BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Semangat dalam upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ini di tandai dengan dibuatnya sejumlah aturan perundang-undangan, dengan dimulai diadakannya aturan: a. Tap.MPR No. XI/MPR/1998 tentang “Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN”; kemudian dikeluarkan juga b. Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang “Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN” yang di dalamnya memuat ketentuan kriminalisasi delik “Kolusi” (Pasal 21) dan delik “Nepotisme” (Pasal 22); dan c. Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang”Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, yang mengubah dan mengganti Undang-Undang lama (UndangUndang tahun 1971) dan saat ini sudah menjadi Undang-Undang No 20 tahun 2001.1 Segala peraturan dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah dibuat oleh pemerintah seolah-olah tidak menjadi solusi dari permasalahan korupsi yang tidak pernah habis walaupun telah diadakan pemberantasan serta regulasi yang mengatur sanksi cukup berat. Korupsi merupakan suatu permasalahan yang terkait dari berbagai kompleksitas masalah antara lain, masalah moral/sikap mental, masalah pola hidup kebutuhan serta kebudayaan dan lingkungan sosial, masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesejahteraan sosial ekonomi, masalah struktur/sistem ekonomi,
1
Barda Nawawi Arief, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief I), Hal.53.
1
masalah sistem/budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan lemahnya birokrasi/prosedur administrasi di bidang keuangan dan pelayanan publik.2 Korupsi sebagai gejala sosial, keberadaan korupsi hampir seumur dengan keberadaan masyarakat di dunia ini. Korupsi diidentikan dengan keserakahan, ketamakan dan kesewenang-wenangan yang di caci dan dikutuk oleh semua orang karena membawa suatu dampak negatif pada kesengsaraan rakyat, maka dari itu Korupsi dikategorikan sebagai suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Dikatakan sebagai extra ordinary crime karena melibatkan penyalahgunaan kekuasaan
dan
menimbulkan
kerugian
keuangan
negara,
maka
dalam
menanggulanginya diperlukan cara-cara yang luar biasa pula. Bagi indonesia, korupsi merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara, karena kerugian yang dialami sangat besar diakibatkan dari perbuatan para koruptor yang nyaris membuat bangkrut perekonomian negara, terutama ketika terjadi krisis moneter yang diikuti pula dengan krisis ekonomi pada tahun 1997.3 Akibat lainnya dari dampak kejahatan Korupsi menurut Gunnar Myrdal yaitu: a. Korupsi memantapkan dan memperbesar masalah-masalah yang menyangkut kurangnya hasrat untuk terjun di bidang usaha dan mengenai kurang tumbuhnya pasaran nasional; b. Korupsi mempertajam permasalahan masyarakat plural sedang bersamaan dengan itu kesatuan negara bertambah lemah, juga karena turunnya martabat pemerintah, tendesi-tendesi itu membahayakan stabilitas politik; c. Korupsi mengakibatkan turunnya disiplin sosial.4 2
Barda Nawawi Arief, 2001, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief II), Hal. 85-86. 3 Teguh Sulista, 2011, Hukum Pidana, Horizon Baru Pasca Reformasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal.206-207. 4 Andi Hamzah, 2007, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 22.
2
Pengembalian Kerugian Keuangan Negara yang diakibatkan dari Tindak Pidana Korupsi mutlak diperlukan dikarenakan menghambat negara dalam melakukan pembangunan nasional, berdasarkan hal tersebut dibentuklah UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) yang mengatur tentang sanksi pembayaran uang pengganti kerugian keuangan negara hasil dari tindak pidana korupsi oleh orang pribadi maupun badan hukum. Ancaman sanksi pidana dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap koruptor dapat berupa pidana pokok penjara dan denda serta pidana tambahan berupa uang pengganti. Upaya dalam memaksimalkan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara, maka diatur suatu konsep upaya Pengembalian Kerugian Keuangan Negara yakni penambahan dalam pidana tambahan yang secara khusus diatur di dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf (b) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. UndangUndang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan bahwa pembayaran uang pengganti jumlahnya harus sama dengan harta benda yang diperoleh dalam Tindak Pidana Korupsi.
3
Tindak Pidana Korupsi merupakan suatu perbuatan curang yaitu dengan menyelewengkan atau menggelapkan keuangan negara yang dimaksudkan untuk memperkaya diri seseorang yang dapat merugikan negara. Secara umum, Tindak Pidana Korupsi dilakukan secara rahasia, melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan secara timbal balik. Kewajiban dan keuntungan tersebut tidak selalu berupa uang.5 Secara umum, Tindak Pidana Korupsi dikategorikan dalam salah satu kejahatan white collar crime yang pada umumnya dilakukan oleh seorang yang terhormat, serta mempunyai status sosial tinggi dan dilakukan dalam rangka pekerjaannya. Pengertian lain dari white collar crime antara lain sebagai berikut: a. b. c. d.
Kejahatan yang dilakukan oleh orang yang duduk dibelakang meja; Kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berpangkat; Kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berilmu pengetahuan; Ditafsirkan sebagai lawan kata “crime using force” atau “ street crime” (kejahatan biasa); e. Kejahatan yang dilakukan dengan teknologi canggih; f. Kejahatan yang non konvensional; dilakukan oleh orang yang mempunyai keahlian atau mempunyai pengetahuan teknologi canggih; g. Kejahatan terselubung.6 Tindak Pidana Korupsi secara umum cenderung dilakukan oleh oknum intelektual atau oknum yang memiliki kekuasaan dan kekuatan dalam pemerintahan sehingga Korupsi dapat dilakukan secara tertutup dan terorganisir. Dengan kemampuan yang dimilikinya pelaku Tindak Pidana Korupsi dapat memperhitungkan
5
Aziz Syamsuddin, 2001, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, Hal.15. Romli Atmasasmita, 2007, Analisis dan evaluasi hukum tentang penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, Hal. 31. 6
4
segala sesuatu terkait kejahatan yang dilakukan dengan tujuan mengaburkan segala tindakan agar tidak terbongkar oleh aparat penegak hukum. Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan secara tertutup dan terorganisir yang menjadi suatu permasalahan bagi aparat penegak hukum, dimana akibatnya aparat penegak hukum harus bekerja lebih giat di banding dalam melakukan penegakan hukum di bidang kejahatan konvensional. Kejaksaan sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara memiliki kewenangan dalam penyidikan, penuntutan dan eksekusi dalam penanganan pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. Terkait kewenangan Kejaksaan di bidang Penyidikan diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan dalam Penuntutan di dalam Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kejaksaan juga memiliki wewenang menjalankan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap untuk di eksekusi dalam upaya Pengembalian Kerugian Keuangan Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan tegas diatur juga dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bali dikenal sebagai primadona daerah wisata yang terkenal dengan keindahan alamnya terutama pantainya. Salah satu contoh keindahan pantai yang 5
terkenal di Bali yakni Pantai Lovina yang terletak di Kabupaten Buleleng, Singaraja. Hal yang paling menarik dan membedakan dari Pantai lainnya yakni pengunjung dapat melihat lumba-lumba dari habitat aslinya. Dibalik gemerlap sektor pariwisata dengan pendapatan pajak hotel dan restoran mencapai ratusan miliar rupiah, Provinsi Bali masih berjuang keras membangun kesejahteraan masyarakat pada 82 Desa yang memiliki keluarga miskin di atas 35 persen. Berdasarkan data Bapedda Provinsi Bali, 82 Desa dengan jumlah keluarga miskin di atas 35 persen itu tersebar pada 20 kecamatan di empat kabupaten dan yang terbanyak di Buleleng mencapai 33 Desa di tujuh Kecamatan dengan jumlah 13.464 rumah tangga miskin.7 Bali sebagai daerah tujuan utama destinasi pariwisata sedang gencarnya melakukan pembangunan di berbagai bidang yang tentunya didukung dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kekuasaan yang dimiliki dalam mengelola APBD dan APBN tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh oknum penguasa. Banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Bali khususnya di Kabupaten Buleleng secara umum disebabkan lemahnya pengawasan dalam pengelolaan bantuan APBD maupun APBN dan hal tersebut memerlukan perhatian lebih karena menyebabkan tidak meratanya kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Buleleng,
7
http://balicaringcommunity.org/bali-simpan-82-desa-miskin.html diakses pada tanggal 7
Maret 2015.
6
mengingat Kabupaten Buleleng merupakan Daerah yang memiliki Desa dengan jumlah keluarga miskin terbanyak di Bali. Salah satu contoh dari sekian banyak kasus korupsi yang terjadi di Bali dan menjadi perhatian masyarakat Bali adalah kasus Korupsi APBD yang terjadi di Kabupaten Buleleng dan dilakukan oleh Mantan Ketua DPRD Nyoman Sudarmaja Duniaji bersama-sama dengan tiga Wakil Ketua DPRD Kabupaten Buleleng yakni Gede Widjana Dangin, Made Sudana, Nyoman Gede Astawa. Korupsi yang dilakukan tersebut diduga mengakibatkan Kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara atau Keuangan Daerah sebesar Rp. 15.828.294.094,00 (lima belas milyar delapan ratus dua puluh delapan juta dua ratus sembilan puluh empat ribu sembilan puluh empat rupiah).8 Berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI No. 357 K/Pid.Sus/2007 tanggal 30 April 2008 keempat Terdakwa hanya di Putus membayar Uang Pengganti
yang apabila
keempatnya di
jumlahkan Rp.
2.503.385.194,00 (dua milyar lima ratus tiga juta tiga ratus delapan puluh lima ribu seratus sembilan puluh empat rupiah).9 Eksekusi harta benda terpidana khususnya Nyoman
Sudarmaja Duniaji dan Gede Widjana Dangin masih mengalami
permasalahan sehingga terkendalanya penerapan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
8
http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/7f557866ae75d54065ca855831b114a3 diakses pada tanggal 30 Maret 2014, Hal. 38. 9 Ibid, Hal. 50.
7
Upaya dalam pemberantasan serta penanggulangan Tindak Pidana Korupsi yang banyak terjadi di Kabupaten Buleleng tidak terlepas dari Peranan Kejaksaan Negeri Singaraja dalam melakukan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara. Pengembalian Kerugian Keuangan Negara
dalam Tindak Pidana Korupsi yang
terjadi di Kabupaten Buleleng yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Singaraja bertujuan agar APBD maupun APBN yang seharusnya ditujukan untuk lebih memajukan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan fasilitas publik di Kabupaten Buleleng agar tidak diselewengkan oleh oknum penguasa di Kabupaten Buleleng. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik menulis judul skripsi yang akan membahas mengenai : “PERANAN
KEJAKSAAN
DALAM
UPAYA
PENGEMBALIAN
KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS DI KEJAKSAAN NEGERI SINGARAJA)” 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan dari latar belakang diatas, maka terdapat dua permasalahan pokok yang akan dibahas, yakni : a. Bagaimana peranan Kejaksaan Negeri Singaraja dalam pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi ? b. Apa hambatan dan upaya yang dilakukan Kejaksaan Negeri Singaraja dalam pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi ? 8
1.3. Ruang Lingkup Masalah Dilihat dari latar belakang masalah, ruang lingkup dari penelitian ini hanya dibatasi dalam hal Peranan, hambatan dan Upaya yang dilakukan Kejaksaan Negeri Singaraja dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal Peranan dibatasi dalam bagaimana Peranan Kejaksaan Negeri Singaraja dalam Penyidikan, Penuntutan dan Eksekusi terkait Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten Buleleng. Terkait dalam hal upaya dibatasi dalam hambatan yang ditemui dan upaya yang dilakukan Kejaksaan Negeri Singaraja dalam mengatasi hambatan-hambatan yang terdapat di dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten Buleleng. 1.4. Orisinalitas Penelitian Terkait orisinalitas dari penelitian ini, penulis akan memperlihatkan skripsi terdahulu sebagai perbandingan yang pembahasannya berkaitan dengan “Peranan Kejaksaan dalam Upaya Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi (studi kasus di Kejaksaan Negeri Singaraja)”, yakni :
9
No.
Judul Tinjauan
1
Penulis Yuridis Fuad
Akbar 1. Bagaimana
Terhadap Uang Pengganti Yamin, Untuk
Rumusan Masalah
Fakultas
Pengembalian Hukum
mekanisme
pembayaran
uang
pengganti
untuk
Kerugian Negara dalam Universitas
pengembalian
Perkara Tindak Pidana Hassanudin,
negara dalam kasus tindak
Korupsi
pidana korupsi?
Makassar, Tahun 2013.
2. Kendala dihadapi
kerugian
apakah dalam
yang proses
pembayaran
uang
pengganti
untuk
pengembalian
kerugian
negara dalam kasus tindak pidana korupsi? 2
Pelaksanaan
Penyidikan Rheysa
Tindak Pidana Korupsi Fakultas
Qadri, 1. Bagaimanakah Hukum
pelaksanaan
penyidikan
oleh Kejaksaan (Studi di Universitas
tindak pidana korupsi di
Kejaksaan
kejaksaan
Sawahlunto)
Negeri Andalas, Padang, Tahun 2012.
negeri
sawahlunto? 2. Apakah
kendala
yang
ditemui dalam melakukan
10
penyidikan tindak pidana korupsi di kejaksaan negeri sawahlunto? 3. Bagaimanakah koordinasi jaksa
dengan
hukum
perangkat
lainnya
yaitu
kepolisian
dan
badan
inspektorat
yaitu
BPKP
dalam
melakukan
penyidikan tindak pidana korupsi di sawahlunto? Pengembalian Aset Hasil Riani
Atika 1. Bagaimanakah
3 Tindak Pidana Korupsi Nanda Sebagai
Salah
Satu Fakultas
Lubis, Hukum
perbandingan
pengaturan
dan
pelaksanaan asset
Bentuk
Penerapan Universitas
perampasan
Keadilan
Restoratif Indonesia, Depok,
tindak pidana korupsi di
(Restorative Justice)
Tahun 2011.
hasil
Indonesia, Britania raya, dan Thailand? 2. Apakah
bentuk
perampasan tindak
11
aset
pidana
hasil korupsi
sejalan dengan program keadilan
restoratif
yang
sedang berkembang saat ini? 3. Hal-hal apa sajakah yang harus
di
pemerintah penegak
siapkan dan
oleh aparat
hukum
agar
pengembalian aset hasil tindak
pidana
korupsi
dapat berjalan ?
Bila dilakukan perbandingan pada penelitian skripsi pertama membahas tentang Tinjauan Yuridis Terhadap Uang Pengganti Untuk Pengembalian Kerugian Negara dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi, Skripsi kedua membahas tentang Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi oleh Kejaksaan (Studi di Kejaksaan
Negeri
Sawahlunto)
dan
Skripsi
ketiga
membahas
tentang
Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai Salah Satu Bentuk Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).
12
Penelitian ini membahas mengenai Peranan Kejaksaan dalam Upaya Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi (studi kasus di Kejaksaan Negeri Singaraja). 1.5. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yakni sesuai dengan rumusan masalah diatas yang dituangkan dalam tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun mengenai tujuan tersebut adalah sebagai berikut : a. Tujuan Umum Tujuan umum
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
memberikan pemahaman mengenai peranan Kejaksaan Negeri Singaraja dalam upaya Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. b. Tujuan Khusus Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : -
Untuk
mengetahui
peranan
Kejaksaan
Negeri
Singaraja
dalam
Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi. -
Untuk mengetahui hambatan dan upaya yang dilakukan Kejaksaan Negeri Singaraja dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi .
13
1.6. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis yang ingin dicapai dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan yang bermanfaat dalam pengembangan studi ilmu hukum terkait dengan peranan Kejaksaan Negeri Singaraja dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, serta hambatan dan upaya apa yang dilakukan Kejaksaan Negeri Singaraja dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. b. Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian ini selain bagi penulis sendiri, tetapi juga diharapkan bermanfaat bagi institusi penegak hukum, khususnya Jaksa dan diharapkan juga bermanfaat khususnya bagi Mahasiswa Fakultas Hukum dalam mendalami Hukum Pidana terkait hal peranan Kejaksaan Negeri Singaraja dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, serta hambatan dan upaya yang dilakukan Kejaksaan Negeri Singaraja dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 14
1.7. Landasan Teoritis Penelitian terhadap Peranan Kejaksaan dalam upaya Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, ditunjang dari beberapa Asas dan Teori Hukum yang digunakan sebagai landasan teoritis dalam menganalisis permasalahan dalam penelitian ini. Asas yang berkaitan dengan penelitian ini yakni Asas legalitas dan Asas Lex Specialist Derogat Lex Generalis. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Pidana merumuskan bahwa tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terlebih dahulu dari perbuatan itu. Dalam penelitian ini, Asas legalitas dikaitkan dengan segala kewenangan yang dimiliki oleh aparat penegak hukum khususnya Kejaksaan Negeri Singaraja dalam melakukan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten Buleleng harus didasari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi harus didasari dari ketentuan Pasal 4 serta Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terkait Asas Lex Specialist Derogat Lex Generalis memiliki makna bahwa hukum yang bersifat khusus mengkesampingkan hukum yang bersifat umum. Asas tersebut terkait penelitian ini dapat dilihat dalam proses penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi khususnya dalam Pengembalian Kerugian Keuangan 15
Negara. Ketentuan yang digunakan tidak hanya ketentuan umum sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tetapi ketentuan khusus yang ada di luar dari KUHAP sebagaimana dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ditentukan bahwa : “Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap Tindak Pidana Korupsi, dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Ketentuan
tersebut
mengartikan
bahwa
pembentuk
Undang-Undang
memberikan peluang untuk melakukan penyimpangan di dalam proses peradilan pidana yang ditentukan oleh KUHAP sepanjang hal tersebut diatur secara tegas di dalam suatu peraturan perundang-undangan, sehingga berlakunya Asas Lex Specialist Derogat Lex Generalis dalam proses Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi. Adapun Teori yang digunakan dalam penelitian ini : 1. Teori Kepastian Hukum Teori Kepastian hukum dikemukakan oleh Van Kan mengatakan bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan-kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan - kepentingan itu tidak dapat diganggu. Jelas disini dikemukakan bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum di dalam masyarakat. Sehingga setiap perkara harus diselesaikan melalui proses berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang 16
boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.10 2. Teori Keadilan Teori Keadilan dikemukakan oleh John Rawls apabila dikaitkan dengan penelitian ini menyebutkan bahwa salah satu bentuk keadilan sebagai fairness, yaitu memandang netral kepada semua pihak yang melanggar hukum. 11 Dapat dipahami bahwa aparat penegak hukum dalam hal ini Kejaksaan Negeri Singaraja dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi di Kabupaten Buleleng harus bersikap netral kepada semuanya tanpa memandang atribut sosial yang melekat dalam diri individu baik jabatan, nama baik ataupun yang lainnya. 3. Teori Penegakan Hukum Terkait pemberantasan dan penanganan tindak pidana korupsi digunakan Teori penegakan hukum (law enforcement). Teori Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma
10
Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud I), Hal. 158. 11 Sukarno Aburaera, 2013, Filsafat Hukum Teori dan Praktik, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hal. 196.
17
hukum secara nyata sebagai pedoman prilaku dalam hubungan-hubungan hukum di kehidupan masyarakat. Dalam arti luas, penegakan hukum mencakup seluruh subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Dalam arti sempit, penegakan hukum berarti sebagai upaya aparat penegak hukum tertentu dalam menjamin suatu aturan hukum berjalan sebagaimana mestinya. Aparat penegak hukum sebagaimana dijelaskan dalam penegakan hukum dalam arti sempit yakni aparat penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari Saksi, Polisi, Penasehat Hukum, Jaksa, Hakim, dan Petugas Sipir Pemasyarakatan. Kejaksaan sebagai aparat penegak hukum berwenang dalam melakukan upaya pengembalian
kerugian
keuangan
negara
terkait
pemberantasan
dan
penanggulangan tindak pidana korupsi, hal tersebut ditegaskan dalam salah satu poin dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang menginstruksikan kepada Kejaksaan Republik Indonesia Untuk : a. Mengoptimalkan upaya-upaya Penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara; b. Mencegah dan memberikan sanksi yang tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh jaksa/penuntut umum dalam rangka penegakan hukum; c. Meningkatkan kerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan Pengembalian Kerugian Negara akibat Tindak Pidana Korupsi.
18
Penegakan hukum dalam Tindak Pidana Korupsi dapat ditempuh dengan berbagai jalur yakni : a. Jalur Hukum Pidana Jalur ini pun luas ruang lingkupnya karena seperti diketahui korupsi itu tidak berupa korupsi materiil dan keuangan saja, tetapi juga meliputi korupsi politik, korupsi ilmu, sastra dan seni. Pidana yang diberikan yaitu mulai dari hukuman mati, penjara dan kurungan serta ditambah dengan pidana denda; b. Jalur Hukum Perdata Kemungkinan gugatan perdata terhadap para koruptor berupa ganti kerugian keuangan kepada negara sesuai Pasal 1365 Buku ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), dan terutama terhadap para koruptor yang telah meninggal dunia. Hal ini telah diatur dalam Pasal 32, 33, dan 34 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999; c. Jalur Hukum Administrasi Dengan pemberian administratif kepada Pegawai Negeri Sipil yang melakukan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri.12
Penelitian ini difokuskan terhadap penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan Negeri Singaraja di jalur pidana khususnya dalam Penyidikan, Penuntutan dan Eksekusi terkait pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan di Kabupaten Buleleng. 4. Teori Pencegahan Terkait pembahasan rumusan masalah mengenai upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan dalam pengembalian kerugian keuangan negara digunakan Teori Pencegahan Umum sebagaimana dikemukakan oleh Anselm Von Feurbach mengenai psychologische zwang.
12
Andi Hamzah, Op.cit, Hal.24.
19
Teori dari Anselm Von Feurbach mengenai psychologische zwang yang berbunyi : “Apabila setiap orang mengerti dan tahu, bahwa melanggar peraturan hukum itu diancam dengan pidana, maka orang itu mengerti dan tahu juga akan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukannya dapat digolongkan ke dalam teori pencegahan umum. Jadi menurut teori ini tercegahlah bagi setiap orang untuk berniat jahat sehingga di dalam jiwa orang masing-masing telah mendapatkan tekanan atas ancaman pidana.”13 1.8.Metode Penelitian a. Jenis penelitian Penelitian yang digunakan didalam penelitian ini yakni penelitian hukum empiris yang bertujuan untuk mengetahui secara langsung peranan Kejaksaan Negeri Singaraja dalam melakukan pengembalian kerugian keuangan negara serta hambatan yang ditemui dan upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi di Kabupaten Buleleng dan untuk mendapatkan informasi berupa data yang berkaitan dalam pembahasan rumusan masalah. b. Jenis Pendekatan Adapun mengenai jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini : 1. Pendekatan Fakta ( The Fact Approach ) Pendekatan fakta digunakan bertujuan untuk mendapatkan informasi dari Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Kasi Pidsus), Kepala Seksi Inteligen (Kasi Intel) dan Jaksa yang ditunjuk untuk menangani perkara
13
Marlina, 2011, Hukum Penitensier, PT Refika Aditama, Bandung, Hal. 57.
20
Tindak Pidana Korupsi terkait dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten Buleleng dalam lingkup Kejaksaan Negeri Singaraja guna menjawab permasalahan yang dirumuskan dalam rumusan masalah. 2. Pendekatan Perundang-Undangan ( The Statute Approach ) Pendekatan
Perundang-undangan
digunakan
bertujuan
untuk
menyimpulkan mengenai ada atau tidaknya benturan antara Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan penerapannya terkait Pengembalian Kerugian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi. c. Sumber Data Adapun mengenai bahan hukum/data yang diteliti dalam penelitian ini yakni : 1. Data Primer Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari informan yakni Kasi Pidsus, Kasi Intel dan Jaksa yang ditunjuk untuk menangani perkara Tindak Pidana Korupsi terkait Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten Buleleng dalam lingkup Kejaksaan Negeri Singaraja terkait permasalahan yang di bahas dengan melakukan penelitian lapangan (Field Research).
21
2. Data Sekunder Data-data yang bersumber dari penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu data yang bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum. Bahan-bahan hukum tersebut terdiri dari : 1) Bahan Hukum Primer: Berupa kaedah dasar (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945), peraturan perundang-undangan, hukum yang tidak
tertulis
dan
yurisprudensi.14
Dalam
penelitian
ini
menggunakan bahan hukum primer berupa kaedah dasar dan peraturan perundang-undangan. 2) Bahan Hukum Sekunder: Bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer yang antara lain berupa rancangan undang-undang, hasil penelitian, pendapat pakar hukum, karya tulis hukum yang termuat dalam media massa, buku-buku hukum (text book), jurnal-jurnal hukum.15 Dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum sekunder berupa hasil penelitian, buku-buku hukum dan pendapat pakar hukum.
14
Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud II), Hal. 181. 15 Ibid, Hal. 182.
22
3) Bahan Hukum Tersier Bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,16 seperti Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum tersier berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia. d. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang dipakai dalam penelitian ini terkait pengumpulan data yakni : 1. Teknik Studi Dokumen Teknik Studi Dokumen digunakan agar data yang diperoleh dari data yang bersumber dari data kepustakaan yang relevan dengan permasalahan penelitian dikumpulkan dengan cara membaca dan mencatat kembali data yang dikumpulkan kemudian dikelompokkan secara sistematis. 2. Teknik Wawancara/Interview Kegiatan wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan keteranganketerangan secara lisan melalui bercakap-cakap yang bermuatan tanya jawab antara peneliti dan orang yang diteliti.17 Teknik Wawancara digunakan agar data diperoleh melalui proses wawancara atau interview kepada pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan penelitian di
16
Amiruddin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
Hal. 32. 17
Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Penelitian Hukum Empiris Murni Sebuah Alternatif, Universitas Trisakti, Jakarta, Hal. 85.
23
lapangan yaitu Kasi Pidsus, Kasi Intel dan Jaksa yang ditunjuk untuk menangani perkara Tindak Pidana Korupsi terkait Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi yang terjadi di Kabupaten Buleleng dalam lingkup Kejaksaan Negeri Singaraja untuk memperoleh kebenaran informasi dan data yang pasti. e. Teknik Analisis Terkait penelitian ini apabila keseluruhan data telah didapat akan di analisis secara kualitatif atau lebih dikenal dengan analisis deskriptif kualitatif. Dimana keseluruhan data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder akan diolah dan dianalisis secara sistematis, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya sehingga memperoleh suatu kesimpulan dan gambaran yang jelas dalam pembahasan masalah.
24