BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Belajar merupakan suatu proses perubahan di dalam tingkah laku, sebagai
hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, yang terjadi dalam kepribadian setiap manusia dan ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku manusia (Hemalik, 2004). Ditinjau dari sudut pandang psikologi pendidikan, berdasarkan modifikasi definisi dari Gregory A. Kimble, maka belajar merupakan perubahan perilaku atau potensi perilaku yang relatif permanen yang berasal dari pengalaman dan tidak bisa dinisbahkan ke temporary body states (keadaan tubuh temporer) seperti keadaan yang disebabkan oleh sakit, keletihan, dan obat-obatan (Hergenhahn & Olson, 2008). Secara umum, ada banyak hal yang dapat dijadikan contoh terkait belajar. Secara formal dan akademis, belajar dikenal dengan istilah “pembelajaran”. Pembelajaran merupakan suatu proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses belajar yang baik bagi peserta didik (Hergenhahn & Olson, 2008). Setiap orang di dunia akan mengalami proses belajar maupun pembelajaran, dimana setiap proses yang dilalui juga berbeda, tergantung pada masing-masing individu. Sebuah penelitian yang dilakukan pada siswa Sekolah Dasar dan
1 Universitas Sumatera Utara
Menengah dari beberapa negara bagian di Amerika Serikat pada tahun 2000, menunjukkan sekitar 9 % dari seluruh siswa tersebut diidentifikasi mengalami hambatan perkembangan belajar. Di Indonesia sendiri, kasus ini jumlahnya lebih banyak, yaitu sekitar 10 – 15 % dari seluruh siswa Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama (Departemen Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan, 2003). Hambatan belajar yang dihadapi setiap individu juga berbeda, begitu pula dengan kemampuan masing-masing individu dalam mengatasinya. Hambatan belajar yang dihadapi individu normal pada umumnya akan dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal, misalnya lingkungan, sistem pendidikan, orang tua, guru atau teman-teman, dan faktor internal, seperti disfungsi sistem saraf pusat. Hambatan tersebut juga dapat terjadi bersamaan dengan hambatan maupun gangguan lainnya, misalnya hambatan penginderaan seperti tuna netra, tunarungu, keterbelakangan mental, hambatan sosial dan emosi – yang dikenal juga dengan istilah anak berkebutuhan khusus (Hidayat, 2009). Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang membutuhkan pendidikan dan layanan khusus untuk mengoptimalkan potensi kemanusiaannya secara utuh akibat adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan anak lainnya. Perbedaannya meliputi ciri-ciri mental, kemampuan sensorik, fisik dan neuromaskular, perilaku sosial dan emosional, kemampuan berkomunikasi, ataupun kombinasi dua atau lebih dari berbagai hal tersebut. Anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi tuna netra (gangguan penglihatan), tuna rungu (gangguan pendengaran), tuna wicara (gangguan bicara), tuna grahita (mental retardasi), tuna daksa
Universitas Sumatera Utara
(gangguan fisik), tuna laras (gangguan emosi dan perilaku) dan tuna ganda (memiliki dua atau lebih gangguan) (Hallahan & Kauffman, 1991). Semua
jenis
anak
berkebutuhan
khusus
memiliki
ciri-ciri
dan
pengklasifikasiannya masing-masing. Anak berkebutuhan khusus berbeda dengan anak-anak normal yang tidak memiliki gangguan, baik itu dari segi fisik maupun psikis. Setiap jenis anak berkebutuhan khusus juga memiliki masalah yang berbeda-beda dan dampak yang berbeda pula bagi penyandangnya. Salah satu hal yang cukup membedakan, diluar dari perbedaan dalam hal fisik adalah dalam proses belajarnya. Pada dasarnya, setiap anak berpotensi untuk mengalami gangguan dalam belajar, namun masalah tersebut ada yang ringan dan ada pula yang berat. Beberapa gangguan belajar tidak begitu memerlukan perhatian khusus dari orang lain karena dapat diatasi sendiri oleh anak yang bersangkutan. Di lain pihak ada juga yang masalah belajarnya cukup berat sehingga perlu mendapatkan perhatian dan bantuan orang lain (Suryaningsih, 2011). Individu berkebutuhan khusus tidak selalu memiliki gangguan atau kesulitan yang sangat tinggi dalam belajar. Pada saat berintegrasi dalam sistem belajar reguler bersama dengan anak sebaya lainnya yang tidak memiliki gangguan fisik maupun psikis, maka ada hal-hal tertentu yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari guru, sekolah maupun orang terdekatnya. Oleh sebab itu masing-masing jenis anak berkebutuhan khusus memiliki strategi layanan pembelajaran yang berbeda pula (Suryaningsih, 2011). Proses belajar di sekolah maupun institusi lainnya menuntut adanya kemampuan individu untuk melihat, mendengar, berbicara, merasa/meraba dan
Universitas Sumatera Utara
mencecap dalam mendukung segala aktifitasnya. Menurut Sistem Pendidikan Tinggi oleh Kementerian Pendidikan dan Budaya, contoh kegiatan mahasiswa antara lain adalah menyelesaikan 144 – 160 SKS, selama delapan sampai dua belas semester, memperhatikan ceramah atau presentasi dosen, bergabung dalam diskusi, mengerjakan tugas lisan atau tulisan, mengikuti ujian semester, mengikuti praktik dan berbagai hal lainnya. Ada beberapa kegiatan yang membutuhkan softskill mahasiswa dan yang melibatkan penggunaan media seperti proyektor, papan tulis, radio, televisi, ataupun berbagai alat teknologi lainnya. Untuk hasil yang maksimal, kelengkapan panca indera akan sangat penting, Namun dari semua indera yang ada, kemampuan untuk melihat merupakan salah satu yang paling penting. Teori Persepsi menyatakan bahwa persepsi visual merupakan topik utama dalam pembahasan persepsi secara umum, dan sekaligus merupakan persepsi yang umumnya paling sering dibicarakan dalam konteks sehari-hari. Persepsi adalah proses individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensorisnya guna memberikan arti bagi lingkungannya. Persepsi visual adalah kemampuan manusia untuk menginterpretasikan informasi yang ditangkap oleh mata. Hasil dari persepsi ini yang disebut sebagai penglihatan (eyesight, sight atau vision). Perilaku individu sendiri sering didasarkan pada persepsi individu tersebut terhadap kenyataan, bukan pada kenyataan itu sendiri (Robbins, 2003). Penyandang tuna netra merupakan salah satu anak berkebutuhan khusus yang memiliki masalah dalam penglihatan karena hilangnya fungsi indera visual orang tersebut. Untuk membantu segala kegiatan dan komunikasinya, penyandang
Universitas Sumatera Utara
tuna netra menggunakan indera non-visual lainnya yang masih berfungsi seperti indera pendengaran, perabaan, pembau dan perasa (pencecapan) (Blackhurt & Berdine, 1981; Knededler, 1984). Jumlah penderita anak berkebutuhan khusus di Indonesia oleh WHO (World Health Centre) pada tahun 2007 diperkirakan berkisar 7%, yang berarti sekitar enam juta dari seluruh penduduk Indonesia menderita cacat, dengan usia 0-18 tahun. Menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003 jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7% dari jumlah penduduk, atau sekitar 1,5 juta jiwa, dan hanya 14.4% saja yang tercatat terdaftar di Sekolah Luar Biasa (SLB). Menurut laporan dari Departemen Kesehatan Indonesia, pada tahun 2000, populasi tunanetra di Indonesia mencapai 1,5% dari jumlah penduduk. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 2000, tercatat jumlah anak tuna netra usia sekolah yang bersekolah hanya sekitar 0,87%. Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor-faktor tertentu yang membuat tunanetra mengalami kesulitan atau tidak mampu untuk mengikuti proses belajar, selayaknya anak-anak pada umumnya. Lowenfeld (dalam Friend, 2005) menggambarkan dampak kebutaan (totally blind) atau kurang lihat (low vision) terhadap perkembangan kognitif, dengan mengidentifikasi keterbatasan yang mendasar dalam tiga area yaitu berdasarkan tingkat dan keragaman pengalaman, kemampuan untuk berpindah tempat, dan penglihatan dalam interaksi dengan lingkungan. Ketiga area tersebut sangat mempengaruhi perkembangan kognitif individu tuna netra. Disamping itu, pengenalan dan pengertian terhadap dunia luarnya juga tidak dapat diperoleh
Universitas Sumatera Utara
secara utuh. Akibatnya, perkembangan kognitif anak tuna netra cenderung terhambat terutama berkaitan dengan konsep yang abstrak karena tidak dibantu dengan pengamatan visual. Contoh yang paling mudah misalnya dalam memperlajari hal-hal seperti konsep menolong, membantu, bertoleransi, dan berbagai konsep lainnya. Selain mempengaruhi perkembangan kognitif, ketunanetraan juga berpengaruh terhadap perkembangan keterampilan akademis (Djahardja, 2008), atensi, dan mengurangi kemampuan fungsi anggota tubuh lain seperti kaki dan tangan (Sternberg, 2006). Ditinjau dari segi kecerdasan, sebagian besar tuna netra tidak dipengaruhi oleh ketunaannya, kecuali bagi yang mengalami ketunaan ganda (double handicapped), namun tuna netra mengalami kesulitan dalam pembentukan ataupun penerimaan gagasan yang bersifat abstrak (Blackhurts & Berdine, 1981; Knededler, 1984). Penelitian oleh Ishartiwi (1991) terkait dengan kesulitan penerimaan konsep abstrak tersebut, menunjukkan bahwa pemberian layanan pendidikan bagi tuna netra sangat tergantung dari kondisi berat atau ringannya kelainan yang disandang. Di sisi lain, kondisi saat terjadinya ketunanetraan juga perlu diperhatikan dalam memberikan layanan. Kebutaan yang disandang sejak lahir akan lebih sedikit memperoleh pengalaman tentang konsep dibandingkan dengan kebutaan pada masa anak, remaja dan setelah dewasa. Bagi tuna netra yang mengalami kebutaan pada masa pasca lahir, sudah menyimpan pengalaman dalam memorinya, sehingga sudah memiliki persepsi tentang berbagai konsep. Dalam kesehariannya, tuna netra banyak mendapatkan rintangan dan kesulitan dalam melakukan sesuatu. Mereka memiliki hambatan dan kelainan
Universitas Sumatera Utara
dalam kondisi fisik dan psikisnya sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perilaku dan kehidupannya. Bukan hanya aspek kognitif, namun aspek motorik, emosi dan sosialnya juga sangat dipengaruhi oleh kondisi ini (Somantri, 2006). Hambatan lainnya dalam belajar sosial biasanya berkaitan dengan ketidakmampuan individu untuk memahami perasaan orang lain dan hambatan dalam melakukan imitasi dan identifikasi perilaku, emosi dan nilai-nilai masyarakat.
Tantangan
demi
tantangan
yang
dihadapi
sedikit
banyak
mempengaruhi dalam berbagai aspek kehidupan. Ishartiwi (1991) menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran yang tepat bagi tuna netra menerapkan prinsip verbal maupun lisan, pengalaman konkrit maupun kontak langsung, dan stimulasi. Langkah dalam intervensi meliputi pemeriksaan penglihatan, assesmen kesiapan fisik, emosi, dan intelektual, dan assesmen kemampuan aktivitas sehari-hari, pelatihan orientasi mobilitas, dan latihan indera non-visual serta latihan pramembaca dan membaca Braille. Terlepas dari berat atau ringannya masalah dan hambatan yang dihadapi dalam proses belajar, hal-hal inilah yang dapat menjadi stressor bagi seseorang dalam menjalani proses belajarnya, dan berpotensi menimbulkan stress bagi mereka. Menurut Weiten (dalam Sulistyaningsih, 2009), reaksi orang berbedabeda terhadap stressor. Stress yang dialami dapat memberi pengaruh dalam tiga tingkatan yaitu respon fisiologis seperti arousal otonomik, fluktuasi hormonal, perubahan neurokimia; respon emosional, seperti jengkel, marah, cemas, takut, kesal, sedih; maupun respon perilaku, seperti upaya coping yang salah,
Universitas Sumatera Utara
menyalahkan diri sendiri, mencari bantuan, memecahkan masalah dan melepaskan emosi (Sulistyaningsih, 2009). Berdasarkan ketiga respon tersebut, maka stressor dapat memberikan outcome yang berbeda-beda bagi setiap individu. Bagi kebanyakan orang, stressor dapat menjadikan seseorang stress, depresi atau bahkan menimbulkan penderitaan atau trauma yang patologis, namun sebenarnya ada juga orang yang justru dapat bangkit dan memperjuagkan kesejahteraan (well-being) hidupnya. Para ahli telah melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa ada kekuatan-kekuatan pada diri setiap manusia yang dapat membantu dirinya melewati badai kehidupan, yang mana salah satunya disebut dengan istilah resilence (resiliensi). (Weiten, 2004) Berkaitan dengan hambatan-hambatan proses belajar yang dihadapi para anak berkebutuhan khusus, resiliensi ini sangat dibutuhkan. Resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Setiap orang pasti akan pernah mengalami kesulitan maupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan (Grotberg, 1995). Hal senada diungkapkan oleh Reivich dan Shatte (1999), bahwa resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari. Kualitas inilah yang dibutuhkan oleh setiap individu berkebutuhan khusus dalam menghadapi berbagai situasi sulit di dalam hidupnya. Berdasarkan Grotberg (1995) ada tiga kemampuan atau tiga faktor resiliensi yang membentuk resiliensi. Untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya,
Universitas Sumatera Utara
digunakan istilah “I have”. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah “I am”, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah “I can”. Masing-masing dimensi ini memiliki sumber kekuatannya masing-masing. Reivich dan Shatte (2002) juga mengemukakan adanya beberapa kemampuan yang bisa mengungkap kemampuan resiliensi pada individu yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis dan penyebab masalah, efikasi diri, dan peningkatan aspek positif. Kemampuan-kemampuan ini yang membantu seorang individu untuk mempertahankan hidupnya ketika menghadapi kesulitan, demikian pula mahasiswa yang berjuang di kampus. Pada era globalisasi ini, institusi pendidikan berupa sekolah atau perguruan tinggi banyak mendapatkan tantangan dalam hal memastikan bahwa setiap peserta didiknya mendapatkan kesuksesan dan prestasi belajar yang baik dalam masa belajarnya (Henderson, 2003). Hal ini juga berdampak pada banyaknya tuntutan yang diterima seorang siswa untuk menunjang prestasi akademiknya, sehingga stressor, hambatan dan masalah juga terlibat dalam proses belajar seseorang. Oleh sebab itu resiliensi juga diperlukan dalam bidang ini, yang disebut dengan resiliensi akademik. Resiliensi akademik berfokus pada peserta didik dan pendidik, dan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk bangkit kembali, beradaptasi dengan sangat baik melawan kesulitan (adversity), dan mampu mengembangkan kompetensi sosial, akademik, dan vocational terlepas dari banyaknya stress berat maupun
Universitas Sumatera Utara
stress ringan yang dihadapi. Dari definisi ini jelas terlihat bahwa setiap peserta didik, muda maupun tua perlu mengembangkan resiliensi (Henderson, 2003). Dalam resiliensi akademik, ada yang dikenal dengan istilah faktor resiko dan faktor protektif. Faktor resiko merupakan hal-hal yang mempengaruhi respon individu ke arah menurunnya kondisi kesehatan fisik dan mental. Faktor protektif adalah hal-hal yang dapat memperkecil dampak stres pada kesehatan fisik dan mental atau yang melindungi individu dari kemungkinan menurunnya kondisi kesehatan mental akibat stres (Sulistyaningsih, 2009). Semua faktor-faktor inilah yang dapat mempengaruhi seseorang untuk menjadi terpuruk atau malah bangkit dan menjadi lebih baik. Tuna netra yang tidak mendapatkan pendekatan pembelajaran yang tepat, memiliki kemungkinan besar menghadapi banyak kesulitan. Berbeda dengan individu yang berkesempatan bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB), individu yang hanya bersekolah di sekolah umum tidak mendapatkan fasilitas dan sistem pembelajaran yang selayaknya mereka terima. Hal serupa terjadi pula pada individu tuna netra yang beranjak remaja dan memasuki jenjang perkuliahan, dan menjadi mahasiswa. Ada banyak anggapan mengenai arti “maha” pada “mahasiswa”, namun secara umum menyiratkan bahwa seorang mahasiswa sudah berada pada tingkat yang paling tinggi, serta mengalami proses belajar yang tak henti dan terus berulang. Menurut Tarsidi (2006), agar inidividu tuna netra dapat berhasil dalam mencapai kemandirian, mereka memerlukan pendidikan yang tepat. Pembentukan konsep diri yang tepat untuk mengaktualisasikan diri dengan menggunakan
Universitas Sumatera Utara
berbagai teknik alternatif, memungkinkannya untuk melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari secara efektif dan efisien, mampu mengatasi masalahmasalah sosial, serta mampu menampilkan diri secara wajar dalam pergaulan. Berkuliah sebagai seorang tuna netra merupakan sebuah tantangan berat. Namun fakta menunjukkan bahwa ada banyak tuna netra yang justru memiliki kemampuan lebih dalam bidang yang mereka ambil. Tak sedikit pula yang bahkan sampai dikenal bangsa bahkan dunia. Sebut saja para musisi hebat, seperti Stevie Wonders, Ray Charles, dan Andrea Bocelli. Anak bangsa juga sudah banyak yang mengukir prestasi. Dalam acara televisi “Kick Andy”, pernah ditampilkan sejumlah orang tuna netra yang berhasil mencapai cita-citanya dan sukses. Mimi Mariani Lusli, kehilangan penglihatan sejak kelas 4 SD, telah menyelesaikan pendidikan S2 di Universitas Indonesia, melanjutkannya di University of Leads di Inggris, dan sekarang sedang melanjutkan kuliah kedokterannya di Faculty of Earth and Life Sciences Universities of Amsterdam di Belanda. Tak hanya itu Mimi juga aktif dalam berbagai lembaga sosial yang membantu penyandang cacat. Kisah sukses jika dimiliki Tolhas Damanik, penyandang tuna netra sejak lahir. Tolhas telah menyelesaikan gelar masternya di Universitas Ohio, Amerika Serikat dan sekarang telah kembali ke tanah air menjadi konsultan pendidikan di lembaga non-profit. Saharudin Daming, seorang yang mengalami kebutaan sejak berumur 10 tahun, menjadi penyandang tuna netra pertama yang menjadi Doktor di bidang hukum. Ramaditya Adikara, seorang blogger tuna netra yang pertama kali memiliki blog. Di blognya, (http://www.ramaditya.multiply.com) Rama menuliskan berbagai hal yang membangun dan memotivasi. Bidang musik juga
Universitas Sumatera Utara
menjadi salah satu tempat mengukir prestasi bagi dua orang penyandang tuna netra yang masih sangat muda, bernama Michael Anthony (7 tahun) dan Ade Irawan (15 tahun). Michael adalah pianis termuda tuna netra dan autis yang mampu menguasai lebih dari seratus lagu, mulai dari aliran klasik hungga pop. Sementara Ade sudah malang melintang di dunia jazz dan blues hingga ke Chicago Amerika, Serikat. Mereka ini merupakan segelintir orang yang membuktikan bahwa keterbatasan panca indera, khususnya mata, beserta dengan segala kesulitan-kesulitan hidupnya tidak lantas menjadi penghalang bagi seseorang untuk berkarya, jika mereka memiliki resiliensi yang kuat dalam menjalankan kehidupannya. Dewasa ini, sistem belajar di dunia perkuliahan sudah semakin berkembang dan dipenuhi dengan teknologi. Untuk mahasiswa pada umumnya hal ini sangat membantu, namun tidak selalu demikian dengan mahasiswa tuna netra. Pada dasarnya saja, mahasiswa tuna netra sudah memiliki kekurangan yaitu penglihatan. Media, sarana dan prasarana, serta sistem belajar yang digunakan dalam perkuliahan juga dapat semakin menambah kendala dalam proses belajarnya. Misalnya saja dalam bidang musik.
Berdasarkan penjabaran
mengenai kompetensi dasar untuk mata pelajaran musik dari Depdiknas (2003:9), sebenarnya kepekaan inderawi sangat dibutuhkan dalam proses pembelajaran musik. Tidak hanya penglihatan, namun juga pendengaran, perabaan, serta kemampuan untuk berbicara dan mengolah vokal juga sangat penting. Dalam hal ini, tuna netra memiliki keterbatasan dalam memenuhi kompetensi dasar tersebut, dimana ia tidak dapat melihat dan mengobservasi menggunakan matanya, dan
Universitas Sumatera Utara
secara tidak langsung juga tidak leluasa dan maksimal dalam menggunakan anggota tubuh lainnya dan dalam mempraktekkan penggunaan alat musik. Selain itu proses pembelajaran musik yang bersifat teoritis serta proses mengenal dan mempelajari not balok dan pembacaan partitur juga sulit. Hal ini juga sejalan dengan yang dikatakan oleh FL, mahasiswa di bidang musik (pria, 25 tahun): “Saya di kampus kan main biola. Nah kalau teman-teman saya biasanya langsung dikasih partitur, trus langsung latihan disitu. Kalau saya kan gak bisa. Jadi biasanya saya harus rekam dulu, lalu saya dengar dirumah baru pelajarin melodinya sendiri. Pas dikampus barulah belajar harmonisasinya” (Komunikasi personal, 10 November 2012) Di sisi lain,
keterbatasan tuna netra dalam penglihatan, secara tidak
langsung mengasah kepekaan indera lainnya yang berfungsi dengan baik, seperti pendengaran dan perabaan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya unsur pendengaran dan perabaan juga berperan penting dalam proses pembelajaran. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh SA, seorang mahasiswa di Fakultas Sastra Inggris (wanita, 19 tahun): “...yaa kalau mengikuti pelajaran bisa-bisa aja, karena aku suka merekam kak. Jadi ngandalin kupinglah. Aku kan kalau ngeliat gak bisa, jadi lebih banyak mendengar. Pas pakai laptop juga gitu, uda di program jadinya bunyi”. (Komunikasi personal, 15 September 2012)
Perguruan Tinggi pada umumnya tidak menyediakan secara spesifik fasilitas yang dapat mendukung proses belajar tuna netra, dimana hal ini dapat menjadi suatu rintangan untuk mereka. Bertolak dari Undang-undang 1945 pasal 31, disusun undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional atau yang dikenal dengan USPN. Dalam pasal 8 ayat (1) dinyatakan
Universitas Sumatera Utara
bahwa “Warga negara yang mempunyai kelainan fisik dan/ atau mental berhak memperoleh
pendidikan”,
dan
pada
ayat
(2)
dinyatakan
“Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dalam undang-undang. Namun kondisi yang justru terjadi di lapangan adalah mahasiswa tuna netra mengalami kesulitan karena mereka harus mengikuti kurikulum dan peraturan yang berlaku tanpa adanya bantuan atau pembimbing khusus. Hal-hal lain seperti pengerjaan tugas, ujian semester, praktik, dan sebagainya juga turut menambah kendala dalam proses belajar mereka. Mahasiswa tuna netra yang berkuliah di tempat tersebut mau tidak mau harus berhadapan dengan tekanan-tekanan tersebut, dan dapat mempengaruhi mereka secara negatif. Di lain sisi, pada kenyataannya, ada juga mahasiswa-mahasiswa tuna netra yang mampu untuk menjadi orang yang berprestasi, yang memiliki mobilitas tinggi, yang memiliki pergaulan luas, dan tidak sedikit yang memiliki segudang talenta. Seorang mahasiswa yang mampu untuk bangkit dan termotivasi menjadi lebih baik akan mampu untuk mematahkan rintangan-rintangan yang dihadapinya. Ketunanetraan yang dimiliki oleh setiap mahasiswa tuna netra tidaklah sama, sehingga proses untuk bertahan juga pasti berbeda-beda, karena kualitas resiliensi setiap orang juga berbeda (Grotberg, 1995). Resiliensi yang terbentuk pada setiap individu dipengaruhi oleh faktorfaktor eksternal dan internal yang dimiliki individu tersebut. Beberapa faktor utama yang dapat mempengaruhi resiliensi seseorang antara lain adalah keluarga dan pola asuh. Dalam mengasuh anak-anaknya, orang tua sangat dipengaruhi oleh
Universitas Sumatera Utara
budaya yang ada di lingkungannya dan juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putera-puterinya (Monks, Knoers dan Haditono, 1994). Hal ini juga tergambar dari pernyataan AS (pria, 25 tahun): “..emm kalau ditanya siapa yang paling berperan dalam membuat aku jadi kuat kek gini, yang pasti orang tuaku sama para suster dan pastur dulu waktu di asrama. Mereka semua ga memanjakan aku, atau terus-terusan membantu semua-semua, tapi aku dibantu untuk bisa mandiri dan mengerjakan apa-apa sebisa mungkin sendiri. Pada akhirnya, yang tadinya ga bisa makan sendiri, mandi sendiri ya kan jadinya bisa” (Komunikasi personal, 10 November 2012) Bentuk pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya, terkhusus dalam hal ini, individu tuna netra, sudah pasti sangat mempengaruhi kemampuan resiliensi dirinya. Seiring waktu, resiliensi juga dapat semakin terbentuk berdasarkan tahapan resiliensi, yaitu overcome, steer through, bouncing back dan reach out (Revich dan Shatte, 2002). Terkait dengan usaha mahasiswa tuna netra untuk bertahan, berkenaan dengan proses belajarnya di kampus dan juga di kehidupannya sehari-hari, mereka juga memiliki resiliensi. Resiliensi yang dimilikinya bukan hanya dipengaruhi oleh keluarga dan pola asuh orang tua, namun juga dapat dibentuk oleh faktor resiko, protektif, faktor internal maupun eksternal lainnya. Disini peneliti tertarik untuk melihat bagaimana dinamika resiliensi akademik pada proses pembelajaran mahasiswa tuna netra.
Universitas Sumatera Utara
B.
Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
gambaran resiliensi akademik pada proses pembelajaran mahasiswa tuna netra, yang mencakup: 1. Apa saja yang menjadi faktor-faktor resiko yang dimiliki oleh mahasiswa tuna netra? 2. Apa saja yang menjadi faktor-faktor protektif yang dimiliki oleh mahasiswa tuna netra? 3. Bagaimana outcome akademik mahasiswa tuna netra? C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui bagaimana resiliensi akademik pada proses pembelajaran mahasiswa tuna netra. D.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi ilmu pengetahuan di bidang Psikologi, terutama bidang Pendidikan, begitu pula dengan institusi pendidikan, terkait dengan proses pembelajaran mahasiswa tuna netra. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat:
Universitas Sumatera Utara
a. Secara umum memberi gambaran dan pengetahuan kepada seluruh masyarakat perihal resiliensi terhadap proses pembelajaran yang meliputi kegiatan akademik, pergaulan sosial, serta emosi mahasiswa tuna netra. b. Secara khusus memberi gambaran dan pengetahuan kepada seluruh mahasiswa tuna netra perihal dinamika resiliensi akademik terhadap proses pembelajaran di Perguruan Tinggi. c. Menambah wawasan baru bagi para orang tua yang memiliki anak dengan keterbatasan penglihatan, untuk kemudian dapat semakin mendorong dan meningkatkan kemampuan belajar sang anak. d. Memberi pengetahuan bagi institusi pendidikan, dalam memfasilitasi kebutuhan para tuna netra. Misalnya dengan menyediakan alat-alat bantu seperti Braille, alat perekam, dosen pembimbing khusus, ataupun alternatif-alternatif lain yang dapat lebih membantu ketertinggalan para mahasiswa tunanetra. e. Menjadi kontribusi bagi subjek penelitian dalam mendorong dan meningkatkan kemampuan resiliensi akademik para mahasiswa tuna netra dalam proses belajar di Perguruan Tinggi. E.
Sistematika Penelitian Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah: BAB I
: Pendahuluan Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
Universitas Sumatera Utara
BAB II
: Landasan Teori Bab ini menguraikan tentang tinjauan dan teori-teori yang menjelaskan dan mendukung data penelitian. Teori yang akan diuraikan pada bab ini adalah teori resiliensi.
BAB III
: Metode Penelitian Bab ini memberi penjelasan tentang alasan penggunaan pendekatan kualitatif, responden penelitian, metode pengambilan
data,
alat
bantu
pengumpulan
data,
kredibilitas penelitian serta prosedur penelitian. BAB IV
: Analisa Data dan Pembahasan Bab ini berisi deskripsi data dari hasil wawancara yang dilakukan, dan membahas data-data penelitian tersebut dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian.
BAB V
: Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi kesimpulan yang bersisi hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan dan saran yang berisi saran praaktis dan saran untuk penelitian lanjutan dengan mempertimbangkan hasil penelitian yang diperoleh, keterbatasan dan kelebihan penelitian.
Universitas Sumatera Utara