal ini terjadi tidak dapat dipungkiri bahwa paham individualisme dan materialisme telah mengalahkan prinsip kekeluargaan,kebersamaan, bahkan keagamaan. Orientasi hidup manusia dapat berubah menjadi ke arah pencarian materi yang sebanyakbanyaknya21. Akibatnya, materialisme dapat memicu sensibilitas keagamaan mengalami
17
Habiburrahman, 2011, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 81.
18
Elvi Lusiana, 2011, Cara Mudah dan Benar Membagi Harta Waris, Qultum Media, Jakarta, hlm. 244. Atik Triratnawati, 2006, “Hukum Agama, Hukum Barat dan Adat, Kasus-kasus Pewarisan di Yogyakarta” dalam Heddy Shri Ahimsa-Putra, Ed, Esei-esei Antropologi, Teori, Metodologi dan Etnografi, Kepel Press, Yogyakarta, hlm. 159. 20 Pardi Suratno dan Henniy Astiyanto, 2004, Gusti Ora Sare 65 Mutiara Nilai Kearifan Budaya Jawa, Adiwacana, Yogyakarta, hlm.188. 21 Ade Saptomo, 2010, Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, PT Grasindo, Jakarta, hlm. 76. 19
8 komodifikasi22. Padahal, kesejahteraan manusia yang dicapai melalui orientasi pada materialisme hanyalah semu23. Fenomena pergeseran orientasi hidup ke arah materialisme bagi masyarakat Kota Yogyakartapun secara alami sulit dihindari. Hal demikian karena perubahan itu merupakan sunatullah, manusia dan alam senantiasa dalam keadaan berubah, filosof Yunani Heraclitos mengatakan bahwa yang kekal hanyalah perubahan24. Berkaitan dengan teori integrasi Hukum Adat dan Hukum Islam, perubahan orientasi dalam pewarisan pada masyarakat Kota Yogyakarta sangat dimungkinkan terjadinya pergantian. Mengingat dinamika kehidupan manusia yang selalu
mengikuti arus
perkembangan modern yang mengarah kepada rasionalitas dan kebendaan, sehingga teori pertautan yang ada dimungkinkan adanya perbaikan.
B. Rumusan Permasalahan Mengingat masalah pewarisan itu sangat dominan ditentukan oleh pribadi atau individu sebagai subjek waris, maka sistem hukum waris yang diterapkan dalam suatu masyarakat sangat dimungkinkan adanya ketidaksamaan antara warga masyarakat satu dengan lainnya. Oleh karena itu, sistem hukum waris yang ada tentu dapat dijadikan acuan dalam menentukan cara pembagian waris. Lebih lagi, di dalam masyarakat manapun suatu ajaran agama yang dianut merupakan sesuatu yang eksis secara faktual dengan sendirinya. Hal ini mengakibatkan pada permasalahan pokok, terjadinya integrasi antara hukum waris Adat dan hukum waris Islam menjadi keniscayaan. Berkaitan integrasi ini perlu dikaji pula apakah berbagai teori persinggungan antara Hukum Adat dan Hukum Islam yang ada masih relevankah atau sudah perlu disesuaikan untuk
22
David Chaney, 2009, Life Styles Sebuah Pengantar Komprehensif, Jalasutra, Yogyakarta, hlm. 9-10. Abdul Ghofur Anshori, 2008, “Menggali Makna Sistem Hukum Dalam Rangka Pembangunan Ilmu Hukum dan Sistem Hukum Nasional”, Orasi Ilmiah Dies Natalis Fakultas Hukum UGM Ke-62, FH UGM, Yogyakarta, hlm 7. 24 Harun Nasution, 2005 , Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Mizan, Bandung, hlm. 435. 23
9 mendiskripsikan hukum waris masyarakat Islam Jawa di Kota Yogyakarta?. Berdasarkan permasalahan utama tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimana praktik pewarisan pada lingkungan masyarakat yang beragama Islam di Kota Yogyakarta ? b. Aspek apa saja yang dapat diintegrasikan antara Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam berdasarkan pewarisan yang dijalankan masyarakat Jawa di Kota Yogyakarta ? c. Mengapa proses integrasi Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam dapat dijalankan berdasarkan pembagian waris masyarakat Jawa di Kota Yogyakarta? d. Apakah model pengaturan terhadap integrasi Hukum Waris Adat dan Hukum waris Islam dapat dimasukkan ke dalam hukum waris di Indonesia di masa yang akan datang?
C. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran penulis melalui studi pustaka, sampai saat ini belum pernah dilakukan suatu penelitian yuridis empiris secara khusus mengenai integrasi hukum Adat dan hukum Islam dalam Pewarisan Masyarakat Jawa di Kota Yogyakarta. Adapun beberapa topik penelitian masalah kewarisan yang dapat ditemukan dalam penelusuran studi pustaka antara lain adalah sebagai berikut : a. Pembentukan Hukum Kewarisan Nasional Berdasarkan Sistem Bilateral Relevansi Beberapa Asas Kewarisan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Hukum Islam dan Hukum Adat. Disertasi ini ditulis oleh A. Nuzul dengan memfokuskan pada kesesuaian antara sistem kewarisan Islam, Adat dan peraturan perundangundangan yang didasarkan asas hukum yang berlaku bagi pewaris dengan Hukum
10 Kewarisan menurut Rancangan Undang-undang Kewarisan 195525.
Perbedaan
disertasi ini dengan hasil penelitian A. Nuzul adalah terletak pada fokus kajiannya, karena tulisan Nuzul mengutamakan kesesuaian antara RUU Kewarisan 1955 dengan asas-asas waris Hukum KUHPerdata, Islam dan Adat. Pada hal disertasi ini memfokuskan tentang pola kewarisan masyarakat Jawa di Yogyakarta dan juga tidak hanya mengkaitkan asas hukum yang telah ada saja tetapi berupaya menemukan nilai yang melatarbelakanginya. b. Pelaksanaan Pembagian Warisan Pada Masyarakat Kampung Kauman Yogyakarta Ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam. Tesis yang ditulis Iswari Yuliwati ini mengkaji tentang pembagian waris masyarakat Kampung Kauman Yogyakarta dibatasitinjauannya dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa masyarakat Kampung Kauman Yogyakarta sebagian besar belum sepenuhnya melaksanakan KHI sebagai acuan dalam pembagian warisan26. Apabila dibandingkan dengan tesis hasil penelitian Yuliwati, maka disertasi ini juga terdapat perbedaan, khususnya masalah tempat lebih diperluas, masyarakat yang dijadikan sumber data, fokus penelitian dan kedalaman kajian. c. Praktik Pewarisan Di Dalam Kehidupan Sehari-hari dan Di Dalam Praktik Pengadilan Di Kalangan Orang Indonesia Asli Di Kotamadya Yogyakarta. Tesis yang ditulis oleh Darmini Mawardi ini memfokuskan pada pewarisan yang mendasarkan pada Hukum Waris Adat dan kesesuaian praktik pewarisan dalam kehidupan sehari-hari dengan praktik yang dijalankan oleh pengadilan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa masyarakat Kota Madya Yogyakarta sebagaian besar masih menjalankan pewarisan mendasarkan Hukum Waris Adat. Selain itu, 25
A. Nuzul, 2009, “Pembentukan Kewarisan Nasional Berdasarkan sistem Bilateral Relevansi Beberapa Asas Kewarisan Menurut KUHPerdata, Hukum Islam dan Hukum Adat”, disertasi, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, hlm. 35 dan 432-435. 26 Iswari Yuliwati, 2009, “Pelaksanaan Pembagian Warisan Pada Masyarakat Kampung Kauman Yogyakarta Ditinjau Dari Kompilasi Hukum Islam”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, hlm. 6 dan 80.
11 putusan dari para hakim pengadilan negeri atau pengadilan tinggi tidak sepenuhnya sama dengan pewarisan yang dipraktikkan masyarakat27. Persamaan dengan disertasi yang ini adalah topik penelitian sama-sama masalah pewarisan dan lokasinya juga di Kota Yogyakarta. Namun terdapat perbedaan dalam fokusnya, yaitu pola pewarisan dilihat dengan berbagai teori persinggungan antara hukum Adat dan hukum Islam. Di samping itu, dalam pengkajiannya juga terdapat ketidaksamaan. Oleh karena selain mendasarkan pada emik (pandangan subjek penelitian) pada disertasi yang dijalankan ini juga dengan pendekatan metode
fenomenologi, sehingga dikaji
sampai tingkat makna yang mendasari pewarisan. Berdasarkan penelaahan tersebut penelitian disertasi ini dapat dinyatakan memenuhi kaedah keaslian penelitian. Hal ini diindikasikan, walaupun ada topik penelitian yang mengkaji masalah waris pada masyarakat Jawa tetapi ada perbedaan aspek yang dikaji dan metode pengkajiannya. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan dapat menjadi penguatan atau pengayaan penelitian yang telah ada. D. Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data yang diperlukan guna : 1.
Mengetahui dan menganalisis praktik pewarisan pada lingkungan masyarakat yang beragama Islam di Kota Yogyakarta.
2. Mengetahui dan menganalisis berbagai aspek yang dapat diintegrasikan hukum waris Adat dan hukum waris Islam berdasarkan pembagian warisan yang dijalankan masyarakat Jawa di Kota Yogyakarta.
27
Darmini Mawardi, 1990, “Praktik Pewarisan Di Dalam Kehidupan Sehari-hari dan Di Dalam Praktik Pengadilan Di Kalangan Orang Indonesia Asli Di Kota Yogyakarta”, Tesis, Program Studi Ilmu Hukum Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Fakultas Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, hlm. 10-11 dan 136-137.
12 3. Mengetahui dan menganalisis berbagai alasan proses integrasi hukum waris Adat dan hukum waris Islam berdasarkan pembagian warisan yang dijalankan masyarakat Jawa di Kota Yogyakarta. 4. Mengetahui dan menganalisis dapat atau tidaknya model integrasi hukum waris Adat dan hukum waris Islam dimasukkan dalam hukum kewarisan di negara Indonesia di masa yang akan datang. E. Manfaat Penelitian a. Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam memberikan sumbangan pemikiran bagi pola dan filosofi kewarisan di kalangan masyarakat Jawa. Temuan masalah teori integrasi Adat dan Islam dalam pewarisan pada masyarakat Jawa di Kota Yogyakarta ini diharapkan juga dapat dijadikan salah satu acuan dalam pengaturan masalah kewarisan di negara Indonesia. Di samping itu, temuan penelitian ini akan dijadikan bahan tambahan maupun kesempurnaan materi Hukum Kewarisan. Dengan demikian penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah Ilmu Hukum Waris Adat khususnya dan Hukum Waris pada umumnya. b. Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi pemerintah dalam upaya mengadakan pembinaan dan pembaharuan sistem hukum nasional yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, temuan penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi arah kebijaksanaan yang ditempuh pemerintah dalam pengaturan masalah kewarisan nasional pada umumnya dan kewarisan masyarakat Jawa pada khususnya. Selain itu, bagi aparat penegak hukum temuan penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan terhadap masalah atau sengketa warisan yang dihadapinya.
13
F. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Menurut Soemitro, penelitian hukum yang mempergunakan data utama dari data primer atau data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat disebut penelitian hukum sosiologis atau empiris28. Konsekuensi dari penelitian hukum sosiologis ini adalah pengumpulan data yang diutamakan langsung dari sumbernya, yaitu dari para responden dan narasumber29. Adapun fokus penelitian hukum empiris menurut Muhammad adalah sebagai berikut30: “Penelitian hukum empiris memfokuskan pada perilaku (behavior) yang dianut dan atau berkembang dalam masyarakat. Perilaku tersebut diterima dan dihargai oleh masyarakat karena tidak dilarang undang-undang (statute law), tidak bertentangan dengan ketertiban umum (public order), dan tidak pula bertentangan dengan moral masyarakat (social ethics). Pada penelitian hukum empiris, hukum dikonsepsikan sebagai perilaku nyata (actual behavior) yang meliputi perbuatan dan akibat dalam hubungan hidup bermasyarakat”. Apabila dilihat dari hasil dapat juga penelitian yang dilakukan ini dikategorikan sebagai penelitian yang bersifat deskriptif. Hal ini dikarenakan hasil penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan gambaran tentang suatu gejala atau suatu keadaan masyarakat tertentu31. Berkaitan ini Arikunto menegaskan bahwa suatu penelitian deskriptif lazimnya tidak dimaksudkan untuk menguji suatu hipotesis tetapi menggambarkan apa adanya tentang sesuatu variabel, gejala atau keadaan pada saat
28
Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.10. 29 Maria SW Sumardjono, 2007, “Metodologi Penelitian Ilmu Hukum”, Bahan Kuliah, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 13. 30 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 157. 31 Sukandarrumidi, 2006, Metodologi Penelitian Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm.103-104.
14 penelitian dilakukan32. Menurut Sumardjono penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang menggambarkan atau mendeskripsikan secara tepat sifat individu, kelompok, keadaan/ gejala tertentu serta penyebaran gejala dan hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lain33. Jika dilihat secara taksonomis, penelitian yang telah dilakukan ini dapat dimasukkan pada aliran fenomenologi dengan pendekatan kualitatif. Adapun karakteristik penelitian kualitatif antara lain mengutamakan subjektifitas atau perspektif emik, dialektik induktif dan dapat mengembangkan atau membangun teori34. Penelitian kualitatif ini menekankan pada proses dan makna bukan menguji atau mengukur sesuatu tetapi peneliti berupaya menggambarkan kenyataan sosial yang alami. Hal ini dapat dilakukan melalui pencarian jawaban terhadap pertanyaan bagaimana pengalaman sosial itu diciptakan dan diberikan makna oleh para pelaku35. Bungin dalam kaitan ini menegaskan bahwa : “Substansi data kualitatif adalah makna dari setiap data yang dapat diungkapkannya, jadi pencarian dan pengejaran makna dari setiap upaya penelitian di lapangan merupakan puncak prestasi peneliti dalam suatu penelitian. Makna di masyarakat terdiri dari berbagai macam dan tingkatan, makna juga berstrata antara makna individu, makna kelompok, makna masyarakat. Makna dalam setiap data tersebar mulai dari yang kongkrit sampai dengan yang abstrak. Makna yang kongkrit berkaitan dengan sikap dan perilaku serta tindakan individu serta kelompok, sedangkan makna yang abstrak berkaitan dengan nilai masyarakat”36. Bogdan dan Taylor menyatakan bahwa fenomenologi merupakan pendekatan yang memandang perilaku manusia itu sebagaimana apa adanya yang dikatakan dan diperbuat orang tanpa ditambah dan dikurangi. Upaya untuk mengerti makna dari perilaku orang, maka diperlukan pemahaman dari sudut pandang orang yang
32
Suharsimi Arikunto, 2007, Manajemen Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 234. Maria SW Sumardjono, 2007, op.cit, hlm. 5. 34 Sudarwan Danim, 2002, Menjadi Peneliti Kualitatif, Pustaka Setia, Bandung, hlm. 32-34. 35 Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, 1994, Handbook of Qualitative Research, Sage Publications, Inc, California, hlm. 4. 36 Burhan Bungin, 2007, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm.105. 33
15 bersangkutan. Weber menyebutnya pemahaman seperti itu dengan istilah verstehen atau empathic understanding. Artinya, dalam pendekatan fenomenologi diperlukan kemampuan untuk menemukan perasaan, motivasi, pikiran di belakang atau di balik perilaku yang dilakukan37. Hal ini sejalan dengan pendapat Maso yang menyatakan bahwa pendekatan fenomenologi harus mampu mengetahui atau memahami pengalaman-pengalaman di balik ekspresi perilaku sosial yang nampak dan tidak perlu mempertimbangkan suatu pengalaman itu negatif atau positif38. Philipson menyatakan pendekatan fenomenologi mencakup usaha untuk mendeskripsikan, memaparkan fenomena atau gejala kesadaran dan menunjukkan bagaimana kesadaran tersebut dibangun. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa kesadaran ini bukanlah kesadaran individual tetapi sosial yang melibatkan dan mencakup banyak orang, sehingga merupakan kesadaran kolektif39. Ahimsa-Putra lebih menegaskan bahwa dalam pendekatan fenomenologi informasi yang digali akan sampai pada kesadaran dan pengetahuan para pelaku mengenai suatu fenomena atau masalah. Penelitian ini diharapkan tidak hanya mendeskripsikan perilaku dan pola-polanya (behavioral patterns) tetapi juga dapat mendeskripsikan kesadaran, baik itu yang sifatnya individual maupun yang bersifat kolektif40. 2. Bahan atau Materi Penelitian Untuk memperoleh data yang diharapkan agar dapat menjawab permasalahan penelitian, maka penelitian ini dilakukan dengan melalui cara sebagai berikut :
37
Robert Bogdan dan Steven J Taylor, 1975, Introduction to Qualitative Research to The Social Sciences, John Wiley & Sons, Inc, New York, hlm. 13-14. 38 Ilja Maso, 2001, “Phenomenology and Ethnography”, dalam Paul Atkinson, (Eds), Handbook of Ethnography, Sage Publications, London, hlm. 139. 39 M Phillipson, 1972, “Phenomenological Philosophy and Sociology” dalam P. Filmer, et.al (eds), New Directions in Sociological Theory, Collier MacMillan,London, hlm.121-124. 40 Atik Triratnawati, dkk, 2005, Masalah Kesehatan dalam Kajian Ilmu Sosial-Budaya, Kepel Press - CE & BU Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta, hlm. 31-32.
16 a. Penelitian Kepustakaan Di dalam penelitian dokumentasi atau kepustakaan ini dikumpulkan data sekunder. Adapun ciri umum data sekunder adalah datanya dapat digunakan dengan segera atau langsung dan biasanya telah dibentuk dan diisi oleh peneliti terdahulu sehingga peneliti kemudian tidak mempunyai pengawasan dalam pengumpulan, pengolahan, analisis dan kontruksi data41. Sumardjono menyatakan bahwa data sekunder merupakan data yang sudah tersedia dan bukan data yang diperoleh langsung dari sumbernya42. Selain itu, Muhammad menyatakan43: “Studi pustaka adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas. Informasi yang berbentuk tertulis yang berasal dari sumber-sumber pustaka ini lazim disebut bahan hukum (law material), sedangkan bahan hukum dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) golongan: 1) Bahan hukum primer (primary law material), yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan (kontrak, konvensi, dokumen hukum dan putusan hakim) 2) Bahan hukum sekunder (secondary law material), yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, dan media cetak atau elektronik) 3) Bahan hukum tertier (tertiary law material), yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (rancangan undang-undang, kamus hukum dan ensiklopedi)”. Berkaitan ini, maka data sekunder yang dikumpulkan mencakup tiga macam bahan hukum yang meliputi 44: 1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, terdiri atas norma dasar (UUD 1945); berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia yang terkait dengan kewarisan,yaitu UU No. 1 Tahun 1974 dan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI;Al Qur’an, As Sunnah dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Yurisprudensi Hukum 41
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 30. 42 Maria SW Sumardjono, op.cit, hlm. 13. 43 Abdulkadir Muhammad, op.cit, 81-82. 44 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 13.
17 Waris Adat, yaitu Putusan MA Nomor: 320 K/ Sip/1958, Putusan MA Nomor: 302 K/ Sip/1960 dan Putusan MA Nomor: 3190 K/ Pdt/1985. 2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, diantaranya : (a) Berbagai kepustakaan Hukum Adat dan Islam mengenai kekerabatan. (b) Berbagai kepustakaan Hukum Adat dan Islam mengenai perkawinan. (c) Berbagai kepustakaan Hukum Adat dan Islam mengenai kewarisan. (d) Berbagai kepustakaan Hukum Adat mengenai delik atau pelanggaran/ pidana adat. (e) Berbagai kepustakaan yang berkaitan dengan kefilsafatan (f) Hasil penelitian dan karya ilmiah lain yang relevan dengan permasalahan. 3) Bahan hukum tersier yaitu, bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri atas : (a) Kamus Hukum (b) Kamus Umum Bahasa Indonesia. (c) Ensiklopedi Suku Bangsa b. Penelitian Lapangan Selain penelitian kepustakaan untuk mencari data sekunder sebagaimana dikemukakan di atas, dalam penelitian ini dilakukan pula melalui penelitian lapangan untuk mengumpulkan data primer. Adapun sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data atau peneliti.45 Upaya pengumpulan data yang berasal langsung dari responden dan nara sumber ini dibatasi pada wilayah Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta yang dipilih sebagai lokasi penelitian, karena salah satu pertimbangannya adalah bahwa Kraton Yogyakarta masih rentan mempengaruhi 45
Sugiyono, op.cit, hlm.153.
18 masyarakat sekitar wilayah kekuasaannya. Selain itu, Kota Yogyakarta merupakan ibukota dan pusat pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga di wilayah ini cukup relevan untuk melihat dinamika masyarakat di Kota Yogyakarta. Meskipun Yogyakarta dikenal sebagai kota revolusi, toleransi, pergerakan, pelajar, tetapi di Kota Yogyakarta dalam realitas tampak akomodatif terhadap perubahan. Selanjutnya, di wilayah ini juga dikarenakan Islam merupakan agama mayoritas yang dianut masyarakat Kota Yogyakarta tetapi mayoritas penduduknya masih mempertahankan tradisi kejawen yang cukup kuat46. Di samping itu, pertimbangan lain adalah data primer atau lapangan dari responden maupun narasumber diharapkan dapat diakses dengan lancar karena peneliti bertempat tinggal tidak jauh dari kota tersebut. 3. Responden dan Narasumber Sebagaimana dinyatakan oleh Arikunto bahwa subjek penelitian merupakan benda, hal atau orang tempat data untuk variabel penelitian melekat dan yang dipermasalahkan47. Subjek penelitian dalam penelitian ini diambil atau ditentukan dengan menggunakan cara non-probability sampling khususnya purposive sampling48. Berkaitan ini pemilihan responden didasarkan atas kompetensinya sehingga titik berat penelitian ini bukan pada banyaknya jumlah responden tetapi pada kapasitas dalam memberikan informasi yang diperlukan. Di dalam teknik purposive sampling peneliti tidak begitu mempermasalahkan jumlah sampel, kepedulian peneliti adalah lebih menekankan pada siapa yang paling mungkin memberikan data dan apakah data yang
46
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Yogyakarta, diakses tanggal 12 Agustus 2011. Suharsimi Arikunto, op.cit, hlm. 89. 48 Sugiyono, 2006, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Alfabeta, Bandung, hlm. 246. 47
19 mereka berikan sudah memadai atau belum untuk menjelaskan permasalahan yang diteliti49. Menurut Usman dan Akbar teknik sampling bertujuan (purposive sampling), digunakan jika anggota sampel yang dipilih secara khusus berdasarkan tujuan penelitian50. Salim dan Nurbani menyatakan responden adalah orang atau masyarakat yang terlibat secara langsung dengan objek penelitian yang dikaji51. Responden yang dipilih dengan kriteria sebagai berikut : a. Responden merupakan warga masyarakat yang beragama Islam bertempat tinggal di wilayah Kota Yogyakarta, khususnya Wilayah Danurejan, Kraton dan Kauman. b. Responden merupakan warga masyarakat yang beragama Islam. c. Responden merupakan warga masyarakat yang pernah mengalami dan memahami kewarisan Islam dan/atau kewarisan Adat. d. Responden merupakan warga masyarakat yang responsif terhadap pencarian data yang diperlukan. Adapun jumlah responden dalam penelitian ini diambil sangat tergantung ketercukupan data yang diperlukan. Jika dalam pengumpulan data primer sudah tercapai titik jenuh dan tidak ada informasi baru lagi (the informational saturation point), maka pengumpulan data dihentikan karena sudah mencapai titik informational redundancy52. Berkaitan ketercukupan data kualitatif ini, Liamputtong dan Ezzy menegaskan kriteria utama dalam sampling bertujuan adalah redundancy. Jika dalam pengumpulan data sudah tidak ditemukan informasi baru lagi, maka pencarian data 49
Pusat Penelitian IAIN Sumatera Utara Medan, Outline Proposal Penelitian Kualitatif, www.litagama.org, 07 Juli 2008. 50
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, 2001, Metodologi Penelitian Sosial, PT Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 47. 51 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian tesis dan Desertasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.25. 52 Stephen L Schensul, dkk, 1999, Essential Ethnographic Methods, Altamira Press, California, hlm. 262.
20 sudah layak dihentikan.53 Artinya, jika pengumpulan data yang diperoleh dari informan atau responden sudah tidak ada lagi tambahan informasi baru, maka data dianggap cukup memadai. Oleh karena jika tetap diteruskan menambah data akan mengakibatkan redundancy. Subjek penelitian ini dalam pelaksaksanaannya ditentukan berjumlah 57 orang, terdiri dari 43 responden dan narasumber sebanyak 14 orang. Jumlah 43 responden diambil dari Wilayah Danurejan sejumlah 14 responden, Wilayah Kraton sebanyak 15 responden dan Kauman sejumlah 14 responden. Subjek penelitian selain responden juga ditentukan narasumber. Salim dan Nurbani memberi pengertian bahwa narasumber adalah orang yang memberikan pendapat atas objek yang diteliti54. Narasumber dipilih dengan kriteria terhadap mereka meski tidak terlibat langsung dengan topik penelitian tetapi mereka memahami, mengerti atau memiliki pengetahuan terkait dengan masalah pewarisan yang dijalankan di lingkungan masyarakat Jawa di Kota Yogyakarta yang beragama Islam. Adapun narasumber dalam penelitian ini dipilih dari para tokoh masyarakat seperti pejabat pemerintahan kecamatan dan kelurahan, tokoh agama, kerabat kraton atau abdi dalem kraton dan tokoh masyarakat yang dipandang mempunyai pengetahuan yang luas dalam bidang kewarisan pada masyarakat Jawa. Jumlah narasumber yang dipilih seluruhnya sebanyak 14 orang, terdiri dari 4 orang narasumber dari wilayah Danurejan, 4 orang dari wilayah Kraton dan 6 orang dari wilayah Kauman. Pengambilan subjek penelitian dengan jumlah total sebesar 57 orang di tiga wilayah penelitian didasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, keragaman kasus pewarisan yang ditentukan oleh peneliti. Pertimbangannya adalah ada beragam cara
53
Pranee Liamputtong dan Douglas Ezzy, 2005, Qualitative Research Methods, Oxford University Press – Sheck Wah Tong Printing Press, Hong Kong, hlm. 49. 54 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, op.cit., hlm. 25.
21 dan proses membagi waris yang dipraktikkan masyarakat Jawa, subjek waris dan waktu pewarisan. Kedua, mempresentasikan strafikasi sosial yang berbeda (santri, priyayi dan abangan). Kategori ini diwakili oleh 3 komunitas yang berbeda berdasar lokasi tempat tinggal, yaitu masyarakat di wilayah Danurejan, Kraton dan Kauman.Ketiga, mempresentasikan subjek waris dengan jenis kelamin lelaki dan wanita. Perbedaan jenis kelamin pewaris dimaksudkan untuk memahami apakah ada persamaan dan perbedaan warisan yang diterima antara laki-laki dan perempuan. Keempat, ketercukupan data (the informational saturation point). Pertimbanganya karena dalam riset kualitatif jumlah responden kurang bermakna tetapi yang paling penting dan utama adalah tidak ada pengulangan informasi lagi. Kelima, responden berusia dewasa sehingga pernah mengalami kasus pewarisan di keluarganya. Apabila responden belum pernah mengalami pewarisan dan tidak memahami masalah waris maka dianggap belum memiliki pengalaman sehingga calon responden dikeluarkan dari kriteria responden. 4. Teknik dan Alat Pengumpulan Data Di dalam penelitian kepustakaan yang dilakukan melalui studi dokumen atas ketiga macam bahan hukum, baik bahan hukum primer, sekunder dan tersier sebagaimana diuraikan di atas. Adapun alat penelitian yang dipergunakan dalam pengumpulan data sekunder adalah berupa pedoman dokumentasi yang memuat garisgaris besar atau kategori yang akan dicari datanya55. Proses pengumpulan data sekunder melalui kegiatan membaca dan mencatat informasi yang terkandung dalam data56. Tehnik pengumpulan data sekunder dilakukan melalui tahap membaca tingkat
55
Suharsimi Arikunto, 2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 150 dan 158. 56 Kaelan, 2010, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipler, Paradigma, Yogyakarta, hlm.150.
22 simbolik maupun semantik, kemudian dilanjutkan mencatat data secara quotasi maupun paraphrase57. Di samping itu, dalam pengumpulan data primer atau lapangan alat yang digunakan adalah berupa pedoman wawancara, bukan dengan kuesioner. Hal ini dikarenakan dalam penelitian kualitatif ini diharapkan dapat memberikan kesempatan pada responden untuk mengungkapkan pandangan, perilaku atau pengalamannya (emik) dengan leluasa, tidak menjadi terbelenggu dan terlalu banyak menduga jawaban dari responden terlebih dahulu58. Adapun teknik yang digunakan untuk pengumpulan data primer ini melalui wawancara. Melalui cara ini diharapkan pengumpulan data empirik dengan bertanya kepada masyarakat tentang pengalaman dan kehidupannya dapat berjalan baik. Artinya para responden mau memberikan informasi yang diperlukan bagi peneliti sehingga terjadi transfer pengetahuan59. Ketika wawancara berlangsung diusahakan sedapat mungkin mampu menjaga suasana yang kondusif antara pewawancara dengan responden sehingga berbagai informasi yang diperlukan dalam penelitian ini diharapkan dapat tercapai secara memadai. Oleh karena tanpa tercipta suasana yang baik (rappot) sangat sulit untuk mendapatkan atau melakukan penggalian informasi yang lebih dalam, atau tepat (probing)60. Apabila ditemui jawaban yang meragukan atau sensitif, maka peneliti menunggu sejenak untuk membiarkan responden berpikir secara jernih sampai mendapatkan jawaban yang akurat (silent probe). Di samping
57
Ibid, hlm. 150-154. Mita K Giacomini dan Deborah J Cook, Qualitative Research in Health Care, www.jama.com, 26 November 2007. 59 James A Holstein dan Jaber F Gubrium, 2006, “The Active Interview”, dalam Silverman, D (eds.), Qualitative Research, Theory, Method and Practice, Sage Publication, Ltd, London, hlm. 140-141. 60 Burhan Ashshofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 88-89. 58
23 itu, pewawancara berupaya mengulang sebuah pertanyaan atau menambah suatu pertanyaan sehingga jawaban responden akan lebih meyakinkan61. Adapun tujuan wawancara ini diharapkan dapat mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam masyarakat serta pendirian-pendiriannya62. Walaupun dalam penelitian ini cenderung bersifat perspektif emik, tetapi pendapat subjek penelitian ini perlu diperhatikan kevaliditasannya. Oleh karena itu, untuk menjaga validitas data sangat diperlukan adanya triangulasi sumber dan triangulasi teknik pengumpulan data63. Berdasarkan teknik bertanya dalam wawancara dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara berencana atau standardized interview sehingga sebelum wawancara dilakukan, peneliti sudah menyiapkan daftar pertanyaan yang direncanakan dan disusun sebelumnya. Semua responden yang diseleksi untuk diwawancarai diajukan pertanyaan yang sama dengan kata-kata dan dalam tata urut yang seragam. Jika dipandang dari sudut bentuk pertanyaan, maka wawancara yang sudah dijalankan merupakan perpaduan antara wawancara tertutup atau closed interview dan wawancara terbuka atau open interview64. Oleh karena itu, pedoman pertanyaan yang dipersiapkan bentuknya sedemikan rupa sehingga ada yang sudah disediakan jawabannya tetapi dimungkinkan adanya jawaban yang lain melalui keterangan atau cerita yang panjang dari para responden maupun nara sumber. a. Jalannya Penelitian Kepustakaan Penelitian kepustakaan dilakukan dengan jalan pengumpulan bahan-bahan hukum yang diteliti, meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Setelah data kepustakaan dikumpulkan, kemudian dicari materi yang relevan dengan topik penelitian. Berdasarkan data sekunder ini dapat 61
Irawati Singarimbun, 1989, “Teknik Wawancara” dalam Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (Eds), et.al, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta, hlm. 200. 62 Koentjaraningrat, 1997, Metode-metode Penelitian Masyarakat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 129. 63 Sugiyono, op.cit. 306-307. 64 Ibid, hlm. 138-140.
24 dijadikan acuan dan landasan dalam
membangun argumen untuk menjawab
permasalahan. Di samping itu, studi dokumen juga digunakan sebagai bahan analisis terhadap data penelitian yang dikumpulkan dari lapangan.
b. Jalannya Penelitian Lapangan Di dalam penelitian lapangan yang dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: Setelah penyusunan daftar pertanyaan atau pedoman wawancara yang ditujukan kepada subjek penelitian dibuat, kemudian mengurus izin penelitian. Pengurusan izin ini dilakukan secara simultan dengan mencari berbagai informasi tentang lokasi maupun calon responden. Selain itu, juga mempelajari serta mempersiapkan data yang dibutuhkan dan permintaan waktu yang longgar untuk melakukan wawancara secara tatap muka atau face to face. Responden yang sudah bersedia diwawancara didatangi untuk dilakukan wawancara mendalam. Jika dalam wawancara masih dirasa kurang sempurna data yang dikumpulkan, di lain kesempatan peneliti datang lagi untuk melengkapi data yang diperlukan. Ketika dalam melakukan wawancara ditemui saat-saat kritis atau critical point dimana interviewee (yang diwawancara) mengalami kesulitan untuk memberikan jawaban yang sebenarnya, maka interviewer (pewawancara) mengusahakan agar tetap terpelihara situasi yang baik. Misalnya dengan cara mengalihkan pembicaraan untuk sementara waktu tetapi kemudian tetap berusaha mengulang pertanyaan yang sensitif tadi dengan gaya bahasa yang berbeda sehingga interviewee tidak merasa dipojokkan65.
65
Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, hlm. 222223.
25 5. Analisis Hasil Bungin menyatakan bahwa analisis kualitatif dengan pendekatan fenomenologi lebih akuntabel untuk mengungkap persoalan subjek manusia. Hal ini dikarenakan manusia umumnya tidak taat asas, berubah-ubah, memiliki subjektivitas maupun emosi. Oleh karena itu, analisis kualitatif sebaiknya menggunakan logika induktif, dimana silogisme dibangun berdasarkan pada hal-hal khusus atau data di lapangan dan bermuara pada kesimpulan umum66. Setelah pengumpulan data dilakukan, sebelum analisis data terlebih dahulu dilalui proses reduksi data, klasifikasi data dan display data67. Teori yang digunakan terutama adalah receptie dan receptio a contrario, penerapannya digunakan pada analisis data untuk dijadikan pedoman memahami pewarisan yang dijalankan masyarakat di kota Yogyakarta. Selain itu, semua data lapangan juga dilihat kaitannya antara Hukum Waris Adat dan Islam. Setelah mendiskripsikan penerapan receptie atau receptio a contrario dalam pewarisan di lingkungan masyarakat Kota Yogyakarta, kemudian pelaksanaan pewarisan tersebut dikaji untuk menemukan makna pewarisan dalam perspektif Adat Jawa dan Islam. Selanjutnya diharapkan, kajian ini dapat mampu menemukan nilai-nilai yang dijadikan acuan dalam pewarisan. Teori receptie dan receptio a contrario digunakan terutama untuk menganalisis permasalahan tentang integrasi hukum waris Adat dan Islam dalam masyarakat Jawa di Kota Yogyakarta. Di samping itu, teori tersebut juga digunakan untuk menganalisis tentang alasan integrasi hukum Adat dan Islam dalam pewarisan masyarakat Jawa di Kota Yogyakarta. Adapun proses analisis terhadap data hasil penelitian ini dilakukan melalui cara sebagai berikut. Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan lapangan
66
Burhan Bungin, op.cit, hlm. 143. Kaelan, 2010, op.cit, hlm 162-165.
67
26 disusun secara sistematis, sehingga diperoleh suatu deskripsi yang jelas tentang aktualisasi teori receptie dan receptio a contrario dalam pewarisan dan
filosofi
kewarisan pada masyarakat Jawa di kota Yogyakarta. Data tersebut selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan mengutamakan logika induktif untuk menemukan suatu kesimpulan.