BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Hasil pengamatan mengenai proses belajar mengajar yang dilakukan di dalam kelas menunjukkan bahwa betapa pembelajaran di sekolah masih belum dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa secara maksimal, khususnya kemampuan berpikir kreatif dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari yang dihadapinya. Sama halnya dengan apa yang dikatakan oleh Guilford (1987) dalam Myrmel (2003:1) mengenai kurangnya kemampuan siswa mereka dalam memecahkan masalah, yaitu ‘a common complaint is that our college graduates are too helpless when called upon to solve a problem where new paths are demanded’, hal tersebut sangat disayangkan karena kemampuan dalam memecahkan
masalah merupakan sesuatu
yang sangat
penting,
sebagaimana yang dikatakan oleh Myrmel (2003:1) bahwa “creative problem thinking skill are important”. Walaupun tidak semua, banyak guru yang dalam pembelajarannya masih berorientasi pada terselesaikannya materi, sehingga hampir tiap masuk kelas selalu meminta siswa untuk mencatat materi-materi di buku paket yang sebenarnya dapat dibaca sendiri oleh siswa di rumah. Ada pula guru yang ketika masuk kelas untuk mengajar hanya mengemukakan pendapat-pendapatnya di depan siswa, sedangkan siswa hanya duduk dan mendengarkan apa yang
1
2
dikatakan oleh guru sehingga mereka tidak terbiasa mengemukakan pendapatnya di depan kelas, padahal siswa membutuhkan “alat bantu” untuk menjadi pribadi yang kreatif, dan salah satu alat bantu yang tersedia dalam pembelajaran yaitu menerapkan metode pembelajaran yang dapat menunjang perkembangan kemampuan berpikir kreatif mereka, salah satunya yaitu metode pembelajaran creative problem solving, pendapat tersebut didukung oleh Myrmel (2003:1) bahwa “students need the tools and skills to become deliberately more creative, and the creative problem solving skills can be taught”. Konsekuensi dari cara mengajar guru yang cenderung tidak melibatkan siswa dalam pembelajaran tidak dapat membentuk siswa menjadi pribadi yang kreatif dan mandiri, misalnya saja ketika siswa dihadapkan pada permasalahan kurangnya biaya untuk melanjutkan sekolah, kebanyakan dari mereka cenderung lebih memilih untuk berhenti sekolah dengan alasan ingin membantu orang tua mereka. Padahal siswa yang kreatif, akan mencari jalan keluar bagaimana agar dia tetap dapat membantu orang tua tanpa harus berhenti sekolah. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Treffinger dalam Semiawan, A.S Munandar dan S. C. U Munandar (1984:37) bahwa ‘dengan belajar secara kreatif siswa dapat menciptakan kemungkinan-kemungkinan untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak diramalkan sebelumnya’. Masalah lainnya yang muncul yaitu terus bertambahnya pengangguran terdidik. Tidak menutup kemungkinan bahwa pengangguran terdidik merupakan akibat dari cara guru yang tidak melatih kreatifitas mereka saat berada di sekolah menengah. Proses belajar mengajar di sekolah yang tidak melatih siswa untuk kreatif akan mengakibatkan
3
siswa terbiasa hanya untuk menunggu kesempatan kerja itu datang menghampiri, dan tidak tertutup kemungkinan hal tersebut merupakan salah satu sebab terus bertambahnya jumlah pengangguran terdidik di tahun 2010 ini (tersedia: http://www.rri.co.id) [27 Mei 2010]. Contoh lain yaitu ketika siswa dihadapkan pada permasalahan perbedaan pendapat, jalan keluar yang diambil sebagian besar siswa adalah tawuran. Kebanyakan mereka menganggap bahwa dengan menunjukkan siapa yang kuat maka dia akan berkuasa, siswa yang kreatif dalam memecahkan masalah akan mencari jalan keluar dari masalah tersebut tanpa harus ada perkelahian, dan ironisnya orang dewasa juga lebih suka berkelahi daripada bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah, sebagaimana marak diberitakan baik dimedia cetak maupun elektronik mengenai kasus yang terjadi sekitar tiga bulan yang lalu di sebelah utara kota Jakarta mengenai wacana penggusuran makam Mbah Priuk. Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengemukakan penyesalannya mengenai jatuhnya korban dalam kasus priok, menurutnya ‘jatuhnya korban pada kasus priuk seharusnya tidak perlu terjadi karena masalah tersebut masih dapat diselesaikan melalui musyawarah’. (tersedia: http://antaranews.com [14 April 2010]) Idealnya pembelajaran IPS di sekolah dapat menumbuhkembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam memecahkan masalah kehidupan seharihari mereka, bukan hanya sekedar mampu menjawab soal-soal dalam ujian akhir. Undang-Undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 BAB II Pasal 3 menyatakan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
4
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Berikut dipaparkan dalam bentuk narasi hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti mengenai rendahnya kemampuan berpikir kreatif siswa (n = 105 siswa kelas VII), dimana pengklasifikasiannya didasarkan pada new taxonomy of Marzano dan Kendall (2007:4), yaitu kemampuan Retrieval (recognizing, recalling) mendapat porsi yang paling banyak dalam pembelajaran (80%), selanjutnya kemampuan tingkat dua yang disebut sebagai Comprehension (integrating, symbolizing) mendapat porsi kurang lebih 17% dari seluruh kegiatan pembelajaran, sedangkan kemampuan siswa dalam tingkatan yang disebut analysis (matching, classifying, analyzing, generalizing, specifying), Knowledge Utilization (decision making, problem solving, experimenting, investigating), Metacognitive System (specifying goals, monitaring clarity and accuracy) dan Self System (examining importance, emotional response, motivation) masih sangat jauh dari yang dibutuhkan untuk menjadikan siswa sebagai pribadi yang kreatif. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, rendahnya kemampuan berpikir kreatif siswa disebabkan karena guru cenderung lebih disibukkan dengan pemikiran bagaimana caranya agar seluruh materi pembelajaran dapat segera diberikan kepada siswa, sehingga siswa dapat menjawab soal yang keluar dalam ujian kelak. Tidak dapat pungkiri bahwa penguasaan materi merupakan salah satu hal penting dalam pembelajaran, namun guru harus tetap memperhatikan apakah siswa memahami betul manfaat dari mempelajari materi tersebut, dan apakah
5
siswa dapat menerapkan apa yang telah
mereka pelajari di sekolah dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Permasalahan tersebut merupakan dampak dari pembelajaran yang hanya berorientasi
pada kelulusan. Guru merasa berhasil
ketika siswa mereka dapat lulus dengan nilai yang baik. Padahal kenyataannya tidak sedikit siswa yang dinyatakan mampu menjawab soal ujian, namun tidak dapat menyelesaikan masalah kehidupan mereka. Jika siswa yang dianggap berkualitas adalah hanya siswa yang lulus dalam ujian, maka tidak seharusnya tingkat
pengangguran
terdidik
terus
mengalami
peningkatan.
(tersedia:
http://www.rri.co.id) [27 Mei 2010]. Jika kelulusan dijadikan sebagai satu-satunya patokan keberhasilan suatu pendidikan, maka idealnya semua siswa yang telah dinyatakan lulus itu dapat meningkatkan kualitas hidupnya dengan pendidikan yang dimilikinya, namun kenyataannya tidaklah demikian. Tidak sedikit dijumpai bahwa orang yang berhasil bukan hanya karena dia lulus dalam ujian, tetapi karena mereka memiliki kreativitas yang tinggi. Itulah
alasan mengapa peneliti menganggap bahwa
berpikir kreatif itu merupkaan sesuatu yang penting dan harus ditanamkan dalam diri siswa sejak dini, karena “dengan
kreativitaslah
meningkatkan kualitas hidupnya” (Supardan, 2000:38).
seseorang dapat Untuk terus dapat
mengasah potensi kreatif yang ada pada diri siswa, peneliti menganggap perlunya penerapan metode pembelajaran yang bervariasi, dimana metode tersebut dapat menjadikan siswa sebagai subjek. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rose & Lin (1984) dalam Alexander (2007:19) ‘Creative thinking skills are specific thinking
6
strategies that can be developed through various teaching methods’. Kemampuan berpikir keratif dapat dikembangkan melalui metode mengajar yang bervariasi. Dalam penelitian ini, metode pembelajaran yang dipilih adalah CPS (Creative Problem Solving), adapun alasan dipilihnya metode tersebut yaitu berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, metode pembelajaran CPS termasuk kedalam metode dengan pendekatan konstruktivistik, dimana yang menjadi pusat pembelajaran adalah siswa (student centered) sehingga metode tersebut dianggap mampu mengaktifkan siswa. Sebagaimana diketahui bahwa belajar aktif merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh siswa untuk mendapatkan hasil yang maksimum dalam pembelajaran. Ketika peserta didik pasif, atau dengan kata lain hanya menerima begitu saja apa yang diberikan oleh guru, maka ada kecenderungan bagi mereka untuk cepat melupakan apa yang telah diberikan. Kedua, metode pembelajaran CPS dapat digunakan pada siswa dengan kemampuan intelektual yang beragam, sehingga tidak perlu memisahkan antara anak yang cerdas dan anak yang memiliki kemampuan intelektual menengah ke bawah sehingga mereka tidak ada yang merasa “terpinggirkan”. Ketiga, metode pembelajaran CPS tidak hanya terbatas pada tingkat pengenalan, pemahaman dan penerapan sebuah informasi, melainkan juga melatih siswa untuk dapat menganalisis suatu masalah dan memecahkannya. Keempat, metode pembelajaran CPS mudah dipahami dan diterapkan dalam tiap jenjang pendidikan dan tiap materi pembelajaran, sebagaimana yang dikatakan oleh Alexander (2007:77) bahwa “creative problem solving strategies is an effective instructional strategy
7
for all age groups and in all areas of the curriculum”. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan yang dijelaskan di atas, diharapkan tujuan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa dengan menggunakan metode pembelajaran Creative Problem Solving dapat tercapai secara maksimal.
B. Identifikasi dan Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti memfokuskan panelitian ini pada peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa, dimana peningkatan tersebut dapat dilihat melalui perbandingan hasil pretest dan posttest, proses pembelajaran dengan menerapkan metode pembelajaran Creative Problem Solving pada kelas eksperimen, serta hasil akhir berupa produk kreatif sebagai buah dari berpikir kreatif siswa. Adapun rumusan masalah yang dapat ditarik dari fokus penelitian tersebut antara lain: 1. Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol pada pengukuran awal (pre-test)? 2. Apakah terdapat
perbedaan kemampuan berpikir kreatif siswa kelas
eksperimen pada pengukuran awal (pre-test) dan setelah diterapkannya metode creative problem solving dalam pembelajaran (post-test)? 3. Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif siswa kelas kontrol pada pengukuran awal (pre-test) dan setelah pembelajaran (post-test)? 4. Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif siswa setelah diterapkannya metode creative problem solving pada kelas eksperimen dengan kelas kontrol (post-test)?
8
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih lanjut mengenai: 1. Kemampuan berpikir kreatif siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol pada pengukuran awal (pre-test). 2. Perbedaan kemampuan berpikir kreatif siswa kelas eksperimen pada pengukuran awal (pre-test) dan setelah diterapkannya metode creative problem solving dalam pembelajaran (post-test). 3. Perbedaan kemampuan berpikir kreatif siswa kelas kontrol pada pengukuran awal (pre-test) dan setelah pembelajaran (post-test). 4. Perbedaan kemampuan berpikir kreatif siswa setelah diterapkannya metode creative problem solving pada kelas eksperimen dengan kelas kontrol (posttest) tanpa perlakuan.
D. Kerangka Pemikiran Pemikiran (flexibility),
yang
kreatif
kemandirian
menuntut
dalam
berpikir
kelancaran
(fluency),
(originality),
dan
keluwesan kemampuan
mengembangkan gagasan (elaboration). Jika dalam diri siswa telah terdapat karakteristik tersebut, maka mereka telah dapat dikatakan sebagai siswa yang kreatif dan pembelajaran dinyatakan berhasil. Penggunaan potensi kreatif yang dimiliki seseorang dalam bentuk pemikiran dan pemecahan masalah secara kreatif dapat ditingkatkan melalui suatu upaya latihan yang sistematis. Sebagaimana yang dikatakan oleh Davis dan Scott (1971); Torrance (1972) dalam Semiawan, A.S
9
Munandar dan S.C.U Munandar, (1984:37) bahwa ‘kelancaran, kelenturan, keaslian (originality), kecakapan merinci, kecakapan memecahkan masalah majemuk, dan sikap yang berhubungan dengan kreativitas siswa dapatlah ditingkatkan’. Kemampuan berpikir kreatif itu sendiri dapat ditingkatkan dengan penerapan metode pembelajaran yang bervariasi dalam proses belajar mengajar, hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Rose & Lin (1984) dalam Alexander (2007:19) ‘creative thinking skills are specific thinking strategies that can be developed through various teaching methods’. Berpikir kreatif tidak hanya dapat ditingkatkan dengan menggunakan metode pembelajaran tertentu, namun semua metode pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa dalam proses belajar mengajar diasumsikan dapat mendorong peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa. Dalam penelitian ini dipilih metode pembelajaran yang diasumsikan dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa, yaitu CPS (Creative Problem Solving). Metode tersebut dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, metode tersebut dianggap mampu mengaktifkan siswa, sehingga siswa lebih banyak terlibat dalam pembelajaran daripada guru. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa belajar aktif merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh peserta didik untuk mendapatkan hasil yang maksimum dalam pembelajaran. Ketika peserta didik pasif, atau dengan kata lain hanya menerima begitu saja apa yang diberikan oleh pendidik, maka ada kecenderungan bagi mereka untuk cepat melupakan apa yang telah diberikan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Semiawan (1990) (Isjoni, 2007:37) bahwa:
10
Pembentukan otak dengan pengetahuan hafalan dan latihan drill yang berlebihan selain tidak mewujudkan peningkatan perkembangan kognitif yang optimal, juga secara psikologis tidak seimbangnya memfungsikan belahan otak sebelah kiri dengan belahan otak sebelah kanan, akibatnya pembelajaran tidak dapat memotivasi pelajar untuk berpikir secara kreatif dan inovatif.
Kedua, metode-metode tersebut dapat digunakan untuk siswa dengan kemampuan intelektual yang beragam, sehingga tidak perlu memisahkan antara anak yang cerdas dan anak yang memiliki kemampuan intelektual menengah ke bawah sehingga mereka tidak ada yang merasa “terpinggirkan”. Penggabungan tersebut memiliki dampak positif, bagi anak yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, mereka dapat berbagi pengetahuan mereka kepada teman-teman yang kemampuan intelektualnya berada di bawah mereka. Pembelajaran dengan teman sebaya (peer teaching) seperti itu tentu saja menguntungkan bagi kedua belah pihak. Anak yang cerdas dapat terus mengasah kemampuannya, sedangkan anak yang kurang cerdas dapat mengambil pelajaran dari anak yang cerdas tersebut. Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Lie (2004:12), “banyak penelitian menunjukkan bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) ternyata lebih efektif daripada pengajaran oleh guru”. Ketiga, metode tersebut tidak hanya terbatas pada tingkat pengenalan, pemahaman dan penerapan sebuah informasi, melainkan juga melatih siswa untuk mensintesis atau mengkonstruk sebuah generalisasi baru berdasarkan informasi yang ada sebelumnya, melatih siswa untuk dapat mengambil sebuah keputusan berdasarkan informasi yang diperolehnya, memecahkan masalah yang terjadi dan membentuk sebuah iklim belajar yang memungkinkan siswa membangun sendiri
11
pengetahuannya annya berdasarkan pengetahuan awal yang mereka miliki serta pengalaman yang mereka alami, yang tentu saja hal tersebut dapat mengasah potensi kreatif yang dimilikinya. Keempat, metode-metode metode tersebut mudah dipahami dan diterapkan dalam pembelajaran sehingga sehingga tujuan dari penggunaan metode tersebut dapat tercapai. Berikut digambarkan melalui bagan kerangka pemikiran:
Variasi Metode Pembelajaran
Originality Flexibility
Dimensi Kognitif
Fluency Elaborations
Creative Thinking Toleran terhadap ambiguitas
Rasa ingin tahu besar
Dimensi Afektif
Berani mengambil resiko Imagenatif
Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran Diadopsi dari Guilford (1975), Munandar (1977), dan Torrance (1968, 1984) dalam Supriadi (1994, 2001:61), Alexander (2007:19), dan Filsaime (2008:21)
12
E. Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis yang diambil dalam penelitian ini diantaranya sebagai berikut: 1. Tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol pada pengukuran awal (pre-test). 2. Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif siswa kelas eksperimen pada pengukuran awal (pre-test) dan setelah diterapkannya metode creative problem solving dalam pembelajaran (post-test)? 3. Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif siswa kelas kontrol pada pengukuran awal (pre-test) dan setelah pembelajaran (post-test)? 4. Terdapat
perbedaan
kemampuan
berpikir
kreatif
siswa
setelah
diterapkannya metode creative problem solving pada kelas eksperimen dengan kelas kontrol (post-test)?
F. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini yaitu diantaranya sebagai berikut: 1. Metode creative problem solving dapat menjadi salah satu referensi bagi guru dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar. 2. Siswa dapat lebih kreatif dan mandiri dalam memecahkan permasalahan ekonomi pribadi mereka pada khususnya dan masyarakat yang ada di sekitar mereka pada umumnya.
13
3.
Siswa dapat terbiasa bertindak kreatif dan mandiri dalam rangka meningkatkan kualitas hidup mereka yang kemudian diharapkan mereka dapat memberikan kontribusi nyata untuk negara.
4. Memancing guru untuk keluar dari budaya mengajar yang lebih menekankan pada hasil belajar dan habisnya materi/bahan ajar
tanpa
memikirkan apakah materi tersebut dapat diterima dengan baik dan dapat diterapkan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari mereka atau tidak. 5. Guru dapat menerapkan metode-metode belajar lainnya yang dapat mengembangkan potensi kreatif siswa. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memotivasi guru untuk terus dapat mengasah kreativitas yang dimilikinya sehingga dapat lebih memotivasi siswa.