BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Saat ini whistleblowing telah menarik perhatian dunia. Hal ini
dikarenakan banyak perusahaan besar melakukan kecurangan seperti penipuan, korupsi dan tindakan tidak etis lainnya yang pada akhirnya terungkap. Beberapa kasus besar yang terungkap adalah kasus perusahaan Enron, Worldcom, Anderson, dan Tyco (Magnus dan Viswesvaran, 2005). Pada kasus Enron, saat itu Enron melakukan manipulasi terhadap laporan keuangan perusahaan agar kinerja perusahaan terlihat baik. Enron memanipulasi pendapatan dengan melakukan mark up pendapatan sebesar $600 juta. Pada waktu itu, beberapa auditor internal yang bekerja di perusahaan Enron gagal untuk melaporkan ketidaketisan yang terjadi di dalam perusahaan karena mereka takut hal tersebut dapat membahayakan karir dan mengancam keselamatan mereka, meskipun tindakan tersebut sangat membahayakan perusahaan, investor, dan nilai perusahaan. Tidak hanya Enron, perusahaan Worldcom juga mengalami hal yang sama. Kecurangan yang terjadi pada perusahaan ini akhirnya terungkap oleh seseorang yang berasal dari dalam perusahaan tersebut. Kasus ini bermula ketika harga saham Worldcom dari $150 milyar pada tahun 2000 jatuh menjadi $150 juta pada tahun 2002. Dalam laporannya Worldcom mengakui bahwa perusahaan mengklasifikasikan beban jaringan sebagai pengeluaran modal mereka. Pada bulan Mei 2002 auditor Cynthia Cooper melaporkan masalah tersebut kepada kepala komite audit Max Bobbit. Kemudian Max Bobbit meminta KPMG selaku 1
eksternal audit untuk melakukan investigasi (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, 2011). Tidak hanya di luar negeri, di Indonesia kasus mengenai kecurangan yang pada akhirnya terbongkar juga terjadi pada institusi pemerintah. Diawali oleh pernyataan Susno Duadji di media massa mengenai adanya praktik mafia hukum yang menyeret Gayus Tambunan kepada publik.
Gayus Tambunan adalah
pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang terlibat dalam kasus pencucian uang dan korupsi puluhan miliar rupiah. Posisi Susno Duadji dalam struktur Kepolisian RI sebenarnya sangat kuat untuk mengungkap perkara Gayus. Hanya saja saking kuatnya tembok solidaritas diantara atasan dan koleganya di Mabes Polri, laporan Susno menjadi tak terselesaikan secara tuntas. Hingga pada akhirnya Susno melaporkan praktik kecurangan tersebut kepada pihak luar seperti media massa dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Sudah cukup banyak nama yang tercatat sebagai whistleblower atau orang yang melaporkan kecurangan atau pelanggaran. Beberapa diantaranya adalah Cynthia Cooper untuk kasus perusahaan Worldcom, Sheron Watkins untuk kasus perusahaan Enron, Jeffrey Wigand untuk kasus perusahaan rokok, Vincentius Amin Sutanto untuk kasus manipulasi pajak trilyunan rupiah perusahaan perkebunan raksasa milik konglomerat Sukanto Tanoto, Yohanes Waworuntu untuk kasus operator layanan sistem administrasi badan hukum (sisminbakum) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Susno Duadji untuk kasus praktek mafia di jajaran yudikatif di Indonesia, Agus Condro untuk kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia, dan Yulianis yang dijadikan sebagai saksi terkait kasus suap wisma atlet. 2
Dewasa ini, termasuk di Indonesia, banyak muncul kasus yang berkaitan dengan perilaku etis seorang pekerja dalam lingkungan kerjanya. Sebut saja kasus mengenai whistleblowing. Penelitian mengenai whistleblowing telah banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu (Miceli dan Near, 1984; Arnold dan Ponemon, 1991; Chiu, 2003; Liyanarachi dan Newdick, 2009; Park dan Blenkinsopp, 2009; Zhang et al., 2009; Ahmad et al., 2011) dan banyak menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi individu untuk melakukan whistleblowing. Penelitian terdahulu telah menekankan tentang pentingnya sebuah model yang komprehensif yang dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku whistleblower (Schultz et al., 1993; Kaplan, 2001; Miceli dan Near, 2002; Park dan Blenkinsopp, 2009). Terdapat dua model penelitian yang telah digunakan sebagai model acuan terkait penelitian whistleblowing: 1) model penelitian Schultz et al., (1993), dan 2) model penelitian Theory of Planned Behavior (teori perilaku terencana) milik Ajzen (1991). Model penelitian yang dikemukakan oleh Schultz et al., (1993) telah digunakan untuk menjelaskan niat whistleblowing pada beberapa konteks penelitian di bidang Akuntansi (Schultz et al., 1993; Chiu, 2002; Kaplan et al., 2009). Diluar konteks Akuntansi, teori perilaku terencana milik Ajzen (1991) juga telah digunakan untuk memprediksi niat whistleblowing pada petugas polisi (Park dan Blenkinsopp, 2009); tenaga kesehatan profesional (Randall dan Gibson, 1991); dan personil militer (Ellis dan Arieli, 1999). Menurut Near dan Miceli (1985), whistleblowing adalah pengungkapan yang dilakukan oleh anggota organisasi (mantan karyawan atau karyawan) secara ilegal, praktek-praktek tidak bermoral atau tidak sah dibawah kendali pemberi 3
kerja mereka, kepada orang atau pihak lain yang mampu mempengaruhi tindakan mereka. Namun pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Dworkin dan Near (1997), bahwa whistleblowing merupakan suatu tindakan warga negara yang baik, yang harus didorong bahkan diberi penghargaan. Orang
yang
melakukan
whistleblowing
dikenal
dengan
istilah
whistleblower, yang mana bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti peniup peluit atau pengungkap fakta. Whistleblowing adalah usaha untuk mencapai sebuah tujuan ekonomi dan sosial, sehingga pelakunya mengharapkan dukungan dari berbagai pihak agar tujuan tersebut tercapai. Namun kenyataan yang sering terjadi adalah mereka akan mendapat banyak ancaman. Elliston (1982) menyatakan bahwa sebagai karyawan mereka memiliki sedikit hak dan akan lebih banyak ditolak oleh karyawan lain. Dalam mengungkap suatu pelanggaran atau kejahatan di perusahaan atau suatu lembaga pemerintahan, seorang whistleblower memang dapat dilatari berbagai motivasi, seperti pembalasan dendam, ingin “menjatuhkan” institusi tempatnya bekerja, mencari “selamat” atau niat untuk menciptakan lingkungan organisasi tempatnya bekerja yang lebih baik. Namun, motivasi utama whistleblower hanya ingin melakukan sesuatu yang benar pada organisasi tempat mereka bekerja (Miceli et al., 1991). Sebenarnya para whistleblower telah mengetahui resiko yang mungkin diterimanya. Seperti halnya yang dilakukan oleh Susno Duadji, tindakannya sebagai whistleblower berani mengambil resiko atas kasus yang diungkapkan walaupun hal tersebut memberikan konsekuensi kepada karir, kehidupan pribadi maupun masyarakat kepada mereka. Selain itu, Agus Condro juga mengalami 4
konsekuensi akibat laporannya sendiri. Meski dia yang mengungkapkan adanya skandal, namun dia diganjar hukuman yang sama dengan koleganya dan tak menerima keringanan hukuman. Whistleblowing bukan merupakan isu yang baru dalam penelitian di bidang etika. Penelitian mengenai hal ini telah banyak dilakukan dan kebanyakan mencoba menguraikan faktor-faktor apa yang mempengaruhi individu untuk melakukan whistleblowing (Chiu, 2003). Terdapat banyak anteseden yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan whistleblowing dan beberapa penelitian telah dilakukan untuk menyelidiki hal tersebut. Beberapa peneliti menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi niat seorang pegawai dalam melakukan whistleblowing adalah sikap, norma subyektif, persepsi kontrol perilaku (Ellis dan Arieli, 1999; Park dan Blenkinsopp, 2009), penalaran moral (Liyanarachi dan Newdick, 2009), dan pertimbangan etis (Chiu, 2002; Zhang et al., 2009; Ahmad et al., 2011). Model dalam penelitian ini merupakan gabungan dari 2 (dua) model penelitian terdahulu, yaitu model penelitian Park dan Blenkinsopp (2009) dan model penelitian Chiu (2003). Park dan Blenkinsopp (2009) menemukan bahwa seseorang memiliki niat melakukan whistleblowing karena dipengaruhi oleh tiga hal utama, yaitu sikap, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilaku. Sedangkan Chiu
(2003) menemukan bahwa
ethical
judgment
(pertimbangan etis)
mempengaruhi niat untuk melakukan whistleblowing dengan dimoderasi oleh locus of control. Hasil analisis regresi menyatakan bahwa locus of control setiap responden memoderasi hubungan antara pertimbangan etis dengan kecenderungan melakukan whistleblowing. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang dengan locus 5
of control internal lebih mungkin untuk bertanggungjawab dalam membuat keputusan etis daripada mereka dengan locus of control eksternal (Tsui dan Gul, 1996; Chiu, 2003). Sebelumnya
telah
banyak
penelitian
yang
menekankan
tentang
pentingnya perilaku whistleblowing (Near dan Miceli, 1985; Randal dan Gibson, 1991; Schultz et al., 1993). Miceli dan Near (2002) menyatakan bahwa kebanyakan whistleblower pertama kali mengungkapkan penemuannya kepada internal perusahaan sebelum melaporkannya kepada publik. Whistleblowing memiliki jalur pelaporan internal dan eksternal yang tersedia untuk melaporkan pelanggaran
organisasi.
Penelitian
menunjukkan
bahwa
hampir
semua
whistleblower awalnya mencoba untuk melaporkan pelanggaran melalui jalur internal sebelum menggunakan (atau sebagai pengganti) jalur eksternal. Whistleblowing eksternal mengacu pada suatu tindakan yang mana seorang karyawan mengungkapkan kesalahan yang dilakukan dalam organisasi kepada seseorang diluar organisasi itu, baik secara anonim atau dengan mengidentifikasi. Sedangkan whistleblowing internal mengacu pada tindakan pelaporan kesalahan kepada seseorang ditingkat atas dalam organisasi (Miceli dan Near, 1984). Negara Indonesia belum memiliki peraturan terkait whistleblowing. Indonesia baru memiliki UU No. 13 tahun 2006 yang mengatur tentang perlindungan terhadap saksi dan korban. Secara substansial UU tersebut hanya mengatur tentang kejahatan publik yang meliputi proses perlindungan saksi dan korban dari tahap penyelidikan sampai pada keluarnya keputusan pengadilan, sedangkan whistleblowing konteksnya adalah mengungkap fakta pada suatu organisasi. Namun, di Indonesia sudah ada Pedoman Sistem Pelaporan dan 6
Pelanggaran (SPP) atau Whistleblowing System (WBS) yang diterbitkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) pada 10 November 2008. Di Indonesia, kesadaran terhadap pentingnya sistem pelaporan dan perlindungan terhadap whistleblower mulai meningkat. Beberapa lembaga seperti Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) terus mempromosikan praktikpraktik tata kelola yang baik (good governance), termasuk di sektor swasta. Perusahaan-perusahaan besar dan memiliki manajemen yang baik juga sudah mulai menerapkan sistem pelaporan untuk menerima laporan dari karyawan atau whistleblower (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, 2011). Lembaga yang dapat menerima pelaporan whistleblower belum berkembang di sektor swasta, karena masih dominan ditangani oleh perusahaan secara internal. Misalnya, melalui lembaga Ombudsman atau tim audit yang dibentuk oleh perusahaan atau dewan komisaris perusahaan (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, 2011). Sementara di lingkup sektor pemerintahan, baru lembaga-lembaga pengawas atau lembaga negara ad hoc yang menerima laporan dugaan praktik menyimpang dari aparat pemerintah. Misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial (KY), Komisi Hak Nasional Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Ombudsman. Dalam penelitian yang dilakukan terhadap para auditor,
Arnold dan
Ponemon (1991) menyatakan bahwa auditor harus memiliki level pertimbangan etis yang tinggi, karena hal tersebut dapat meningkatkan sensitivitas seorang individu untuk lebih mengkritisi kejadian, masalah dan konflik. Auditor dengan 7
kapasitas pemikiran etis yang lebih tinggi akan lebih baik dalam menghadapi konflik dan dilema etis. Louwers et al., (1997) menyatakan bahwa pengembangan dan penalaran moral memainkan peran penting dalam semua area profesi. Karena pertimbangan profesional berlandaskan pada nilai dan keyakinan individu, penalaran moral memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan akhir. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Trevino (1986) bahwa tahapan pengembangan penalaran moral individual menentukan bagaimana seorang individu berpikir tentang dilema etis, proses memutuskan apa yang benar dan apa yang salah, kesadaran akan benar dan salah saja tidak cukup untuk memprediksi perilaku pengambilan keputusan etis. Near dan Miceli (1985) menyatakan bahwa tidak ada teori umum atau komprehensif tentang mengapa beberapa karyawan berniat untuk melaporkan perilaku ilegal atau tidak etis sebuah organisasi, sementara yang lain tidak. Menurut teori perilaku terencana (TPT), determinan langsung dari tingkah laku individu adalah intensinya untuk menampilkan tingkah laku tersebut. Intensi seseorang dapat diprediksi melalui 3 hal utama, yaitu sikapnya terhadap hal tersebut, norma subyektif yang ia miliki, dan persepsi kontrol perilaku (Ajzen, 1991). Penelitian Dalton (2010) menyebutkan bahwa TPT mencakup beberapa variabel yang tidak termasuk dalam Schultz et al., (1993). Dalam penelitiannya, Schultz tidak memperhitungkan tekanan sosial yang dirasakan untuk melaporkan kesalahan (misalnya perilaku yang dirasakan), atau potensi manfaat (misalnya menghentikan aktivitas ilegal atau memperbaiki iklim etis
8
sebuah perusahaan tertentu) yang mungkin timbul dari keputusan individu untuk melaporkan kesalahan. Menurut Ajzen (1991), perilaku seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sangat dipengaruhi oleh niat. Sehingga niat tersebut dapat digunakan sebagai prediktor kemauan seseorang dalam berperilaku (Ahmad et al., 2011). Niat berperilaku merupakan indikasi kesiapan seseorang untuk melakukan perilaku, sehingga niat berperilaku merupakan anteseden langsung dari perilaku itu sendiri. Menurut Bandura (1982), niat merupakan suatu kebulatan tekad untuk melakukan aktivitas tertentu di masa depan dan mempunyai kaitan yang erat dengan sikap dan perilaku, sehingga merupakan variabel antara yang menyebabkan terjadinya perilaku dari suatu sikap atau variabel lainnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa niat (intention) adalah kecenderungan seseorang untuk memilih melakukan atau tidak melakukan suatu pekerjaan dan diasumsikan sebagai faktor pemotivasi yang ada dalam diri individu yang mempengaruhi perilaku. Mudrack (1993) mengemukakan bahwa sebenarnya masih ada faktor lain yang kemungkinan dapat memperkuat pengaruh sikap atau perilaku seseorang dalam melakukan niat whistleblowing. Salah satunya adalah karakteristik individu yang disebut locus of control. Pendapat tersebut diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Near dan Miceli (1985), bahwa karakter personal individu seperti locus of control akan mempengaruhi seseorang untuk melakukan keputusan etis. Selain itu, Chiu (2003) juga mengemukakan bahwa dengan menjadikan locus of control sebagai variabel moderasi memberikan hasil yang
9
berbeda, yaitu responden yang memiliki locus of control internal akan lebih mudah untuk melakukan whistleblowing. Louwers et al., (1997) yang meneliti tentang perilaku auditor menyatakan bahwa berdasarkan pada teori locus of control, perilaku auditor dalam situasi konflik akan dipengaruhi oleh karakteristik locus of control-nya. Individu yang memiliki locus of control internal akan lebih mungkin berperilaku etis dalam situasi konflik audit dibanding individu yang memiliki locus of control eksternal. Individu dengan locus of control internal adalah mereka yang yakin bahwa suatu kejadian selalu berada dalam kendalinya dan akan selalu mengambil peran dan tanggung jawab dalam penentuan benar atau salah. Sedangkan individu dengan locus of control eksternal percaya bahwa kejadian dalam hidupnya berada di luar kontrolnya dan percaya bahwa hidupnya dipengaruhi oleh takdir, keberuntungan, dan kesempatan serta lebih mempercayai kekuatan di luar dirinya. Karenanya auditor dengan locus of control eksternal akan lebih besar kemungkinannya untuk memenuhi permintaan klien. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Muawanah dan Indriantoro (2001) terhadap para auditor membuktikan bahwa locus of control internal menimbulkan pertimbangan etis yang lebih tinggi dibandingkan dengan pembawaan locus of control eksternal. Penelitian tersebut juga telah membuktikan bahwa interaksi antara locus of control dengan pertimbangan etis mempengaruhi perilaku auditor dalam situasi konflik audit. Dalam level pertimbangan etis yang rendah terdapat kecenderungan auditor kurang independen. Sebaliknya, pada level pertimbangan etis yang tinggi, ada kecenderungan auditor untuk menolak permintaan klien,
10
dengan kata lain auditor menjadi lebih independen. Dan kecenderungan ini berbeda untuk karakteristik locus of control yang internal dan eksternal. Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka penelitian ini ingin menguji pengaruh pertimbangan etis dan teori perilaku terencana (sikap, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilaku) terhadap niat pegawai untuk melakukan whistleblowing internal dengan locus of control sebagai variabel pemoderasi, pada salah satu lembaga Intelijen keuangan yang ada di Indonesia. Financial Intelligence Unit (FIU) atau lembaga Intelijen keuangan pada umumnya dibentuk untuk melawan praktek pencucian uang (money laundering). Di Indonesia, lembaga semacam ini disebut dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) atau dengan istilah asing disebut dengan The Indonesian Financial Transaction Report and Analysis Centre (INTRAC). Intelijen merupakan hasil kegiatan proses kerja sistematik yang terdiri atas pengumpulan informasi, evaluasi, integrasi, dari semua tahapan kerja sebelumnya, dan interpretasi dari seluruh informasi yang didapatkan serta perkiraan yang kemudian dibuat berdasarkan interpretasi yang diperoleh (Ensiklopedia Nasional Indonesia, 1989). PPATK termasuk salah satu lembaga yang sudah membangun sistem pelaporan pelanggaran dan perlindungan yang lebih jelas. Peraturan mengenai sistem pelaporan pelanggaran (whistleblowing system) di PPATK telah diatur dalam Peraturan Kepala PPATK Nomor PER-05/1.01/PPATK/04/09, tentang Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran. Peraturan tersebut dibuat untuk mendorong partisipasi aktif pimpinan, pegawai dan pemangku kepentingan dalam upaya mencegah dan/atau mengungkap praktik atau tindakan yang bertentangan 11
dengan good governance. Motivasi melakukan penelitian ini karena belum banyak penelitian di Indonesia yang menguji niat pegawai untuk melakukan whistleblowing dengan menggunakan pegawai lembaga Intelijen keuangan sebagai responden. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penelitian terbatas pada whistleblowing yang menggunakan auditor internal sebagai responden (Arnold dan Ponemon, 1991; Miceli et al., 1991; Xu dan Ziegenfuss, 2008). Miceli et al., (1991) yang meneliti tentang perilaku auditor menemukan bahwa auditor internal lebih mungkin untuk melakukan whistleblowing jika itu dinilai menjadi bagian dari tanggung jawab mereka. Park et al., (2008) melakukan penelitian terhadap mahasiswa Korea Selatan, Turki dan Inggris mengenai sikap mereka terhadap whistleblowing. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sikap antara mahasiswa di negara yang berbeda terhadap whistleblowing. Dengan adanya perbedaan tersebut peneliti ingin menguji apakah ada perbedaan yang signifikan jika sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pegawai di lembaga Intelijen keuangan. Penelitian ini akan memperkaya literatur dan secara teoritis dapat memberikan bukti tambahan tentang keberadaan dan deskripsi dari dimensi iklim etika yang berbeda berkenaan dengan whistleblowing yang dilakukan pegawai lembaga Intelijen keuangan di Indonesia.
1.2
Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Dari
beberapa
penelitian
yang
telah
dilakukan
terhadap
niat
whistleblowing, masih terdapat inkonsistensi terkait hasil penelitian tersebut. Park et al., (2008) yang melakukan penelitian terhadap sikap mahasiswa Korea Selatan, 12
Turki dan Inggris menemukan bahwa terdapat perbedaan sikap antara mahasiswa di negara yang berbeda tersebut terhadap whistleblowing. Namun pada penelitiannya yang lain, dengan memasukkan variabel teori perilaku terencana Park dan Blenkinsopp (2009) menemukan bahwa sikap, norma subyektif dan persepsi kontrol perilaku berpengaruh signifikan terhadap niat whistleblowing. Forte (2005) yang melakukan penelitian terhadap manajer dan eksekutif di Amerika menemukan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara locus of control dan penalaran moral terhadap niat whistleblowing. Namun Chiu (2003) dalam penelitiannya terhadap manajer di Cina menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara pertimbangan etis dan niat whistleblowing dengan memasukkan variabel locus of control sebagai variabel moderasi . Dengan demikian rumusan masalah tersebut menimbulkan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah pertimbangan etis berpengaruh positif pada niat whistleblowing internal? 2. Apakah sikap berpengaruh positif pada niat whistleblowing internal? 3. Apakah norma subyektif berpengaruh positif pada niat whistleblowing internal? 4. Apakah persepsi kontrol perilaku berpengaruh positif pada niat whistleblowing internal? 5. Apakah locus of control memoderasi pengaruh pertimbangan etis pada niat whistleblowing internal? 6. Apakah locus of control memoderasi pengaruh sikap pada niat whistleblowing internal? 13
7. Apakah locus of control memoderasi pengaruh norma subyektif pada niat whistleblowing internal? 8. Apakah locus of control memoderasi pengaruh persepsi kontrol perilaku pada niat whistleblowing internal?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut: 1. Menguji pengaruh positif pertimbangan etis pada niat whistleblowing internal. 2. Menguji pengaruh positif sikap pada niat whistleblowing internal. 3. Menguji pengaruh positif norma subyektif pada niat whistleblowing internal. 4. Menguji
pengaruh
positif
persepsi
kontrol
perilaku
pada
niat
whistleblowing internal. 5. Menguji locus of control sebagai pemoderasi pengaruh pertimbangan etis pada niat whistleblowing internal. 6. Menguji locus of control sebagai pemoderasi pengaruh sikap pada niat whistleblowing internal. 7. Menguji locus of control sebagai pemoderasi pengaruh norma subyektif pada niat whistleblowing internal. 8. Menguji locus of control sebagai pemoderasi pengaruh persepsi kontrol perilaku pada niat whistleblowing internal.
14
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk memperluas pengetahuan dibidang manajemen sumberdaya manusia dalam pengembangan literatur, khususnya mengenai teori perilaku terencana, teori perkembangan moral, dan whistleblowing. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan menjadi
bahan
pertimbangan
bagi
praktisi
(manajer)
dalam
mengembangkan pengetahuan terkait dengan sistem perlindungan bagi whistleblower, jalur pelaporan, dan program pelatihan terkait dengan etika manajemen (pertimbangan etis, sikap, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilaku). Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat membantu pimpinan dalam merekrut pegawai yang baik untuk bekerja di kantornya, yaitu dengan cara merekrut pegawai yang memiliki tingkat pertimbangan etis yang tinggi. Jika harus merekrut pegawai dengan tingkat pertimbangan etis yang rendah, sebaiknya pimpinan memilih pegawai yang mempunyai locus of control internal.
1.5
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai
berikut:
15
BAB I
Pendahuluan Bab ini akan menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, kegunaan dan kontribusi penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II
Pengembangan Teori dan Hipotesis Bab ini merupakan uraian landasan teori-teori yang menjadi dasar analisis penelitian, yaitu teori pengembangan moral kognitif, teori perilaku terencana, niat whistleblowing dan pengembangan hipotesis.
BAB III
Metode Penelitian Bab ini menjelaskan tentang variabel penelitian, ruang lingkup penelitian, sampel penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data dan metode analisis data.
BAB IV
Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab ini menjelaskan tentang hasil penyebaran kuesioner, karakteristik responden, hasil pengolahan dan analisis data penelitian
BAB V
Simpulan, Implikasi, Keterbatasan dan Saran Bab ini menyajikan penjelasan tentang kesimpulan penelitian, implikasi,
keterbatasan
penelitian
penelitian selanjutnya
16
dan
rekomendasi
untuk