BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan konsepsi pernikahan menurut pasal 1 ayat (1) UndangUndang No. 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Sebagaimana al-Qur‟an tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, dan wa rahmah, sebagaimana disebutkan dalam surat Ar-Ru>m (30) ayat 21 yang berbunyi:
Artinya: ‚Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir‛(Qs. Ar Ru>m: 21). Sakinah, mawadah, wa rahmah dalam Al-Qur‟an lebih pada upaya urain sebuah ungkapan “keluarga ideal”, sebagai bagian penting dari potret keluarga ideal sekaligus selaras dengan Al-Qur‟an. Untuk meraih keluarga yang ideal
1
Wasman dan Wardah nuroniyah ,Hukum perkawinan Di Indonesia Perbandingan Fiqih dan Hukum Positif, (Yogyakarta: Teras,2011), CV. MITRA UTAMA 2011, Hal.31.
1
2
harus dimulai dari sebuah perkawinan yang ideal pula yakni apabila tujuan dari perkawinan tersebut telah tercapai yaitu Sakinah, Mawadah, wa Rahmah.2 Langgengnya pernikahan merupakan suatu tujuan yang sangat diinginkan suami istri. Akad nikah diadakan untuk selamanya dan seterusnya hingga meninggal dunia, agar suami istri sama-sama dapat mewujudkan rumahtangga sebagai rumah berlindung, menikmati naungan kasih sayang dan dapat memelihara anak-anaknya hidup dalam pertumbuhan yang baik. Karena itu, maka dikatakan bahwa “ikatan pernikahan antara suami istri” adalah ikatan yang paling suci dan paling kokoh. Jika ikatan suami istri itu demikian kokohnya, maka tidak sepatutnya dirusakakan dan disepelekan. Setiap usaha untuk menyepelekan hubungan pernikahan dan melemahkanya adalah dibenci islam. Pernikahan merupakan Sunatullah yang berlaku bagi semua makhluk Tuhan, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan. Pernikahan merupakan cara yang dipilih Allah SWT sebagai media bagi umat manusia untuk melanjutkan keturunan, dan melestarikan hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranan positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah SWT tidak menjadikan makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan hubungan secara anarkhi tanpa aturan. Demi menjaga dan martabat kemuliaan manusia, Allah SWT menetapkan hukum sesuai martabatnya. Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhoi, dengan upacara pernikahan yang didalamnya terdapat Ijab dan kabul antara kedua mempelai sebagai lambang adanya rasa
2
Ibid Hal. 39
3
saling ridho-meridhoi, berikut dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat. Bentuk perkawinan semacam ini telah meberikan jalan yang aman pada naluri seks, memelihara keturunan yang baik. Pergaulan suami istri dalam islam diletakkan dibawah naluri keibuan dan kebapaan sebagai ladang yang nantinnya menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang baik dan menghasilkan buah yang baik pula. Perempuan merupakan obyek dari akad nikah, diantara syarat-syarat pernikahan, perempuan adalah yang bukan termasuk muhrim, baik secara qhot’i maupun secara dhoni. Dari sini terbukti, perempuan itu ada yang dihalalkan ada pula yang diharamkan. Secara garis besar, larangan pernikahan antara laki-laki dan perempuan menurut syara‟ dibagi menjadi dua, yaitu halangan abadi dan halangan sementara. 3 Diantara halanganhalangan abadi ada yang telah disepakati dan ada pula yang masih diperselihkan, yang disepakati ada tiga, yaitu: nasab, pemesanan (karena pertalian kerabat semenda) dan sepersusuan. Sedangkan yang diperselisihkan ada dua, yaitu: zina dan li‟an. Perselisihan diperbolehkannya larangan pernikahan tidak melulu sebatas lingkup fikih saja, akan tetapi faktor adat (kebiasaan) masing-masing daerah dengan berbagai latar belakang budaya yang berbeda-beda, sudah tentu menjadikan hukum tentang larangan pernikahan berbeda-beda pula. Indonesia sudah dikenal sebagai bangsa yang kaya akan nilai-nilai lokalitas yang sangat unik dan beragam, seperti yang terdapat dalam pola tradisi dan adat istiadat yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Ketika Islam masuk,
3
Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, cet. Ke-2,(Jakarta, 2006), hlm. 103
4
sebagian nilai-nilai tersebut terakomodasi (including) dalam format asimilasi (ingredient) dengan ajaran Islam. 4 Namun sebagian lain tidak. Sebagian nilai yang tidak terakomodasi musnah tertelan sejarah., sementara sebagian lagi tetap dipertahankan dalam tradisi masyarkat lokal. Ragam kekayaan tradisi lokal yang dimaksud termasuk soal tatacara pernikahan. Setiap kawasan, mulai dari pulau, kota, desa hingga dusun di indonesia memiliki sejumlah tata nilai yang unik terkait tentang pernikahan. Sehingga tidak mengherankan jika setiap kawasan tersebut memperagakan konsep pernikahan yang terkadang berbeda dengan yang lain, seperti pernikahan model Jawa, Bugis, Padang, Dayak dan lain sebagainya. Kasus larangan pernikahan juga terdapat di daerah Desa Jagan tepatnya di Dukuh Barepan dengan Dukuh Sugorejo,Desa Jagan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten sukoharjo. Ditempat ini terdapat aturan pernikahan yang berbeda dengan tempat lain, yaitu larangan nikah karena masih satu Danyang. Yakni, masyarakat Dukuh Barepan dilarang menikah dengan masyarakat Dukuh Sugorejo begitu juga sebaliknya. Bagi sebagian warga Danyang adalah orang yang dituakan didaerah tertentu atau sosok leluhur yang dipercayai sebagai pendiri desa atau dukuh tertentu. Dalam kasus ini, Danyang adalah orang yang dituakan didaerah tertentu atau sosok leluhur yang dipercayai sebagai pendiri desa atau dukuh tertentu. Sangat sulit sekali mengetahui asal mula munculnya larangan nikah karena satu danyang ini. Menurut salah satu sesepuh Dukuh Barepan asal mula munculnya larangan nikah ini berawal dari pernah terjadi 4
Abdullah Ahmad An-Na‟im, Islam dan Negara Sekular Menegosiasikan Masa Depan Syari;ah, alih bahasa Sri Muniarti (Bandung:Mizan, 2007), hlm. 407
5
pernikahan antara warga Dukuh Barepan dengan Dukuh Sugorejo, dan setelah itu terjadi suatu keburukan (tidak dijelaskan secara detail apa yang terjadi) berawal dari sinilah banyak spekulasi masyarakat dan salah satunya adalah masyarakat menganggap kejadian ini terjadi dikarenakan masih adanya keterkaitan leluhur antara Dukuh Barepan dengan Dukuh Sugorejo dan masyarakat menganggap karena tidak ada restu dari para leluhurlah keburukan itu terjadi. 5 Ada sebagian warga yang nekad melawan larangan nikah ini. Akan tetatpi lagi-lagi kejadian buruk menimpa mereka yang melanggar, walaupun ada juga sebagian pelanggar larangan nikah ini yang baik-baik saja, akan tetapi masyarakat menganggap larangan nikah ini adalah aturan yang harus ditaati. Aturan ini sudah berlangsung sejak lama, sejak dari generasi sebelum ini. Hingga kini masyarakat setempat masih mempertahankan nilai adat tersebut. Jika dicari referensi normatifnya, jelas susah ditemukan, baik dalam hukum negara secara umum maupun hukum islam. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Larangan Pernikahan karena masih satu Danyang studi kasus di Desa Jagan, Dukuh Barepan dan Sugorejo, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo”
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis menetapkan sejumlah pertanyaan yang menjadi pokok masalah penelitian ini, yaitu: 5
WIB
Mitro, Sesepuh Dukuh Barepan, wawancara pribadi,13 Desember 2016, Jam 15.30-16.30
6
1.
Apakah latar belakang atau munculnya keyakinan masyarakat tentang larangan pernikahan antara Dukuh Barepan dengan Dukuh Sugorejo di Desa Jagan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo?
2.
Bagaiman perspektif ‘urf Larangan Pernikahan Karena Masih Satu Danyang di Dukuh Barepan dan Sugorejo, Desa Jagan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo?
C. Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui latar belakang munculnya dan argumentasi masyarakat tentang larangan pernikahan antara Dukuh Barepan dengan Dukuh Sugorejo di Desa Jagan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo?
2.
Untuk mengetahui bagaiman perspektif ‘urf Larangan Pernikahan Karena Masih Satu Danyang di Dukuh Barepan dan Sugorejo, Desa Jagan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo?
D. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis bagi semua pihak: 1.
Secara teoritis: a.
Untuk memberikan sumbangsih dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahun khususnya di bidang wacana tentang tradisi larangan pernikahan.
7
b.
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai pedoman rujukan untuk penelitian berikutnya.
2.
Secara praktis a.
Di Indonesia, khususnya di Jawa hubungan antara ajaran Islam dan tradisi masyarakat setempat masih kuat. Peristiwa-peristiwa saperti ini dari segi praktisi untuk melihat lebih lanjut bagaimana kaitan Islam dan tradisi, terutama di era modern, tetapi juga untuk melihat tradisi-tradisi tersebut dari perspektif ajaran Islam.
b.
Disamping untuk memberikan wacana kepada masyarakat di Desa Jagan, Dukuh Barepan terkait dengan tradisi larangan pernikahan apakah mempunyai korelasi dengan hukum Islam yang berlaku atau malah bertentangan dalam hukum Islam yang berlaku tersebut. Hal tersebut dapat disampaikan melalui berbagai bentuk acara yang ada di desa Jagan,Dukuh Barepan, diantara kegiatan tersebut seperti acara pengajian, yasinan, arisan dan lain-lain.
E. Telaah Pustaka Setelah melakukan penelusuran, ada beberapa karya ilmiah yang berhasil penyusun ketemukan, dimana karya ilmiah tersebut mengkaji tentang perkawinan yang dilarang oleh adat dari berbagai daerah. Diantaranya adalah karya ilmiah yang disusun oleh Anif Khusnawati tentang Larangan Nikah Antara Saudara Sepupu Pancer Wali di Kelurahan Ngantru, Kecamatan
8
/Kabupaten Trenggalek Dalam Perspektif HukumIslam. 6 Dalam karyanya tersebut Anif Khusnawati membahas tentang adanya sebuah adat dan tradisi yang berkembang dan menjadi pandangan hidup masyarakat Ngantru Trenggalek yang melarang melakukan akad pernikahan antara saudara sepupu jika ayah keduanya adalah saudara sekandung. Dari hasil analisisnya, larangan pernikahan antara saudara sepupu pancer wali adalah tidak sesuai dengan ketentuan Hukum Islam, yang mana dalam nas tidak ada ketentuan mengenai larangan tersebut atau saudara sepupu tidak termasuk dalam orang-orang yang haram untuk dinikahi. Dengan kata lain hukumpernikahan antara saudara sepupu pancer wali adalah boleh (mubah), akan tetapi jika kekhawatiran akan buruknya keturunan yang dihasilkan itu mungkin terjadi maka hendaknya dihindari, karena kelestarian keturunan menyangkut kualitas dan bukan hanya kuantitasnya saja harus dipertimbangkan sebagai salah satu kebutuhan naluri manusia. Karya ilmiah yang disusun oleh Muhammad Ansori tentang Larangan Adat Kawin Lusan Dalam Perspektif Hukum Islam Studi di Kelurahan Sambung Macan, Sragen.7 Dalam skripsinya tersebut Ansori menjelaskan akan adanya kepercayaan atau keyakinan di masyarakat kelurahan Sambung Macan yaitu akan adanya larangan kawin Lusan (anak ketelu dan sepisan), dimana kepercayaan tersebut masih diyakini dan ditaati hingga kini dan bila larangan tersebut dilanggar akan mendatangkan musibah dan malapetaka pada keluarga
6
Anif Khusnawati, “Larangan Nikah Antara Saudara Sepupu Pancer Wali di Kel.Ngantru, Kec/Kab. Trenggalek Dalam Perspektif HukumIslam”. Skripsi tidak diterbitkan Fakultas Syari‟ah UIN Sunan Kalijaga Yogayakarta, 2007. 7 Muhammad Ansori “ Larangan Adat Kawin Lusan Dalam Perspektif Hukum Islam Studi di Kelurahan Sambung Macan, Sragen”. Skripsi tidak diterbitkan Fakultas Syari‟ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyaakarta, 2004.
9
setelah melakukan pernikahan, Berdasarkan hasil analisanya ia menyimpulkan bahwa, larangan kawin lusan (anak ketelu dan sepisan) tersebut tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam, karena dalam nass tidak terdapat ketentuan mengenai larangan tersebut dan larangan kawin lusan juga tidak termasuk dalam kategori orang-orang yang haram untuk dinikahi. Larangan adat kawin lusan termasuk dalam kategori „urf fasid sehingga hukumkawin antara anak ketelu dan sepisan (lusan) adalah boleh (mubah). Karya ilmiah yang disusun oleh Fasri Helda tentang Tinjauan Hukum Islam Terhadap Larangan Menikah Pada Bulan Safar di Masyarakat Sungai Raya Kalimantan Selatan.8 Dalam tulisannya tersebut Fasri menggambarkan bagaimana pandangan masyarakat Sungai Raya akan bulan Safar, menurut pandangan mereka bulan tersebut adalah bulan panasan, sehingga tidak baik melakukan pernikahan pada bulan tersebut, bila ketentuan itu dilanggar maka akan menimbulkan lebih banyak dampak negatif daripada dampak positifnya. Dari hasil analisanya Fasri menangkap dua hal, pertama; larangan menikah pada bulan Safar yang ada pada masyarakat Sungai Raya ini bertentangan dengan nas. Yang kedua; keyakinan Masyarakat Sungai Raya atas pengaruh-pengaruh yang akan didapatkan bila melakukan pernikahan di bulan Safar, dikhawatirkan dapat menimbulkan kemusyrikan yang dapat menjerumuskan manusia kepada kenistaan. Karya ilmiah yang disusun oleh Ahmad Khusnaeni yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kawin Semisan di Dusun Palemsari Desa
8
Fasri Helda“ Tinjauan HukumIslam Terhadap Larangan Menikah Pada Bulan Safat di Masyrakat Sungai Raya Kalimantan Selatan”. Skripsi tidak diterbitkan Fakultas Syari‟ah UIN Sunan Kalijaga Yogayakarta, 2007.
10
Umbulharjo Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman. 9 Dalam karyanya tersebut Ahmad menjelaskan bahwa adanya aturan adat di masyrakat Palemsari yang melarang kawin antara laki-laki dan perempuan yang masih punya saudara kekerabatan satu buyut, dengan alasan bila aturan tersebut dilanggar maka akan terjadi malapetaka yang akan menimpa keluarga atau rumah tangga keduanya setelah mereka menikah. Menurut hasil analisis Ahmad aturan adat tersebut bertentangan dengan kaidah syari‟ah Islam sehingga tidak boleh untuk ditaati, karena bila ditaati maka akan menjurus kepada kemusryikan.
F. Kerangka Teoretik Pernikahan dalam konteks keindonesiaan, merupakan diskursus yang sangat
unik dengan kompleksitas permasalahan di dalamnya. Secara
teoritiknormatif, persoalan nikah mungkin hanya sebatas prosesi pernyataan komitmen untuk hidup bersama antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan (ijab dan kabul), dengan kerangka prosedural yang sudah diatur sedemikian rupa. Namun pada ranah praksis, persoalan nikah ternyata juga kerapkali berkelindan(erat menjadi satu) dengan hal-hal lain di luar dimensi teoritik-normatif tersebut, sebut saja dengan masalah sosiologis, ekonomi, budaya, dan bahkan ideologis. Sehingga banyak sekali kasus pernikahan di Indonesia yang sangat sukar dipahami dan dijelaskan dengan menggunakan kacamata hukum semata, baik hukum positif maupun hukum Islam (fiqh). Di antara sekian banyak kasus yang dimaksud tersebut adalah kasus larangan nikah 9
Akhmad Khusnaeni, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Larangan Kawin Semisan diDusun Palemsari Desa Umbulharjo Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman”, Skripsi tidak diterbitkan Fakultas Syari‟ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005.
11
karena perbedaan letak tempat tinggal (teritorial) di Desa Jagan,Dukuh Barepan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo. Berkaitan dengan larangan nikah di Desa Jagan Dukuh Barepan, menurut sesepuh yang telah dituakan di Desa tersebut, bahwasannya itu merupakan sebuah adat tradisi yang telah mereka yakini secara turun menurun dari nenek moyang mereka, dan mereka meyakini dengan tetap mentaati akan larangan tersebut kehidupan rumah tangga mereka akan terhindar dari segala petaka. Jika ditarik ke konteks yuridis-normatif, fenomena larangan nikah tersebut sangat sulit dicari referensi justifikatifnya. Dengan kata lain, tidak ada satu pun klausul dalam domain hukum di Indonesia yang mengatur larangan nikah berdasarkan perbedaan teritorial, sebagaimana yang terjadi di Desa Jagan Dukuh Barepan tersebut. Kalau pun terdapat ketentuan tentang larangan nikah, namun konteksnya karena latar belakang perbedaan akidah, hubungan nasab. Dengan demikian, larangan nikah yang diberlakukan di daerah tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh faktor sosio-kultural ketimbang yuridis-normatif. Karena didalam hukum Islam tidak terdapat kaidah hukumyang mengkaji secara persis akan kasus ini, maka disini penyusun mencoba mencari kaidah yang mendekati dan terdapat korelasi dengan kasus tersebut. Disini penyusun menemukan dua kaidah yang mendekatinya, antara lain teori mahram (wanita yang haram atau dilarang untuk dinikahi) dan teori „urf dalam kaidah ushul fiqih. Telah dikemukakan dalam al-Qur‟an mengenai perempuan yang haram hukumnya untuk dinikahi dan berlaku sebaliknya bagi laki-laki.
12
Larangan yang tersebut dalam surat An-Nisa‟ (4): 22-23 di atas secara rinci dikelompokkan ke dalam Mahram Mu'abbad (orang-orang yang tidak boleh dinikahi selamanya) dan Mahram Muaqqat (orang-orang yang tidak boleh dinikahi selama orang tersebut masih dalam keadaan tertentu). Orangorang yang termasuk dalam Mahram Mu'abbad : 1.
Haram karena hubungan kekerabatan a.
Ibu, ibunya ibu atau ibunya ayah dan seterusnya ke atas.
b.
Anak, dari anak laki-laki atau anak perempuan dan seterusnya ke bawah.
2.
c.
Saudara kandung, seayah atau seibu.
d.
Saudara-saudara ayah.
e.
Saudara-saudara ibu.
f.
Anak-anak dari saudara laki-laki, dan seterusnya ke bawah.
Haram karena hubungan pernikahan a.
Perempuan yang telah dinikahi oleh ayah, baik perempuan tersebut telah digauli oleh ayah atau belum.
13
b.
Perempuan yang dinikahi oleh anak laki-laki, baik perempuan tersebut telah digauli oleh anak atau belum.
c.
Ibu atau ibunya ibu dari isteri, baik isteri itu telah digauli atau belum.
d.
Anak-anak perempuan dari isteri dengan ketentuan isteri itu telah digauli.
3.
Haram karena hubungan persusuan 1.
Ibu yang menyusui
2.
Saudara sepersusuan (perempuan yang menyusu pada ibu tersebut)
Sedangkan orang-orang yang termasuk dalam Mahram Muaqqat yaitu: 1.
Memadu dua orang yang bersaudara
2.
Perkawinan yang kelima
3.
Perempuan yang bersuami
4.
Mantan isteri yang telah ditalaq tiga bagi mantan suaminya
5.
Perempuan yang sedang ihram
6.
Perempuan pezina sebelum taubat
7.
Perempuan musyrik 10 Redaksi surat An-Nisa‟ (4): 22-23 di atas ditujukan pada laki-laki, namun
maksud ayat tersebut juga ditujukan kepada perempuan. Tidak disebutkannya perempuan secara redaksional, selain karena kebiasaan Al-Qur‟an menggunakan redaksi yang menunjuk kepada laki-laki untuk kedua jenis kelamin, juga untuk mengisyaratkan bahwa pada umumnya pernikahan didahului oleh sikap aktif laki-laki dengan menampakkan keinginan dan melamar perempuan Menurut Dr.
10
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 106-110
14
H. Abd. Rahman Ghazali, M. A, dalam bukunya yang berjudul Fiqh Munakahat, beliau mengatakan secara garis besar, larangan kawin antara seorang pria dan seorang wanita menurut Syara‟ dibagi dua, yaitu halangan abadi dan halangan sementara.11 Di antara halangan-halangan abadi ada yang telah disepakati dan ada pula yang masih diperselisihkan. Yang telah disepakati ada tiga, yaitu: 1.
Nasab (keturunan)
2.
Pembesanan (karena pertalian kerabat semenda)
3.
Sepersusuan.
Sedangkan yang masih diperselisihkan ada dua, yaitu: 1.
Zina
2.
Li‟an Karena tidak diketemukannya nas larangan nikah di Desa Jagan Dukuh
Barepan, maka pembahasan ini masuk ke dalam kategori ijtihadiah, dan dari hasil ijtihad akan diketemukan bagaimanakah adat tradisi yang terdapat di Desa Jagan Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo terkait dengan masalah larangan pernikahan karena masih satu danyang tersebut bisa diterima oleh hukum Islam atau tidak. menyangkut masalah adat atau tradisi yang dijadikan sebagai landasan hukum atau sebagai pegangan masyarakat. Suatu ketentuan yang ditaati oleh masyarakat adat yang dalam kajian ushul fiqh disebut juga dengan „urf yang berarti sesuatu yang telah dikenal oleh banyak orang dan telah menjadi tradisi mereka.
11
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 103
15
Ditinjau dari ruang lingkupnya „urf dapat dibagi atas beberapa bagian: A. Adat atau ‘urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di manamana, hampir di seluruh penjuru dunia tanpa memandang negara, bangsa dan agama, umpamanya menganggukkan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala tanda menolak, kalau ada yang berbuat kebalikannya, maka akan dianggap aneh atau ganjil. B. Adat atau ‘urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang di tempat tertentu atau pada waktu tertentu, tidak berlaku pada semua tempat dan setiap waktu, adanya pandangan mengenai larangan pernikahan berbeda letak tempat tinggal pada masyarakat Jagan Dukuh Barepan, kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo yang telah diikuti Suatu ketentuan yang telah ditaati masyarakat tidak seluruhnya dapat dijadikan dalil syara‟, ditinjau dari segi baik dan buruknya ‘urf terbagi kepada ‘urf s}ah}ih} dan „urf fa>sid; a. ‘Urf al-s}ah}i>h}, yaitu adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang, yang tidak bertentangan dengan dalil syara‟, dengan tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib. Misalnya adat kebiasaan seorang melamar seorang wanita dengan memberikan sesuatu sebagai hadiah, sebagai mahar dan lain sebagainya. b. ‘Urf al-fa>sid, yakni adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang, yang berlawanan dengan ketentuan syari‟at Islam karena membawa kepada menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib.
16
Kebiasaankebiasaan dalam akad perjanjian yang bersifat riba, dan lain sebagainya. Ulama fikih sepakat bahwa hanya ‘urf s{hah}ih} yang dapat dijadikan dalil syara‟, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara‟ baik ‘urf lafdi>, ‘urf ‘a>mm,’urf’amal>i, ‘urf kha>s}. Untuk dapat dijadikan dalil syara‟ „urf harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: 1. ‘Urf berlaku secara umum, artinya mayoritas kasus yang terjadi di masyarakat dan berlakunya dianut oleh mayoritas mayoritas masyarakat tertentu. 2. ‘Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. 3. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi atau akad. 4. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan nas, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung nas tidak bisa diterapkan.
G. Metode Penelitian Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam menyusun skripsi ini, maka penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif (descriptive research) yakni penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang di daerah dan saat
17
12
tertentu.
Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan metode deskriptif
analysis yang digunakan dalam pendekatan kualitatif. Deskriptif Analisis adalah metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan lapangan. Sedangkan yang dimaksud pendekatan kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang atau perilaku yang diamati. Dalam menyusun karya tulis ini penulis juga menggunakan jenis penelitian Study lapangan (field research) untuk memperoleh informasi yang akurat dan obyektif. Sedangkan tempat penelitian adalah Desa Jagan, Dukuh Barepan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo. 1.
Sumber Data a.
Data primer Data primer adalah data yang berasal dari data lapangan. Dan dalam penelitian ini penulis bisa mendapatkan sumber data primer dari Dukuh Barepan dan Sugorejo.
Baik
melalui wawancara,
pertanyaan-
pertanyaan,dan alat lainya. b.
Data skunder Data skunder merupakan data yang tingkatanya kedua, yang berisikan informasi tentang data primer. Dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen, buku-buku, jurnal, majalah, dan informasi-informasi yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi.
2.
Metode Pengumpulan Data 12
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2013), Hlm. 9
18
Metode wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data primer, yaitu dengan wawancara mendalam (depth interview). 13 Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode wawancara. Sebagai pencari informasi, penulis mengajukan pertanyaan-pertanyaan, meminta penjelasan, mencatat hasil jawaban responden, dan mengadakan proding (menggali keterangan yang lebih mendalam). 3.
Analisis Data Salah satu tahap yang paling penting adalah menganalisis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain. Dalam menganalisis data penulis menggunakan analisis deskriptif yaitu suatu metode analisis dimana penulis menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian. Sehingga didapat kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini.
4.
Lokasi Penelitian Penulis memilih Desa Jagan dukuh Barepan kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo dalam penelitian ini. Untuk mendapatkan informan dalam penelitian ini sampling tidak bergantung pada kuantitas, akan tetapi lebih kepada kualitas orang-orang yang yang akan diwawancarai.
H. Sistematika Pembahasan
13
Ibid, Hlm. 26
19
Supaya Pembahasan skripsi ini tidak sulit untuk dipahami dan sistematis, penulis membagi pembahasan skripsi ini ke dalam bab-bab dan sub bab, yang secara garis besar sistematika pembahasan terdiri dari lima bab. Pada bab pertama yang merupakan pendahuluan dari skripsi ini akan dipaparkan mengenai latar belakang dari permasalahan yang menjadi pokok bahasan, setelah ditemukan pokok masalah yang sesuai dengan tujuan dan kegunaan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini, maka perlu juga dikemukakan beberapa penelitian terdahulu yang terkait sehingga hasil skripsi ini tidak hanya mengulang hasil penelitian yang telah ada. Dasar teori yang akan digunakan penyusun untuk menjawab pokok masalah akan diuraikan dalam kerangka teoretik, selanjutnya rumusan metode penelitian sangat diperlukan dalam menentukan cara-cara yang akan digunakan dalam melaksanakan penelitian. Bab kedua merupakan gambaran umum mengenai pernikahan dalam hukum Islam, yang memuat tentang idealitas hukum Islam dalam urusan pernikahan yang meliputi pengertian, dasar pernikahan, tujuan pernikahan dalam Islam, serta rukun dan syarat pernikahan yang di dalamnya akan disinggung mengenai wali nikah, dan perempuan yang haram dinikahi serta beberapa pernikahan yang dilarang dalam Islam, dan juga penjelasan tentang ‘urf meliputi pengertian dan macam-macam ‘urf. Hal ini perlu dijelaskan untuk dijadikan acuan dalam menjawab permasalahan dari pokok permasalahan. Gambaran wilayah yang menjadi obyek penelitian akan dijelaskan pada bab ketiga, akan dijelaskan pula deskripsi seputar pandangan masyarakat Dukuh
20
Barepan dan Dukuh Sugorejo atas larangan pernikahan karena masih satu Danyang yang meliputi pengertian, latar belakang, faktor yang mempengaruhi masih ditaatinya larangan pernikahan karena masih satu danyang, serta pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat. Bagian inti dari jawaban atas pokok permasalahan akan ditulis dalam bab keempat. Analisa yang akan dikemukakan dalam bab ini adalah bagaimana hukum Islam menilai larangan pernikahan karena masih satu danyang, serta implikasi adanya larangan tersebut terhadap kehidupan masyarakat. Berangkat dari hasil analisa tersebut, pada bab kelima akan diuraikan mengenai jawaban atas pokok permasalahan skripsi ini, yang sekaligus merupakan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya dan diakhiri dengan saransaran ataupun kontribusi yang dapat diambil dari skripsi ini.
BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM
21
A. Pengertian Perkawinan
ِ Kata “nikah” berasal dari bahasa Arab ا ٌ َ yang merupakan masdar atau asal dari kata kerja
َ ََ
. Sinonimnya َت َت َت ْجkemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan perkawinan.14 Nikah menurut bahasa: al-jam‟u dan aldhamu yang artinya kumpul. Makna nikah (Zawāj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwīj yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan (wath‟u al-zaujah) bermakna menyetubuhi isteri. Kata nikah sering juga dipergunakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia. 15 Pernikahan atau perkawinan ialah akad yang mengahalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. 16 Abu Zahrah mengemukakan bahwa perkawinan adalah sutau akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara seorang pria dan wanita, saling membantu, yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi menurut ketentuan syariat. 17 Dari kedua makna nikah-akad dan hubungan seksual, para ulama berbeda pendapat mengenai mana yang hakikat dan mana yang majaz. Pendapat pertama mengatakan bahwa nikah pada hakikatnya digunakan untuk menyebut akad nikah, dan kadang dipakai secara majaz untuk menyebutkan hubungan seksual.
14
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 10. Tihami, dkk., Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 7. 16 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1 ..., hlm. 9. 17 Ibid, hlm. 13. 15
22
Ini adalah pendapat dari mazhab Syafi‟iyah, disahihkan oleh Abu Tayib, Mutawali dan Qadi Husain. 18 Pendapat kedua mengatakan bahwa nikah pada hakikatnya dipakai untuk menyebut hubungan seksual. Tetapi kadang dipakai secara majaz untuk menyebut akad nikah. Ini adalah pendapat al-Azhari, al-Jauhari dan alZamakhsari, ketiganya adalah pakar bahasa Arab. Pendapat ketiga mengatakan bahwa pada hakikatnya maksud dari nikah adalah kedua pengertian di atas. Menurut abul Qasim al-Zajjad, Ibn Hazm, Imam Yahya, dan sebagian ulama ahli ushul dari sahabat Abu Hanifah dalam kata nikah berserikat antara makna akad dan hubungan seksual. Pendapat ini dibenarkan oleh Ibnu Hajar meskipun kata yang banyak dipakai adalah kata akad.19 Ulama Hanafiah mendefinisikan pernikahan atau perkawinan sebagai sutau akad yang berguna untuk memiliki mut‟ah dengan sengaja. Artinya, seorang laki-laki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasaan. Ulama Syafi‟iyah mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu akad dengan menggunakan lafazh “nikah” atau “zauj”, yang menyimpan arti memiliki. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad yang mengandung arti mut‟ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan adanya harga. Ulama Hanabilah mengatakan bahwa perkawinan adalah akad dengan menggunakan lafazh “nikah” atau
18
Abdul Aziz, Buku Daras Fiqh Munakahat, (Surakarta: Fakultas Syariah IAIN Surakarta, 2014), hlm. 7. 19 Ibid.
23
“tazwij” untuk mendapatkan kepuasan, artinya seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang perempuan dan sebaliknya. 20 Dalam UU No. 1 Tahun 1974 pada Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” 21 Sementara Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendefinisikannya sebagai salah satu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.22 Dari berbagai makna nikah tersebut, baik ditinjau dari aspek bahasa, pendapat ulama, UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam dapat ditarik kesimpulan bahwa semua makna bermuara pada satu makna yang sama, yaitu berhubungan seksual, berkumpul, dan akad.
B. Tujuan Perkawinan Tujuan dalam perkawinan, yaitu: 1.
Meningkatkan ibadah kepada Allah SWT Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadahan
20
21
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1 ..., hlm. 17. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 1. 22 Kompilasi Hukum Islam Buku I Hukum Perkawinan Pasal 2.
24
dan amal salih di samping ibadah dan amal-amal salih yang lain, bahkan berhubungan suami istri pun termasuk ibadah (sedekah). 23 2.
Memenuhi tuntutan naluri manusia Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan akad nikah. Karena menikah merupakan satusatunya solusi alami dan secara biologis paling sesuai untuk memuaskan nafsu seksual. 24
3.
Memperoleh keturunan Tujuan pernikahan diantaranya adalah untuk memperoleh keturunan yang salih. Yang terpenting lagi dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang salih dan bertaqwa kepada Allah SWT.25
4.
Membentengi akhlak yang luhur Sasaran utama dari disyariatkannya pernikahan dalam Islam diantaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. 26 Di dalam Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 dikatakan bahwa yang menjadi
tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
23
Abdul Aziz, Buku Daras Fiqh Munakahat, ..., hlm. 19. Ibid, hlm. 13. 25 Ibid, hlm. 20. 26 Ibid, hlm. 14. 24
25
Esa.27 Selanjutnya dijelaskan untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya
membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. 28 Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan, adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan.29 Dari berbagai tujuan nikah tersebut, baik ditinjau dari para ulama fiqh, UU No. 1 Tahun 1974 dan masyarakat hukum adat, dapat ditarik kesimpulan bahwa semua bermuara pada satu tujuan yang sama, yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan meneruskan keturunan.
C. Perspektif Ushul Fiqh Ilmu ushul fiqh ialah “kaidah-kaidah yang dipergunakan mujtahid untuk mengistinbathkan hukum syar‟i yang amali dari dalil-dalilnya yang tafsili”. Atau “kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengistinbathkan fiqh”. 30 Sumber-sumber Fiqh Islam, mashadir ashliyah (sumber pokok) yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dan ada mashadir tabi‟iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha
27
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 1. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hlm. 21. 29 Ibid, hlm. 22. 30 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 163. 28
26
yaitu ijma‟ dan qiyas. Dan ada yang diikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu Istihsan, „Urf, Mas}lah}ah Mursalah, Saddudzdzari‟ah, Istishhab dan Madzhab Shahabi. 31 Disini akan dibahas tentang ‘Urf dan kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengistinbathkannya.
1.
‚Urf Menurut Al-Jurjany:
س َعلَْي ِه َعلَي ُح ْ ِم الْ َم ْع ُق ْوِل َو َع ُد ْوا اِلَْي ِه َمَّرًة بَ ْع َد اُ ْخرى ْ الْ َع َدةُ َم ُ َّاستَ َمَّرا لن Artinya: “Al-„Aadah ialah sesuatu (perbuatan/perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulanginya terus menerus”. Menurut Abdul Wahab Kholaf:
َوىف لِ َ ِن.َوُ َ َّم اْل َع َد َة
ٍاْلعر ُ و م اَع ر َه النَّ س وس روا علَي ِه ِم َ وٍل اَوِع ٍ اَواَر ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ َ ْ ُ َ َ ُ ُ َ َ َ َ ُ ُْ .الل َّْر ِعي ْ َ َ َ ْر َ بَ ْ َ اْل ُع ْر ِ َواْل َع َد َة
Artinya: “Al-„Urf ialah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, dari: perkataan, perbuatan atau (sesuatu) yang ditinggalkan. Hal ini dinamakan pula dengan Al-„Aadah”. Dan dalam bahasa ahli syara‟ tidak ada perbedaan antara Al-„Urf dengan Al-„Aadah.32 Kata „urf berasal dari kata „arafa-ya‟rifu (
عر
(عرsering diartikan
dengan “al-ma‟ruf” dengan arti “sesuatu yang dikenal”. Kata „urf juga
31
Ibid, hlm. 171. Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Fiqh (Al-Qowa‟idul Fiqhiyyah), (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm. 44. 32
27
terdapat dalam Al-Qur‟an dengan arti “ma‟ruf” (
)معرو
yang artinya
kebijakan (berbuat baik),33 seperti dalam surat Al-A‟raf : 199:
... ِ ُخ ِ الْ َع ْ َو َوْ ُم ْر بِ لْ ُع ْر Artinya: “Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf...” ‘Urf (tradisi) adalah bentuk-bentuk mu‟amalah (hubungan kepentingan) yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeg (konstan) di tengah masyarakat.34 Macam-macam „Urf:35 Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini ‘urf ada
a.
dua macam: Al-‘urf al-lafz}i>/al-‘urf al-qawli dan Al-‘urf al-‘amali>/al-
‘urf al-fi’li>. 1) Al-‘urf al-lafz}i>/al-‘urf al-qawli, yaitu „urf yang berupa perkataan. Atau kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan.36 Contohnya, perkataan waladun
()ولَ ٌد َ
menurut bahasa
berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan anak perempuan. Dalam kebiasaan sehari-hari orang Arab, kata walad itu digunakan hanya untuk anak laki-laki dan tidak untuk anak
33
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: logos Wacana Ilmu, 1999),hlm. 363. Muhamad Abu Zahroh, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), penerjemah: Saefullah Ma‟shum dkk., hlm. 416. 35 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, ...., hlm. 365. 36 Totok Jumantoro, dkk., Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 338. 34
28
perempuan; sehingga dalam memahami kata walad kadang digunakan „urf qauli tersebut.37 2) Al-‘urf al-‘amali>/al-‘urf al-fi’li>, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa adanya ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri. 38 Dari segi ruang lingkup penggunaannya, „‟urf terbagi kepada: „urf
b.
umum dan „urf khusus. 1) Al-‘urf al-‘a>mm, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di mana-mana, hampir di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa dan agama. Umpamanya: menganggukkan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala tanda menolak atau menidakkan. 39 2) Al-‘urf al-kha>s, yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang di tempat tertentu atau pada waktu tertentu; tidak berlaku di semua tempat dan di sembarang waktu. Umpamanya: bagi masyarakat tertentu penggunaan kata “budak” untuk anak-anak dianggap menghina, karena kata itu hanya terpakai untuk hamba sahaya, tetapi bagi masyarakat lainnya kata “budak” biasa digunakan untuk anak-anak. 40
37
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, ...., hlm. 366. Ibid, hlm. 367. 39 Ibid. 40 Ibid. 38
29
Dari segi penilaian baik dan buruk, „urf terbagi kepada: „urf shahih dan
c.
„urf fasid. 1) ‘Urf S}hah}i>h} adalah „urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara‟. Atau kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nas}s} (Al-Qur‟an atau hadist), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka. 41 Umpamanya: mengadakan acara halal bihalal (silaturrahmi) saat hari raya. 42 2) „Urf Fa>sid adalah ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena
bertentangan dengan syara‟.
Atau kebiasaan yang
bertentangan dengan dalil-dalil syara‟ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara‟. 43 Umpamanya: berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, pesta dengan menghidangkan minuman haram. 44
2.
Kaidah tentang Adat atau Kebiasaan
ٌالْ َع َدةُ ُُمَ َّ َمة Artinya: “Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum”. Dasar kaidah adalah Hadist Mauquf:
. ٌ َ َم َر آُ الْ ُم ْ لِ ُم ْو َن َح َ نً َ ُ َو ِعْن َدا﵁ِ َح
41
Totok Jumantoro, dkk., Kamus Ilmu Ushul, ..., hlm. 338. 42 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, ...., hlm. 368. 43 Totok Jumantoro, dkk., Kamus Ilmu Ushul, ..., hlm. 337. 44 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, ...., hlm. 368.
30
Artinya: “Apa yang dipandang baik oleh orang Islam, maka baik pula disisi Allah”.45 Dan firman Allah dalam surat Al-A‟raaf ayat 199:
ِ ِ ْ ِ خ ِ الْع ْ و وْمر بِ لْعر ِ واَع ِر ْ ع َ ْ ااَ ل َ ْ َ ُْ ْ ُ َ َ َ ُ Artinya: “Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh".46 Kaidah tentang adat atau kebiasaan memiliki kaidah lanjutan, yaitu:
األزَم ِن ْ األح َ ِم بِتَ غَِ ُِّي ْ َُْن َ ُر اَغَيُّ ُر Artinya: “Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhubungan) dengan perubahan masa”47. Tidak dapat dimungkiri adanya perubahan hukum akibat perubahan masa. Setiap perubahan masa menghendaki kemaslahatan yang sesuai dengan keadaan masa itu. Hal ini mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan suatu hukum yang didasarkan kepada kemaslahatan itu. Suatu hukum yang ada pada masa lampau didasarkan pada kemaslahatan pada masa itu. Pada masa kini kemsalahatan telah berubah dan hukumnya pun berubah. Di masa yang akan datang, jika kemaslahatan berubah, berubah pula hukum yang didasarkan kepadanya. 48
ِ ِ ِ . َب اَلْ َع َم ُ ِِب ُ ا ْست ْع َم ُل اَلنَّ ِس ُح َّجةً ُُي 45 46
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Fiqh (Al-Qowa‟idul Fiqhiyyah), ... hlm. 43. Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989),
hlm. 257. 47
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 156. 48 Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 242.
31
Artinya: “Pekerjaan orang (banyak) adalah hujjah yang wajib diamalkan”.49 Kaidah ini mengandung makna bahwa segala sesuatu yang telah biasa dikerjakan oleh masyarakat adalah dapat menjadi suatu patokan sehingga setiap anggota masyarakat dalam melakukan suatu yang telah terbiasa itu selalu akan menyesuaikan diri dengan patokan tersebut atau tidak akan menyalahinya.50
3.
Kaidah Menolak Kerusakan Lebih Diutamakan daripada Menarik Kemaslahatan
ِِ ِ َّم َعلَ َ ْل ِ ِب اْل َم َ ل ٌ َد ْرُ اْل َم َ سد ُم َقد Artinya: “Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan”.51 Kaidah ini juga berbunyi “Menghindari bahaya didahulukan daripada mendatangkan manfaat”. Kaidah ini menunjukkan bahwa mengikuti ketentuan hukum secara konsisten dapat mewujudkan maslahah. Namun, jika mewujudkan maslahah itu sendiri dapat menimbulkan mafsadat bagi dirinya, lebih baik menghindari
mafsadah
daripada
melakukan
sesuatu
yang
dapat
menimbulkan maslahah, namun pada saat yang bersamaan, mukallaf sendiri memperoleh mafsadah. 52
49
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi, ..., hlm. 155. Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh,..., hlm. 242. 51 Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa‟id Fiqhiyyah, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 21. 52 Ibid. 50
32
Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa perhatian syara‟ terhadap larangan lebih besar daripada perhatian terhadap apa-apa yang diperintah. Apabila dalam suatu perkara terlihat adanya manfaat atau maslahah, namun disitu juga ada mafsadah atau kerusakan, maka haruslah didahulukan menghilangkan mafsadah atau kerusakan, karena kerusakan dapat meluas dan menjalar kemana-mana, sehingga akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar.53 Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa „Urf (tradisi) adalah bentuk-bentuk mu‟amalah (hubungan kepentingan) yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeg (konstan) di tengah masyarakat. Dan kaidah yang digunakan adalah “Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum” dan “Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan”.
D. Perspektif Fiqh 1.
Dasar Hukum Perkawinan Allah SWT berfirman:
﴾٤٩﴿ َوِم ْ ُك َش ْي ٍ َخلَ ْقنَ َزْو َ ْ ِ لَ َعلَّ ُ ْم اَ َ َّك ُرْو َن Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. Al-Dzariyat: 49)54 Dan di riwayatkan dalam sebuah hadist:
53 54
hlm. 862.
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Fiqh ..., hlm. 40. Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989),
33
اِِّن أل َْم ِلي َم َع َعْب ِد ا﵁ِ بْ ِ َم ْ ُع ْوٍد ِبِِ ًًن اِ ْذ لَ ِقيَهُ ُعثْ َم ُن َ ْستَ ْخالَآُ َ لَ َّم:َع ْ َع ْل َق َمةَ َ َل َ َ : اَ َع َ َ َع ْل َق َمةُ َ ِجْ ُ َ َق َل لَهُ ُعثْ َم ُن: ِ َرَى َعْب ُد ا﵁ِ َ ْن لَْي َ ْ لَهُ َح َ ةٌ َ َل ِ ِ ِ الر ْْح ِ ِِب ِر ٍة بِ ْ ٍر لَعلَّه رِ ع اِلَي ك َم ُكْن َ اَ ْ تَ ُد؟ َ َق َل َ َْ ْ ك م َ ْ ُ َْ ُ َ َ ُ َُزو َ َ َ َّ ك َ اَبَ َعْبد ع ُ ول ا﵁ِ ل ا﵁ عليه وسلم َ ُق َ ذَا َ لَ َق ْد َِ ْع ُ َر ُس: َ لَِ ْ ُ ْل:َِعْب ُد ا﵁ َ َاستَط ْ ِ َم:ول ِ ُّ ِمْن ُ م الْب ةَ َ ْليت زَّوج َِ َّه َ َغ َح َ ُ لِْل َ ْرِج َوَم ْ ََلْ َ ْ تَ ِط ْع ِمْن ُ ْم َ َعلَْي ِه ْ ض ل ْلبَ َ ِر َو ُ ْ َ ََ َ َ ُ .ٌ َ بِ ل َّ ْوِم َِ َّهُ لَهُ ِو Artinya: “Dari Alqamah, dia berkata, “Sesungguhnya saya berjalan bersama Abdullah bin Mas‟ud di Mina, kemudian Ustman bertemu dengan Abdullah bin Mas‟ud. Utsman menghampiri Ibnu Mas‟ud. Ketika Ibnu Mas‟ud melihat bahwa dia tidak berkeinginan untuk menikah, maka ia berkata kepada Al qamah, „Kemarilah wahai Al Qamah.‟ Kemudian aku mendatangi Ibnu Mas‟ud, Utsman berkata kepada Ibnu Mas‟ud,‟Kami akan menikahkan engkau wahai Ibnu Mas‟ud dengan seorang gadis, semoga dengan demikian engkau mengingat kembali masa lampaumu yang indah.‟ Abdullah bin Mas‟ud berkata, „Kalau engkau berkata demikian, saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang telah mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah, karena menikah akan membuat seseorang mampu menahan pandangannya, lebih dapat memelihara kemaluannya. Barangsiapa belum mampu untuk menikah, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa mampu menahan dan membentengi (gejolak syahwat).” (shahih, Muttafaq Alaih)”.55 Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum asal pernikahan. Pendapat pertama, bahwa hukum asal pernikahan adalah wajib. Ini adalah pendapat sebagian ulama,berkata Syekh al-Utsaimin: “Banyak dari ulama mengatakan bahwa seseorang yang mampu (secara fisik dan ekonomi) untuk menikah, maka wajib baginya untuk menikah, karena pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban, dan di dalam pernikahan tersebut terdapat mas}lah}at yang agung”.56
55
Muhammadah Nashiruddin Al-Albani, Sahih Sunan Abu Daud Seleksi Hadits Shahih dari Kitab Sunan Abu Daud, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hlm. 794. 56 Abdul Aziz, Buku Daras Fiqh Munakahat, ..., hlm. 73.
34
Dalil-dalil pendapat ini adalah, Pertama, hadis Abdullah bin Mas‟ud radhiyallahu‟anhu, bahwasanya ia berkata:
ِ ول ا﵁ِ ل ا﵁ عليه وسلم م ْع َلر اَللَّب ُ َ َل لَنَ َر ُس َع ِمْن ُ ُم اَلْبَ َة َ َاستَط ْ ِ ب ! َم َ َ َ َ ِ ِ ِ ِ ُّ َِ َّه َ َغ, َ ْليت زَّوج ِ ِ ْ َو, ض ل ْلبَ َ ِر ُ َ َّهُ لَه: َوَم ْ ََلْ َ ْ تَط ْع َ َعلَْيه بِ ل َّ ْوم, َح َ ُ ل ْل َ ْرِج ُ ْ َ ََ ُ َ ِو Artinya: “Rasulullah Shallallaahu „alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mempunyai kemampuan (secara fisik dan harta), hendaknya ia menikah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat meredam (syahwat)”. Kedua, bahwa menikah itu merupakan perilaku para utusan Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam surat Ar-Ra>d ayat 38:
ِ ِ ٍ ك و ع ْلنَ ََلم َْزو َّوذُرَّةً وم َك َن لِرس ول َ ْن َّأِِْتَ بِآ ٍَة اِ َّ بِِ ْذ ِن َُ ََ ً َ ْ ُ َ َ َ َ َولَ َق ْد َْر َس ْلنَ ُر ُسالً م ْ َ ْبل ِِ ِ ب ٌ َا﵁ ل ُ اَ َ ٍ كت Artinya:“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”.57 Ketiga, karena tidak menikah itu merupakan bentuk penyerupaan terhadap orang-orang Nashara, sedang menyerupai mereka di dalam masalah ibadat adalah haram. Berkata Syekh al-Utsaimin: “...dan karena dengan meninggalkan nikah padahal ia mampu, merupakan bentuk penyerupaan dengan orang-orang Nashara yang meninggalkan nikah
57
hlm. 376.
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989),
35
sebagai bentuk peribadatan mereka. Sedangkan menyerupai ibadat non muslim hukumnya dalah haram. 58 Pendapat kedua, bahwa hukum asal dari pernikahan adalah sunnah, bukan wajib. Ini pendapat mayoritas ulama. Berkata Imam Nawawi: “Ini adalah madzhab kita (Syafi‟iyah) dan madzhab seluruh ulama, bahwa perintah menikah di sini adalah anjuran, bukan kewajiban ... dan tidak diketahui seseorang mewajibkan nikah kecuali Daud dan orang-orang yang setuju dengannya dari pengikut Ahlu Zahir (Zahiriyah), dan riwayat dari Imam Ahmad”. 59 Pendapat ketiga, sebagian besar ulama berpendapat bahwa melakukan perkawinan hukumnya tidak diwajibkan tetapi juga tidak dilarang atau “mubah” pada asalnya.60 Adapun dasarnya atau alasannya ialah Firman Allah SWT: (QS. An-Nuur : 32)
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ْ َواَْ ُ وا ا ََ م ٰى مْن ُ ْم َوال ٰىّ ل َ م ْ عبَ د ُك ْم َوا َمآ ُك ْم ۚ ا ْن َّ ُ ْوُ ْوا ُ َقَر َ ُ ْغن ِ ُم ا﵁ُ م ﴾٣٢﴿َ ْ لِ ِه ۗ َوا﵁ُ َو ِاس ٌع َعلِْي ٌم Artinya:“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”.61 Dan Firman Allah SWT (QS. An-Nisa : 3)
58
Abdul Aziz, Buku Daras Fiqh Munakahat, ..., hlm. 74. 59 Ibid, hlm. 75. 60 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007), hlm. 19. 61 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989), hlm. 549.
36
ِ ِ ِ ب لَ ُ ْم م َ الن َ آ ِ َمثْ ٰىًن َوُ ٰىل َ َوُربٰى َع ۖ َِ ْن َ َ َو ْن خ ْ تُ ْم اَ َّ اُ ْق طُْوا ِىف الْيَ ٰىتٰىم َ ْ ُ ْوا َم ِ ِ ِ ِ ﴾٣﴿ك اَ ْد ٰىنٰۤ اَ َّ اَ ُع ْو لُ ْوا َ خ ْ تُ ْم َ َّ اَ ْعد لُ ْوا َ َوا ح َدةً اَْو َم َملَ َ ْ اَِْيَ ُ ُ ْم ۗ ٰىذل Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.62 Dengan berdasarkan pada perubahan “illahnya” atau keadaan masing-masing
orang
yang
hendak
melakukan perkawinan,
maka
perkawinan hukumnya dapat menjadi: wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. a.
Wajib Perkawinan hukumnya menjadi wajib apabila seseorang dilihat dari segi biaya hidup sudah mencukupi dan dari segi jasmaniahnya sudah sangat mendesak untuk kawin, sehingga kalau tidak kawin dia akan terjerumus melakukan penyelewengan, maka bagi orang yang demikian itu wajiblah baginya untuk kawin. Kalau dia kawin akan mendapat pahala, sedang kalau tidak kawin ia akan berdosa.63
b.
Sunnah Bagi orang yang memiliki dorongan seks, akan tetapi dia khawatir terjerumus pada perbuatan zina. Bagi orang yang demikian, menikah lebih utama daripada ia sibuk mengerjakan ibadah-ibadah sunah lainnya. Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama, selain imam
62 63
Ibid, hlm. 114. Abu Malik bin As-Sayyid, Shahih Fikih Sunnah, ... hlm. 112.
37
Syafi‟i. Menurut imam Syafi‟i, mengerjakan ibadah-ibadah sunah lebih utama baginya daripada menikah, karena hukum menikah baginya dalam kondisi stabil adalah mubah. 64 c.
Mubah Nikah hukumnya mubah bagi orang yang mempunyai syahwat, tetapi tidak mempunyai harta tetapi tidak mempunyai syahwat. 65
d.
Makruh Menikah adalah makruh bagi orang yang tidak dapat menafkahi isterinya dan dia tidak memiliki hasrat untuk menikah, akan tetapi ia tidak membahayakan isterinya. Kesibukan orang semacam ini untuk mengerjakan ibadah-ibadah sunah yang lain atau menyibukkan diri dalam menuntut ilmu adalah lebih baik baginya. 66
e.
Haram Perkawinan hukumnya menjadi haram, apabila seseorang yang mengawini seorang wanita hanya dengan maksud menganiayanya atau memperolok-olokkannya, maka haramlah baginya untuk kawin. Demikian juga apabila seseorang baik wanita atau pria, yang mengetahui dirinya mempunyai penyakit atau kelemahan yang mengakibatkan tidak bisa melaksanakan tugasnya sebagai suami/istri dalam perkawinan, sehingga mengakibatkan salah satu pihak menjadi menderita.67 Dalam Shahih Fikih Sunnah, hukum menikah adalah
64
Ibid. Abdul Aziz, Buku Daras Fiqh Munakahat, ..., hlm.78. 66 Abu Malik bin As-Sayyid, Shahih Fikih Sunnah, ..., hlm. 112. 67 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan...., hlm. 21. 65
38
haram bagi orang yang tidak dapat memberikan nafkah lahir dan batin kepada istrinya, tidak adanya kemampuan dan keinginan untuk melaksanakan pernikahan tersebut.68
2.
Rukun dan Syarat Perkawinan Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan. Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menurut islam calon pengantin lakilaki/perempuan itu harus beragama islam. Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.69 Adapun rukun nikah adalah adanya mempelai laki-laki, adanya mempelai perempuan, adanya wali, adanya dua orang saksi, dan sighat ijab kabul. Dalam rukun tersebut, terdapat syarat-syarat sebagai berikut:70 a.
Syarat Suami 1) Bukan mahram dari calon isteri; 2) Tidak terpaksa atas kemauan sendiri; 3) Orangnya tertentu, jelas orangnya; 4) Tidak sedang ihram
b.
Syarat Isteri 68
Abu Malik bin As-Sayyid, Shahih Fikih Sunnah ..., hlm. 112. 69 Tihami, dkk., Fikih Munakahat ..., hlm. 12. 70 Ibid, hlm. 13.
39
1) Tidak ada halangan syara‟, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah; 2) Merdeka, atas kemauan sendiri; 3) Jelas orangnya; 4) Tidak sedang ihram c.
Syarat Wali 1) Laki-laki; 2) Baligh; 3) Waras akalnya; 4) Tidak dipaksa; 5) Adil; 6) Tidak sedang ihram
d.
Syarat Saksi 1) Laki-laki; 2) Baligh; 3) Waras akalnya; 4) Adil; 5) Dapat mendengar dan melihat; 6) Bebas, tidak dipaksa; 7) Tidak sedang mengerjakan ihram; 8) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab kabul.
40
3.
Larangan dalam Perkawinan Menurut Fiqh Maksud larangan dalam pernikahan adalah larangan untuk menikahi (kawin) antara seorang pria dan seorang wanita. Menurut syara‟ larangan tersebut dibagi dua, yaitu halangan abadi dan halangan sementara. Halangan abadi ada yang telah disepakati dan ada pula yang masih diperselisihkan. Halangan abadi yang disepakati yaitu nasab (keturunan), pembesanan (karena pertalian kerabat semenda) dan sesusuan. Sedangkan yang diperselisihkan yaitu karena Zina dan karena sumpah Li‟an. Halangan sementara yaitu wanita yang masih terikat perkawinan dengan laki-laki lain, wanita yang sedang dalam „iddah, wanita yang di talak tiga, wanita yang sedang melakukan ihram, dan wanita musyrik. 71 a.
Halangan Abadi 1) Larangan Nikah karena Pertalian Nasab Dalam memilih calon pasangan hidup berkeluarga, Nabi Muhammad SAW, telah menentukan beberapa kriteria seseorang untuk dapat dinikahi, di antaranya tidak ada pertalian darah, sudah dewasa (baligh) dan berakal, dan berkemampuan baik material maupun immaterial. Dalam kaitan dengan masalah larangan nikah tersebut didasarkan pada firman Allah SWT:
ت ِ ت األ ُ ََخ َوبَن ُ ََخ ٰىواُ ُ ْم َو َع ٰىّمتُ ُ ْم َو ٰىخ ٰىلتُ ُ ْم َوبَن َ ُحرَم ْ َعلَْي ُ ْم َُّم ٰى تُ ُ ْم َوبَنَ اُ ُ ْم َو ... ِ ُخ ْ األ
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anakanakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, 71
hlm. 103.
Abdul Rohman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010),
41
saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang perempuan...”(QS. An-Nisa: 23)72 Berdasarkan ayat di atas, wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selamanya karena pertalian nasab adalah: 73 a)
Ibu, perempuan yang ada hubungan darah dalam garis keturunan ke atas, yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah maupun ibu dan seterusnya ke atas).
b) Anak perempuan, wanita yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke bawah, yakni anak perempuan, cucu perempuan, baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan dan seterusnya ke bawah. c)
Saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja,
d) Bibi, saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara sekandung ayah atau seibu dan seterusnya ke atas. e)
Kemenakan (keponakan) perempuan, yaitu anak perempuan saudara laki-laki atau saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.
2) Larangan Nikah karena Hubungan Sesusuan Larangan nikah karena hubungan sesusuan berdasarkan pada lanjutan surat An-Nisa ayat 23 di atas: 72
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989),
hlm. 120. 73
Tihami, dkk., Fikih Munakahat ..., hlm. 65.
42
ٰى ...الر َٰىع ِة َّ َ َخ ٰىواُ ُ ْم م َ َو َُّم ٰى تُ ُ ُم الِّٰۤ َْر َ ْعنَ ُ ْم َو... Artinya: “Diharamkan atas kamu ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan....”(QS. An-Nisa: 23)74 Ayat di atas di perjelas dengan hadis berikut:
ِ َِّب ل ا﵁ عليه وسلم َ َل ََْي ُرُم َّ َِع ْ َع ئ َلةَ َزْو ِج النَِِّب ل ا﵁ عليه وسلم ََّن الن .ِالر َ َع ِة َم ََْي ُرُم ِم َ الْ ِو َ َدة َّ َ ِم Artinya: “Dari Aisyah (istri Nabi Muhammad SAW), “Sesungguhnya Nabi SAW bersabda, „Diharamkan sebab sepersusuan sama seperti apa-apa yang diharamkan sebab kelahiran (Nasab),‟” (shahih Muttafaq Alaih)”.75
ِ َ رس: َع ُم سلَمةَ ََّن َُّم حبِيبةَ َ ل َأَ ْ َع ُ َم َذا؟:ُخ ِ ؟ َ َل َ َول ا﵁ َ ْ ل ْ ِك ََُ ْ َ َ َ َ َْ ِ ِ ِ ِ َُخت ك َ لَ ْ لَ ْ ُ ِِبُ ْخلِيَ ٍة َ ََوُُتب َ َذل: َ َع ْم َ َل: ْ َك؟ َ ل ْ َتَ ْن ُ َ َ َل: ْ ََ ل َ َوا﵁ِ لَ َق ْد: ْ َ َِ َّ َ َ َُِت ُّ ِ َ ل:ُخ ِ َ َل ُّ َح َ ِب ْ ب َم ْ َش ِر َك ِ ِ َخ ٍِْي َ ك َو َّ ب ُد َّرَة َْو ذَُّرَة َش َك ُزَ ْي ٌر بِْن َ َِِب َسلَ َمةَ َ َل بِْن َ ُم س لَ َمة َ َت ْ ُ ُخِ ِْب ُ َُّك ََتْط ََم َوا﵁ِ لَ ْوََلْ اَ ُ ْ َربِيبَِ ِ ِح ْج ِري َم َحلَّ ْ ِ اَِّ َ ابْنَةُ َِخي: َ َع ْم َ َل: ْ ََ ل ِ ِ َّ ِم . َّ ُ َِخ َواا َ َ الر َ َعة َْر َ َعْت ِ َوَبَ َ ُ َوْبَةُ َالَ اَ ْع ِر ْ َ َعلَ َّي بَنَ ا ُ َّ َو َ Artinya: “Dari Ummu Salamah, bahwasanya Ummu Habibah telah berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau mempunyai keinginan terhadap saudara saya?” Nabi berkata, “Apa yang harus saya lakukan?” Kemudian Ummu Habibah berkata lagi, “Nikahilah ia!” Nabi bertanya, “Saudaramu?” Ummu Habibah menjawab, “Ya benar, apakah anda suka dengan hal itu? Saya tak ingin hanya sendiri bersamamu, dan saya sangat senang jika yang bersamaku dalam kebaikan adalah saudaraku sendiri.” Kemudian Nabi SAW menjawab, “Sesungguhnya saudara wanitamu itu tidak halal bagiku.” Ummu Habibah menjawab, “Demi Allah, Aku telah dikabarkan bahwa sesungguhnya engkau meminang Durrah (atau Dzurrah, dan ada yang mengira namanya adalah Zuhair) binti Abu Salamah, Kemudian Nabi menjawab, “Anak Ummu Salamah?” Ummu Habibah menjawab, “Ya benar.” Setelah itu Rasulullah 74
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989),
hlm. 120. 75
Muhammadah Nashiruddin Al-Albani, Sahih Sunan Abu Daud ..., hlm. 798.
43
SAW menjawab, “Demi Allah, Andaikan ia bukan anak dari wanita yang menjadi istriku yang ada dalam pemeliharaanku, sesungguhnya ia tidak halal bagiku. Sesungguhnya ia adalah anak saudaraku persesusuan. Tsuwaibah telah menyusukanku dan juga Abu Salamah.” (shahih, Muttafaq Alaih)”. 76 Jika diperinci hubungan sesusuan yang diharamkan adalah: 77 a)
Ibu susuan, yaitu ibu yang menyusui.
b) Nenek susuan, yaitu ibu dari yang pernah menyusui atau ibu dari suami yang menyusui itu. c)
Bibi susuan, yakni saudara perempuan ibu susuan atau saudara perempuan suami ibu susuan dan seterusnya.
d) Kemenakan susuan perempuan, yakni anak perempuan dari saudara ibu susuan. e)
Saudara susuan perempuan, baik saudara seayah kandung maupun seibu saja.
3) Larangan Nikah karena Pertalian Kerabat Semenda (Mushaharah) Keharaman ini disebutkan dalam surat An-Nisa ayat 22 dan 23:
... ۚ َ ََو َاَْن ِ ُ ْوا َم َ َ َ َابَآ ُآُك ْم م َ الن َ آ ِ اِ َّ َم َ ْد َسل َو َُّم ٰى ُ ِ َ آ ِ ُك ْم َوَربَآ ِ ُك ُم اٰىلِّ ِ ُح ُج ْوِرُك ْم م ْ َ آ ِ ُك ُم اٰىلِّ َد َخ ْلتُ ْم ِبِِ َّ ۖ َِ ْن... ِ ِ َّ ِ ۖ ََّلْ اَ ُ ْوُ ْوا َد َخ ْلتُ ْم ِبِِ َّ َالَ ُ نَ َا َعلَْي ُ ْم َ ْ َو َحآل ُل اَبْنَآ ُك ُم ال ... ۙ ِمْن َ ْ الَبِ ُ ْم Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.... .....dan janganlah kamu nikahi ibu-ibu dari istri-istri kamu dan anak-anak tirimu yang berada dalam asuhanmu dari istri yang telah kamu gauli. Bila kamu belum mengaulinya, tidak apa kamu 76 77
Ibid. Tihami, dkk., Fikih Munakahat ..., hlm. 67.
44
mengawininya. Jangan kamu mengawini istri-istri dari anakanakmu....”.78 Jika diperinci adalah sebagai berikut:79 a)
Mertua perempuan, nenek perempuan istri dan seterusnya ke atas, baik dari garis ibu atau ayah.
b) Anak tiri, dengan syarat kalau telah terjadi hubungan kelamin antara suami dengan ibu anak tersebut. c)
Menantu, yakni istri anak, istri cucu, dan seterusnya ke bawah.
d) Ibu tiri, yakni bekas istri ayah. 4) Karena Li‟an Apabila seorang suami menuduh isteri berbuat zina tanpa ada saksi yang cukup, maka sebagai gantinya suami mengucapkan persaksian pada Allah bahwa ia dipihak yang benar dalam tuduhannya itu sampai empat kali, dan yang kelimanya ia menyatakan bersedia menerima laknat Allah apabila ternyata ia berdusta dalam tuduhannya itu. Sumpah laknat seperti itu disebut sumpah li‟an. Akibat dari sumpah li‟an itu, maka hubungan suami isteri menjadi putus dan antara keduanya haram untuk nikah selama-lamanya.80 Ketentuan mengenai sumpah li‟an dicantumkan dalam Al-Qur‟an Surat An-Nur ayat 6-9.
78
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989),
hlm. 120. 79
80
Tihami, dkk., Fikih Munakahat ..., hlm. 69. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan ...., hlm. 35.
45
َوالَّ ِ ْ َ َ ْرُم ْو َن اَْزَوا َ ُ ْم َوََلْ َ ُ ْ ََّلُ ْم ُش َ َد ُ اِ ّٰۤ اَْ ُ ُ ُ ْم َ َل َ َدةُ اَ َح ِد ِ ْم اَْربَ ُع ِِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ۙ ِ ٍِ َ ﴾ َواخلَ م َ ةُ اَ َّن لَ ْعنَ َ ا﵁ َعلَْيه ا ْن َك َن م٦ ﴿ َ ْ َش ٰى ٰىداب ﵁ ا َّهُ لَم َ ال َّ د ِ ِ ِِ ٍ ِِ َ ْ ِاب اَ ْن اَ ْل َ َد اَْربَ َع َش ٰى ٰىدت بِ ﵁ ا َّهُ لَم َ الْ ٰى ب َ َ ﴾ َوَ ْد َرُآا َعْن َ الْ َع٧﴿ َ ْ الْ ٰى ب ِ ْ ﴾ و٨﴿ ﴾٩﴿ َ ْ ِ ب ا﵁ِ َعلَْي َ آ اِ ْن َك َن ِم َ ال ٰىّ ِد َ َ َ اخلَ م َ ةَ اَ َّن َغ Artinya: ”Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benarbenar Termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar”.81 5) Karena Zina Perempuan pezina haram dikawini oleh laki-laki baik (bukan pezina), sebaliknya perempuan baik-baik tidak boleh kawin dengan laki-laki pezina.82 Keharaman mengawini pezina ini didasarkan kepada firman Allah dalam surat An-Nur ayat 3:
ِ الزا ِيَةُ َ َْن ِ ُ َ آ اِ َّ َز ٍان اَْو ُم ْل ِرٌ ۚ َو ُحرَم َّ اِّن َ َْن ِ ُ اِ َّ َزا ِيَةً اَْو ُم ْل ِرَكةً ۖ َّو ْ اَ َّلز ِ ﴾٣﴿ َ ْ ِك َعلَ الْ ُم ْؤِمن َ ٰىذل Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki
81
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989),
hlm. 544. 82
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), hlm. 130.
46
yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin”.83 Ayat Al-Qur‟an di atas dikuatkan oleh hadis Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Abu Daud dan Ahmad:
ِ ِ ِ ِ الع َس َرى َّ ص ََّن َم ْرَ َد بْ َ َِِب َم ْرَ ٍد الْغَنَ ِو َ ِ َْع ْ َعْبد ا﵁ بْ ِ َع ْم ِرو ب َ ي َك َن ََْيم ُ األ ِِبَ َّ ةَ َوَك َن ِِبَ َّ ةَ بَغِ ٌّي ُ َق ُل ََلَ َعنَ ُ َوَك َ ْ َ ِد َقتَهُ َ َل ِ ْ ُ اِ ََل النّ ِِب ل ِ ِ َ رس: ا﵁ عليه وسلم َ ُق ْل ْ َ َ َ َ َ َع َنَ َزل:ول ا﵁ َْ ُ َعنَ َ ! َ َال ََُ ُ . َ ْ ِ َ اَْن:الزا ِيَةُ َ َْن ِ ُ َ اِ َّ َز ٍان َْو ُم ْل ِرٌ ) َ َد َع ِِّن َ َقَرَ َ َعلَ َّي َوَ َل َّ ( َو Artinya: “Dari Abdullah bin Amru bin Ash, bahwasanya Martsad bin Abi Martsad Al Ghanawi pernah membawa seorang wanita tawanan perang dari Makkah. Di Makkah pada saat itu ada seorang pelacur yang dipanggil Anaq, wanita tersebut dahulu adalah sahabatnya. Ia berkata “Saya mendatangi Nabi SAW dan saya berkata kepadanya, „Wahai Rasulullah SAW, apakah saya boleh menikah dengan Anaq.‟ Kemudian Martsad berkata, „Rasulullah SAW diam, lalu turunlah ayat. “Seorang wanita pezina tidak akan menikah dengannya kecuali seorang yang berzina atau orang musyrik.‟ Kemudian Nabi memanggil saya, dan membacakan ayat tersebut.‟ Nabi berkata, „Janganlah engkau menikah dengannya,‟” (hasan shahih)”.84
َّ ِود ا َّ ُ ِ َع ْ َِِب ُ َرْ َرَة َ َل رسول ا﵁ ل ا﵁ عليه وسلم َ َْن ُ ُالزِاِّن الْ َم ْجل ...ُِمثْ لَه
Artinya: “Dari Abu Hurairah RA, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda,‟Tidak menikah seorang laki laki yang berzina yang menerima hukuman cambuk kecuali dengan orang yang sepertinya.”(shahih)”. 85 Sebagian ulama berpendapat tidak bolehnya melakukan perkawinan
83
dengan
pezina
sedangkan
sebagian
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989),
hlm. 543. 84 85
lain
Muhammadah Nashiruddin Al-Albani, Sahih Sunan Abu Daud ..., hlm. 796. Ibid, hlm. 797.
47
membolehkannya. Alasan yang digunakan ulama ini adalah larangan mengandung arti celaan dan bukan untuk haram. 86 Kawin dengan perempuan yang sedang hamil karena zina, ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukumnya. Ulama Malikiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa, perempuan tersebut tidak boleh dikawini kecuali setelah ia melahirkan anak; sebagaimana tidak boleh mengawini perempuan dalam masa iddah hamil. Ulama Hanafiyah, Syafi‟iyah, dan Zhahiriyah mengatakan bahwa, perempuan yang sedang hamil karena zina itu boleh dikawini tanpa menunggu kelahiran bayi yang dikandungnya. 87 b.
Halangan Sementara 1) Wanita yang masih terikat perkawinan dengan laki-laki lain Seorang perempuan yang sedang terikat dalam tali perkawinan haram dinikahi oleh siapa pun. Bahkan perempuan yang sedang dalam perkawinan itu dilarang untuk dilamar, baik dalam ucapan terus terang maupun secara sindiran meskipun dengan janji akan dikawini setelah dicerai dan habis masa iddahnya. Keharaman itu berlaku selama suaminya masih hidup atau belum dicerai oleh suaminya. Setelah suaminya meninggal atau ia diceraikan oleh suaminya dan selesai pula menjalani iddahnya ia boleh dikawini oleh siapa saja.88 Keharaman
86
Ibid. Ibid, hlm. 132. 88 Ibid, hlm. 127. 87
48
mengawini perempuan bersuami terdapat dalam surat An-Nisa ayat 24:
...َوالْ ُم ْ َنٰى ُ ِم َ الن َ آ ِ اِ َّ َم َملَ َ ْ َِْيٰىنُ ُ ْم Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.”89 2) Wanita yang sedang dalam „iddah Perempuan yang telah bercerai dari suaminya dan sedang menjalani baik iddah wafat, iddah hamil atau iddah haid tidak boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki selain suami yang menceraikannya. Bila ternyata ada yang melanggar larangan ini, maka perkawinan keduanya harus dibatalkan. Setelah dibatalkannya perkawinan tersebut dan habis masa iddahnya apakah boleh mantan suami mengawininya. Dalam hal ini berbeda pendapat ulama. 90 Imam Malik, al-Awza‟iy, dan al-Laits berpendapat bahwa pasangan yang kawin dalam masa iddah tersebut dipisahkan dan tidak boleh keduanya melangsungkan perkawinan sesudah itu untuk selamanya. Ulama lain diantaranya Abu Hanifah, Imam Syafi‟iy,
dan
al-Tsauriy
berpendapat
keduanya
boleh
melangsungkan perkawinan setelah keduanya dipisahkan dan habis
89
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989),
hlm. 120. 90
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan....., hlm. 123.
49
masa iddahnya, dalam arti keharaman mengawini perempuan itu bagi si laki-laki tidak berlaku untuk selamanya.91 3) Wanita yang di talak tiga Seorang suami yang telah menceraikan isterinya dengan tiga talak, baik sekaligus maupun bertahap, mantan suaminya haram mengawininya sampai mantan isteri itu kawin dengan lakilaki lain dan habis pula iddahnya.92 Hal ini terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 230:
...َُِ ْن َلَّ َق َ َالَ َُِت ُّ لَهُ ِم ْ بَ ْع ُد َح ٰىّ اَْن ِ َ َزْو ً َغْي َرآ Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain”.93 4) Wanita yang sedang melakukan ihram Perempuan yang sedang ihram, baik ihram haji atu ihram umrah, tidak boleh dikawini oleh laki-laki baik laki-laki tersebut sedang ihram pula atau tidak. Larangan itu tidak berlaku lagi setelah lepas masa ihramnya. 94 Hal ini sesuai dengan sabda Nabi dalam hadisnya dari Usman ibn Affan riwayat Muslim yang mengatakan:
ا﵀رم و ن 91
ن
Ibid. Ibid, hlm. 128. 93 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989), 92
hlm. 56. 94
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan ..., hlm. 129.
50
Artinya: “Orang yang sedang ihram tidak boleh kawin dan tidak boleh dikawinkan”. 5) Wanita musyrik Wanita musyrik, yaitu yang percaya kepada banyak Tuhan atau tidak percaya sama sekali kepada Allah, kelompok ini haram melangsungkan
perkawinan
dengan
muslim.
Begitu
pula
sebaliknya laki-laki musyrik haram kawin dengan perempuan muslimah kecuali bila ia telah masuk islam. 95 Keharaman ini dinyatakan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221:
َو َ اَْن ِ ُ ْوا اْل ُمث ْل ِرٰىك ِ َح َّ ٰى ُ ْؤِم َّ ۚ َوَ َ َمةٌ ُّم ْؤِمنَةٌ َخْي ٌر م ْ ُّم ْل ِرَك ٍة َوأل َْو ٍاَ ْعجبْت ُ م ۚ و َ اُْن ِ وا اْلم ْل ِركِ ح ٰى ْؤِمنُ وا ۗ ولَعب ٌد ُّم ْؤِم خي ر م ُّم ْل ِر َْ َ ْ ُ ّ َ َ ْ ُ ْ ُ ْ ٌ َْ ٌ َ ْ ََ ... ۗ َّولَ ْو اَ ْع َجبَ ُ ْم Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu....”96 Mengawini perempuan ahli kitab bagi laki-laki muslim sebenarnya dibolehkan; oleh karena ada petunjuk yang jelas terdapat dalam Al-Qur‟an, sebagaimana di antaranya terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 5:
95 96
hlm. 53.
Ibid, hlm. 133. Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989),
51
ۖ َو َ َع ُم ُ ْم َّ ُ اٰىاَْيتُ ُم ْو
ِ َّ ِ ِ ۗ َّ تٰىب ِح ٌّ لَّ ُ ْم َ ْالْيَ ْوَم اُح َّ لَ ُ ُم الطيٰىب ُ َو َ َع ُم ال ْ َ اُْواُوا ال ِ َّ ِ ِ ۖ َّ ِ َتٰىب ِم ْ َ ْبلِ ُ ْم اِذ َ ْح ٌّ َلُ ْم َوالْ ُم ْ َنٰى ُ م َ ال ْ َ اُْواُوا ال ... َّ ُاُ ُ ْوَر
Artinya: “Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya......”97 Jumhur Ulama berpendapat bahwa yang dimaksud ahli kitab dalam ayat ini adalah orang Yahudi dan Nasrani. Selain dari dua agama tersebut tidak termasuk ahli kitab. 98 6) Pernikahan yang kelima Selama masih berada dalam ikatan pernikahan keempat, maka tidak halal bagi seorang laki-laki untuk menikah kelima kalinya hingga ia berpisah dengan salah satunya dan telah habis masa „iddah-nya.99 Selain itu dalam Islam ada pernikahan-pernikahan yang dilarang: a.
Nikah Mut‟ah Secara bahasa kata mut‟ah berarti bersenang-senang atau bersedap-sedap. Maksudnya ikatan tali pernikahan antara seorang laki-laki dan wanita, dengan mahar yang telah disepakati, yang disebut dalam akad, sampai batas waktu yang telah ditentukan.
97
Ibid, hlm. 158. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan....., hlm. 134. 99 Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 129. 98
52
Dengan berlakunya waktu yang telah disepakati, atau dengan pemendekan batas waktu yang diberikan oleh laki-laki, maka berakhirlah ikatan perkawinan tersebut tanpa memerlukan proses perceraian. 100 Nikah mut‟ah tidak disepakati dan demi kebaikan manusia, karena dengan ini hilanglahketurunan, pemanfaatan perempuan hanya terbatas pemenuhan syahwat oleh laki-laki dengan merendahkan kepribadian perempuan, maka wajib keharamannya. Pernikahan ini hukumnya batal dan haruslah dibatalkan ketika terjadi. 101 b.
Nikah Syighar Secara bahasa kata syighar
berarti „membuang‟ atau
„meniadakan‟. Maksudnya meniadakan mas kawin. 102 Nikah syighar yaitu seorang wali yang meniakahkan ke walinya seorang laki-laki dengan syarat ia menikahkannya juga sebagai kewaliannya, baik mereka menyebutkan maharnya ataupun tidak. 103 c.
Nikah Muhalil Secara bahasa muhalil berarti „yang menjadikan halal‟. Seorang laki-laki yang mentalak istrinya dengan talak tiga, tidak boleh kembali kepada mantan istrinya itu sebelum dinikahi laki-laki lain dan
100 101
Abdul Aziz, Buku Daras Fiqh Munakahat, ..., hlm. 28. Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, ..., hlm.
135. 102 103
136.
Abdul Aziz, Buku Daras Fiqh Munakahat, ..., hlm. 33. Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, ..., hlm.
53
menyetubuhinya kemudian menceraikannya dan habis masa iddahnya. Maka agar ia dapat kembali kepada mantan istrinya itu ia menyewa seseorang untuk menikahi mantan istrinya dengan syarat sesudah bercampur segera menceraikannya. Nikah muhalil adalah seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita dengan niat atau berjanji akan menceraikannya kembali supaya wanita itu boleh menikah kembali dengan mantan suaminyayang telah mentalaknya tiga kali (bain kubra).104
E. Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI 1.
Rukun dan Syarat Pernikahan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI
Dalam Kompilasi Hukum Islam, rukun perkawinan yaitu harus ada: 105 a.
Calon Suami;
b.
Calon Isteri;
c.
Wali nikah;
d.
Dua orang saksi dan;
e.
Ijab dan Kabul. Adapun syarat-syarat perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974
yaitu:106 a.
Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
b.
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 104
Abdul Aziz, Buku Daras Fiqh Munakahat, ..., hlm. 34. Kompilasi Hukum Islam Buku I Hukum Perkawinan, Pasal 14. 106 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 6. 105
54
c.
Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
d.
Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
e.
Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.
f.
Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
2.
Larangan Pernikahan Menurut UU No.1 Tahun 1974 Di dalam UU No.1 Tahun 1974 disebutkan tentang adanya larangan perkawinan, pencegahan perkawinan dan pembatalan perkawinan. Larangan perkawinan tertera dalam Pasal 8, 9 dan 10. Menurut Pasal 8 UU No.1
55
Tahun 1974 perkawinan yang dilarang ialah antara dua orang sebagai berikut:107 a.
berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
b.
berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c.
berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d.
berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;
e.
berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f.
yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Dan selanjutnya ditambah larangan dalam Pasal 9 dan Pasal 10 yaitu: g.
seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-undang ini. 108
h.
apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum, masing-
107
108
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 8. Ibid, Pasal 9.
56
masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. 109 Sedangkan pencegahan perkawinan tertera dalam Pasal 13 yang berbunyi “Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. 110 Kemuadian dalam Pasal 14 di jelaskan tentang siapa saja yang bisa melakukan pencegahan perkawinan. Bunyi Pasal 14 “Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan”. 111 Tentang pembatalan perkawinan terdapat dalam Pasal 22 yang berbunyi “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. 112 Sedangkan yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan terdapat dalam Pasal 23 yang berbunyi “Yang dapat mengajukan Pembatalan perkawinan yaitu: a.
Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
b.
Suami atau isteri;
c.
Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
109
Ibid, Pasal 10. Ibid, Pasal 13. 111 Ibid, Pasal 14. 112 Ibid, Pasal 22. 110
57
d.
Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus”.113
3.
Larangan Perkawinan Menurut KHI Di dalam KHI juga sudah di atur dalam pasal 39-44 tentang larangan kawin. Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :114 a.
Karena pertalian nasab : 1) dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya; 2) dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; 3) dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
b.
Karena pertalian kerabat semenda : 1) dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya; 2) dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya; 3) dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul, dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
c.
Karena pertalian sesusuan :
113 114
Ibid, Pasal 23. Kompilasi Hukum Islam Buku I Hukum Perkawinan Pasal 39.
58
1) dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas; 2) dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah; 3) dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah; 4) dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas; 5) dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya. Pada pasal selanjutnya juga disebutkan larangan perkawinan antara pria dan wanita karena beberapa sebab yaitu: a.
Karena keadaan tertentu:115 1) karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; 2) seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; 3) seorang wanita yang tidak beragama islam.
b.
Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya;116
115 116
1)
saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;
2)
wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
Ibid, Pasal 40. Ibid, Pasal 41.
59
Larangan tersebut tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah. c.
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i. 117
d.
Seorang pria juga dilarang menikah:118 1) dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali, kecuali bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya. 2) dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.
e.
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. 119
F. Perspektif Hukum Adat Larangan Kawin Menurut Hukum Adat Menurut arti istilah, adat berarti kebiasaan/adat-istiadat yang biasanya merupakan sikap hidup atau tingkah laku manusia yang dilakukan secara terus menerus dalam kehidupan sehari-hari. 120 117
Ibid, Pasal 42. Ibid, Pasal 43. 119 Ibid, Pasal 44. 118
60
Menurut Prof. Dr. Supomo, SH dalam karangan beliau “Beberapa Catatan mengenai kedudukan hukum adat” memberi pengertian hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis didalam peraturan-peraturan legislatif meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. 121 Pengertian adat menurut Dr. Sukamto adalah hukum adat sebagai kompleks-kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum. 122 Sejak saat pertunangan itu, sudah sewajarnya segera berlaku normanorma mengenai larangan dan kecenderungan kawin, misalnya: 123 a.
Larangan kawin dalam lingkungan (bagian) clannya sendiri (exogami);
b.
Larangan hubungan kawin timbal-balik;
c.
Derajat-derajat perkawinan antar-wangsa terdekat yang terlarang;
d.
Larangan kawin dengan isteri yang sudah bercerai dari sesama warga clan;
e.
Kecenderungan kawin dengan anak gadis dari saudara laki-laki ibunya: perkawinan cross-cousin segi satu (perkawinan anak saudara laki-laki dengan anak saudara perempuan);
120
Nanik Purnama Sakti, Perkawinan Adat Masyarakat Primitif menurut Perspektif Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 (Studi tentang Perkawinan Adat Dukuh Sendang, Klampok, Desa Ngebung, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen), Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah STAIN Surakarta, 2006. 121 Ibid. 122 Ibid. 123 Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007), hlm. 111.
61
f.
Desakan untuk kawin dengan pemudi dari desanya sendiri. Pada umumnya larangan perkawinan yang telah ditentukan dalam UU
No.1 Tahun 1974 tidak banyak bertentangan dengan hukum adat yang berlaku di berbagai daerah di Indonesia, namun di sana sini masih ada hal-hal yang berlainan karena pengaruh struktur masyarakat adat yang unilateral, apakah menurut garis patrilinial ataupun matrilineal, dan mungkin juga pada masyarakat yang bilateral di pedalaman. Istilah larangan dalam hukum adat misalnya dipakai sebutan “sumbang”, “pantang”, “pamali”, “tulah”, dan sebagainya. 124 Dalam masyarakat adat Batak yang bersifat patrilinial dan bersendi “dalihan na tolu” (tungku tiga) berlaku larangan perkawinan “semarga”, pria dan wanita dari satu keturunan (marga)
yang sama dilarang melakukan
perkawinan. 125 Di Minangkabau berlaku eksogami suku dan eksogami kampung. Ini berarti bahwa orang yang sesuku di dalam suatu negari tidak boleh kawin, demikian pula orang yang sekampung tidak dapat kawin di dalam kampung sendiri, walaupun sukunya berlainan. 126 Bagi masyarakat adat Jawa yang sifat kekerabatannya parental yang dilarang melakukan perkawinan adalah mereka yang bersaudara kandung, anakanak saudara kandung lelaki (pancer lanang), misanan, yang pria lebih muda ibunya daripada wanita. Sedangkan perkawinan antara dua orang yang tidak terikat hubungan kekerabatan tersebut diperkenankan. 127
124
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2007).hlm. 59. 125 Ibid. 126 Ibid, hlm. 60. 127 Ibid, hlm. 61.
BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA LARANGAN PERNIKAHAN ANTARA DUKUH BAREPAN DENGAN DUKUH SUGOREJO
A. Deskripsi Wilayah Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo 1. Dukuh Barepan a. Kondisi Geografis Secara administratif batas-batas wilayah Dukuh Barepan sebagai berikut:1 No 1. 2. 3. 4.
b.
Letak Batas Utara Selatan Barat Timur
Lokasi Desa Blimbing Dukuh Sugorejo Dukuh Badran Dukuh Sutan
Kondisi Demografi dan Pendidikan Dukuh Barepan merupakan salah satu dukuh yang berada di Kelurahan Jagan Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo. Kelurahan Jagan terletak kurang lebih 2,5 km dari pusat pemerintahan kecamatan, dan kurang lebih 2,5 km dari pusat pemerintahan kabupaten. Luas wilayah kelurahan Jagan adalah 163 ha. 2 Dengan jumlah penduduk 2.547 orang.3
1
Riyadi , Ketua Rt di Dukuh Barepan, Wawancara Pribadi, 12 Desember 2016, jam 10.00 – 10.30 WIB. 2 Observasi di kantor Kelurahan Jagan Kec.Bendosari Kab.Sukoharjo, 17 September 2016. 3 Ibid.
62
63
Dukuh Barepan merupakan daerah yang padat penduduk. Dukuh Barepan memiliki jumlah penduduk yang terdiri dari 66 kepala keluarga. Dan mayoritas beragama islam. Pendidikan masyarakat di Dukuh Barepan kebanyakan lulusan SLTA, ada sebagian yang Sarjana, dan ada pula yang SMP. Pendidikan keagamaan masyarakat di Dukuh Barepan sudah di mulai sejak dini yaitu dengan adanya TPQ di Masjid. Mayoritas masyarakat di Dukuh Barepan memiliki mata pencaharian sebagai petani, namun ada beberapa sebagai perantau,buruh dan juga pedagang. 4
2. Dukuh Sugorejo a.
Kondisi Geografis Secara administratif batas-batas wilayah Dukuh Sugorejo sebagai berikut:5 No 1. 2. 3. 4.
Letak Batas Utara Selatan Barat Timur
Lokasi Dukuh Barepan Desa Kalisogo Peternakan dan sawah Desa Gondang
b. Kondisi Demografi dan Pendidikan Dukuh Sugorejo merupakan salah satu desa yang berada di Kelurahan Jagan Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo.Dukuh Sugorejo terdiri dari dua RW yaitu RW 03 dan RW 03. Dukuh Sugorejo
4
Suratno, Ketua Rw di Dukuh dan Tokoh Agama Barepan, Wawancara Pribadi, 19 September 2016, jam 17.45 – 18.15 WIB. 5 Ibid.
64
memiliki jumlah penduduk yang terdiri dari 53 kepala keluarga. Dan mayoritas masyarakatnya beragama islam. Pendidikan masyarakat di Dukuh Sugorejo kebanyakan lulusan SLTA, tetapi ada juga yang SD, SMP, dan juga Sarjana. Mayoritas masyarakat di Dukuh Sugorejo memiliki mata pencaharian sebagai petani dan perantauan, namun ada juga yang PNS, buruh dan juga peternak.6
B. Gambaran Umum tentang Larangan Pernikahan Karena Masih Satu Danyang antara Dukuh Barepan dengan Dukuh Sugorejo Yang dimaksud larangan adat pernikahan antara Dukuh Barepan dengan Dukuh Sugorejo yaitu warga Dukuh Braepan tidak boleh melakukan pernikahan dengan warga Dukuh Sugorejo dan begitupula sebaliknya, warga Dukuh Sugorejo juga tidak boleh melakukan pernikahan dengan warga Dukuh Barepan.7 Sejarah tentang larangan pernikahan antara warga Dukuh Barepan dan warga Dukuh Sugorejo ini di mulai ketika Kyai Kerto Slamet dan Kyai Kerto Kuoso melakukan babat alas yang nantinya menjadi cikal bakal Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo. Setelah berjalan beberapa waktu, mereka berdua membagi wilayah menjadi dua, yakni Barepan dan Sugorejo supaya tidak ada rasa iri satu sama lain dalam hal kepemimpinan. Kedua wilayah tersebut hidup damai layaknya saudara sendiri (seperti keluarga). Pada suatu ketika salah seorang 6
Ibid. 7
Haryanto, Tokoh Agama Duku Barepan, Wawancara Pribadi, 21 September 2016, jam 11.00-11.30 WIB.
65
pemuda dari Dukuh Sugorejo jatuh hati kepada salah satu wanita dari Dukuh Barepan, singkat cerita mereka berdua menikah dan tak lama kemudian salah satu dari pasangan tadi meninggal dunia yakni dari pihak pemuda Dukuh Sugorejo. Saat itu warga masih menganggap kejadian itu sesuatu hal yang wajarwajar saja hingga kasus-kasus yang hampir sama berulang-ulang terjadi. Sejak saat itu warga merasa ada yang ganjil dengan kejadian tersebut dan menganggap itu adalah sebuah kutukan. Sejak saat itu demi kemaslahatan dan keselamatan warga kedua dukuh Kyai Kerto Slamet dan Kyai Kerto Kuoso melarang pernikahan antara kedua wilayah atau dukuh tersebut. Dari sumber lain yang penulis dapatkan larangan pernikahan yang terjadi dikarenakan kesamaan nama pendiri wilayah yang sama-sama diawali dengan nama Kerto.8 Dalam perkembangannya, masyarakat Dukuh Barepan dan Sugorejo masih menganggap adat adalah hukum. Karena unsur pembentukannya adalah pembiasaan dalam kehidupan manusia yang dilakukan secara terus-menerus dan menjadi kelaziman yang diturut atau dilakukan sejak lama. Sebagian warga berpendapat walaupun dalam perkembangannya, adat dahulu dengan adat sekarang atau adat yang akan datang situasinnya akan berbeda-beda sesuai dengan perkembangan zamzn. Adat tidak bisa semena-mena untuk diterapkan dalam masyarakat walaupun itu tidak semuanya. Karena menurut sebagian warga masyarakat Dukuh Barepan dan Sugorejo adat bisa tergeser sedikit demi sedikit untuk tidak digunakann lagi, sehingga apa yang dianggap terdapat nilai positifnya bisa lebih dikembangkkan lagi. Walaupun sebagian besarmasyarakat 8
Mitro, Sesepuh Desa Srago Cilik, Wawancara Pribadi, 13 Desember 2016, Jam 15.3016.30 WIB.
66
Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo beranggapan bahwa secara perlahan-lahan adat akan ditinggalkan oleh generasi-generasi yang akan datang, akan tetapi pada pada prakteknya hingga saat ini adat tersebut masi saja ditaati oleh hampir semua lapisan masyarakat Dukuh barepan dan Sugorejo yang mana pada kasus ini adalah larangan pernikahan masih satu danyang. Adanya sebuah keputusan tentu adapula sanksinya, seperti halnya agar adat larangan pernikahan karena masih satu danyang ini bisa dikatakan adat atau hukum adat haruslah mempunyai sanksi. Ini bertujuan menciptakan kehidupan masyarakat yang mengutamakan kemaslahatan, karena itu sanksi terhadap penyimpangan adat harus diberlakukan sebagai konsekuensi bagi pelanggarnya. Dalam kasus Larangan Pernikahan Masi Satu Danyang ini juga diberlakukan pemberian sanksi bagi para pelakunya, yaitu bagi para pelanggar
larangan
pernikahan ini diharuskan untuk tidak menetap disalah satu dukuh yakni Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo. Walaupun saksi ini tidak tertulis akan tetapi menurut masyarakat dengan cara ini pelaku larangan pernikahan masih satu danyang akan terhindar dari musibah-musibah atau kutukan yang ditakutkan sebagai akibat melanggar larangan pernikahan masih satu danyang ini. Dalam teorinya, adanya sanksi adat ini diharapkan memberi efek jera bagi para pelakunya. Akan tetapi dalam kasus Larangan Pernikahan Masih Satu Danyang ini, lebih kepada sanksi yang membawa kemaslahatan bersama, karena dengan cara ini para pelaku bisa terhindar dari segala musibah.
67
C. Pendapat Tokoh Masyarakat dan Masyarakat tentang Larangan Larangan Pernikahan Karena Masih Satu Danyang antara Dukuh Barepan dengan Dukuh Sugorejo Menanggapi kasus tersebut, Bapak Sumadi mengatakan pernikahan antara warga Dukuh Barepan dan warga Dukuh Sugorejo sebenarnya sah-sah saja, karena tidak ada aturan yang melarangnya baik itu dalam hukum islam maupun hukum positif. Tetapi sebagai orang jawa seyogyanya kita menjaga dan menghormati adat istiadat yang sudah ada dan yang di percayai. Dan menurut beliau janganlah melanggar hal-hal yang sudah diyakini masyarkat sekitar kita. Disinggung mengenai hal-hal yang akan terjadi atau tidak di inginkan (musibah) dari salah satu keluarga apabila tetap melaksanakan pernikahan, beliau berpendapat bahwa, kita sadar bahwa setiap kejadian adalah kehendak Allah dan tidak ada kaitannya dengan hal-hal yang ada di sekitar kita apalagi menjadi penyebab utama, tetapi yang perlu di ingat, walaupun kita yakin tidak akan terjadi hal-hal yang tidak di inginkan setelah melakukan pernikahan tersebut, tetapi masyarakat sudah sangat meyakini, maka hal itu kemungkinan besar bisa terjadi. 9 Salah seorang tokoh agama (Haryanto) berpendapat pada dasarnya sependapat dengan Bapak Sumadi, beliau memperbolehkan adanya perkawinan antara warga Dukuh Barepan dan warga Dukuh Sugorejo, asalkan rukun dan
9
Sumadi, Khotib Masjid di dukuh barepan dan Dukuh Sogorejo, Wawancara Pribadi, 23 September 2016, jam 11.00-11.30 WIB.
68
syarat sah nikah terpenuhi. Dan di singgung mengenai hal-hal yang tidak di inginkan, beliau juga sependapat dengan bapak Sumadi. 10 Sedangkan menurut Bapak Padi Ahmad, perkawinan antara warga Dukuh Barepan dan warga Dukuh Sugorejo sah sah saja karena dalam Al-Qur‟an dan Hadist tidak ada yang melarangnya. Seseorang menikah dikatakan sah apabila telah melengkapi syarat sah nikah dan rukun nikah. Di singgung soal kepercayaan masyarkat mengenai hal-hal yang tidak di inginkan, beliau berpendapat menentang keras kepercayaan itu karena hal itu mendekatkan kita kepada musyrik.11 Menurut Bapak Kasimen, beliau meyakini bahwa apabila terjadi pernikahan antara warga Dukuh Barepan dan warga Dukuh Sugorejo maka akan terjadi hal-hal yang dapat membahayakan salah satu pihak atau bahkan keluarganya. Beliau masih menjunjung tingi adat istiadat dan kepercayaan masyarakat sekitar.12 Menurut Bapak Marso (keluarga pelaku pernikahan antara warga Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo), beliau percaya dengan larangan pernikahan yang ada dan beliau juga percaya dengan akibat dari melakukan pernikahan tersebut yang akan menimbulkan hal-hal yang tidak di inginkan. Mursini (putri dari bapak Marso) menikah dengan Agus suprapto (warga Dukuh Sugorejo). Sebenarnya
10
kedua
pihak
keluarga
sudah
melarang
mereka
untuk
Haryanto , Tokoh Agama Dukuh Barpan, Wawancara Pribadi, 20 September 2016, jam 10.00-10.30 WIB. 11 Padi Ahmad, Tokoh Agama Dukuh Barepan, Wawancara Pribadi, 06 September 2016, jam 17.00-17.30 WIB. 12 Kasimen, Sesepuh Dukuh Barepan, Wawancara Pribadi, 11 September 2016, 13.30-14.00 WIB.
69
melakukanpernikahan, akan tetapi karena mereka berdua sudah saling mencintai dan tidak mau dipisahkan kedua pihak keluarga terpaksa mengiyakan pernikahan mereka terjadi. Selang beberapa tahun mereka dikaruniai seorang anak dan seakan-akan memutus mitos yang selama bertahun-tahun diyakini oleh warga, hingga keyakinan warga kembali menguat saat Agus Suprapto meninggal dalam sebuah kecelakaaan. Sejak saat itu warga kembali memperbincangkan asal mula pernikahan pasangan Mursini dan Agus Suprapto yang seharusnya tidak terjadi. Beliau juga percaya bahwa melanggar pernikahan akan membawa hal-hal buruk seperti keluarga tidak harmonis, sering mendapat musibah, sulit mencari rizki dan juga bisa menyebabkan kematian.13 Menurut Roif Wibowo (warga Dukuh Barepan), pernikahan antara warga Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo sah-sah saja asalkan rukun dan syarat nikah terpenuhi. Tetapi di singgung mengenai hal-hal yang tidak di inginkan, beliau berpendapat bahwa menghindari terjadinya hal-hal yang tidak di inginkan itu lebih baik. Jadi sebaiknya pernikahan antarawarga Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo tidak dilakukan. 14 Demikianlah pendapat beberapa tokoh agama, sesepuh dukuh dan masyarakat mengenai larangan adat perkawinan antara Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo, dengan melihat latar belakang tokoh masyarkat maupun masyarakat yang berbeda, maka bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut:
13
Marso, Sesepuh Dukuh Barepan (orang tua pelaku pernikahan), Wawancara Pribadi, 07 September 2016, pukul 18.30-19.00 WIB. 14 Roif Wibowo, Masyarakat Dukuh Barepan, Wawancara Pribadi, 01 September 2016, jam 19.15-19.45 WIB.
70
1. Bapak Sumadi berpendapat, beliau tidak melarang adanya pernikahan antara warga Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo, tetapi beliau juga menghormati dan menjaga kepercayaan serta keyakinan masyarkat. 2. Bapak Haryanto sependapat dengan Bapak Kardi, beliau tidak melarang adanya pernikahan antara warga Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo, tetapi beliau juga menghormati dan menjaga kepercayaan serta keyakinan masyarkat. 3. Bapak Padi Ahmad berpendapat, tidak melarang adanya pernikahan antara warga Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo, karena dalam Al-Qur‟an dan Hadist tidak ada yang melarangnya. Seseorang menikah dikatakan sah apabila telah melengkapi syarat sah nikah dan rukun nikah. Beliau juga tidak percaya dengan hal-hal yang dikhawatirkan akan terjadi apabila terjadi pernikahan. 4. Bapak Kasimen berpendapat setuju dengan larangan pernikahan yang terjadi antara warga Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo, dan beliau menjunjung tinggi adat istiadat dan kepercayaan masyarkat yang harus di jaga. 5. Bapak Marso berpendapat setuju dengan larangan pernikahan antara warga Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo, menurut beliau pernikahan itu akan membawa musibah bila dilaksanakan dan beliau percaya dengan hal-hal yang di khawatirkan akan terjadi seperti keluarga tidak harmonis, sering mendapat musibah, sulit mencari rizki dan juga bisa menyebabkan kematian. 6. Roif Wibowo berpendapat pernikahan antara warga Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejosah sah saja asalkan memenuhi rukun dan syarat nikah.
71
Tetapi menurut beliau menghindari pernikahan tersebut lebih baik agar tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan.
BAB IV ANALISIS ‘URF TERHADAP LARANGAN PERNIKAHAN KARENA MASIH SATU DANYANG ANTARA DUKUH BAREPAN DENGAN DUKUH SUGOREJO DESA JAGAN KECAMATAN BENDOSARI KAB. SUKOHARJO
A. Analisis terhadap Faktor-faktor Dilaranganya Pernikahan Karena Masih Satu Danyang antara Dukuh Barepan dengan Dukuh Sugorejo Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo Masyarakat Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo beragama Islam akan tetapi mereka masih sangat mempercayai budaya Jawa, yaitu tradisi kejawen (Islam Jawa). Mereka masih tetap melestarikan unsur-unsur kepercayaan lama yang telah mengakar kuat dalam masyarakat, diantaranya adalah masalah larangan nikah. Larangan nikah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah larangan pernikahan karena masih satu danyang, yang mana jika pernikahan itu tetap dilaksanakan akan berakibat buruk bagi pernikahan tersebut. Dalam praktik kasus larangan nikah Masih Satu Danyang, masyarakat berpedoman pada ilmu titen (ilmu hafalan) yang mereka pelajari dan diterapkan untuk menjadi landasan hukum selanjutnya, dengan mengacuh kepada peristiwa yang bersesuaian terjadi, yaitu sesuatu yang tidak diinginkan setelah melaksanakan pernikahan antar dukuh ini. Dengan dasar inilah masyarakat Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo melarang adanya praktik nikah Karena Masih Satu Danyang. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab III, mayoritas responden mengatakan bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi pernikahan Karena Masih Satu Danyang adalah munculnya hal-hal yang tidak diinginkan terjadi 72
73
pada pelaku. Masyarakat percaya jika pernikahan tersebut tetap dilaksanakan, maka yang bersangkutan akan mendapat akibat buruk yang diyakini. Padahal semua kemadlaratan yang menimpah seseorang merupakan kehendak Allah Swt. Sesuai dengan firman-Nya surat Yu>nus ayat 107, yang berbunyi:
Artinya: “Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, Maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hambahamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.1 Alasan yang dikemukakan oleh responden hanya pandangan yang bersifat mitologi. Mitos-mitos yang dibangun oleh masyarakat setempat akhirnya menjadi kepercayaan yang turun-temurun dan diyakini hingga sekarang, serta menjadi warisan tradisi bagi masyarakat Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo. Tradisi tersebut telah berkembang dalam masyarakat dengan didukung oleh kejadian yang bersesuaian secara kebetulan dengan akibat bagi orang-orang yang melanggar tradisi larangan nikah tersebut. Selain itu juga, yang menjadi faktor masyarakat Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo mempercayai hal-hal yang bersifat tahayul dan mistik adalah dari segi pendidikan dan ekonomi. Dapat diketahui dari data yang ada dalam bab III dari segi pendidikan agama masyarakat Dukuh Barepan dan Sugorejo tergolong cukup rendah. Dari sinilah akar masalah utama seseorang yang
1
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya…, 323.
74
mempunyai kurangnya pengetahuan ilmu agama maka akan dekat dengan kekufuran. Menurut keterangan yang didapat setelah melakukan wawancara, terdapat empat akibat yang timbul setelah melakukan pernikahan Karena Masih Satu Danyang akibat ini juga yang dijadikan alasan oleh masyarakat untuk melarang pernikahan ini, yaitu: 1.
Keluarga tidak harmonis Dalam membina keluarga semua orang mencita-citakan mempunyai keluarga yang saki>>nah, mawaddah wa rahmah. Keluarga yang aman, damai dan sejahterah menjadi idaman setiap individu. Akan tetapi keluarga yang seperti itu tidak semudah yang kita bayangkan, butuh proses dan usaha terus-menerus dan keseimbangan dalam menjalankannya. Diantara tujuan pernikahan adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga. Dengan demikian keluarga yang bahagia adalah keluarga yang mampu menyeimbangkan antara hak dan kewajiban sesama anggota keluarga. Namun dalam menjalankan bahtera rumah tangga tidak akan selamanya bahagia dan harmonis, pasti akan muncul ketidakharmonisan dalam keluarga di kemudian hari yang disebabkan oleh persolan-persoalan, baik itu faktor ekonomi, keluarga maupun lingkungan sekitar. Dengan demikian, apabila keharmonisan seperti yang telah dijelaskan diatas dihubungkan dengan dampak buruk yang timbul akibat
75
melanggar larangan pernikahan Satu Danyang, maka hal tersebut tidak bisa dibenarkan secara rasional. Karena keharmonisan keluarga terletak pada diri masing-masing keluarga, bagaimana mengatur dan menjalankan bahtera rumah tangganya. 2.
Sering mendapatkan musibah Salah satu akibat dari pernikahan Satu Danyang adalah sering memperoleh musibah, sesungguhnya semua hal buruk berupa musibah yang menimpa seseorang merupakan atas kehendak Allah Swt. atau karena perbuatannya sendiri. Sesuai dengan firman Allah Swt. surat an-Nisa‟ ayat 79, yang berbunyi:
Artinya: “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi”.2 Dan juga firman Allah Swt. surat at-Tagha>bun ayat 11:
Artinya: “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan Barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.3 Berdasarkan ayat diatas dapat diketahui bahwa semua musibah yang diperoleh sesorang semata-mata merupakan ujian/cobaan dari Allah 2 3
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya…., 132. Ibid., 941.
76
Swt. kepada hamba-Nya, bukan akibat dari melanggar larangan nikah Karena Masih Satu Danyang. Jadi persepsi masyarakat tentang akibat melanggar larangan nikah tersebut akan mendapatkan musibah itu tidak dapat dibenarkan. Sulit mencari rizki
3.
Masyarakat dukuh Barepan dan Sugorejo percaya, akibat melanggar larangan nikah Karena Masih Satu Danyang selanjutnya adalah sulit mencari rizki. Secara rasional hal ini tidak dapat dibenarkan, karena pernikahan tidak akan membawa pada kemiskinan, justru sebaliknya Allah Swt. akan memberikan rizki yang cukup. Manusia tetap harus berusaha, karena itu sudah menjadi tugasnya. Selama orang mau berusaha dengan sungguh-sungguh maka Allah Swt. pasti akan memberikan hidayah baginya. Allah Swt. telah menjamin rizki para makhluk-Nya. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Alquran surat ar-Ru>m ayat 40, yang berbunyi:
Artinya:“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan”.4 Dan juga firman-Nya dalam Alquran surat Hu>d ayat 6:
4
Ibid., 647.
77
Artinya: ‚Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfu>zh)‛.5 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa persepsi masyarakat terhadap kesulitan mencari rizki tersebut bukan semata-mata akibat dari pernikahan Karena Masih Satu Danyang, melainkan karena akibat perbuatannya sendiri atau atas kehendak Allah Swt. Kematian
4.
Akibat lain yang dijadikan alasan oleh masyarakat Dukuh Barepan Dan Sugorejo melarang pernikahan ini adalah kematian. Kematian ini dikhawatirkan akan menimpa kepada kedua mempelai dan juga kepada kedua orang tuanya. Alasan ini tidak berdasar dan juga tidak logis, Allah Swt. mempunyai hak preogatif dalam menentukan umur manusia di dunia. Masalah kehidupan dan kematian merupakan urusan Allah Swt. tidak satupun makhluk yang mengetahuinya. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Alquran surat ar-Ru>m ayat 40, yang berbunyi: ...
Artinya:”Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan”.6
5 6
Ibid., 327. Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya…., 132.
78
Dari keempat akibat diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa larangan nikah Karena Masih Satu Danyang tidak mempunyai dasar yang pasti, sehingga seseorang halal melakukan pernikahan tersebut. Karena tidak ada ketentuanketentuannya dalam Alquran maupun hadis.
B. Analisis ‘Urf Terhadap Larangan Pernikahan Karena Masih Satu Danyang Dukuh Barepan Dengan Dukuh Sugorejo Desa Jagan Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo Dalam kehidupan masyarakat banyak sekali kegiatan dan aturan yang ada berasal dari nenek moyang. Hal ini terlihat dalam suatu masyarakat yang dinamakan adat atau tradisi. Adat atau tradisi ini telah turun temurun dari generasi ke generasi yang tetap dipelihara hingga sekarang. Dalam aktivitas sehari-hari manusia, tradisi menjadi sebuah hal yang begitu penting. Fungsi tradisi memberi pedoman untuk bertindak dan memberi individu sebuah identitas. Tetapi tradisi menjadi hal yang sulit jika tidak serasi dengan pemahaman keagamaan secara umum. Adat atau kebiasaan dinilai sangat berpengaruh dalam mencapai kemaslahatan manusia. Oleh karenanya hukum Islam memuat situasi dan kondisi dalam menetukan hukum. Tanpa mempertimbangkan eksistensi adat atau kebiasaan, hukum Islam akan terkesan statis dan kaku. Terlebih suatu adat dan kebiasaan masyarakat bisa berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman, masa, peningkatan ekonomi, sosial, pendidikan dan politik masyarakat. Sebagaimana kaidah fiqh yang berbunyi:
79
ن ر اغِي ا ح م بتغِي ا زم ن Artinya: ‛Tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum akibat berubahnya masa‛. Pada hakikatnya semua adat atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat dapat terlaksana dengan baik asal tidak bertentangan dengan hukum atau norma agama yang berlaku. Dalam Islam, suatu adat kebiasaan dapat diterima jika tidak bertentangan dengan nass baik dalam Al-quran maupun hadis. Sebagai hukum yang akomodatif, Islam mengakomodasi (menyediakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan) adat atau ‘urf sebagai salah satu dasar pembentuk hukum Islam. Akan tetapi jika terjadi pertentangan antara ‘urf dengan nas}s} maka yang didahulukan adalah ‘urf serta meninggalkan ‘urf. Sesuai dengan kaidah fiqh yang berbunyi:
الع دة و رت الن ص
ذاك ن الن ص مبني عل العر والع دة ار
اذا اع رض الن س والعر
Artinya: ‚ketika terjadi pertentangan antara nass dengan kebiasaan maka jika nass terbangun atas ‘urf dan adat maka yang didahulukan adalah ‘urf dan adat serta meninggalkan nass.‛ Landasan tekstual diterimanya ‘urf dalam hukum Islam, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pembahasan bab II, selain bersumber dari Alquran, legalitas ‘urf juga ditunjukkan oleh hadis. Adapun salah satu alasan rasional penerimaan adat atau kebiasaan diantaranya, karena syari’ah diturunkan dengan tujuan mewujudkan mas}lah}ah bagi umat manusia. Salah satu cermin
80
kemaslahatan adalah diperhatikan dan diakomodirnya adat atau kebiasaan dalam pembentukan hukum Islam.7 Sebagai tujuan pokok hukum Islam, mas}lah}ah mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman sehingga mas}lah}ah akan tetap relevan dalam segala dimensi kehidupan. Mas}lah}ah mencakup asas menolak kerusakan dan mendatangkan kemanfaatan.8 Sehingga suatu hukum yang didalamnya terkandung Mas}lah}ah mampu merealisasikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi manusia. Sebagaimana kaidah fiqh yang berbunyi:
لب امل حل Artinya: ‚Menolak kemaslahatan.‛
kerusakan
harus
didahulukan
در امل سد مقدم عل daripada
menarik
Sebagai sumber hukum Islam, ‘urf juga ikut berperan serta dalam memberikan keputusan hukum atas suatu kasus. ‘Urf mempunyai relasi yang kuat dengan mas}lah}ah, karena mas}lah}ah menjadi faktor-faktor yang ikut menentukan validitas ‘urf ketika tidak ada nas}s} yang menjelaskan tentang hukum suatu kasus yang diambil dari ‘urf. Terdapat kaidah yang mengatakan bahwa menetapkan hukum dengan ‘urf seperti menetapkan hukum dengan dalil syara’ atau nas}s}, yaitu:
الث ب ب لعر ك لث ب بدلي شرعي Artinya: ‚Yang ditetapkan berdasarkan ‘urf sama halnya dengan yang ditetapkan berdasarkan dalil syara‛ 7
Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-undangan Pidana Khusus di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2010), 80. 8 Ibid.,
81
Dan juga kaidah yang berbunyi:
التعي ب لعر ك لتعي ب لنص Artinya: ‚Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash.‛ Maka muatan mas}lah}ah yang terkandung didalam ‘urf atau adat dapat dipertimbangkan untuk menilai benar tidaknya ‘urf. Atau adat Jika berpotensi mewujudkan mas}lah}ah maka ‘urf tersebut dapat digunakan sebagai dalil hukum, begitu juga sebaliknya ketika mafsadah yang terkandung dalam ‘urf, maka ‘urf tersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum.9 Selain mempertimbangkan konsep mas}lah}ah dan mafsadah, peneliti juga memperhatikan adat untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan suatu ketentuan hukum merupakan suatu keharusan. Akan tetapi, tidak semua adat atau ‘urf dapat dijadikan dasar hukum. Adat yang dapat dijadikan dasar hukum adalah adat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dan tujuan-tujuan hukum Islam. Adat atau ‘Urf yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan hukum adalah adat yang terus menerus berlaku atau berlaku umum bukan yang jarang terjadi. Sesuai dengan kaidah fiqh yang berbunyi:
الع دة ُم مة Artinya: ‚Adat kebiasaan itu bisa dijadikan sebagai pertimbangan hukum‛
امن اعتِب الع دة اذا ا طردت او غلب
Artinya: ‚Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum.‛
9
Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-undangan Pidana Khusus di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2010), 80
82
Menurut Al-Jurjany, Al-‘Aadah ialah sesuatu (perbuatan/perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulanginya terus menerus. Menurut Abdul Wahab Kholaf, Al-‘Urf ialah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka dari: perkataan, perbuatan atau (sesuatu) yang ditinggalkan. Hal ini dinamakan pula dengan Al-‘Aadah. Dan dalam bahasa ahli syara’ tidak ada perbedaan antara Al-‘Urf dengan Al-‘Aadah.10 ‘Urf (tradisi) adalah bentuk-bentuk mu’amalah (hubungan kepentingan) yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeg (konstan) di tengah masyarakat.11 Sesuai dengan kaidah fiqh
ٌالْ َع َدةُ ُُمَ َّ َمةmaka larangan adat
perkawinan
antar warga desa merupakan hukum bagi masyarakat Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo. Mereka masih mematuhi larangan pernikahan tersebut karena di khawatirkan jika melakukan pernikahan akan mendatangkan musibah yang tidak diinginkan. Dan juga kaidah lain yang berbunyi:
ااعِبة للغ لب الل ىع للن در Artinya: ‚Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi.‛ Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya, bahwa adat atau kebiasaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu tradisi larangan nikah bagi masyarakat Dukuh Barepan dan Sugorejo Desa Jagan 10
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Fiqh (Al-Qowa‟idul Fiqhiyyah), (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm. 44. 11 Muhamad Abu Zahroh, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), penerjemah: Saefullah Ma‟shum dkk., hlm. 416.
83
Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo, yaitu larangan nikah Karena Masih Satu Danyang. Bahwasannya warga Dukuh Barepan tidak boleh menikah dengan warga Dukuh Sugorejo. Masyarakat Dukuh Barepan dan Sugorejo meyakini, apabila larangan pernikahan tersebut diabaikan dalam artian dilanggar, maka banyak kesulitan yang mereka alami selama masa pernikahan. Pernikahan yang demikian itu menimbulkan dampak negatif, dapat mengakibatkan malapetaka seperti: keluarga tidak harmonis, sering dapat musibah, kemelaratan (sulit mencari rizki), bahkan sampai kematian. Larangan nikah tersebut sudah berlangsung lama secara turun-temurun, yang diakui oleh mayoritas masyarakat dukuh Barepan dan Sugorejo dan juga dilakukan dengan sadar oleh jiwa mereka sendiri, maka dapat dikatakan bahwa larangan nikah Karena Masih Satu Danyang merupakan adat. Dalam nas}s} baik dalam Al-quran maupun hadis tidak ada penjelasan mengenai larangan nikah tersebut. Dan untuk penyempurnaan kajian ini secara metodologis penulis memakai salah satu metode ijtihad, yaitu ‘urf. Sehingga nanti dapat diketahui realitas dari tradisi larangan nikah karena masih satu Danyang yang mengakar dan berkembang di masyarakat. Berdasarkan data yang diperoleh setelah melakukan penelitian, maka untuk menetapkan suatu hukum perlu dibangun dengan tiga kategori, yang pertama dari segi obyeknya, yang terdiri dari al-‘urf al-lafz}i> dan al-‘urf al-
‘amali>. Kedua dari segi cakupannya, yang terdiri dari al-‘urf al-‘a>mm dan al-‘urf
84
al-kha>s}. Ketiga dari segi keabsahannya dalam syara’, yang terdiri dari al -‘urf als}ah}ih} dan al-‘urf al-fa>sid.12 1. Dari segi obyeknya ‘urf terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a. ‘Urf qawli>, yaitu „urf yang berupa perkataan. Atau kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan.13 Contohnya, perkataan waladun
()ولَ ٌد َ menurut bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan anak perempuan.Dalam kebiasaan sehari-hari orang Arab, kata walad itu digunakan hanya untuk anak laki-laki dan tidak untuk anak perempuan; sehingga dalam memahami kata walad kadang digunakan „urf qauli tersebut.14 b. ‘Urf fi’li>, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa adanya ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri. 15 2. Dari segi cakupannya ‘urf terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a. „Urf umum (‘urf a>mm), yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di manamana, hampir di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa dan agama. Umpamanya: menganggukkan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala tanda menolak atau menidakkan. 16 b. „Urf khusus (‘urf kha>s}), yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang di tempat tertentu atau pada waktu tertentu; tidak berlaku di semua tempat dan di sembarang waktu. Umpamanya: bagi masyarakat tertentu penggunaan kata “budak” untuk anak-anak dianggap menghina, karena kata itu hanya terpakai untuk hamba sahaya, tetapi bagi masyarakat lainnya kata “budak” biasa digunakan untuk anak-anak. 17 3. Dari segi keabsahannya dalam syara’ ‘urf terbagi menjadi dua, yaitu: 12
Totok Jumantoro, dkk., Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 338 Ibid., hlm. 338. 14 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: logos Wacana Ilmu, 1999),hlm. 366. 15 Ibid, hlm. 367. 16 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: logos Wacana Ilmu, 1999),hlm. 367. 17 Ibid. 13
85
a. ‘Urf S}hah}ih} adalah „urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara‟. Atau kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (Al-Qur‟an atau hadist), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka. 18 Umpamanya: mengadakan acara halal bihalal (silaturrahmi) saat hari raya.19 b. ‘Urf Fa>sid adalah ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara‟. Atau kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara‟ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara‟. 20 Umpamanya: berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, pesta dengan menghidangkan minuman haram. 21 Selanjutnya berdasarkan macam-macam ‘urf diatas dapat diketahui kategori dari tradisi larangan nikah Satu Danyang, yaitu: 1. Kategori pertama, dilihat dari segi obyeknya tradisi larangan nikah Satu Danyang di Dukuh Barepan dan Sugorejo Desa Jagan Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo merupakan al-‘urf al-‘amali>, hal ini disebabkan karena pernikahan Satu Danyang merupakan suatu tradisi yang berupa perbuatan, yang secara umum perbuatan tersebut diyakini dan dilakukan oleh masyarakat Dukuh Barepan dan Sugorejo Desa Jagan Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo. Juga merupakan kebiasaan yang sudah menjadi kesepakatan bersama. 18
Totok Jumantoro, dkk., Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 338 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, ...., hlm. 368. 20 Totok Jumantoro, dkk., Kamus Ilmu Ushul, ..., hlm. 337. 21 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: logos Wacana Ilmu, 1999),hlm. 368. 19
86
2. Kategori kedua, dilihat dari segi cakupannya tradisi larangan nikah Satu Danyang termasuk dalam al-‘urf al-kha>s}, yakni kebiasaan yang berlaku pada suatu daerah dan masyarakat tertentu. Sebab tradisi larangan nikah tersebut hanya dilaksanakan oleh masyarakat Dukuh Barepan dan Sugorejo Desa Jagan Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo dan sekitarnya saja. Tidak berlaku bagi mayoritas (kebanyakan) penduduk suatu negeri pada suatu masa. 3. Kategori ketiga, dilihat dari segi keabsahannya dalam syara’ tradisi larangan nikah Satu Danyang termasuk ke dalam al-‘urf al-fa>sid, karena tradisi tersebut tidak didasarkan pada pendekatan rasionalitas atau agama. Hanya didasarkan pada pandangan yang bersifat mitologi atau mitos. Larangan terhadap pernikahan Satu Danyang hanya akan mempersulit seseorang dalam melaksanakan sunnah Rasul Saw. Firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi:
Artinya: ‛Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.‛22 Tradisi ini perlu dikaji lebih dalam lagi, maka dari itu perlu mengutip sebagian pendapat ulama’ tentang definisi ‘urf, untuk memperkuat adanya alasan bahwa tradisi ini tidak layak dipertahankan: a. S}a>lih} ‘Awad} merumuskan definisi ‘urf dengan menggunakan redaksi sebagai berikut ‚sesuatu yang menetap dalam jiwa manusia berdasar
22
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya…., 45.
87
penilaian logis, diterima oleh akal dan tabiat yang sehat, terlaksana secara kontinyu (terus-menerus), tidak bertentangan dengan syara’ dan telah diakui oleh sebuah komunitas‛. b. Al-Nisfi> (Abdullah bin Ah}mad) yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhayli> mendefinisikan ‘urf dengan redaksi sebagai berikut ‚sesuatu yang telah menetap dalam jiwa manusia berdasar penilaian logis, diterima oleh akal serta diterima pula oleh tabiat yang sehat‛.23 Berdasarkan pendapat ulama’ diatas, jika diselaraskan dengan tradisi larangan nikah karena masih satu danyang, maka dapat dikatakan bahwa tradisi ini bukan termasuk dalam ‘urf yang bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Memang tradisi ini telah menetap dalam jiwa dan dilakukan secara terusmenerus oleh masyarakat Dukuh Barepan dan Sugorejo Desa Jagan Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo, akan tetapi hal tersebut bertentangan dengan dalil syara’. Selain itu juga alasan yang dikemukakan responden adalah karena mereka takut dengan akibat yang akan ditimbulkan jika melanggar larangan tersebut, padahal semuanya itu hanya bersifat mitos belaka. Maka dapat dinilai bahwa tradisi tersebut tidaklah logis dan tidak bisa diterima oleh akal sehat. Sehingga dapat dikatakan tradisi larangan nikah Satu Danyang termasuk dalam
al-‘urf al-fa>sid (kebiasaan yang dianggap rusak).24
23
Moh. Ainun Najib, “Analisis „Urf Terhadap Larangan Nikah Gotong Embong di Desa Gedangan Kecamatan Sukodadi Kabupaten Lamongan”, Skripsi Tidak dterbitkan UIN Sunan Ampel Surabaya, Surabaya, 2014, hlm. 86. 24 Ibid.
88
Islam mengakui adanya hukum adat, akan tetapi tidak semua adat mendapat legitimasi. Maka dari itu, hukum adat baru bisa dipakai sebagai landasan hukum dalam menetapkan suatu hukum apabila memenuhi beberapa syarat dibawah ini, antara lain: 1. Tidak bertentangan dengan ketentuan nas}s}, baik Alquran maupun sunnah. Syarat ini sebenarnya memperkuat terwujudnya ‘urf s}ah}i>h} karena bila bertentangan dengan nas}s} atau bertentangan dengan prinsip syara’ yang jelas dan pasti ia termasuk ‘urf fa>sid yang tidak dapat diterima sebagai dalil menetapkan hukum. Tradisi larangan pernikahan Satu danyang merupakan suatu tradisi bagi masyarakat Dukuh Barepan dan Sugorejo Desa Jagan Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo untuk melakukan pernikahan. Pernikahan yang seperti itu diyakini oleh masyarakat Dukuh Barepan dan Sugorejo Desa Jagan Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo, jika tetap dilaksanakan akan mendatangkan dampak negatif bagi pelaku. Padahal dalam islam seseorang boleh saja melakukan pernikahan dengan dengan siapapun asalkan memenuhi syarat sah dan rukun pernikahan, serta halangan pernikahan baik halangan yang bersifat abadi ( at-tahri>m
mu’abbad) maupun halangan pernikahan yang bersifat sementara (at-tahri>m al-mu’aqqa>t). Dengan demikian jelas, bahwa tradisi larangan nikah satu danyang ini bertentangan dengan nas}s. 2. Mut}t}arid dan gha>lib, maksudnya adalah ‘urf harus berlaku secara kontinyu sekiranya telah menjadi sistem yang berlaku dan dikenal oleh mayoritas
89
masyarakat.25 Larangan nikah ini sudah berlangsung lama secara turuntemurun, yang diakui oleh mayoritas masyarakat Dukuh Barepan dan Sugorejo dan juga dilakukan dengan sadar oleh jiwa mereka sendiri, maka dapat dikatakan bahwa larangan nikah satu danyang merupakan adat. 3. ‘Urf tidak berlaku surut. Artinya ‘urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku) pada saat itu, bukan ‘urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti ‘urf itu harus telah ada sebelum penetapan hukum. Kalau ‘urf itu datang kemudian, maka tidak diperhitungkan.26 Di Dukuh Barepan dan Sugorejo memiliki banyak tradisi yang merupakan peninggalan nenek moyang dan sampai saat ini masih dilestarikan. Misalnya dalam masalah penikahan, banyak hal yang harus dipenuhi ketika hendak melakukan pernikahan. Di antaranya adalah menghindari larangan nikah yang sudah menjadi keyakinan masyarakat setempat. Larangan nikah yang sampai saat ini masih berlaku kental dalam masyarakat Dukuh Barepan dan Sugorejo Desa Jagan Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo ini salah satunya adalah larangan nikah Satu Danyang. 4. Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat, serta bernilai maslahat. Syarat ini menunjukkan bahwa adat tidak mungkin berkenaan dengan perbuatan maksiat. Tradisi larangan nikah Satu Danyang ini hanya didasarkan pada alasan yang bersifat mitos, yaitu bagi pelanggar larangan nikah ini akan memperoleh akibat buruk seperti: ketidakharmonisan dalam keluarga, sering memperoleh 25 26
Ibid., hlm 86. Ibid., hlm 89.
90
musibah. Padahal semua orang yang tidak melanggar larangan nikah ini juga akan mendapatkan cobaan ketika Allah Swt. menghendakinya. Dengan demikian jelas bahwa larangan nikah Satu Danyang tidak logis dan tidak relevan dengan akal sehat.27 Berdasarkan empat syarat diatas, tradisi larangan nikah Satu Danyang hanya memenuhi dua syarat saja, yaitu syarat yang kedua dan ketiga. Bahwa tradisi tersebut berlaku secara umum dan kontinyu dikalangan mayoritas masyarakat Desa Dukuh Barepan dan Sugorejo Desa Jagan Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo, serta telah berlaku sejak lama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tradisi larangan nikah Satu Danyang termasuk dalam al-‘urf al-fa>sid (kebiasaan yang dianggap rusak), karena bertentangan dengan dalil syara’. Kebiasaan masyarakat Dukuh Barepan dan Sugorejo Desa Jagan Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo melarang seseorang untuk melakukan pernikahan dengan tetangga depan rumahnya tidak sesuai dengan konsep mas}lah}ah, karena larangan tersebut tidak mendatangkan kemanfaatan dan hanya akan mempersulit seseorang untuk menyalurkan keinginannya dalam mencari jodoh atau melakukan pernikahan. Maka adat atau kebiasaan masyarakat Dukuh Barepan dan Sugorejo Desa Jagan Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo ini bukan termasuk ‘urf dalam perspektif hukum Islam, jadi adat atau kebiasaan ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan suatu masalah hukum. 27
Ibid., hlm. 90.
91
Namun demikian, perkembangan saat ini masyarakat sudah banyak yang tidak menyakini larangan pernikahan satu danyang sebagai ‘Urf yang memiliki sanksi sosial/adat. Sehingga larangan nikah tersebut tidak lagi memiliki kedudukan kuat dimasyarakat sebagai ‘Urf.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah penyusun menguraikan mengenai larangan pernikahan antar desa yang terjadi di Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Yang melatar belakangi adanya larangan perkawinan antar desa yang terjadi di Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo adalah adanya perjanjian leluhur dikarenakan terjadinya hal buruk apabila pernikahan dilaksanakan antara kedua dukuh tersebut.
2.
Masyarakat Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo sudah berpendidikan. Hal ini
terlihat
dari
tingkat
pendidikan
masyarakat
yang
mayoritas
berpendidikan SLTA dan beberapa ada yang sarjana. Bahkan pendidikan tentang keagamaan sudah dimulai sejak dini di TPA-TPA yang ada di masjid Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo. Mengenai pemahaman masyarakat
tentang
larangan
pernikahan
menurut
fiqh,
mayoritas
masyarakat mengetahui bahwa di dalam islam tidak boleh menikah dengan saudara seketurunan, sepersusuan dan karena hubungan perkawinan (semenda). Menurut tokoh agama setempat masyarkat memahami larangan pernikahan yang ada di dalam fiqh. 3.
Dengan melihat halangan dari perkawinan antara warga Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo, perkawinan tersebut boleh dilakukan jika halangan tersebut hilang (perjanjian antar dukuh). Hal buruk yang terjadi merupakan
92
93
halangan sementara bagi terlaksananya pernikahan. Di dalam hukum Islam terdapat halangan abadi dan halangan sementara dalam perkawinan, sehingga larangan pernikahan antar warga desa seperti yang terjadi di Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo ada di dalam hukum Islam.
B. Saran-saran 1.
Pernikahan adalah sesuatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah akan tetapi apabila pernikahan tersebut menimbulkan hal yang merugikan bagi kedua mempelai dan masyarakat, alangkah baiknya pernikahan tersebut dihindari demi untuk kemaslahatan bersama.
2.
Hendaknya para orang tua memberikan pemahaman kepada anak-anaknya tentang larangan pernikahan antara Dukuh Barepan dan Dukuh Sugorejo semata-mata untuk menghindari hal-hal buruk yang tidak diinginkan dan demi untuk kemaslahatan bersama.
3.
Hendaknya para pemuda dan masyarakat umum memperkaya pengetahuan keagamaan, terutama hukum fiqh dan pemahaman tentang „urf atau adat kebiasaan, tidak hanya mengikuti isu-isu kontemporer tetapi juga hal-hal yang sudah mentradisi dalam masyarakat sehingga tidak hanya mengikuti sutau tatanan yang sudah ada tanpa mengetahui dasar hukumnya, dapat menentukan mana adat yang dapat dilestarikan dan mana yang tidak sehingga dapat menjadi penerus agama yang dapat membangun masyarakat.
4.
Demi terciptanya rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan warohmah, maka bagi pasangan yang akan melaksankan pernikahan hendaknya
94
mempertimbangkan hal-hal yang akan menghalangi tercapainya sebuah tujuan pernikahan yang memang hal tersebut dibenarkan oleh syara‟ dan bukan atas pertimbangan khalayak menurut tradisi masyarakat saja. 5.
Hendaknya para tokoh agama memberikan materi-materi yang berhubungan dengan masalah perkawinan, supaya pemahaman masyarakat mengenai pernikahan semakin bertambah dan tidak hanya berpatokan pada adat istiadat yang sudah ada.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Buku Daras Fiqh Munakahat, Surakarta: Fakultas Syariah IAIN Surakarta, 2014. An-Na‟im, Abdullah Ahmad, Islam dan Negara Sekular Menegosiasikan Masa Depan Syari;ah, alih bahasa Sri Muniarti, Bandung:Mizan, 2007. As-Sayyid, Abu Malik bin, Shahih Fikih Sunnah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2014. Khusnaeni, Akhmad, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Larangan Kawin Semisan diDusun Palemsari Desa Umbulharjo Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman”, Skripsi tidak diterbitkan Fakultas Syari‟ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005. As-Subki, Ali Yusuf, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, Jakarta: Amzah, 2012. Syarifuddin, Amir, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003. Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2006. Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: logos Wacana Ilmu, 1999. Khusnawati, Anif, “Larangan Nikah Antara Saudara Sepupu Pancer Wali di Kel.Ngantru, Kec/Kab. Trenggalek Dalam Perspektif HukumIslam”. Skripsi tidak diterbitkan Fakultas Syari‟ah UIN Sunan Kalijaga Yogayakarta, 2007. Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-undangan Pidana Khusus di Indonesia, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2010. Aziz, Abdul, Buku Daras Fiqh Munakahat, Surakarta: Fakultas Syariah IAIN Surakarta, 2014. Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, Bandung: Pustaka Setia, 2001. Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Surabaya: Mahkota, 1989 Helda, Fasri “ Tinjauan HukumIslam Terhadap Larangan Menikah Pada Bulan Safat di Masyrakat Sungai Raya Kalimantan Selatan”. Skripsi tidak diterbitkan Fakultas Syari‟ah UIN Sunan Kalijaga Yogayakarta, 2007. Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003).
95
96
Ghozali, Abdul Rohman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media Group, 2010. Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 2007. Sudiyat, Imam, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007. Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Mudjib, Abdul, Kaidah-Kaidah Fiqh (Al-Qowa‟idul Fiqhiyyah), Jakarta: Kalam Mulia, 1994. Kompilasi Hukum Islam Buku I Hukum Perkawinan. Najib, Moh. Ainun, “Analisis „Urf Terhadap Larangan Nikah Gotong Embong di Desa Gedangan Kecamatan Sukodadi Kabupaten Lamongan”, Skripsi, Tidak dterbitkan UIN Sunan Ampel Surabaya, Surabaya, 2014. Zahroh, Muhamad Abu, Ushul Fiqh, terjemah: Saefullah Ma‟shum dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. Ansori, Muhammad “ Larangan Adat Kawin Lusan Dalam Perspektif Hukum Islam Studi di Kelurahan Sambung Macan, Sragen”. Skripsi tidak diterbitkan Fakultas Syari‟ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyaakarta, 2004 Al-Albani, Muhammadah Nashiruddin, Sahih Sunan Abu Daud Seleksi Hadits Shahih dari Kitab Sunan Abu Daud, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006. Najib, Moh. Ainun, “Analisis „Urf Terhadap Larangan Nikah Gotong Embong di Desa Gedangan Kecamatan Sukodadi Kabupaten Lamongan”, Skripsi, Tidak dterbitkan UIN Sunan Ampel Surabaya, Surabaya, 2014. Sakti, Nanik Purnama, Perkawinan Adat Masyarakat Primitif menurut Perspektif Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 (Studi tentang Perkawinan Adat Dukuh Sendang, Klampok, Desa Ngebung, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen), Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah STAIN Surakarta, 2006. Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa‟id Fiqhiyyah, Jakarta: Amzah, 2015 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2013.
97
Soemiyati,
Hukum
Perkawinan
Islam
dan
Undang-Undang
Perkawinan,
Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007 Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999. Tihami, dkk., Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014. Jumantoro, Totok, dkk., Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Amzah, 2009. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Wasman dan Wardah nuroniyah ,Hukum perkawinan Di Indonesia Perbandingan Fiqih dan Hukum Positif, (Yogyakarta: Teras,2011), CV. MITRA UTAMA 2011.