BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pagi yang cerah, namun tidak bisa menyembunyikan beceknya tanah akibat derasnya hujan semalam di Desa Buntoi, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Tentu saja, tidak akan menyurutkan persiapan penyambutan Kedubes Norwegia untuk Indonesia, Stig Traavik yang berkunjung meninjau kegiatan REDD+ pada 6 Maret 2013. Seseorang yang bekerja di kantor kepala desa, sebut saja Pak Angga terlihat sibuk menempelkan beberapa poster di dinding Rumah Betang Buntoi, tempat diadakan pertemuan. Ada enam poster yang ditempelkan di dinding, masingmasing poster memiliki logo yang sama seperti logo Kerajaan Norwegia, Pemerintahan Kalimantan Tengah, Satgas REDD+, UNORCID, UNDP, UNESCO, Bit, dan UNOPS. Delapan logo inilah kiranya yang akan mendukung berjalanannya proyek REDD+ di desa ini. Pukul 10.00 wib pagi, rombongan kedubes Norwegia disambut dengan silat dan tarian dayak. Selain itu, di teras rumah betang telah menunggu indu-indu 1 yang bersiap memerciki air dan memoleskan pupur (bedak beras) di pipi setiap tamu yang naik ke rumah betang. Selain upacara adat, di rumah betang pun disediakan kursi-kursi khusus 2 untuk para tamu, sementara puluhan masyarakat yang hadir duduk bersila di lantai. Sangat berbeda dengan semangat rumah betang, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.
1 2
Dalam bahasa dayak ngaju artinya ibu-ibu Di bagian dalam rumah betang tidak terdapat kursi dan meja. Tamu yang datang biasanya duduk di lantai bersama-sama tuan rumah. Khusus hari ini kursi-kursi tersebut didatangkan untuk duta besar Norwegia.
1
Acara pun dimulai, satu persatu tamu-tamu ini dipersilakan menyampaikan kata sambutan. “Yang ingin kita capai dari program ini (REDD+) adalah untuk menjaga hutan dan lingkungan serta mensejahterakan masyarakat” (Stig Traavik, Kedubes Norwegia untuk Indonesia, data lapangan 2013, diterjemahkan). “Karena REDD+ kalau dalam pengertian kita selain menjaga hutan, kemudian dijamin bahwa ada pengurangan emisi karbon dan yang lebih penting dari itu adalah kesejahteraan masyarakat. Jadi kegiatan yang dilakukan di desa ini adalah menjamin kesejahteraan masyarakat. Kita harus berterimakasih karena sahabat kita Norwegia, memberi dukungan untuk kegiatan REDD+ di Indonesia” (Heracles, Satgas REDD+, data lapangan 2013). “Semuanya kita dukung, kita diskusi atas kebijakan-kebijakan yang diambil, termasuk inisiatif atas kegiatan di desa Buntoi. Barangkali ada hal-hal yang dapat didukung pemerintah provinsi untuk desa secara umum, kami siap membantu” (Siun Jarias, Sekda Provinsi Kalimantan Tengah, data lapangan 2013). “Melalui PIL, semoga harapan kita jadi contoh bagi kita semua di mana saja di wilayah Republik Indonesia” (Pak Nisil Tuman dari AMAN Kabupaten Pulang Pisau, data lapangan 2013). Riuh tepuk tangan dan anggukan warga atas kesejahteraan yang dijanjikan. Misi mengurangi emisi dunia ini membawa pesan bagi individu-ndividu yang hadir. Disusul alunan musik garantung 3, hadirin menari, melingkar dan berputar-putar (manari manasai) dengan gembira. Acara pun ditutup dengan makan siang bersama dan kunjungan ke tempat proyek REDD+. Ilustrasi tersebut merupakan kondisi setelah beberapa bulan berjalannya proyek REDD+ di Buntoi. REDD+ didefinisikan sebagai instrumen dalam mengurangi emisi (reduction emission) dari deforestasi (deforestation) dan degradasi (degradation) hutan yang plusnya sebagai tambahan kegiatan konservasi, pemanfaatan hutan berkelanjutan serta peningkatan stok karbon hutan. Tema besar ini yang tidak hanya ramai
3
Garantung ini merupakan alat musik tradisional dan juga sesuatu yang berharga, karena pada zaman dahulu digunakan sebagai mas kawin dan juga menunjukkan status sosial serta memiliki kesakralan yang menghubungkan dengan roh nenek moyang.
2
diperbincangkan di Desa Buntoi, tapi juga di tingkat provinsi, nasional dan tentu saja berasal dari wacana global. Di tingkat provinsi, REDD+ dimulai dengan pemilihan Kalimantan Tengah sebagai
salah
satu
Provinsi
Percontohan
REDD+.
Penunjukkan
tersebut
dilatarbelakangi sidang rapat kabinet pada 23 Desember 2010. Pada saat itu Kalimantan Tengah ditunjuk sebagai Provinsi Percontohan REDD+ oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudoyono. Setahun setelah penunjukkan provinsi percontohan REDD+ kemudian ditindaklanjuti dengan penandatanganan nota kesepahaman 4 MoU-01/REDD+/09/2011 antara gubernur Kalimantan Tengah dengan Satgas REDD+ pada 16 September 2011. Sejak saat itu, pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah mempersiapkan kelembagaan dan Strada (Strategi Daerah) REDD+ di tingkat provinsi. Di tingkat nasional REDD+ diawali dengan pidato Presiden Republik Indonesia SBY (Susilo Bambang Yudoyono) dalam pertemuan COP 13 (Konferensi Para Pihak) di Bali. “Indonesia melakukan perubahan kebijakan...yang akan mengurangi emisi sampai 26% pada 2020 dibandingkan kondisi BAU (Business As Usual). Dengan dukungan internasional kami dapat mengurangi emisi sampai 41%. Kami akan mengubah status hutan dari net emiteer (mengeluarkan emisi) menjadi net sink (menyimpan karbon) pada 2030.” (Susilo Bambang Yudoyono).
4
Terdapat tujuh output pelaksanaan REDD+ di Kalimantan Tengah berdasarkan MoU Komda REDD+ dengan Satgas REDD+: Mou-01/REDD+/09/2011 dan Nomor: 16/Mou-KSD/KTG2011 yaitu sebagai berikut 1) Membangun dan mengembangkan kantor pendukung REDD+, dan melibatkan pemangku kepentingan multi-level dan multi-sektor; 2) Menetapkan basemap dan informasi dasar untuk memulai integrasi data dan memantau improvement;3) Menyusun strategi daerah REDD+ dan pembangunan rendah karbon, termasuk kuantifikasi dampak lingkungan dan sosial-ekonomi; 4) Menerapkan penundaan penerbtan izin baru dan perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut, sebagai bagian moratorium secara nasional; 5) Membangun kapasitas lokal Kalimantan Tengah dan Provinsi REDD+ lainnya, dan membangun awareness mengenai REDD+ dan moratorium; 6) Mengidentifikasi dan mengimplementasikan inisiatif quick wins untuk menunjukkan dan memberikan dampak nyata dan; 7) Implementasi hutan untuk masyarakat adat.
3
Mengenai pendapat presiden tersebut Emil Salim (Prisma, 2010: 78) mengaskan bagi Indonesia isu perubahan iklim bukan hanya soal diplomasi semata, namun lebih sebagai as survival nations. Ia menyimpulkan bahwa persoalan perubahan iklim bukan sekedar pidato, tetapi lebih kepada kelangsungan pulau-pulau, kelangsungan pangan. Walau demikian pendapat lain, Santosa dan Silalahi (2011: 38) menyebutkan komitmen terhadap penurunan emisi 26% tanpa dukungan donor dan 41% dengan adanya dukungan donor dianggap kontroversi dan tidak diikuti tindakan nyata bahkan disebut sebagai lips service presiden saja. Persentase yang disebutkan tidak diketahui berasal dari mana. Selain itu kebijakan tidak disertai dengan pengintegrasian RTRWN/RTRWP/RTRWK serta rencana aksi berbagai sektor 5. Di tingkat global isu lingkungan telah diperbincangkan sejak 42 tahun 6 yang lalu terkait atas pengelolaan hutan sebagai solusi dari perubahan iklim. Menurut Gupta (2012) rezim perubahan iklim telah menangani hutan dalam empat tahap yaitu fase pra 1990 diskusi diadakan pada kebutuhan target penghijauan. Pasca 1990, fokus bergeser ke emisi industri gas rumah kaca. Sejak tahun 1997, kepentingan perhatian atas hutan mulai bertambah seperti aforestasi dan reforestasi termasuk Clean Development Mechanism. Sejak tahun 2005 barulah diskusi yang berlangsung tentang REDD+. Adapun tujuan dari REDD+ adalah menciptakan insentif keuangan yang membantu
5
6
Sikap dualisme Pemerintah Indonesia yang di satu sisi berniat untuk mengurangi emisi namun di lain pihak lahir pula peraturan perundangan tentang konsesi pertambangan dan kelapa sawit. Misalnya PP. No.2/2008 yang melegalkan perusahaan tambang di kawasan hutan termasuk konservasi dengan membayar 300 ribu/m2. Permentan No. 14/Permentan/PL.110/2/ 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit yang memberikan legalisasi alih fungsi hutan gambut ke perkebunan kelapa sawit. Serta PP No. 10 tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, di mana kawasan hutan apapun jenisnya bisa dikonversi untuk kepentingan negara, asal ada pengganti lahan. Isu mengenai kepedulian terhadap lingkungan dimulai sejak tahun 1972 ketika PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) memprakarsai konferensi United Nation Conference on Human Environment di Stockholm, Swedia. Konferensi ini lahir sebagai langkah awal membahas wacana kebijakan pembangunan yang bertujuan meningkatkan perekonomian namun di sisi lain menimbulkan kerusakan alam. Tarik ulur tanggung jawab antara negara utara dan negara selatan masih diperdebatkan Hal ini didasarkan kepada beban Tanggung jawab emisi yang dibebankan kepada negara utara yang lebih dulu dan lebih banyak menghasilkan emisi daripada negara berkembang.
4
negara-negara
berkembang
untuk
mengurangi
tingkat
deforestasi
mereka.
Sederhananya negara-negara berkembang tersebut akan diberi tambahan bayaran atas kerja dan usaha mereka yang bisa diukur dan diverifikasi. Menurut Maryudi (2010:3) ada dua hal yang menentukan arah kebijakan politik dan kebijakan perubahan iklim baik di tataran global, nasional maupun lokal. Dalam konteks sains, karbon terakumulasi di atmosfer bumi dalam rentang waktu yang cukup lama (bisa ratusan tahun). Hal ini berarti bahwa emisi karbon ratusan tahun yang lalu masih bisa dirasakan dampaknya dan berkontribusi pada kecendrungan peningkatan suhu bumi saat ini. Selain itu, tidak ada batas karbon di atmosfer, yang berarti bahwa emisi karbon dari negara tertentu juga akan berdampak bagi negara lain di seluruh muka bumi. Dalam laporan The Canadian Enumenical Jubilee Initiative 7(CEJI) mengungkapkan kompensasi bagi kreditur karbon jika dikalkulasikan dalam angka mencapai 30,9 milyar dolar per tahunya, itupun hanya untuk negara G7 8 saja (belum termasuk negara Annex I yang berjumlah 43 negara maju 9). Jika dikalkulasikan besarnya hutang negara utara terhadap negara selatan, maka insentif REDD+ yang didapat oleh Indonesia tentu saja tidak sebanding. Silalahi dalam Santosa dan Silalahi (2011: 37) menganggap REDD+ adalah sebuah insentif ekonomi lebih murah yang diciptakan oleh negara maju untuk menurunkan emisi melalui pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang daripada menurunkan emisi di negara mereka sendiri.
7
8 9
Paper CEJI dalam mengkalkulasikan karbon jika didefinisikan sebagai selisih antara target 40% dan emisi 1996. Laporan tersebut diterjemahkan oleh Budiman H. B. Dapat dilihat di jurnah Wacana Insist (2002:59-94). Negara yang termasuk G7 adalah Amerika, Jepang, Jerman, Inggris, Kanada, Italia dan Perancis. Australia, Austria, Belarus, Belgia, Bulgaria, Kanada, Kroasia, Republik Cekoslavia, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Eslandia, Irlandia, Itali, Jepang, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg, Monaco, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Romania, Federasi Rusia, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Ukraina, Ingg ris dan Irlandia Utara, Amerika Serikat serta Uni Eropa.
5
Perdebatan itu pula yang menjadi tema perdebatan UNFCCC terutama sejak disepakati klausul ‘common but differentiated responsibilities’ (tanggung jawab bersama terhadap masalah perubahan iklim tetapi dibedakan berdasarkan kontribusi emisi) pada Proyocol Kyoto. Klausul tersebut dianggap sebagai ‘kemenangan’ kelompok negara berkembang karena mandat penurunan emisi hanya dibebankan pada negara maju (tercantum dalam Annex I), dengan dasar emisi masa lalu (Maryudi, 2012:
3-4).
Emil
Salim 10
memandang
skema
common
but
differentiated
responsibilities sebagai pembangunan berpengaruh ganda antara pengentasan kemiskinan dan pengurangan Co2. Santosa dan Silalahi (2011: 40) menyebutkan lembaga supra internasional seperti World Bank, WWF, TNC, CI, dll yang melihat REDD sebagai mekanisme yang win-win solution terhadap iklim, masyarakat, dan konservasi. Sementara Astuti (2013) melihat keterlibatan LSM dalam REDD+ sebagai kepengaturan untuk mendapatkan dukungan dari gerakan masyarakat. Persoalan REDD+ di tingkat provinsi, nasional bahkan global begitu rumitnya, tentu saja memunculkan respon yang bervariasi di tingkat lokal (desa). Rangi (2013) dalam penelitiannya yang mengungkapkan bagaimana hutan dipersiapkan untuk kepentingan REDD+ oleh pemerintah dan AMAN melalui peta taman nasional yang berimplikasi pada upaya penyingkiran akses petani atas hutan. Christy (2013) yang meneliti bagaimana penolakan sosialisasi REDD+ di Desa Hano, Sulawesi Tengah. Wahyu Utama (2013) mendeskripsikan program CBFM di Desa Bahaur, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah yang berujung pada penguatan elit lokal dalam pengimplementasian REDD+. 10
Emil dalam Wawancara Prisma menyebutkan total emisi Amerika Serikat adalah 27 persen dari seluruh dunia. Amerika, Eropa, Rusia dan negara maju lainnya menyumbang 65-70 persen emisi. Sehingga negara maju yang tidak mau mengurangi emisi namun harus membayar bukan sebagai ‘bantuan’ (aid) melainkan sebagai ‘kewajiban’ (obligation). Kesepakatan the co-benefit approach melalui transfer teknologi dan co-funding, menurut Emil, pembangunan seperti itu dapat berpengaruh ganda terhadap pengentasan kemiskinan sekaligus pengurangan CO2Prof. Dr. Emil Salim dalam wawancara: ‘Hadapi Peruahan Iklim Seperti Berperang dalam Prisma (2010:77).
6
Namun ragam reaksi masyarakat dalam memaknai REDD+ di setiap wilayahnya tidak dapat disamakan. Berbagai penelitian menunjukkan adanya konflik kepentingan bahkan penolakan REDD+ di ranah lokal. Sejak melakukan pengamatan, observasi dan wawancara di Buntoi selama empat bulan (Maret-Juni 2013), tidak ditemukan spanduk penolakan ataupun unjuk rasa di Desa menolak REDD+. Buntoi menerima program REDD+ melalui PIL (Pusat Informasi Lestari), dengan tangan terbuka. Proses penerimaan REDD+ di Buntoi inilah yang kemudian menjadi perhatian dalam penelitian ini. B. Rumusan Masalah Sejak 2005 hingga 2014 wacana REDD+ berkembang setidaknya hampir satu dasawarsa. Implementasi REDD+ di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan ragam respon terutama penolakan. Untuk itu, penelitian ini mencoba mengambil arah yang berbeda dari klaim penolakan REDD+ di berbagai wilayah. Saya mengumpulkan data di Buntoi dari Maret hingga Juni 2013. Pada saat itu, Buntoi tengah dalam proses implementasi REDD+. Selama hampir empat bulan saya tidak melihat spanduk yamg memprotes ataupun mendengar aksi penolakan REDD+ di Desa Buntoi. Kondisi tersebut memunculkan pertanyaan bagi saya, mengapa Desa Buntoi memilih menerima REDD+? Oleh karena itu, penelitian ini akan meninjau wacana dalam tata kelola REDD+ di Buntoi beserta respon masyarakatnya. C. Tinjauan Pustaka Wacana utama dalam REDD+ dimulai oleh ancaman perubahan iklim yang disebabkan oleh naiknya suhu bumi. Tingginya suhu bumi akan berdampak pada perubahan iklim dan cuaca yang ekstrem, terganggunya pola curah hujan, bencana
7
kekeringan, banjir, badai, kebakaran dan lainnya. Menurut Hadad (2010: 4-5) dalam tulisannya tentang ‘Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan Sebuah Pengantar’ ia menjelaskan ketika suhu bumi mencapai titik panas tertentu, bongkahan es di kutub dan salju di puncak gunung dapat mencair dan menimbulkan gejala pemekaran air laut; permukaan laut naik dengan kemampuan menenggelamkan pulaupulau kecil. Hadad yang sejak 2007 menjadi penasihat Menteri Negara Lingkungan Hidup dan menjadi delegasi COP 13, 14 dan 15 ini memunculkan data-data tentang perubahan iklim. Ia menyebutkan selama hampir satu juta tahun sebelum zaman industri, konsentrasi gas CO2 di atmosfer berkisar hanya sekitar 170 sampai 250 ppm (ppm= part per million by volume of CO2 equivalent). Ketika revolusi industri dimulai di Inggris tahun 1850, konsentrasi CO2 di atmosfer baru sebesar 280 ppm, dan rata-rata temperatur bumi naik 0,74 derajat Celcius dibandingkan dengan zaman pra-industri. Namun, 160 tahun tahun kemudian menurut para ilmuan IPCC, akumulasi CO2 di atmosfer diperkirakan sudah mencapai sekitar 390 ppm, terutama karena pembakaran bahan bakar fosil dan sebagian karena emisi pertanian dan alih guna lahan hutan, dan pertumbuhan penduduk bumi dibiarkan tak terkendali seperti sekarang, maka 100 tahun ke depan konsentrasi CO2 diperkirakan akan naik menjadi 580 ppm atau lebih dari dua kali lipat dari zaman pra industri. Akibatnya dalam kurun waktu 50-100 tahun jika manusia tidak mengambil tindakan apa pun untuk menstabilisasi GRK di atmosfer, suhu rata-rata bumi akan naik sebesar 1,1 hingga 5 derajat Celcius. Panas yang dahsyat mengakibatkan berbagai sektor kehidupan manusia, flora dan fauna, serta makhluk bumi lainnya terancam. Jika pengurangan emisi tidak dilakukan diperkirakan pada tahun 2020 suhu akan naik hingga 2 derajat celcius yang dampaknya akan menenggelamkan hampir separuh 40 negara kepulauan dan pulau tersebut terancam
8
hilang dari peta bumi. Data yang dikemukakan oleh Hadad memperlihatkan perubahan suhu bumi yang berimplikasi kepada keberlangsungan hidup manusia. Isu perubahan iklim didefinisikan dengan fokus yang berbeda dalam laporan CEJI
(The
Canadian
Ecumenical
Jubilee
Initiative).
Laporan
tersebut
mengkalkulasikan penggunaan karbon di masa lalu oleh negara utara sebagai sebuah utang ekologis. Laporan CEJI yang diterjemahkan oleh Budiman dalam Wacana (2002) menguji konsep utang-ekologis dan utang finansial dari perspektif utaraselatan. Konsep utang ekologis diakumulasikan karena perampasan, kerusakan lingkungan dan pemakaian ruang lingkungan secara bebas seperti efek rumah kaca oleh negara-negara industri. Di dalam artikel tersebut negara-negara miskin Dunia Ketiga disebut sebagai kreditor utama utang ekologis dan debitornya adalah negaranegara kaya. Laporan
CEJI
menyebutkan
kompensasi
bagi
kreditur
karbon
jika
dikalkulasikan dalam angka mencapai 30,9 milyar dolar per tahunya, itupun hanya untuk negara G7 saja. Kalkulasi tersebut berasal dari hak emisi yang bisa diperdagangkan. Toronto Star (3 Desember 1997) menyebutkan harga karbon adalah $10 per ton karbon, ukuran lainnya berasal dari proposal yang diajukan oleh pemerintah inggris untuk menjual 8% ‘kelebihan capaian’ komitmen reduksi mereka, sesuai Protokol Kyoto, kepada Amerika seharga 100 juta Poundsterling. Pada tingkat emisi Inggris tahun 1996 dan nilai tukar sekarang, perdagangan emisi ini akan bernilai $12,5 perton karbon. Sementara Prof. Joan Martinez Allier merujuk pada proposal yang diajukan oleh Costarica untuk menghitung penjualan tanggungan-penyerapan CO2 senilai $20 per ton karbon, yang diserap oleh hutan yang akan diciptakan untuk tujuan hak atas emisi (CEJI, 2002: 86-87).
9
Tuntutan dari artikel tersebut yaitu membatalkan utang finansial negara-negara berkembang pada kreditor-kreditor utara. Caranya adalah dengan membandingkan jumlah ‘jejak-ekologis’ (ecological footprints). Perhitungan yang dikembangkan oleh Rees dan Wackernagel didasarkan pada rata-rata pendapatan perkapita konsumsi makanan, hasil hutan dan bahan bakar dalam suatu wilayah tertentu. Selain hutang karbon negara utara di masa lampau juga hutang negara utara atas pencurian keanekaragaman hayati dan khazanah pengetahuan tradisional milik rakyat pribumi dan komunitas pertanian di selatan. Isu perubahan iklim kemudian dikaitkan dengan usaha global untuk mendominasi isu lingkungan. Buku Global Political Ecology oleh Peet, Robbins dan Watts (2010) menunjukkan bagaimana kepengaturan lingkungan dalam narasi global. Buku yang merangkum 19 tulisan tersebut menurut Darmanto (2013) memaparkan dinamika wacana dalam praktik dominan yang membentuk narasi lingkungan global dan tantangan dari perspektif ekonomi politik. Juga mengarahkan analisis hubungan perubahan lingkungan dan detak jantung kapitalisme. Selain itu memperlihatkan pendekatan ekologi politik dalam membaca perubahan wacana dan proyek lingkungan sesuai dengan konteks geografi, sosial, politik dan budaya. Lebih lanjut Darmanto menjelaskan munculnya kritik pandangan ekonomi politik terhadap paradigma modernisasai ekologi dilandasi dengan fakta historis bahwa perubahan lingkungan tidak pernah terdistribusikan secara merata dan tidak pernah memberi akibat yang sama di semua tempat bagi semua kelompok. Buku tersebut melacak krisis lingkungan sebagai akumulasi kapitalis dimana ruang krisis lingkungan terbentuk dan dinamika kekuasaan global berperan dalam pembentukkan wacana krisis lingkungan yang terjadi dulu, sekarang dan yang akan datang.
10
Joyeeta Gupta (2012) dalam artikelnya “Glocal forest and REDD+ governance: win–win or lose–lose?” menjelaskan mengenai tata kelola hutan glocal (global-lokal-global) REDD+ yang dikenalkan secara global sebagai mekanisme hemat biaya. Melalui studi di empat negara berkembang yaitu Vietnam, Indonesia, Camerun dan Peru, Gupta (2012) menunjukkan tata kelola pemerintahan dalam menghadapi proyek REDD+ terutama permasalahan kebijakan kehutanan. Gupta mempertanyakan bagaimana analisis kebijakan kehutanan mengarah pada solusi yang win-win (menangmenang) karena telah mengatasi deforestasi dan perubahan iklim dengan memobilisasi keuangan dan sumber daya manusia untuk membantu negara-negara berkembang dengan menyalurkan sumber daya untuk mereka. Namun, tetap ada resikonya bahwa REDD+ dapat menjadi instrumen yang lose-lose (kalah-kalah) yang mengarah pada komodifikasi atas pengelolaan hutan yang ujungnya memperburuk hubungan utaraselatan serta meminggirkan masyarakat lokal. Dimitrov dalam Gupta (2012:622) menyebutkan upaya tata kelola hutan REDD+ dipromosikan sejak tahun 2005 dalam konteks negosiasi perubahan iklim. Dimitrov menegaskan di satu sisi wacana tersebut bisa membingkai fokus baru dampak tata kelola hutan sebagai ‘enlarging the negotiating pie’ atau memperbesar kue negosiasi, sebagai cara untuk membantu negosiasi perubahan iklim sambil memberikan dorongan baru untuk agenda hutan. Indonesia adalah salah satu negara yang berada dalam kepengaturan narasi global terutama REDD+. Laporan World Bank dalam Silalahi dan Santosa (2011:8) menyebutkan Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia tahun 2007 dan negara emitor ketiga setelah USA dan China. Panjiwibowo et al. (2003) menyebutkan laju konversi hutan Indonesia mencapai 1,7 juta hektar per tahun.
11
Data dari World Bank pada 2007 juga menyebutkan laju tingkat deforestasi hutan Indonesia pada periode 1989-2005 sekitar 1,9 juta hektar per tahun. Indonesia bahkan tercatat sebagai negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia tahun 2007 dan negara emitor ketiga setelah USA dan China (Wacana Insist, 2012:44). Silalahi dan Santosa menegaskan tingginya tingkat deforestasi tersebut disebabkan oleh skema HPH/HTI pada HP, pendekatan ekofasis pengelolaan kawasan konservasi serta diperparah oleh kebijakan konversi hutan ke pemanfaatan lain, korupsi dan permasalahan kemiskinan. Pada 1990-an disepakati skema internasional, Protocol Kyoto yang akhirnya dimodifikasi menjadi REDD+. Tujuan dari skema tersebut adalah mencari solusi atas tingginya deforestasi dan mengurangi emisi GRK (Gas Rumah Kaca) serta konservasi, penguatan stok karbon dan pengelolaan hutan lestari. Oleh karena itu Murdiyarso et al dalam Astuti (2013: 73) menyebutkan REDD+ telah mendorong reformasi tata kelola kehutanan di Indonesia. Selain REDD+, rezim pemerintahan juga memberikan perubahan yang signifikan atas perubahan tata kelola kehutanan terutama yang berpihak pada masyarakat. Santosa dan Silalahi dalam ‘Laporan Kajian Kebijakan Kehutanan Masyarakat dan Kesiapannya dalam REDD+’ tahun 2011 mengupas tentang bagaimana kebijakan KM (Kehutanan Masyarakat) dan implikasinya terhadap REDD+. Analisa mengenai kebijakan kehutanan ia mulai dengan menunjukkan konflik tenurial dan gap regulasi atas kebijakan kehutanan masyarakat di Indonesia. Gap tersebut ditunjukkan dengan menganalisa peraturan Kehutanan Masyarakat pada masa Orde baru dan Reformasi. Menurut Santosa dan Silalahi (2011: 31) reformasi telah membawa angin segar dan perubahan besar paradigma pengelolaan hutan dengan mulai mereformasi birokrasi yang lebih desentralisasi. Terbukti pada produk peraturan kehutanan pada hari ini yang menempatkan masyarakat sebagai subjek dari proyek kehutanan. Namun Santosa dan
12
Silalahi juga mengkritik kebijakan kehutanan hari ini masih bias gender dan tidak sensitif terhadap wacana masyarakat adat. Terbukti hingga saat ini belum ada pengakuan Kemenhut tentang hutan adat. Gawing (2010) juga menjelaskan adanya tarik menarik kerangka hukum dalam pengimplementasian REDD+. Dalam penelitiannya, Gawing menggunakan metode penelitian kualitatif dengan melakukan analisis teks melalui policy gap dan institutional mapping. Gawing menyebutkan dalam melakukan program hendaklah masyarakat tidak hanya dijadikan objek namun juga subjek dalam menanggulangi dampak perubahan iklim (Gawing, 2010: 59). Gawing optimis masyarakat melalui kearifan lokal yang tersedia dan terbukti mampu menjaga hutan dengan baik selama ini, seharusnya mendapat hal tersebut mendapatkan apresiasi dari pemerintah dan pengembang. Namun,Gawing tidak cukup memberi gambaran tentang kearifan lokal masyarakat secara lebih spesifik dalam tulisannya. Kepengaturan global melalui negara juga menghadapi respon yang beragam di tingkat lokal. Seperti yang sudah di teliti oleh Christy (2013) mengenai penolakan REDD+ di desa Hano (bukan nama desa sebenarnya) di Sulawesi Tengah. Christy mengungkapkan REDD+ merupakan gagasan ideal, tapi pertanyaannya kemudian mengapa sebagian masyarakat Desa Hano memilih menolaknya. Menjawab pertanyaan penelitiannya Christy mengaitkannya dengan pengalaman masyarakat Desa Hano terhadap program kehutanan dan sistem produksi masyarakat Desa Hano di masa lampau. Christy menyebutkan sebelum sosialisasi FPIC telah terjadi pemasangan tapal batas KPH DT (Kawasan Kesatuan Pemangku Hutan Dampelas Tinombo) yang diperuntukkan untuk program REDD+. Dalam hal ini, Christy menggunakan pendekatan governmentality Foucault dalam melihat REDD+ sebagai kepengaturan
13
yang dibawa ke ranah lokal. Sosialisasi, pematokkan, FPIC dimaknai Christy sebagai sebuah kepengaturan yang mengatur perilaku masyarakat melalui REDD+. Ismanto (2013) juga menggunakan kepengaturan sebagai pisau analisisnya untuk menjelaskan fenomena REDD+ di Desa Petak Puti, Kecamatan Timpah Kabupaten Kuala Kapuas. Ismanto dalam penelitiannya yang berjudul “Namanya Juga Proyek Uji Coba: Teknologi Kepengaturan dan Unintended Outcomes pada aktivitas Demonstrasi REDD+ di Kalimantan Tengah” memperlihatkan bagaimana koneksi global-lokal antara masyarakat Petak Puti dan DA (demonstration activity) REDD+. DA REDD+ terutama KFCP (Kalimantan Forest Climate Partnership) yang proyeknya telah berlangsung sejak 2008. Pertanyaan utama Ismanto adalah mengapa unintended outcomes akan selalu muncul ketika agen intervensi berhadapan dengan subjek masyarakat. Unintended outcomes merupakan sebuah istilah yang diperoleh dari berbagai ahli seperti Lesotho dan Ferguson. Unintended outcomes didefinisikan Ismanto sebagai hasil-hasil yang tidak diinginkan, diniatkan atau direncanakan. Hal tersebut sebagai implikasi dari intervensi agen yang mengenyampingkan permasalahan sosial politik dalam masyarakat yang pada akhirnya menghasilkan unintended outcomes. Kepengaturan (governmentality) juga dibahas oleh Astuti (2013) yang menganalisis
strategi-strategi
baru
yang
dilahirkan
oleh
REDD+.
Melalui
governmentality Astuti (2013: 73) mendefinisikan REDD+ sebagai sebuah rezim tata kelola yang dibentuk dan dipengaruhi oleh beragam aktor, motivasi, kepentingan dan pengetahuan. Pengetahuan yang menjustifikasi bentuk-bentuk strategi sosial politik di sektor kehutanan yang mengatur relasi antara manusia dan hutan. Astuti menyebutkan partisipasi sebagai salah satu strategi politik yang diambil pemerintah. Keterlibatan LSM seperti HuMa (Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat
14
dan Ekologis), ICEL (Indonesian Center for Environmental Law), AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), WWF (World Wide Fund) menjadi strategi pemerintah untuk mendulang dukungan dari gerakan masyarakat. Pehitungan karbon ekonomi juga menciptakan pengetahuan saintifik baru yang menerjemahkan jasa ekosistem hutan dalam satuan ekonomi. FPIC juga dilihat sebagai kepengaturan masyarakat yang bertujuan untuk memproduksi individu dan masyarakat yang akan mengikuti gambaran dan idealitas tertentu dalam melakukan interaksi dengan pemegang proyek REDD+. Terakhir Astuti memperlihatkan kepengaturan dalam program satu peta (one map) REDD+ sebagai mekanisme membantuk kebenaran tunggal pengaturan kawasan Indonesia. Selain pengaturan, REDD+ juga menguatkan elit di tingkat lokal. Wahyu Utama (2013) mengenai ‘Bahaur Tarus: Studi Penguatan Elit Lokal dalam Implementasi Awal REDD+’ di Kalimantan Tengah. Dalam Tesisnya Wahyu Utama yang melihat manuver elit lokal dalam memapankan kekuasaannya melalui berbagai program REDD+ di desa. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2012 tersebut mendeskripsikan bagaimana persiapan awal REDD+ di salah satu kampung keluarga pejabat kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Implikasi politik dimunculnkan dengan adanya elit-elit lama dalam peran baru yang mengambil keuntungan dari salah satu program REDD+ tersebut. Mencermati penelitian-penelitian di atas, yang begitu kompleks menjelaskan permasalahan REDD+ dari tingkat global hingga lokal baik pada level substansi, kebijakan maupun respon terhadap program REDD+. Dalam konteks global wacana kebijakan REDD+ berkaitan erat dengan perhitungan karbon secara matematis dan arah kebijakan hutan seperti yang telah diterangkan oleh Hadad (2010) mengenai
15
perubahan suhu bumi dan implikasinya dan Laporan CEJI tentang utang ekologis negara utara terhadap negara selatan serta buku Peet, Robbins dan Watts (2010) dengan 19 kumpulan tulisan mengenai kepengarutan lingkungan adalam narasi global. Di tingkat regional Gupta mencoba melacak REDD+ dalam hubungan Glocal (GlobalLokal) di empat negara. Sementara itu di tingkat nasional, Silalahi dan Santosa (2011) serta Gawing (2010) telah melakukan analisis kebijakan 11 antara tata kelola kehutanan dan hubungannya dengan REDD+. Selain itu kedua laporan tersebut menunjukkan kekhawatiran atas distribusi yang adil bagi tata kelola REDD+ khususnya di Indonesia. Di tingkat provinsi, Astuti mengkritisi REDD+ sebagai rezim tata kelola yang dipengaruhi, diatur oleh banyak aktor. Respon terhadap program REDD+ di tingkat lokal pun beragam, seperti yang telah diteliti oleh Christy, Ismanto, dan Utama (2013). Ada yang menolak ada pula yang bermanuver menggunakan REDD+ sebagai peluang mendapatkan keuntungan. Berawal dari beragam respon di tingkat lokal serta bentuk penolakkan REDD+ tersebut saya mengambil posisi penelitian, ‘jika ada yang menolak juga ada yang menerima’. Oleh karena itu, dalam memahami, menjelaskan dan mendefinisikan proses penerimaan REDD+ di Desa Buntoi, saya menggunakan pendekatan dalam bidang antropologi ekonomi. Selain itu, penelitian ini juga didukung oleh sejarah yang dihubungkan dengan perekonomian masyarakat Buntoi. Inilah yang saya kira menjadi perbedaan penelitian saya dari beberapa penelitian terdahulu.
11
Analisis kebijakan menurut Dunn dalam Erna dkk (Wacana, 2005: 114) adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan bagi para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan.
16
D. Kerangka Teori Ragam pendekatan telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya untuk menjelaskan REDD+ dalam wacana kebijakan, hingga respon masyarakat dalam mempersiapkan REDD+. Berdasarkan penjelasan panjang lebar mengenai REDD+ dan permasalahannya yang telah dipaparkan di atas saya akan menggunakan pendekatan dalam bidang antropologi ekonomi yang akan saya jelaskan selanjutnya. Pendekatan dalam Antropologi ekonomi Sairin dkk (2002:4) menyebutkan antropologi ekonomi adalah sebuah bidang kajian. Bidang kajian umumnya terbentuk atas satu kesatuan obyek studi yang berbeda. Ia menegaskan bidang kajian hendaknya tidak dikaburkan dengan istilah pendekatan, approach atau aliran teori. Untuk itu, Sairin dkk membagi antropologi ekonomi ke dalam dua pendekatan yaitu pendekatan umum dan pendekatan spesifik 12. berdasarkan
urutan
kemunculannya
pendekatan
spesifik
adalah
formalisme,
substantivisme, antropologi ekonomi baru 13 dan ekonomi parsonalisme 14.
12
13
14
Pendekatan umum adalah aliran teori yang ada pada khasanah antropologi umum dan karena minat tertentu, dioperasikan untuk membahas gejala ekonomi. Sedangkan pendekatan spesifik adalah aliran teori yang dikembangkan khusus untuk menyelesaikan problem-problem studi antropologi ekonomi (Sairin at all, 2002: 6-7) Antropologi ekonomi baru juga menjadi perhatian Sairin dkk (2002:39) yang pernah disebutkan Clammer memiliki sedikitnya 8 karakteristik. Pertama, ketidakpuasan dengan pemikiran ekonomi klasik. Kedua, dipengaruhi oleh ide Marx. Ketiga, diantara dominasi mode produksi, masih ada yang mempertahankan mode produksi tradisional. Keempat, terdapat tafsiran mode produksi baru. Kelima munculnya mode produksi domestik. Keenam pengembangan “teori suksesi mode produksi” berdasarkan anggapan bahwa pada masyarakat sederhana produksi barang dan jasa melekat dengan institusi biologis. Ketujuh Menurut pemikir antropologi ekonomi “antropologi haruslah menjadi ilmu sejarah”. Kedelapan, antropologi tidak pernah bebas dari ideologi (Sairin at all, 2002:128-134). Selain para munculnya antropologi ekonomi baru juga terdapat parsonalisme yaitu para ahli yang tertarik mempelajari kondisi kehidupan masyarakat peasant. Manurut Sairin (2002:31) gagasan ini tidak mengadopsi gagasan Marx serta menggunakan sistem sosial sebagai sistem yang berisi manusia dan eksistensinya termanifestasikan oleh gerak kehidupan manusia.
17
Menurut Ahimsa 15 (2003: 5) antropologi ekonomi sebenarnya sangat dibutuhkan untuk memahami, menjelaskan serta menyelesaikan berbagai macam problem ekonomi dalam masyarakat Indonesia yang begitu majemuk. Namun Ahimsa menyayangkan perdebatan antropologi ekonomi belum banyak bergeser dari perdebatan antara kubu substantivis dan formalis 16, hubungan antara ajaran agama dengan kegiatan ekonomi atau perdebatan tentang rasionalisme dalam ekonomi petani. Menjawab kemandegan tema perdebatan ekonomi yang belum berkembang dari tema-tema substantivis versus formalis, moral dan rasional, ekonomi petani dan sebagainya. Pada kesempatan ini, saya mencoba menggunakan konsep-konsep Gudeman (2001) mengenai perkembangan pendekatan dalam bidang antropologi ekonomi. Dilatarbelakangi oleh pengalaman Gudeman menjadi seorang formalis dan substantivis, ia menceritakan kebingungannya dalam bukunya The Anthropology of Economy tahun 2001. Awalnya Gudeman (2001: 2-4) mengaku “galau” atas niatnya untuk menerapkan teori pasar pada kegiatan petani subsisten di Panama. Gudeman pada saat
15
16
Ahimsa (2003: 6-7) dalam pengantar buku Ekonomi Moral, Rasional dan Politik dalam Industri Kecil di Jawa Esei-esei Antropologi Ekonomi juga menunjukkan tiga hasil etnografi yang memiliki terobosan dalam perkembangan kerangka analisis yang digunakan, data yang cukup rinci dan hangat, serta relevansi atas persoalan-persoalan ekonomi dalam masyarakat. Ahimsa (2003:27) menjelaskan pendekatan yang digunakan masing-masing penulis yang terdiri dari paradigma strukturalisme (pertukaran sosial kolektif) dan paradigma strategi adaptasi. Paradigma kedua dibagi lagi menjadi paradigma pelaku (actor-oriented) dan paradigma etnosains (Ethnoscience). Perdebatan utama dalam antropologi ekonomi mengenai perselisihan kaum formalis dan substantivis. Kaum formalis dilatarbelakangi oleh ilmu ekonomi modern yang berlaku universal sehingga dapat digunakan untuk mempelajari perekonomian masyarakat tradisional. Menurut Nugroho (2001: 37) formalisme dipengaruhi oleh sebagian besar teori klasik dan neo klasik yang mengakui bahwa tindakan manusia dibimbing oleh kepentingan pribadi dan sedikit dipengaruhi oleh hubungan-hubungan sosial. Hal ini cocok dengan asumsi “homo economicus” yang diperkenalkan oleh Smith (1937) di mana individu selalu berfikir berdasarkan kepentingan untung rugi dalam bertindak. Kaum utilitarian beranggapan bahwa hal ini merupakan proses alamiah. Tindakan ekonomi dilakukan berdasarkan basis kalkulasi rasional, Smith mengakui bahwa keseimbangan pasar dan sosial sebagai hasil spontan dari aktivitas profit-maximizing. Nugroho menegaskan dalam sosiologi ekonomi posisi ini disebut “teori ekonomi murni”. Pandangan formalis ini berkembang pada tahun 1920.
18
itu menyebut dirinya sebagai seorang formalis 17. Selanjutnya Gudeman dipengaruhi pula oleh teori ketergantungan (teori dependensi) Amerika Latin, Marxisme, dan ekonomi neo-Ricardian 18. Namun lagi-lagi Gudeman mendekonstruksi pemikirannya melalui pertanyaan bagaimana suara aktor dan makna dapat memberikan kontribusi untuk pemahaman kehidupan ekonomi dan teori. Kemudian, dipengaruhi oleh karya Geertz (1973) dan Sahlins (1976), Gudeman bertanya-tanya bagaimana konsep antropologi budaya dapat dihubungkan pada ekonomi. Ini menjadi jalan Gudeman mencoba menggunakan pendekatan “substantivis” Karl Polanyi dan institusionalisme dari Thorstein Veblen 19. Melalui tema ini dan antropologi sebagai panduannya, Gudeman mulai melihat ekonomi dibangun melalui model dan metafor rakyat. Perspektif tersebut lantas memunculkan pertanyaan kembali, bagaimana cara kita mendefinisikan kegiatan ekonomi-yang terdiri dari barang dan jasa dan ditransaksikan di pasar-dan menjadi teori esensialis yang skeptis di bidang ekonomi. Di satu sisi, Gudeman berpendapat bahwa tindakan material bisa jadi dibangun melalui agama, sosial, atau lainnya seperti praktik “non-ekonomi” dimana mereka tidak dapat dipisahkan. Untuk itu Gudeman mengusulkan bahwa tidak ada yang mendasari, “kebenaran” model ekonomi, namun beberapa, formulasinya dapat digunakan untuk menjelaskan budaya tertentu. 17
18
19
Kegalauannya menggunakan teori universal tersebut mengalihkan perhatiannya pada hubungan masyarakat, keluarga dan peran orang tua. Aturan yang memisahkan antara hubungan keluarga dari transaksi ekonomi menarik perhatiannya dalam mengembangkan perekonomian dalam masyarakat. Bagi Gudeman tiga teori tersebut meskipun dikembangkan di Amerika Latin dan Eropa pada abad kesembilan belas, mampu menawarkan bangunan blok untuk membangun antropologi ekonomi secara umum. Teori-teori ini, mulai dengan struktur kelas atau diferensiasi sumber daya, dan menunjukkan bagaimana kontrol mempengaruhi alokasi kekayaan dalam pertukaran pasar. Hal tersebut menunjukkan bahwa kehidupan material dapat diisi dengan konflik, eksploitasi, dan inkonsistensi, seperti pertanian baik untuk subsisten dan untuk keuntungan (profit). Untuk studinya di Panama, Gudeman menggunakan teori yang dikembangkan untuk memahami praktek dan suara masyarakat lokal; tapi Gudeman tidak menganggap teori-teori ini berlaku umum atau bagaimana teori itu sendiri dapat mencerminkan atau dipengaruhi oleh kondisi sosial di mana ia berkembang. Keduanya berorientasi ada kelembagaan dan menawarkan teori umum tentang ekonomi yang didasarkan pada keuniversalan naluri manusia, juga yang lainnya pada cara-cara memperoleh dan menggunakan tanah dan tenaga kerja dalam masyarakat. Dari keduanya, hanya Veblen-pragmatis dan simbolis– yang menerangkan arti aktor.
19
Jika Sairin dkk menyebutkan terdapat empat aliran dalam pendekatan spesifik dalam antropologi ekonomi, maka pendukung teori ekonomi pasar didukung oleh kaum formalis, kultural material dan ekonomi politik. Dimana penolak teori pasar diwakili oleh kaum substantivisme, struktural Marxis, neo-Marxis, ekonomi moral dan ekonomi personal. Lalu dimanakah posisi Gudeman dalam kategorisasi yang menolak atau mendukung teori pasar dalam antropologi ekonomi? Gudeman mengambil titik tengah dalam perdebatan antara formalisme dan substantivisme. Gudeman mengakui bahwa ia memiliki beragam model terpisah untuk menjelaskan kapasitas budaya manusia. Gudeman berpendapat praktek-praktek lokal bersinggungan dengan proyek-proyek dari orang-orang di luar komunitas yang dapat memberikan keyakinan yang kuat dan batas pada apa yang dapat dicapai. Ekonomi menurut Gudeman tidak kurang dari teori tentang masyarakat, isolasi ekonomi tidak pernah ada. Gudeman menegaskan teori-teori adalah bagian dari pembelajaran kita, seperti hasil lapangan yang telah lalu. Gudeman menyebutkan temuan etnografisnya sebagai produk dari percakapan yang kompleks antara penghuni pedesaan, diri kita sendiri, ingatan kita, dan perbandingan sejarah. Dengan memfokuskan hubungan antara ekonomi rumah tangga di garis tepi atau pinggiran dengan ekonomi di mereka, penelitian Gudeman menyajikan model baru yang lahir dari masyarakat dan ekonomi pasar, untuk itu menunjukkan bagaimana rumah tangga dan dunia korporasi bergabung dalam drama kekuasaan dan nilai perbedaan. Kadang disajikan dalam wacana lisan, mitos dan ritual. Model baru itu disebut Gudeman sebagai model lokal yang direfleksikan secara kritis.
20
Antropologi ekonomi didukung oleh studi lapangan dan pandangan kritis yang akan memperluas percakapan ekonomi, membantu mengungkap proses umum dalam kehidupan material, dan memberikan wawasan segar ke ekonomi kontemporer. Dalam bukunya, Gudeman melibatkan pandangan umum dan bagian tertentu, menjalin bersama-sama beberapa teori dalam antropologi dan ekonomi, dan kehidupan material. Menurut Gudeman (2001:5) terdapat dua kriteria yang membentuk ekonomi, yaitu community (masyarakat)
dan market (pasar). Dalam praktek ekonomi (pasar dan
masyarakat) dibangun melalui empat domain nilai yaitu, base (basis), social relationship (hubungan sosial), trade (perdagangan) dan accumulation (akumulasi). Konsep base atau foundation merujuk kepada kepentingan berbagi (shared interest), termasuk sumber daya alam (seperti tanah dan air), barang-barang produksi, dan konstruksi ide seperti pengetahuan, teknologi, hukum, praktek, keterampilan, dan adat istiadat. Domain nilai tersebut didefinisikan secara lokal yang menandakan identitas dalam komunitas. Konsep base didukung oleh domain nilai kedua yaitu adanya hubungan sosial (socialrelation) yang meliputi hubungan komunal yang bernilai dan dipertahankan sebagai tujuan tertentu. Hubungan tersebut adalah komitmen sosial yang berbentuk ekonomi rumah tangga, kekerabatan bahkan bangsa. Domain ketiga yaitu perdagangan sebagai penyedia barang dan jasa untuk keperluan produksi, tabungan dan konsumsi. Nilai yang tersajikan dalam bentuk pertukaran yang mengarah pada pasar. Domain akumulasi nilai, termasuk sumber daya, hubungan sosial, juga barang dan jasa serta modal berupa uang yang kesemuanya menjadi domain lainnya. Nilai dari akumulasi tersebut diinvestasikan, dikonsumsi dan ditampilkan yang kemudian dijustifikasi sebagai kekuatan ekonomi, kewajiban sosial dan ideologi (Gudeman, 2001: 7-8).
21
Seperti yang telah dipaparkan di atas, konsep-konsep tersebut akan digunakan dalam menganalisis bagaimana keterhubungan masyarakat lokal yang menerima REDD+. REDD+ dianggap sebagai mekanisme pasar yang terukur dan teruji. Kelindan antara masyarakat dan REDD+ dicoba diuraikan. Adapun kegiatan REDD+ berkisar tentang hubungan pertukaran yang impersonal meskipun pertukaran dapat bercampur dengan karena adanya ikatan komunal namun juga bersifat kontraktual. REDD+ kemudian bergantung pada masyarakat terutama pada pembentukkan dan penguatan aturan persetujuan penerimaan REDD+. Sehingga antara masyarakat dan REDD+ saling berkaitan dan membentuk hubungan yang berbeda antar satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Perekonomian suatu desa dibangun berdasarkan proses-proses ekonomi yang dialami masyarakat dari membangun, memelihara dan mengubah base. Jika dicontohkan seorang petani karet memiliki base seperti rumah, tanah dan hasil produksi. Namun base dilihat Gudeman secara lebih luas sebagai keterampilan, pengetahuan dan praktek yang merupakan bagian warisan yang cenderung berubah. Melalui base ekonomi dan masyarakat saling berkaitan secara dinamis. Adapun praktik yang membuatnya dinamis adalah praktek redistribusi 20 dan reciprocity. Resiprositas dengan hati-hati dikritisi oleh Gudeman. Ia menegaskan kata “timbal balik” digunakan secara berbeda oleh para ekonom dan antropolog. Para ekonom, istilah timbal balik mengacu pada pertukaran dua arah, yang menghasilkan uang atau tidak. Antropolog cenderung menggunakan hubungan timbal balik untuk
20
Redsitribudi adalah suatu bentuk kerja sama individu-individu anggota suatu masyarakat, atau suatu kelompok dalam memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki atau kuasai. Berbicara mengenai redistibusi artinya berbicara mengenai masalah kepentingan kelompok atau kepentingan pribadi, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dari praktek redsitribusi.
22
praktek khusus terutama pertukaran non-uang, non-pasar dan bertentangan dengan sistem perdagangan komersial. Gudeman (2001:20) meneliti base dan prosesnya yang menunjukkan bagaimana hal itu didukung, diperkuat, dipertahankan, dan ditambah dengan praktikpraktik rasional. Transaksi dalam realitas komunal berputar mengenai penjatahan (allotment) dan pembagian (apportionment). Sebaliknya, resiprositas adalah interbase (lintas basis) transaksi, dan mendekati apa yang tidak sepadan dan sepadan. Dalam antropologi ekonomi, resiprositas adalah unsur utama dari masyarakat. Polanyi dalam Sairin at all (2002:43) menegaskan terdapat tiga pola pertukaran yaitu resiprositas, redistribusi dan pertukaran pasar yang didasarkan pada motif-motif memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi. Resiprositas menurut Polanyi adalah pertukaran timbal balik antara individu atau antar kelompok. Konsep ini berpijak pada hubungan yang simetris yaitu hubungan sosial dengan masing-masing pihak menempatkan diri dalam kedudukan dan peranan yang sama ketika proses pertukaran berlangsung. Sahlins dalam Sairin dkk (2002:48), ada tiga macam resiprositas:(1) Resiprositas umum; (2)Resiprositas sebanding; dan (3)Resiprositas negatif. Banyak kasus timbal balik yang dicatat oleh antropolog menantang gagasan ekonomi yang harus benar-benar diatur melalui pasar. Tapi ke dalam kerangka apa teori tersebut harus kita cocokkan dengan hubungan timbal balik? Sebagian besar teori tentang timbal balik yang digerakkan oleh Marcel Mauss dalam The Gift (1990 [1925]) yang menjadi bacaan para antropolog. Mereka biasanya mendesak agar timbal balik adalah pilar kehidupan sosial dan menduga temuan ini diabaikan oleh para ekonom. Gudeman berpendapat antropolog terjebak dalam dialektika dengan ekonom Barat.
23
Keduanya menawarkan pemandangan esensialis atau modernis: satu relasional, yang atomistik lainnya. Satu sisi menekankan altruisme, egoisme lainnya. Gudeman menyitir Gregory yang menegaskan “hadiah” tidak bertentangan dengan komoditas, juga bukanlah oposisi dengan memberikan tipologi semua negara, seperti “the gift economy” dan “the comodity economy”. Ekonomi yang dibangun di alam saling terkait antara nilai komunal dan komersial, bukan hadiah yang dibandingkan dengan komoditas. Pemberian (allotment) membuat dan menandakan kebersamaan dan berbagi identitas sebelum tindakan pemberian meluas dari batasan mereka. Konsep-konsep yang diterangkan Gudeman tersebut saya coba ramu untuk menjelaskan kegiatan ekonomi dalam sebuah masyarakat. Namun demikian, untuk memahami permasalahan di lokasi penelitian, saya kira penting untuk menambahkan analisis gender dalam menganalisis perekonomian masyarakat Buntoi.Dalam hal ini Gudeman sedikit sekali membicarakan peran gender dalam masyarakat. Dalam menjelaskan hubungan masyarakat dan pasar, sementara itu masyarakat adalah hubungan yang kompleks, heterogen dan bergender. Untuk itu, dalam menjelaskan konteks hubungan dan domein nilai yang berbeda antara perempuan dan laki-laki dalam ekonomi, saya perlu menambahkan konsep analisis mengenai gender. Dalam kaitannya dengan REDD+, domain ekonomi yang dikuasai oleh perempuan ini menjadi penting yang dimasuki REDD+. Menurut Damsar (1997: 10) aspek gender dianggap penting dalam perekonomian terutama atas menguatnya gerakan feminisme di dunia. Kritik atas pengabaian hak-hak perempuan dalam aktivitas perekonomian ramai diperbincangkan. Damsar memberi contoh pemboikotan produk garmen dari dunia ketiga (termasuk
24
Indonesia) karena membayar upah terhadap pekerja perempuan dengan murah dan memperlakukan mereka secara tidak manusiawi. Untuk itu, saya menggunakan teknik analisis gender dalam upaya saya menjelaskan ekonomi masyarakat di Buntoi. Memahami Perekonomian Rumah Tangga melalui analisis Gender Konsep gender menurut Faqih (2001:8) adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Setiap masyarakat memaknai gender secara berbeda dari masyarakat lain. Perbedaan tersebut dikonstruksi, dibentuk dan diperkuat melalui lembaga sosial, kultural, agama bahkan negara. Menyitir Ann Oakley dalam Jackson (1998: 228) yang mengusulkan gender bukanlah akibat langsung dari jenis kelamin 21 biologis. Gender menentukan maskulinitas dan feminitas yang dibentuk secara sosial, kultural dan psikologis, yakni atribut yang didapat melalui proses menjadi laki-laki atau perempuan dalam sebuah masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Selanjutnya gender dihubungkan dengan bagaimana akses dan kontrol peranan perempuan dengan alam sekitarnya. Dalam penjelasannya Rochelau (1996: 28) memasukkan gender sebagai variabel penting dalam membentuk sumber daya akses dan kontrol, berinteraksi dengan kelas, kasta, ras, budaya dan etnis untuk membentuk proses perubahan ekologi, serta perjuangan pria dan wanita dalam mempertahankan mata pencaharian ekologis. Agarwal dalam Rochelau (2006: 28) menekankan pentingnya gender dalam melihat proses ekologis berbasis perbedaan kerja dan tanggung jawab sehari-hari antara perempuan dan laki-laki secara material.
21
Lebih lanjut Oakley menegaskan seks sebagai suatu yang anatomis dan ciri psikologis yang menentukan kelaki-lakian (maleness) dan keperempuanan (femaleness).
25
Untuk memperlihatkan perbedaan hubungan kerja antara perempuan dan lakilaki di Buntoi, dalam penelitian ini saya menggunakan analisis gender 22. Wacana gender bertujuan untuk mengidentifikasi kesenjangan gender dalam rumah tangga. Alat analisis gender yang digunakan adalah kerangka kerja analisa Harvard 23. Kerangka kerja tersebut digunakan sebagai entry point dalam memahami permasalahan gender dalam kaitannya dengan program REDD+. Teknik Analisis Gender Analisa Harvard adalah salah satu model teknik menganalisis gender atau disebut teknik gender framework analysis (GFA) dalam buku “Peranan Gender dalam Proyek Pembangunan” karangan Catherin at all tahun 1985. Fungsinya untuk melihat profil gender suatu masyarakat seperti investasi ekonomi yang dikerjakan oleh perempuan maupun laki-laki secara rasional. Kerangka analisis ini terdiri dari kumpulan data kualitatif (bisa juga kuantitatif) pada tingkat mikro yaitu masyarakat dan rumah tangga. Menurut Handayani dan Sugiarti (2001) terdapat tiga komponen yang saling berhubungan yaitu profil aktivitas, profil akses dan profil kontrol. a. Profil aktivitas atau profil kegiatan didasarkan pada konsep pembagian kerja
22
23
antara
perempuan
dan
laki-laki
yang
mencakup
kegiatan
Analisis gender adalah proses menganalisis data dan informasi secara sistematis mengenai perempuan dan laki-laki untuk menunjukkan kedudukan, fungsi, peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki. Kerangka analisis Harvard dikembangkan oleh Harvard Institute for International Development, bekerja sama dengan Kantor Women In Devekopment (WID)-USAID yang merupakan kerangka analisis gender pada tingkat mikro seperti masyarakat dan rumah tangga (A Guide to Gender Analysis Framework, An Oxfam Publication. Walaupun banyak kritik terhadap pendekatan seperti yang ditulis oleh Faqih (2001: 59) bahwa WID sendiri dianggap membawa bias feminis liberal, kelas menengah kulit putih, yang dianggap tidak memiliki kepentingan pembebeasan kaum perempuan. Namun analisis Harvard yang digunakan dalam pendekatan ini adalah sebagai alat analisis untuk membantu menjelaskan gender di Buntoi.
26
produktif 24dan repoduktif 25 serta sosial budaya. proses ini merupakan teknik untuk mengetahui peranan, kegiatan dan kebutuhan perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga. b. Profil akses Akses adalah peluang atau kesempatan dalam memperoleh atau menggunakan sumber daya tertentu. Profil ini dimaksudkan untuk merinci sumber-sumber yang dikuasai perempuan maupun laki-laki ketika melaksanakan kegiatan produksi, reproduksi dan manfaat apa yang diperoleh dari kegiatan tersebut. c. Profil kontrol Kontrol adalah penguasaan atau wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan. Profil kontrol juga dimaksudkan untuk menjelaskan manfaat apa yang diperoleh dari mendapatkan akses sumber daya dan manfaat. Fungsinya untuk memahami siapa yang memiliki akses dan kontrol atas penggunaanya. Selain itu diidentifikasi faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi aktivitas, akses dan kontrol perempuan dan laki-laki seperti kegiatan ekonomi secara umum, pendidikan, demografi, sosial budaya dan norma dalam masyarakat.
Adanya
perbedaan akses dan kontrol terhadap sumber daya dalam rumah tangga dikaitkan dengan tanggung jawab perempuan dan laki-laki.
24
25
Kegiatan produktif atau kegaiatan ekonomi yaitu kegiatan yang dilakukan oleh anggota masyarakat dalam rangka mencari nafkah, biasanya aktivitas ini menghasilkan uang tunai. Kegiatan reproduktif yaitu aktivitas yang berkaitan dengan pemeliharaan dan pengembangan serta menjamin kelangsungan sumber daya manusia dan biasanya dilakukan dalam keluarga. Kegiatan ini tidak menghasilkan uang secara langsung dan biasanya dilakukan bersamaan dengan tanggung jawab domestik atau kemasyarakatan dan dalam referensi disebut reproduksi sosial.
27
E. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini dibiayai oleh kerjasama Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada dan Universitas of Oslo (UiO) Norwegia. Pihak penyelenggara hibah sejak awal memberikan pilihan kepada peneliti untuk menentukan daerah penelitian di tiga provinsi yaitu Jambi, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Tengah. Berdasarkan perkembangan REDD+ di Indonesia, Sulawesi Tengah merupakan pilot province untuk UN-REDD dan Kalimantan Tengah pun ditunjuk sebagai pilot province pertama untuk REDD+ sementara REDD+ di Jambi masih dalam tahap sosialisasi. Namun pada awal tahun 2013, Sulawesi Tengah sering diberitakan mengalami kerusuhan dan konflik, sehingga pihak pemberi dana membuat kebijakan membatalkan Sulawesi Tengah menjadi tujuan lokasi penelitian. Sehingga pilihan lokasi penelitian hanya di dua provinsi saja, Kalimantan Tengah dan Jambi. Dipilihlah Kalimantan tengah sebagai sebagai provinsi penelitian. Selain lokasi penelitian waktu penelitian juga ditentukan, yaitu selama 5 bulan sejak bulan Februari hingga Juni 2013. Pemanfaatan alokasi waktu diserahkan sepenuhnya kepada peneliti. Satu bulan pertama, saya bersama dua teman penelitian (Laras dan Elna) menghabiskan waktu di Palangkaraya. Kami mewawancarai staf Sekber REDD+ Kalteng, pejabat pemerintah berwenang juga Gubernur Kalimantan Tengah, LSM seperti Teropong, WWF, Yayasan Cakrawala Indonesia, Pokker SHK, AMAN, IFACS USAID serta berusaha mengikuti seminar apa pun yang berkaitan dengan REDD+ baik yang diadakan pemerintah maupun LSM. Seringkali kami kami berkumpul di cafe Coffee Toffee di Jalan Diponogoro Palangkaraya untuk mendiskusikan temuan informasi ataupun sekedar komentar “nyinyir” atas royalnya pertemuan-pertemuan REDD+ dibumi tambun bungai
28
ini.Hasilnya tidak begitu mengecewakan, kami mulai bisa “memetakan REDD+ di Kalimantan” mulai dari mengklasifikasikan wujud program REDD+ dan lokasinya, pihak-pihak yang berkepentingan seperti LSM dan Pemerintah, serta mengumpulkan produk-produk hukum daerah terkait REDD+. Berbekal informasi mengenai gambaran umum tentang REDD+ yang kami dapatkan, maka pada awal bulan Maret kami memutuskan untuk menuju lokasi penelitian dengan ketertarikan masing-masing. Elna tertarik dengan proyek restorasi ekonsistem PT. Rimba Raya di Seruyan, sedangkan Laras memutuskan untuk mencermati implementasi moratorium di Katingan. Sementara saya di Desa Buntoi, Kabupaten Pulang Pisau dengan proyek PIL (Pusat Informasi Lestari). Informasi mengenai Desa Buntoi pertama kali saya dapatkan dari seorang teman sebut saja Pak Nabu staf Pokker SHK. Ia menceritakan proyeknya tentang Hutan Desa di Buntoi dan tiga desa lainnya. Hutan Desa merupakan salah satu produk kebijakan kementrian kehutanan dan termasuk dalam kawasan yang mendapatkan insentif dari REDD+. Selain itu, Pak Nabu menyebutkan bahwa ia akan ke desa Buntoi pada tanggal 4 Maret 2013 dikarenakan mempersiapkan presentasi tentang Hutan Desa di depan kedubes Norwegia. Pak Nabu bercerita bahwa Desa Buntoi disebut-sebut sebagai desa percontohan untuk REDD+ dan ada proyek PIL di Buntoi. Dalam penelusuran dokumentasi sebaran proyek dan lokasi REDD+, PIL awalnya akan dilaksanakan di Petak Puti, Kabupaten Kapuas. Namun dalam pembicaraan tersebut saya menemukan Buntoi “diserbu” proyek REDD+ baik dari sektor pemanfaatan lahan hutan desa maupun peningkatan ekonomi disaat begitu banyaknya poster dan film yang menolak REDD+. Itulah mengapa saya memilih Buntoi sebagai lokasi penelitian saya.
29
Metode penelitian yang akan digunakan adalah metode pengumpulan data kualitatif dengan cara studi pustaka, pengamatan dan wawancara. Melalui studi pustaka saya mengumpulkan dokumen mengenai kebijakan serta program REDD+ seperti di Sekber REDD+ Kalteng, Kantor UNORCID, BPDAS Kahyaan Hilir, LSM serta kantor kepala Desa Buntoi. Selain arsip di atas saya juga mengikuti perkembangan REDD+ di media cetak maupun media elektronik terutama televisi dan penelusuran di website yang relevan dengan REDD+. Data yang saya himpun mulai dari sejarah desa, sumber-sumber perekonomian desa, dokumen desa percontohan, PIL bahkan sengketa-sengketa desa seperti konflik tanah. Saya pun “ngintil” mengikuti setiap aktivitas Pak Kepala Desa Buntoi seperti rapat Hutan Desa, PIL, pertemuan dengan UNDP dari Jakarta dan New York, rapat desa ataupun mengikuti kebaktian, pentasbihan gereja, isra miraj bahkan turut pergi ke sawah, kebun karet, turut menetes 26 atau pun berkunjung ke makam desa. Semua data saya terima dan saya dokumentasikan dengan kamera saku milik saya. Pada akhirnya saya kewalahan mengklasifikasi berbagai data yang saya kumpulkan. Adapun metode analisis dilakukan melalui pendekatan emik dan etik, yaitu bagaimana keterhubungan data-data yang saya kumpulkan kemudian mengingatkan saya pada konsep-konsep atau pendekatan tertentu untuk menganalisis hubungan masyarakat dan REDD+. Data yang diperoleh disajikan dengan teknik etnografi deskriptif-interpretatif. Dengan demikian penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan etnografi yang tidak hanya menjawab pertanyaan penelitian yang mengacu pada teori dan metode penelitian tapi juga sebagai bahan reflektif bagi saya.
26
Mengambil rotan di kebun karet atau di hutan dengan cara menarik batang-batang rotan yang menjalar ke atas pohon karet dan membersihkan daun dan durinya. Memotongnya dengan parang dengan ukuran tertentu.
30