BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kebudayaan seharusnya menjadi ruang refleksi filosofis atas pelbagai dimensi kehidupan manusia. Syaiful Arif (2010: 26) memetakan dua aras pergulatan paradigma kebudayaan, yaitu “adaptif” dan “ideasional”. Kebudayaan berparadigma adaptif lebih konsern pada persoalan evolusionisme-material, manusia menjadi “hewan ekonomis” (homo economicus) dan kebudayaan menjadi alat pemenuhan kebutuhan subsisten (struktural-fungsional). Sementara itu, paradigma ideasional memandang kebudayaan bersifat simbolik-interpretivisme, manusia selalu menempatkan hal-hal yang bermakna sebagai tatanan kehidupan, manusia sebagai “hewan idealis” sehingga menempatkan kebudayaan sebagai garis batas yang mengkategorisasikan nilai-nilai kemanusiaan. Kenyataannya, kebudayaan kontemporer sepertinya tengah berada dalam kondisi dilematis. Di satu sisi, perspektif adaptif terlampau menempatkan kebudayaan secara fungsional dan berpusat pada persoalan material belaka sehingga dimensi spiritual (makna, kebatinan) menjadi terabaikan (Arif, 2010: 28). Di sisi lainnya, praktik kebudayaan ideasional justru dibajak oleh kepentingan kekuasaan sehingga tercipta standarisasi nilai kemasyarakatan yang dimuati ideologi, distorsi, dan manipulasi kesadaran demi tujuan reproduksi struktur kekuasaan itu sendiri (Fauzi, 2011: 74). Ranah pemaknaan budaya telah terinstitusionalisasi sedemikian rupa sehingga yang terjadi adalah kuasa tafsir atas
1
2
pemaknaan budaya. Kondisi kebudayaan yang dilematis seperti ini dapat diwacanakan sebagai krisis kebudayaan. Struktur kekuasaan yang berperan dan berkepentingan dalam proses pembajakan praktik dan pemaknaan kebudayaan, baik yang adaptif maupun ideasional, adalah kapitalisme akhir lewat praktik industri budaya dan pendisplinan formasi diskursif lewat formalisasi dan institusionalisasi nilai-nilai spiritualitas. Secara konseptual, industri budaya mengacu pada cara di mana hiburan dan media massa menjadi industri pada kapitalisme pasca Perang Dunia II (kedua) baik dalam mensirkulasikan komoditas budaya maupun dalam memanipulasi kesadaran manusia. Elemen-elemen budaya diindustrialisasikan menjadi berbagai produk komoditas (Agger, 2006: 180). Potensi kedalaman spiritualitas kemanusiaan pun tidak teraktualisasi karena formalisasi makna spiritualitas oleh struktur kekuasaan yang ada menyebabkan eksplorasi pemahaman spiritual terbatasi. Praktiknya, agama sebagai salah satu arena pendalaman makna spiritualitas malah menjadi alat reproduksi kekuasaan dan seringkali menjadi alasan perbenturan sosial. Ideologi ekonomi kapitalisme melalui industri budaya dan budaya massa sebagai produknya menginfiltrasi masyarakat konsumen dengan logika-logika bawaannya, yakni logika pasar dan komoditas. Ideologi ini secara halus mengonstruksi masyarakat pada kondisi teralienasi dengan kesadarannya sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Yasraf Amir Piliang (2011: 60-70): Konsumerisme dan budaya populer merupakan bagian tak terpisahkan dari ideologi ekonomi kapitalisme, di dalamnya kebudayaan diciptakan sebagai bagian dari logika pasar dan komoditas..Individu, sistem, organisasi, atau kelompok.....terperangkap di dalam berbagai konstruksi
3
tanda, citra, dan simbol dengan irama produksi, pergantian, dan keusangan terencana, serta dengan berbagai pesona, daya tarik, dan fetisisme yang ditawarkannya sehingga mengancam keberadaan nilainilai dan ideologi autentik mereka sendiri.
Di Indonesia sendiri, fenomena industri budaya dapat dicermati pada program acara televisi swasta dan album rekaman audio grup musik atau penyanyi tertentu. Komodifikasi spiritualitas dalam produk industri budaya terutama sekali begitu marak pada saat momentum keagamaan, seperti pada saat umat Islam menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Pada saat bulan Ramadhan, hampir secara serentak stasiun televisi swasta di Indonesia menayangkan sinetron berlabel “Islami” yang diklaim sebagai tontonan yang sarat dengan nilai-nilai religius (Nugroho, 2008: 2). Selain sinetron yang berlabel “Islami”, stasiun televisi swasta juga beramai-ramai membuat program-program acara khusus bertemakan puasa di bulan Ramadhan yang disiarkan hampir seharian penuh. Penayangan sinetron dan berbagai program acara tersebut tentu saja diselingi dengan tayangan komersial iklan produk konsumsi tertentu. Iklan produk yang ditayangkan juga tak terlepas dari unsur komodifikasi seperti para model peraga yang “berbusana muslim” atau iklan “penghilang bau mulut akibat berpuasa”. Di bidang musik, industri budaya juga memproduksi album rekaman musik dari penyanyi atau kelompok musik yang dilabeli “album musik pop religi”. Semakin menarik bila mengamati sampul luar dari album tersebut, terpampang
gambar
penyanyi
atau
personel
kelompok
musik
tersebut
mengenakan pakaian yang dicitrakan sebagai “busana muslim”. Salah contohnya
4
adalah kelompok musik “Ungu” yang pada September 2006, bertepatan dengan bulan puasa Ramadhan, merilis album rekaman berjudul “SurgaMu” yang diklaim sebagai “album musik pop religi” (Nugroho, 2008). Bila ditinjau secara kritis, fenomena sinetron atau album rekaman musik yang diklaim sebagai “sinetron/musik pop religi (Islami)” tak terlepas dari kepentingan ideologi kapitalisme. Kemunculan produk industri budaya semacam ini tak dapat secara murni dipahami sebagai ungkapan artistik maupun spiritual belaka, namun di baliknya terdapat orientasi keuntungan ekonomi dan politik yang justru lebih dominan. Penjualan massif produk-produk industri budaya (seperti album rekaman) merupakan salah satu indikator dari dominannya orientasi ekonomi itu. Pendapat ini sesuai dengan pernyataan Strinati (2009: 37) yang menyatakan
bahwa,”...penentu utama budaya massa adalah keuntungan
produksi dan pemasaran yang dapat dihasilkan dari potensi pasar massalnya. Jika budaya massa tidak bisa menghasilkan uang, mungkin tidak akan diproduksi”. Dari pemaparan di atas, dapat digambarkan bahwa kebudayaan telah tersandera di dalam praktik komodifikasi dan pengekangan pemaknaan, dan ini berarti kebudayaan, baik yang adaptif maupun ideasional, telah tersubordinasi oleh kekuasaan politik ekonomi. Keadaan inilah yang dapat dianggap memenuhi syarat untuk diwacanakan sebagai krisis kebudayaan. Bilamana kebudayaan berada dalam keadaan yang demikian, maka yang dibutuhkan adalah “refilosofi kebudayaan” berupa titik balik kebudayaan yakni refleksi kritis untuk mengembalikan filsafat sebagai pijakan awal kebudayaan (Arif, 2010: 253). Refleksi kritis ini identik dengan konsep “metabudaya” Francis Mulhern (2010:
5
98), yakni diskursus yang diperlukan karena budaya sebagai corak eksistensi sosial yang valid dan bersifat umum sedang mengalami ancaman sehingga budaya itu harus diperkuat lagi atau setidaknya potensinya yang dulu dikembalikan lagi. Diskursus metabudaya adalah wacana kebudayaan yang berbicara tentang dirinya sendiri, suatu wacana tempat kebudayaan menyampaikan generalitas dan kondisikondisi eksistensinya (Ajidarma, 2011: 67). Penelitian yang dilakukan ini mengadopsi model berpikir “refilosofi kebudayaan” atau “metabudaya” di atas, berangkat dari adanya anggapan bahwa sedang terjadi “krisis budaya” di era kontemporer. Meskipun begitu, “refilosofi kebudayaan” tak hendak terjebak pada idealisme Hegelian yang memiliki kelemahan cara pandang, yaitu tidak melihat hambatan dan kontradiksi struktural yang ada di realitas sehingga membuat refilosofi kebudayaan menjadi sebatas idealisme utopis. Refilosofi kebudayaan yang dimaksudkan di sini lebih meniscayakan kritisisme daripada idealisme an sich (Arif, 2010: 252). Penelitian ini bercorak idiosinkrasi yang secara khusus menganalisis karya seni dari sebuah kelompok musik di Medan yang bernama Suarasama. Analisis terhadap karya seni kelompok Suarasama, secara signifikansi diharapkan dapat menyumbangkan satu model “refilosofi kebudayaan” atau “metabudaya” sebagai wacana alternatif yang menawarkan sudut pandang berbeda dari arus utama. Meletakkan kebudayaan pada aras filsafat juga bermakna bahwa refleksi atas praktik pemaknaan kebudayaan merupakan sebuah proses yang semestinya terus-menerus dilakukan.
6
Karya seni kelompok Suarasama punya semangat avant-garde1 yang berpotensi sebagai kontradiskursus dari praktik industri budaya. Kesenian sebagai -salah satu elemen kebudayaan merupakan situs perjuangan ideologis, mengacu kepada gagasan Antonio Gramsci (John Storey dalam Ajidarma, 2011: 8): “...kebudayaan adalah tempat berlangsung perjuangan atas makna, tempat kelompok terbawahkan berusaha melawan pembebanan kelompok dominan. Inilah yang membuat kebudayaan menjadi ideologis.” Secara filosofis, makna yang ada di balik karya seni Suarasama tersebut merupakan sebuah entitas kebudayaan otentik. Pendapat ini seturut dengan pandangan dari Syaiful Arif (2010: 27) yakni tentang spiritualitas sebagai ruang otentik kebudayaan, dan spiritualitas justru bisa didapati pada diskursus agama dan kesenian. Hal ini semakin memperkuat anggapan bahwa karya seni Suarasama sangat layak dan relevan untuk berkontribusi memperkaya diskursus metabudaya. Kelompok Suarasama dibentuk pada tahun 1995 di Medan oleh pasangan suami-istri, Irwansyah Harahap dan Rithaony Hutajulu, keduanya menyelesaikan studi Ethnomusicology di University of Seattle, USA. Di dalam garapannya, kelompok Suarasama berorientasi jenis musik kontemporer dengan pendekatan ............................................................................................................................. 1
Avant-garde adalah kecenderungan seni dan sastra yang pertama kali berkembang di Prancis, yang prinsip utamanya adalah seni sebagai sebuah bentuk penentangan terhadap segala bentuk tradisi dan institusi seni (Piliang, 2003: 15). Berkenaan dengan seni dan sistem pasar, Adorno menerapkan sistem avant-garde. Pola strategi tersebut berupaya untuk menentang homogenisasi pada komersialisasi seni (baca: reifikasi), di mana objek-objek seni akan direduksikan menjadi hanya memiliki nilai tukar belaka (Saptawasana & Cahyadi dalam Sutrisno & Putranto (ed.), 2005: 40).
7
world music sebagaimana dijelaskan dalam album “Lebah” (Suarasama, 2008) yaitu garapan musik di mana elemen bunyi atau pun instrumen musiknya berasal dari pelbagai konsep musik dari pelbagai kebudayaan musik di dunia. Beberapa di antaranya adalah kebudayaan musik Afrika, Timur Tengah, India, Sufi Pakistan, Eropa Timur, dan Asia Tenggara. Kelompok Suarasama telah merilis empat rekaman album musik: “Fajar di Atas Awan”( Suarasama, 2000); “Rites of Passages” (Suarasama, 2002); “Lebah” (Suarasama, 2008); dan “Timeline” (Suarasama, 2013). Lagu “Fajar di Atas Awan” telah diterbitkan dalam album kompilasi ”Music of Indonesia : Indonesian Guitar”, oleh Smithsonian Folkways Recording (Washington D.C, USA, 1999). Dalam debutnya, kelompok Suarasama telah melakukan pertunjukan di dalam dan di luar negeri, di antaranya: “’Sufi Soul 2nd’ World Music Festival”, Pakistan 2001; “Sharq Taronalari Festival”, Uzbekistan 2001; “Bali World Music Festival”, Bali 2002; “Jogjakarta Gamelan Festival”, Yogyakarta 2002; “Asian Composers League”, New Zealand 2007; “Rondalla Festival”, Filipina 2007; dan masih banyak lainnya. Dimensi berkesenian kelompok Suarasama tak saja berkisar pada persoalan estetis semata, tapi juga mencakup pada persoalan spiritualitas kemanusiaan. Pada level praktik, Irwansyah Harahap secara terus menerus mencoba membangun kesadaran sufistik-profetik di dalam kelompok Suarasama. Hal ini dipertegas olehnya melalui gagasan yang secara verbal berbunyi “berkesenian yang membebaskan dan mencerahkan”(wawancara, 11-2-2011).
8
Gagasan ini menjadi konsepsi dasar dan pegangan awal bagi setiap individu yang terlibat dalam praktik kesenian kelompok Suarasama. Menurut Irwansyah Harahap, “membebaskan” bermakna bahwa sebagai manusia semestinya tidak terjebak pada provokasi ideologis dari faktor luar diri yang berpotensi jadi penghambat untuk berproses membangun kesadaran diri secara bebas. Kesenian menjadi sarana manusia dalam melatih diri untuk berkreasi dan mengenali kekayaan khazanah makna dari berbagai sumber peradaban dunia. Melalui pelatihan diri ini, individu diharapkan mampu terbebas dari kungkungan ideologis, prasangka tak berdasar, “kuasa tafsir”, kesadaran palsu, stereotip pada perbedaan, sehingga dapat menghargai perbedaan dan keunikan manusia dan tak lupa menghargai dirinya sendiri. “Mencerahkan” bermakna bahwa melalui berkesenian individu dapat melatih alam kerohanian untuk terus merenungkan makna spiritualitas dan manifestasi Ketuhanan (Sang Khalik/Yang Satu) dalam setiap keindahan yang bisa dirasakan melalui kesenian. Dalam konteks ini, kesenian bukan menjadi tujuan melainkan medium untuk mencapai peningkatan kualitas pemahaman spiritual (wawancara, 11-2-2011). Kesenian yang bertujuan meningkatkan kualitas spiritual atau pencerahan batin sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Hadi (2000: 336-337) : ...bertujuan membawa jiwa naik dan mengalami transformasi di dalam perjalanan naiknya,....Tujuan kenaikan tersebut ialah pencerahan akan hakikat Yang Satu secara simbolik atau kias (qiyas), atau memberi latar suasana spiritual dan metafisis yang membawa kepada kekhusukan dan kekudusan. Dalam merilis album rekaman, Suarasama tidak mengikuti pola industri budaya, baik secara filosofis maupun teknis. Tak satu pun dari album yang telah
9
dirilis oleh Suarasama,
diproduksi dan dipromosikan secara massal (budaya
massal). Ini membuktikan bahwa dalam berkesenian kelompok Suarasama tidak berorientasi pada pendapatan secara ekonomi, kondisi ini konsisten dengan pandangan Irwansyah Harahap yang menganggap “berkesenian bukan sebuah profesi” (wawancara, 11-2-2011). Pada sampul album mereka, tidak ada tulisan “album musik religi” dan sejenisnya, para personel Suarasama juga tidak menampilkan busana berlebihan yang mencitrakan “busana muslim” sebagaimana sering diklaim oleh produk-produk industri budaya. Suarasama tidak pernah dan berniat sedikit pun untuk menerapkan “relasi budaya populer” kepada para penikmat karya-karya mereka, yaitu relasi yang mengikuti skema budaya populer di mana para konsumen (penikmat) karya seni didorong untuk menjadi pemuja, pengikut, peniru, pengopi, pengekor, dan imitator belaka (Piliang, 2011: 178). Indikatornya adalah tidak adanya minat dari kelompok Suarasama untuk membentuk institusi penggemar (fans club) maupun sejenisnya. Pada prinsipnya, relasi budaya populer jelas bertentangan dan inkonsistensi dengan filosofi berkesenian “membebaskan dan mencerahkan” sebagaimana yang diklaim oleh Irwansyah Harahap selaku pendiri dan komposer Suarasama. Dalam konteks karya seni yang telah dihasilkan, syair maupun musik yang dihasilkan Suarasama sarat dengan makna spiritual transendental dengan mempraktikkan idiom-idiom dari sufisme. Salah satu contoh syair yang sarat dengan nilai kesufistikan berjudul “Isa Alaihissalam” (Album “Lebah”, 2008). Syair “Isa Alaihissalam” punya kekhasan tersendiri karena sejauh yang bisa
10
diamati hingga sekarang ini sangat jarang ada interpretasi pada sosok Isa Alaihissalam (oleh kaum Nasrani disebut Yesus Kristus) yang kemudian diekspresikan lewat karya seni oleh kaum muslim. Secara formal, Irwansyah Harahap adalah seorang yang beragama Islam tetapi praktik sufistik yang dilakukannya sesungguhnya melampaui aspek formalisme agama yang cenderung berkutat pada sisi lahiriah (eksoterisme) keagamaan. Irwansyah Harahap berpendapat bahwa sudah semestinya Isa/Yesus tidak termarginalkan secara historis dalam mosaik spiritualitas Islam. Ia berpendapat bahwa banyak hal yang bisa direnungkan dan dimaknai dari kisah perjalanan Isa/Yesus, seperti nilai kasih sayang dan spirit humanisme yang diwariskan kepada manusia. Irwansyah Harahap
mengatakan bahwa dalam banyak hal
merasa kagum dan terinspirasi oleh Isa Alaihissalam atau Yesus Kristus (wawancara, 11-2-2011). Suarasama di dalam karya mereka mempraktikkan idiom-idiom estetik dari sufisme. Salah satu contohnya terdapat dalam karya yang berjudul “Saz – Sama’” (Album “Rites of Passages”, 2002). Sama’ adalah tradisi musik kerohanian yang dipraktikkan oleh para sufi. Abdul Hadi (2000: 432) menjelaskan bahwa : Sama’ berkaitan dengan tajarrud, yaitu pembebasan dari alam benda melalui sarana yang berasal dari alam benda itu sendiri. Suara, bunyi, ritme, nada dan lain-lain ialah sesuatu yang berasal dari alam benda yang dikuasai bentuk dan rupa, namun ia mempunyai hubungan dengan alam kerohanian yang tidak mengenal bentuk (mujarradat)...Sesuai dengan pandangan ini para sufi memandang musik sebagai sarana paling baik untuk mengungkapkan rahasia ilahi. Berpartisipasi dalam musik kerohanian bagi mereka sama dengan terbang ke alam malakut atau alam kerohanian yang luasnya tak terhingga.
11
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, dilakukanlah penelitian terhadap syair dan musik karya kelompok Suarasama. Syair dan musik yang diteliti dipilih dan diambil dari album rekaman Suarasama yang telah diterbitkan. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena dapat berkontribusi wacana alternatif di tengah kondisi kesenian dan kehidupan beragama kontemporer. Wacana alternatif adalah sebuah produk refilosofi kebudayaan yang bertujuan untuk mengkritisi dan memberi sudut pandang lain terhadap praktik berkebudayaan yang tengah mengalami krisis akibat dominasi struktur kekuasaan yang mereproduksi dirinya melalui industri budaya dan formalisasi makna spiritual. Wacana alternatif diharapkan dapat menjadi kontradiskursus wacana arus utama sekaligus memperkaya referensi praktik kebudayaan kontemporer. Analisis yang dilakukan terhadap syair dan musik karya kelompok Suarasama bertujuan untuk mengungkap nilai atau spirit yang menjadi landasan dalam berkarya. Spirit yang melandasi karya Suarasama tidak berasal dari ruang hampa melainkan hasil dari sebuah proses dialektika kehidupan. Dalam konteks ini, dialektika kehidupan Irwansyah Harahap sebagai pendiri sekaligus penggubah syair dan komposer Suarasama adalah faktor utama penghadiran karya seni tersebut. Judul penelitian tesis ini adalah: “Representasi Spirit Sufistik-Profetik dalam Syair dan Musik Kelompok Suarasama Medan.”
12
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, rumusan pokok permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Bagaimana bentuk representasi spirit sufistik-profetik dalam syair dan musik karya kelompok Suarasama Medan. 2. Bagaimana
proses
terbentuknya
spirit
sufistik-profetik
yang
direpresentasikan dalam syair dan musik karya kelompok Suarasama Medan. 3. Bagaimana makna representasi spirit sufistik-profetik dalam syair dan musik karya kelompok Suarasama Medan.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah maksud dan hasil yang ingin diperoleh dari proses penelitian, sedangkan manfaat merupakan kegunaan teoretis maupun praktis yang diperoleh dari hasil penelitian.
1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan mendapatkan pemahaman tentang hubungan spirit sufistik-profetik dengan aktivitas kesenian sehingga dapat berkontribusi pada wacana kesenian dan formalisasi spiritual kontemporer.
13
1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus, penelitian ini dilakukan bertujuan untuk menjawab permasalahan sebagaimana yang dirumuskan dalam masalah penelitian, yakni: 1. Mengungkap bentuk spirit sufistik-profetik dalam syair dan musik kelompok Suarasama Medan. 2. Mengetahui proses terbentuknya
spirit sufistik-profetik yang
direpresentasikan dalam syair dan musik kelompok Suarasama Medan. 3. Memahami makna representasi spirit sufistik-profetik dalam syair dan musik kelompok Suarasama Medan.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Manfaat teoretis penelitian ini sebagai sumbangan informasi bagi pengembangan khazanah keilmuan, khususnya penelitian selanjutnya tentang kesenian, industri budaya, dan spiritualisme.
1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian ini diharapkan berkontribusi pada model berkesenian bagi siapa saja yang berkeinginan membebaskan diri dari hegemoni industri budaya. Selain itu, diharapkan juga dapat menjadi bahan rujukan evaluasi kritis sekaligus kreatif bagi kehidupan spiritual dan kesenian di era kontemporer.
14
Sebagai sumbangan pemikiran bagi masyarakat luas dan juga para perumus kebijakan publik dalam menyusun kebijakan yang berhubungan dengan kehidupan spiritual maupun kehidupan seni.