BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Dimasa lalu, sebelum reformasi, Operasi Keamanan Dalam Negeri (Opskamdagri) dipahami sebagai salah satu bentuk pola operasi militer, yaitu, pola operasi militer untuk menghadapi ancaman bersenjata dari dalam negeri. Hal itu didasarkan pada pengertian bahwa ancaman yang dihadapi adalah ancaman terhadap Keamanan Negara, yaitu kedaulatan dan keutuhan wilayah. Namun setelah reformasi, digunakannya istilah Keamanan Dalam Negeri tidak lagi diartikan sebagai Keamanan Negara, tetapi sebagai Keamanan Publik. Sebagai akibatnya maka penggunaan istilah Opskamdagri sebagai operasi militer menjadi tidak tepat, karena Keamanan Publik adalah fungsi kepolisian (Rahakundini, 2007, hal. 42). Sebagaimana Undang-undang No, 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Pasal 1 huruf 6, menyatakan bahwa: Keamanan Dalam Negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaraanya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional. Hal ini ditandai dengan terjaminnya tertib dan 1
tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat. Dengan belum dirumuskannya kembali Opskamdagri dalam pengertian militer, maka penanganan Keamanan Dalam Negeri sering dipahami secara berbeda-beda (Sudrajat & Samego, 2001, hal. 163). Perbedaan pemahaman tentang Kamdagri semakin terlihat ketika oleh sementara pihak Pertahanan diartikan hanya sebagai upaya menghadapi ancaman dari luar negeri (menghadapi ancaman militer negara lain), sedangkan Keamanan adalah upaya menghadapi ancaman yang berasal dari dalam negeri. Oleh karena itu, maka militer (TNI) sebagai alat pertahanan, tugasnya adalah menghadapi ancaman bersenjata dari luar negeri saja, sedangkan ancaman yang berasal dari dalam negeri adalah tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut dengan POLRI) (Sudrajat & Samego, 2001, hal. 82). Pemisahan
secara
“abu-abu”
kemudian
menimbulkan
berbagai
permasalahan dalam pelaksanaannya di lapangan. Pemahaman bahwa tugas TNI hanya menghadapi ancaman dari luar negeri, tampaknya adalah pemahaman yang diadopsi demikian saja dari paham yang dianut oleh negara-negara maju. Bahwa negara maju menganut paham tersebut mungkin bisa dimengerti, karena negara maju kecil kemungkinannya, menghadapi ancaman bersenjata dari dalam negeri terhadap Keamanan Negara-nya (Ihza, 2009, hal. 45). Pun sebenarnya, justru masalah yang seringkali dihadapi Indonesia adalah ancaman yang berasal dari 2
dalam negeri. Sejauh ini, pengertian bahwa tugas TNI tidak hanya menghadapi ancaman militer atau bersenjata dari luar negeri tampaknya masih belum dapat diterima oleh banyak pihak. Padahal, Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI Pasal 6 secara eksplisit menyatakan bahwa fungsi TNI sebagai Penangkal dan Penindak adalah untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri (Ihza, 2009). Adanya pemisahan secara “abu-abu” tersebut terjadi sejak pemisahan Polri dari struktur organisasi ABRI berdasarkan Ketetapan MPR No.VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR No.VII/MPR/2000. Tap MPR No.VI/MPR/2000 Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan bahwa Tentara Nasional Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara. Sedangkan Ayat (2) menyebutkan bahwa Kepolisian Negara RI adalah alat negara yang berperan dalam bidang keamanan negara. Dari kedua ayat tersebut tentu dapat diartikan bahwa fungsi pertahanan dan fungsi keamanan adalah dua hal yang terpisah. Namun keterpisahan itu tidak jelas, karena tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud “pertahanan” dan apa yang dimaksud “keamanan”. Sedikit penjelasan ada pada Ketetapan MPR No.VII/MPR/2000 Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 6 Ayat (1). Tap MPR No.VII/MPR/2000 Pasal 2 Ayat (2) menyatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan negara bertugas pokok menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Sedangkan Tap MPR No.VII/MPR/2000 Pasal 6 3
Ayat (1) menyatakan bahwa Kepolisian Negara RI merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan masyarakat. Pasal-pasal tersebut juga masih sulit dipahami, misalnya dalam menghadapi pemberontakan sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Misalnya saja, gerakan separatis bersenjata, jelas mengancam kedaulatan negara, dan mereka sudah pasti juga melanggar hukum. Dalam hal demikian, maka menjadi tidak jelas apakah penanganannya merupakan fungsi pertahanan ataukah fungsi keamanan. Pemisahan antara pertahanan dengan keamanan semakin sulit dihindari ketika telah dilakukan amandemen terhadap UUD 1945. Pasal 30 UUD 1945 yang semula berjudul “Pertahanan Negara” setelah amandemen menjadi berjudul “Pertahanan dan Keamanan Negara”. Penggunaan kosakata “dan” dalam judul “Pertahanan dan Keamanan Negara” semakin menegaskan bahwa pengertian Pertahanan adalah terpisah dari pengertian Keamanan (Gunawan, 2012). Disaat militer dan polisi negara-negara lain melangkah maju dan bersatu dalam menghadapi berbagai gangguan yang dapat mengancam kedaulatan negara, justru militer dan kepolisian di Indonesia saling berseteru untuk sebuah alasan yang seringkali tidak patut dibanggakan. Berdasar data Pusat Studi Politik dan Keamanan Unpad, konflik TNI-Polri pada 2014 sudah terjadi delapan kali (Pariangu, 2014). Kemudian, jika dihitung dalam kurun 1999–2014, jumlah insiden sudah mendekati 200 kasus dengan korban tewas 20 orang. Upaya penyelesaian konflik yang terjadi di dalam dua institusi besar di Indonesia ini, 4
yaitu TNI dan Polri, seolah tiada akhir. Berbagai proses resolusi konflik telah dilakukan dalam rangka menyelesaikan konflik yang mengakar dalam negara ini. Dua elemen penting yang mendasari konflik ini adalah masalah identitas dan pembagian distribusi (Harris & Reilly, 2000, hal. 11-15). Perubahan sistem yang terjadi pada saat pemisahan secara institusional antara TNI dan Polri seringkali dianggap sebagai akar penyebab konflik. Alasannya tentang superioritas yang sebelumnya ada dikalangan TNI baik secara institusional maupun personal, tetapi superioritas itu kemudian hilang karena adanya pemisahan. Seiring dengan itu muncul ketegasan sikap personil Polri dalam menjalankan tugasnya. Dalam hal ini Polri dapat dikatakan memasuki wilayah yang sebelumnya dianggap sebagai lahan TNI. Inilah yang kemudian menyebabkan konflik. Konflik yang terjadi antara anggota TNI dan Polri banyak terjadi pasca pemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) atau Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada tahun 1999 (Pariangu, 2014). Sekalipun pada masa sebelum pemisahan ada juga konflik namun intensitasnya tidak sebanyak setelah terjadinya pemisahan. Padahal ide dasar pemisahan kedua lembaga tersebut tidak lain agar dapat meningkatkan profesionalitas fungsi dan organisatoris dari kedua institusi tersebut, termasuk sumber daya manusianya sehingga dapat lebih berdayaguna dan berhasilguna dalam melaksanakan tugas pokoknya masing-masing. Namun niat baik dari pemisahan tersebut ternyata belum berhasil karena TNI dan Polri justru seringkali terlibat konflik. 5
Bentrok TNI-Polri selama ini disebabkan beberapa faktor, yaitu: semangat esprit de corps (jiwa korsa) yang keliru, budaya penghormatan terhadap hukum yang rendah, arogansi, dan faktor kesejahteraan yang rendah (Rahayu, 2014). Kemudian, disiplin dan kendali komandan atau pimpinan yang lemah, sanksi hukum yang tidak maksimal terhadap anggota yang melanggar hukum, minimnya komunikasi antar anggota TNI-Polri, serta adanya dugaan keterlibatan masingmasing pihak didalam bisnis-bisnis ilegal juga menjadi faktor-faktor pendukung yang memicu bentrok antara TNI-Polri.
I.2 Rumusan Masalah Beragam kasus bentrokan antara anggota TNI dan Polri adalah gambaran dari fenomena gunung es, yang mana dipermukaan intensitasnya terlihat sangat kecil tetapi dibawahnya tersimpan banyak potensi bentrokan yang sewaktu-waktu dapat meledak. Pada dasarnya, telah banyak upaya yang dilakukan oleh pimpinan TNI dan Polri guna meredam terjadinya bentrokan yang melibatkan anggota dikedua institusi tersebut, namun tampaknya upaya tersebut belum berhasil seperti yang diharapkan, mengingat penyelesaiannya seringkali tidak menyentuh akar permasalahan (Sidi, 2005). Upaya yang selama ini dilakukan oleh pimpinan kedua lembaga tersebut terkesan hanya sebatas melakukan perdamaian atau sekedar saling maaf memaafkan, dengan kata lain hanya menyentuh permukaannya saja, akibatnya bentrokan demi bentrokan terus terjadi, khususnya di wilayah konflik. Padahal,
6
apabila bentrokan tersebut tidak segera diatasi dikhawatirkan akan berdampak negatif pada stabilitas kamtibmas secara keseluruhan yang pada akhirnya akan bermuara pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap TNI dan Polri. Setelah menelaah paparan latar belakang permasalahan terlihat bahwa permasalahan utama yang menjadi pusat perhatian penelitian ini adalah konflik TNI dan Polri pasca reformasi tahun 1999-2015. Apabila diperinci lebih lanjut maka muncul pertanyaan atas permasalahan yang akan diteliti, yaitu bagaimana pola-pola dan persebaran konflik antara TNI dan Polri di Indonesia pasca reformasi tahun 1999-2015?
I.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Terdapat 2 (dua) tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini. Pertama, adalah mengetahui tentang gambaran pola-pola dan persebaran konflik TNI-Polri di Indonesia pasca reformasi tahun 1999-2015. Kedua, berusaha mengemukakan diskusi mengenai penyelesaian konflik antara kedua institusi ini. Kedua tujuan tersebut diharapkan dapat dicapai sehingga bisa menyampaikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai konflik TNI-Polri. Dengan kata lain, penelitian ini ingin memberikan sumbangan pemikiran atas penyelesaian konflik TNI dan Polri sebagai dua institusi terbesar negeri ini sehingga bermanfaat bagi bangsa dan negara di masa depan. Sampai saat ini masih banyak forum, diskusi, seminar, dan tulisan yang membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan institusi TNI dan Polri. Ada 7
yang membahas hubungan sipil dan militer, tentang pertahanan dan keamanan, mengenai UU keadaan darurat, dan tentang hubungan Polri dan daerah otonom. Namun, penelitian Tesis yang khusus membahas konflik TNI dan Polri menurut peneliti belum dilakukan. Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan penelitian mengenai konflik TNI dan Polri belum banyak dilakukan. Pertama, besarnya kendala bagi peneliti untuk mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan. Kedua, topik penelitian ini tetap masih sensitif. Ketiga, terdapat pandangan bahwa konflik TNI dan Polri adalah konflik elite sehingga kurang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Padahal kenyataannya konflik antara TNI dan Polri sangat meresahkan masyarakat. Sehingga peneliti menganggap penting untuk meneliti tentang permasalahan ini. Sejalan dengan tujuan penelitian yang disebut diatas, hasil penelitian ini diharapkan untuk menghasilkan dua manfaat yaitu: 1. Manfaat praktis penelitian, untuk memberikan gambaran pola-pola dan persebaran konflik TNI-Polri di Indonesia pasca reformasi tahun 19992015 dan penyelesaian konflik antara kedua institusi ini. 2. Manfaat akademis penelitian, untuk memberikan referensi ilmiah bagi pihak-pihak yang tertarik untuk mempelajari konflik antara TNI dan Polri yang meliputi pola-pola konflik, persebaran konflik hingga ke penanganan atau penyelesaian konfliknya.
8
I.4 Metode Penelitian I.4.1 Unit Penelitian Penelitian ini menggunakan dua unit penelitian. Pertama adalah “peristiwa konflik”, yaitu kejadian suatu konflik yang telah muncul ke permukaan, dan dimuat dalam artikel koran. Sebagaimana diketahui konflik TNI-Polri bervariasi mulai dari konflik dengan intensitas rendah, seperti perkelahian dengan adu mulut, sampai kepada konflik dengan tekanan yang tinggi seperti aksi-aksi destruktif, seperti penyerangan kantor dengan pembakaran. Unit kedua adalah studi kasus, yaitu dua kasus yang dinilai paling destruktif, yaitu konflik TNI-Polri di Binjai tahun 2002 dan konflik TNI-Polri di Masohi tahun 2008. I.4.2 Pendekatan Penelitian Dalam upaya untuk lebih memahami gejala sosial dari konflik TNI dan Polri maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif-analitis (Malo, 2000, hal. 22-24); yaitu menggambarkan dan menganalisa secara detail mengenai permasalahan yang berhubungan dengan konflik antara TNI dan Polri. I.4.3 Metode Pengumpulan Data Peneliti di dalam melakukan penjelasan mendasarkan pada data-data primer dan sekunder. Ada pun metode yang digunakan di dalam mengumpulkan data yaitu penelitian kepustakaan dan dokumenter, serta wawancara mendalam (indepth interview). Ketiga metode ini berguna karena saling mengisi dan melengkapi. Penelitian kepustakaan merupakan metode yang lazim dilakukan 9
didalam sebuah penelitian. Metode wawancara dilakukan untuk menggali lebih dalam dan menutupi kekurangan data-data dari penelitian kepustakaan dan dokumenter. Ada pun model wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak berstruktur, dimana pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada informan tidak ada aturan urut yang baku sehingga pertanyaan bisa berkembang di lapangan. Seluruh data baik yang bersifat primer maupun sekunder dikumpulkan, diseleksi dan diklasifikasi sesuai dengan derajat relevansinya dengan objek penelitian. Penelitian ini dilakukan di tingkat nasional untuk melihat profil konflik TNI-Polri yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia mulai dari Sumatera sampai ke Papua. Sumber informasi untuk studi ini diambil dari media massa khususnya surat kabar yang diakses dari situs SNPK (Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan). Situs SNPK dipilih untuk mengobservasi artikel koran yang memuat konflik TNI-Polri. Disamping itu, untuk melakukan verifikasi dan memperkaya data sekunder dari media massa, dilakukan studi kasus di dua lokasi yang berbeda. Selanjutnya berdasarkan data-data yang telah diperoleh akan dijelaskan tentang persoalan konflik TNI dan Polri. Disamping itu, kajian ini tentunya terkait dengan persoalan perubahan masyarakat pada umumnya. Sehingga penelitian ini diharapkan akan mampu menjawab pertanyaan penelitian yang dikemukakan dalam permasalahan pokok dalam studi ini (Malo, 2000, hal. 38). I.4.4 Data dari Media Massa Media massa merupakan salah satu dari dua sumber data utama dalam penelitian ini. Media massa dipilih sebagai sumber data karena bisa diperoleh
10
dengan mudah dan cepat, bahkan beberapa diantaranya bisa diakses melalui internet. Selain itu, ada kliping yang telah dibuat oleh SNPK (Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan) yang bisa dimanfaatkan. Keuntungan lainnnya adalah bahwa informasi yang didapatkan dari media massa dapat dengan mudah diarsip. Namun demikian, peneliti juga menyadari bahwa media massa tidak bebas dari bias (value free) dan memiliki pertimbangan sendiri dalam memunculkan berita. Disamping itu, disadari juga bahwa media massa hanya melaporkan sebagian saja dari informasi lengkap di lapangan, dan media massa mana pun tidak terlepas dari kepentingan golongan tertentu. Penelusuran informasi dari media massa dilakukan melalui surat kabar yang sudah dikumpulkan menjadi kumpulan data yang dibuat oleh SNPK (Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan), yang terbit pasca reformasi, yaitu antara tahun 1999 sampai dengan tahun 2015. Terdapat dua model utama terkait bagaimana umumnya media massa dimanfaatkan dalam studi tentang konflik. Pertama, media massa digunakan sebagai sumber data mengenai kasus kekerasan. Kedua, media massa digunakan sebagai objek kajian terkait studi mengenai kekerasan. Model yang kedua inilah yang dikenal sebagai riset tentang pengaruh media (media effect research) (AliFauzi, Alam, & Panggabean, 2009). Penelitian ini sendiri menggunakan model pertama, yaitu menggunakan laporan media massa sebagai sumber data dan informasi mengenai peristiwa konflik TNI-Polri di Indonesia. Tradisi penelitian dengan menggunakan laporan media massa, khususnya surat kabar, semakin berkembang pesat selama beberapa dasawarsa terakhir, terutama dibidang kajian tindakan kolektif dan gerakan sosial. 11
Penggunaan media massa, khususnya surat kabar, sebagai sumber data peristiwa tentang konflik dan kekerasan semakin dianggap penting, terutama ketika sumber-sumber data alternatif, seperti statistik yang dikeluarkan oleh kepolisian maupun pemerintah, dianggap tidak memadai atau tidak dapat diandalkan. Hal ini diakibatkan oleh ketiadaannya standarisasi yang sama yang digunakan oleh berbagai instansi yang berbeda, sehingga mengakibatkan rendahnya tingkat komparabilitas data antarinstansi. Dalam studi ini, peneliti menggunakan data dari SNPK (Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan), yang sebagian besar data-datanya diambil dari surat kabar daerah atau surat kabar lokal. Pertimbangan atas penggunaan surat kabar lokal adalah terkait karakteristik kekerasan yang umumnya bersifat lokal, sehingga lebih berpeluang untuk diliput oleh surat kabar-surat kabar yang berbasis daerah daripada surat kabar nasional. Meskipun begitu, penggunaan media massa sebagai sumber data dalam sebuah studi tidak berarti tanpa masalah. Isu metodologis yang penting dicatat ketika menggunakan media massa khususnya surat kabar sebagai sumber data mengenai peristiwa adalah apa yang disebut bias seleksi (selection bias) dan bias deskripsi (description bias) (Ali-Fauzi, Alam, & Panggabean, 2009). Bias seleksi (selection bias) adalah kemungkinan media massa khususnya surat kabar untuk tidak memberitakan seluruh peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Hal ini dapat disebabkan adanya standar berbeda yang digunakan oleh media massa khususnya surat kabar dalam menentukan peristiwa mana yang “layak” dalam memperoleh liputan. 12
Penyebab lainnya adalah adanya keterbatasan-keterbatasan teknis yang dimiliki oleh media massa khususnya surat kabar itu sendiri, sehingga mereka tidak berhasil untuk meliput seluruh peristiwa. Berkaitan dengan peristiwa konflik TNI-Polri, misalnya, beberapa hal yang biasa dijadikan pertimbangan media massa khususnya surat kabar dalam meliput peristiwa adalah banyaknya korban atau besarnya kerugian yang diakibatkan oleh insiden konflik tersebut dan besarnya jumlah aktor yang terlibat dalam insiden konflik. Sedangkan bias deskripsi (description bias) adalah bias yang dilakukan oleh media massa khususnya surat kabar dalam menggambarkan suatu peristiwa. Dengan kata lain, gambaran media massa khususnya surat kabar terhadap suatu peristiwa mungkin tidak “seakurat” peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Ketika mengkaji liputan medua cetak dan elektronik tentang peristiwa-peristiwa protes yang terjadi pada 1982 dan 1991 di Washington DC, misalnya, McCarthy dkk. (1999) mengidentifikasi tiga dimensi bias deskripsi, yaitu: penghilangan informasi, misrepresentasi informasi, dan pembingkaian (framing) peristiwa oleh media (Ali-Fauzi, Alam, & Panggabean, 2009). Bias deskripsi dapat diakibatkan oleh faktor-faktor teknis, seperti ketrampilan reportase peliput berita dan tenggat waktu, maupun posisi “ideologis” media terhadap isu-isu yang bersangkutan. Solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah bias seleksi maupun bias deskripsi dalam studi media massa adalah dengan menggunakan sumber media massa yang tidak tunggal atau bervariasi (multiple sources).
13
I.4.5 Data dari Wawancara Metode wawancara dilakukan untuk menggali lebih dalam dan menutupi kekurangan data-data dari penelitian kepustakaan dan dokumenter. Ada pun model wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak berstruktur, dimana pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada informan tidak ada aturan urut yang baku sehingga pertanyaan bisa berkembang di lapangan. Penelitian ini diarahkan pada dua kelompok sebagai sumber informasi utama yang terdiri dari: pertama, informan dari TNI dan Polri baik secara kelembagaan atau individu. Kedua, para ahli dan pengamat dibidang TNI dan Polri serta pihak-pihak yang terkait dengan institusi ini. Beberapa informan yang dijadikan sumber informasi dibawah ini berkaitan dengan yang bersangkutan memang terlibat sebagai anggota atau mantan anggota TNI atau Polri, sebagian lagi adalah pakar konflik dan dalam hal ini adalah konflik TNI dan Polri.
I.5 Kerangka Konseptual I.5.1
Konflik TNI-Polri: Pengertian
Menurut Mitchell, konflik dibedakan menjadi konflik ideologis dan konflik kepentingan (Mitchell, 1981, hal. 35). Kemudian, menurut pandangan radikal atau reformis, konflik terjadi akibat adanya perubahan dalam sistem dan struktur sosial masyarakat akibat adanya pendatang baru yang berupaya memasuki hirarki, posisi dan sistem sosial yang ada (Lipset, 1985, hal. 47). Para fungsionalis memandang bahwa konflik terjadi bukan karena hadirnya pendatang, 14
tetapi karena terjadinya perubahan-perubahan yang kompleks dalam perangkatperangkat pranata sosial yang tidak mampu lagi menyediakan kebutuhan dasar bagi masyarakatnya. Perubahan ini membawa konsekuensi perebutan sumber kebutuhan yang terbatas dan terbukanya konflik. Fungsionalis banyak memiliki kesamaan dengan kalangan sosiolog Marxis yang secara tegas menyatakan bahwa fungsi utama dari pranata sosial adalah pemenuhan terhadap segala kebutuhan dasar manusia seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal (Lipset, 1985, hal. 48). Bagi kalangan Marxis, segala aktivitas manusia, termasuk konflik, dipengaruhi oleh faktor kepentingan ekonomi. Konflik intra masyarakat merupakan gejala sosial politik permanen dalam dunia modern dan hampir tidak ada negara yang bebas dari permasalahan tersebut (Stavenhagen, 1990, hal. 76), karena konflik sekaligus menjadi tantangan terhadap legitimasi pemerintahan yang ada. Dalam kasus yang akut, konflik dapat mengarah pada kekerasan destruktif atau pembunuhan. Konflik sosial akan timbul ketika sebuah masyarakat merasakan kondisi seperti ada perasaan berbeda dari yang lainnya, adanya berbagai keluhan atau kekecewaan, adanya upaya pereduksian kekecewaan yang dialaminya yang menimbulkan dampak terhadap masyarakat lainnya, dan adanya keyakinan dalam masyarakat yang merasa kecewa bahwa perubahan dapat dilakukan dengan perilaku antagonis (Kriesberg, 1998, hal. 58-59). Terdapat dua teori yang terkait dengan perubahan sosial dan politik, yaitu teori deprivasi relatif dan mobilisasi kelompok. Teori yang pertama, menekankan adanya motivasi atas rasa keadilan bagi aktivitas politik. Sedangkan teori yang 15
kedua, menekankan pada kalkulasi para pemimpin dalam menggalang berbagai resources sebagai respons terhadap adanya perubahan politik (Dougherty & Pfaltzgraff, 1981). Kedua hal ini sangat berkaitan dengan keluhan masyarakat yang melahirkan kohesi dan mobilisasi kuat yang dipicu oleh faktor internal (kekecewaan masyarakat terhadap sistem sosial lingkungannya) maupun eksternal (sistem politik negara yang memberikan kesempatan suatu kelompok untuk melakukan perlawanan) dan rasa untuk melindungi identitas kulturalnya akibat adanya sikap represif dari kelompok dominan. Jika keluhan dan identitas masyarakat begitu lemah, salah satu atau keduanya, sangat sulit bagi para pemimpin kelompok untuk melakukan suatu gerakan sebagai respons terhadap perubahan atau kesempatan yang ada. Teori-teori di atas cukup memadai untuk melihat mengapa pemisahan secara institusional TNI dan Polri kemudian menyebabkan konflik. Perbedaanperbedaan pandangan antara satu teori dan yang lainnya bukan saling bertentangan, tetapi justru saling melengkapi dan akan lebih mempertajam pandangan dalam melihat konflik yang terjadi antara TNI dan Polri setelah keduanya dipisahkan secara struktural. Teori radikal dan reformis cocok untuk menjelaskan konflik TNI dan Polri karena teori ini melihat bahwa perubahan sistem sebagai akar penyebab konflik. Ini cocok untuk menjelaskan tentang superioritas yang sebelumnya ada di kalangan TNI baik secara institusional maupun personal, tetapi superioritas itu kemudian hilang karena pemisahan. Seiring dengan itu muncul ketegasan sikap personil-personil Polri dalam menjalankan tugasnya. Dalam hal ini Polri dapat dikatakan memasuki wilayah
16
yang sebelumnya oleh TNI dianggap sebagai lahannya. Inilah yang menyebabkan potensi konflik itu muncul. Sedangkan teori fungsionalis dan Marxis memberikan perluasan wawasan tentang terjadinya konflik antara TNI dan Polri karena pemisahan antara keduanya mengandung konsekuensi-konsekuensi yang dalam beberapa hal bersifat ekonomis. Dalam hal ini, lagi-lagi TNI adalah pihak yang secara ekonomis dirugikan. Intensitas konflik antara TNI dan Polri ini semakin meninggi karena di antara kedua belah pihak mempunyai alasan pendorong untuk melakukan konflik tersebut. Di satu sisi, TNI merasa bahwa Polri dengan strukturnya yang baru telah menyebabkan superioritas TNI hilang dan lebih dari itu, Polri dengan strukturnya yang baru dianggap menjadi penghalang bagi sumber-sumber yang bersifat ekonomis yang sebelumnya dapat diperoleh TNI tanpa ada usikan yang berarti. Disamping itu, secara psikologis Polri merasa tertekan sekian lama dalam kungkungan struktur yang menyebabkannya tidak mempunyai kekuatan signifikan untuk menjalankan tugas-tugasnya secara benar. Oleh karena itu ketika kesempatan itu terbuka maka Polri menggunakannya secara optimal. Penelitian ini berpijak pada asumsi bahwa konflik TNI-Polri perlu dibedakan berdasarkan jenis isu konflik yang menjadi sumber pertikaian. Dalam penelitian ini, “konflik TNI-Polri” diartikan sebagai “perseteruan menyangkut nilai dan identitas yang melibatkan isu-isu sosial yang dilakukan oleh anggota TNI maupun anggota Polri baik secara individu maupun kelompok”. Konflik TNI-Polri tersebut dapat mewujud dalam dua jenis aksi, yaitu (1) aksi perkelahian dan (2) aksi penyerangan. Menurut M. Sudrajat Bassar, penyerangan berbeda 17
dengan perkelahian. Penyerangan berarti suatu perkelahian dimana salah satu pihak ada yang memulai, sementara perkelahian adalah suatu pertengkaran dimana kedua belah pihak yang terlibat sama-sama saling memulai (Tubagus, 2001, hal. 23). Dalam penelitian ini, aksi perkelahian dipahami sebagai “setiap tindakan yang dilakukan dengan adu kata-kata dan/atau adu tenaga dimana kedua belah pihak yang terlibat sama-sama saling memulai”. Termasuk didalam aksi perkelahian adalah aksi penganiayaan (perlakuan sewenang-wenang, kekerasan, penyiksaan, penindasan, dan sebagainya), aksi penembakan (melakukan tembakan dengan sengaja maupun tidak sengaja), aksi pengeroyokan (perkelahian atau perbuatan menyerang secara beramai-ramai), dan aksi bentrokan (aksi perselisihan (paham) atau percekcokan). Sementara itu, aksi penyerangan adalah “setiap tindakan yang dilakukan dengan menyerbu atau mendatangi untuk melawan (melukai, memerangi, dan sebagainya) dimana salah satu pihak ada yang memulai”. Termasuk didalam aksi penyerangan adalah aksi perusakan (perbuatan merusak, menjadikan sesuatu tidak baik, tidak utuh atau tidak sempurna lagi), dan aksi pembakaran (perbuatan membakar, dilakukan dengan menggunakan api).
I.5.2
Isu-isu Konflik TNI-Polri di Indonesia
Membuat kategorisasi isu-isu konflik TNI-Polri di Indonesia bukan pekerjaan yang mudah, karena hampir seluruh insiden konflik TNI-Polri dipicu 18
oleh hal yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, insiden konflik TNI-Polri melibatkan isu yang bersifat kasuistik, artinya berdasarkan kasus-kasus. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini isu-isu konflik dikelompokkan dalam isu besarnya, dimana setiap isu konflik TNI-Polri dapat mencakup beberapa hal yang masih berkaitan dengan isu utamanya tersebut. Dalam penelitian ini isu-isu konflik yang menyebabkan konflik TNI-Polri dibagi ke dalam 7 kategori. Pertama, isu balas dendam, yaitu isu-isu yang melibatkan unsur dendam dan sakit hati atas kejadian atau peristiwa sebelumnya dimasa lalu. Dendam yang dimaksud dapat berupa dendam pribadi maupun dendam kelompok yang didasari semangat jiwa korsa. Sebagai aksi balasan atas aksi perseteruan sebelumnya antara TNI dan Polri juga menjadi bagian dari isu ini. Sebuah insiden konflik TNI-Polri, apabila tidak diselesaikan dengan tuntas, dapat memunculkan insiden konflik TNI-Polri yang lainnya di kemudian hari dengan isu ini. Kedua, isu ketersinggungan, yaitu isu-isu yang melibatkan rasa tersinggung salah satu pihak terhadap pihak lainnya. Isu ketersinggungan ini umumnya dipicu oleh hal-hal sepele seperti seorang anggota kesatuan tertentu yang menerobos antrian pengisian bensin di SPBU, mengendarai kendaraan dengan suara yang bising hingga memancing amarah dari pihak lainnya, saling bersenggolan di tempat hiburan, dan sebagainya. Ketiga, isu salah paham, yaitu isu-isu yang melibatkan perseteruan terkait kesalahpahaman, miskomunikasi, dan misinterpretasi. Aksi provokasi dan salah
19
informasi juga menjadi bagian dari isu ketersinggungan ini. Kurangnya atau tidak adanya koordinasi antara TNI dan Polri dalam melakukan fungsi dan tugasnya masing-masing yang mengakibatkan bentrokan karena adanya overlapping fungsi antara keduanya juga dimasukkan ke dalam isu ini. Keempat, isu egoisme pribadi, yaitu isu-isu yang melibatkan unsur ego dan arogansi pribadi dari salah satu maupun kedua pihak yang terlibat dalam perseteruan. Emosi-emosi individual yang memicu bentrokan, seperti rasa kesal, kecewa, dan marah dari salah satu pihak terhadap pihak lainnya juga dimasukkan dalam kategori isu ini. Ketidakterimaan TNI atas kinerja Polisi yang dalam pelaksanaan tugasnya memberikan aksi tilang kepada TNI maupun anggota keluarganya ataupun TNI yang ditangkap oleh Polisi karena terlibat dalam perjudian togel juga termasuk dalam isu ini. Kelima, isu bisnis illegal, yaitu isu-isu yang melibatkan perseteruan terkait pekerjaan-pekerjaan illegal TNI maupun Polri yang diluar tugas dan fungsi menurut aturan perundang-undangan masing-masing. Termasuk didalam isu bisnis illegal ini adalah TNI yang menghalang-halangi Polisi yang akan menyita hasil kayu illegal. Perselisihan antara Polisi dengan TNI karena hasil tangkapan truk-truk kayu juga dimasukkan dalam isu ini. Keenam, isu asmara, yaitu isu-isu yang melibatkan perseteruan terkait masalah
pribadi,
seperti
percintaan
ataupun
kehidupan
rumah
tangga.
Perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangan dari salah satu pihak dengan pihak lainnya dimasukkan ke dalam kategori isu asmara ini. Termasuk juga didalam isu
20
ini adalah aksi perebutan wanita penghibur saat sama-sama berada di tempat hiburan antara anggota TNI dan anggota Polri. Terakhir, ketujuh, isu lainnya, yaitu meliputi isu-isu lainnya yang tidak termasuk dalam 6 (enam) kategori isu sebelumnya.
I.5.3
Pola Konflik TNI-Polri
Seperti telah disebutkan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola-pola konflik TNI-Polri di Indonesia dalam rentang waktu tahun 1999 hingga tahun 2015. Pola konflik TNI-Polri yang dimaksud meliputi beberapa hal, yaitu: jenis konflik, tingkat atau frekuensi konflik, perkembangan dan persebaran konflik, isu-isu penyebab konflik, pelaku dan dampak yang diakibatkan, serta alat-alat senjata yang digunakan dalam konflik. Konflik menyangkut isu-isu konflik TNI-Polri itu dalam penelitian ini dibagi ke dalam dua jenis insiden utama, yaitu: aksi perkelahian, yaitu setiap tindakan yang dilakukan dengan adu kata-kata dan/atau adu tenaga dimana kedua belah pihak yang terlibat sama-sama saling memulai; dan aksi penyerangan, yaitu setiap tindakan yang dilakukan dengan menyerbu atau mendatangi untuk melawan, baik dengan tujuan untuk melukai, memerangi, dan sebagainya, dimana terdapat salah satu pihak yang memulai. Dari segi bentuknya, aksi perkelahian dikelompokkan menjadi: aksi penganiayaan (perlakuan sewenang-wenang, kekerasan, penyiksaan, penindasan,
21
dan sebagainya), aksi penembakan (melakukan tembakan dengan sengaja maupun tidak sengaja), aksi pengeroyokan (perkelahian atau perbuatan menyerang secara beramai-ramai), dan aksi bentrokan (aksi perselisihan (paham) atau percekcokan). Adapun aksi penyerangan dari segi bentuknya dikelompokkan menjadi: aksi perusakan (perbuatan merusak, menjadikan sesuatu tidak baik, tidak utuh atau tidak sempurna lagi), dan aksi pembakaran (perbuatan membakar, dilakukan dengan menggunakan api). Pelaku yang terlibat dalam insiden konflik TNI-Polri digolongkan menjadi: anggota TNI dan anggota Polri. Adapun untuk unit TNI yang terlibat dikelompokkan lagi menjadi: TNI AD, TNI AL, TNI AU, dan lainnya. Lainnya disini mencakup POM TNI, baik itu POM AD, POM AL, maupun POM AU. Sedangkan untuk unit Polri yang terlibat dikelompokkan lagi menjadi: Satuan Brimob, Satuan Polantas, Polisi Polres, Polisi Polsek, Satuan Reserse, Satuan Samapta, dan lainnya. Sementara itu dari segi dampak, khususnya terkait dengan insiden aksi penyerangan, penelitian ini melihat dampak berupa korban manusia, baik korban tewas maupun korban luka-luka, dan kerugian material, yang beupa kendaraan, rumah, kantor dan harta benda lainnya. Selanjutanya dari segi alat senjata yang digunakan oleh masing-masing kesatuan dalam konflik TNI-Polri. Alat senjata yang digunakan konflik TNI-Polri digolongkan menjadi: alat senjata yang digunakan Polri dan alat senjata yang digunakan TNI. Adapun untuk alat senjata yang digunakan dikelompokkan lagi menjadi senjata api, senjata tajam, benda tajam, benda tumpul, dan bahan peledak. 22
I.5.4
Reformasi Sektor Keamanan
Reformasi Sektor Keamanan telah berlangsung di Indonesia. Ini membutuhkan partisipasi strategis dari aktor masyarakat sipil, khususnya dalam membantu mengelola dan pengawasan sektor keamanan. Dalam hal ini, Reformasi Sektor Keamanan pada dasarnya adalah proses pensipilan birokrasi sektor keamanan dan de-politisasi sektor keamanan, atau proses pembentukan struktur yang tepat untuk kontrol sipil yang demokratis (Perwita, 2005). Acuan dari Reformasi Sektor Keamanan adalah gagasan demokrasi. Maka dari itu, berbagai aktor masyarakat sipil (civil society) justru memainkan peranan penting dalam mengelola dan mengawasi sektor keamanan. Reformasi Sektor Keamanan terkait dengan pembentukan berbagai struktur yang tepat untuk kontrol sipil secara demokratis. Seperti yang dijelaskan oleh Timothy Edmunds, Reformasi Sektor Keamanan menuntut kuatnya elemenelemen kunci yang lain, diantaranya: proses pemasyarakatan (civilianization) berbagai birokrasi sektor keamanan, dan de-politisasi sektor keamanan (Edmunds, 2002). Pihak sipil atau masyarakat (civilians) adalah bagian dari “keluarga keamanan yang lebih besar” yang memiliki peranan cukup penting bagi pengembangan kekuatan keamanan demokratis dan proses Reformasi Sektor Keamanan (Fitz-Gerald, 2003).
23
Hal ini sejalan dengan konsep reformasi sektor keamanan yang dijelaskan oleh Douglas C. Lovelace, Jr, Direktur Strategic Studies Institute dari US Army War College, yang mengungkapan sebagai berikut (Malan, 2008): In theory, security sector reform (SSR) programs derive from a comprehensive national defense and security review. They involve, at the core, the transformation of a country’s military and police forces—but they also involve a comprehensive review and restructuring of intelligence services, the penitentiary, the judiciary, and other agencies charged in some way with preserving and promoting the safety and security of the state and its citizenry. (Terjemahan bebas: Secara teori, program-program reformasi sektor keamanan (RSK) berasal dari ulasan pertahanan dan keamanan nasional yang komprehensif. Mereka melibatkan, pada intinya, transformasi militer dan polisi suatu negara pasukan – tetapi mereka juga melibatkan kajian komprehensif dan restrukturisasi layanan intelijen, penjara, pengadilan, dan lembaga lainnya dibebankan dalam beberapa cara dengan melestarikan dan mempromosikan keselamatan dan keamanan negara dan warganya.) Reformasi Sektor Keamanan (RSK) pertama kali muncul pada keamanan internasional dan kebijakan pembangunan diakhir 1990-an. Model bantuan keamanan ini sekarang menjadi andalan dalam praktek dan kebijakan pembangunan negara, secara luas dianggap sebagai prasyarat bagi stabilitas dan
24
pembangunan berkelanjutan di negara-negara yang baru pulih dari konflik atau membuat transisi dari otoritarianisme, kerapuhan atau keruntuhan (Sedra, 2010, hal. 16). Proses Reformasi Sektor Keamanan (RSK) fokus pada pemerintahan. Profesionalisme dan efektivitas sektor keamanan tidak hanya diukur dengan kapasitas aparat keamanan, tetapi seberapa baik mereka dikelola, dimonitor dan bertanggung jawab. Selain itu, model RSK mengakui bahwa pasukan keamanan tidak dapat melakukan tugasnya secara efektif tanpa adanya kerangka hukum dan badan-badan peradilan serta lembaga pemasyarakatan dan badan pengawasan pemerintah yang kompeten.
I.5.5
TNI dan Polri yang Profesional
Profesionalisme tidak hanya diartikan sebagai kemampuan dan keahlian seseorang atau organisasi terhadap pekerjaan yang menjadi bidangnya saja tetapi juga memiliki ciri-ciri khusus lain yaitu responsibility dan coorporateness. Begitu pula dalam dunia militer, profesionalitas tidak hanya dimaknai sebagai kemahiran atau kemampuan dalam menggunakan senjata tetapi tanggung jawab terhadap tugasnya sebagai lembaga yang bertugas dalam masalah keamanan negara dari ancaman dari luar. Menurut Huntington, profesionalitas militer tidak hanya mahir dalam menggunakan senjata dan dilatih dalam tugasnya saja, tetapi juga harus dapat menggunakan kemampuan analisis pandangan luas, imajinasi, dan pertimbangan (Nordlinger, 1990, hal. 71).
25
Pada umumnya militer dimanapun memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk melibatkan diri dalam politik nasional apabila ada faktor-faktor berikut; pertama, apabila ada kelompok-kelompok kuat dalam masyarakat yang mengancam
eksistensi
angkatan
bersenjata.
Dengan
alasan
untuk
mempertahankan diri, mereka bisa melakukan kudeta. Kedua, untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar yang oleh korps perwira dianggap lebih sesuai dengan struktur-struktur politik yang ada dalam masyarakat. Ketiga, adanya kesempatan (Singh, 1995, hal. 4). Terdapat perbedaan pendapat dari para ahli yang menganalisa sebab musabab intervensi militer dalam kehidupan non militer (Singh, 1995, hal. 221222). Pertama, adanya motivasi untuk membela atau memajukan kepentingan militer sekalipun disadari tindakan itu berlawanan dengan norma-norma konstitusi. Kedua, motivasi kepentingan kelas, yaitu kepentingan seorang perwira intervensionis yang bermaksud mengangkat kelas dari mana ia berasal. Ketiga, tingginya
norma-norma
kemahiran
profesionalitas
di
kalangan
militer
menyebabkan mereka percaya bahwa mereka lebih mampu dari segi kepemimpinan nasional dibandingkan dengan orang-orang politik yang tidak becus dan korup. Keempat, disebabkan ambisi-ambisi peribadi yang haus kekuasaan dan kewibawaan. Walaupun tampak berbeda, pandangan-pandangan tersebut memiliki kesamaan yaitu intervensi yang terjadi di kalangan militer disebabkan oleh faktor-faktor yang terdapat dalam tubuh militer itu sendiri. Pendapat tersebut ditentang oleh Huntington. Baginya, intervensi militer terjadi akibat dari struktur politik dan institusionalisasi masyarakatnya. Eksplanasi 26
dari segi militer tidak dapat menjelaskan mengapa militer intervensi dalam bidang politik. Tesis Huntington yang telah diterima secara luas mengatakan bahwa suatu komitmen kepada profesionalisme akan mencegah golngan militer untuk memasuki bidang politik, mungkin relevan bagi sistem politik yang sudah tinggi tingkat perkembangan dan diferensiasinya, dimana profesionalisme orang-orang politik menjamin adanya ketertiban dan kestabilan politik (Singh, 1995, hal. 441). Alasan yang dikemukakan oleh Huntington, cukup sederhana; intervensi militer hanya merupakan manifestasi yang spesifik dari suatu fenomena yang lebih luas dalam masyarakat yang belum maju, suatu politisasi umum dari kekuatan dan institusi sosial. Dalam masyarakat seperti itu, politik tidak memiliki otonomi, kompleksitas, koherensi dan adaptabilitas. Dalam sistem seperti itu semua bentuk kekuatan termasuk militer dapat terlibat langsung dalam masalah politik. Pendapat Huntington ini mendapat dukungan dari Finer yang mengaitkan tingkat intervensi tertentu dengan sistem kenegaraan yang ia bagi dalam kategori matang, maju, rendah dan minim (Singh, 1995, hal. 442). Sebenarnya, perbedaan pandangan tersebut diatas lebih saling melengkapi daripada berlawanan. Pendapat pertama, memusatkan perhatian pada adanya kecenderungan untuk melakukan intervensi dipihak militer, yang kedua melihat adanya ketidakmampuan sistem politik untuk membatasi kegiatan militer pada peran non-politik seraya memberikan kesempatan untuk melakukan intervensi. Keinginan militer untuk melakukan intervensi dalam politik tidak akan terjadi jika seandainya sistem dan struktur politik negara itu stabil dan modern. Sebaliknya, meskipun struktur politik dan masyarakat suatu negara sangat memungkinkan
27
segala macam kekuatan untuk intervensi dalam kehidupan politik tetapi tidak ada keinginan dalam tubuh militer untuk intervensi, maka intervensi tentu tidak akan terjadi. Jadi pada dasarnya, kedua pandangan tersebut di atas sejalan satu dengan yang lainnya yaitu, intervensi militer dalam kehidupan politik akan terjadi apabila dimotivasi oleh intern militer itu sendiri dan sistem politik yang ada tidak stabil. Dari berbagai pendapat tentang profesionalisme militer dapat disimpulkan bahwa militer dikatakan profesional apabila; pertama, dari segi keahlian memiliki pengetahuan khusus tinggi yang didasarkan pada standar objektif dan kompensasi profesional, menguasai semua yang berkaitan dengan tugas-tugas militer seperti penggunaan senjata, strategi, taktik perang dan lain-lain. Kedua, hanya melayani negara, artinya berdiri diatas semua golongan, bertanggungjawab kepada semua masyarakat terutama melindungi mereka dari ancaman fisik. Militer profesional juga tidak melihat siapa yang memegang kekuasaan dan pemerintahan. Bagi mereka, selama pemerintahan yang ada tidak merusak nilai-nilai dasar konstitusi yang sangat mendasar, maka mereka akan tetap patuh. Ketiga, dari sisi koorporatisme, memiliki rasa persatuan yang kuat terhadap korpsnya, menyatu dan tidak terbagi dalam kelas-kelas maupun golongan. Keempat, ideologi militer profesional adalah konservatif. Hal ini berkaitan dengan klien militer yaitu negara, dimana militer akan selalu mendukung status quo. Kelima, lembaganya bersifat hierarkis, kohesif, organis, kolektif, subordinatif dan otomatis. Keenam, dalam penerimaan anggotanya sangat terbatas, universal hanya pada saat-saat genting dimana
keadaan
nasional
sedang
terancam
seperti
perang.
Ketujuh,
28
kecenderungan untuk campur tangan dalam lapangan kehidupan non-militer sangat rendah (Alagappa, 2001, hal. 93-110). Dalam konteks Indonesia meskipun berbagai pembenahan pada tingkat teknis dan kemampuan keahlian terus dilakukan namun sejumlah permasalahan masih tersimpan. Kristiadi menyebut ada tiga kendala profesionalisme TNI. Pertama, strategi pertahanan dan kebijakan keamanan yang tidak jelas. Kedua, budaya militeristik dalam masyarakat, dan ketiga, terbatasnya anggaran (budget) yang dimiliki oleh TNI (Kristiadi, Mewujudkan Profesionalisme TNI, 2002). Profesionalisme dalam tubuh kepolisian menurut Craig D. Uchida sebagaimana disitir oleh Farouk Muhammad adalah (Muhammad, Menuju Reformasi Polri, 2003, hal. 124-125): First, the officers were expects, they applied knowledge to their tasks and were the only ones qualified to do the job. Second, the department was autonomous from external influences, such as political parties. This also meant that department made its own rules and regulated its personnel. Finally, the department was administratively efficient, in that it carried out its mandate to enforce the law through modern technology and business like practices. (Terjemahan bebas: Pertama, para petugas diharapkan, mereka menerapkan pengetahuan untuk tugas-tugas mereka dan hanya para petugas yang memenuhi syarat yang melakukan pekerjaan tersebut.
29
Kedua, departemen itu otonom dari pengaruh-pengaruh eksternal, seperti partai-partai politik. Hal ini juga berarti bahwa departemen membuat aturannya sendiri dan mengatur personilnya. Akhirnya, departemen itu efisien secara administratif, dalam hal ini dilakukan mandatnya untuk menegakkan hukum melalui teknologi dan bisnis modern seperti praktek-praktek.) Pada buku cetak biru “Reformasi Menuju Polri yang Profesional” dalam rangka mewujudkan Polri profesional yang menyangkut tiga pilar reformasi, yaitu reformasi struktural, reformasi instrumental dan reformasi kultural (Muhammad, Reformasi Kultural Polri dalam Konteks Pergeseran Paradigma Kepolisian Pada Abad ke-21, 2004, hal. 3-4). Serangkaian perubahan telah dilakukan, mulai dari pembuatan ketetapan MPR tentang pemisahan TNI dan Polri (Tap MPR nomor VI/MPR/2000) dan tentang peran TNI dan Polri (Tap MPR nomor VII/MPR/2000) yang diikuti pembaharuan UU nomor 28 tahun 1997 menjadi UU nomor 2 tahun 2002 serta berbagai piranti lunak lainnya sampai pendelegasian sejumlah kewenangan pembinaan sumber daya serta pengadaan peralatan dan pembangunan fasilitas (Muhammad, Reformasi Kultural Polri dalam Konteks Pergeseran Paradigma Kepolisian Pada Abad ke-21, 2004). Sebagai konsekuensi dari UU No 2 tahun 2002 maka mensyaratkan suatu aparat penegak hukum yang mandiri dan profesionalisme sehingga tidak terpengaruh oleh kepentingan politik dan kekuasaan lainnya (Kelana, 2002, hal. 34). Di sisi lain UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia itu membuat posisi Polri kuat sehingga Polri harus terus memelihara kepercayaan 30
publik. Sebagai bentuk dari kesiapannya Polri bersedia memberikan akses untuk dikontrol. Hal semacam ini juga sebagai wujud profesionalisme Polri (Meliala, Problem Reformasi Polri, 2002, hal. 109-110). Disamping itu dalam rangka memberikan pengayoman dan pelayanan pada masyarakat maka profesionalisme yang dimaksud adalah polisi harus meningkatkan kemampuan pelaksanaan tugas fungsional
meliputi
kemampuan intelijen,
kemampuan kesabharaan dan
kemampuan kesersean (Wresniwiro & Sumarna, 2000, hal. 123-124).
I.5.6
Perubahan Organisasi Kelembagaan Negara
Terdapat beberapa faktor yang mendorong adanya perubahan organisasi kelembagaan negara menurut Jimly Asshidiqie. Faktor-faktor perubahan kelembagaan negara tersebut terdiri dari dua hal, yaitu (Asshiddiqie, 2004, hal. 184): 1. Muncul kesadaran yang semakin kuat bahwa badan-badan negara tertentu seperti organisasi militer, Kepolisian, Kejaksaan, dan Bank Sentral harus dikembangkan secara independen. 2. Muncul perkembangan berkenaan dengan kasus-kasus khusus seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan lain-lain. Komisi-komisi tersebut selalu diidealkan bersifat independen dan menjalankan fungsi-fungsi secara campuran, antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
31
I.5.7
Fungsi Militer dan Polisi dalam Negara
Fungsi militer atau tentara terhadap negara antara lain: 1. Fungsi representatif adalah mewakili tuntutan keamanan negara terkait dengan kemampuan yang dibutuhkan. 2. Fungsi penasihat adalah fungsi untuk menganalisis dan melaporkan implikasi dari kebijakan dan tindakan negara dibidang lain dari sudut pandang kemiliteran. 3. Fungsi eksekutif adalah melaksanakan keputusan-keputusan negara dalam hal kemiliteran bahkan jika keputusan tersebut bertentangan dengan pertimbangan militer sendiri (Huntington, 2003). Sedangkan fungsi polisi adalah fungsi keamanan pada masyarakat sipil, bukan fungsi pertahanan dalam konteks politik. Pendekatan dalam fungsi pertahanan negara adalah defense and combat. Sementara fungsi polisi pada masyarakat sipil adalah to protect and service, yaitu mengayomi dan melindungi (Baihaki, 2015). Dari segi objek, fungsi militer ditujukan untuk pengamanan bangsa dan negara. Sedangkan fungsi kepolisian ditujukan untuk pengamanan individu masyarakat dan pemerintah (Muhammad, Menuju Reformasi Polri, 2003, hal. 48).
32
I.6 Sistematika Penulisan Bab Pertama, Pendahuluan, merupakan pengantar terhadap keseluruhan isi tulisan yang berisi latar belakang, tujuan dan manfaat penelitian, rancangan dan pelaksanaan penelitian, teori atau konsep yang digunakan dalam penelitian serta pengertian-pengertian yang berkaitan dengan topik penelitian. Bab Kedua, Sejarah TNI-Polri di Indonesia, menjelaskan sejarah masingmasing institusi pada masa sebelum reformasi, mulai dari masa pra kemerdekaan dan UUD 1945 (tahun 1945 – 1949), masa konstitusi RIS (tahun 1949 – 1950), masa orde lama (tahun 1959 – 1966), masa orde baru (tahun 1966 – 1998), hingga masa reformasi, serta menjelaskan mengenai proses integrasi TNI dan Polri ke dalam ABRI. Bab Ketiga, Konflik TNI-Polri Pasca Reformasi, menggambarkan mengenai beberapa hal terkait pola-pola dan persebaran konflik TNI-Polri di Indonesia pasca Reformasi, antara lain: jenis, tingkat dan perkembangan insiden konflik; subjenis dan bentuk insiden konflik; pola persebaran konflik; pelaku konflik; isu-isu konflik; dampak insiden konflik; dan alat senjata yang digunakan dalam konflik, yang diolah dari data milik SNPK. Bab Keempat, Konflik Binjai dan Masohi sebagai studi kasus. Kedua konflik ini merepresentasikan konflik TNI-Polri yang paling destruktif selama masa pasca reformasi. Pada bagian ini akan dijelaskan secara lebih mendalam
33
mengenai penyebab permasalahan, kronologi konflik, dampak insiden konflik hingga pada penyelesaiannya. Bab Kelima, Penyelesaian Konflik TNI-Polri merupakan analisis terhadap informasi dan bentuk penanganan dan penyelesaian konflik TNI-Polri. Bab ini berusaha mengemukakan diskusi mengenai informasi penanganan konflik TNIPolri yang minim, bentuk penyelesaian konflik, dan pihak ketiga yang terlibat. Bab Keenam, Penutup, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan atas jawaban pertanyaan pada perumusan masalah, sedangkan saran berisi gagasan dan ide-ide konstruktif penulis yang dapat diterapkan dalam mengatasi permasalahan yang timbul dalam hubungan antara TNI dan Polri khususnya yang menimbulkan konflik.
34