BAB I PENDAHULUAN “…Dari sudut pandang paradigma kritis, keterlibatan media lokal dalam kegiatan politik, tidak hanya mencerminkan perhatian media terhadap politik, tetapi menyiratkan pula adanya keterikatan atas dasar suatu kepentingan antara sebuah media dan kekuatan politik yang diberitakannya entah itu kepentingan ekonomi, politik atau pun ideologi1. Dengan kata lain, media tidak bisa melepaskan dirinya dari jaring-jaring kekuasaan…”
1.1
Kekuasaan Di Balik Praktik Wacana Media Lokal Studi ini bermaksud untuk mengungkap praktik kuasa yang bekerja dibalik
wacana tambang pasir besi yang diproduksi oleh media massa 2 lokal (Flores Pos dan Expo Ntt) terhadap dua kandidat bupati/wabup yakni, pasangan Don Bosco M. Wangge/Dominikus M. Mere (paket Darmawan) dan pasangan Marselinus Y.W. Petu/Djafar Achmad (paket MD) yang berlangsung pada masa kampanye putaran Pilkada Ende periode 2014-2019. Tujuannya, ingin mengkaji wacana media dalam hubungannya dengan kekuasaan dan kepentingan yang mengitarinya dalam konteks praktik politik lokal di Ende, bagaimana cara aktor-aktor tersebut menanamkan kepentingannya kepada media, dinamika apa yang terjadi di dalam ruang redaksi (politic of 1
Peter Golding and Graham Murdock. 1997. “Ideology and The Mass Media: The Question of Determination,”dalam Peter Golding and Graham Murdock. The Political Economy of Media. Volume I, Cheltenham, UK.Brookfield, US: The International Library of Study and Culture. hal. 19-36. 2 Media Massa yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah media massa cetakan yang berbentuk koran, penggunaan kata media massa lebih karena pertimbangan istilah ini umum dikenal dalam masyarakat.
1
redactur) serta relasi kuasa yang tercipta lewat teks yang akan dibentuk menjadi berita politik, dimana media senantiasa dijadikan sebagai arena untuk menguasai proses produksi dan reproduksi wacana baik secara politik maupun bisnis. Dinamika politik lokal secara konkret tampak jelas dalam proses pemilihan kepala daerah. Pilkada merupakan salah satu indikator dalam melihat nilai-nilai dan distribusi pengaruh politik dalam masyarakat lokal. Seligman3 mengatakan bahwa, “proses pengisian peran-peran politik tersebut bermakna ganda karena disatu sisi, proses ini menyangkut transformasi peran-peran non politik warga yang berasal dari berbagai subkultur agar menjadi layak untuk memainkan peran-peran politik. Sementara pada sisi lain, proses ini menyangkut seleksi untuk menduduki posisi-posisi politik yang tersedia. Dengan demikian, melalui proses ini seluruh warga dari subkultur yang berbeda, baik etnis, agama, kelas maupun status sosial tertentu mempunyai peluang untuk ikut serta berperan dalam sistem politik”.
Pemilihan kepala daerah juga merupakan indikator penting untuk melihat perubahan dalam sebuah masyarakat politik 4. Hal dimaksud mau mengungkapkan proses pertumbuhan infrastruktur politik, derajat politisasi serta partisipasi politik masyarakat. Alasan tersebut memperoleh relevansinya dalam mengkaji dan menganalisis fenomena pemilihan kepala daerah di masa kampanye, seperti halnya di Indonesia dan dalam hal ini proses pilkada yang berlangsung di kabupaten Ende. Sebagai salah satu bentuk kontestasi politik, isu pilkada tentunya mengandung berbagai kepentingan dengan beragam strategi, termasuk melalui penggunaan bahasa. Bahasa tidak hanya berperan sebagai simbol kultural yang 3 4
L.G. Seligman. Elite Recruitment and Political Development, Journal Of Politics, Agustus 1964. Cornelis Lay. Rekrutmen Elit Politik, Prisma No.4, April-Mei 1997, hal.21.
2
mengandung makna tertentu, tetapi juga merefleksikan bagaimana relasi kekuasaan berlangsung. Terdapat upaya untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Pihak-pihak yang saling berkompetisi akan menggunakan bahasa sebagai dasar justifikasi bagi tindakan yang dilakukannya. Penggunaan bahasa dalam relasi kekuasaan dapat dilihat secara konkret melalui pertarungan wacana. Relasi kekuasaan yang dominatif terefleksikan dalam produksi dan reproduksi kuasa yang masuk dalam ruang kultural, yakni tempat wawasan dan makna dikomunikasikan dalam berbagai wacana yang saling berkompetisi (newsroom/ruang redaksi). Oleh karena itu, politik wacana (politics of discourse) berkaitan erat dengan politik ruang (a politics of space) karena dalam ruanglah berlangsung pertarungan wacana, antara wacana utama (main discourse) dengan wacana tandingan (counter discourse)5. Konsep ruang redaksi sebagai arena atau ruang dimana berlangsungnya tindakan komunikatif untuk menegosiasikan wacana dan isu-isu politik inilah pada akhirnya telah mampu mempresentasikan media massa sebagai ruang publik yang utama dan turut menentukan dinamika sosial, politik dan budaya di tingkat lokal maupun global. Selain itu, relasi antara media dan berita politik pun turut menghantarkan media menjadi layak untuk dikonsumsi sebagai sebuah informasi terhadap perkembangan politik di Indonesia. Dalam perkembangan politik di Indonesia, media merupakan suatu realitas dan bagian dari kehidupan modern yang banyak memberikan manfaat. Kehadiran media bukanlah suatu ruang vakum, media bisa menjadi wahana untuk 5
M.J. Shapiro. Reading the Postmodern Polity: Political Theory as Textual Practise. Minneapolis: University of minnesota. 1992 (sebagaimana disarikan oleh Yudi latif dan Idi Subandy Ibrahim).
3
mendominasi, menguasai, mengarahkan pikiran publik, merekonstruksikan realitas dan menanamkan ideologi tertentu. Ambil contoh dalam kasus Indonesia, media pernah menjadi alat bagi pemerintah untuk mendominasi jagad wacana. Media menjadi alat untuk melegitimasi eksistensi dan struktur kekuasaan politik dan ekonomi. Tetapi sebaliknya media pun bisa menjadi alat untuk mendelegitimasi kekuasaan, membongkar kemandekan politik dan menjatuhkan kekuasaan yang otoriter6. Dalam 15 tahun terakhir, bangsa Indonesia merayakan kebebasan bermedia, kecenderungan media sebagai alat kapital memudahkan orang yang memiliki modal untuk menaruh kepentingannya di atas media, baik kepentingan ideologi (dalam arti luas), modal, partai politik maupun komunitas. Sejumlah studi tentang wacana media di Indonesia, menunjukkan bahwa media tertentu membela ideologi tertentu, partai politik tertentu, komunitas budaya dan rezim tertentu. Di balik realitas tersebut, terdapat ideologi yang diusungnya misalnya pada masa orde baru tentang pembangunan dan hantu komunisme. Pada masa pasca orde baru pun media lebih memproduksi dan mereproduksi wacana yang dikembangkan oleh orde baru, yakni dengan memberitakan tentang komunisme 7. Pendekatan yang berpengaruh besar terhadap studi wacana dalam ilmu politik adalah pendekatan post strukturalis, yang memandang kemunculan realitas sosial bukan karena keinginan sejarah, melainkan karena kepentingan daripada kekuasaan. Dalam pendekatan ini, kekuasaan tidak dipahami sebagai sesuatu yang bersifat tidak produktif, yakni bekerja dengan cara menindas. Sebaliknya, 6 7
Eduardus Dosi. 2012. Media Massa Dalam Jaring Kekuasaan. Maumere: Ledalero, hal.17. Eryanto. 2001. Analisis Framing. Yogyakarta: LkiS, hal.79.
4
kekuasaan dipandang sebagai sesuatu yang bersifat produktif yang dapat mengkonstruksi dunia sosial melalui cara-cara tertentu8. Penganut pendekatan ini memahami bahwa kekuasaan beroperasi dalam dunia sosial dengan cara normalisasi, pendisiplinan dan hukuman. Normalisasi dilakukan dengan cara memproduksi pengetahuan yang memberikan kriteria normal dan tidak normal. Kekuasaan mendisiplinkan ketidaknormalan melalui aturan-aturan dan prosedur, namun aturan disini bukan sekedar aturan yuridis yang berasal dari kedaulatan, melainkan aturan mengenai karakter manusia atau tepatnya norma. Dengan aturan tersebut kekuasaan memberikan hukuman terhadap pelanggar prosedur. Dalam memproduksi kekuasaan, aliran post strukturalis menempatkan peran penting wacana dalam proses pembentukan realitas sosial. Tanpa adanya produksi, akumulasi, sirkulasi dan pemfungsian wacana, kekuasaan tidak dapat dengan sendirinya dibangun, dikonsolidasikan maupun diimplementasikan. Pengetahuan yang hadir dalam wacana tidak dapat dikatakan sebagai pengetahuan yang obyektif. Pengetahuan memberikan klaim kebenaran bagi agen kekuasaan melalui penciptaan ukuran kriteria-kriteria dan prosedur-prosedur. Dengan klaim kebenaran ini, kekuasaan akan mengontrol penerima wacana yang disebarkannya. Dengan demikian pendekatan wacana, yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah memahami wacana bukanlah sebagai medium netral di luar subyek penyebar wacana. Pemegang kekuasaan memproduksi wacana di bawah kondisi dan kepentingan tertentu untuk meraih kontrol. Bahasa sebagai alat 8
Marrianne W. Jorgensen dan Louise J. Phillips. Analisis Wacana: Teori dan Metode, Pustaka Pelajar: 2007, hal.71. dikutip dalam, Yanuardi: Melacak Akar Kegagalan Negara di Kawasan Hutan Lindung Dataran Tinggi Dieng, Tesis Ilmu Politik: 2007, hal.10.
5
wacana dianggap sebagai representasi yang berperan pula dalam membentuk jenis-jenis subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu maupun strategi-strategi di dalamnya. Bahasa dalam suatu wacana menjadi representasi, karena wacana tersusun dalam sebuah tatanan bahasa yang masuk akal. Tatanan ini disebut dengan structure discoursif 9. Struktur inilah yang membentuk cara seseorang dalam mempersepsikan suatu obyek. Struktur diskursif yang berbeda dapat membuat sebuah obyek yang sama, dipersepsikan secara berbeda. Perbedaan cara pandang ini dapat melahirkan pemahaman yang berbeda dan akan melahirkan aksi yang berbeda pula. Dengan menempatkan wacana sebagai praktik kekuasaan, kita akan memahami kekuasaan tidak hanya bekerja dalam negara (statecentric). Kekuasaan justru hadir pada setiap hubungan sosial yang ada. Di dalam relasi-relasi sosial tersebut terdapat pula rangkaian jaringan kekuasaan dan relasi kekuasaan yang jamak, yang akan mengontrol tubuh, seksualitas, keluarga, hubungan kekerabatan, pengetahuan, teknologi dan seterusnya 10. Kemampuan wacana dalam membangun klaim kebenaran ini, membuat ia mampu melestarikan ataupun mengubah hubungan-hubungan kekuasaan yang ada di dalam masyarakat 11. Pengkonstruksian dunia sosial tidak hanya disusun oleh satu wacana saja, tetapi oleh banyak wacana. Meskipun demikian akan selalu ada
9
Michael Foucault (1972), dalam Erianto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Lkis, Yogyakarta, 2001, hal.73-75. 10 Untuk memahami lebih lanjut mengenai konsep kekuasaan menurut Foucault dapat dibaca di buku Michael Foucault, Kuasa/Pengetahuan, edisi terjemahan, Bentang Budaya, Yogyakarta, 2002. 11 Erianto, Op.Cit.
6
wacana dominan yang berperan besar mengkonstruksi realitas. Pola hubungan yang terbangun akibat dominasi wacana itu dapat disebut dengan pola hubungan hegemonik12. Dalam pola hubungan dimaksud, kelompok yang berkuasa akan memproduksi wacana yang dapat membuat seseorang, komunitas, masyarakat ataupun sebuah kelas sosial dapat dikontrol. Kemampuan ini muncul karena wacana yang diproduksi mampu menginternalisasi diri menjadi sebuah konsensus kebenaran yang harus dijalankan. Meskipun ada wacana dominan, namun penulis tidak sepakat dengan cara pandang hegemoni yang bersifat statis. Hal ini dikarenakan tatanan sosial tidak dibangun oleh satu wacana, melainkan beragam. Karena manusia pada dasarnya mempunyai kapasitas untuk merefleksikan dan membandingkan berbagai wacana yang hadir. Keberagaman inilah yang akan mengakibatkan masing-masing wacana saling berinteraksi. Dengan demikian, hegemoni tidak hanya sebuah proses dominasi, tetapi juga proses negosiasi yang melahirkan konsensus tentang makna. Dalam negosiasi tersebut, masing-masing wacana dapat saling meniadakan, namun juga dapat saling mendukung. Unsur-unsur yang menentang wacana dominan akan membekali pengikutnya dengan sumber daya untuk melakukan perlawanan. Akibatnya, hegemoni tidak pernah berlangsung stabil, namun senantiasa berubah dan tidak pernah selesai. Konsensus yang dibangun selalu berkaitan dengan 12
Konsep hegemoni adalah konsep Antonio Gramsci untuk memahami penyebab tunduknya kelas proletar oleh penguasa, melalui hubungan hegemoni. Dalam hubungan ini kelas proletar menerima ajaran yang disebarkan oleh penguasa menjadi sebuah kebenaran yang mereka jalankan. Baca Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.
7
masalah derajat keseimbangan hubungan antar wacana yang saling bertentangan dan tidak stabil13. Wacana dominan yang diproduksi akan berdampak serius. Pertama, wacana dominan akan memberikan arahan bagaimana suatu obyek harus dibaca dan dipahami, karena wacana tersebut memberikan pilihan yang tersedia dan siap pakai. Pandangan yang lebih luas menjadi terhalang karena dibatasi oleh batasbatas diskursif tersebut. Kedua, batas-batas yang diciptakan oleh struktur diskursif bukan hanya membatasi pandangan kita, tetapi juga menyingkirkan wacana lain yang tidak dominan14. Dalam riset ini, penulis menempatkan perhatian terhadap wacana sebagai bagian penting dalam analisis politik. Wacana dipandang sebagai sebuah bentuk praktik sosial yang berada dalam sebuah hubungan dialektis dengan realitas sosial lain. Wacana dapat mengkonstruksi dunia sosial, namun di sisi lain produksi wacana juga dipengaruhi oleh dunia sosial. Menguatnya wacana tambang pasir besi di Ende dalam pemberitaan flores pos dan expo ntt selama masa kampanye, sesungguhnya merupakan ekspresi pertarungan kepentingan di antara pihak-pihak yang terlibat. Pertarungan ini memiliki bermacam-macam latar belakang yakni, kekuasaan politik elit lokal, elit agama, suku dan kedaerahan, pemodal dan kekuasaan pranata sosial yang berkepentingan menyelamatkan dominasi yang mereka terima dalam struktur masyarakat Ende.
13
Fairclough (1992b: 93), dalam Analisis Wacana, Teori dan Metode, Marrianne W. Jorgensen dan Louise J. Phillips, Pustaka Pelajar, 2007, hal.142. 14 Erianto, Op.Cit. hal. 77.
8
Bentuk kekuasaan dan dominasi tersebut hadir dalam pemberitaan flores pos dan expo ntt, selain isu tambang pasir besi terlihat juga pemberitaan terkait pemberlakuan lima hari kerja dan uang lauk bagi pns, alokasi dana per desa sebesar 2 miliar, kasus-kasus penyimpangan dana oleh sejumlah pejabat daerah dan lain sebagainya. Perguliran wacana tersebut, dibatasi bahkan dikontrol dan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan pranata sosial yang ada. Beberapa pranata tersebut adalah pengelola dan pekerja media, gereja katolik, elit politik lokal, pemerintah, lsm/ngo dan pemodal. Mereka menentukan wacana yang berkembang dalam masyarakat Ende. Ketika media massa memilih dan mendukung wacana tertentu, dengan sendirinya praktik kekuasaan telah berlangsung dan menimbulkan efek tertentu yang berimplikasi pada kualitas pendewasaan demokrasi yang dimanifestasikan melalui proses Pilkada. Wacana tambang pasir besi terbentuk bukan semata-mata karena kepentingan ekonomi/politik antar negara dan pasar, akan tetapi proses tersebut merupakan refleksi dari lingkungan masyarakat Ende yang terepresentasi secara historis, sosial, politik dan ekonomi. Sementara dari lingkungan media, kepentingan industri telah mendorong orientasi media kepada kepentingan pasar yang ditandai dengan dinamika yang terjadi dalam ruang redaksi (politic of redactur) untuk menguasai wacana. Kondisi yang ada menggambarkan bahwa praktik wacana pada media bukanlah sesuatu yang netral. Di balik berita-berita tersebut terdapat pola dan relasi kekuasaan, baik modal, politik dan ideologi yang mempengaruhi, mengarahkan dan mencoba membentuk realitas pikiran pembaca. Proses
9
pembentukan dan pengembangan wacana dominasi kekuasaan oleh media, dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga terjadi pertarungan dalam memaknai realitas dalam presentasi media. Kekuasaan di balik media, baik politik, ekonomi, ideologi dan sosio-kultural justru yang mengendalikan isi media. Menjelang pelaksanaan pilkada Ende, isu wacana tambang pasir besi pun semakin hangat. Momentum ini digunakan oleh para kandidat
untuk
mendeklarasikan dirinya kepada khalayak (voter) melalui kegiatan kampanye. Dua kubu yang bertarung berusaha untuk saling mengcounter setiap isu yang diberitakan terkait masing-masing. Disinilah, flores pos dan expo ntt mengambil peran yang cukup penting. Setidaknya eksistensi kedua media tersebut ditandai dengan peran yang bisa dimainkan yakni, sebagai alat kontrol publik, alat kepentingan bagi elit lokal sampai pada peran kepentingan ekonomi. Ketiga dimensi tersebut pada akhirnya akan berakumulasi dalam satu praktik pemberitaan terhadap dua kandidat (paket Darmawan dan MD). Dan dengan konteks kesejarahan yang berbeda, akan memberikan bias tafsir dalam memproduksi wacana tambang pasir besi. Fokus
riset
ini,
dengan
menggunakan
analisis
model
Norman
Fairclough15, penulis ingin mengungkap praktik kuasa yang bekerja dibalik wacana tambang pasir besi yang diproduksi harian flores pos dan mingguan expo ntt terhadap dua kandidat (paket Darmawan dan MD) selama masa kampanye. Tujuannya, ingin mengkaji wacana media dalam hubungannya dengan kekuasaan atau kepentingan yang mengitarinya dalam konteks praktik politik lokal di Ende,
15
Akan dijelaskan di Teknik Analisis Data.
10
bagaimana cara aktor-aktor tersebut menanamkan kepentingannya kepada media, dinamika apa yang terjadi di dalam ruang redaktur (politics of redactur) serta hubungan kekuasaan yang tercipta melalui teks yang akan dibentuk menjadi sebuah berita politik. Asumsi yang dibangun penulis bahwa media memiliki kekuasaan yang menyebar di dalam dirinya (internal) dan di luar dirinya (eksternal) sebagai sebuah kekuatan yang turut mewarnai isi (content) media dan dipresentasikan dalam pemakaian bahasa/pengetahuan. Disini tujuan penelitian ini akan mengisi celah dimaksud dan selanjutnya akan dibahas dalam sudut pandang politik. 1.2
Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian Berdasarkan pada uraian latar belakang diatas, riset ini ditujukan untuk
menjawab pertanyaan: Bagaimana Flores Pos dan Expo Ntt Memproduksi Kuasa Di Balik Wacana Tambang Pasir Besi? Penelitian ini mengemban misi utama, yakni ingin menjelaskan tentang bagaimana cara aktor-aktor tersebut menanamkan kepentingannya kepada media, bagaimana dinamika yang terjadi dalam ruang redaksi ketika berita politik ini akan dibuat serta relasi kuasa apa yang tercipta dibalik wacana tersebut. 1.3
Literatur Review: Analisis Wacana Kekuasaan Dalam Media Discourse analysis merupakan bentuk analisis yang relatif baru. Mulai
berkembang sejak tahun 1970-an seiring dengan studi mengenai struktur, fungsi dan proses dari suatu teks. Konsep ini tidak saja multidisiplin (melibatkan sejarah, antropologi, sosial, politik dan komunikasi) tetapi juga melewati tembok disiplin ilmu. Titik perhatian terutama pada watak kajiannya yang bersifat emansipatoris
11
yang berpihak pada mereka yang terpinggirkan, termarginalkan dan tidak bersuara atau tidak diberi kesempatan untuk bersuara baik atas dasar ras, warna kulit, agama, gender atau kelas sosial. Oleh
karenanya
tidak
heran
apabila
penelitian-penelitian
yang
menggunakan analisis wacana umumnya berhubungan dengan bagaimana media memarginalkan kelompok bawah, perempuan, kelompok marginal/terpinggirkan dan sebagainya. Gejala semacam inilah yang coba dibongkar dengan menggunakan
analisis
wacana,
dengan
sumbangan
pentingnya
adalah
menyadarkan kita tentang apa yang semula dianggap sebagai kebenaran, kita terima sebagai common sense yang ternyata mengandung bias dengan lebih berpihak dan menyuarakan suara kelompok dominan. Berkaitan dengan analisis wacana kritis tentang politik, riset untuk penelitian seperti ini masih tergolong sangat sedikit. Di antaranya analisis wacana politik yang dilakukan oleh Virginia Matheson Hooker, yang membandingkan penggunaan bahasa politik pada zaman orde lama dan orde baru dengan menggunakan metode semiotika sosial dari Halliday dan Hasan. Hooker disini mengkaji pidato-pidato kenegaraan soekarno dan soeharto16. Mengacu pada hasil penelitian Hooker, dengan pendekatan CDA (critical discourse analysis) dan metode Framing Analysis, Dedy N. Hidayat kemudian menganalisis media massa nasional dalam mengemas “pembangunan” pada zaman orde baru. Tetapi dalam tulisannya tersebut tampaknya Hidayat hanya
16
Hooker, Virginia Matheson. Bahasa dan Pergeseran Kekuasaan di Indonesia: Sorotan Terhadap Pembukuan Bahasa Orde Baru, dalam Yudi Latif dan Idi Subandi Ibrahim (eds), Bahasa dan kekuasaan, Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Mizan. Bandung, 1996, hal. 5657.
12
menggunakan CDA dan analisis framing sebagai konsep, bukan sebagai metodologi, untuk membaca kecenderungan pemberitaan “pembangunan” di jaman itu17. Walaupun menggunakan metode analisis kritis, Hidayat tidak menyebutkan teks tersebut berasal darimana (koran, radio atau televisi). Hidayat juga tidak menggunakan level teks yang sudah pasti tidak melakukan analisis pada level media discourse practice (produksi dan konsumsi teks) sebagaimana menjadi tuntutan CDA. Riset analisis wacana kritis tentang politik yang cukup kompleks adalah riset yang dilakukan oleh Prakoso. Dengan mengambil Kompas dan Rakyat Merdeka sebagai obyek kajian, ia juga berupaya melaksanakan CDA secara lebih konkrit18 sesuai dengan tuntutan metode CDA. Prakoso telah melakukan analisis pada level teks dengan menggunakan analisis framing versi Gamson dan Modigliani yang menghubungkan wacana media di satu sisi dengan pendapat umum pada sisi lain, dengan kata lain cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwaperistiwa yang berkaitan dengan obyek suatu wacana 19. Dengan melihat analisis pada level praktik media, membuat teks dengan melakukan analisis pada level situasi politik di tahun 1999 yang mempengaruhi pembuatan teks (sociocultural discourse)20.
17
Dedy N. Hidayat. Politik Media: Politik Bahasa dalam Proses Legitimasi dan Delegitimasi Regim Orba, dalam Sandra Kartika dan M. Mahendra, Dari Keseragaman Menuju Keberagaman, Wacana Multikultural dalam Media. LSPP, Jakarta, 1999, hal.43-60. 18 Prakoso, Junarto Imam. Konstruksi Wacana Media Massa Nasional tentang Islam dan Sekuler dalam Pemilu 1999: Kasus Republika dan Rakyat Merdeka, dalam Jurnal Thesis, No.1/Februari 2000, hal. 27-41. 19 Eriyanto. Analisis Framing, “Konstruksi, Ideologi dan Politik Media”. Lkis, Yogyakarta, hal. 217-228. 20 Ibnu, Hamad. Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa. Granit, Jakarta, 2004, hal. 36.
13
Dalam penelitian yang lain, disertasinya Ibnu Hamad yang sudah diterbitkan21 melakukan penelitian yang sangat kompleks terhadap Critical Discourse Analysis (CDA) dengan mengambil media nasional maupun lokal dan partai politik dengan harapan bahwa relasi antara media massa dengan komunikasi politik dapat diambil substansi dalam penelitiannya. Bahwasanya dalam hubungan antara keduanya terdapat dinamika yang luar biasa. Baik itu media yang dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, politik dan ideologi media massa itu sendiri. Dari segi metodologi pun, Ibnu Hamad menggunakan paradigma kritikal khususnya dalam bidang komunikasi politik secara utuh. Terdapat empat tahap dalam riset ini, pertama, mencari fakta sosial menggunakan teks analisis yang tepat dan layak. Kedua, memberi makna terhadap tanda-tanda tersebut menggunakan teori segitiga makna (triangle meaning theory). Ketiga, memperkirakan motif atau tujuan si pembuat teks yang tersimpan dalam teksnya. Keempat, melakukan wawancara mendalam (dept interview) dan atau penelusuran dokumen historis. Secara metodologis, tahapan riset yang dilakukan Hamad bisa diterapkan untuk menemukan fakta sosial di balik peristiwa-peristiwa komunikasi lainnya seperti periklanan, hubungan masyarakat, retorika, pemasaran, komunikasi antar budaya, komunikasi internasional22. Dalam kesimpulan penelitian Hamad, juga dikatakan bahwa proses pengkonstruksian partai politik senantiasa dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan internal (ideologi, idealis) dan atau kekuatan eksternal (pasar, situasi politik). Yang dipengaruhi faktor ideologis antara lain Republika, Rakyat Media dan Bali 21 22
Ibid. hal. 180-181. Ibid. hal. 31-52.
14
Pos sedangkan yang dipengaruhi oleh idealisme adalah Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat. Yang dipengaruhi oleh politik praktis adalah Media Indonesia dan Haluan. Dan terakhir yang dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi adalah Jawa Pos, Fajar dan Kompas23. Namun demikian, riset dengan strategi Critical Discourse Analysis (CDA) ini juga memiliki kelemahan ataupun keterbatasan. Paradigma kritis memandang realitas yang diteliti adalah realitas yang telah terbentuk dan telah dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya24. Sekalipun Hamad telah menggunakan multilevel method untuk memperoleh sejumlah penjelasan tentang adanya realitas ini sesuai tuntutan paradigma kritis, peneliti dibatasi oleh ketiadaan pengamat (participative observation) ketika teks berita politik itu dibuat di ruang redaksi. Sehingga sejauh ini peneliti hanya menjadi pengamat dari luar, tidak menjadi aktivis atau participan dalam proses transformasi sosial oleh media, sehingga tuntutan penelitian ini secara keseluruhan tidak dapat dipenuhi. Pada penelitian tesis Jurusan Politik Pemerintahan UGM, sejauh ini penulis telah menemukan tiga peneliti yang meneliti tentang teks media, pertama adalah Wahib25 penelitian ini melihat secara semiotik bagaimana Jawa Pos mengkonstruksi wacana pelaksanaan otonomi daerah di indonesia dengan caranya sendiri lewat pemberitaan yang ada. Riset ini hanya memfokuskan pada wacana yang dikembangkan oleh Jawa Pos lewat berita-berita dan opini yang
23
Ibid. hal. 130-187. Guba. Egon G dan Linclon, Yvona S. Competing Paradigms in Qualitative Research, dalam Norman K. Denzin dan Yvona S. Linclon (eds), Handbook of Qualitative Research, Sage Publication: London, 1994, hal. 150-161. 25 Wahib. Otonomi Daerah di Balik Konstruksi Media Cetak. Tesis Politik Lokal dan Otonomi Daerah Universitas Gadjah Mada. 2004 tidak dipublikasikan, , hal. 1-6. 24
15
ditransformasikan
dalam
“ketukan-ketukan
teks”
bukan
lembaga
tapi
pemberitaan. Dari sisi metodologi riset yang dilakukan menggunakan analisis semiotik yang memfokuskan pada persoalan lambang-lambang (symbol) otonomi daerah yang mengalami “retak teks” bahwa makna retak teks yang dimaksud adalah bagian kata, istilah, kalimat dan paragraf dari teks yang ingin dipertanyakan lebih lanjut untuk dicari tahu arti dan maknanya. Akan tetapi bagaimanapun juga penelitian ini tidak menggunakan CDA sebagaimana yang akan dilakukan oleh penulis. Peneliti kedua adalah Ibrahim26 yang ingin melihat secara kritis bagaimana media melakukan konstruksi wacana dalam bentuk berita seputar isu-isu pemilihan gubernur. Pembacaan kritis tersebut tidak semata-mata dari segi kata atau tekstual tetapi juga menyentuh lebih mendalam sebagai upaya membongkar berita besar dibalik konstruksi pemberitaan. Kesimpulan penelitian ini adalah adanya orientasi kepentingan media yang disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhi. Diantaranya pertama, faktor survival media di tengah himpitan ekonomi dan persaingan pasar. Kedua, faktor ideologi media yang sudah digariskan sejak berdirinya media. Ketiga, sampai pada faktor komitmen pelaku media adalah faktor yang menyebabkan media berdiri pada posisi keberpihakan yang berbeda satu media dengan media yang lain. Dari segi metodologi, Ibrahim menggunakan metode Critical Discourse Analysis (CDA) dengan teknik analisa data model Teun. A. Van Dijk yang 26
Ibrahim. Pilkada dalam Konstruksi Media Massa. Tesis Politik Lokal dan Otonomi Daerah Universitas Gadjah Mada. 2006 tidak dipublikasikan, hal. 231-238.
16
menggunakan analisis teks yang dikaitkan dengan struktur sosial, dominasi dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi (pikiran) dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu. Dengan kata lain pengaruh pembuat berita (wartawan) sangat mendominasi dalam konstruksi pemberitaan. Peneliti ketiga adalah Farizal27 yang ingin melihat wacana partai nasional yang melokalkan diri yang selalu melihat konstelasi lokal baik itu media maupun politik lokal. Media memiliki pengaruh internal (ekonomi politik media) dan eksternal (dengan jaringan dan massa) begitu juga dengan partai yang memiliki ideologi, jaringan dan massa. Dengan demikian yang ingin dilihat bagaimana media melakukan konstruksi pemberitaan tersebut dengan berbagai pengaruh dari internal maupun eksternal sehingga dapat dilihat juga media yang konsisten terhadap pemberitaan partai di tingkat lokal. Di sisi lain partai tidak dapat dinafikkan terkadang diuntungkan dengan pemberitaan yang dilakukan media lokal yang tidak bisa dilepaskan dari ideologi, jaringan dan massa partai yang berpengaruh. Riset tersebut diarahkan pada berita pemilihan kepala daerah di Kabupaten Sleman dengan melihat kontestasi dari calon kepala daerah sebelum kampanye. Diambil sebelum masa kampanye karena puncak kontestasi yang terjadi dari partai politik terhadap calon yang akan di angkat adalah sebelum terdaftar di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Dari segi metodologi, riset ini menggunakan metode CDA dengan teknik analisis data Norman Fairclough. 27
Farizal. Kontestasi Wacana Partai Politik di Tingkat Lokal pada Pemilihan Kepala Daerah di Media Cetak. Tesis Politik Lokal dan Otonomi Daerah Universitas Gadjah Mada. 2007 naskah publikasi, hal. 197-198.
17
Hasil penelitiannya aspek historical situatedness yaitu keharusan memperhatikan konteks historis, sosial, budaya, ekonomi, politik, etnik dan gender belum memenuhi standar kriteria yang diisyaratkan karena mengingat peneliti hanya menjadi pengamat dari luar, tidak menjadi pengamat partisipan atau aktivis dalam proses transformasi sosial oleh media sehingga tuntutan keutuhan ini belum terpenuhi. Baik penelitian yang dilakukan oleh Virginia Matheson Hooker, Dedy N. Hidayat, Prakoso, Ibnu Hamad, Wahib, Ibrahim dan Farizal memiliki keunggulan yang berbeda dengan beragam metode yang digunakan. Bahkan penulis melihat riset yang dilakukan oleh Ibnu Hamad belum melihat dari segi partai politik di tingkat lokal dan partai yang diteliti adalah di tingkat nasional dengan berita dan isu nasional. Hal ini yang kemudian diteliti oleh Farizal dengan melakukan riset terhadap partai politik di tingkat lokal dengan isu dan berita lokal. Sedangkan Ibrahim, melakukan riset tentang isu-isu gubernur yang lebih melihat calon gubernur berbeda dengan melihat partai politik. Studi yang dilakukan berbicara mengenai relasi kekuasaan yang bermetamorfosis dalam teks berita. Dengan menggunakan analisis model Norman Fairclough28, penulis ingin mengungkap praktik kuasa yang bekerja dibalik wacana tambang pasir besi yang diproduksi oleh flores pos dan expo ntt terhadap dua kandidat (paket Darmawan dan MD) selama masa kampanye berlangsung. Sumbangan teoritik dalam kajian ini diharapkan mampu mengisi celah kekosongan secara teoritik dari kajian-kajian yang telah dipaparkan sebelumnya,
28
Op.Cit.
18
antara lain pertama, penulis ingin mengungkap peran praktik kewacanaan dalam melestarikan hubungan kekuasaan yang tidak setara dalam konteks praktik politik lokal di Ende. Kedua, penulis ingin melihat perilaku aktor-aktor tersebut dalam menanamkan kepentingannya kepada media dan ketiga, ingin menunjukkan dinamika yang terjadi di dalam ruang redaktur (politics of redactur) sehingga demi kekayaan informasi kita bisa memahami proses produksi/reproduksi wacana politik serta yang keempat, ingin menunjukkan relasi wacana dan kekuasaan yang terbangun melalui teks yang akan dibentuk menjadi sebuah berita politik. 1.4
Pendekatan Teoritik Kerangka teori digunakan untuk menjelaskan dan menghubungkan
konsep-konsep kunci penelitian. Selain itu, teori digunakan untuk menemu kenali permasalahan riset, untuk meraba bayangan data yang hendak disajikan, menarasikan hasil temuan dan membangun argumentasinya. Dan akhirnya teori juga digunakan untuk menjelaskan fokus penelitian sehingga dapat menghasilkan jawaban yang jelas dan tepat, berdasarkan pada rumusan masalah dan tujuan penelitiannya. Ada beberapa hal yang dijadikan premis disini. Pertama, studi ini menyepakati bahwa praktik kekuasaan tidak terpusat ke dalam aparatus negara atau institusi-institusi politik saja sebagaimana pandangan kaum Hobbesian. Tetapi, memahami kekuasaan dalam konteks mikroanalisis sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Foucault. Karena itu, kerangka berpikir yang dipakai dalam studi ini meminjam beberapa konsep pokok dari Foucault tentang praktik kekuasaan dan discourse.
19
Kedua, karena studi ini melihat politik dalam kerangka analisis mikro, maka studi ini akan menyajikan bagaimana kerja politik keseharian dan implikasinya dalam kehidupan masyarakat pada level yang paling dasar, yakni individu. Oleh sebab itu, konsep-konsep yang dipinjam dari pemikiran Foucault tidak lain akan sangat berkontribusi dalam menjelaskan proses terbentuknya kuasa di balik wacana media. 1.4.1 Pendekatan Wacana dan Kekuasaan Pendekatan yang berpengaruh besar terhadap studi wacana dalam politik adalah pendekatan post strukturalis, yang memandang kemunculan realitas sosial bukan karena keinginan sejarah, melainkan karena kepentingan dari kekuasaan. Dalam pendekatan ini, kekuasaan tidak dipahami sebagai sesuatu yang bersifat tidak produktif, yakni bekerja dengan cara menindas. Sebaliknya, kekuasaan dipandang sebagai sesuatu yang bersifat produktif yang dapat mengkonstruksi dunia sosial melalui cara-cara tertentu29. Penganut aliran ini memahami bahwa kekuasaan beroperasi dalam dunia sosial dengan cara normalisasi, pendisiplinan dan hukuman. Normalisasi dilakukan dengan cara memproduksi pengetahuan yang memberikan kriteria normal dan tidak normal. Kekuasaan mendisiplinkan ketidaknormalan melalui aturan-aturan dan prosedur, namun aturan disini bukan sekedar aturan yuridis yang berasal dari kedaulatan, melainkan aturan mengenai karakter manusia atau tepatnya norma. Dengan aturan tersebut kekuasaan memberikan hukuman terhadap pelanggar prosedur. 29
Marrianne W. Jorgensen dan Louise J. Phillips. Analisis Wacana: Teori dan Metode. Op.Cit. hal.71.
20
Dalam
memproduksi
kekuasaan,
pendekatan
post
strukturalis
menempatkan peran penting wacana yang dianggap berperan penting dalam proses pembentukan realitas sosial. Tanpa adanya produksi, akumulasi, sirkulasi dan pemfungsian wacana, kekuasaan tidak dapat dengan sendirinya dibangun, dikonsolidasikan maupun diimplementasikan. Pengetahuan yang hadir dalam wacana tidak dapat dikatakan sebagai pengetahuan yang obyektif. Pengetahuan memberikan klaim kebenaran bagi agen kekuasaan melalui penciptaan ukuran kriteria-kriteria dan prosedur-prosedur. Dengan klaim kebenaran ini, kekuasaan akan dapat mengontrol penerima wacana yang disebarkannya. Dengan demikian pendekatan wacana, yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah memahami wacana bukanlah sebagai medium netral di luar subyek penyebar wacana. Pemegang kekuasaan memproduksi wacana di bawah kondisi dan kepentingan tertentu untuk meraih kontrol. Bahasa sebagai alat wacana dianggap sebagai representasi yang berperan pula dalam membentuk jenis-jenis subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu maupun strategi-strategi di dalamnya. Bahasa dalam suatu wacana menjadi representasi, karena wacana tersusun dalam sebuah tatanan bahasa yang masuk akal. Tatanan ini disebut dengan structure discoursif 30. Struktur inilah yang membentuk cara seseorang mempersepsikan suatu obyek. Struktur diskursif yang berbeda dapat membuat sebuah obyek yang sama, dipersepsikan secara berbeda. Perbedaan cara pandang
30
Michael Foucault (1972), dalam Erianto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Op.Cit. hal.73-75.
21
ini dapat melahirkan pemahaman yang berbeda dan akan melahirkan aksi yang berbeda pula. Dengan menempatkan wacana sebagai praktik kekuasaan, kita memahami kekuasaan tidak hanya bekerja dalam negara (statecentric). Kekuasaan justru hadir pada setiap hubungan sosial yang ada. Dalam relasi-relasi sosial tersebut terdapat rangkaian jaringan kekuasaan, relasi kekuasaan yang jamak, yang mengontrol tubuh, seksualitas, keluarga, hubungan kekerabatan, pengetahuan teknologi dan seterusnya31. Kemampuan wacana membangun klaim kebenaran membuat wacana mampu melestarikan ataupun mengubah hubungan-hubungan kekuasaan yang ada di dalam masyarakat 32. Pengkonstruksian dunia sosial tidak hanya disusun oleh satu wacana, tetapi oleh banyak wacana. Meskipun demikian akan selalu ada wacana dominan yang berperan besar mengkonstruksi realitas. Pola hubungan yang terbangun akibat dominasi wacana itu dapat disebut dengan hubungan hegemonik33. Dalam pola hubungan hegemonik, kelompok yang berkuasa memproduksi wacana yang dapat membuat seseorang, komunitas, masyarakat ataupun sebuah kelas sosial dapat dikontrol. Kemampuan ini muncul karena wacana yang diproduksi mampu menginternalisasi, sehingga menjadi sebuah konsensus kebenaran yang harus dijalankan.
31
Untuk memahami lebih lanjut mengenai konsep kekuasaan menurut Foucault dapat dibaca di buku Michael Foucault, Kuasa/Pengetahuan, edisi terjemahan. Op.Cit. 32 Erianto. Op.Cit. 33 Konsep hegemoni adalah konsep Antonio Gramsci untuk memahami penyebab tunduknya kelas proletar oleh penguasa, melalui hubungan hegemoni. Dalam hubungan ini kelas proletar menerima ajaran yang disebarkan oleh penguasa menjadi sebuah kebenaran yang mereka jalankan. Baca Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Op.Cit.
22
Meskipun ada wacana dominan yang mampu menghegemoni, namun penulis tidak sepakat dengan cara pandang hegemoni akan bersifat statis. Hal ini karena tatanan sosial tidak dibangun hanya oleh satu wacana melainkan beragam. Karena manusia mempunyai kapasitas untuk merefleksikan dan membandingkan wacana. Hal inilah yang mengakibatkan masing-masing wacana akan saling berinteraksi. Dengan demikian, hegemoni tidak hanya sebuah proses dominasi, tetapi juga proses negosiasi yang melahirkan konsensus tentang makna. Dalam negosiasi tersebut, masing-masing wacana dapat saling meniadakan, namun juga dapat saling mendukung. Unsur-unsur yang menentang wacana dominan akan membekali pengikutnya dengan sumber daya untuk melakukan perlawanan. Akibatnya, hegemoni tidak akan pernah berlangsung stabil, namun senantiasa berubah dan tidak pernah selesai. Konsensus yang dibangun selalu berkaitan dengan masalah derajat keseimbangan hubungan antar wacana yang tidak stabil34. Wacana dominan akan berdampak serius. Pertama, wacana dominan memberikan arahan bagaimana suatu obyek harus dibaca dan dipahami karena wacana tersebut memberikan pilihan yang tersedia dan siap pakai. Pandangan yang lebih luas menjadi terhalang karena dibatasi oleh batas-batas diskursif tersebut. Kedua, batas-batas yang diciptakan oleh struktur diskursif bukan hanya membatasi pandangan kita, tetapi juga menyingkirkan wacana lain yang tidak dominan35.
34
Fairclough (1992b: 183), dalam Analisis Wacana, Teori dan Metode, Marrianne W. Jorgensen dan Louise J. Phillips. Op.Cit. hal.142. 35 Erianto. Op.Cit. hal. 77.
23
Dengan demikian, penulis menempatkan perhatian terhadap wacana sebagai bagian utama dalam analisis politik. Dalam pendekatan ini, wacana dipandang sebagai sebuah bentuk praktik sosial yang berada dalam hubungan dialektis dengan realitas sosial yang lain. Wacana dapat mengkonstruksi dunia sosial, namun produksi wacana juga dipengaruhi oleh dunia sosial misalnya menguatnya wacana pro kontra tambang pasir besi yang diproduksi media lokal selama masa kampanye akan berimplikasi pada kualitas pendewasaan demokrasi yang termanifestasi lewat proses pilkada. Pendekatan wacana mempunyai keunggulan dari pendekatan politik yang lain yang telah berkembang sebelumnya, seperti institusional dan struktural. Karena pendekatan ini dapat mengungkapkan dinamika wacana sebagai bentuk penting dari sebuah praktik sosial yang mempengaruhi terbentuknya institusi atau aturan main. Selain itu, metode ini juga dapat membantu mengungkapkan wacana yang hadir di balik pembentukan, perubahan dan bertahannya sebuah tatanan sosial. Dengan memahami wacana sebagai bentuk penting dari praktik sosial kita akan dapat memahami praktik wacana yang mempengaruhi terbangunnya struktur. Sehingga kita dapat terhindar dari cara berpikir analisis struktural yang deterministis, yang hanya melihat relasi kondisi sosial dan wacana terbentuk semata-mata karena kepentingan ekonomi politik antar negara dan pasar, tanpa memperhatikan bahwa proses tersebut sangat dipengaruhi oleh dinamika wacana yang terjadi khususnya dalam ruang redaksi (politic of redactur).
24
1.4.2 Politik Media Perubahan orientasi politik suatu negara akan berpengaruh langsung terhadap sistem media massa yang dipilih dengan menempatkan media sebagai indikator keberhasilan dan kesungguhan pemerintah dalam menjalankan agenda reformasi. Konsepsi politik media dipahami sebagai upaya untuk mewujudkan kebebasan media, kebebasan informasi dan penyampaian ide dan pemikiran. Hal ini juga sering dipahami sebagai kajian kepentingan politik oleh aktor-aktor politik yang terkait dengan media. Politik dari media itu sendiri dikaitkan dengan arah dan kebijakan yang nantinya akan dikeluarkan oleh media. Sebab setiap media mempunyai hak dan wewenang dalam memuat atau mengeluarkan suatu peristiwa atau informasi yang dibutuhkan oleh publik. Dan dalam wacana akademis konsep politik media ini dapat dipahami setidaknya dalam tiga frame analisis36 yakni politik media sebagai kebijakan negara, politik media sebagai sistem jaringan perilaku antar aktor dan politik media sebagai konvergensi ekonomi-politik. 1.4.2.1 Politik Media sebagai Kebijakan Negara Politik media sebagai kebijakan negara menempatkan posisi negara begitu kuat. Dalam perspektif ini, politik media merupakan keseluruhan kebijakan yang melibatkan seluruh unsur-unsur dari sistem politik (partai, parlemen, pemerintah), yang langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi produksi, distribusi, dan konsumsi (penerimaan) isi informasi dalam masyarakat. 36
Donges, Patrick dan Manuel, Pupis. 2003. Die Zukunft des öffentilichen RundfunksInternationale Beiträge aus Wissenschaft und Praxis. Köln: Herbert von Halem Verlag. Sebagaimana dikutip dalam Hermin Indah Wahyuni, Politik Media Dalam Transisi Politik: Dari Kontrol Negara Menuju Self-Regulation Mechanism. Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol.4 Nomor 1, Juni 2007, hal. 15.
25
Otfried Jarren, “membedakan politik media dalam dua kategori politik media langsung dan politik media tak langsung 37. Termasuk dalam kategori politik yang langsung, jika kebijakan media dikaitkan dengan keseluruhan struktur media ataupun organisasi dan pemfungsian tiap media massa, sedangkan politik media tak langsung terkait dengan kebijakan iuran (untuk media siar), aturan pajak untuk media dan lain sebagainya. Instrumen dari kedua jenis politik media ini hadir dalam wujud tatanan politik, infrastruktur politik, media dan organisasi politik, serta penempatan personalia dalam komisi ataupun organisasi yang terkait dengan televisi publik”.
Konsep politik media sebagai kebijakan negara sangat berkaitan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah penataan media, yang pada akhirnya menentukan orientasi makro arah kebijakan media. Gerhard Vowe, “merumuskan 3 horizon nilai yang dominan dalam penataan media 38 antara lain pertama, Nilai Keamanan (Security), politik media seharusnya mampu menjamin terciptanya rasa aman dalam masyarakat, melindungi masyarakat dari bahaya yang mengancam sebagai akibat adanya keterbukaan dan kebebasan penyampaian informasi melalui media massa. Hal ini banyak dipraktikkan oleh negara-negara yang menggunakan tradisi etatisme dan korporatisme (contoh: Jerman, Austria). Kedua, Nilai Kebebasan (Freedom), politik media seharusnya menjamin terwujudnya media massa sebagai sebuah arena publik yang dapat digunakan oleh seluruh kelompok-kelompok dalam masyarakat dalam menyampaikan ide dan pemikiran mereka yang berkait dengan kepentingan publik. Hal ini banyak dipraktikkan oleh negara-negara Anglo Saxon (contoh: Amerika, Kanada, Australia dan Inggris). Dan ketiga, Nilai Keadilan (Equality), politik media seharusnya memberikan pengaruh kepada seluruh kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat secara optimal, media diharapkan dapat memperkecil kesenjangan yang terjadi dalam masyarakat. Hai ini banyak dipraktikkan oleh negara-negara Skandinavia”.
Lebih lanjut Vowe merumuskan adanya relasi yang saling tarik menarik di antara ketiga nilai tersebut. Hal ini digambarkannya dalam relasi segitiga sama sisi, seperti yang tampak dalam gambar berikut: 37
Ibid. Vowe, Gerhard. 1999. Medienpolitik zwischen Freiheit, Gleichheit und Sicherheit dalam Publizistik, Vierteljahreshefte für Kommunikationsforschung. Ibid. hal. 16. 38
26
Security
Freedom
Equality
Dalam model tersebut, terkandung beberapa proposisi, diantaranya: a. Jika media politik didominasi oleh salah satu nilai saja, maka pada saat yang sama dua nilai yang lain akan terminimalisasikan. b. Korelasi positif: jika A dominan, maka dominan pula B dan/atau C. Kecenderungan pada nilai kebebasan misalnya, akan diikuti pula kecenderungan meningkatnya nilai keadilan dan nilai keamanan. Demikian pula jika A lemah maka nilai lain B dan/atau C melemah. c. Korelasi nol: jika A dominan, tetapi nilai B dan/atau C tetap (tidak terpengaruh). Misalnya kecenderungan pada nilai keadilan, tetapi tidak mempengaruhi pada dua nilai lainnya. 1.4.2.2 Politik Media sebagai Sistem Jaringan Perilaku Antar Aktor Dalam konsep ini, politik media terkait erat dengan media massa sebagai arena yang di dalamnya bertemu berbagai kepentingan aktor baik ekonomi dan politik. Menyebut beberapa di antaranya penyelenggara media penyiaran, percetakan, aktor dari sistem intermediary (yang terdiri dari kelompok agama, perserikatan, dan asosiasi-asosiasi dalam masyarakat). Aktor-aktor yang relevan dari jaringan kerja yang sama akan berusaha sekuat tenaga dengan berbagai cara untuk mempengaruhi khalayak untuk menggolkan wacana utama yang mampu mewakili berbagai kepentingan mereka. Secara umum, politik media dalam konteks ini dipahami sebagai jaringan hubungan antara aktor politik ataupun ekonomi, yang berkepentingan terhadap proses pengembangan wacana dalam sebuah tema tertentu. Artinya masing-
27
masing aktor akan saling terkait dalam sebuah korporasi tindakan yang relevan satu dengan yang lainnya. 1.4.2.3 Politik Media sebagai Arena Konvergensi Ekonomi-Politik Politik media sebagai arena konvergensi ekonomi-politik, merupakan sebuah tesis bahwa media massa tidak lagi dapat dipandang sebagai sebuah bidang yang berdiri sendiri. Melainkan berkembang bersama bidang yang lain. Perubahan pada bidang tertentu, misalnya perubahan pada bidang teknologi ataupun ekonomi sangat berkaitan dengan bidang kebijakan media. Dalam tingkat praksis hal ini terkait erat dengan masalah distribusi siaran, ataupun pengaturan telekomunikasi. Pendekatan ekonomi politik memfokuskan perhatian pada kajian utama tentang hubungan antara struktur ekonomi-politik, dinamika industri media dan ideologi media itu sendiri. Perspektif ini melihat persoalan ekonomi berada dalam hubungan dengan kehidupan politik, sosial dan budaya serta memberikan penekanan pada relasi sosial (social relation) dan kekuasaan (power). Hal ini mengarahkan perhatian pada analisis empiris dari struktur kepemilikan dan kontrol media, serta cara kekuatan pasar media bekerja. Dari titik pandang ini, institusi media massa dianggap sebagai sistem ekonomi yang berhubungan erat dengan sistem politik, sehingga dalam level praksisnya kepentingan ekonomi dan kepentingan politik media tidak dapat dipisahkan, karena
setiap
media dipastikan akan membutuhkan keuntungan untuk
kelangsungan hidup media tersebut (kepentingan ekonomi).
28
Bagan I.1 Kerangka Berpikir
Faktor Internal; Ideologis, Media Routine, Redaktur, Wartawan
Peristiwa/Isu Politik (1)
Proses Produksi/Reproduksi Wacana (2)
Power Relations
Kandidat Darmawan
Media (3)
Faktor Eksternal; Pasar, Kenyataan Politik, Para Kandidat
1. Redaktur 2. Wartawan
Kandidat Marsel Djafar
29
Continuitas
Wacana Tambang Pasir Besi Sebagai Output (4)
Discontinuitas
1.5
Metodologi Penelitian
1.5.1 Jenis Penelitian Riset ini bersifat kualitatif yaitu suatu upaya untuk memelihara bentuk dan isi tingkah laku manusia serta untuk menguraikan kualitasnya 39, strategi risetnya menggunakan metode analisis wacana kritis/CDA (Critical Discourse Analysis) dengan paradigma kritikal sebagai pendekatan metodologisnya. Fokusnya diarahkan untuk mengetahui bagaimana cara aktor-aktor politik tersebut menanamkan kepentingannya kepada media sehingga mempengaruhi proses produksi atau reproduksi wacana, dinamika apa yang terjadi dalam ruang redaksi terkait produksi berita antara wartawan dan redaksi serta pola hubungan kekuasaan yang tercipta di dalamnya. Dengan demikian riset ini bukan saja akan menyelami isi teks berita tentang para kandidat (cabub/wabup) pada masa kampanye secara apa adanya, tetapi bagaimana melihat secara kritis pada flores pos dan expo ntt terkait dengan proses produksi wacana tambang pasir besi dengan mempertimbangkan faktor internal dan eksternal kedua media tersebut. Metode CDA ini lebih menekankan aspek pendalaman penggunaan bahasa daripada sekedar membahas proporsi penggunaan bahasa dalam suatu teks atau wacana. Terdapat beberapa model yang sering digunakan dalam analisis wacana kritis, namun disini penulis akan menggunakan model analisis Fairclough. Perhatikan tabel berikut 40:
39
Lindlof, Thomas R. “Qualitative Communication Research Methods”. (Thousand Oaks: sage Publication, 1995), hal. 21. 40 Lihat Eriyanto, 2001. Hal 344.
30
Model Roger Fowler
Mikro (teks)
Meso
Makro (sosial)
v
v
Theo V. Leeuwen
v
V
Sarah Mills
v
V
Teun A. Van Dijk
v
v
V
Norman Fairclough
v
v
V
Robert Hodge Gunther Kress Tony Trew
Dari bagan diatas, dapat dicermati bahwa model analisis Teun A. Van Dijk dan Norman Fairclough lebih menekankan pada kajian praktik media dengan mengulas suatu wacana secara komprehensif. Sementara itu, analisis model Van Dijk berbeda dengan Fairclough, dimana Van Dijk justru ingin membongkar bagaimana kesadaran mental pembuat berita dan struktur sosial media yang melahirkan teks, sedangkan Fairclough lebih menekankan pada kajian praktik media yang menyertakan kepentingan ekonomi dan politik pengelola media 41. Pilihan terhadap metode Critical Discourse Analysis (CDA) tidak dipahami sebatas studi bahasa saja, tetapi karena analisis wacana kritis menyediakan teori dan metode yang bisa digunakan untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial
41
Lihat Ibid. hal. 346.
31
dalam domain-domain sosial yang berbeda42. Yang pada akhirnya memang analisis wacana menggunakan bahasa dalam bentuk teks untuk dianalisis, namun bahasa yang dianalisis bukan dalam pengertian linguistik tradisional 43, tetapi juga terkait konteks. Selanjutnya konteks dipahami sebagai tujuan dan praktik kekuasaan. Menurut Dedy N. Hidayat, “CDA merupakan tipe wacana yang terutama sekali mempelajari bagaimana kekuasaan disalahgunakan, atau bagaimana dominasi serta ketidakadilan dijalankan dan diproduksi melalui teks dalam sebuah konteks sosial politik. Sebenarnya ada upaya untuk mengembalikan studistudi budaya (cultural studies yang dikembangkan di inggris) ke akar-akar tradisinya sebagai studi kritis (critical studies)”.
Di awal dekade 1980-an, studi-studi budaya memang semakin berpaling dari tradisi teori-teori kritis. Konteks ideologi serta dinamika ekonomi-politik sistem produksi semakin lenyap tertelan interogasi teks yang sedemikian intens yang dilakukan para praktisi analisis wacana. Lenyap pula konteks politik makro dari analisis wacana yang mereka lakukan. Kalaupun dipersoalkan dalam analisis mereka, maka itu umumnya hanya dalam konteks mikro dan lokal sifatnya 44.
42
Analisis ini merupakan salah satu pendekatan dalam menganalisis wacana. Menurut AS Hikam, secara garis besar analisis wacana terbagi dalam tiga bagian, pertama, positivisme empiris, aliran ini beranggapan bahasa adalah jembatan manusia dengan obyek di luar dirinya. Analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan dan kalimat menurut pengertian bersama. Kedua, konstruktivisme yang berpendapat subyek berperan sentral dalam pembentukan wacana dan hubungan sosial lainnya. Ketiga, pandangan berusaha mengkaitkan hubungan kekuasaan di balik produksi dan reproduksi makna. Pandangan ini menempatkan wacana tidak dapat dipisahkan dari praktik sosial. Mohammad AS Hikam, ”Bahasa dan Politik: Penghampiran Discurcive Practice” dalam Yudi Latif dan Idi Subandi Ibrahim (ed), Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana di Balik Panggung Orde Baru, Bandung, Mizan, 1996. 43 Lihat Ibid. hal. 7. 44 Lihat Eriyanto, Analisis Wacana, Lkis, 2001. hal. vii-xiv.
32
1.5.2 Objek Penelitian Obyek penelitian diambil sampel teks berita tentang wacana tambang pasir besi yang diterbitkan selama masa kampanye oleh Harian Flores Pos dan Mingguan Expo Ntt. Kedua media dimaksud menarik untuk diteliti karena masing-masing memiliki karakteristik yang khas, baik dari segi kepemilikan (media ownership) maupun dari aspek produksi jurnalistiknya (media contents). Kandidat bupati/wabup yang akan diteliti akan dibatasi pada dua kandidat, yakni pasangan Don Bosco M. Wangge/Dominikus M. Mere (Paket Darmawan) dan pasangan Marselinus Y.W Petu/Djafar Achmad (Paket MD). Alasannya, pertama: bahwa para cabup untuk kedua paket tersebut merupakan rival politik pada pilkada periode sebelumnya dan diklaim memiliki basis masa dan pengaruh kuat secara sosiocultural (representation by etnic and religion). Kedua, saat ini masing-masing masih menjabat sebagai bupati dan ketua dprd kab.ende yang secara realita dalam pelaksanaan tugas kepemerintahan sering bersitegang/tidak cocok terutama dalam kaitannya dengan kebijakan tambang pasir besi. Untuk waktu pemberitaanya dibatasi hanya pada saat masa kampanye berlangsung. Alasannya, pada tenggang waktu tersebut pemberitaan terhadap para kandidat terkait wacana tambang pasir besi mengalami proses anti klimaks menuju klimaks, terjadi kontestasi wacana yang berimplikasi pada political branding masing-masing kandidat dengan pola relasi yang melibatkan banyak aktor termasuk di dalamnya adalah peran media lokal.
33
1.5.3 Teknik Analisis Data Strategi risetnya, menggunakan CDA model Fairclough45. Melihat wacana sebagai sebuah praktik sosial, lebih daripada aktifitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu. Hal ini mengandung implikasi46 pertama, karena wacana sebagai bentuk dari tindakan, maka seseorang menggunakan bahasa sebagai tindakan pada dunia dan bentuk representasi ketika melihat dunia/realitas. Kedua, model ini mengimplikasikan adanya hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial. Disini wacana terbagi oleh struktur sosial, kelas dan relasi sosial lain yang dihubungkan dengan relasi spesifik dari institusi tertentu seperti pada hukum, pendidikan, sistem atau klasifikasi. Fairclough47 membagi analisis wacana dalam tiga dimensi: teks, discourse practice dan sosiocultural practice. Teks dianalisis secara linguistic, dengan melihat kosakata, semantik dan tata kalimat. Ia juga memasukkan unsur koherensi dan kohesivitas, bagaimana antar kalimat digabung sehingga membentuk pengertian. Semua elemen yang dianalisis dipakai untuk melihat tiga hal berikut: pertama, ide rasional yang merujuk pada representasi tertentu yang ingin ditampilkan dalam teks, bisa jadi membawa muatan ideologis tertentu. Kedua, relasi, analisis diarahkan pada bagaimana konstruksi hubungan wartawan dengan pembaca. Bagaimana sebuah teks disampaikan secara informal atau formal, terbuka atau tertutup. Ketiga, identitas yang merujuk pada konstruksi tertentu dari identitas wartawan dan pembaca, serta bagaimana persoalan dan identitas ini hendak ditampilkan dalam teks. 45
Ibid. Fairclough, Norman. Discourse and Social Change. hal, 63-64. Ibid. 47 Eriyanto. Op.Cit. 46
34
Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Sebuah teks berita pada dasarnya dihasilkan lewat proses produksi teks yang berbeda, sebagaimana pola kerja, bagan kerja dan rutinitas dalam menghasilkan berita. Teks berita diproduksi dengan cara yang spesifik dengan rutinitas dan pola kerja yang telah terstruktur dimana laporan wartawan di lapangan, atau dari sumber berita akan ditulis oleh editor dan sebagainya. Media yang satu mempunyai pola kerja dan kebiasaan yang berbeda dibandingkan dengan yang lain. Produksi teks berita semacam ini berbeda dengan ketika seorang penyair menghasilkan teks puisi, yang umumnya dihasilkan oleh teks secara personal. Proses konsumsi teks bisa jadi juga berbeda dalam konteks sosial yang berbeda pula. Konsumsi juga bisa dihasilkan secara personal ketika seseorang mengkonsumsi teks (seperti ketika menikmati puisi) atau secara kolektif (peraturan perundang-undangan dan sebagainya). Sementara dalam distribusi teks tergantung pada pola, jenis teks dan bagaimana sifat institusi yang melekat dalam teks tersebut. Pemimpin politik (bupati), misalnya dapat mendistribusikan teks tersebut dengan mengundang wartawan dan melakukan konferensi pers untuk disebarluaskan ke khalayak. Hal berbeda mungkin dilakukan oleh kelompok pengrajin dan petani dalam mengorganisir pesan untuk disampaikan pada khalayak. Sedang sosiocultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks. Konteks disini memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi, lebih luas adalah konteks masyarakat, budaya dan politik tertentu.
35
Misalnya, politik media, ekonomi media atau budaya media yang berpengaruh terhadap berita yang dihasilkannya. Ketiga dimensi dimaksud dapat digambarkan dalam kerangka analisis wacana Fairclough48 sebagai berikut:
Process of Production
Description(text analysis)
Text
Interpretation (processing analysis) Process of Interpretation Discourse Practical
Explanation analysis)
(social
Sociocultural Practice
Sebelum dimensi tersebut dianalisis, kita perlu melihat praktik diskursif dari komunitas pemakai bahasa yang disebut sebagai order of discourse. Adalah hubungan di antara tipe yang berbeda, seperti tipe diskursif, ruang kelas dan kerja, semuanya memberikan batas-batas bagaimana teks diproduksi dan dikonsumsi. Pemakaian bahasa menyesuaikan dengan praktik diskursif di tempat dimana ia berada, ia tidak bebas memakai bahasa. Ketika menganalisis teks berita dilihat dulu order of discourse dari berita tersebut: apakah berita tersebut berbentuk
48
Dikutip oleh Ibnu Hamad dalam Fairclough, Norman. Critical Discourse Analysis: the Critical Study of Language (London-New York: Longman, 1997), hal. 98. Dalam bukunya yang lain, Media Discourse (1995:hal.59), Fairclough menyebut “process of production: dengan “text production” dan “process of interpretation” dengan “text consumtion”.
36
hardnews, feature, article atau editorial. Hal ini akan membantu penulis untuk memaknai teks, proses produksi dan konteks sosial dari teks yang dihasilkan49. Berikut ketiga tahapan analisis menurut Fairclough50: Tingkatan Text Discourse Practice (news room) Sociocultural Practice
Level Mikro Analysis Meso Analysis Makro Analysis
Metode Critical Linguistic Dept Interview Literatur Study, penelusuran
Ada tiga tahapan yang akan digunakan51: 1.
Teks52
Fairclough melihat teks dalam berbagai tingkatan. Sebuah teks bukan hanya menampilkan bagaimana suatu obyek digambarkan tetapi juga bagaimana hubungan antar obyek didefinisikan. Setiap teks pada dasarnya dapat diuraikan dan dianalisis dalam ketiga unsur seperti yang tertuang dalam tabel berikut: Unsur Representasi
Yang Ingin Dilihat Bagaimana peristiwa, orang, kelompok, situasi, keadaan atau apapun ditampilkan dan digambarkan dalam teks
49
Ibid. bentuk dari order of discourse ini dalam teks berita ada beberapa macam seperti artikel, editorial, hardnews dan feature. Bagaimana berita dihasilkan tentu saja umumnya berbeda dengan pembuatan editional. 50 Ibid. hal. 47. 51 Diambil dari Norman Fairclough, “Introduction”, dalam Norman Fairclough (ed), Critical Language Awarenes, New York, Longman. 1992, hal.12; lihat juga pembahasan yang lebih detail mengenai model dan tingkat analisis ini dalam tulisan Norman Fairclough, “Change and Hegemony”, dalam Critical Discourse Analysis, London, Longman. 1998, hal. 91-111. 52 Disarikan dari tulisan Norman Fairclough, “Media Discourse”, London, Edward Arnold. 1995, terutama hal. 103-149; Norman Fairclough, “Discourse and Text”: Linguistic and Intertextual Analysis Within Discourse Analysis” dalam Discourse Analysis, London and New York, Longman. 1998, hal. 187-214; Norman Fairclough, “Discourse and Social Change”, Cambridge: Polity Press. 1992, hal. 169-199.
37
Relasi
Bagaimana hubungan antara wartawan, khalayak dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks
Identitas
Bagaimana identitas wartawan, khalayak dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks
Ketiga unsur diatas akan dianalisis dalam lima tahapan: 1.
Representasi Dalam Anak Kalimat Aspek ini berhubungan dengan bagaimana seseorang, kelompok, peristiwa dan kegiatan ditampilkan dalam teks dalam hal ini terkait bahasa yang dipakai. Ketika sesuatu tersebut ditampilkan, pada dasarnya pemakai bahasa dihadapkan pada paling tidak dua pilihan, pertama, pada tingkat kosakata (vocabulary): kosakata apa yang dipakai untuk menampilkan dan menggambarkan sesuatu, yang menunjukkan bagaimana sesuatu tersebut dimasukkan dalam satu set kategori. Kedua, pilihan yang didasarkan pada tingkat tata bahasa (grammar). Yang mau dilihat disini perbedaan diantara tindakan (dengan aktor sebagai penyebab) dan sebuah peristiwa (tanpa aktor sebagai penyebab atau pelaku)53.
2.
Representasi Dalam Kombinasi Anak Kalimat Antara satu anak kalimat dengan anak kalimat yang lain dapat digabungkan sehingga membentuk suatu pengertian yang dapat dimaknai. Pada dasarnya realitas terbentuk lewat bahasa dengan gabungan antara satu anak kalimat dengan anak kalimat lainnya. Gabungan ini akan membentuk koherensi lokal, yakni pengertian yang diperoleh dari gabungan anak kalimat satu dengan yang lainnya, sehingga kalimat itu
53
Lihat Eriyanto. Op.Cit. hal. 290-291.
38
mempunyai arti54.Koherensi ini pada titik tertentu menunjukkan ideologi dari pemakai bahasa. Kohesi antara anak kalimat ini mempunyai beberapa bentuk, pertama, anak kalimat yang satu menjadi penjelas dari anak kalimat yang lain. Anak kalimat kedua ini mempunyai fungsi memperinci atau menguraikan anak kalimat yang telah ditampilkan pertama. Kedua, perpanjangan, dimana anak kalimat satu merupakan perpanjangan anak kalimat lain. Fungsinya disini anak kalimat kedua adalah kelanjutan dari anak kalimat pertama. Ketiga, mempertinggi, dimana anak kalimat yang satu posisinya lebih besar dari anak kalimat yang lainnya. 3.
Representasi Dalam Rangkaian Antar Kalimat Kalau aspek kedua berhubungan dengan bagaimana dua anak kalimat digabung, maka aspek yang ketiga ini berhubungan dengan bagaimana dua kalimat atau lebih disusun dan dirangkai. Representasi ini berhubungan dengan bagaimana dalam kalimat yang lebih menonjol dibandingkan dengan bagian yang lain. Salah satu aspek yang penting adalah apakah partisipan dianggap mandiri ataukah ditampilkan memberikan reaksi dalam teks berita55.
4.
Relasi Kalau representasi berhubungan dengan pertanyaan bagaimana seseorang, kelompok, kegiatan, tindakan, keadaan atau sesuatu ditampilkan dalam teks, maka relasi berhubungan dengan bagaimana partisipan dalam media
54 55
Ibid. hal. 294-295. Ibid. hal. 296-299.
39
berhubungan dan ditampilkan dalam teks. Media disini dipandang sebagai sebuah arena sosial, dimana semua kelompok, golongan dan khalayak yang ada dalam masyarakat saling berhubungan dan menyampaikan versi pendapat dan gagasan. Paling tidak, menurut Fairclough ada tiga kategori partisipan utama dalam media: wartawan (reporter, redaktur, pembaca berita untuk televisi dan radio), khalayak media dan partisipan publik (politisi, pengusaha, tokoh masyarakat, artis, ulama, ilmuwan dan sebagainya). Titik perhatian dari analisis hubungan, bukan pada bagaimana partisipasi publik tadi ditampilkan dalam media (representasi), tetapi bagaimana pola hubungan di antara ketiga aktor tadi ditampilkan dalam teks56. 5.
Identitas Aspek identitas digunakan untuk melihat bagaimana identitas wartawan ditampilkan dan dikonstruksi dalam teks pemberitaan. Yang menarik disini, bagaimana wartawan menempatkan dan mengidentifikasi dirinya dengan masalah atau kelompok sosial yang terlibat: ia mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari kelompok mana? Apakah wartawan ingin mengidentifikasi dirinya bagian dari khalayak ataukah menampilkan dan mengidentifikasi dirinya secara mandiri? 57.
6.
Intertekstualitas Salah satu gagasan penting dari analisis Fairclough adalah mengenai intertekstualitas, yang dikembangkan dari pemikiran Julia Kristeva dan
56 57
Ibid. hal. 300-301. Ibid. hal. 303-304.
40
Michael Bakhin. Intertekstualitas adalah sebuah istilah dimana teks dan ungkapan dibentuk oleh teks yang datang sebelumnya, saling menanggapi dan salah satu bagian dari teks tersebut mengantisipasi lainnya. Dalam pengertian Bakhin, seperti diikuti Fairclough, semua ungkapan baik tertulis maupun lisan, dari semua jenis teks seperti laporan ilmiah, novel dan berita dibedakan di antaranya oleh perubahan dari pembicara (atau penulis) dan ditujukan dengan pembicara atau penulis sebelumnya (baik itu laporan ilmiah atau novel) 58. 2.
Discourse Practice Memusatkan perhatian pada bagaimana produksi dan konsumsi teks. Teks
terbentuk melalui suatu praktik diskursus, yang akan menentukan bagaimana teks tersebut diproduksi. Teks berita melibatkan praktik diskursus yang rumit dan kompleks. Praktik wacana inilah yang menentukan bagaimana teks tersebut terbentuk. Dalam pandangan Fairclough, terdapat dua sisi dari praktik diskursus tersebut, yakni produksi teks (di pihak media) dan konsumsi teks (di pihak khalayak) 59. Faktor pertama dari pembentukan wacana ini adalah individu dari sang jurnalis tersebut, latar belakang pendidikan, perkembangan profesional, orientasi politik dan ekonomi para pengelolanya dan ketrampilan mereka dalam memberitakan secara akurat. Begitu juga dengan produksi teks yang berhubungan dengan bagaimana pola dan rutinitas (media routine) pembentukan berita di meja
58
Ibid. hal. 305-324. Lebih lanjut dapat dilihat dibukunya Norman Fairclough dan Eriyanto. Analisis Wacana, Lkis, Yogyakarta. 2001. Namun baik dibukunya Eriyanto maupun Norman Fairclough tidak dijelaskan lebih lanjut tentang Discourse Practice secara detail. 59
41
redaksi. Proses ini melibatkan banyak tahapan dan banyak orang serta banyak tahapan dari wartawan di lapangan, redaktur, editor bahasa sampai bagian pemasaran. Jadi discourse analisis ini banyak dipengaruhi oleh wartawan itu sendiri sehingga perlu adanya wawancara yang mendalam terhadap pembuat teks berita. 3.
Sociocultural Practice Analisis ini didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada di luar
media mempengaruhi bagaimana wacana yang muncul dalam media. Ruang redaksi atau wartawan bukanlah bidang atau kotak kosong yang steril, tetapi sangat ditentukan faktor di luar dirinya 60. Sociocultural practice ini memang tidak berhubungan langsung dengan produksi teks, tetapi ia menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Fairclough membuat tiga level analisis pada sociocultural practice, yang meliputi level situational, institutional dan social, berikut uraiannya61: 1.
Situational
Konteks sosial, bagaimana teks itu di produksi diantaranya memperhatikan aspek situasional ketika teks tersebut di produksi. Teks dihasilkan dalam suatu kondisi atau suasana yang khas/unik, sehingga satu teks bisa jadi berbeda dengan teks yang lain. Kalau wacana dipahami sebagai suatu tindakan, maka tindakan itu sesungguhnya adalah upaya untuk merespons situasi dan konteks sosial tertentu.
60
Lebih lanjut lihat, Eriyanto. Op.Cit. Didasarkan dari: Norman Fairclough, Political Discourse in the Media: An Analytical Framework, dalam Alan Bell dan Peter Garrett (ed), “Approachhes to Media Discourse”, Oxford, Blackwell Publishers. 1998, hal. 142-162; Norman Fairclough, Media Discourse. hal. 35-52. 61
42
2.
Institutional
Level institusional melihat bagaimana pengaruh institusional organisasi dalam praktik produksi wacana. Institusi ini bisa berasal dalam diri media sendiri, bisa juga kekuatan-kekuatan eksternal di luar media yang menentukan proses produksi berita. Faktor institusi yang penting adalah yang berhubungan dengan ekonomi media. Produksi berita di media kini tidak mungkin bisa dilepaskan dari pengaruh ekonomi media yang sedikit banyak bisa berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam pemberitaan. Selain ekonomi media, faktor institusi lain yang juga berpengaruh adalah politik. Pertama, institusi politik yang mempengaruhi kehidupan dan kebijakan yang dilakukan oleh media. Kedua, institusi politik dalam arti bagaimana media digunakan oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam masyarakat. Media massa bisa menjadi kekuatan yang dominan yang ada dalam masyarakat untuk merendahkan dan memarginalkan kelompok lain, dengan menggunakan kekuatan media. Bentuk ekstrim dari elemen ini adalah suatu bentuk dalam mendukung salah satu kekuatan politik tertentu dan menggunakan media sebagai alat politiknya. 3.
Social
Faktor sosial sangat berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam pemberitaan. Bahkan Fairclough menegaskan bahwa wacana yang muncul dalam media ditentukan oleh perubahan masyarakat. Dalam level sosial budaya masyarakat misalnya, turut menentukan perkembangan dari
43
wacana media. Kalau aspek situasional lebih mengarah pada waktu atau suasana yang mikro (konteks peristiwa saat teks berita dibuat), aspek sosial lebih melihat pada konteks makro seperti sistem politik, sistem ekonomi atau sistem budaya masyarakat secara keseluruhan. Sistem ini menentukan siapa yang berkuasa, nilai-nilai yang dominan dalam masyarakat.
Bagaimana
nilai dan kelompok
yang
berkuasa
itu
mempengaruhi dan menentukan media. Teks berita yang dibuat wartawan dari sistem politik otoriter tentu saja berbeda dengan teks dari wartawan yang dihasilkan dalam sistem politik liberal. Teks berita yang dihasilkan dalam sistem ekonomi kapitalisme yang ditandai dengan persaingan dan perebutan modal tentu saja akan berbeda dengan teks berita dalam sistem ekonomi sosialisme. 1.5.4 Teknik Pengumpulan Data Karena penelitian ini menggunakan pendekatan Norman Fairclough, maka langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan melewati beberapa tahapan. 1.
Analisis Text Tahapan pertama yang dilakukan adalah mengumpulkan data yang
dilakukan dengan menginventarisir berita-berita tentang dua kandidat tersebut di flores pos dan expo ntt dalam timeline selama masa kampanye. Teks tersebut kemudian akan dikelompokkan dalam beberapa kategori, dan selanjutnya akan dilakukan analisis teks. Teks disini juga akan dianalisis secara linguistic, dengan melihat kosakata, semantik dan tata kalimat.
44
2.
Analisis Discourse Practice Tahapan kedua merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses
produksi dan konsumsi teks pada media dengan menggunakan wawancara yang mendalam (deep interview) terhadap pembuat berita. Disini peneliti akan memaparkan hasil wawancara maupun studi lapangan terkait media yang diteliti. 3.
Analisis Sociocultural Discourse Tahapan ketiga didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada di
luar media mempengaruhi bagaimana wacana yang muncul. Dengan demikian studi literatur atau studi pustaka terhadap media akan dilakukan di level ini. 1.5.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang akan dilakukan penulis adalah sebagai berikut: BAB I terdiri dari latar belakang, rumusan masalah dan tujuan penelitian, studi literatur, landasan teori dan metodologi penelitian. Pada bab ini berisi landasan pemikiran tesis dan operasional kerja tesis. Tujuannya untuk memberikan pemahaman kepada pembaca tentang persoalan mendasar penelitian ini, termasuk didalamnya mengapa masalah penelitian ini menjadi penting untuk dikaji dalam konteks sekarang. BAB II akan memetakan konteks penelitian, fokus pembahasan dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu pertama, menguraikan tentang profil media lokal yang diteliti (flores pos dan expo ntt), kedua, konteks Pilkada yang terjadi dan ketiga, bagaimana isu tambang pasir besi menjadi sorotan publik dan turut mewarnai dinamika pilkada. Tujuannya untuk memberikan pemahaman mengenai setting
45
berlangsungnya praktik kekuasaan yang bekerja melalui produksi wacana (pengetahuan) selama masa kampanye putaran Pilkada di Ende. BAB III merupakan respon terhadap konteks penelitian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Fokus uraian diarahkan kepada bagaimana wacana tambang pasir besi yang mulai dimainkan pada saat menjelang proses Pilkada
terutama
selama
masa
kampanye.
Tujuannya
adalah
ingin
mengidentifikasi, memetakan posisi dan keterlibatan para aktor politik, kepentingan apa yang diwakilinya serta melihat pola relasi kuasa yang tercipta dalam praktik pemberitaan tersebut. BAB IV akan dijelaskan secara gamblang tentang konstruksi dua kandidat oleh flores pos dan expo ntt berdasarkan klasifikasi isu tambang pasir besi. Dalam analisisnya akan disertakan dengan konstruksi dari beberapa aktor lain yang masuk dalam pemberitaan pada kedua media tersebut. Penerapan CDA sebagai strategi riset secara utuh akan dilakukan disini, dengan menganalisis isi/content lewat
linguistic
process
terlebih
dahulu
kemudian dilanjutkan dengan
menganalisis konteks. Tujuannya, yakni ingin membongkar what behind the text dengan menempatkan bahasa (representasi pengetahuan) sebagai praktik kekuasaan yang diwujudkan dalam proses produksi wacana tambang pasir besi selama masa kampanye. BAB V sebagai bagian terakhir terdiri atas refleksi dan rekomendasi secara teoritis dan praktis terkait dengan fenomena yang terjadi sekaligus kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan penelitian.
46