1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bahan herbal telah lama dikenal luas dan dimanfaatkan oleh masyarakat dunia dalam bidang kesehatan serta kecantikan. Obat-obatan herbal yang digunakan mengandung komposisi bahan aktif tertentu dari suatu tanaman ataupun bagian dari tanaman tersebut (Choundhary and Sekhon, 2011). Komponen penyusun tanaman obat tidak memiliki jumlah kandungan yang tetap, hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan serta faktor genetik (Kunle et al., 2012). Oleh karena itu, maka setiap tanaman herbal perlu dilakukan standarisasi guna menjaga kualitas dari obat herbal yang akan dihasilkan. Pegagan (Centella asiatica) merupakan salah satu jenis tanaman herbal yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai ramuan tanaman obat serta jamu (Bermawie et al., 2008). Pegagan memiliki banyak manfaat yang telah diketahui yaitu sebagai antibakteri (anti jerawat), antiinflamasi, antioksidan, antijamur, antivirus, antiprotozoa, antidiabetes, aktivitas sitotoksik, aktivitas perlindungan kulit, meningkatkan aktivitas memori, dan efek penyembuhan luka (Seevaratnam et al., 2012). Efek farmakologis pegagan sebagai anti jerawat serta antiinflamasi disebabkan oleh adanya kandungan utama dari pegagan yaitu asiatikosida
atau
metiloksan-2-il)
[6[[3,4-dihidroksi-6-(hidroksimetil)-5-(3,4,5-trihidroksi oksioksan]
oksimetil]
-3,4,5-trihidroksioksan-2-il]-10,11-
dihidroksi-9-(hidroksimetil)-1,2,6a,6b,9,12a-heksametil-2,3,4,5,6,6a,7,8,8a,10,
1
-6-
2
11,12,13,14b-tetradekahidro-1H-picene-4a-karboksilat,
madekasisoda
atau
[6[[3,4-dihidroksi -6- (hidroksimetil) -5- (3,4,5-trihidroksi -6- metiloksan-2-il) oksioksan-2] (hidroksimetil)
oksimetil]
-3,4,5-trihidroksioksan-2-il]
-8,10,11-trihidroksi-9-
-1,2,6a,6b,9,12a-heksametil-2,3,4,5,6,6a,7,8,8a,10,11,12,13,14b-
tetradekahidro-1H-picene-4a-karboksilat,asam asiatat atau asam (1S, 2R, 4aS, 6aR, 6aS,6bR,8aR,9R,10R,11R,12aR,14bS)-10,11-dihidroksi -9-(hidroksimetil) 1,2,6a,6b,9,12a-heksametil-2,3,4,5,6,6a,7,8,8a,10,11,12,13,14b-tetradekahidro1H-picene-4a-karboksilat, dan asam madekasat atau asam (1S,2R,4aS,6aR, 6aS,6bR,8aR,9R,10R,11R,12aR,14bS)-8,10,11-trihidroksi-9-(hidroksimetil)1,2,6a,6b,9,12a-heksametil-2,3,4,5,6,6a,7,8,8a,10,11,12,13,14b-tetradekahidro1H-picene-4a-karboksilat (James and Dubery, 2009). Keempat komponen utama pegagan tersebut merupakan biomarker yang digunakan dalam penentuan kualitas pegagan (Seevaratnam et al.,2012). Selain keempat komponen, pegagan juga memiliki komponen lain berupa asam indosentoat, bayogenin, asam 2α, 3β, 20, 23-tetrahidroksiurs-28-oat, asam euskapat, asam terminolat, asam 3β-6β-23-trihidroksiolean-12-en-28-oat, asam 3β-6β-23-trihidroksiurs-12en-28-oat, kadiyenol, kaempferol, kuersetin, sentelasapogenol, sentelin, asiatisin dan sentelisin (BPOM RI, 2010). Kandungan komponen aktif dalam suatu tanaman herbal dapat digunakan sebagai penentu kualitas tanaman herbal tersebut. Pemisahan dan identifikasi komponen aktif dalam tanaman herbal sangat penting dilakukan untuk menjaga kualitas tanaman herbal (Liang et al., 2004). Pemisahan bahan aktif dapat dilakukan dengan metode kromatografi, seperti high-performance liquid
3
chromatography (HPLC), gas chromatography (GC), capillary electrophoresis (CE),
serta thin layer chromatography atau kromatografi lapis tipis (KLT). Hasil
pemisahan komponen aktif dengan metode KLT memberikan suatu pola yang disebut sidik jari kromatografi. Sidik jari kromatografi dari suatu komponen merupakan suatu karakteristik kimia, sehingga dapat digunakan sebagai metode penentuan kualitas atau standarisasi suatu bahan herbal. Berdasarkan sidik jari kromatografinya, maka dapat ditentukan kesamaan atau pun perbedaan dari bahan herbal yang diidentifikasi. Namun tidak semua komponen hasil pemisahan digunakan sebagai pembanding dalam proses standarisasi, hanya beberapa komponen utama yang digunakan untuk menentukan kualitas suatu tanaman herbal (Liang et al., 2004). Pada tahun 2000 WHO telah merekomendasikan pemanfaatan sidik jari kromatografi sebagai metode dalam penentuan kualitas tanaman herbal. Selain itu, Prancis, Jerman, Inggris Raya, India, dan Chinese State Food and Drug Administration (SFDA) telah menggunakan metode sidik jari kromatografi dalam melakukan kontrol kualitas bahan herbal (Zhang et al., 2011). Berdasarkan metode kromatografi yang dapat digunakan dalam penentuan sidik jari kromatografi tanaman herbal, KLT merupakan metode yang paling efisien untuk diterapkan. Alasannya karena KLT memiliki beberapa keunggulan dalam penentuan sidik jari suatu tanaman herbal yaitu mudah dilakukan, fleksibel, proses pemisahan cepat, murah dari segi biaya, dan preparasi sampel sederhana (Mohammad et al., 2010). Dalam penerapannya, ada beberapa faktor yang susah untuk dikontrol dalam KLT meliputi penotolan sampel, kejenuhan chamber, serta
4
stabilitas warna yang dihasilkan dari pereaksi warna (Banzal, 2013). Pemisahan dengan KLT menggunakan fase diam berupa adsorben padatan dan fase gerak berupa campuran pelarut. Dalam pemisahan komponen aktif pegagan yang telah dilakukan fase diam yang digunakan berupa plat silika gel 60 F254 dan fase gerak yang digunakan dapat berupa etil asetat:metanol (3:2) (Bonfill et al., 2005), kloroform:asam asetat glasial:metanol:air (15:8:3:2) (James and Duberi, 2011), dan berdasarkan Farmakope Herbal Indonesia atau FHI (2008) digunakan nheksana:etil asetat:dietil amin (40:10:1). Hasil pemisahan dari KLT dapat diidentifikasi dengan instrumen spektrofotodensitometer, serta dapat digunakan pereaksi warna seperti reagen anisaldehid-asam sulfat (James and Duberi, 2011). Sidik jari kromatografi hasil pemisahan dengan metode KLT akan menghasilkan data yang bervariasi. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam proses pengolahan data. Sehingga diperlukan analisis secara statistik untuk membantu proses pengolahan data tersebut. Analisis multivarian berupa analisis komponen utama atau principle component analysis (PCA) dan analisis klaster hirarki atau hierarchical cluster analysis (HCA) telah banyak digunakan dalam melakukan pengolahan data sidik jari kromatografi dari bahan herbal (Bansal et al., 2014). PCA berbasis sidik jari dapat langsung mencerminkan perbedaan antar sampel, sedangkan HCA dapat mengklasifikasikan objek berdasarkan karakteristik kuantitatif mereka (Jing et al., 2011). Dalam penelitian ini dilakukan pemisahan komponen aktif pegagan meliputi asiatikosida, madekasosida, asam asiatat, dan asam madekasat dengan metode kromatografi lapis tipis-spektrofotodensitometri, selain itu dilakukan
5
penentuan pola sidik jari kromatografi dari ekstrak kasar pegagan dan dilakukan pengelompokan pegagan dari Jawa Barat, Bali, dan NTT berdasarkan kandungan komponen utamanya.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah disampaikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu : 1. Bagaimana metode standarisasi simplisia pegagan dengan menggunakan sidik jari kromatografi lapis tipis-spektrofotodensitometri? 2. Bagaimana pola sidik jari kromatografi lapis tipis-spektrofotodensitometri dari sampel pegagan yang berasal dari Jawa Barat, Bali, dan NTT?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan ini memiliki tujuan yaitu : 1. Menentukan metode standarisasi simplisia pegagan dengan menggunakan sidik jari kromatografi lapis tipis-spektrofotodensitometri. 2. Menentukan pola sidik jari kromatografi lapis tipis-spektrofotodensitometri dari sampel pegagan yang berasal dari Jawa Barat, Bali, dan NTT.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memperoleh sidik jari kromatografi dari pegagan, sehingga diperoleh suatu metode standarisasi obat herbal yang menggunakan ekstrak pegagan dengan metode kromatografi lapis tipis-spektrofotodensitometri.