BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dewasa ini masalah kenakalan anak semakin dirasakan meresahkan masyarakat di berbagai belahan dunia. Berita kenakalan anak banyak muncul di media baik elektronik maupun cetak hingga mencemaskan masa depan calon generasi bangsa tersebut. Kenakalan anak di Indonesia telah memasuki segi kriminal yang menyalahi ketentuan-ketentuan yang termaktub di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jumlah Anak yang terlibat dengan kasus hukum secara nasional pada bulan November 2015 berjumlah 1743 Anak (Ditjenpas, Sistem Database Pemasyarakatan, 2015). Masa anak dikatakan sebagai suatu masa yang berbahaya karena pada periode tersebut seseorang sedang dalam masa perkembangan maupun pembentukan kepribadian dan fase selanjutnya menuju tahapan kedewasaan. Masa ini dirasakan sebagai masa kritis karena belum adanya pegangan, sedangkan kepribadiannya sedang mengalami pembentukan (Soekarno, 1982: 286). Anak merupakan sosok yang penuh potensi namun perlu bimbingan terutama dari orang tuanya agar dapat mengembangkan apa yang telah dimilikinya guna mengisi pembangunan bangsa dan Negara. Kenyataan yang sering kita lihat, perkembangan anak menuju kedewasaan, tidak selalu menghasilkan anak yang mempunyai jati diri. Hal ini terjadi karena banyak faktor yang berpengaruh pada diri anak dalam lingkungan keluarga,
1
pertemanan, maupun masyarakat. Anak tidak akan mengalami masalah yang berarti dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan apabila mampu melewati masa tumbuh kembang secara optimal. Anak yang kurang bimbingan orang tua dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dapat melakukan hal-hal yang negatif, seperti terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba atau NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lain) dan perbuatan kriminal lainnya. Fenomena keterlibatan anak dalam berperilaku melanggar hukum menggambarkan banyak anak yang terlibat kasus kenakalan anak. Anak yang berada dalam naungan Lembaga Pembinaan Khusus Anak merupakan korban dari kehidupan keluarga dan masyarakat pada era modern saat ini. Banyak anak yang menjadi korban kenakalan atau pergaulan bebas akibat dari pergaulan tersebut, banyak anak yang melanggar norma-norma dan aturan hukum yang berlaku hingga menjadi terpidana dan berada dalam pembinaan LPKA. Lembaga Pembinaan Khusus Anak biasa disingkat dengan LPKA merupakan inovasi terbaru dari Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat pembinaan khusus untuk anak-anak yang terlibat kenakalan anak yang berujung dengan tindak pidana. Munculnya Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) merupakan terobosan akan perubahan dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum yang memisahkan anak dari lingkungan narapidana dewasa. Lembaga Pembinaan Khusus Anak termasuk bagian dari pemasyarakatan yang khusus menaungi proses pembinaan anak. Pasal 3 Angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan
2
bahwa setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak dipisahkan dari orang dewasa. Orang
yang
berada
dalam
proses
pembinaan
dalam
Lembaga
Pemasyarakan disebut dengan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) namun pada umumnya lebih dikenal dengan istilah narapidana atau napi. Narapidana adalah sebutan untuk orang yang sedang menjalani proses pidana di Lembaga Pemasyarakatan. Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Sebutan untuk Warga Binaan Pemasyarakatan yang masih dibawah umur, tidak lagi disebut dengan istilah narapidana anak ataupun Anak Didik Pemasyarakatan, melainkan disebut dengan Anak (dengan huruf A kapital di depan penulisannya). Seorang anak dapat dihadapkan dengan proses hukum setelah anak tersebut berusia 12 tahun dan belum berumur 18 tahun, anak tersebut harus melakukan pertanggungjawaban atas perbuatannya melalui proses hukum. Sama seperti anak pada umumnya, anak yang berada dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak merupakan makhluk individu dan makhluk sosial yang memenuhi kebutuhan pribadinya maupun berinteraksi dengan yang lain. Kehidupan di dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak berbeda dengan kehidupan normal pada masyarakat. Adanya keterbatasan-keterbatasan dan aturan-aturan dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak tidak dapat dihindari, hal
3
ini dapat berdampak terhadap anak. Anak pun harus bisa beradaptasi dengan dunia barunya. Anak diharapkan dapat beradaptasi dengan lingkungan hidupnya, beradaptasi dengan individu lain dan perbagai situasi kehidupan yang dihadapinya. Kehidupan yang penuh dengan tingginya permasalahan seperti tekanan dan harga diri anak yang hilang, merasakan hilang kebebasan, kebutuhan primer dan sekunder yang tidak normal, rasa penyesalan sepanjang hidup, merasa tidak berharga dibandingkan anak seusianya, jauh dari orang tua atau keluarga terdekat, pendidikan yang hilang bahkan adanya pengaruh negatif dari orang lain. Anak akan menerima nestapa sebagai akibat dari perbuatan yang pernah dilakukannya namun di sisi lain anak akan diberikan pembinaan untuk memperbaiki perilaku dan sebagai bekal bagi kehidupan anak setelah masa hukumannya habis. Barda Nawawi Arief (dalam Priyatno, 2006) menyatakan bahwa pidana penjara tidak hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan tetapi juga menimbulkan akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri. Jika keadaan ini terus menerus berlanjut anak tidak mempunyai semangat hidup kemudian akan meraih kehidupan masa depan yang suram. Hal ini merupakan tantangan bagi anak dalam beradaptasi agar tidak terbawa arus dampak negatif tersebut. Atas dasar tersebut, penulis tertarik untuk membahas permasalahan anak di Lembaga Pemasyarakatan dalam skripsi ini dengan judul, “Adaptasi Anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Bandung”.
4
1.2. Permasalahan Menjalani kehidupan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak merupakan bentuk pertanggungjawaban yang harus dipenuhi oleh anak yang melanggar hukum. Anak kerap kali dikaitkan dengan remaja. Remaja sendiri merupakan bagian dari anak yang sedang dalam tahapan menuju dewasa. Remaja adalah periode perkembangan selama individu mengalami perubahan dari masa kanakkanak menuju dewasa, biasanya usia 13 sampai 20 tahun (Potter & Perry, 2010). Hukum di Indonesia hanya mengenal konsep anak-anak dan dewasa, sebagian undang-undang tidak mengenal konsep remaja (Sarwono, 2012). Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan istilah anak dan menggunakan kata anak dalam penulisannya. Anak masih dalam masa tumbuh kembangnya, mereka yang masih tergolong anak sangat membutuhkan arahan, bimbingan, serta pendampingan agar mereka dapat berkembang ke arah pendewasaan yang lebih positif sekalipun tempatnya di Lembaga Pemasyarakatan. Anak pun harus beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang ada di sekitar lingkungannya tersebut. Melihat permasalahan yang terjadi pada Anak yang sudah dijelaskan di atas, maka perlu dilakukan pengkajian yang mendalam tentang kehidupan Anak di dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Penulis pun mengidentifikasi permasalahan tentang bagaimana adaptasi yang dilakukan oleh anak di dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak Bandung?.
5
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Pada bagian tujuan dari skripsi ini, tidak lain bertujuan untuk memahami realitas dan dinamika yang terjadi dalam dunia anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Bertitik tolak dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengindentifikasi bagaimana adaptasi yang dilakukan anak-anak dalam menyesuaiakan diri dengan lingkungannya. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemahaman dan pengetahuan dalam pengembangan ilmu Antropologi yang mengangkat persoalan manusia dan kehidupan terutama dalam hal kehidupan dalam lingkup anak di dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Secara praktis, diharapkan dalam penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi penanganan masalah anak di dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak Bandung, terutama dalam penanganan dan strategi mengatasi masalah sehingga perkembangan dan masa depan anak dapat berkembang secara optimal. 1.4. Tinjauan Pustaka Secara umum, belum banyak tulisan yang memuat kajian tentang kehidupan anak di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. Yulia Sholichatun menulis jurnal tentang, “Stres dan Strategi Coping pada Anak Didik di Lembaga Pemasyarakatan Anak”, yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Pengembangan dan Keislaman (LP3K) Malang pada tahun 2011. Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo dan Blitar. Pada tulisan ini penulis lebih sering menggunakan istilah remaja dibandingkan dengan istilah anak. Hasil
6
penelitian ini menjelaskan bahwa masa remaja sering kali menjadi masa untuk bereksperimen dan ikut serta dalam sejumlah aktivitas yang menyimpang. Remaja merupakan sebuah rentang masa perubahan secara biologis, sosial, dan psikologis. Remaja dihadapkan pada sejumlah perubahan terkait dengan pikiran dan perasaan mereka terhadap diri dan hubungan mereka dengan orang lain (Lerner & Galambos, 1998). Fenomena keterlibatan anak dalam berperilaku membawa mereka untuk berurusan dengan hukum makin banyak dijumpai. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah anak didik di Lembaga Pemasyarakatan Anak di Indonesia. Pada tahun 2005 jumlah remaja yang ada di Lembaga Pemasyarakatan 2189 orang, tahun 2006 berjumlah 1719 orang dan tahun 2007 berjumlah 1960 orang (Ditjenpas, 2005, 2006, 2007). Yulia Sholichatun menjelaskan bahwa pengalaman-pengalaman negatif yang dihadapi oleh anak yang bermasalah dengan hukum akan sangat beragam mulai dari pengalaman kekerasan yang mereka alami ketika proses kasus hingga persoalan-persoalan yang harus mereka hadapi setelah masuk ke Lembaga Pemasyarakatan. Salah satu risiko yang sering dialami oleh para remaja tersebut adalah sindrom pasca trauma. Kondisi kehidupan di Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana gambaran di atas menuntut kemampuan para Anak Didik untuk bisa menyesuaikan diri secara memadai terhadap stres dan tekanan-tekanan yang mereka jumpai. Yulia Sholichatun mengutip pemikiran dari Lazarus dan Folkman yang mendefinisikan stres sebagai sebuah hubungan antara kejadian-kejadian atau kondisi-kondisi lingkungan dengan penilaian kognitif individu terhadap tingkat
7
dan tipe tantangan, kesulitan, kehilangan maupun ancaman (Grant, dkk, 2006). Yulia Sholichatun mengambil 4 objek yang ia sebutkan dengan A, B, C, dan D. Hasil penelitian dari Yulia Sholichatun menunjukan bahwa masalah-masalah yang memunculkan stres pada subjek di Lembaga Pemasyarakatan ini adalah kerinduan pada keluarga (dituturkan oleh semua subjek), kejenuhan di Lembaga Pemasyarakatan baik karena bosan dengan kegiatan-kegiatannya, kurangnya kegiatan maupun bosan dengan makanannya (pada subjek A, B, dan C), adanya masalah dengan teman (pada subjek B dan D) serta rasa bingung ketika memikirkan masa depannya nanti setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Yulia Sholichatun melihat bahwa respon stres yang dialami oleh para subjek yang paling umum dirasakan oleh semuanya adalah respon afektif berupa kesedihan. Selain afektif juga respon kognitif berupa bingung, respon fisiologis berupa pusing dan perilaku kebosanan terhadap makanan serta malas mengikuti kegiatan-kegiatan di Lembaga Pemasyarakatan. Cara coping yang paling sering digunakan oleh para subjek yaitu melamun (subjek A, C, dan D), berdoa (subjek A, B, dan D), diam di kamar (subjek A dan B), bersabar (subjek A dan B), sedangkan di luar cara-cara coping tersebut, terdapat coping lain yang dilakukan subjek yaitu ikut kegiatan dan melihat foto keluarga (subjek C). Subjek A menggunakan coping tambahan berupa mencoba mentaati aturan, subjek B menggunakan coping berupa pikiran bahwa ia bisa menyelesaikan masalah, juga bahwa keberadaan di Lembaga Pemasyarakatan adalah risiko perbuatannya, sedangkan subjek D memiliki coping lain berupa meminta saran pada teman dan petugas. Hasil itu sejalan dengan Boekarts (1996) dan Compass (1987) bahwa
8
baik coping berfokus pada emosi ataupun berfokus pada masalah dapat dilakukan dengan metode kognitif maupun perilaku dan kedua fungsi coping tersebut merupakan hal yang penting bagi adaptasi stres. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan Ireland, Boustead & Ireland (2005) yang membuktikan penggunaan coping rasional berpengaruh positif terhadap kesehatan psikologis pemuda di Lembaga Pemasyarakatan dan mampu menurunkan stres. 1.5. Landasan Teori Di Indonesia sebagaimana seperti Negara lain, tidak jarang dijumpai kasus anak yang terlibat dengan kasus hukum. Pemidanaan yang ada saat ini bisa menimpa siapapun baik anak-anak maupun orang dewasa. Manakala anak yang menjadi sasaran pemidanaan, disitu pula masalah yang dihadapi anak semakin kompleks. Biasanya pemidanaan yang menimpa anak dikarenakan kenakalan anak itu sendiri. Kenakalan anak adalah perilaku jahat atau dursila. Kenakalan anak-anak merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang (Kartono, 1998 : 8). Kenakalan anak sering disebut dengan juvenile delinquency, juvenile artinya young, anak-anak, anak muda sedangkan delinquency artinya doing wrong, terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, asosial, kriminal, pelanggar aturan dan lain sebagainya. Kenakalan anak diambil dari kata “juvenile delinquency”. Di Indonesia lebih popular dengan istilah kenakalan anak atau sering juga disebut kenakalan
9
remaja. Kenakalan anak adalah pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak yang jika dilakukan oleh orang dewasa disebut kejahatan. Juvenile delinquency atau kenakalan anak merupakan pengertian tersendiri di samping adult delinquency atau kejahatan orang dewasa. Tingkah laku yang menjurus kepada masalah kenakalan anak atau juvenile delinquency ini menurut Adler (dalam Kartini Kartono, 1992 : 21-23) antara lain adalah : (a) kebut kebutan di jalanan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan membahayakan jiwa sendiri dan orang lain, (b) perilaku ugalan-ugalan dan berandal yang mengacaukan ketentraman lingkungan sekitar, (c) perkelahian antar kelompok sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa, (d) membolos sekolah atau bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen bermacam-macam kedurjanaan dan tindakan asusila, (e) kriminalitas anak, remaja dan adolesens antara lain berupa perbuatan mengancam, intimidasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas, menyerang, merampok, menganggu, melakukan pembunuhan, tindakan kekerasan dan pelanggaran lainnya, (f) berpesta pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas,
(g)
perkosaan, agresivitas seksual dan pembunuhan motif sosial, (h) kecanduan dan ketagihan narkoba yang erat berkaitan dengan tindak kejahatan, (i) tindakantindakan immoral seksual secara terang-terangan, (j) homoseksualitas, erotisme anak dan oral serta gangguan seksualitas lainnya disertai dengan tindakantindakan sadis, (k) perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain, (l) komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen dan pembunuhan bayi-bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin, (m) tindakan radikal dan ekstrim dengan jalan
10
kekerasan, penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak, (n) perbuatan asosial yang disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada anak-anak psikopatik, neurotik, dan menderita gangguan jiwa lainnya, (o) tindak kejahatan yang disebabkan oleh penyakit tidur (encephaletics lethargoical) dan ledakan maningitis serta post encephalitics: juga luka di kepala dengan kerusakan pada otak ada kalanya membuahkan kerusakan mental, sehingga orang yang bersangkutan tidak mampu melakukan kontrol diri, (p) penyimpangan tingkah laku yang disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak yang menuntut kompensasi, disebabkan adanya organ-organ yang inferior. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kenakalan, menurut Sudarsono (1989 : 19-31) sebab-sebab kenakalan anak dikarenakan tiga faktor yaitu : (a) faktor keluarga, seperti kelahiran anak di luar perkawinan yang syah menurut hukum atau agama, keadaan keluarga yang tidak normal (broken home, quasi broken home atau broken home semu), keadaan ekonomi keluarga yang serba kekurangan, orang tua yang sangat memanjakan anak-anaknya, orang tua terlalu keras, sikap orang tua yang terlalu ambisius dalam mendidik, kedua orang tua memiliki sikap yang berlawanan dalam mengarahkan anak, kehilangan pemeliharaan ibu dan kurang disayang atau diperhatikan, (b) faktor sekolah, meliputi
anak-anak
sekolah
yang
berasal
dari
keluarga
yang
kurang
mengutamakan dan mementingkan anak dalam belajar, perbuatan guru atau pendidik yang menangani langsung proses pendidikan, perlakuan guru di sekolah yang tidak adil, kurang adanya interaksi yang akrab antara pendidik dan siswa serta kurangnya kesibukan belajar di rumah, (c) faktor masyarakat, meliputi
11
kemiskinan, pengangguran dalam masyarakat terutama di kalangan anak-anak akan menimbulkan kejahatan, keinginan untuk berbuat jahat tersebut muncul karena bacaan, pengaruh film dan gambar-gambar porno lainnya. Seiring perjalanan hidup yang diwarnai faktor internal dan faktor eksternal, keluarga mengalami perubahan keluarga yang beragam. Ada keluarga yang semakin kokoh dalam menerapkan fungsinya tetapi juga ada keluarga yang mengalami keretakan atau ketidakharmonisan. Apabila dalam keluarga tidak mampu menerapkan atau melaksanakan fungsi-fungsi keluarga seperti yang telah diuraikan di atas, keluarga tersebut berarti mengalami stagnasi atau disfungsi yang pada gilirannya akan merusak kekokohan konstelasi keluarga tersebut dan anak akan terpengaruhi hal negatif yang membuatnya terjerumus melakukan kenakalan anak. Pengawasan sosial informal yang lemah mengakibatkan meningkatnya kekacauan pribadi, seperti tercermin dalam kenakalan anak, kejahatan, pelacuran, ketagihan minuman keras dan obat bius, bunuh diri, kelainan jiwa, keresahan sosial dan kehidupan politik yang tidak stabil (Hauser dan Gardner, 1985). Oleh karena itu adanya fungsi keluarga guna membendung kenakalan anak sangat dibutuhkan, karena keluarga merupakan tempat yang penting bagi perkembangan anak secara emosi, fisik, sosial, dan spiritual. Keluarga juga merupakan sumber kasih sayang, perlindungan dan identitas bagi anggotanya. Seperti dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 26 Ayat 1 menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban untuk mengasuh, memelihara,
12
mendidik dan melindungi anak menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya dan mencegah terjadinya perkawinan dini. Bens (2004) keluarga memiliki 5 fungsi dasar yaitu : pertama reproduksi, keluarga memiliki tugas untuk mempertahankan populasi yang ada dalam masyarakat. Kedua, sosialisasi atau edukasi, keluarga menjadi sarana untuk transmisi nilai, keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan teknik dari generasi yang lebih muda. Ketiga, penugasan peran sosial, keluarga memberikan identitas pada para anggotanya seperti ras, etnik, religi, sosial ekonomi, dan peran gender. Keempat, dukungan ekonomi, keluarga menyediakan tempat berlindung, makanan, dan jaminan kehidupan. Kelima, dukungan emosi atau pemeliharaan, keluarga memberikan pengalaman interaksi sosial yang pertama bagi anak. Interaksi yang terjadi bersifat mendalam, mengasuh, dan berdaya tahan sehingga memberikan rasa aman pada anak. Walaupun anak tidak berada dalam lingkungan keluarga, melainkan ada di dalam naungan Lembaga Pembinaan Khusus Anak, keluarga tetap dapat menjalankan fungsinya dengan membesuk anak-anaknya yang merupakan dukungan terbesar untuk Anak menjalani kehidupannya tersebut. Komunikasi dengan keluarga sangat terbatas dengan waktu di ruang kunjungan yang hanya 30 menit, adanya dukungan keluarga dapat menghapus beban pikiran yang dipikul anak selama ini. Anak yang berada dalam naungan Lembaga Pembinaan Khusus Anak harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang baru. Anak dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya
jika
mampu
beradaptasi.
Ahimsa-Putra
(2003)
mengemukakan bahwa strategi adaptasi mencakup pola-pola berbagai usaha yang
13
direncanakan oleh manusia untuk dapat memenuhi syarat minimal yang dibutuhkannya dan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Melalui adaptasi tersebut anak mempunyai macam-macam sikap terhadap berbagai hal yang mempengaruhi dinamika dan perubahan dalam kehidupannya. Menurut Hasanuddin (1982: 153-154) sikap adalah suatu sistem yang menetap, berupa evaluasi yang positif atau negatif, perasaan emosional, dan kecenderungan untuk menyetujui atau tidak menyetujui terhadap objek sosial. Pembentukan
sikap
menurut
Sarlito
Wirawan
Sarwono
(1983)
menjelaskan melalui empat macam cara yaitu: pertama, melalui adaptasi, kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi berulang-ulang dan terusmenerus, lama-kelamaan secara bertahap diserap ke dalam diri individu dan mempengaruhi
terbentuknya
berkembangnya
integrasi,
suatu
sikap.
berkembangnya
Kedua,
diferensiasi,
pengalaman
sejalan
dengan dengan
bertambahnya usia, maka ada hal-hal yang tadinya dianggap sejenis sekarang dipandang sendiri terlepas dari jenisnya. Ketiga, melalui integrasi dengan pembentukan sikap disini terjadi secara bertahap dimulai dengan berbagai pengalaman yang berhubungan dengan satu hal tertentu sehingga akhirnya terbentuk sikap mengenai hal tersebut. Keempat, melalui trauma. Trauma adalah pengalaman yang tiba-tiba mengejutkan yang menimbulkan kesan mendalam pada jiwa yang bersangkutan, pengalaman yang traumatis dapat juga menyebabkan terbentuknya sikap.
14
1.6. Sumber dan Metode Penelitian 1.6.1. Lokasi Penelitian Lembaga Pembinaan Khusus Anak Bandung merupakan salah satu Lembaga Pemasyarakatan yang menangani kasus Anak yang ada di Indonesia. Instansi ini merupakan tempat bernaungnya Anak dalam menjalani proses hukumannya. Keberadaan Lembaga Pembinaan Khusus Anak melalui programprogram pembinaannya berkontribusi dalam menciptakan insan manusia yang sadar hukum, peduli dengan masyarakat dan mempunyai bekal dikehidupan setelah keluar dari institusi ini. Lembaga Pembinaan Khusus Anak Bandung dipilih sebagai lokasi penelitian tentang adaptasi anak di dalamnya. Respon yang sangat baik telah diberikan Lembaga Pembinaan Khusus Anak Bandung yang sangat terbuka bagi siapapun yang ingin melakukan penelitian, sehingga cukup banyak penelitianpenelitian yang pernah dilakukan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Bandung. Sebelum melakukan penelitian, penulis menyiapkan surat yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada sebagai syarat untuk mendapatkan ijin dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Barat. Setelah mendapatkan ijin, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Barat mengeluarkan surat tembusan sebagai pertanda sudah mendapatkan ijin untuk melakukan penelitian di dalam Lembaga Pembinaan Khusus Bandung. Waktu penelitian dilakukan pada bulan November 2015.
15
1.6.2. Metode Penelitian Antropologi mengajarkan sebagai seorang peneliti untuk terjun langsung ke lokasi penelitian, namun bukan berarti Antropologi hanya berpaku pada penelitian di lapangan karena penelitian bisa dilakukan di dalam ruangan yang penuh dengan buku-buku atau jurnal. Dalam penelitian di lapangan, peneliti datang sendiri dan menceburkan diri dalam suatu masyarakat untuk mendapatkan keterangan tentang gejala kehidupan manusia dalam masyarakat. Tujuan langsung terjun ke lapangan untuk menangkap sudut pandang, pengalaman, pemaknaan, dan pemikiran dalam kehidupan manusia. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu jenis penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah. Melalui penelitian kualitatif, peneliti dapat mengenali subjek dan merasakan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari, mendeskripsikan, dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas, sikap, kepercayaan, sudut pandang, dan pemikiran. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang tidak dapat diteliti secara kuantifikasi sehingga menghasilkan data yang deskriptif. Skripsi ini menggunakan data yang deskriptif. Menurut Koentjoraningrat (1986 : 30) yang dimaksud dengan deskriptif adalah gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Pengambilan data dari penelitian ini melalui observasi, wawancara mendalam, dan studi literatur kemudian data-data penelitian tersebut akan
16
ditafsirkan dan dirumuskan dengan menggambarkan, menyusun, dan menganalisis sehingga memberikan gambaran yang jelas mengenai adaptasi anak. Penelitian ini dilakukan dan digunakan untuk membangun pengetahuan melalui penemuan, pengalaman, pemikiran, dan pemahaman. Melalui observasi, peneliti secara langsung mengamati dan mencatat apa yang dilihat tentang kondisi lingkungan pada lapangan, melihat dan mengamati keseharian kehidupan mereka. Melalui wawancara mendalam, digunakan untuk mengumpulkan data utama yang dijadikan bahan dalam merumuskan suatu permasalahan, menggali, dan mengetahui secara mendalam sehingga dapat dijadikan dasar untuk menginterpretasikan dan menganalisis suatu permasalahan dalam penelitian dan yang terakhir melalui studi literatur yang diperoleh dari buku, jurnal, artikel, informasi, hasil seminar, konsep, pemikiran, dan teori untuk mendukung hasil penelitian ini. 1.6.3. Pemilihan Informan Penelitian ini diarahkan untuk memahami bagaimana adaptasi kehidupan Anak yang mengambil enam informan sebagai narasumbernya. Keenam informan tersebut berlatar belakang dari kasus, daerah, umur, tingkat pendidikan, dan masa hukuman yang berbeda. Keenam informan tersebut adalah Ari (18 tahun) yang terlibat kasus pembunuhan, Eno (17 tahun) yang terlibat kasus pembunuhan, perlindungan anak dan penganiayaan, Dori (19 tahun) yang terlibat kasus narkotika, Ray (14 tahun) yang terlibat kasus pembunuhan, Aldo (17 tahun) yang terlibat kasus perlindungan anak dan Muni (17 tahun) yang terlibat kasus pembunuhan. Semua identitas nama lengkap korban dirahasiakan karena sesuai
17
dengan Pasal 19 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang meyebutkan bahwa Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik dan Pasal 19 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi. 1.7. Sistematika Penulisan Untuk lebih memudahkan dalam pemahaman keseluruhan isi dalam skripsi yang berjudul, “Adaptasi Anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak”, maka perlu kiranya penulis sampaikan sistematika penulisan dalam tiap-tiap bab. Seperti skripsi pada umumnya skripsi ini terdiri atas bab yang wajib penulis catumkan yakni bab pendahuluan, bab pembahasan, dan bab penutup. Bab pendahuluan yang terdapat di bab 1. Bab 2, 3, dan 4 yang merupakan bagianbagian dari bab pembahasan dan bab 5 yang merupakan bab penutup. Skripsi ini terdiri dari 5 bab. Bab pertama ini memuat tentang latar belakang masalah, permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, sumber dan metode penelitian serta sistematika penulisan. Selanjutnya bab dua dimulai dengan penjelasan mengenai profil Lembaga Pembinaan Khusus Anak Bandung yang meliputi sejarah Lembaga Pembinaan Khusus Anak, keadaan geografis, visi dan misi, struktur kepegawaian dan keadaan pegawai, tujuan pembinaan, yel-yel anak maupun para pegawai dan layanan kunjungan yang ada di dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak.
18
Bab tiga mencakup pembahasan tentang kehidupan anak di dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak berupa penjelasan sarana dan prasarana berupa fasilitas bangunan dan pemenuhan kebutuhan, korve untuk sebutan Anak yang sedang bertugas membantu para pegawai dan sebutan sebagai Anak yang akan keluar dari LPKA, cadong yang mereka nikmati sehari-hari, di bab tiga ini ditutup dengan penjelasan mengenai aktivitas. Aktivitas yang mereka lakukan berkaitan dengan proses pembinaan yang mereka pilih dan dipilih oleh bagian pembinaan LPKA. Lalu selanjutnya bab keempat mendeskripsikan tentang bagaimana adaptasi yang dilakukan oleh keenam informan. Tulisan ini ditutup dengan bab kelima yang berisi kesimpulan dan saran.
19