1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Era globalisasi yang ditandai dengan kompetisi mutu, menuntut semua
pihak dalam berbagai bidang dan sektor pembangunan untuk senantiasa meningkatkan kompetensinya. Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya upaya peningkatan mutu pendidikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, dan secara terintegrasi agar dapat digunakan sebagai wahana dalam membangun watak bangsa. Toho Cholik Muthohir (2008) menjelaskan tentang pentingnya upaya menjadikan olahraga sebagai sarana pembangunan dan karakter bangsa (nation and character building). Peningkatan mutu pendidikan merupakan tantangan dalam “mencerdaskan kehidupan bangsa” guna mampu hidup cerdas, memecahkan masalah, dan mengantisipasi masa depan dengan mempergunakan logika, ilmu pengetahuan, serta kecerdasan sosial dan emosional. Bangsa yang hanya mampu baca tulis dan berhitung saja tidaklah cukup cerdas menghadapi kehidupan masa depan yang penuh tantangan, yang semakin kompleks dan semrawut dalam memasuki era globalisasi yang sarat informasi dan teknologi. Tantangan
era
globalisasi
(Muhammad
Ali,
2007)
menuntut
penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Pengembangan penyelenggaraan pendidikan perlu dilakukan dalam aspek kuantitatif dan kualitatif, sehingga pendidikan dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan mutu secara berkesinambungan
(continuous
quality
improvement)
(Mulyasa,
2008:v),
2
disamping sebagai wahana membangun dan menempa mutu sumber daya manusia. Agar bangsa ini memiliki peran yang signifikan dalam konteks interdependensi kehidupan, baik yang terjadi dalam skala lokal, nasional, regional, maupun global, sistem pendidikan harus mampu memberdayakan masyarakat secara luas. Salah satu ciri masyarakat yang terberdayakan oleh sistem pendidikan ialah dimilikinya unggulan komparatif dan unggulan kompetitif dalam konteks global. Pendidikan adalah sebuah proses yang melekat pada setiap kehidupan bersama dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. John Dewey (1964) sebagaimana dikutip Nugroho (2008:19) mengemukakan bahwa “pendidikan dapat dipahami sebagai sebuah upaya ‘konservatif’ dan ‘progresif’ dalam bentuk pendidikan sebagai formasi, sebagai rekapitulasi, dan retrospeksi, dan sebagai rekonstruksi.” Sementara itu, sebagaimana dikemukakan oleh Rutz (2000; dalam Nugroho, 2008:20) bahwa pendidikan berawal dari fakta bahwa manusia mempunyai kekurangan, pendidikan merupakan jawaban untuk membuat manusia menjadi lengkap. Dikatakan Rutz selanjutnya bahwa setiap pribadi selalu mempunyai deficit (serba kekurangan), oleh karena itu pendidikan adalah suatu proses kompensatoris yang dapat membantu anak didik untuk sedapat-dapatnya menutupi defisit tersebut. Pemahaman Rutz sejalan dengan Hills (2000; dalam Nugroho, 2000:20) memahami pendidikan sebagai proses belajar yang ditujukan untuk membangun manusia dengan pengetahuan dan keterampilan. Ketiga pemahaman tersebut memberikan arah bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan yang melekat pada setiap kehidupan bersama, atau dalam bahasa
3
politik disebut sebagai “negara-bangsa”, dalam rangka beradaptasi dan mengantisipasi perkembangan kehidupan bangsa. Mengingat unsur strategisnya, maka pendidikan perlu ditata-kembangkan oleh Negara. Hal tersebut sejalan dengan pemahaman tentang pendidikan yang dinyatakan pada Pasal 1 UndangUndang No. 20/2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, sebagai berikut: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Dari pernyataan tersebut bisa dipahami bahwa pendidikan merupakan usaha yang disengaja untuk membangun kemandirian manusia agar bisa manunggal dengan manusia lain - atau masyarakat - di mana ia berada. Mandiri dalam arti memiliki pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup sebagai manusia modern yang beradab. Manunggal dalam arti mampu menjadi warga masyarakat (society) dan warga Negara (citizen) dengan mengetahui hakhak dan kewajibannya sebagai bagian dari kehidupan bersama, dan melaksanakan hak dan kewajiban tersebut secara optimal (Russell, 1993). Yunus (2005:7) berpendapat bahwa pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu transfer pengetahuan dari semua bentuk kejadian di dunia dari makhluk hidup yang satu ke makhluk hidup yang lainnya, dan nantinya akan mempengaruhi proses kehidupan makhluk hidup tersebut. Dalam konteks ini, pendidikan dapat dimaknai sebagai kebutuhan dasar (basic need) bagi hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan dalam tataran demikian, menurut Yunus, adalah usaha untuk membentuk sosok pribadi yang dapat memberikan kontribusi bagi
4
manusia dalam mencapai hakikat kehidupannya, sesuai dengan transfer pengetahuan yang dimilikinya. Dalam
situasi
demikian,
pendidikan
harus
mampu
mengalihkan
pengalaman, pengetahuan, kecakapan serta keterampilan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, sebagai bagian dari hasil suatu perubahan dalam dunia pendidikan. Menurut Drost (1988:74), perubahan yang terjadi dalam pendidikan sekurang-kurangnya harus dapat membantu seseorang menjadi manusia yang mandiri. Dari perspektif pendidikan formal, generasi yang berkewajiban melaksanakan proses belajar mengajar di sekolah adalah guru, dan siswa sebagai peserta didiknya. Artinya, hakikat pendidikan di persekolahan adalah untuk membantu, mendorong, dan memberdayakan kemandirian peserta didik. Untuk mendukung tujuan pendidikan di Indonesia, pemerintah menetapkan sejumlah mata pelajaran pokok yang harus disampaikan kepada peserta didik. Salah satu diantara mata pelajaran itu adalah Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (Penjasorkes). Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006 tentang standar isi dikemukakan mengenai cakupan secara khusus bagi setiap mata pelajaran dan jenjang pendidikan, termasuk mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan. Dalam Permendiknas (hal:6 - 7) tersebut dikemukakan : Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan pada SMA/MA/SMALB/SMK/MAK dimaksudkan untuk meningkatkan potensi fisik serta membudayakan sikap sportif, disiplin, kerjasama dan hidup sehat. Budaya hidup sehat termasuk kesadaran, sikap dan perilaku hidup yang bersifat individual ataupun yang bersifat kolektif kemasyarakatan seperti
5
keterbebasan dari narkoba, HIV/AIDS, demam berdarah, muntaber, dan penyakit lainnya yang potensial untuk mewabah. Dengan tujuan tersebut itulah, pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan dijadikan salah satu mata pelajaran wajib pada setiap jenjang pendidikan, dan pada setiap program pendidikan di setiap satuan pendidikan. Jumlah jam pembelajaran mata pelajaran ini yaitu 2 jam pelajaran setiap minggu. Adapun standar kompetensi lulusan mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan dalam Permendiknas Nomor 23 tahun 2006 (hal : 97 – 98) dijelaskan sebagai berikut : a. Mempraktikan keterampilan permainan dan olahraga, dengan menggunakan peraturan. b. Mempraktikkan rangkaian senam lantai dan irama serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. c. Memahami budaya hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari seperti perawatan tubuh serta lingkungan yang sehat mengenal berbagai penyakit dan cara mencegahnya serta menghindari narkoba dan HIV. Merujuk pada Permendiknas Nomor 22 dan 23 Tahun 2006 tentang tujuan mata pelajaran dan standar kompetensi Penjasorkes, dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran mata pelajaran Penjasorkes tidak lepas dari pengertian umum pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003. Dengan kata lain, tujuan pembelajaran Penjasorkes merupakan bagian penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan untuk membangun karakter bangsa yang berkualitas, baik dari sisi individual, sosial maupun intelektual serta spiritual. Pada sisi lain, Pemerintah memberikan ruang terbuka bagi lahirnya modelmodel pembelajaran pada tiap satuan pendidikan, sesuai dengan karakter satuan pendidikan dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) masing-masing. Hal ini selaras dengan kebijakan pengembangan KTSP di Indonesia.
6
Dalam panduan pengembangan KTSP, dikemukakan bahwa Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Mulyasa, 2008:46). Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Pengembangan KTSP yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 (PP 19/2005) tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan kurikulum pada KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan mengacu kepada SI dan SKL serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Selain dari itu, penyusunan KTSP juga harus mengikuti ketentuan lain yang menyangkut kurikulum dalam UU 20/2003 dan PP 19/2005.
7
Standar kompetensi kelompok mata pelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diharapkan dapat dicapai pada setiap tingkat atau setiap semester. Tentang standar kompetensi Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan Tingkat SMA/MA/SMALB/Paket C, Mulyasa (2008:108 – 109) menjelaskan sebagai berikut: 1. Menjaga kesehatan, ketahanan, dan kebugaran jasmani 2. Membangun dan menerapkan informasi dan pengetahuan potensi lokal untuk menunjang kesehatan, ketahanan dan kebugaran jasmani 3. Menunjukan sikap kompetitif dan sportif untuk mendapatkan hasil yang terbaik dalam bidang pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan. Berkaitan dengan penjelasan tersebut, olahraga pendidikan menurut Fox (1978; dalam Rusli Lutan, 1988:22) digambarkan sebagai berikut: Olahraga pendidikan dan olahraga prestasi di negara-negara sedang membangun dapat memberikan sumbangan bagi kesehatan, pertumbuhan prestasi individu, mendorong integritas sosial dan nasional, mempromosikan identitas nasional, memelihara tradisi budaya, sebagai alat bagi pengakuan internasional, dan jalan bagi peningkatan status sosial. Dalam buku pedoman KTSP 2006 (Permendiknas No.22 dan 23 tahun 2006) disebutkan ada 7 (tujuh) tujuan mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan. Diantara tujuh tujuan tersebut, ada tiga point yang sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan, yaitu: 1. Mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani dan olahraga terpilih 2. Meletakan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilainilai yang terkandung di dalam pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan 3. Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggung jawab, kerjasama, percaya diri dan demokratis
8
Mencermati kutipan di atas, dipahami bahwa tujuan penjasorkes tidak hanya mengembangkan aspek fisik semata, melainkan aspek perkembangan keseluruhan secara bio-psiko-sosial seperti kebugaran jasmani, karakter moral yang kuat, sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggung jawab, kerjasama, percaya diri dan demokratis. Berdasarkan penjelasan tersebut, setiap satuan pendidikan yang berlaku di sekolah dituntut untuk mengembangkan model-model pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pendidikan dimaksud. Dalam konteks ini, Penjasorkes memiliki tujuan untuk mencapai tujuan pendidikan sebagaimana yang ditetapkan dalam KTSP. Sedangkan bila dikaitkan dengan kebijakan otonomi pendidikan atau pengembangan KTSP, hal ini memberikan ruang kreativitas yang terbuka bagi setiap guru penjasorkes untuk menciptakan, mendesain model pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan peserta didik, dan sesuai konteks lingkungannya. Implikasi lanjutan dari kebijakan pendidikan ini membuka peluang lahirnya ketidakseragaman hasil capaian terhadap tujuan pendidikan nasional, termasuk capaian hasil pembelajaran penjasorkes. Maksud dan fungsi penciptaan model pembelajaran penjasorkes yang efektif merupakan sarana membangun suasana pembelajaran yang kondusif dalam mendukung
pencapaian
tujuan
Penjasorkes.
Hal
tersebut
akan
menumbuhkembangkan minat, motivasi dan gairah peserta didik dalam proses pembelajaran. Adanya model pembelajaran yang dirancang dengan baik, akan tercipta suasana pembelajaran aman, nyaman, tidak monoton dan membosankan, sehingga akan terbentuk perilaku peserta didik yang positif, khususnya dalam
9
pengembangan karakter moral yang kuat, sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggung jawab, kerjasama, toleransi, percaya diri dan demokratis. Pada sisi lain, fenomena sosial yang berkembang di masyarakat, baik yang diberitakan di media cetak maupun elektronik sering terjadi tindak kekerasan. Kekerasan yang paling memprihatinkan adalah kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan. Padahal pendidikan adalah sebuah wilayah yang seharusnya jauh dari budaya kekerasan. Laporan dari media cetak maupun media elektronik tentang kasus tindak kekerasan dan premanisme di lingkungan sekolah, baik yang dilakukan oleh guru terhadap siswa, maupun antar sesama siswa seringkali dimunculkan. Pada Tabel 1.1 bisa dicermati berbagai fenomena kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan. Fakta ini merupakan fenomena paradoks dengan tujuan dari penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Tabel 1.1 Contoh Kasus Kekerasan di Sekolah No. 1
2
3 4
Jenis Kasus Edo Rinaldo (8), siswa kelas II SD Santa Maria Immaculata Muhammad Fadhil Harkaputra Sirath (15) dianiaya oleh Gang Gazper di SMA 34 Perpeloncoan Gang Putri Nero Blasius Adi Saputra (18), siswa kelas I SMA, mengalami kekerasan fisik dan mental yang dialaminya
Tempat
Pelaku
Tahun
Pondok Bambu, Siswa Duren Sawit, Jakarta Timur Pondok Labu – Siswa senior Jaksel
2007
Pati Jatim
Siswa senior
2007
Pangudi Luhur, Jakarta Selatan
Siswa senior
2007
2007
10
Tabel 1.1 (Lanjutan) 5
6
7
8 9
Franky Edward Damar (16), siswa kelas I SMK Pelayaran Wira Maritim, meninggal saat mengikuti masa orientasi sekolah (MOS). Pemerasan dengan cara kekerasan oleh senior di SMAN 70 Ahmal, siswa kelas V SD Cabalu, korban pemukulan Ancha siswa SMAN di Bulukumba Perkelahian 4 pasang siswa SMPN 3 Tenggarong Perkelahian antar pelajar putri, berawal saling ejek
Surabaya
Siswa senior
2007
Jakarta
Siswa senior
2008
Polewali Mandar
Siswa SMA
2009
Tenggorong Kukan Kupang NTT
Siswa SMP
2009
Gank pelajar putri
2009
Sumber: Media masa, Jurnalnet.com, Kompas.com, Republika.com,
Komnas
Perlindungan Anak Banyaknya kasus tindak kekerasan yang dilakukan di lingkungan sekolah mengindikasikan bahwa proses pendidikan belum berjalan secara optimal, sesuai dengan harapan dari tujuan pendidikan itu sendiri, di dalamnya termasuk peran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan. Kejadian ini, bisa jadi salah satu penyebabnya adalah para guru Penjasorkes tidak mampu memaksimalkan potensi pendidikan jasmani sebagai bagian dari proses pendidikan watak terhadap peserta didik (Hoedaya, 2009:30) Fakta kekerasan ini cukup memprihatinkan dunia pendidikan. Sebab, bila dibandingkan secara menyeluruh, kekerasan di lingkungan pendidikan yang terjadi pada Januari – April 2007, mencapai angka di atas 50% dari total kekerasan anak-anak di Indonesia. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan
11
dengan kejadian yang terjadi pada tahun 2006, baik dari kasus kekerasan fisik, seksual maupun psikis. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat di Tabel 1.2.
Tabel 1. 2 Jumlah Kekerasan pada Anak Jumlah No.
Jenis Kasus 2006
Di Sekolah
Jan-Ap 2007 Di Sekolah
1
Kekerasan fisik
247
29
89
2
Seksual
426
67
118
3
Psikis
451
96
210
226
Sumber : Komnas Perlindungan Anak.
Sebenarnya pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan dalam prosesnya memiliki akses yang sangat besar terhadap pembentukan karakter peserta didik. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Giriwijoyo (2007:13) yang menjelaskan peran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan dalam pembinaan mutu sumber daya manusia di lembaga-lembaga pendidikan sebagai berikut: ... bagi pembinaan moralitas bangsa, bagi kesehatan, dan kecerdasan serta tertanamnya kebersamaan, persaudaraan, persahabatan, ketertiban, kejujuran, sportivitas, saling menghormati, saling menyayangi, saling menghargai, dan saling melayani untuk menuju kehidupan sehat dalam artian sehat seutuhnya, yang tentram, sejahtera dan damai. Seiring dengan hal ini, dianggap penting untuk melakukan penelitian intensif, terhadap variasi model-model pembelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan sebagai upaya untuk lebih memberdayakan kegiatan penjasorkes di
12
tingkat satuan pendidikan menengah di Kota Bandung dikaitkan dengan pencapaian tujuan pendidikan nasional. Pendidikan Jasmani (Lubis, 2007) mempunyai tujuan pendidikan sebagai (1) perkembangan organ-organ tubuh untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani, 2) perkembangan neuro muskuler, 3) perkembangan mental emosional, 4) perkembangan sosial dan 5) perkembangan intelektual. Hal ini senada dengan tujuan olahraga menurut Baron Piere de Coubertin, yakni tujuan akhir olahraga dan pendidikan jasmani terletak dalam peranannya sebagai wadah unik penyempurnaan watak, dan sebagai wahana untuk memiliki dan membentuk kepribadian yang kuat, watak yang baik dan sifat yang mulia; hanya orang-orang yang memiliki kebajikan moral seperti inilah yang akan menjadi warga masyarakat yang berguna. Namun sangat banyak “sisi gelap” atau ekses negatif dari kegiatan berolahraga atau pendidikan jasmani, bahkan terbuka luas bagi guru pendidikan jasmani dan pelatih untuk menimbulkan kerusakan secara sistematis dan bersifat akumulatif pada peserta didik sebagai akibat dari tindakan dan perlakuan dalam membina yang tidak memiliki landasan secara ilmiah. Kukuhnya landasan keilmuan di bidang olahraga akan terhindar dari malpraktek yang akan membahayakan masa depan peserta didik, sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara etika dan profesional (Rusli Lutan, 2007:441) Sementara itu, dalam studi pendahuluan terhadap perilaku sosial siswa di lingkungan SMA Negeri 5 dan MAN 2 kota Bandung, diperoleh informasi minimanya penyimpangan perilaku sosial siswa di sekolah tersebut (Dokumen
13
BP/BK SMA 5 dan MAN 2, 2009). Siswa di SMAN 5, menunjukkan prestasi gemilang dalam dunia akademik, bidang olahraga, serta rasa percaya diri, kemandirian serta sporitivitas yang tinggi. Kemudian nilai-nilai sosial yang muncul di lingkungan siswa Madrasah Aliyah Negeri 2 Kota Bandung yakni keberasamaan, dan kesantunan terhadap guru serta rekan-rekan sekolah. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, perilaku sosial siswa di sekolah adalah wujud nyata dari lingkungan pembelajaran yang dilakukan di lingkungan sekolah/madrasah tersebut. Dengan kata lain, perilaku sosial siswa pada dasarnya merupakan bagian penting dari proses pembelajaran. Kualitas efektivitas proses pembelajaran merupakan faktor penting dalam menunjang tercapainya tujuan pendidikan. Terkait dengan hal ini, dapat dikemukakan bahwa keberhasilan proses pelaksanaan penjasorkes di sekolah sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan kreativitas guru penjasorkes dalam memilih dan menentukan model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan nyata peserta didik dalam pembentukan karakter kognitif, apektif, dan psikomotor serta nilai-nilai sosial. Nilai-nilai sosial yang dapat diinternalisasi melalui program pendidikan jasmani yaitu; saling menghargai, kerjasama, saling berkompetisi dengan sehat, tidak kenal lelah, pantang menyerah dan persahabatan. Berdasarkan hasil pengamatan penulis pada setiap satuan pendidikan tingkat SMA guru-guru penjasorkes menggunkan model pembelajaran yang beragam. Namun belum diketahui secara pasti keefektivitasan dari masing-masing model pembelajaran yang digunakan terhadap pencapaian tujuan pembelajarannya.
14
Kemudian belum ada peneliti yang melakukan penelitian terhadap model pembelajaran penjasorkes dalam mendukung perilaku sosial peserta didik. Untuk itu penulis memandang penting untuk dilakukan penelitian, karena penggunaan model pembelajaran penjasorkes yang tepat akan membentuk kepribadian peserta didik yang positif. B.
Fokus dan Rumusan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang yang menjelaskan tentang peranan
pendidikan, khususnya Penjasorkes, memiliki akses yang sangat besar dalam membina pembentukan perilaku sosial peserta didik yang positif. Hoedaya (2009) menjelaskan mengenai adanya potensi pendidikan jasmani sebagai sarana pendidikan watak. Sementara secara empirik, semakin marak terjadinya penyimpangan perilaku sosial di lingkungan pendidikan dalam bentuk kekerasan antar pelajar, kekerasan guru pada siswa, kekerasan siswa senior pada siswa junior, bahkan sampai merenggut korban jiwa. Dengan demikian ditemukan masalah yang membutuhkan pemecahan. Satu sisi terjadi berbagai fenomena perilaku sosial peserta didik yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan. Sementara pada sisi yang lain setiap mata pelajaran memiliki tujuan untuk membentuk perilaku sosial peserta didik yang positif. Dengan kata lain bila proses pendidikan itu berjalan secara efektif sesungguhnya dapat mengurangi munculnya perilaku sosial yang buruk. Oleh karena itu rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini yaitu. “Sejauh ini belum banyak diketahui mengenai efektivitas implementasi model pembelajaran pendidikan jasmani, Olahraga, dan kesehatan terkait dengan peningkatan perilaku sosial
15
peserta didik”Lebih rinci, rumusan masalah penelitian ini dikembangkan menjadi sejumlah pertanyaan penelitian, yaitu: 1.
Bagaimana model perencanaan pembelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan yang efektif di tingkat SMA dalam mengembangkan perilaku sosial peserta didik?
2.
Bagaimana model pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan yang efektif di tingkat SMA dalam mengembangkan perilaku sosial peserta didik ?
3.
Bagaimana hasil implementasi model pembelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan yang efektif di tingkat SMA dalam mengembangkan perilaku sosial peserta didik?
C.
Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melakukan analisis model
implementasi pembelajaran pendidikan jasmani olahraga yang efektif di tingkat SMA dalam mendukung perilaku sosial peserta didik. Adapun tujuan spesifik dari kajian ini, yaitu: 1.
Menemukan model perencanaan pembelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga
dan
mengembangkan
Kesehatan perilaku
yang sosial
efektif
di
peserta
tingkat didik,
SMA
seiring
dalam dengan
dikembangkannya KTSP. 2.
Menemukan model pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga
dan
Kesehatan
yang
efektif
di
tingkat
SMA
dalam
16
mengembangkan
perilaku
sosial
peserta
didik,
seiring
dengan
dikembangkannya KTSP. 3.
Menemukan hasil implementasi model pembelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan yang efektif di SMA dalam mengembangkan perilaku sosial peserta didik seiring dengan dikembangkannya KTSP.
D.
Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoritik
a.
Menghasilkan
rumusan
pengembangan
model-model
pembelajaran
pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan yang mampu memadukan antara tujuan pendidikan nasional, tujuan kurikuler pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, dan kebutuhan lokal, sehingga menjadi model pembelajaran Penjasorkes yang efektif dalam mendukung perilaku sosial peserta didik yang positif. b.
Mengajukan
konsep
terhadap
pengembangan
model
pembelajaran
pengembangan perilaku sosial dan pembangunan karakter (character building), yang mendukung terhadap usaha pembentukan perilaku sosial peserta didik yang positif. 2.
Manfaat Praktis
a.
Memberikan informasi bagi guru pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan mengenai model pembelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan yang efektif dalam pengembangan perilaku sosial, sehingga mewujudkan budaya pembelajaran yang efektif.
17
b.
Membimbing siswa untuk mengembangkan perilaku sosial yang positif melalui pembelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, sehingga terbentuk perilaku sosial peserta didik yang sesuai tujuan Penjasorkes.
c.
Memberikan kontribusi bagi MGMP pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, merangsang, mengembangkan, dan mengimplementasikan model pembelajaran, dan pengembangan materi Penjasorkes berbasis kebutuhan lokal, sehingga terciptanya guru penjasorkes yang profesional.
E.
Kerangka Pikir Penelitian Menurut Ken Alexander (Tinning et al. 2001:35) bahwa tujuan pendidikan
jasmani adalah ”to increase a person’s aproach tendencies (desire) and abilities to participate in a succesful, rewarding and socialy responsible way, in the movement culture.” Pandangan ini menegaskan bahwa tujuan pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan adalah berupaya mengembangkan potensi, minat dan bakat individu untuk mencapai kesuksesan secara maksimal dalam menunjukkan peran dirinya, baik untuk kepentingan diri maupun tanggung jawab sosial, dalam perkembangan budaya. Pandangan lain, pendidikan jasmani pun dimaknai sebagai bagian dari upaya sadar dalam membangun perubahan sosial di masyarakat. Pada sisi lain pendidikan jasmani mendapat pengaruh dari perubahan sosial. Hal tersebut ditegaskan (Tinning, 2001:18) “… physical education changing nature of society,” namun diharapkan pula memberikan kontribusi nyata dalam membangun karakter individu kreatif yang dapat meminjam istilah tujuan Pendidikan Nasional Indonesia bertanggung jawab terhadap bangsa dan negara.
18
Pandangan tersebut sejalan dengan Waini Rasyidin (2007:25) yang mengatakan bahwa ada dua fokus utama pendidikan, “yaitu (i) aspek perkembangan progresif dari peserta didik sebagai individu, (ii) aspek transmisi sosio-budaya secara selektif yang semula sering amat menonjol.” Kedua aspek tersebut, kendati Waini Rasyidin menyebutnya sebagai sebuah dualisme fokus pendidikan, namun bila dikaitkan dengan tujuan Pendidikan Nasional, kedua aspek tersebut merupakan bagian yang terpadu (integrated) sebagai tujuan pendidikan nasional. Dengan pola pikir seperti ini, pendidikan termasuk Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan memiliki peran dan fungsi untuk mengembangkan potensi individu sekaligus mengambangkan karakter pribadi (character building) siswa sebagai bagian dari anggota masyarakat atau warga negara. Oleh karena itu, model pembelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan harus diselaraskan dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Keterampilan hidup merupakan bagian penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah Indonesia, sempat menggunakan konsep life skill sebagai indikator
keberhasilan
pendidikan.
Berbagai
program
pendidikan
yang
diselenggarakan pada satuan pendidikan, diorientasikan untuk meningkatkan keterampilan hidup peserta didik. Dalam kaitan dengan mata pelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan ditemukan sejumlah keterampilan hidup (life skill) yang menjadi perhatian utama pemerintah, sebagaimana yang tercantum dalam Permendiknas, yaitu potensi fisik, budaya sikap sportif, disiplin, kerjasama, hidup sehat dan
19
budaya sehat. Keenam keterampilan hidup ini, akan dijadikan sebagai indikator empirik dalam proses penelitian. Dengan kata lain, indikator ini merupakan perilaku sosial yang akan diukur dalam penelitian mengenai efektivitas model pembelajaran peserta didik di tingkat satuan pendidikan. Seiring dengan diberlakukannya kebijakan
KTSP, maka potensial
memunculkan anekaragam model pembelajaran di tingkat satuan pendidikan. Dalam sisi lain, menurut Permendiknas Nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses, dinyatakan : Mengingat kebhinekaan budaya, keragaman latar belakang dan karakteristik peserta didik, serta tuntutan untuk menghasilkan lulusan yang bermutu, proses pembelajaran untuk setiap mata pelajaran harus fleksibel, bervariasi, dan memenuhi standar. Proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan salah satu standar yang harus dikembangkan adalah standar proses. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar proses berisi kriteria minimal proses pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar proses ini berlaku untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah pada jalur formal, baik pada sistem paket maupun pada sistem kredit semester. Standar proses meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses
20
pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Meminjam istilah Dzulkifli Abdul Razak (2005) perlu mengembangkan pendidikan yang efektif. Termasuk dalam konteks pendidikan afeksi yang efektif, yaitu mengarah pada tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan hal ini, dapat dirumuskan kerangka pikir penelitian sebagai berikut :
21 Progres
Tinjauan Teori : Teori Pembelajaran PENJASORKES
• •
Tujuan PENNAS Tujuan Mapel PENJASORKES
KTSP
Model Pembelajaran PENJASORKES SMA/MA
Perilaku Sosial
• • • • •
Deskripsi, Analisis, dan Rekonstruksi
Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian Model Pembelajaran PENJASORKES dalam mengembangkan perilakusosial
Potensi fisik Budaya sikap sporif, Disiplin Kerja sama, Hidup sehat
22
F.
Metode Penelitian Sesuai dengan masalah dan rumusan masalah penelitian, penelitian ini
berusaha menggali model pembelajaran Penjasorkes yang efektif dalam mengembangkan perilaku sosial peserta didik. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakannya yaitu pendekatan kualitatif dengan metode penelitian studi kasus (Case Study). Pemilihan pendekatan penelitian ini, diasumsikan akan mampu menggali informasi, dan merekonstruksi informasi sehingga ditemukan model pembelajaran yang efektif dan empirik dalam pengembangan perilaku sosial peserta didik. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan angket (quesioner). wawancara (interview), pengamatan (observation), dan studi dokumentasi dan triangulasi/gabungan. G.
Lokasi dan Waktu Penelitian Unit analisis penelitian ini yaitu satuan pendidikan. Satuan pendidikan yang
dijadikan tempat penelitiannya, yaitu SMAN 5 Kota Bandung, Jalan Belitung No 8 dan MAN 2 Kota Bandung Jalan Desa Cipadung No. 57. Penelitian dilakukan pada Semester Ganjil tahun pelajaran 2009-2010. Proses penelitian dilakukukan, pada waktu pelaksanaan proses pembelajaran Penjasorkes dilaksanakan. Peneliti melakukan pengamatan sekaligus wawancara, dan juga penyebaran angket di saat jeda pelaksanaan pembelajaran Penjasorkes, baik di SMAN 5 maupun di MAN 2 Kota Bandung.
23
H.
Sampel (Informan) dan Populasi ( Situasi sosial) Penelitian Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, dan sampel
tetapi dengan menggunakan istilah situasi sosial (social setting) dan informan. Situasi sosial dalam penelitian ini yaitu Proses Pembelajaran Penjasorkes di SMAN 5 dan MAN 2 Kota Bandung. Informan penelitiannya adalah seluruh siswa dan guru Penjasorkes pada kedua satuan pendidikan tersebut. Informan/nara sumber penelitian ini terdiri dari 4 guru dari SMAN 5, dan 4 Guru dari MAN 2 Kota Bandung. Sedangkan siswa yang terlibat dalam penelitian ini, yaitu 160 siswa dari SMAN 5 Kota Bandung, dan 160 Siswa dari MAN 2 Kota Bandung. Adapun siswa yang dijadikan informan sebanyak 50 orang siswa dari MAN 2, dan 50 orang siswa dari SMAN 5 Kota Bandung.