BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang masalah Salah satu bentuk apresiasi terhadap pelaksanaan otonomi daerah adalah
dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada tanggal 15 September 2009 yang merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997. Undang – undang ini memberikan kewenangan yang besar bagi pemerintah daerah dalam rangka menyelenggarakan
pemerintahan
yang
berbasis
pada
pelayanan
kepada
masyarakat dikarenakan masih minimnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, salah satu jenis pajak yang dialihkan pengelolaannya oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah BPHTB. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau yang sering disingkat dengan istilah BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Yang dimaksud dengan perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya atau dimilikinya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Selama ini pelaksanaan pemungutan BPHTB dilakukan oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak dan penerimaan pajaknya diberikan kembali kepada Pemerintah Daerah melalui pola bagi hasil. Akan tetapi sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 maka
1
per 1 Januari 2011 kewenangan pemungutan BPHTB dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah. Supriyanto (2013) menyatakan bahwa UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994 dan UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 adalah tergolong sebagai pajak pusat. Walaupun sebagai pajak pusat, akan tetapi penerimaan pajak tersebut secara mayoritas, diserahkan kembali kepada daerah kabupaten atau kota. Cara seperti ini lebih disukai oleh banyak pemerintah kabupaten atau kota. Pemerintah daerah tidak perlu mengeluarkan biaya untuk memungut pajak tersebut, tetapi hanya menerima bagi hasilnya saja dari pemerintah
pusat.
Pertimbangan
utama
Pemerintah
Pusat
melimpahkan
penerimaan dan pengelolaan kedua jenis pajak tersebut kepada Pemerintah Daerah antara lain: 1. Kebanyakan negara maju menyerahkan urusan pajak properti (jika di Indonesia adalah PBB dan BPHTB) menjadi urusan pemerintah daerah; 2. Migas (minyak bumi dan gas bumi) sudah tidak bisa lagi diandalkan sebagai sumber pendapatan bagi APBN (anggaran dan pendapatan belanja negara), mengingat Indonesia tidak lagi menjadi negara pengekspor minyak bumi, tetapi sebaliknya sebagai suatu negara yang mengimpor minyak bumi. Akibatnya, sumber utama pendapatan bagi APBN bergeser dari penerimaan migas kepada penerimaan pajak. Dengan demikian, pajak menempati posisi strategis dalam APBN. Sebagai gambarannya adalah penerimaan APBNP
2
2010 adalah Rp 992-an Triliun yang mana penerimaan pajak adalah Rp 743an Triliun; 3. Dari penerimaan pajak sebesar Rp 743-an Triliun tersebut, maka penerimaan PBB (seluruh sektor) adalah Rp 26-an Triliun dan BPHTB Rp 7-an Triliun. Namun demikian, hampir seluruh penerimaan PBB dan BPHTB tersebut diserahkan kepada pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota. Landasan hukumnya adalah PMK No. 34/PMK.03/2005 tanggal 23 Mei 2005 tentang Pembagian Hasil Penerimaan PBB antara Pemerintah Pusat dan Daerah, artinya bahwa, memang sejak awal penerimaan PBB dan BPHTB sudah menjadi bagian dari pemerintah daerah. Hal yang sama berlaku juga untuk BPHTB, dasar hukumnya adalah PMK No. 32/PMK.03/2005 tanggal 23 Mei 2005 tentang Pembagian Hasil Penerimaan BPHTB antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan dialihkannya PBB P2 (yang penuh dengan permasalahannya karena berjuta-juta jumlah objek pajaknya) menjadi pajak daerah, maka Ditjen Pajak akan lebih berkonsentrasi dalam pemenuhan target penerimaan pajak pusat. Kebijakan pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah dilakukan setelah melalui suatu proses pembahasan rancangan undang-undang yang panjang antara pemerintah dan dewan perwakilan rakyat dimana pada akhirnya setelah mempertimbangkan berbagai faktor strategis serta kondisi daerah yang berbedabeda akhirnya menyepakati pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah dengan syarat yaitu pemungutan BPHTB dapat dilakukan secara optimal dan disisi lain pelayanan kepada masyarakat tidak mengalami penurunan.
3
Persiapan pengalihan BPHTB telah ditetapkan selama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dan akan berlaku efektif per 1 Januari 2011. Dalam kurun waktu satu tahun inilah pemerintah mempersiapkan berbagai hal agar Pemerintah Daerah dapat segera menerima pelimpahan BPHTB dari Pemerintah Pusat. Dalam pelaksanaan pengalihan serta pengelolaan suatu jenis pajak, dapat dipastikan akan terdapat sejumlah hambatan atau kendala. Kendala atau hambatan tersebut dapat bersumber dari kesiapan instansi yang terkait menerima pelimpahan tersebut maupun faktor-faktor lain yang bersumber dari luar. Kendala yang timbul tersebut perlu untuk segera dicarikan pemecahannya demi kelancaran pemungutan BPHTB oleh pemerintah daerah.
1.2
Rumusan masalah Provinsi DKI Jakarta merupakan salah satu daerah yang memiliki roda
perputaran ekonomi yang paling tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Hal ini dikarenakan status kota DKI Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia dimana pusat pemerintahan dan perekonomian menjadi satu di kota ini. Tingginya perputaran ekonomi di Provinsi DKI Jakarta salah satunya dapat dilihat dalam realisasi penerimaan BPHTB kurun waktu 2009-2010 sebelum dialihkan pengelolaanya kepada pemerintah daerah dimana provinsi DKI Jakarta selalu menempati posisi pertama. Ini menujukkan bahwa potensi penerimaan BPHTB di provinsi DKI Jakarta dari tahun ke tahun sangatlah besar dan perlu
4
perhatian khusus oleh pemerintah daerah sejak diberlakukannya Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam pelaksanaan pengelolaan BPHTB oleh pemerintah daerah pasca pengalihan oleh pemerintah pusat tentunya tidak dapat sepenuhnya berjalan dengan mulus. Pengelolaan suatu jenis pajak yang baru tentunya dipastikan akan terdapat sejumlah hambatan atau kendala yang perlu untuk dicarikan strateginya agar apa yang menjadi tujuan awal pengalihan BPHTB dapat tercapai. Pokok permasalahan : 1.
Kendala yang dihadapi Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta dalam menghadapi pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) hal utama, yaitu terkait Sumber Daya Manusia, Perangkat Informasi dan Teknologi, Perangkat Peraturan, dan Budaya Kerja.
2.
Strategi yang perlu diterapkan Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta dalam mengatasi kendala yang muncul terkait pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah.
1.3
Pertanyaan penelitian Agar supaya tujuan awal pengalihan BPHTB dapat terwujud maka
Pemerintah Daerah perlu mempersiapkan diri melaksanakan tugas tersebut sehingga proses peralihan berjalan dengan lancar. Pertanyaan yang muncul dalam penelitian ini adalah:
5
1. Kendala apakah yang dihadapi Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta dalam menghadapi pengalihan BPHTB menjadi Pajak Daerah? 2. Strategi apakah yang perlu diterapkan Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta dalam mengatasi kendala yang muncul terkait pengalihan BPHTB menjadi Pajak Daerah?
1.4
Tujuan penelitian Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut diatas, maka dapat
dirumuskan tujauan penelitian sebagai berikut: 1. Untuk meneliti kendala-kendala yang dihadapi Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta dalam menghadapi pengalihan BPHTB menjadi Pajak Daerah. 2. Untuk meneliti strategi yang perlu di terapkan Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta dalam mengatasi kendala yang muncul terkait pengalihan BPHTB menjadi Pajak Daerah.
1.5
Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada
beberapa pihak antara lain: 1. Bagi dunia akademis, hasil penelitian ini dapat menjadi literatur tambahan bagi penelitian selanjutnya, yang berkaitan dengan pengalihan suatu pajak pusat menjadi pajak daerah dengan tujuan meningkatkan PAD dan pelayanan BPHTB, meningkatkan kualitas
6
belanja daerah, yang berarti peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah, dan hal ini berarti sebagian dari tujuan kebijakan otonomi daerah dapat diwujudkan. 2. Bagi Pemda DKI Jakarta, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi guna peningkatan pencapaian target PAD dan pelayanan BPHTB di tahun-tahun berikutnya serta menjadi masukan dalam rangka menghadapi proses pengalihan PBB di tahun 2013, agar pengalihan PBB dari pusat ke daerah nantinya dapat berjalan lebih lancar.
1.6
Ruang lingkup atau batasan penelitian Mengingat berbagai keterbatasan peneliti baik dari segi waktu, biaya
maupun pengetahuan, maka masalah penelitian perlu dibatasi. Kegiatan penelitian ini dilakukan di Kantor Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta. Permasalahan yang diteliti adalah strategi yang diterapkan Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta dalam menghadapi pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah terutama pada tahun 2011. Unit-unit yang akan dianalisis dibatasi pada hal-hal yang berkaitan dengan Sumber Daya Manusia (SDM), Perangkat Informasi dan Teknologi, Perangkat Peraturan, dan Budaya kerja.
7
1.7
Sistematika penulisan Sistematika penulisan penelitian ini akan terdiri bab-bab yang membahas
hal-hal sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Berisi uraian mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup atau batasan penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
TINJAUAN LITERATUR Berisi uraian mengenai beberapa teori dasar dan hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Tinjauan literatur ini diharapkan menjadi kerangka berpikir untuk memecahkan masalah.
BAB III
METODE PENELITIAN Berisi uraian mengenai desain penelitian, definisi istilah atau operasional, populasi dan sampel, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, dan metode analisis data.
8
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berisi uraian mengenai hasil dan temuan penelitian serta bahasan ilmu yang terkait dengan penelitian.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN Berisi uraian mengenai simpulan penelitian yang terkait dengan pertanyaan dan tujuan penelitian, keterbatasan-keterbatasan yang dihadapi peneliti dalam melaksanakan penelitian, implikasi teoritis dan praktis, serta rekomendasi yang terkait dengan penelitian.
9