BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Memiliki anak sehat, baik fisik maupun mental adalah harapan bagi semua orang tua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikaruniai anak yang normal. Melihat anak – anak balita tumbuh dan berkembang merupakan suatu hal yang menarik bagi seorang ibu. Namun jika dalam masa perkembangannya anak mengalami suatu gangguan, maka ibu akan merasa sedih. Salah satu gangguan pada masa kanak – kanak yang menjadi ketakutan ibu saat ini adalah retardasi mental (tuna grahita) (Aziz & Fatma, 2013). Batasan usia anak menurut WHO sampai usia 18 tahun sedangkan menurut Undang-Undang Kesejahteraan anak RI No. 4 Tahun 1979 sampai dengan usia 21 tahun sebelum menikah (Hidayat, 2008). Perkembangan anak merupakan hasil dari maturasi organ-organ tubuh terutama susunan saraf pusat. Seorang anak yang tidak mencapai masa perkembangan pada usia yang diharapkan dikatakan telah mengalami keterlambatan perkembangan (Dowshen, 2002). Tuna grahita ditandai dengan fungsi anak dalam capabilities yaitu fungsi intelektual dibawah rata-rata disertai ketidakmampuan fungsi adaptasinya. Anak tidak mampu untuk mandiri sebagai individu yang mampu melakukan aktivitas sendiri (motoriknya), keterbatasan dalam memahami perilaku sosial dan perkembangan keterampilan sosial. Selain itu, kondisi
1 Pengaruh Kesiapan dan..., Afna Nur Hikmah, S1 Keperawatan UMP, 2015
2
anak yang tuna grahita akan membawa pengaruh pada kemampuan anak dan keterlibatan anak untuk berfungsi dalam setting lingkungan seperti di kehidupan belajar, bermain, bekerja, sosialisasi dan interaksinya (Wenar & Kerig, 2000). Tuna grahita menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III adalah suatu perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya budaya keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial (Maslim, 2001). Tuna grahita disebut juga oligofrenia (oligo = kurang atau sedikit dan fren = jiwa) atau tuna mental (Hanifah, 2009). Prevalensi setiap tahun dilahirkan sekitar 3000 – 5000 anak dengan tuna grahita di Amerika Serikat. Data pokok sekolah luar biasa diseluruh Indonesia tahun 2011, dilihat dari kelompok usia sekolah, jumlah penduduk di Indonesia yang menyandang keterbelakangan mental adalah 62.011 orang, 60% diderita anak laki-laki dan 40% diderita anak perempuan. Jumlah anak yang terkena tuna grahita sangat berat disebut idiot sebanyak 2,5%, anak tuna grahita berat sebanyak 2,8%, tuna grahita cukup berat disebut imbisil debil profound sebanyak 2,6%, dan anak tuna grahita ringan atau lemah pikiran disebut pander debil moyen sebanyak 3,5%, dan sisanya disebut anak dungu (Indra, 2013). Jumlah anak dengan tuna grahita di Kabupaten Banyumas menurut hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti di Dinas Pendidikan Purwokerto mendapatkan jumlah anak penyandang cacat tahun
Pengaruh Kesiapan dan..., Afna Nur Hikmah, S1 Keperawatan UMP, 2015
3
2012 tercatat 3109 jiwa dengan perbandingan jumlah laki-laki 1656 jiwa dan perempuan 1453 jiwa (Mulyani, 2014). Data di SLB C Yakut Purwokerto jumlah anak dengan tuna grahita menurut hasil dari studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti mendapatkan jumlah penyandang tuna grahita tahun 2014 berjumlah 145 anak dengan perbandingan tingkatan yaitu tuna grahita ringan berjumlah 52 anak dan tuna grahita sedang berjumlah 93 anak. Konsep pemikiran orang tua tentang anak “idaman” yaitu keturunan yang sehat fisik maupun mental mempengaruhi reaksi orang tua terhadap anak tuna grahita. Reaksi umum yang terjadi pada orang tua pertama kali adalah merasa kaget, mengalami goncangan batin, takut, sedih, kecewa, merasa bersalah, menolak karena sulit untuk mempercayai tuna grahita anaknya. Kondisi tersebut memicu tekanan dan kesedihan terhadap orang tua, khususnya ibu sebagai figur terdekat dan umumnya lebih banyak berinteraksi secara langsung dengan anak (Mawardah., Siswati & Hidayati, 2012). Banyak orang tua mempunyai pengertian terbatas mengenai proses tumbuh kembang anak, membuat para orang tua cemas dan membawa anaknya ke dokter dan rumah sakit (Notosoedirjo & Latipun, 2002). Orang tua dari anak yang tuna grahita berada dalam situasi yang sulit karena sikap masyarakat, mereka mungkin merasa malu karena anak mereka cacat dan perasaan malu itu mungkin mengakibatkan anak itu ditolak secara terang – terangan. Banyak keluarga mengubah cara hidup mereka karena kehadiran anak yang cacat mental, mereka menarik diri dari kegiatan –
Pengaruh Kesiapan dan..., Afna Nur Hikmah, S1 Keperawatan UMP, 2015
4
kegiatan masyarakat. Dalam situasi yang demikian, anak tersebut menjadi penyebabnya (Mawardah., dkk. 2012). Pengetahuan ibu yang terbatas tentang tuna grahita menyebabkan anak dengan penderita tuna grahita tidak bisa bertingkah laku sesuai di lingkungan sosial. Orang tua berperan penting khususnya ibu dalam pengetahuan tentang anak tuna grahita membantu anak tuna grahita yang pada dasarnya sering nervous, tegang, dan cukup introvert agar dapat menjalankan peran sesuai dengan konteks sosialnya. Dengan keterbatasan kemampuan berpikir yang mereka miliki, hendaknya orangtua mengarahkan anaknya yang tuna grahita terkait peran apa yang harus dijalankan oleh anaknya di lingkungan sosial. Menurut (Mangunsong, 2009) anak tuna grahita cenderung sulit mendapatkan teman dan mempertahankan pertemanan tersebut karena dua alasan yaitu mereka tidak tahu bagaimana memulai interaksi sosial dengan orang lain dan konsep diri anak tuna grahita buruk serta kemungkinan besar mereka tidak mendapat kesempatan bersosialisasi dengan orang lain. Harusnya dengan kenyataan demikian, tidak boleh ada lagi pelekatan stigma bahwa mereka tidak bisa bertingkah laku sesuai di lingkungan sosial karena kenyataannya mereka mau terbuka jika diinisiasi. Hanya masalahnya apakah kita mau bersabar dalam menginisiasi dan memotivasi mereka. Kondisi dari anak tuna grahita akan menambah kesulitan yang dihadapi orang tua meliputi perhatian penuh orang tua dalam perawatan, pengobatan, dan rehabilitasi. Seorang ibu yang memiliki anak tuna grahita merasakan kekecewaan, tertekan, sedih dan putus asa terhadap kehadiran
Pengaruh Kesiapan dan..., Afna Nur Hikmah, S1 Keperawatan UMP, 2015
5
anaknya (Pratiwi, 2007). Bagi orang tua penderita selain selalu muncul pertanyaan dalam benaknya bagaimana cara mengasuh anak-anak yang terdiagnosa mengalami tuna grahita, para orang tua terpaksa harus rela menerima label negatif oleh lingkungan sekitar. Para orang tua merasa kesulitan menjelaskan kondisi putranya kepada lingkungan sekitarnya. Orang tua menjadi sangat tertekan dan lebih menyukai anak main di rumah daripada harus keluar rumah (Maramis, 2009). Menurut Hidayat (2009) kesiapan pengasuhan anak merupakan keterampilan yang dimiliki seorang ibu dalam memberikan pelayanan kepada anak dan berfokus pada keluarga, pencegahan terhadap trauma, dan manajemen kasus. Pengasuhan merupakan kebutuhan dasar dari setiap anak. Kebutuhan dasar ini dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Kebutuhan dasar tersebut meliputi kebutuhan akan gizi, kebutuhan pemberian tindakan perawatan dalam meningkatkan dan mencegah terhadap penyakit, kebutuhan perawatan dan pengobatan apabila sakit, kebutuhan tempat atau perlindungan yang layak, kebutuhan hygiene perseorangan dan sanitasi lingkungan yang sehat, kebutuhan akan pakaian, kebutuhan kesehatan jasmani dan rekreasi (Syafitri, 2008). Penelitian orang tua dengan anak retardasi mental menunjukkan adanya
masalah
psikologis
dalam
pengasuhan,
beberapa
penelitian
menemukan orang tua dengan anak tuna grahita lebih menunjukkan masalah psikologis dibandingkan dengan orang tua yang memiliki anak normal (Bayat, et al., 2011), tingginya penolakan orang tua dibandingkan yang
Pengaruh Kesiapan dan..., Afna Nur Hikmah, S1 Keperawatan UMP, 2015
6
memiliki anak normal (Onder & Gulay, 2010), tanggung jawab orang tua dalam pengasuhan yang membawa situasi stres, terisolasi dan frustasi (Maul & Singer, 2009). Hal ini diperkuat oleh Little (2002) bahwa stres yang dialami oleh ibu dari anak penyandang cacat berhubungan dengan perasaan pesimis ibu akan masa depan anak. Hasil penelitian melalui studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti dengan melakukan metode wawancara pada 10 ibu yang memiliki anak tuna grahita, 7 dari 10 ibu mengalami stres akibat tingkah laku anaknya serta kesiapannya dalam mengasuh dan pengetahuan yang terbatas tentang anak tuna grahita. Beberapa ibu mengaku malu atas apa yang menimpa anaknya, sehingga tidak sedikit dari mereka tidak membolehkan anaknya bermain bersama teman-teman di lingkungannya. Hal ini terjadi karena adanya rasa minder pada diri orang tua terutama ibu dengan keterbatasan yang dimiliki anaknya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas bahwa orang tua yang memiliki anak tuna grahita memiliki beban yang berat terkait masalah psikologis yang berhubungan dengan tingkat stres, kesiapan dan pengetahuan tentang anak tuna grahita terutama pada figure ibu, untuk membatasi diri pada pembahasan dalam penelitian ini peneliti mengajukan pertanyaan “Adakah pengaruh kesiapan dan pengetahuan ibu terhadap tingkat stres pengasuhan anak tuna grahita sedang di SLB C Yakut Purwokerto?”.
Pengaruh Kesiapan dan..., Afna Nur Hikmah, S1 Keperawatan UMP, 2015
7
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui pengaruh kesiapan dan pengetahuan ibu terhadap tingkat stres pengasuhan anak tuna grahita sedang di SLB C Yakut Purwokerto. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui karakteristik ibu dan karakteristik anak. b. Mengetahui kesiapan, pengetahuan, dan tingkat stres pengasuhan ibu terhadap anak tuna grahita sedang di SLB C Yakut Purwokerto. c. Mengetahui hubungan antara kesiapan dengan
tingkat stres
pengasuhan ibu terhadap anak tuna grahita sedang di SLB C Yakut Purwokerto. d. Mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan tingkat stres pengasuhan ibu terhadap anak tuna grahita sedang di SLB C Yakut Purwokerto. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai tingkat stres ibu dalam mengasuh anak tuna grahita. 2. Manfaat Praktis Dengan adanya penelitian diharapkan para keluarga yang memiliki anak tuna grahita lebih siap menerima dengan kehadiran anak yang diberikan oleh Allah SWT untuk diasuh sebaik mungkin, walaupun
Pengaruh Kesiapan dan..., Afna Nur Hikmah, S1 Keperawatan UMP, 2015
8
anak itu berbeda dengan anak normal lainnya yaitu dengan cacat mental atau tuna grahita. E. Penelitian Terkait 1. Penelitian yang terkait dengan penelitian ini adalah Pratiwi, R. (2007), dengan judul skripsi hubungan antara active coping dengan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak retardasi mental (skripsi tidak dipublikasikan). Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada Hubungan Negatif Antara Active Coping dengan Stres Pengasuhan. Jenis metode penelitian menggunakan teknik sampling purposive yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah metode pengisian skala yaitu skala stres pada ibu yang memiliki anak retardasi mental dan skala active coping. Jumlah responden sebanyak 45 orang ibu – ibu yang memiliki anak retardasi mental yang menyekolahkannya di SLB N Pembina Yogyakarta. Analisis data yang dilakukan menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson untuk menguji hubungan antara active coping dengan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak retardasi mental dengan menggunakan analisis statistik SPSS 12.0 for windows. Persamaan dan perbedaan adalah sama-sama meneliti tentang stres pengasuhan, namun penelitian diatas menekankan pada active coping dengan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak retardasi mental, sementara pada penelitian yang akan dilakukan lebih
Pengaruh Kesiapan dan..., Afna Nur Hikmah, S1 Keperawatan UMP, 2015
9
menekankan pada kesiapan dan pengetahuan dengan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak retardasi mental sedang di SLB C Yakut Purwokerto, sifat penelitian yang akan diteliti adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional dan uji chi square. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner. 2. Penelitian yang terkait dengan ini adalah Maulina, B.& Sutatminingsih, R. (2005) dengan judul Stres Ditinjau dari Harga Diri Pada Ibu yang Memiliki Anak Retardasi Mental. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara harga diri dan stres pada ibu yang memiliki anak penyandang retardasi mental. Hipotesis dari penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara harga diri dan stress yang artinya semakin ibu memiliki harga diri yang negatif maka semakin kuat stress yang dimilikinya. Penelitian ini berbentuk lapangan dimana data dikumpulkan dengan menggunakan skala. Adapun subyek penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak yang menyandang retardasi mental sebanyak 40 orang, dimana 28 diantaranya memiliki anak dengan retardasi mental taraf ringan dan 12 lainnya memiliki anak retardasi mental taraf menengah. Hasil penelitian menunjukkan hubungan negatif antara harga diri dan stress pada ibu yang memiliki anak penyandang cacat mental (rxy = 0.601, p < 0.05). dengan demikian hipotesa penelitian ini diterima. Persamaan dan perbedaan adalah sama-sama meneliti tentang stres yang dialami ibu yang memiliki anak retardasi mental, namun penelitian diatas menekankan tentang harga diri ibu dimana apabila harga
Pengaruh Kesiapan dan..., Afna Nur Hikmah, S1 Keperawatan UMP, 2015
10
diri itu negatif maka semakin tinggi stres yang dialami ibu. Sementara pada penelitian yang akan dilakukan lebih menekankan pada kesiapan dan pengetahuan dengan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak retardasi mental sedang di SLB C Yakut Purwokerto, sifat penelitian yang akan diteliti adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional dan uji chi square. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner. 3. Penelitian yang terkait dengan ini adalah Mawardah, Siswati & Hidayati. (2012) dengan Judul Relationship Between Active Coping with Parenting Stress in Mother of Mentally Retarded Child. Penelitian ini dilakukan untuk menguji hubungan antara koping aktif dengan stres pengasuhan pada ibu dari anak-anak retardasi mental. Subjek dalam penelitian ini 66 ibu yang memiliki anak yang terbelakang di sekolah SLB ABC Swadaya Kendal. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua skala, skala koping aktif dan skala stres pengasuhan. Analisis regresi sederhana
menunjukkan
hubungan
antara
koping
aktif
dengan
menghadapi orang tua yang stres terutama ibu dalam pengasuhan dari anak-anak dengan keterbelakangan mental. Ini ditunjukkan oleh nilai 0,756 RY12 dengan tanda (2-tailed) = 0,000 (p <0,05) tanda positif pada koefisien korelasi menunjukkan arah hubungan yang positif. Ini berarti bahwa semakin tinggi koping aktif , semakin tinggi stres pengasuhan, dimana sebagai koping aktif rendah, semakin rendah stres pengasuhan. Pola asuh yang aktif mengatasi secara efektif memberikan kontribusi 57,1% terhadap stres pengasuhan. Hasil ini menunjukkan bahwa ada
Pengaruh Kesiapan dan..., Afna Nur Hikmah, S1 Keperawatan UMP, 2015
11
faktor lain di 42,9%, yang juga memberikan kontribusi terhadap stres pengasuhan tidak terungkap dalam penelitian ini. Persamaan dan perbedaan adalah sama-sama meneliti tentang stres pengasuhan terhadap ibu yang memiliki anak retardasi mental, namun penelitian diatas menekankan koping aktif. Sementara pada penelitian yang akan dilakukan lebih menekankan pada kesiapan dan pengetahuan dengan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak retardasi mental sedang di SLB C Yakut Purwokerto, sifat penelitian yang akan diteliti adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional dan uji chi square. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner. .
Pengaruh Kesiapan dan..., Afna Nur Hikmah, S1 Keperawatan UMP, 2015