1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena masyarakat Indonesia di kalangan remaja sekarang ini, mengalami krisis moral sehingga perlu pembenahan terutama di dunia pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara, (Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pada Bab I Pasal 1 ayat 1). Proses pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kepribadian sehat yang dimiliki manusia secara utuh dan menyeluruh. Orang-orang dengan kepribadian yang sehat dapat menyesuaikan dirinya dengan baik dan dapat mengaktualisasikan dirinya (self actualizing). Kondisi kepribadian sehat menurut Hurlock (1974:423) has defined : People with healthy personalities are those who are judged to be well adjusted. They are so judged because they are able to function efficiently in the word of people. They experience a kind of “inner harmony” in the sense that they are at peace with other as well as with themselves. Orang
yang
mempunyai
kepribadian
sehat
adalah
orang
yang
dianggap/dinilai mampu sebagai seseorang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik. Mereka dinilai demikian, karena mereka dapat berfungsi dan bekerja secara efektif di dunia masyarakat. Mereka mempunyai pengalaman seperti : inner harmony (keharmonisan dari dalam) di mana mereka berada dalam keadaan damai Dewi Sadi’ah, 2011 Pengembangan Model Pendidikan … Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
2
dengan orang lain, begitu juga damai dari dalam diri mereka sendiri. Ketika sebuah diagnosa dilakukan, maka kriteria yang dipertimbangkan oleh Jourard (1959:73) has defined : A person with a healthy personality as one who is able to gratify his needs through behavior that conforms with both the norms of his society and the requirements of his conscience. There are thus two essentials to a healthy personality. The first is that the person must not only play his role in life satisfactorily but he must derive satisfaction from it. The second satisfaction leads to the emotional state known as happiness or contentment. Without this, the personality cannot be healthy. A person who is chronically dissatisfied with himself and the role he is expected to play in life sooner or later develops a sick personality. Maksudnya, bahwa seseorang dengan kepribadian yang sehat adalah seseorang yang dapat memberi kebahagiaan terhadap kebutuhannya melalui kelakuan (menyesuaikan diri) dengan norma-norma lingkungan dan kebutuhankebutuhan hati nuraninya, karena itu ada dua hal yang sangat penting untuk kepribadian sehat. Pertama, bahwa orang itu bukan hanya memainkan peran hidupnya dengan baik tetapi dia harus mendapat kepuasan dari peranannya itu. Kedua, esensi kepribadian sehat adalah seseorang harus memainkan perannya dalam kehidupan terhadap kepuasan orang lain. Dia harus berbuat sesuai dengan peraturan, moral, dan hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakatnya. Seseorang juga terus-menerus tidak merasa puas dengan dirinya dan dalam peranan yang dia akan lakukan dalam hidupnya, pada akhirnya akan menimbulkan kepribadian yang sakit. Kemudian diperkuat oleh Maslow (1954:85) yang berkaitan dengan self-actualizing person atau orang yang sehat mentalnya dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Dewi Sadi’ah, 2011 Pengembangan Model Pendidikan … Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
3
1. Mempersepsi kehidupan atau dunianya sebagaimana apa adanya dan merasa nyaman dalam menjalaninya. 2. Menerima dirinya sendiri, orang lain dan lingkungannya. 3. Bersikap spontan, sederhana, alami, bersikap jujur, tidak dibuat-buat dan terbuka. 4. Mempunyai komitment untuk memecahkan masalah. 5. Bersikap mandiri. 6. Memiliki apresiasi yang segar terhadap lingkungan di sekitarnya. 7. Mencapai puncak pengalaman (kegembiraan yang luar biasa). Pengalaman ini cenderung lebih bersifat mistik atau keagamaan. 8. Memiliki minat sosial, simpati, dan empati. 9. Sangat senang menjalin hubungan interpersonal (persahabatan atau persaudaraan) dengan orang lain. 10. Bersikap demokratis (toleran, dan terbuka). 11. Kreatif (fleksibel, spontan, terbuka, dan tidak takut salah). Salah
satu
kunci
dari
definisi
kepribadian
adalah
penyesuaian
(adjustment). Menurut Schneiders dalam Syamsu & Juntika (2007:12) bahwa penyesuian diartikan suatu respon individu, baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, tegangan emosional, frustasi dan konflik, dan memelihara keharmonisan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan. Kondisi kepribadian sehat pandangan Najati (2005:379) mengistilahkan dengan kepribadian normal menurut Islam, ialah kepribadian yang berimbang antara tubuh dan roh serta memuaskan kebutuhan-kebutuhan, baik untuk tubuh maupun roh. Kepribadian normal adalah memperhatikan tubuh, kesehatan tubuh, dan kekuatan tubuh serta memuaskan kebutuhan-kebutuhannya dalam batas-batas yang telah digariskan syariat. Dalam waktu yang bersamaan, juga berpegang teguh pada keimanan kepada Allah Swt., menunaikan peribadahan, menjalankan segala apa yang diridhai-Nya dan menghindari semua hal yang dapat mengundang murka-Nya. Jadi, pribadi yang dikendalikan hawa nafsu dan syahwatnya adalah pribadi yang normal atau sehat. Faktor utama dalam penilaian suatu kepribadian, dalam pandangan Al-Quran, adalah akidah dan ketakwaan, sesuai dengan firman Allah
Dewi Sadi’ah, 2011 Pengembangan Model Pendidikan … Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
4
dalam Q. S. Al-Hujuraat/49:13 yang artinya: “...Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui dan Mahateliti.” Adapun Hurlock (1974:425) mengemukakan bahwa karakteristik kepribadian sehat (healthy personalities) ditandai dengan : Mampu menilai diri secara realistik (realistic self-appraisals), menilai situasi secara realistik (realistic appraisal of situations), menilai prestasi yang diperoleh secara realistik (realistic evaluation of achievements), menerima kenyataan (acceptance of reality), menerima tanggung jawab (acceptance of responsibility), kemandirian (autonomy), dapat mengontrol emosi (acceptable emotional control), berorientasi tujuan (goal orientation), berorientasi ke luar (outer orientation), penerimaan sosial (social acceptance), memiliki filsafat hidup (philosophy-of-life-direced), berbahagia (happiness). Kebahagiaan dipengaruhi oleh faktor-faktor achievement (pencapaian prestasi), acceptance (penerimaan dari orang lain), dan affection (perasaan atau disayangi orang lain). Adapun eksistensi guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Undang-Undang RI. Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada Bab I Pasal 1). Bahkan dalam Undang-Undang RI. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pada Bab II Pasal 3 yang menjelaskan tujuan Pendidikan Nasional adalah : Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dewi Sadi’ah, 2011 Pengembangan Model Pendidikan … Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
5
Pada rumusan tujuan Pendidikan Nasional tersebut di atas, untuk membentuk manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian sehat dapat diwujudkan apabila kepada yang bersangkutan diberikan Pendidikan Agama Islam yang merupakan bagian dari program Pendidikan Umum. Hal ini, sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sumaatmadja (1990:26) bahwa : “Pendidikan Umum sebagai program pendidikan yang diarahkan untuk membentuk manusia utuh menyeluruh yang meliputi manusia yang sangat belia sampai kepada manusia yang sudah tua. Yang diberikan melalui pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah.” Sedangkan manusia yang utuh menurut Mujib (1999:125) “Manusia utuh atau kepribadian yang utuh adalah gabungan antara dimensi-dimensi ragawi (biologis), kejiwaan (psikologi), lingkungan (sosiokultural), dan ruhani (spiritual) yang memandang manusia dalam kesatuan utuh. Maka manusia yang utuh menurut Dahlan (1988:14) bahwa “Manusia yang utuh menurut pandangan yang tuntas mencerminkan manusia kaffah dalam arti satu niat, ucap, pikir, perilaku, dan tujuan yang direalisasikan dalam hidup bermasyarakat. Semua itu akan diperhadapkan kepada Allah Swt.” Manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt., serta berakhlak mahmudah, berkepribadian sehat adalah tujuan utama yang harus diwujudkan oleh guru agama dalam kehidupan sehari-hari kepada peserta didik, baik di sekolah, keluarga, maupun masyarakat. Banyak faktor yang erat kaitannya dengan keberhasilan atau kegagalan upaya guru agama Islam dalam membina dan mengembangkan peserta didiknya agar mempunyai kepribadian yang sehat Dewi Sadi’ah, 2011 Pengembangan Model Pendidikan … Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
6
(akhlak alkarimah). Dilengkapi oleh pandangan al-Ghazali (1957:57) bahwa guru sebagai pendidik moral Islami dalam mengembangkan kepribadian sehat, yang harus dipenuhi guru di antaranya : “Bersikap sabar, bersikap tawadhu dalam pertemuan-pertemuan, penyantun serta tidak membentak-bentak orang bodoh, bersahabat, dan berkata benar”. Sedangkan Pandangan Antonio (2007:187-193) bahwa tuntunan Muhammad Saw tentang sifat-sifat guru yang menjadi indikator kepribadian sehat yaitu : Ikhlas, jujur, adil, akhlak mulia, tawadhu, berani, jiwa humor yang sehat, sabar dan menahan amarah, menjaga lisan, sinergi dan musyawarah. Untuk membelajarkan nilai dan moral secara komprehensif, maka harus memahami pengertian nilai. Nilai (value) berada dalam diri manusia (suara atau lubuk hati manusia) dengan acuan landasan dan/atau tuntutan nilai-moral (value/moral based and claim) tertentu yang ada dalam system nilai dan system keyakinan orang yang bersangkutan, (Djahiri, 1996:16). Jadi secara sederhana dan mudah dipahami dengan bahasa umum yakni nilai adalah harga yang diberikan seseorang/sekelompok manusia terhadap sesuatu (materiil-imateriil, personal, kondisional) atau harga yang dibawakan tersirat atau menjadi jati diri sesuatu. Di mana harga ditentukan oleh tatanan nilai (value system) di antaranya : 1. Tatanan keyakinan (belief system), 2. Yang ada dalam diri/kelompok yang bersangkutan. Kedua hal tersebut (terutama system keyakinan) menjadi landasan dan tuntutan penentuan harga. Maksud harga disini adalah harga afektual, yakni harga yang menyangkut dunia afektif manusia. Adapun pengertian nilai menurut Fraenkel (1981:1) has defined : Dewi Sadi’ah, 2011 Pengembangan Model Pendidikan … Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
7
Value is idea, concept about what some one think is important related to ethic and aesthetics… How people behave and conduct… Standard of conduct, beauty, efficiency or worth that people endors and that people to live up or maintain… guide to what is right and just…means and ends of behavior or norm…is a powerfull emotional commitment… Maksud teks yang digarisbawahi di atas, menunjukkan kualifikasi faktual. Etika dan estetika adalah sumber acuan normatif nilai-moral, berkelakuan menunjukkan sikap perilaku, tuntutan, isi pesan atau jiwa semangat. Nilai sesuatu yang berharga yang dianggap bernilai adil, baik, benar dan indah serta menjadi pedoman atau pegangan diri. Atau sebagai pola sikap yang sudah mempribadi atau mapan. Berbeda dengan nilai yang bersifat personal dalam diri manusia, maka moral berada dan berasal dari luar diri yang bersangkutan, yakni dari tuntutan keharusan dan keyakinan orang lain atau kelompok masyarakat di mana yang bersangkutan berada atau menjadi warga yang bersangkutan
(Djahiri,
1996:18).
Setiap nilai dapat memperoleh suatu bobot moral bila diikutsertakan dalam tingkah laku moral, sebagaimana Imam al-Ghazali (1990:22) bahwa “Keberadaan nilai moral ini dalam lubuk hati (al-Qolbu) serta menyatu/bersatu raga di dalamnya menjadi suara dan mata hati atau hati nurani (the conscience of man)”. Dilengkapi dengan pandangannya Najati (2005:426) bahwa “Khususnya agama Islam, membantu kita memberikan bukti-bukti keberhasilan keimanan kepada Allah dalam menyembuhkan jiwa dari berbagai penyakit, mewujudkan perasaan aman dan tentram, mencegah perasaan gelisah, serta berbagai penyakit kejiwaan yang adakalanya terjadi”. Melalui pembelajaran berbahasa santun bisa menciptakan suasana nilai-nilai keberagamaan perilaku siswa lebih baik, sesuai Dewi Sadi’ah, 2011 Pengembangan Model Pendidikan … Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
8
dengan apa yang diungkapkan Sauri (2006:77) bahwa setiap perilaku santun yang dilakukan seseorang dicatat sebagai bagian dari pelaksanaan ibadah. Karena itu, kesantunan bisa bernilai ibadah jika dilakukan dengan niat karena Allah. Ditelaah dari sudut kajian Pendidikan Umum, pendidikan nilai-nilai perilaku keberagamaan dalam membina kepribadian sehat merupakan salah satu kajian yang esensial, karena lebih banyak mengarah kepada terciptanya pengembangan atau pembinaan kondisi kedewasaan dan kemandirian peserta didik, agar kehidupannya menjadi tentram, bahagia, harmonis, memiliki nilai-nilai yang prinsipil bagi kemanusiaan, dan kemanusiawian dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Sementara pengertian Pendidikan Umum menurut Nelson (1952:73) has defined “General Education is to develop and improve moral character”. Pendidikan Umum adalah menekankan pada pengembangan karakter moral. Adapun Pendidikan Nilai sebagai pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan, melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten (Mulyana, 2004:119). Di samping itu, Trimo (2007:2) mengemukakan bahwa program pendidikan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai melalui; memilih, menghargai, dan bertindak. Adapun bidang studi agama ada kaitannya dengan Pendidikan Umum di tingkat Madrasah Aliyah atau SMA masih dipandang sama seperti pendidikan lainnya. Sedangkan Pendidikan Umum diarahkan kepada pengembangan sikap dan kepribadian sehat bukan hanya mengembangkan aspek kognitif atau intelek saja, tetapi juga mengembangkan emosi, kebiasaan, afektif, psikomotorik, dan
Dewi Sadi’ah, 2011 Pengembangan Model Pendidikan … Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
9
kepribadian yang berjati diri pribadi muslim sejati. Hal ini, untuk pengembangan model pendidikan nilai-nilai keberagamaan dalam membina kepribadian sehat siswa tidak dapat dilakukan hanya melalui nasihat saja, akan tetapi harus dimulai dari contoh keteladanan kepala sekolah, para guru, orang tua, tokoh masyarakat, dan lainnya. Semua itu harus dilandasi oleh keikhlasan, kesucian, dan perubahan sikap untuk memenuhi hasrat religiusnya atas dasar karena Allah (Lillah) (Djamari, 1988:13). Sedangkan guru agama lebih mengutamakan kepada akhlak mulia atau insan yang sehat dengan memiliki kompetensi pedagogik-religius, kepribadian-religius,
sosial-religius,
dan
kompetensi
professional-religius,
sehingga segala permasalahan pendidikan dapat dihadapi, dipertimbangkan, dan dipecahkan serta ditempatkan dalam perspektif Islam (Muhaimin, 2006:173). Nilai keberagamaan terdiri dari dua kata yaitu kata nilai dan keberagamaan. Nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan,
Departemen
Pendidikan
Nasional
(2001:783)
sedangkan
keberagamaan yaitu perihal beragama dalam beribadat; keagamaan yaitu yang berhubungan dengan agama; agama ialah ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan), peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa, tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya (Departemen Pendidikan Nasional, 2001:12). Menurut Madjid, N. (2000:98-100) bahwa ada beberapa nilai-nilai keberagamaan mendasar yang harus ditanamkan pada anak dan kegiatan menanamkan nilai-nilai pendidikan inilah yang sesungguhnya menjadi inti pendidikan keagamaan yaitu : iman, Islam, ihsan, takwa, ikhlas, tawakkal, syukur, dan shabar. Dilihat dari segi tujuan yang hendak Dewi Sadi’ah, 2011 Pengembangan Model Pendidikan … Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
10
dicapai pengembangan model pendidikan nilai-nilai keberagamaan dalam membina kepribadian sehat diarahkan untuk membina perilaku anak yang lebih baik, menarik, menyenangkan hati, insan yang sehat, yang memancarkan iman dan bertakwa kepada Allah Swt. Jika melihat sejarah pendidikan Islam yang paling awal, bahwa sistem pendidikan Rasulullah Saw belum mengeluarkan pengakuan kelulusan melalui gelar atau ijazah. Nilai tertinggi murid-murid Rasulullah Saw., terletak pada tingkat ketakwaan. Ukuran takwa terletak pada akhlak dan amal shaleh yang dilakukan oleh masing-masing shahabat. Dengan demikian output sistem pendidikan Rasulullah Saw adalah orang yang langsung beramal, berbuat dengan ilmu yang didapat karena Allah semata, kemudian dikembangkan oleh para shahabat, maka lahirlah generasi Islam terbaik (Antonio, 2007:185). Di Dar al-Arqam, Rasulullah mengajar tentang wahyu yang diterimanya kepada kaum muslimin dengan cara menghafal, menghayati, dan mengamalkan ayat-ayat suci yang diturunkan kepadanya (Munir, 1998:198). Pandangan Antonio (2007:187-193) bahwa tuntunan Muhammad Saw tentang sifat-sifat guru yang menjadi indikator kepribadian sehat yaitu : Ikhlas, jujur, adil, akhlak mulia, tawadhu, berani, jiwa humor yang sehat, sabar dan menahan amarah, menjaga lisan, sinergi dan musyawarah. Dari hasil pengamatan tampaknya fenomena ini lebih jauh dikuatkan oleh adanya kenyataan-kenyataan yang sering muncul dalam tindakan siswa yang bertolak belakang dengan nilai-nilai keagamaan yang dididikkan seperti timbulnya pergeseran nilai, bagi peserta didik menimbulkan persoalan tersendiri yang mengakibatkan munculnya gejala-gejala negatif berupa merebaknya Dewi Sadi’ah, 2011 Pengembangan Model Pendidikan … Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
11
dekadensi moral (kepribadian menyimpang) dewasa ini di kalangan remaja, seperti: minuman keras, free sex atau pergaulan bebas, tawuran antara pelajar, penyalahgunaan narkoba, bahasa yang kasar tidak beretika, dan hilangnya rasa malu di kalangan masyarakat timur dengan semua bentuk dan jenisnya sampai tindakan aborsi. Contoh, berdasarkan hasil penelitian BKKBN Provinsi Jawa Barat pada tahun 2002 (Pikiran Rakyat 15 Juli 2007) bahwa sebanyak 40 % dari 2.800 orang responden yaitu siswa SMA di Jawa Barat pernah melakukan hubungan seksual di luar nikah. Apabila kenyataan seperti ini terus dibiarkan, maka dikhawatirkan menimbulkan masalah yang lebih rusak ahklak kepribadian dan moralnya yang mengakibatkan kehancuran generasi bangsa di masa depan. Kenyataan tersebut di atas, bisa merusak komitmen keberagamaan siswa dalam membina berkepribadian sehat bukan saja di sekolah, melainkan di masyarakat Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu, guna menghindari rusaknya akhlak dan moral bangsa, maka diperlukan pengembangan model pendidikan nilai-nilai keberagamaan
dalam
membina
kepribadian
sehat
siswa
yang
dapat
mengendalikan dirinya agar tidak terjerumus pada perilaku yang menyimpang atau kepribadian tidak sehat dari ajaran agama Islam yang bisa diimplementasikan di sekolah dan berdasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut : Pertama, peranan guru agama untuk mengembangkan pendidikan nilainilai keberagamaan dalam membina kepribadian sehat, sangat mendasar karena menekankan kepada perwujudan sikap, perilaku dan insan yang sehat, akhlak mulia, beriman dan bertakwa kepada Allah Swt. Peran ini sangat urgen karena perkembangan sosial budaya masyarakat yang semakin maju, dan seringkali
Dewi Sadi’ah, 2011 Pengembangan Model Pendidikan … Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
12
kemajuan itu melahirkan dampak tertentu berupa; kegagalan pendidikan dalam mencapai tujuannya bukan disebabkan materi ajar yang diberikan tetapi cara mengajarnya. Hal ini, diduga menjadi menyebab atau diakibatkan oleh dampak negatif dari kemajuan teknologi dan materialisme masyarakat serta derasnya arus informasi global yang melahirkan benturan nilai-nilai budaya dan agama antara lain; kurang tegasnya hukum, beredarnya majalah dan VCD/DVD pornografi, pornoaksi, dan tayangan kekerasan di televisi yang cenderung kurang memperhatikan nilai-nilai moral dan agama. Kedua, orang tua siswa tidak ingin anaknya tidak shaleh atau nakal, oleh karena itu anaknya dimasukan ke sekolah yang ada di lingkungan pesantren. Menurut Tafsir (2008:10) Orang tua remaja tidak ingin anaknya nakal sekurangkurangnya ada empat alasan : 1. Remaja nakal itu kesehatan fisiknya terancam; 2. Remaja nakal itu prestasi akademiknya akan menurun; 3. Remaja nakal itu mahal; 4. Orang tuanya malu bila punya anak nakal. Ternyata tidak ada orang tua yang ingin punya anak nakal, karena malu sekalipun orang tuanya nakal. Kenakalan anak remaja yang berbentuk tawuran menurut Hawari (1999:77) bahwa tawuran, penyalahgunaan obat terlarang, dan tindakan kriminal di kalangan remaja, disebabkan tidak adanya komunikasi yang lebih baik antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sehingga nilai-nilai keagamaan yang diajarkan di sekolah sebagai suatu konsep yang ideal, berhadapan dengan realita di masyarakat yang bertolak belakang dengan eksistensi pemahaman keberagamaan siswa di sekolah. Dalam keadaan demikian lahirlah sikap-sikap tertentu di kalangan siswa yang mencerminkan kegalauan nilai dan kebingungan orientasi, serta adanya
Dewi Sadi’ah, 2011 Pengembangan Model Pendidikan … Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
13
kesenjangan antara pendidikan keagamaan yang diajarkan di sekolah dengan tingkat pemahaman nilai-nilai keberagamaan peserta didik. Ketiga, adanya ketertarikan tentang keberhasilan Madrasah Aliyah Ma’had Darul Arqam Garut, dalam tujuan riilnya telah mampu melahirkan Sumber Daya Insani yang memiliki kualifikasi dan kompetensi : 1. Benar dalam aqidah, khusyu dalam ibadah, dan berbudi pekerti luhur dengan akhlaq alkarimah; 2. Komitmen keilmuan dan kompetensi akademik yang berimbang antara sains religius dan sains rasional; 3. Kemampuan berkompetensi dalam realitas kehidupan secara cerdas, berkarakter, beretika, bermartabat, dan santun (Ma’had Darul Arqam, 2008:5). Keempat, kepribadian sehat atau kepribadian utuh ada kaitannya dengan Pendidikan Umum yang berarti kepribadian matang (dewasa baik niat, ucap, pikir, dan perilaku), mandiri yang merupakan salah satu tujuan dari Pendidikan Umum. Kepribadian utuh menurut Phenix (1964:28) bercirikan mempribadinya nilai-nilai esensial yaitu ; “Symbolics, empirics, estetics, synnoetics, ethics, and synoptics.” Salah satu nilai sinoptik ialah nilai keagamaan. Penelitian ini, diharapkan memberikan kontribusi yang nyata dalam segala permasalahan yang terjadi dan mewarnai keadaan, sehingga mampu menyediakan suasana pendidikan yang religius. Suasana pendidikan tersebut, mampu membawa siswa dan memberi pengaruh yang positif kepada kehidupannya yang Islami, baik di dalam maupun di luar sekolah. Penelitian ini di awali oleh hasil-hasil studi di antaranya :
Dewi Sadi’ah, 2011 Pengembangan Model Pendidikan … Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
14
1. Syahidin (2001) tentang Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. 2. M. Abdul Somad (2007) tentang “Pengembangan Model Pembinaan Nilai-nilai Keimanan dan Ketakwaan Siswa di Sekolah” (Studi Kasus di SMAN 2 Bandung); 3. Hermawan (2008) tentang “Model Pendidikan Nilai Keagamaan untuk Pengembangan Kepribadian Sehat Berbasis Kebudayaan Sunda” (Studi Etnografi terhadap Kehidupan Keluarga Masyarakat Sunda Keturunan Menak di Kabupaten Garut). 4. Jusminar Umar (2006) tentang “Aktualisasi Perilaku Keberagamaan Remaja” (Studi Deskriptif Analitik tentang Upaya Guru Agama Islam dalam Membelajarkan Siswa Madrasah Aliyah Diniyyah Putri Lampung). Atas dasar penelitian di atas, maka diharapkan dapat memberikan solusi alternatif dalam membina kepribadian sehat siswa di Madrasah Aliyah Ma’had Darul Arqam Garut. Hal ini, karena belum adanya model yang efektif dilaksanakan tentang pendidikan nilai-nilai keberagamaan dalam membina kepribadian sehat sebagai salah satu upaya untuk mencapai insan yang sehat atau manusia terbaik, shaleh, taat, beriman dan bertakwa kepada Allah Swt., penting diteliti. Hal ini, perlu dicari suatu pemecahan dengan mencarikan suatu pengembangan model pendidikan nilai-nilai keberagamaan dalam membina kepribadian sehat yang layak diterapkan di sekolah. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti bersama pembimbing menetapkan topik permasalahan yaitu : “Pengembangan Model Pendidikan Nilai-nilai Keberagamaan dalam Membina Kepribadian Sehat” (Studi Deskriptif Analitik terhadap Siswa Madrasah Aliyah Darul Arqam Garut).
Dewi Sadi’ah, 2011 Pengembangan Model Pendidikan … Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
15
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, sebagai fokus masalah penelitian ini, yaitu : Bagaimana pengembangan model pendidikan nilai-nilai keberagamaan dalam membina kepribadian sehat siswa di sekolah ? Untuk menjawab masalah tersebut, diperlukan pemecahan yang tepat dijadikan solusi dan diperlukan untuk mengetahui lebih dalam tentang judul di atas, yang sesuai dengan kejiwaan anak, baik di lingkungan sekolah, keluarga maupun di masyarakat. Permasalahan tersebut, selanjutnya dirumuskan ke dalam beberapa pertanyaan yang lebih rinci di bawah ini sebagai berikut : 1. Apakah maksud tujuan pendidikan nilai-nilai keberagamaan dalam membina kepribadian sehat siswa di sekolah ? 2. Bagaimana program kegiatan yang dijadikan kebijakan oleh guru agama dalam membina kepribadiann sehat siswa di sekolah ? 3. Bagaimana proses pendidikan yang dilakukan oleh guru agama
dalam
membina kepribadian sehat siswa di sekolah ? 4. Bagaimana evaluasi pendidikan nilai-nilai keberagamaan dalam membina kepribadian sehat terhadap perubahan perilaku siswa di sekolah ? C. Tujuan Penelitian Adapun
tujuan
akhir
dari
penelitian
ini
adalah
ditemukannya
pengembangan model pendidikan nilai-nilai keberagamaan dalam membina kepribadian sehat siswa di sekolah. Pengembangan model tersebut disusun melalui berbagai aktivitas di sekolah, kemudian disusun dalam bentuk langkahDewi Sadi’ah, 2011 Pengembangan Model Pendidikan … Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
16
langkah secara praktis untuk digunakan oleh para pengelola pendidikan di sekolah yang ada di lingkungan pesantren dan sekolah-sekolah bangsa Indonesia pada umumnya. Adapun tujuan khususnya untuk menganalisis, mengidentifikasi, mengetahui, mendeskripsikan, dan menemukan antara lain : 1. Tujuan pendidikan nilai-nilai keberagamaan dalam membina kepribadian sehat siswa di sekolah. 2. Program kegiatan yang dijadikan kebijakan oleh guru agama dalam membina kepribadian sehat siswa di sekolah. 3. Proses pendidikan yang dilakukan oleh guru agama dalam membina kepribadian sehat siswa di sekolah. 4. Evaluasi pendidikan nilai-nilai keberagamaan dalam membina kepribadian sehat terhadap perubahan perilaku siswa di sekolah. D. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan secara teoretis dan kegunaan secara praktis sebagai berikut : 1. Kegunaan Secara Teoretis Kegunaan secara teoretis penelitian ini, dapat memberikan kontribusi yang sangat penting dan diharapkan dapat menambah khazanah yang bermakna dalam kaitannya
dengan
pendidikan
nilai-nilai
keberagamaan
dalam
membina
kepribadian sehat siswa di sekolah. 2. Kegunaan Secara Praktis Kegunaan secara praktis penelitian ini, menjadikan pengembangan model pendidikan nilai-nilai keberagamaan dalam membina kepribadian sehat siswa di Dewi Sadi’ah, 2011 Pengembangan Model Pendidikan … Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
17
sekolah dapat memberikan solusi terhadap kendala-kendala yang dihadapi oleh para pendidik khususnya dalam proses pendidikan agama Islam dan menjadi bahan evaluasi sehingga pelaksanaannya dalam proses pendidikan dari kurang baik menjadi baik, dari baik menjadi lebih baik. Adapun kehidupan yang serba modern adanya pencampuran budaya antarbangsa, pergeseran nilai-nilai agama, akan terjadi setiap saat di tengah masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap fenomena di atas, dapat menjadi bahan pertimbangan bagi sekolah, keluarga, masyarakat dalam bekerja sama, menata sikap, dan perilaku siswa sebagai penerus bangsa di masa depan. E. Metode Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan kualitatif dalam konteks naturalistik. Metode dan pendekatan tersebut dipilih karena masalah yang dikaji menyangkut masalah yang sedang berlangsung dalam kehidupan, khususnya di Madrasah Aliyah Darul Arqam Garut. Adapun teknik pengumpulan data dengan menggunakan yaitu : Observasi, wawancara mendalam, studi dokumentasi, dan studi pustaka atau literatur. F. Lokasi dan Subjek Penelitian 1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini di Madrasah Aliyah Darul Arqam Muhammadiyah Garut, yang beralamat di Jalan Ciledug No. 284136 Tlp. (0262) 233804 Fax. (0262) 243816 Garut Jawa Barat 44181 atau www.mahaddarularqamgarut.sch.id.
Dewi Sadi’ah, 2011 Pengembangan Model Pendidikan … Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
18
2. Subjek Penelitian Guna memperoleh gambaran subjek yang diteliti di Sekolah Madrasah Aliyah Darul Arqam Muhammadiyah Garut data penelitian tahun 2008/2009 di antaranya : 2 orang kepala sekolah, (ikhwan dan akhwat atau ASk & Hk), 1 orang wakil kepala sekolah (ARwk), 3 orang guru agama (ARg, NHg, dan Yg) dan satu di antara mereka (ARg) merangkap jabatan sebagai bidang kesiswaan, 3 orang guru pembina (RDg), ESg), dan (NHg) dan satu di antara mereka (NHg) merangkap jabatan sebagai guru agama, 2 orang guru BP/BK (DSg) dan DHg), 9 siswa di antaranya : 3 orang (ESs), AIs), RFs) dari kelas X, 3 orang (AUs), (DMs), (FAs) dari kelas XI, dan 3 orang (BMs), (CEs), (VDs) dari kelas XII. Dari sembilan siswa yang dijadikan subyek penelitian, 6 orang AIs), RFs), (AUs), (DMs), (BMs), (CEs), yang aktif dalam mengikuti pelajaran agama dan kegiatan ekstrakurikuler keagamaan dan 3 orang (ESs), (FAs), (VDs), yang tidak aktif. Hal ini didasarkan pada pendapat Nasution (1988:11) bahwa metode penelitian naturalistik biasanya sampelnya sedikit dan dipilih menurut tujuan (purpose) penelitian, berupa kasus atau multikasus. Di samping itu, dapat rekomendasi dari nara sumber penelitian di Madrasah Aliyah Darul Arqam Muhammadiyah Garut.
Dewi Sadi’ah, 2011 Pengembangan Model Pendidikan … Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
19
Dewi Sadi’ah, 2011 Pengembangan Model Pendidikan … Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu