1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena demokrasi dan menguatnya kesadaran sipil pada tingkat global cukup menarik untuk dicermati. Fenomena ini merupakan aspek yang penting dalam perjalanan demokrasi. Kemajuan segnifikan dari proses negosiasi demokrasi ini, bisa dilihat dari banyaknya forum – forum regional maupun global yang diadakan dalam waktu dan kesempatan yang sama. Keterlibatan para kepala pemerintahan dan semakin seringnya isu lokal yang menjadi bahan diskusi merupakan salah satu contoh varian gerakan sosial dan lebih menarik lagi kesadaran ini justru muncul di negara – negara barat sendiri yang notabene sudah lebih dahulu mengkampanyekan diri sebagai negara demokrasi yang ideal. Di samping itu juga bahwa dewasa ini demokrasi telah menjadi topik bahasan yang penting tidak saja untuk didiskusikan melainkan juga untuk diperjuangkan. Bahkan sejak perang dunia ke 2 berakhir demokrasi merupakan istilah yang populer dan telah menjadi faham, sebagai norma politik diterima secara universal (Mansur Fakih dalam D.Juliana,1998:5-6). Terlebih lagi pada era pasca
“perang
dingin”.
Adanya
kecenderungan
meningkatnya
jumlah
pemerintahan yang menerapkan nilai – nilai demokrasi di seluruh dunia (Saiful Mujani, 2007:1) Dengan kata lain seolah – olah tak ada satupun negara yang tidak menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi walaupun dalam mekanisme pemerintahannya berbeda antara satu dengan lainnya (S.Pamuji,1985 :1).
2
Demikian pula di kalangan akademisi (ilmuan politik) pada dasawarsa terakir, proses demokrasi atau proses transisi dari otoritisme menuju demokrasi menjadi salah satu topik yang cukup populer dan menempati posisi utama. Di Indonesia isu itu mendorong ilmuan politik menggelar berbagai forum diskusi, penelitian, seminar hasil studi, mengenai demokratisasi, juga mengamati perkembangan global demokrasi, yang
memanfaatkan berbagai sarana
pemantauan. Hal ini semua dilakukan untuk mengetahui bagaimana proses dan kondisi apa yang memungkinkan berlangsungnya perubahan demokratis di masyarakat – masyarakat yang sebelumnya otoriter itu (Mohtar Masoed, 2003:vvl). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa banyak negara didunia ini “menuntut” adanya penerapan demokrasi pada pemerintahannya. Implikasi lebih lanjut dengan adanya “tuntutan” penerapan prinsip demokrasi disuatu negara adalah diperlukannya sikap dan prilaku demokratis pada setiap warganegara dalam tatanan hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Untuk itu adalah menjadi kewajiban bagi setiap warganegara untuk memiliki dan mengembangkan sikap dan prilaku demokratis agar dapat berperan aktif atau berpertasi dalam pembinaan dan membangun masyarakat negara dan bangsanya. Demokrasi masuk di Indonesia melalui aspek kultural dalam hal ini subkultur pergerakan nasional. Sejak semula demokrasi menimbulkan persoalan yang cukup rumit dalam mencari perpaduanya dengan nilai – nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Demokrasi yang ingin ditegakkan di Indonesia adalah demokrasi yang didasarkan pada nilai dasar negara yaitu Pancasila. Demokrasi Pancasila tidak hanya demokrasi dalam bidang politik kenegaraan
3
namun juga meliputi bidang ekonomi, sosial, dan budaya, sebagai cita – cita yang ingin diwujudkan (Rudini, 1994:32) Konsep demokrasi bila dianut oleh sesuatu negara harus berjalan dengan kontrol yang ketat dan tidak semata – mata mengandalkan ”Political will”. Ada dua alasan utama mengapa sebuah negara memilih sistem demokrasi untuk pemerintahannya. Pertama adanya pengakuan hak azazi manusia sebagai penghargaan terhadap martabat manusia; Kedua adanya partisipasi dan dukungan rakyat dalam pemerintahan. Inti pemikiran ini adalah bahwa kemajuan masyarakat / negara sejalan dengan sejauh mana perkembangan demokrasi di dalam kehidupan masyarakat dan manusia (Nusantara, 2003:28-29). Menurut Susilo Bambang Yudoyono (SBY) bahwa karakteristik dan efektifitas sistem setiap negara berbeda – beda. Pada bangsa yang tingkat pendidikan tinggi, maka demokratisasi, kebebasan dan keterbukaan sangat efektif dalam membangun karakter bangsa. Akan tetapi pada bangsa yang tradisioanal dan tingkat pendidikan warganya tidak merata, maka keteladanan seorang pemimpin lebih efektif dibandingkan demokratisasi dan keterbukaan. Pada bangsa Indonesia demokrasi tidak bisa dilempar ke pasar bebas tanpa melihat nilai – nilai budaya lokal (Achmad Mubarok, 2005 : xii). Seperti telah dikemukakan di atas bahwa demokrasi yang ingin di tegakkan di Indonesia ialah demokrasi yang didasarkan pada nilai dasar negara yaitu Pancasila. Dengan demikian, maka demokrasi yang dikembangkan di Indonesia ialah demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila dapat diartikan secara luas maupun sempit. Secara luas berarti kedaulatan rakyat yang didasarkan pada
4
nilai – nilai Pancasila dalam bidang politik ekonomi dan sosial. Sedangkan dalam arti sempit demokrasi Pancasila berarti kedaulatan rakyat yang dilaksanakan menurut hikmat kebijaksanaan dalam permussyawaratan perwakilan (Winarno, 2006:74). Menyambut bergulirnya era demokratisasi banyak orang berharap pada dunia pendidikan yang semakin baik dan bermutu pada setiap negara. Hal ini adalah wajar karena pendidikan adalah sebagai sebuah wahana penyadaran yang diyakini mampu membawa bangsa dan warga negara keluar dari krisis (Susetyo, 2005 : v). Bila dikaitkan dengan demokrasi maka membangun demokrasi sejati dalam suatu negara memerlukan sikap dan prilaku hidup demokratis masyarakatnya melalui pendidikan. Untuk itu diperlukan kerja keras dan waktu yang tidak sedikit. Oleh karena itu secara substantif berdimensi jangka panjang guna mewujudkan masyarakat yang demokratis maka pendidikan demokrasi mutlak diperlukan. Tujuannya adalah mempersiapakan warga masyarakat berprilaku dan bertindak demokratis melalui aktifitas menanamkan pada generasi muda pengetahuan, kesadaran, dan nilai – nilai demokrasi (Winarno, 2006:82-83). Selanjutnya untuk mewujudkan kehidupan yang lebih demokratis di Indonesia dimasa depan faktor yang harus diperhatikan adalah melakukan pembinaan nilai– nilai demokrasi kepada generasi muda. Dengan pembinaan ini diharapkan nilai– nilai demokrasi dapat difahami kemudian diamalkan / dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang pada akirnya nanti dapat membentuk individu yang benar – benar memiliki sikap demokratis.
5
Salah satu faktor penting yang perlu dicermati adalah sekolah atau lembaga pendidikan. Melalui proses belajar – mengajar, seorang guru / dosen dapat memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk mempraktekkan nilai – nilai demokrasi yang telah difahami. Peran ini terasa belum dioptimalkan karena dalam kenyataan yang terjadi lebih mengarah pada ranah kognitif dan cenderung belum menyentuh ranah afektif maupun psikomotor. Akibatnya sosialisasi nilai demokrasi melalui lembaga pendidikan belum berjalan dengan baik. Dampak lebih jauh adalah peserta didik akan menjadi individu yang hanya mengerti nilai demokrasi, namun, kurang melaksanakan nilai demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Mahasiswa merupakan salah satu komponen generasi muda harus terus dibina, dikembangkan sikap, dan prilaku demokratisnya pembinaan ini terasa amat mendesak untuk dilakukan mengingat banyaknya peristiwa yang menjadikan kurangnya menerapkan prinsip demokrasi dalam penyelesaikan masalah sehari – hari seperti tawuran, pemaksaan kehendak, dalam menghadapi masalah sosial, perbuatan anarkis dan sebagainya. Sebagaimana telah diketahui bahwa Dikwar merupakan pendidikan yang wajib diberikan pada semua jenjang pendidikan termasuk jenjang pendidikan tinggi (menurut Ps 37 UU No. 20 tahun 2003). Dikwar di Perguruan Tinggi diwujudkan dalam matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang sebelumnya bernama Kewiraan. Tujuan Dikwar ini pada dasarnya adalah bagaimana menjadikan warga negara yang baik (good citizen) yang mampu mendukung
6
bangsa dan negara. Dalam hal menjadikan warganegara yang baik tergantung dari pandangan hidup dan sistem politik negara. Bangsa Indonesia memiliki pengalaman yang cukup panjang dan kaya dalam upaya meng “Indonesiakan” warganya melalui serangkaian pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan. Pada era reformasi dan demokrasi sekarang ini tentunya dibutuhkan Dikwar yang bertujuan membentuk warga negara yang demokratis yaitu warganegara yang cerdas, berkedaulatan dan bertanggung jawab bagi kelangsungan negara Indonesia. Kiranya inilah kriteria warganegara yang baik untuk saat ini (Winarno, 2006 : V). Berdasarkan paparan tersebut di atas terlihat bahwa masalah sikap dan prilaku demokratis pada generasi muda dalam hal ini mahasiswa perguruan tinggi menarik untuk dicermati oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas hal ini secara lebih mendalam. Hal ini didasarkan karena sikap dan prilaku demokratis ini nantinya akan tercipta kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan
uraian
latar
belakang
diatas
maka
dapat
dirumuskan
permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana pelaksanaan
pendidikan kewarganegaraan pada 3
perguruan tinggi di Kota Mataram dalam konteks pembinaan kehidupan demokrasi ?
7
2. Faktor apa saja yang berpengaruh dalam pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan pada 3 perguruan tinggi di Kota Mataram dalam konteks pembinaan kehidupan demokrasi ? 3. Bagaimana makna Pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan dalam konteks pembinaan kehidupan demokrasi pada 3 Perguruan Tinggi di Kota Mataram ?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini pada dasarnya adalah untuk mencari jawaban dari permasalahan pokok yang diajukan dalam rumusan di atas yaitu mengkaji pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi dalam membina kehidupan demokratis. 1.3.1. Tujuan Umum Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mendiskripsikan pelaksanaan Dikwar pada Perguruan Tinggi di Mataram. 1.3.2. Tujuan Khusus Secara khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk dapat mengetahui mengidentifikasi pelaksanaan Dikwar pada 3 Perguruan Tinggi di Kota Mataram dalam membina kehidupan demokrasi. 2. Untuk dapat mengungkap faktor-faktor yang berpengaruh dalam pelaksanaan Dikwar di Perguruan Tinggi di Mataram. 3. Untuk dapat mengungkap makna pelaksanaan Dikwar pada 3 Perguruan Tinggi di Kota Mataram dalam konteks membina kehidupan demokrasi.
8
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis Secara akademik hasil penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan terhadap ilmu pengetahuan pada umumnya terutama bagi peneliti ilmu sosial dan pendidikan lain untuk mengkaji yang lebih mendalam. 1.4.2. Manfaat Praktis Hasil penelitian secara praktis sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan pembangunan di samping itu sebagai penggugah masyarakat untuk berdemokrasi dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Dalam kajian pustaka ini akan dibahas atau dikemukakan hasil kajian/ penelitian yang berkaitan dengan demokrasi maupun bahasan tentang demokrasi dalam literatur yang ada sepanjang pengetahuan penulis ada beberapa hasil penelitian atau bahasan. Teori tentang budaya dan demokrasi yang berkaitan dengan pendidikan atau kajian tentang demokrasi itu sendiri. Kajian atau tulisan– tulisan tersebut antara lain seperti yang diuraikan berikut ini: Tesis Arief Purnomo yang berjudul “Sikap Demokratis Siswa Sekolah Menengah Umum di Yogyakarta” (1999). Tesis ini membahas tentang membina dan pengembangan domokrasi di indonesia yang penekanannya ditekankan pada generasi muda dalam hal- hal ini pada siswa SMU di Yogyakarta, pada kaderkader masa depan bangsa, sikap demokrasi generasi muda harus benar – benar memiliki sikap demokratis sehingga harus selalu dibina dikembangkan. Oleh karenanya penelitian ini berusaha mendiskripsikan sikap demokratis siswa SMU dan faktor–faktor yang berpengaruh terhadap terwujudnya sikap demokratis tersebut. Baik dalam proses belajar mengajar maupun di luar sekolah penelitian ini mensimpulkan bahwa sikap demokratis siswa akan muncul dalam proses belajar mengajar di sekolah tergantung dari cara guru memposisikan siswa.
10
Kesimpulan lainnya adalah : bahwa dalam kasus pemilihan ketua OSIS tanpak adanya suatu upaya belajar bersikap demokrasi dari siswa. Selanjutnya sikap demokratis siswa di pengaruhi oleh banyak faktor yang saling berkaitan seperti guru, teman, orangtua, dan media masa unsur ini saling berinteraksi dalam pikiran siswa yang menghasilkan sikap demokratis. Hasil penelitian ini bermanfaat bagi sebagi perbandingan dan masukan yang pada dasarnya sama–sama mengambil obyek–subyek demokrasi. Perbedaan dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini membahas tentang bagaimana pelaksaan pendidkan demokrasi pada mata kuliah pendidikan kewarganegaraan (Dikwar) di perguruan tinggi. Selain hasil penelitian di atas ada lagi hasil penelitian Saiful Munjani berjudul “Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru” penelitian ini menemukan bahwa Islam didefinisikan sebagai dua satuan ibadah: sunah dan wajib. Jaringan keterlibatan kewargaan, identitas sosail islam dan orientasi politik islamis tidak memiliki hubungan negatif yang berarti dengan unsur – unsur demokrasi. Namun demikian adanya islamis yang intoleran bukanlah ancaman nyata terhadap stabilitas demokrasi karena kalangan islamis yang intoleran cenderung merupakan partisipan politik pasif bukan aktif. Tidak ada kaitan antara islamisme yang intoleran dengan aktifitas protes yang berpotensi menjadi faktor yang mendestabilisasi sistem demokrasi. Sebaliknya hampir semua unsur Islam mempunyai hubungan yang positif dan signifikan dengan keterlibatan kewargaan yang bersifat sekuler, dengan keterlibatan politik dan partisipasi politik. Oleh karena itu islam mendorong warga
11
negara muslim terlibat aktif dalam politik dan aktifitas ini sejalan dengan sistem demokrasi secara keseluruhan. Mereka yang berpartisipasi inilah dan kemudian disebut sebagai : kaum “muslim demokrat”. Hasil penelitian ini juga bermanfaat untuk menambah hasanah pengetahuan tentang demokrasi di indonesai di samping pendamping sebagai pembanding dalam membahas penelitian ini. Hasil penelitian lain yang mirip dengan penelitian ini adalah Tesis dari “Nor ‘Anida Fateraniah berjudul “Nasionalisme Dalam Pembelajaran IPS Sejarah SLTP Negeri 8 Yogyakarta”. Penelitian ini menangkap upaya penanaman nasionalisme melalui pembelajaran IPS sejarah. Selain itu mengungkap faktor pendorong dan penghambat dalam upaya penanaman nasionalisme pada siswa serta sikap siswa dalam upaya penanaman sikap nasionalisme dalam pembelajaran IPS sejarah penelitian ini memenyimpulkan antara lain: dalam proses pembelajaran guru belum secara optimal menerapkan metode dan penggunaan media yang berakibat pada kurang menariknya pembelajaran IPS sejarah. Sedangkan faktor pendorong penanaman nasionalisme adalah kompentensi personal sosial guru, lingkungan, dan mata pelajaran lain seperti PPKn. Sementara faktor penghambatnya adalah penerapan metode dan media yang belum optimal juga sikap siswa terhadap mata pelajaran IPS sejarah tersebut yang bukan menjadi makna tapi masih bersifat menghafal. Hasil penelitian ini juga penulis gunakan sebagai pembanding dalam menguraikan pelaksanaan Dikwar di perguruan tinggi. Lain lagi dengan bahasan tentang demokrasi yang ditulis oleh Afan Gaffar dalam bukunya yang berjudul Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi (2004). Buku ini membahas tentang demokrasi di Indonesia. Apakah yang
12
dimaksud dengan demokrasi memahami makna demokrasi dengan mudah kita melawankannya dengan istilah otoritaritarianisme totaliterisme, tirani dan despotisme. Demokrasi memberi penghargaan yang tinggi kepada rakyat, memberi peluang pada rakyat untuk berperan dalam diskursus pembuatan kebijakan politik. Rakyat adalah kunci bagi demokrasi sedangkan istilah lain yang dilawankannya dengannya menempatkan penguasa pada tempat utama. Namun sebenarnya demokrasi tidak sesederhana itu. Demokrasi harus dipahami dari dua dimensi yaitu dimensi normatif dan empirik. Pada dimensi normatif dijelaskan apa yang sebenarnya secara ideal dari demokrasi. Sedangkan pada demokrasi empirik, demokrasi membahas apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan politik suatu negara, bagaimana bentuk normatif ideal tersebut diwujudkan dalam kehidupan politik senyatanya sehari-hari. Seperti yang diwujudkan dalam Pemilu yang bebas dan persaingan antar parpol berjalan dengan wajar, memberi peluang bagi semua warga negara untuk menduduki jabatan politik, memberikan kebebasan berbicara, berkumpul, menikmati hak dasarnya sebagai manusia dan lain-lain. Akhirnya demokrasi diwujudkan dalam kehidupan di mana rakyat bebas dari rasa takut. Selanjutnya menguraikan tentang budaya politik bahwa nilai-nilai universal dan normatif yang terkandung dalam demokrasi dalam implementasinya akan berhadapan dengan nilai-nilai lokal. Oleh karena itu dalam perwujudannya yang menyangkut style demokrasi dapat saja berbeda antara negara satu dengan yang lainnya namun substansinya tetap sama. Dalam bab lain diuraikan tentang kilas balik perjalanan demokrasi Indonesia dari kemerdekaan sampai orde baru
13
kemudian menguraikan demokrasi dan masyarakat madani. Pada bab terakhir memperlihatkan sebuah pesimisme tentang demokrasi Indonesia dan mencoba mengajukan sebuah model alternatif yang diberi istilah “demokrasi yang tidak wajar” adalah sebuah model yang diterapkan di negara-negara Skandinavia dan Amerika Latin. Model demokrasi ini tetap merupakan demokrasi hanya saja tidak sempurna karena kondisi sosial ekonomi belum menopang. Ketidakwajarannya adalah menyangkut kemungkinan rotasi kekuasaan yang sangat terbatas tapi dimensi-dimensi lain dari demokrasi dapat diwujudkan. Bagaimana pun juga perkembangan demokrasi selanjutnya sangat tergantung pada dinamika sosial yang ada dalam masyarakat. Model ini bukan sesuatu yang final tapi masih bersifat transisional. Berkaitan dengan praktik demokrasi di Indonesia Maswadi Rauf dalam kata pengantarnya “Kemajuan Masyarakat dan Demokratisasi” pada buku Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru oleh Eep Saefullah Fatah (2000) mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan berdampak pada demokratisasi. Pembangunan nasional Indonesia telah meletakkan dasar yang kuat bagi kemajuan bangsa
Indonesia.
Akibatnya
pembangunan
masyarakat
Indonesia
juga
menyaksikan banyaknya warga negara yang “melek huruf” sehingga akan memperluas pengetahuan dan cakrawala
berpikirnya.
Dengan demikian
masyarakat cenderung semakin vokal dalam menyampaikan tuntutan mereka (2000:xv-xvi). Perkembangan komtemporer telah menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai kedudukan yang amat kuat dalam berhadapan dengan pemerintah
14
sehingga protes masyarakat semakin tidak bisa diabaikan oleh pejabat pemerintah. Penyelesaian kompromis yang menampung aspirasi rakyat adalah cara terbaik dalam mencari solusinya. Dengan demikian dapat dikatakan satu-satunya cara untuk mengatasi dampak politik dari kemajuan masyarakat Indonesia adalah demokratisasi yakni menerapkan kaidah-kaidah demokrasi dalam setiap kegiatan politik dan lain-lain. Tujuannya adalah terbentuknya kehidupan politik yang bercirikan demokrasi sehingga demokrasi sangat perlu dikembangkan di Indonesia dalam hal ini pengembangan sikap dan perilaku pemerintah serta masyarakat yang lebih luas (2000:xvii-xix). Untuk mengembangkan dan membina sikap dan perilaku demokratis tersebut salah satu caranya adalah melalui jalur pendidikan. Zamroni dalam bukunya berjudul Pendidikan dan Demokrasi dalam Transisi membahas tentang Nilai-Nilai Demokrasi dan Pendidikan berkaitan dengan globalisasi. Buku tersebut diawali dengan membahas apa dan mengapa masyarakat informasi yaitu suatu bentuk baru masyarakat yang melahirkan nilai-nilai, sikap dan perilaku baru masyarakat. Kemudian diikuti pembahasan masalah kultur yang diyakini memiliki dampak yang besar terhadap kehidupan masyarakat dengan segala sistem yang menyertainya. Berikutnya membahas posisi pendidikan dan demokrasi pada masa kini yang merupakan masa transisi dari suatu bentuk dan sistem pemerintahan otoriter menuju sistem demokrasi yang liberal dalam waktu yang relatif singkat. Pendidikan tidak bisa terlepas dari sistem dan pemerintahan yang ada. Dalam kaitan dengan demokrasi maka pemahaman pendidikan
15
pluralitas amat penting. Untuk itu perlu pengkajian ulang pendidikan khususnya pendidikan demokrasi. Bagaimana demokrasi diharapkan akan dapat mengantarkan masyarakat menuju masyarakat madani. Bagaimana upaya menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk mempercepat proses mewujudkan masyarakat madani, masyarakat sipil pada rekayasa proses pendidikan menjadi piranti mempercepat terwujudnya masyarakat
madani
tersebut
peran
civic
education
atau
pendidikan
kewarganegaraan menjadi sangat penting. Secara lebih khusus pendidikan kewarganegaraan dirancang dengan globalisasi pada tingkat perguruan tinggi. Untuk dapat memahami pokok masalah dalam penelitian ini perlu dijelaskan beberapa konsep yang digunakan yaitu :
2.2. Konsep 2.2.1 Pendidikan Kewarganegaraan (Dikwar) Berbicara
tentang
Pendidikan
Kewarganegaraan
(Pendidikan
Kewarganegaraan) bukanlah merupakan sesuatu yang asing atau baru. Pendidikan Kewarganegaraan sebenarnya telah dilakukan dan dikembangkan di setiap negara di seluruh dunia. Mata kuliah tersebut dinamakan atau diberi istilah dengan bermacam-macam di dunia, seperti Civic Education, Citizenship Education, dan bahkan ada yang menyebut dengan Democracy Education. Mata kuliah ini memiliki peran yang strategis dalam mempersiapkan warga negara yang cerdas, bertanggung jawab, dan berkadaban. Berdasarkan rumusan “Civic International” (1995) disepakati bahwa pendidikan demokrasi penting untuk pertumbuhan Civic
16
Culture, untuk keberhasilan pengembangan dan pemeliharaan pemerintahan demokrasi (Mansoer, 2006). Dikwar merupakan salah satu komponen dari kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian (MKPK) yang wajib diberikan pada seluruh pada seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Komponen lain dalam kelompok MKPK adalah pendidikan pancasila dan pendidikan agama. Dikwar menitikberatkan pada kemampuan penalaran ilmiah yang kognitif
dan afektif serta menumbuhkan
kesadaran berbangsa dan bernegara secara rasional dan untuk meyakini kebenaran serta ketetapatan konsepsi bela negara dalam aplikasi pandangan hidup bangsa (Noor MS Bachry, 2004: iii). Secara
bahasa
istilah
Civic
Education
oleh
sebahagian
pakar
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewargaan dan Pendidikan Kewarganegaraan. Bagi Azyuimardi Azra dan tim ICCE (Indonesian Centre of Civic Education) menyebutnya dengan istilah Pendidikan Kewargaan. Sedangkan menurut pakr yang lain seperti Zamroni, M. Nu’man Soemantri, Marphin Panjaitan, TIM CICEO (Centre for Indonesian Civic Education), Soedijarto, dll, menyebutkan dengan istilah Pendidikan Kewarganegaraan. Menurut UU no. 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas pada pasal 39(2) dinyatakan bahwa setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Materi pokok Pendidikan Kewarganegaraan adalah hubungan antara warga negara dengan negara serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN). Di Perguruan Tinggi
Pendidikan Kewarganegaraan ini dikenal dengan nama Pendidikan
17
Kewiraan (Dikwir) yang lebih menekankan pada aspek (PPBN). Pada tahun 2000, diadakan penyempurnaan kurikulum nasional dimana materi Pendidikan Kewiraan di samping membahas materi PPBN juga ditambah dengan pembahasan materi tentang hubungan antara warga negara dengan negara. Sebutan Dikwir kemudian
diganti
dengan
Pendidikan
kewarganegaraan
(Pendidikan
Kewarganegaraan). Kemudian menurut SK Dirjen Dikti No. 267/Dikti/2000, mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan serta PPBN merupakan salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dari kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) dalam suasana kurikulum inti perguruan tinggi di Indonesia. Dari paparan di atas dapat ditarik suatu pengertian bahwa pendidikan kewarganegaraan pada hakikatnya adalah merupakan mata kuliah (studi) tentang hubungan antara warga negara dengan negara dan sesama warga negara, sebagai bekal mahasiswa/peserta didik menjadi warga negara yang baik atau handal. Sebagai bidang studi ilmiah pendidikan kewarganegaraan bersifat inter disipliner (antar bidang) bukan mono disipliner karena dalam Pendidikan Kewarganegaraan dibangun dari kumpulan pengetahuan yang di ambil dari berbagai disiplin ilmu, oleh karena itu upaya pembahasan dan pengembangannya memerlukan sumbangan dari berbagai disiplin ilmu yang meliputi ilmu politik, ilmu hukum, ilmu filsafat, ilmu sosiologi, ilmu ekonomi pembangunan, ilmu administrasi negara, ilmu sejarah bangsa dan ilmu budaya. (H. Kaelan: 2007:4) Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan pada dasarnya adalah bagaimana menjadikan warga negara yang baik yang mampu mendukung bangsa dan negara.
18
Dengan
kata
lain
bagaimana
pendidikan
kewarganegaraan
dalam
“mewarganegarakan” individu atau orang-orang yang hidup dalam suatu negara. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
menurut SK DIRJEN DIKTI
no.207/DIKTI/KEP/2000 mencakup: Tujuan utama, Tujuan ilmu dan khusus. Tujuan Utamanya adalah : untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara serta membentuk sikap dan prilaku cita tanah air yang bersendikan budaya bangsa. Sedangkan secara ilmu Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada mahasiswa mengenai hubungan yang berkenaan dengan hubungan antara warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara (PPBN) sebagai bekal menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara Republik Indonesia. Kemudian secara khusus Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan untuk : 1. Agar mahasiswa paham dan mampu melaksanakan hak dan kewajiban secara jujur, santun dan aktratis serta ikhlas. Sebagai warga negara Indonesia yang terdidik dan bertanggung jawabpada bangsa dan negara RI; 2. Agar mahasiswa dapat memahami dan menguasai beragam masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis dan bertanggung jawab berdasarkan pancasila
ketahanan
nasional
(Tannas)
dan
wawasan
nusantara
(Wasantara); 3. Agar mahasiswa memiliki sikap dan prilaku sesuai engan nilai-nilai perjuangan, cinta tanah air, serta rela berkorban bagi nusa, bangsa dan negara.
19
Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan seperti tersebut di atas diperbaharui lagi menurut SK DIRJEN DIKTI no.43/DIKTI/Kep/2006. tentang rambu-rambu pelaksanaan kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian di perguruan tinggi. Hal ini dirumuskan dalam visi dan misi Pendidikan Kewarganegaraan. Visi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi adalah merupakan sumber nilai dan pedoman penyelenggaraan dan pengembangan program studi guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya. Hal ini berdasarkan pada suatu realitas yang harus dihadapi bahwa mahasiswa adalah sebagai generasi bangsa yang harus memiliki visi intelektual, religius, berkeadaban, berkemanusiaan, dan cinta tanah air dan bangsanya, sedangkan Misi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi adalah membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar pancasila, rasa kebangsaan dan cinta tanah air dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni (IPTEKS) dengan rasa tanggung jawab dan bermoral (Kaelan:2007:2) Sebagai mata kuliah yang nomerklaturnya didahului dengan kata “pendidikan”, maka Pendidikan Kewarganegaraan senantiasa mementingkan terbentuknya sikap dan atau prilaku. Sehingga fokus utama penerapan tujuan pembelajarannya adalah pada dimensi afektif dan atau psikomotor. Oleh karena itu Pendidikan Kewarganegaraan secara umum hendak mengembangkan/membina mahasiswa menjadi warga negara Indonesia yang baik dengan tidak meninggalkan aspek akademik sebagai kajian yanag besifat ilmiah.
20
Sejalan dengan pengembangan dan penerapan kurikulum yang berbasis kompetensi di perguruan tinggi, maka mahasiswa juga harus memiliki tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor dengan mempertimbangkan ciri khusus dalam Pendidikan Kewarganegaraan lulusan yang telah menempuh mata kuliah ini diharapkan memiliki kompetensi: 1) CIVIC KNOWLEDGE, yaitu kompetensi yang berkaitan dengan pengetahuan yang berhubungan dengan keilmuan kewarganegaraan, seperti teori tentang negara, terbentuknya masyarakat, identitas nasional, demokrasi, HAM, dan lain sebagainya 2) CIVIC SKILL, yaitu kompetensi yang menyangkut kemampuan atau keterampilan untuk memasuki masyarakat selaku warga negara yang baik seperti keikutsertaannya dalam kegiatan kemasyarakatan baik secara intelektual atau prilaku (behaviour) 3) CIVIC DISPOSITION, yaitu
terbentuknya watak mahasiswa yang
bersumber pada kepribadian bangsa atau jati diri bangsa (Majelis Dikti Litbang PP Muhamadiyah 2005:4) Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan yang berhasil adalah akan membuahkan sikap mental yang cerdas penuh tanggung jawab dari peserta didik dengan sikap dan prilaku yang bertaqwa kepda Tuhan Yang Maha Esa, menghayati nilai falsafah bangsa, berbudi luhur, berdisiplin, nasional, dinamis, sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara, profesional, sadar untuk bela negara, serta cinta tanah air dalam melaksanakan profesi masing-masing. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam
21
mengisi kemerdekaan dan menghadapi pengaruh global, setiap warga negara RI pada umumnya dan mahsiswa sebagai calon sarjana/ilmuwan pada khususnya harus tetap pada jati dirinya yang berjiwa patriotik dan cinta tanah air. Dalam perjuangan non fisik mahasiswa harus tetap memegang teguh nilai-nilai tersebut di atas pada senua aspek kehidupan. Dalam tesis ini akan meneliti bagaimana pelaksanaan Dikwar pada perguruan tinggi di Mataram. Pelaksanaan yang dimaksud adalah segala hal yang terkait dengan Dikwar seperti kebijakan, dosen, mahasiswa, materi kuliah, dan fasilitas pendukung yang lainnya.
2.2.2 Demokrasi Konsep demokrasi lahir dari tradisi pemikiran bangsa Yunani sekitar abad ke-4 SM negara dan hukum. Demokrasi adalah suatu bentuk kekuasaan rakyat. Berdasarkan konsep ini kekuasaan menyiratkan tentang makna politik dan pemerintahan dan rakyat atau warga masyarakat diartikan sebagiai warganegara. Demokrasi yang dipraktekkan pada masa itu adalah demokrasi langsung artinya hak
rakuntuk membuat keputusan politik dijalankan secara Langsung tanpa
perwakilan oleh sewluruh rakyat atau warga negara. Hal ini dapat dilakukan karena Yunani pada waktu itu berupa Negara Kota (Polis) yang penduduknya relatif sedikit atau terbatas pada sebuah kota dan sekitarnya. Kata Demokrasi dari segi pengertiannya dapat ditinjau dari dua pengertian yaitu pengertian secara etimologis dan secara terminologis. Bila ditinjau dari segi etimologis maka kata demokrasi ini berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari
22
dua kata yaitu ”demos” berarti rakyat dan ”cratos” berarti kekuasaan atau pemerintahan . Jadi bila digabung kedua kata ”demos + \cratos” menjadi ”demokrasi” yang memiliki arti pemerintahan rakyat atau kekuasaan rakyat dan selanjutnya dimaknai Sistim Pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Sedangkan pengertian demokrasi secara terminologi banyak sekali pengertian atau definisi yang dikemukakan oleh para ahli politik. Masing-masing ahli memberikan pengertian/atau definisi dari sudut pandang yang berbeda. Berikut ini beberapa definisi tentang demokrasi: 1) Henry B. Mayo Demokrasi sebagai sistem politik merupakan suatu sistem yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihanpemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik . 2) C. F. Strong Suatu sistem pemerintahan dalam mana mayoritas anggota dewasa dari masyarakat politik ikut serta atas dasar sistem perwakilan yang menjamin bahwa pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan kepada mayoritas itu. 3) Samuel Hatington Sistem politik sebagai demokratis sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalamsistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala dan didalam sistenm itu para calon bebas bersaing
23
untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara. 4) Sidney Hook Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimama keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. 5) Philippe C.Schmitter Demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana
pemerintah
dimintai tanggungjawab atas tindakan –tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjaa dengan para wakil mereka yang telah terpilih. 6) Harris Soche Demokrasi adalah bentuk pemerintahan rakyat, karena itu kekuasaan pemerintahan itu melekat pada diri rakyat, diri orang banyak dan merupakan hak bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur, mempertahankan dan melindungi dirinya dari paksaan dan pemerkosaan orang lain atau badan yang diserahi untuk memerintah. 7) Abraham Lincoln (1863) Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Democracy is government from the people , by the people and for the people ).
24
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa hakekat demokrasi adalah peran utama rakyat dalam proses sosial politik Dalam demokrasi bkekuasaan pemerintahan di negara itu berada di tangan rakyat. Rakyat adalah pemegang kekuasan tertinggi di Negara tersebut. Jadi pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagi pemegangkekuasaan tertnggi disebut pemerintahan yang demokratis. Pengertian demokrasi yang paling popular adalah pengertian yang dikemukakan oleh mantan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln tahun 1863 yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemerinthan dari rakyat berate pemerintahannegara yang bersangkutan mendapat mandate dari rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan. Sedangkan pemerintahan oleh rakyat berarti pemerintahan Negara yang bersangkutan dijalankan oleh rakyat. Kemudian pemerintahan untuk rakyat berarti pemerintahan menghasilkan dan menjalankan kebijakan–kebijakan yang diarahkan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Dalam
penelitian
ini
akan
membahas
bagaimana
Pendidikan
Kewarganegaraan dilaksanakan dalam konteks pembinaan kehidupan demokrasi pada Perguruan Tinggi di Mataram.
Demokrasi menurut UUD 1945 Sejak disahkannya UUD 1945 maka sistem demokrasi yang dianut atau dijalankan di Indonesia adalah demokrasi berdasarkan UUD 1945 yang bersumber
25
pada nilai ideologi bangsa yaitu Pancasila. Sehingga demokrasi Indonesia dikenal dengan istilah Demokrasi Pancasila. Nilai-nilai demokrasi yang terjabar dari nilai-nilai Pancasila dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut : a.
Kedaulatan Rakyat Hal ini didasarkan Pembukaan UUD 1945 alinea IV yaitu ”............ yang terbentuk dalam Susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat ..........” Kedaulatan rakyat adalah merupakan substansi demokrasi.
b.
Republik Negara Indonesia adalah negara yang bentuk pemerintahannya Republik yang berarti negara untuk kepentingan umum dan rakyat. Hal ini didasarkan pada Pembukaan UUD 1945 alinea IV yaitu ”.............yang terbentuk dalam Suatu Susunan Negara Republik Indonesia.
c.
Negara berdasarkan Hukum Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat 3 ”Negara Indonesia adalah negara hukum” Negara hukum Indonesia menganut hukum dalam arti luas atau material yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (Pembukaan UUD 1945 alinea IV).
26
d.
Pemerintahan berdasarkan Konstitusi Hal ini berdasarkan kalimat ”............. maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, ..............” UUD adalah konstitusi negara.
e.
Sistem Pemerintahan Rakyat Hal ini berdasarkan sila ke empat Pancasila : ”Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan.
f.
Prinsip Musyawarah Berdasarkan sila ke empat Pancasila : ”Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dan Permusyawaratan/Perwakilan
g.
Prinsip Ketuhanan/Religius Bahwa
demokrasi
yang
dijalankan
harus
dapat
dipertanggungjawabkan di samping secara reel kepada rakyat dan juga secara moral kepada Tuhan.
2.2.3 Pembinaan Kehidupan Demokrasi Menurut pengamatan dan telaah para pakar politik dan negara paling tidak ada dua alasan mengapa kajian tentang demokrasi itu amat penting artinya bila dihubungkan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Alsan
27
pertama adalah bahwa hampir semua negra di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai azas fondamental dalam kehidupan bernegara. Hal ini ditunjukan dari hasil studi UNESCO pada awal tahun 1950an yang mengumpulkan lebih dari 100 sarjana Barat dan Timur. Sementara di negaranegara demokrasi itu pemberian peranan pada negara dan masyarakat hidup dalam porsi yang berbeda-beda walaupun sama-sama berazas demokrasi. Alasan kedua , demok rasi sebagi azas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai sebagai organisasi tertingginya tetapi ternyata demokrasi berjalan dalam jalur yang berbeda-beda (Amin Rais, 1995:1). Dengan alasan tersebut dapat dikatakan bahwa asas demokrasi hampir sepenuhnya disepakati sebagi model terbaik bagi dsar penyelenggaraan suatu negara walaupun secara riil dalam penyelenggaraannya diberbagai negara memberikan implikasi yang berbeda-beda. Penerapan Demokrasi dalam sistem pemerintahan suatu negara yang berbeda –beda akan melahirkan sistem berbeda-beda pula seperti:( 1 ). Sistem
Presidensial yang mensejajarkan antara parlemen dan prsiden dengsn
memberi dua kedudukan kepada presiden yakni sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan. ( 2 ). Sistem Parlementer yang meletakkan pemerintahan dipimpin oleh Perdana Menteri yang hanya berkedudukan sebagai kepala poemerintahan , dan bukan sebagai kepala negara.Sedangkan kepala negaranya bisa diduduki oleh seorang raja/(/ratu ) atau presiden yang hanya sebagai simbol kedaultan dan persatuan negara. ( 3 ) Sistem
Referandum yang meletakkan
pemerintah sebagai bagian (badan pekerja) dari parlemen, dibeberapa negara ada
28
yang menggunakan sistem campuran antara sistem presidensial dengan sistem parlemen (Kaelan; 2007: 54 ). Pada masa-masa awal perkembangan demokrasi difahami sebagai salah satu bentuk pemerintahan. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan pemikiran umat manusia serta perkembangan ilmu dan teknologi demokrasi difahami lebih luas lagi. Sekarang demokrasi bukan saja sebagai bentuk pemerintahan tetapi sebagai sistem politik bahkan sebagai sistem ekonomi. Pada masa sekarang tidak semata difahami sebagai suatu bentuk pemerintahan akan tetapi sebagai sistem politik pengertiannya lebih luas dari bentuk pemerintahan. Bahkan luas lagi sampai pada sistem ekonomi. Menurut Samuel Huntington (2001 : 30). Sistem politik yang demokratis adalah dimana pembuat keputusan kolektif yang paling kuat adalah yang dipilih melalui Pemilu yang adil dan jujur dan berkala yang para calonnya bebas bersaing untuk memperoleh suara dari rakyat yang berhak memberikan suara. Sistem politik demokrasi tidak datang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Namun membutuhkan usaha nyata dari setiap warga negara maupun penyelenggara negara dalam bentuk prilaku yang demokratis. Untuk itu diperlukan pendidikan tentang demokrasi yang sungguh-sungguh. Demokrasi yang telah menjadi prinsip dalam pemerintahan dan sistem pemerintahan Indonesia sangat penting dibina agar memasyarakat pada warga negara Indonesia melalui pendidikan. Hal ini sesuai pula dengan pendapat Prof. Zamroni, PhD yang menyatakan bahwa upaya membangun masyarakat yang demokratis harus diiringi dengan membangun struktur sosial politik dan kultur
29
yang demokratis. Untuk itu pendidikan kiranya merupakan suatu instrumen untuk membangun kultur demokrasi dan Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi merupakan salah satu bentuk untuk itu. (Asykuri Ibnu Chanim, 2003. VII). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa demokrasi tidak hanya memerlukan institusi, hukum aturan ataupun lembaga-lembaga negara yang lain. Demokrasi sejati memerlukan sikap dan prilaku hidup dari masyarakat pendukungnya. Oleh karenanya pendidikan merupakan bagian yang penting dalam membina warga negara yang demokratis. Untuk dapat berkembang dan berjalannya demokrasi pada suatu negara tidak hanya memerlukan institusi, hukum, aturan ataupun lembaga negara. Demokrasi sejati memerlukan sikap dan prilaku masyarakatnya di samping lembaganya. Tersedianya kondisi seperti ini membutuhkan waktu yang lama, berat dan sulit. Oleh karena itu secara substantif berdimensi jangka panjang guna mewujudkan masyarakat atau kehidupan demokratis pendidikan demokrasi mutlak diperlukan. Karena pendidikan demokrasi pada hakekatnya merupakan pengenalan dan mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi agar dapat diterima dan dijalankan serta dapat ditegakkan dalam kehidupan berbangsa bermasyarakat dan bernegara oleh warga negara. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pendidikan demokrasi bertujuan mempersiapkan warga masyarakat berprilaku dan bertindak demokratis melalui penanaman pengetahuan, kesadaran untuk dapat melaksanakan nilai-nilai demokrasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Zamroni (2001 : 165) menyatakan bahwa pengetahuan dan kesadaran akan nilai-nilai demokrasi itu meliputi tiga hal
30
yaitu : (1) kesadaran bahwa demokrasi adalah pola kehidupan yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat itu sendiri dan merupakan pilihan terbaik tentang pola hidup bernegara ; (2) demokrasi adalah merupakan sebuah learning proses yang lama dan tidak sekedar meniru dari masyarakat lain ; (3) kelangsungan demokrasi tergantung pada keberhasilan mentranspormasikan nilai– nilai demokrasi pada masyarakat.
2.2.4 Perguruan Tinggi di Mataram Yang dimaksud perguruan tinggi di sini adalah lembaga yang sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang SisDiknas pada bagian keempat khususnya pasal 19 (1), 20 (1) yaitu bahwa perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan tinggi yang merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis dan doktor. Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas. Perguruan tinggi dalam penelitian ini merupakan tempat atau lokasi penelitian yang ada di kota Mataram. Perguruan tinggi di kota Mataram ada yang berstatus negeri dan swasta. Dikwar diberikan pada semua perguruan tinggi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
31
2.2.5 Kajian Budaya Kajian Budaya menurut Chris Barker (2005, 45) adalah bidang yang majemuk berisi berbagai perspektif yang saling bersaing melalui produksi teori, berusaha mengintervensi politik kebudayaan. Kajian Budaya mempelajari kebudayaan sebagai praktik pemaknaan dalam konteks kekuasaan sosial. Kajian Budaya dengan metode eklektis menegaskan posisionalitas semua pengetahuan termasuk dirinya sendiri. Ide kunci dalam Kajian Budaya adalah budaya praktek pemaknaan representasi wacana kekuasaan artikulasi teks pembaca dan konsumsi. Kajian Budaya adalah bidang penyelidikan inter displiner yang mempelajari produksi dan penanaman peta-peta makna. Kajian Budaya juga merupakan projek yang menarik dan cair yang menunjukkan pada kita tentang dunia yang sedang berubah dengan harapan kita dapat memperbaikinya. Selanjutnya Bennet (Chris Barker: 2005, 8-9) menawarkan elemen dari definisi kajian budaya yaitu (1) kajian budaya adalah bidang inter disipliner yang secara selektif mengadopsi beberapa perspektif dari berbagai disiplin lain untuk meneliti hubungan antara kebudayaan dan politik; (2) kajian budaya tertarik pada segala macam praktik lembaga dan sistem klasifikasi yang memungkinkan ditanamkannya nilai keyakinan kompetensi rutinitas hidup dan bentuk-bentuk perilaku khas yang menjadi kebiasaan pada suatu populasi; (3) kajian budaya mengekplorasi berbagai macam bentuk kekuasaan termasuk gender, klas, kolonialisme dan lain-lain; (4) kajian budaya mempelajari bentuk kekuasaan saling berhubungan mengembangkan cara-cara untuk memahami budaya dan kekuasaan yang digunakan oleh mereka yang menjadi agen dalam upaya
32
melakukan perubahan; (5) wilayah institusional kajian budaya adalah lembaga pendidikan tinggi dalam hal ini kajian budaya punya kesamaan dengan bidangbidang disiplin akademik lain; (6) kajian budaya berusaha menjalin koneksi di luar wilayah akademik dengan gerakan sosial politik, para pekerja di lembagalembaga kebudayaan serta manajemen kebudayaan. Berdasarkan definisi dan konsep tersebut di atas maka kajian budaya adalah bidang yang sangat majemuk dan bersifat multidisipliner dalam memberikan makna dan pemaknaan terhadap perkembangan iptek. Kajian budaya yang dimaksud dalam konsep ini adalah pelaksanaan pendidikan demokrasi dalam mata kuliah Dikwar yang berorientasi pada nilai-nilai dan norma lokal yang dapat dikembangkan ke dalam disiplin ilmu. Dengan demikian pembelajaran demokrasi pada pelaksanaan Dikwar dapat didekatkan pada mata kuliah lainnya. Potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal untuk dikembangkan dan diajarkan pada mahasiswa merupakan bidang kajian budaya. Hal ini disebabkan bahwa kajian budaya berusaha menggali, membela dan melestarikan nilai-nilai budaya dan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut dikembangkan ke dalam bentuk pendidikan demokrasi pada pelaksanaan Dikwar di perguruan tinggi dalam perspektif kajian budaya.
2.3. Landasan Teori Dalam upaya membahas masalah yang diajukan dalam penelitian ini digunakan beberapa teori sebagai pijakan teoritis.
33
2.3.1 Teori Dekonstruksi Teori dekonstruksi menurut Derrida adalah sebuah makna yang mengalami penambahan, pergantian, dan memiliki potensi untuk terus mengalami perubahan secara terbatas dan juga beroperasinya kekuasaan dalam praktek sosial. Menurut Agger (2003) dalam bukunya Teori Sosial Kritis mengatakan bahwa teori dekonstruksi merupakan teori yang membedakan keadaan masa lalu dengan masa kini melalui suatu peristiwa yang ditandai dengan adanya dominasi, ekploitasi, dan dekonstruksi terhadap gejala yang telah, sedang, maupun yang akan terjadi. Teori ini dipakai untuk membahas pelaksanaan pendidikan demokrasi pada Dikwar di perguruan tinggi dalam hal ini akan melihat keberadaan sarana prasarana kurikulum tenaga pengajar dan kebijakan dalam pelaksanaan Dikwar. Terkait dengan pelaksanaan pembelajaran Dikwar pada perguruan tinggi tampaknya kebijakan pemerintah mendominasi. Selain itu inovasi yang dilakukan pendidik sangat minim. Hal ini disebabkan oleh kebijakan yang sentralistik dan tidak boleh keluar dari rambu-rambu yang ditetapkan.
2.3.2. Teori Sosial Multikultural Teori ini dikemukakan oleh Ritzer dan Rogers yang memiliki tipologi sebagai berikut bahwa teori ini (1) menolak universalistik yang cenderung membela yang kuat; (2) Teori ini bebas nilai; (3) bersifat terbuka; (4) membela yang lemah; (4) tak membedakan narasi; (6) bersifat kritis ; (7) mengakui bahwa
34
karya mereka dibatasi oleh sejarah tertentu baik dalam konteks kultur maupun sosial tertentu. Teori ini digunakan untuk membedah masalah yang berpengaruh terhadap pelaksanaan Dikwar. Pelaksanaan Dikwar dipengaruhi oleh beberapa aspek antara lain aspek ekonomi, politik, hukum, sosial budaya. Terlebih saat ini otonomi daerah dalam pendidikan dapat juga berpengaruh dalam pelaksanaan Dikwar. 2.3.3. Teori Komunikasi Komunikasi adalah suatu kebutuhan yang sangat fundamental bagi seseorang
dalam
hidup
bermasyarakat.
Hal
yang mendorong
manusia
berkomunikasi dengan manusia lain adalah kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sementara menurut Harold D Lasswell menyebutkan ada tiga fungsi dasar perlunya manusia berkomunikasi yaitu : (1) Hasrat manusia untuk mengontrol lingkungannya. Melalui komunikasi manusia dapat mengetahui peluang yang ada untuk dimanfaatkan, dipelihara atau dihindarkan di sekitar lingkungannya;
(2)
Upaya
manusia
untuk
dapat
beradaptasi
dengan
lingkungannya dan (3) Upaya untuk melakukan transpormasi warisan sosialisai (Cangara, 2005 : 2). Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa komunikasi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia baik sebagai individu maupun masyarakat. Komunikasi diperlukan untuk mengatur tatakrama pergaulan antar manusia. Dalam penelitian ini teori komunikasi digunakan untuk menganalisis semua elemen pelaku dan bentuk komunikasi serta proses yang terjadi dalam
35
pengajaran Dikwar (Demokrasi) pada perguruan tinggi di Mataram. Elemenelemen tersebut berupa kurikulum yang meliputi jenis, materi, target dan fasilitas belajar mengajar seperti, buku, perpustakaan, Lab. dsb. Pelaku komunikasi mencakup dosen, mahasiswa, pejabat perguruan tinggi dalam kompetensinya masing-masing. Selanjutnya, yang terkait dengan proses dan efek komunikasi yang terjadi dalam pengajarn Dikwar, seperti proses belajar mengajar, materi pelajaran, metode dan sistem evaluasi, target dan penggunaan fasilitas belajar mengajar.
36
2.4. Model Penelitian Gambar 1 :
UUD 1945
Sistem Pendidikan Nasional
EKSTERN
INTERN -
Kurikulum Sarana Dosen
Pelaksanaan Dikwar pada 3 PT di Kota Mataram
Pelaksanaan Dikwar pada 3 Perguruan Tinggi di Mataram
Faktor yang mempengaruhi Pelaksanaan Dikwar pada 3 PT di Kota Mataram
-
Globalisasi Ideologi Politik Sosial Budaya
Makna Pelaksanaan Dikwar dalam Konteks Pembinaan kehidupan demokrasi pada 3 PT di Kota Mataram
37
Keterangan Model Penelitian : Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) adalah merupakan penjabaran Pasal 31 UUD 1945. Pada pasal 37 ayat 3 UUSPN dinyatakan bahwa kurikulum pendidikan
tinggi
wajib
memuat
Pendidikan
Agama,
Pendidikan
Kewarganegaraan dan Bahasa. Salah satu implementasi UU no. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah penyelenggaraan Pendidikan Kewarganegaraan (Dikwar) pada perguruan tinggi termasuk perguruan tinggi yang berada di Kota
Mataram.
Dalam
pelaksanaan/penyelenggaraan
Pendidikan
Kewarganegaraan dipengaruhi oleh faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor yang mempengaruhi berasal dari dalam perguruan tinggi masing-masing yang terdiri dari kuriklum yang digunakan sarana prasarana penunjang, dosen yang mengajar dan waktu belajar. Di lain pihak pelaksanaan dikwar ekstern yang terdiri dari faktor Globalisasi, Ideologi, Politik, Sosial Budaya Bangsa. Dalam
kurikulum
43/Dikti/Kep/2006)
Dikwar
terbaru
dicantumkan
(SK tentang
Dirjen
Dikti
Pendidikan
Diknas
No.
Demokrasi.
Penyelenggaraan Dikwar (demokrasi) pada perspektif kajian budaya di Perguruan Tinggi perlu/mendesak dilaksanakan, terlebih paradigma baru pendidikan yang berorientasi pada kearifan lokal dengan berpegang pada prinsip
otonomi.
Sedangkan
otonomi
pendidikan
merupakan
upaya
menyangkut segala potensi yang dimiliki oleh daerah ke dalam pendidikan sehingga akan diuraikan bagaimana penyelenggaraan Dikwar, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyelenggaraan Dikwar dan bagaimana makna
38
pelaksanaan
pendidikan
kewarganegaraan
dalam
konteks
kehidupan demokrasi pada 3 perguruan tinggi di Kota Mataram.
pembinaan
39
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang sebagai metode penelitian yaitu penelitian yang menyimpulkan dan menganalisis data dengan ukuran tertentu yang dinyatakan dalam kualitas. Penelitian ini bertitik tolak dari pemikiran bahwa pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi dipengaruhi oleh berbagai aspek atau sistem seperti : politik ekonomi, sistem, sosial dan budaya. Oleh karena itu penelitian
ini
secara
khusus
membicarakan
pelaksanaan
pendidikan
kewarganegaraan di perguruan tinggi dan aspek serta sistem yang berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi dan maknanya dikaitkan dengan khasanah kebudayaan.
3.2. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di kota Mataram Propinsi Nusa Tenggara Barat. Yaitu pada perguruan tinggi yang ada di kota Mataram. Dalam hal ini yaitu Universitas Mataram, Universitas Muhammadiyah Mataram dan Institut Agama Islam Negeri Mataram. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa perguruan tinggi tersebut memiliki kekhususan terutama dalam pedoman yang dipakai dalam penyelenggaraan pendidikan kewarganegaraan.
Hal ini ditunjukan pada
pedoman/literatur inti yang digunakan. Di Universitas Mataram digunakan buku
40
pedoman dari diknas/Lemhanas, di Universtas Muhammadiyah Mataram menggunakan buku pokok yang disusun oleh Tim Perguruan Tinggi Muhammdiyah sendiri suatu pedoman Perguruan Tinggi Muhammdiyah se Indonesia demikian juga dengan buku yang disusun untuk IAIN, STAIN dan UIN di seluruh Indonesia.
3.3. Jenis dan Sumber Data 3.3.1. Jenis Data Berdasarkan uraian pendekatan penelitian di atas, maka jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif yaitu data yang berupa pernyataan bukan merupakan angka. 3.3.2. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini menggunakan sumber data primer dan sekunder. Menurut Molleong (1994:157) sumber data primer adalah data yang didapat secara langgsung dari tangan pertama atau orang pertama sedangkan sumber data sekunder adalah data yang dioperoleh dari sumber lain atau data diperoleh secara tidak langgsung. Sumber data primer yang dimaksud berupa orang yang diwawancara atau informan di lapangan. Orang yang dijadikan sumber data dalam hal ini adalah orang yang mengetahui dan memahami Pendidikan Kewarganegaraan (Dikwar) antara lain pejabat perguruan tinggi yang bersangkutan, dosen yang mengajar dan mahasiswa yang diajar. Serta koordinator mata kuliah umum di masing – masing perguruan tinggi. Adapun data yang dicari adalah :
41
1) Pelaksanaan Dikwar di perguruan tinggi; 2) Aspek –aspek yang mempengaruhi dalam pelaksanaan Dikwar; 3) Makna Dikwar dikaitkan dengan hasanah kebudayaan.
3.4. Teknik Penentuan Informan Informan adalah orang yang dijadikan sebagai sumber dalam memperoleh data penelitian yang nantinya akan diwawancarai. Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai informan ialah mahasiswa, dosen yang mengajar Dikwar pada Perguruan Tinggi di Mataram. Untuk diketahui dosen yang membina mata kuliah Dikwar adalah dosen khusus yang telah dikursus/dilatih untuk itu. Jadi tidak semua dosen bisa membina mata kuliah Dikwar . Oleh karena itu dalam teknik penentuan informan pada penelitian ini adalah dengan teknik Purposif yaitu dimana informannya telah ditentukan atau dipilih tidak berdasarkan strata tapi berdasarkan atas tujuan tertentu yang ingin dicapai. Dalam hal ini orang yang dipilih adalah orang yang mengetahui dan memahami masalah Dikwar yang ditentukan sejak awal.
3.5. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian dari awal sampai berakirnya proses penelitian (Suharsimi Arikunto, 2002:26). Sedangkan M.Singarimbun (Bungin, 2001:71) menyatakan bahwa instrumen dalam penelitian kualitatif adalah juga peneliti itu sendiri. Oleh karena itu penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri, maka dengan membawa dirinya
42
sendiri, peneliti kualitatif sebenarnya sudah siap ke lapangan untuk menghimpun sabanyak mungkin data atau informasi yang dibutuhkan. Dalam upaya mengumpulkan data atau informasi tersebut peneliti menggunakan alat bantu berupa pedoman wawancara, alat perekam gambar, tape recorder, alat – alat tulis dan lain sebagainya.
3.6. Teknik Pengumpulan Data Secara garis besar pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara yaitu 1) data yang di peroleh langsung dari lapangan yaitu untuk mendapatkan data primer, dan 2) studi kepustakaan yang bertujuan untuk mendapatkan data sekunder. Sehubungan dengan hal tersebut, maka peneliti akan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
3.6.1. Observasi Observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan cara melihat, mengamati, subyek penelitian. Cara ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang subyek penelitian. Dalam hal ini sebagai mana pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi dalam perspektif kajian budaya. Kegiatan yang diamati antara lain : 1) kegiatan mahasiswa dalam mengikuti kuliah di kelas 2) Kegiatan dosen pendidikan kewarganegaraan dalam memberikan materi pengajaran / melaksanakan tugas 3) mengamati sarana dan prasarana pendukung kegiatan pengajaran.
43
3.6.2. Wawancara Mendalam Selain melakukan obserfasi data primer juga di peroleh dengan wawancara. Menurut Suharsimi Arikunto (2000 :102) menjelaskan tentang wawancara mendalam yaitu wawancara yang dilakukan secara informal. Biasanya dilakukan bersama dengan observasi. Dalam wawancara peneliti melakukannya dengan informan yang telah di tentukan terlebih dahulu. Informan tersebut adalah mahasiswa, dosen dan pejabat yang terkait, dalam hal ini seperti
ector, dekan,
atau koordinator mata kuliah umum atau MKPK. Adapun data yang akan dikumpulkan melalui wawancara adalah tentang 1) pelaksanaan pendidikan kewaqrganegraan di perguruan tinggi 2) aspek – aspek yang berpengaruh dalam melaksanakan
pendidikan
kewarganegaraan
3)
makna
pendidikan
kewarganegaraan dikaitkan dengan khasanah kebudayaan.
3.6.3. Studi Kepustakaan Data yang dikumpulkan/diperoleh melalui studi kepustakaan merupakan data sekunder. Data tersebut diperoleh melalui : (1) literatur, yang berhubungan atau terkait dengan Dikwar di Perguruan Tinggi ; (2) hasil-hasil penelitian sebelumnya yang mempunyai relevansi dengan Dikwar ; (3) jurnal ilmiah yang berhubungan dengan penyelenggaraan Dikwar di Perguruan Tinggi. Data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan ini diperlukan dalam penelitian ini adalah untuk memperdalam pengetahuan guna menguasai materi yang
terkait
dengan penyelenggaraan Dikwar,
juga
aspek-aspek
yang
mempengaruhi maupun makna penyelenggaraan Dikwar di Perguruan Tinggi.
44
Dalam hal studi kepustakaan ini peneliti mengumpulkan data dengan jalan mengkaji buku-buku/literatur atau dokumen yang berkaitan dengan pokok masalah dalam penelitian ini.
3.7. Teknik Analisis Data Analisis data merupakan salah satu tahapan yang sangat penting dalam suatu penelitian. Analisis data merupakan proses mnelaah seluruh data yang tersedia,
yang
diperoleh
baik
melalui
pengamatan,wawancara,studi
dokumenr,kajian pustaka dan lain sebagainya (Moleong, 1990.190). Analisis data dilakukan sepanjang berlangsungnya penelitian dan dilakukan terus menerus dari awal sampai akhir penelitian. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan intenpretatif. Data yang dikumpulkan adalah data kualitatif dari hasil wawancara dan dari sumber kepustakaan/dokumentasi sehingga dalam menganalisanya dilakukan dengan analisis deskriptif kualitatif. Data yang diperoleh dari sumber-sumber kepustakaan maupun inforrman selanjutnya dianalisis sebagaimana adanya melalui pembahasan untuk memperoleh gambaran mengenai Pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan dalam pembinaan kehidupan demokrasi pada Perguruan Tinggi di kota Mataram. Selanjutnya dilakukan interpretasi dengan teori-teori yang sesuai dengan rumusan tujuan penelitian guna mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan utuh yang pada akhirnya dapat menarik kesimpulan.
45
3.8. Penyajian Hasil Analisis Data Hasil analisis data disajikan secara informal dalam bentuk naratif, sedangkan formal berupa tabel, grafik, dan gambar, sesuai dengan laporan penelitian ilmiah dalam buku pedoman penulisan Tesis dan Disertasi Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.
46
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Kota Mataram 4.1.1 Pembentukan Kota Mataram Lokasi penelitian adalah di kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat. Bila ditelusuri sejarah terbentuknya kota Mataram adalah merupakan sejarah yang cukup panjang yaitu sejak zaman raja – raja sebelum kemerdekaan sampai saat ini. Di sini tidak akan diuraikan secara rinci namun akan diuraikan secara garis besarnya saja. Pada masa pulau Lombok diperintah oleh raja – raja. Raja Mataram tahun 1842 menaklukan kerajaan Pagesangan dan setahun kemudian tahun 1843 menaklukan kerajaan Kahuripan kemudian Ibukota kerajaan dipindah ke Cakranegara dengan Ukir Kawi sebagai nama istana rajanya. Setelah raja Mataram jatuh maka Pemerintah Hindia Belanda mulai menerapkan sistem pemerintahan di bawah Afdelling Bali Lombok yang berpusat di Singaraja Bali. Pada masa ini pulau Lombok menjadi 3 (tiga) order Afdelling.
Dari pihak
kolonial sebagai wakil disebut controleur dan dari pihak wilayah administratif disebut Kepala Pemerintahan Setempat (KPS) sampai ke tingkat kedistrikan. Adapun ketiga wilayah administratif masih disebut West Lombok (Lombok Barat), midle Lombok (Lombok Tengah) dan East lombok (Lombok Timur) di pimpin oleh controleur dan Kepala Pemerintahan Setempat.
47
Untuk wilayah west lombok membawahi tujuh wilayah administratif yang meliputi : a). Kedistrikan Ampenan Barat di Dasan Agung b). Kedistrikan Ampenan Timur di Narmada c). Kedistrikan Bayan di Bayan Belek d). Asisten Distrik Gondang di Gondang e). Kedistrikan Tanjung di Tanjung f). Kedistrikan Gerung di Gerung g). Kepunggawaan Cakranegara di Mayure Sejak dikeluarkannya UU no 1 tahun 1957 lahir Undang – Undang 64 dan Undang – Undang no 69 tahun 1958. tentang pembentukan daerah tingkat I Bali NTB dan NTT serta daerah tinggkat II yang diundangkan pada 4 Agustus tahun 1958. Dengan lahirnya Dekrit Presiden 5 juli 1959 keluarlah Penpres no 6 tahun 1959 yang menentukan bahwa Kepala Daerah merangkap juga sebagai ketua DPRD. Pada masa kepemimpinan H.Lalu Anggrat, BA tanggal 1 Mei 1960 sampai dengan 1965 status Kepunggawaan Cakranegara dan Kepala Suku dihapuskan dan berubah menjadi Kedistrikan Cakranegara. Kemudian setelah berlakunya UU no 18 tahun 1965 kembali terjadi perubahan yang meliputi : a. Merubah sebutan daerah Swatantra Tingkat II menjadi Kabupaten Tinggkat II. b. Bupati Kepala Daerah tidak lagi merangkap menjadi Ketua DPRD c. Berdasarkan Instruksi Mendagri no : 20 tahun 1967 maka diadakan penyempurnaan DPR-GR Lombok Barat dari 34 kursi menjadi 32 kursi.
48
Berdasarkan perkembangan pemerintahan dan dengan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat no : 288.Pem.20/1/12 diadakan perubahan wilayah Kabupaten Lombok Barat yang terdiri dari : a. Kecamatan Ampenan b. Kecamatan Cakranegara c. Kecamatan Narmada d. Kecamatan Tanjung e. Kecamatan Gangga f. Kecamatan Bayan g. Kecamatan Gerung h. Kecamatan Kediri Kemudian pada tahun 1957 berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tinggkat I Nusa Tenggara Barat no: 156/pem.7/2/266 tgl 30 Mei 1969 yang isinya tentang penambahan satu Kecamatan yang tadinya 2 Kecamatan yaitu Kecamatan Ampenan dan Kecamatan Cakranegara, dirubah menjadi 3 Kecamatan. Penambahan Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Mataram dengan mengambil beberapa desa dari dua Kecamatan yang terdahulu. Perkembangan
selanjutnya
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 2 tahun 1978 terbentuklah Kota Adminstratif (Kotif) Mataram sebagai akibat dari adanya perubahan dan perkembangan Kota Mataram yang makin pesat dan sebutan desa pun berubah menjadi Kelurahan. Peresmian Kota Administratif Mataram waktu itu dilakukan oleh Mendagri H. Amirmahmud. Sedangkan pelantikan Drs. H. L. Mudjitahid sebagai
49
Walikota Kota Administratif Mataram yang pertama dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Nusa Tenggara Barat yang pada waktu itu dijabat oleh H.R. Wasita Kusumah. Perubahan status kota Administratif Mataram menjadi Kotamadya Mataram berdasarkan UU no 4 th 1993 dimana wilayahnya terdiri dari tiga 3 Kecamatan yaitu Kecamatan Mataram, Kecamatan Ampenan dan Kecamatan Cakranegara, dengan 23 Kelurahan dan 247 Lingkungan. Sejak itu maka terpisah Kotamadya Mataram dengan Kabupaten Lombok Barat yang dulunya merupakan induk dari Kotamadya Mataram pada tanggal 31 Agustus 1993 dan peresmian Kotamadya Mataram waktu itu dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Mohammad Yogi Suardi Memet pada tanggal 31 Agustus 1993 dan selanjutnya melantik Walikota Madya Mataram H.Lalu Mas’ud. Kemudian tanggal 31Agustus 1993 di tetapkan sebagai hari lahir Kota Mataram. Sejalan dengan diberlakukannya UU no 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, maka terjadi perubahan sebutan Kotamadya Mataram menjadi Kota Mataram dan beberapa perubahan sebutan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut. Selanjutnnya pada tanggal 13 Desember 1999 terjadi pergantian Walikota dari H.L Mas’ud kepada H.Muhammad Ruslan, SH yang dilantik secara resmi oleh Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang pada waktu itu dijabat oleh Drs. H Harun Al – Rasyid,M.Si. Kota Mataram yang letaknya sangat strategis dan menjadi pusat berbagai aktifitas seperti pusat Pemerintahan, Pendidikan, Perdagangan, Industri dan Jasa, saat ini sedang dikembangkan untuk menjadi Kota Pariwisata. Hal ini mengingat
50
berbagai fasilitas perhubungan yaitu keberadaan Bandar Udara Selaparang, Pusat Perbelanjaan dan jalur transportasi yang menghubungkan antar Kabupaten / Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kota Mataram selain sebagai Ibukota Pemda, Kota Mataram juga menyandang status sebagai Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Hal inilah yang menyebabkan kota Mataram menjadi pusat aktivitas yang memungkinkan dikembangkan menjadi kota Pariwisata. Di samping itu faktor alam dan budaya yang memungkinkan untuk itu seperti pantai dan peninggalan peninggalan sejarah yang berada di wilayah Kota Mataram dan sekitarnya.
4.1.2 Letak Geografis dan Administratif Kota Mataram yang terbentuk berdasarkan UU no 4 tahun 1993 secara geografis terletak pada ujung sebelah barat pulau Lombok yang terletak pada posisi 116 0 04 1 - 116 0 101 Bujur Timur dan 080331 – 080381 Lintang Selatan dengan batas – batas wilayah sebagai berikut. Sebelah Utara
: Kecamatan Gunungsari dan Desa Lingsar Kabupaten Lombok Barat
Sebelah Timur : Kecamatan Narmada dan Desa Lingsar Kabupaten Lombok Barat Sebelah Selatan : Kecamatan Labuapi Kabupaten Lombok Barat Sebelah Barat
: Selat Lombok
51
Secara administratif kota Mataram yang memiliki luas wilayah ± 61.30km2 terbagi menjadi tiga wilayah Kecamatan 23 Kelurahan dan 279 Lingkungan.
4.1.3 Penduduk Penduduk kota Mataram sampai pada pertengahan 2005 berjumlah sekitar 342.020 jiwa dengan luas wilayah 61,30 kilometer persegi. Dari data di atas dapat dihitung kepadatan penduduk kota Mataram mencapai 5.555 jiwa per kilometer persegi. Bila dirinci maka Kecamatan Mataram yang tertinggi kepadatan penduduknya yakni 6.160 per kilometer persegi diikuti Kecamatan Cakranegara 5.346 jiwa per kilometer persegi sedang Kecamatan Ampenan terendah 5.225 per kilometer persegi. Dilihat dari etnis dan suku bangsa yang mendiami kota Mataram sangat beragam di samping etnis penduduk asli yaitu etnik atau suku bangsa sasak. Suku – suku bangsa tersebut antara lain suku Jawa, Bali, Sumbawa, Mbojo (Bima + Dompu) dan lain lain yang masing – masing etnis bebas menggunakan bahasanya masing – masing di kalangannya mereka sendiri. Namun dalam berkomunikasi antar etnis rata – rata dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Bahkan dikatakan penggunaan bahasa Indonesia tertinggi adalah di kota Mataram bila dibandingkan dengan Kabupaten / Kota yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
52
4.1.4 Pemekaran Wilayah Perkembangan Kota Mataram yang diiringi oleh laju pertumbuhan penduduk menyebabkan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh penyelenggara pemerintahan kota. Masyarakat semakin maju dan otomatis menuntut pelayanan yang semakin bermutu. Hal ini adalah merupakan hal yang wajar dan logis sebagai imbalan atas kontribusi yang telah mereka berikan bagi kemajuan kota. Terkait dengan laju pertumbuhan penduduk dan laju pertumbuhan ekonomi masyarakat, membuka peluang baru bagi pemberdayaan masyarakat dan meningkatkan intensitas pembangunan untuk kemaslahatan umum. Untuk itu salah satu strategi yang ditempuh oleh pemerintah Kota Mataram dalam upaya pendekatan pelayanan pada masyarakat adalah melalui pemekaran wilayah, baik Kecamatan maupun Kelurahan sampai lingkungan, dan RT/RW. Dengan demikian maka pemerintah Kota Mataram akan dapat melayani, memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara efektif. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai program pembangunan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah kota Mataram. Berdasarkan Keputusan Walikota Mataram No.103/III/2003 tanggal 31 Maret 2003 menetapkan TIM Pengkajian Pemekaran Kecamatan dan Kelurahan. Atas dasar keputusan tersebut maka wilayah Kota Mataram yang semula terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan, 23 Kelurahan dan 247 lingkungan setelah pemekaran akan menjadi 6 (enam) Kecamtan 50 Kelurahan dan 279 lingkungan.
53
4.1.5 Topografi Iklim dan Curah Hujan Kondisi Topografi Kota Mataram pada umunya datar dengan tingkat kemiringan antara 0 - 8% pada Kecamatan Ampenan dan Kecamatan Mataram di bagian barat. Sedangkan pada Kecamatan Cakranegara di bagian timur kemiringan 10 - 15%. Ketinggian tanah bervariasi di Kota Mataram yaitu di Kecamatan Cakranegara mencapai 25 m, Kecamatan Mataram mencapai 15 m, dan Kecamatan Ampenan mencapai 5 m dari permukaan laut. Dari segi iklim Kota Mataram pada umumnya merupakan daerah yang beriklim tropis. Musim hujan antara bulan Oktober sampai dengan bulan April, sebaliknya musim kemarau antara bulan April sampai dengan bulan Oktober curah hujan rata – rata 1.256,6mm per tahun. Suhu udara Kota Mataram rata – rata mencapai 260C dengan kelembaban udara rata – rata mencapai 80% per tahun. 4.1.6 Bidang Sosial Budaya 4.1.6.1 Agama Pada era reformasi sekarang ini kemampuan dan kemajuan berfikir serta tingkat intelektulitas individu dalam membaca menganalisis kondisi dan situasi semakin maju. Hal ini disebabkan tingkat ilmu pengetahuan Kota Mataram yang semakin meningkat. Penegakan nilai – nilai keagamaan diupayakan melalui kegiatan keagamaan berupa peringatan Hari Besar Keagamaan dan kegiatan keagamaan lainnya. Demikian juga dengan kegiatan - kegiatan tukar pikiran antar pemuka agama. Hal ini merupakan upaya mewujudkan kerukunan hidup antar umat beragama. Aktivitas semacam ini untuk Kota Mataram saat ini makin
54
menunjukkan suasana yang lebih akrab dan erat. Di samping itu tidak mengabaikan masalah pembangunan sarana dan prasarana keagamaan serta keputusan tentang pembinaan bimbingan dan penyuluhan oleh para “da’i” pada umat masing – masing pemeluk agama terus dilakukan secara berkesinambungan dan bersinergi. Kesemarakan kehidupan beragama di Kota Mataram antara lain ditandai dengan makin meningkatnya sarana dan prasarana pribadatan dari masing – masing pemeluk agama sebagai berikut berikut (sumber : Kandepag Kota Mataram) : Masjid = 210 buah ; Mushollah = 180 buah ; Gereja Protestan = 15 buah ; Gereja Katolik = 3 buah ; Pura = 121 buah ; Wihara = 3 buah. Sedangkan jumlah umat beragama di Kota Mataram berdasarkan sumber dari Kantor Departemen Agama kota Mataram : Pemeluk agama Islam
:
263.439 Orang
Pemeluk agama Kristen Protestan
:
4.378 Orang
Pemeluk agama Kristen Katolik
:
3.405 Orang
Pemeluk agama Hindu
:
51.757 Orang
Pemeluk agama Budha
:
3.925 Orang
4.1.6.2 Pendidikan Melalui pendidikan baik itu pendidikan formal nonformal maupun informal merupakan sarana pembentukan sumber daya manusia, pembentukan sikap watak dan kepribadian bangsa dan menopang laju pembangunan yang sanggat cepat. Dengan demikian dapat dikatakan pendidikan menempati
55
kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan bangsa, sehingga maju mundurnya suatu bangsa ditentukan bagaimana mengelola pendidikan ini secara baik. Oleh karenanya pendidikan harus menjadi perhatian utama bagi pimpinan negara maupun daerah bila hendak meraih kemajuan. Untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan pemerintah Kota Mataram telah membangun sarana dan prasarana pendidikan yang memadai umumnya dan secara khusus dibangun sekolah percontohan disetiap Kecamatan. Di samping itu juga dibangun gedung sekolah dan kelas baru untuk menampung warga belajar. Peningkatan dan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan adalah merupakan konsekuensi logis pemerintah Kota Mataram sebagai pusat pendidikan di samping merupakan pusat pemerintahan dan aktivitas lainnya di Nusa Tenggara Barat. Dalam menyongsong kehidupan di massa depan yang seimbang antara intektualitas yang dihasilkan melalui pendidikan dan nilai – nilai kerohanian di bidang keagamaan yang akan membawa nilai – nilai kepribadian menentukan kebahagiaan hidup, keharmonisan dan kerukunan, disampaikan melalui pesan – pesan moral agama. Hal ini diaktualisasikan dalam motto Kota Mataram, Kota IBADAH yang Maju dan Relegius. Kemajuan dan perkembangan pendidikan di Kota Mataram menurut sumber pada Dinas Pendidikan Kota Mataram adalah sebagai berikut: a. Untuk kelompok usia sekolah 7 – 12 tahun sebanyak 41.572 orang b. Untuk kelompok usia sekolah 13 – 15 tahun berjumlah 22.049 orang c. Untuk kelompok usia sekolah 16 – 18 tahun berjumlah 25.592 orang
56
Sementara data untuk angka putus sekolah berdasarkan jenjang sekolah sebagai berikut : a. Untuk SD sebanyak 59 orang b. Untuk SMP sebanyak 144 orang c. Untuk SMA sebanyak 103 orang d. Untuk SMK sebanyak 37 orang Kemudian data untuk Perguruan Tinggi yang ada di kota Mataram termasuk akademi : 20 buah dengan jumlah mahasiswa 32.266 orang jumlah dosen 3.066 orang (sumber, Kota Mataram Dalam Angka:2007) Dari jumlah Perguruan Tinggi yang ada seperti tersebut di atas yang menjadi tempat penelitian adalah hanya 3 Perguruan Tinggi sebagai sampel. Hal ini diambil karena dari sekian banyak Perguruan Tinggi tersebut pedoman yang dipakai ada 3 (tiga) kelompok yaitu yang umum dari Depdiknas dan Lemhanas, bahan yang dipakai khusus untuk IAIN dan STAIN, kemudian yang khusus dipakai untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah.
4.1.6.3 Seni dan budaya Menurut catatan sejarah tentang seni dan budaya (tradisional) yang berkembang di Mataram tidak jauh berbeda dengan seni dan budaya yang ada dan berkembang di pulau Lombok pada umumnya. Ada beberapa kesenian yang saat ini telah mengalami kemerosotan akibat dari beberapa sebab antara lain tekanan dari penjajah, arus modernisasi dan globalisasi yang demikan pesat. Sehingga ada cenderung
hilang
maupun
berubah
dari
aslinya,
disesuaikan
dengan
57
perkembangan zaman. Contoh kesenian / budaya yang pernah ada dan berkembang baik pada masa lampau yang kini mengalami kemerosotan adalah seperti, kayak, cepung, lawas, lelakak, genggong, rebana, dan lain – lain. Sedangkan kesenian yang sampai saat ini masih ada dan berkembang dengan dimodifikasi adalah oncer, atau yang sekarang populer dengan nama gendang belek, rudat, cilokak, peresean. Kemudian kalau masalah tradisi yang masih berkembang di Mataram, atau masyarakat sasak pada umumnya seperti sangkep (musyawarah) belangar (melayat), serongserah, ajikrame, sejati nyelabar dan lain – lainnya.
4.1.7 Pelaksanaan Demokrasi di Kota Mataram Kegiatan politik (demokrasi) di Kota Mataram telah mengalami pasang surut sebagaimana yang terjadi juga diseluruh Nusa Tenggara Barat bahkan di Indonesia tidak jauh berbeda. Kekuatan politik sebagaimana dimaklumi pada umumnya memiliki tujuan untuk merebut kekuasaan politik dengan cara konstitusional atau dengan demokratis yang diwujudkan dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Melalui Pemilu yang dilaksanakan dengan langgsung, umum bebas, rahasia, serta jujur, adil dan damai akan mencerminkan terlaksananya demokrasi dengan baik. Penegakan dan pelaksanaan demokrasi yang direalisasikan dalam Pemilu yang pertama pada tahun 1955. Pemilu pada saat itu merupakan multi partai yang diikuti 118 partai diantaranya 42 partai politik selebihnya ormas dan perorangan. Pemilu 1955 merupakan Pemilu yang bersejarah. Hal ini disebabkan oleh
58
komitmen bangsa Indonesia untuk mewujudkan demokrasi dengan memilih wakil – wakilnya yang akan duduk di lembaga legislatif (DPR dan Konstituante). Pada tahun 1955 tersebut yang menjadi wakil dari pulau Lombok adalah H.Mustajab, Djamhur Hakim, Tgh Abdul Hafidz dan Tgh Zainudin Abdullmajid sebagai anggota konstituante. Perjalanan sejarah pelaksanaan Pemilihan Umum (PEMILU) selama pemerintahan Orde Baru diawali dengan pelaksanaan Pemilu yang berasas Langsung, Umum, Bebas Dan Rahasia (LUBER). Pemilu pertama diadakan tanggal 3 Juli 1971 diikuti oleh 9 partai politik dan satu Golongan Karya. Nama – nama 9 partai politik tersebut adalah Parkindo, Nahdatul Ulama (NU), Parmusi, Perti, Partai Katolik, Partai PNI, Partai Murba, IPKI, PSII, ditambah 1 Golongan Karya (Golkar). Lihat tabel berikut : Tabel 4.1. Nama-Nama Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 1971 – 2004 Pemilu 1977 – Pemilu 1971
Pemilu 1999
Pemilu 2004
Pemilu 1999 1)
Nahdatul Ulama
1) PPP
1)
PIB
1)
PNI Marhaenisme
2)
PSII
2) GOLKAR
2)
KRISNA
2)
Partai Buruh Sosial Demokrat
3)
PMI
3) PDI
3)
PNI
3)
Partai Bulan Bintang
4)
PERTI
4)
PADI
4)
Partai Merdeka
5)
Golongan Karya
5)
Partai KAMI
5)
Partai Persatuan Pembangunan
6)
PNI
6)
Partai Umat Islam
6)
Partai Persatuan Demokrat
7)
IPKI
7)
PKU
8)
MURBA
8)
Masyumi Baru
9)
PARKINDO
9)
PPP
10)
KATHOLIK
10)
PSII
11)
PDI-Perjuangan
12)
ABUL YATAMA
Kebangsaan 7)
Partai Perhimpunan Indonesia Baru
8)
Partai Nasional Bintang Kemerdekaan
9)
Partai Demokrat
59
Sumber : KPU Kota Mataram
13)
PKM
10)
Partai Keadilan dan Persatuan
14)
PDKB
15)
PAN
16)
PRD
17)
PSII-1905
18)
PKD
19)
PILAR
13)
Partai Amanat Nasional
20)
PARI
14)
Partai Karya Peduli Bangsa
21)
PPII-Masyumi
15)
Partai Kebangkitan Bangsa
22)
PBB
16)
Partai Keadilan Sejahtera
23)
PSP
17)
Partai Bintang Reformasi
24)
Partai Keadilan
18)
Partai Demoktrasi Indonesia
25)
Partai Nahdatul Ummat
26)
PNI Front Marhaenis
19)
Partai Damai Sejahtera
27)
IP-KI
20)
Partai Golongan Karya
28)
Partai Republik
21)
Partai Patriot Pancasila
29)
Partai Islam Demokrat
22)
Partai Serikat Indonesia
30)
PNI Massa Marhaenis
23)
Partai Persatuan Daerah
31)
MURBA
24)
Partai Pelopor
32)
PDI
33)
Partai GOLKAR
34)
Partai Persatuan
35)
PKB
36)
PUDI
37)
PBN
38)
Partai MKGR
39)
Partai Daulat Rakyat
40)
Partai Cinta Damai
41)
PKP
42)
Partai SPSI
43)
PNBI
44)
PBI
45)
Partai SUNI
46)
PND
47)
PUMI
48)
PPI
Indonesia 11)
Partai Penegak Demokrasi Indonesia
12)
Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia
Perjuangan
60
Pemilu Kedua dilaksanakan pada tahun 1977, Pemilu kedua ini diikuti oleh 2 (dua) Parpol yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Inonesia (PDI) serta satu Golongan Karya (Golkar). Hal ini setelah dilakukan penggabungan (fusi) yaitu yang berjumlah 9 pada pemilu pertama, fusi parpol didasarkan pada pengelompokan partai yang berdasarkan agama (Islam) yaitu NU, Permasi, PSII dan Perti berfusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kedua yang berasaskan Nasionalis yaitu Perkindo Partai Katolik, PNI, Murba, dan IPKI bergabung atau berfusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sedangkan Golongan Karya (Golkar) berdiri sendiri. Pemilu ke 3 dilaksanakan pada tahun 1982, Pemilu ke 4 tahun 1987 Pemilu ke 5 tahun 1992 dan Pemilu ke 6 dilaksanakan tahun 1997. Pada pelaksanaan Pemilu sejak tahun 1971 sampai tahun 1997 sebagai pelaksana adalah Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang diketuai atau sebagai penanggung jawab pelaksanaan adalah Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Pemilu diadakan pada 7 Juni 1999 diikuti oleh 48 parpol. Hasil pemilu ini melalui sidang umum MPR terpilih KH Abdulrahman Wahid sebagai Presiden RI ke IV dan Megawati Soekarno Putri sebagai Wakil Presiden. Namun masa pemerintahan KH Abdulrahman Wahid tidak bertahan lama. Hal ini disebabkan beberapa peristiwa yang terjadi di Indonesia kemudian laporan pertanggungan jawaban Presiden Abdulrahman Wahid tidak diterima Oleh MPR maka Presiden Abdulrahman Wahid dirberhentikan dari jabatannya, kemudian diganti oleh Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden dan Hamzah Has sebagai Wakil Presiden.
61
Pemilu berikutnya diadakan pada tahun 2004 berdasarkan UU no 12 tahun 2003 tentang pemilu legislatif dan UU no 31 tahun 2003 tentang Partai Politik. Pemilu Legislatif (DPRRI, DPD dan DPRD) diadakan 5 april 2004. Kemudian menurut UU no 23 tahun 2003 tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, diadakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebanyak 2 kali putaran. Putaran pertama diadakan pada 5 Juli 2004 dan putaran kedua diadakan pada tanggal 20 Septermber 2004. dalam Pemilu Presiden terpilih Susilo Bambang Yudoyono sebagai Presiden dan Muhammad Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden untuk periode tahun 2004 sampai tahun 2009.
4.2 Profil 3 Perguruan Tinggi sebagai Lokasi Penelitian 4.2.1 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram 4.2.1.1 Sejarah Singkat IAIN Mataram Pada awal berdirinya IAIN Mataram merupakan perwujudan dari gagasan dan hasrat umat Islam Nusa Tenggara Barat yang merupakan penduduk mayoritas untuk mencetak kader pemimpin dan intelektual muslim bagi keperluan perjuangan bangsa. Embrio dari pendirian IAIN Mataram diawali dengan adanya sekolah persiapan IAIN Al-Jami’ah Yogyakarta yang diresmikan berdirinya berdasarkan SK Menteri Agama No. 63 Tahun 1965 tentang Pembentukan Panitia Persiapan Pembukaan Fakultas Tarbiyah IAIN Al-Jami’ah Sunan Ampel Cabang Mataram tanggal 25 Desember 1965 yang diketuai oleh Kolonel M. Yusuf Abubakar. Fakultas Tarbiyah ini kemudian diresmikan oleh Menteri Agama Prof. K.H. Saifuddin Zohri, pada tanggal 24 Oktober 1966 dengan SK Menteri Agama
62
No. 63 Tahun 1966 bertempat di Pendopo Gubernur Nusa Tenggara Barat. Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Mataram tahun 1966 mempunyai satu jurusan yaitu Jurusan Pendidikan Agama Islam Program Sarjana Muda. Pada tahun 1982 dirintis pembukaan Program Doktoral (Sarjana Lengkap). Program ini disetujui oleh Dirjen Bimbaga Islam Departemen Agama dengan Surat No. F/x/1748, tanggal 06 Mei 1982, dan dimulai pada tahun akademik 1983 s/d 1987. Dan selanjutnya, sejak T.A. 1987/1988, mulai diselenggarakan Program Strata Satu (S1) dengan Sistem Kredit Semester (SKS), Ketika Alih Status dari Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Cabang Mataram menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Mataram, sesuai Keppres RI, Nomor 11 Tahun 1997, Jurusan Tarbiyah STAIN Mataram terdiri dari 6 buah Program Studi, yaitu: PAI, PBA, IPS, IPA, Matematika, D.2 PGAI dan D.2 PGMI. Dalam perjalanan sejarahnya hingga tahun akademik 2005/2006, terutama setelah berdiri menjadi IAIN induk pada tahun 2004, setidaknya terdapat 8 jurusan/program studi, yaitu (1) jurusan/program studi Pendidikan Agama Islam (PAI), (2) jurusan/program studi Pendidikan Bahasa Arab (PBA), (3) jurusan/program studi Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial/IPS-Ekonomi, (4) jurusan/program studi Tadris Matematika (MTK), (5) jurusan/program studi Tadris Ilmu Pengetahuan Alam/IPA-Biologi, 6) program studi D2PGMI, 7) program studi D2PGPAI, dan 8) program Akta IV. Seiring dengan perkembangan Fakultas Tarbiyah maka Fakultas Syariah Mataram IAIN Sunan Ampel yang berasal dari STIS diresmikan berdasarkan SK
63
Menag RI Nomor 27/1994. Pada tahun 1997 fakultas Syariah IAIN Mataram membuka jurusan Peradilan Agama, Muamalah, dan Jinayah Siyashah. Sejak menjadi fakultas syariah di IAIN Sunan Ampel cabang Mataram tidak pernah mewisuda alumni yang memang berasal dari fakultas Syariah, tetapi selama tiga kali wisuda selalu mewisuda alumni STIS Mataram. Alumni Fakultas Syariah diwisuda setelah berubah status menjadi STAIN Mataram dalam jurusan Syariah. Pada tanggal 13 Juni 1997 (berdasarkan Kep. Menpan Nomor B589/1/1997) Tentang Persetujuan Pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, terjadi alih status dari fakultas Tarbiyah dan Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Cabang Mataram menjadi STAIN Mataram sesuai dengan KEPRES RI, Nomor 11 tahun 1997. Fakultas Tarbiyah berubah menjadi Jurusan Tarbiyah dan Fakultas Syariah berubah menjadi Jurusan Syariah, sedangkan Jurusan menjadi Program Studi (Prodi). Ketua Jurusan Tarbiyah pada saat itu adalah Drs. H. Asnawi, MA Sekretaris Jurusan Drs. Zulkarnain sedangkan Ketua Jurusan Syari’ah adalah Drs. H.M Fahrir Rahman, MA dan Sekjur adalah Drs. Sainun, M.Ag. Jurusan Dakwah saat itu terbentuk seiring tuntutan kemandirian Institut cabang menjadi Institut atau Sekolah Tinggi mandiri. Jurusan Dakwah STAIN Mataram saat itu memiliki dua Program Studi (Prodi) yakni Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) dan Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (MPI). Melalui proses yang panjang, Fakultas Tarbiyah, Fakultas Syari’ah dan Fakultas Dakwah (penyempurnaan syarat dan rukun) IAIN Sunan Ampel Cabang Mataram berbenah dan berubah status menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Mataram sejak saat itu memiliki tiga
64
jurusan yakni Jurusan Tarbiyah, Jurusan Syari’ah dan Jurusan baru (penyempurna syarat dan rukun) yakni Jurusan Dakwah. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman serta tuntutan era globalisasi dan sistem
informasi,
serta
untuk
dapat berkiprah
dalam
mengembangkan potensinya yang lebih leluasa, maka STAIN Mataram dalam hal ini melakukan pengembangan kelembagaan yang didukung oleh lokal area yang strategis, dimana STAIN Mataram berada pada kawasan yang diapit oleh wilayah sebelah timur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan masyarakat mayoritas Nasrani dan dari sebelah barat provinsi Bali dengan masyarakat mayoritas Hindu, sehingga dirasakan sangat strategis dan perlu diadakan penataan serta pengembangan kelembagaan dari STAIN Mataram menjadi IAIN Mataram, Setelah melalui proses panjang yang didukung oleh masyarakat NTB dari berbagai kelangan, yakni Gubernur (Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat), Perguruan Tinggi se – NTB, Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat, serta Organisasi Kemasyarkatan Islam, kemudian berkat semangat dan perjuangan para petinggi STAIN Mataram, sesuai dengan visi/misinya maka terlaksana alih status menjadi IAIN Mataram yang berada pada kawasan Nusa Tenggara. (Bali, NTB dan NTT). Yang kemudian diresmikan oleh Menteri Agama RI pada hari Senin tanggal 11 Juli 2005. Berdasarkan Surat Keputusan Alih Status dari Presiden RI. Nomor 91 Tahun 2004, Tanggal 18 Oktober 2004 tentang : “Perubahan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Mataram menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram”.
65
4.2.1.2 Visi dan Misi IAIN Mataram Visi IAIN Mataram sebagai berikut : “Terwujudnya Lembaga Pendidikan Tinggi Agama Islam terkemuka di kawasan Timur Indonesia dalam mengembangkan dan mengintegrasikan aspek keislaman, keilmuan, kemanusiaan dan ke-Indonesiaan” Misi IAIN Mataram sebagai berikut : a. Menyelenggarakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang Islami dan berkualitas; b. Mewujudkan Insan akademik yang cerdas dan ber-akhlak mulia; c. Menumbuh kembangkan etos ilmu, etos kerja, etos pengabdian yang tinggi serta berpartisipasi aktif dalam memperdayakan segenap potensi masyarakat.
4.2.1.3 Kedudukan, Tupoksi dan Organisasi IAIN Mataram A.
Kedudukan Sesuai dengan Keputusan Menteri Agama Nomor : 3 tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram Bab 1 pasal 1, 2 dan 3 bahwa : a. Institut Agama Islam Negeri Mataram yang selanjutnya disebut IAIN Mataram adalah perguruan tinggi di Lingkungan Departemen Agama yang dipimpin oleh Rektor yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri Agama.
66
b. Pembinaan IAIN Mataram secara fungsional dilakukan oleh Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama. B.
Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) Tugas pokok IAIN Mataram adalah menyelenggarakan pendidikan akademik, profesi dan/atau
vokasi dalam
sejumlah disiplin ilmu
pengetahuan, teknologi dan/atau seni agama Islam Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud maka IAIN Mataram melaksanakan fungsinya sebagai berikut : a. Perumusan dan penetapan visi, misi kebijakan dan perencanaan program; b. Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau seni agama Islam c. Pelaksanaan pembinaan civitas akademika dan kerjasama dengan perguruan tinggi dan/atau lembaga-lembaga lain. d. Pelaksanaan penilaian prestasi dan proses penyelenggaraan kegiatan serta penyusunan laporan. e. Pelaksanaan kegiatan/layanan administrasi dan manajemen IAIN. C.
Organisasi Organisasi Institut agama Islam Negeri (IAIN) Mataram terdiri dari : 1. Dewan Penyantun 2. Rektor dan Pembantu Rektor 3. Senat Institut
67
4. Fakultas : a. Tarbiyah b. Syari’ah c. Da’wah 5. Lembaga Penelitian (LEMLIT) 6. Lembaga Pengabdian pada Masyarakat (LPM) 7. Biro Administrasi Umum, Akademik dan Kemahasiswaan (AUAK) 8. Unit Pelaksana Teknik; a. Perpustakaan b. Pusat Bahasa dan Budaya Untuk lebih jelasnya tentang Struktur Organisasi IAIN Mataram ini dapat dilihat pada gambar/bagan struktur organisasi berikut ini :
68
Gambar 2 : Bagan Struktur Organisasi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram
REKTOR
Senat Institut
PR, BID, AKAD
PR, BID, ADUM
Senat Institut
PR, BID, KEMAH
Biro AUAK
Bag Can/ Kua
Bag Kepg Otl Um
Bag Akadma
Bag KSM/ Publikasi
Subag Can
Subag Otl Um
Subag Regist
Subag KSM
Subag Keu
Subag Kepeg
Subag Kemah
Subag Pubdok
LPM
LEMLIT
Subag TU
Subag TU PUSLIT
PERPUSTAKAAN
FAK. TARBIYAH
PUSLIT
PUSAT BHS/BUDAYA
FAK. SYARIAH
FAK. DA’WAH
69
4.2.1.4 Tata Kerja IAIN Mataram Dalam melaksanakan tugasnya, setiap pimpinan suatu organisasi/satuan kerja di lingkungan IAIN Mataram wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi, baik di lingkungan masing-masing maupun antar satuan organisasi di lingkungan IAIN Mataram serta dengan instansi lain di luar IAIN Mataram sesuai dengan tugas masing-masing. Setiap pimpinan suatu organisasi/satuan kerja di lingkungan IAIN Mataram, bertanggung jawab memimpin dan mengkoordinasikan bawahannya masingmasing dan memberikan bimbingan serta petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahan. Setiap pimpinan suatu organisasi/satuan kerja wajib mengembangkan tugas dan fungsinya berdasarkan visi, misi dan kebijakan IAIN Mataram serta wajib mengikuti dan mematuhi petunjuk kerja pimpinan suatu organisasi di atasnya dan bertanggung jawab serta wajib menyampaikan laporan tugas secara berkala kepada atasan masing-masing. Setiap laporan yang diterima oleh pimpinan suatu organisasi/satuan kerja dari bawahan wajib melakukan pengolahan atas laporan pelaksanaan tugas tersebut untuk dipergunakan sebagai salah satu bahan utama dalam penilaian prestasi kerja,
pengambilan
keputusan
dan
pembinaan
karier
pegawai
serta
penyempurnaan pelaksanaan tugas lebih lanjut. Pembantu Rektor, Dekan, Ketua Lembaga Penelitian, Ketua Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat, Kepala
Unit Pelaksana Teknis dan Kepala Biro
menyampaikan laporan kepada Rektor, Selanjutnya Kepala Biro Administrasi
70
Umum, Akademik dan Kemahasiswaan menyusun laporan Akuntabilitas kinerja pelaksanaan tugas IAIN Mataram. Dalam menyampaikan laporan kepada atasan, tembusan laproan wajib disampaikan pula kepada satuan-satuan organisasi lain yang secara fungsional mempunyai hubungan kerja. Dalam melaksanakan tugasnya setiap pimpinan suatu organisasi dibantu oleh kepala-kepala satuan organsasi/satuan kerja dibawahnya dan dalam rangka pemberian bimbingan kepada bawahan masing-masing wajib mengadakan rapat berkala.
4.2.2 Universitas Mataram 4.2.2.1 Sejarah Universitas Mataram (Unram) merupakan perguruan tinggi yang diselenggarakan di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, berkedudukan di Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Proses berdirinya Universitas Mataram diawali dengan pembentukan Panitia Persiapan Pendirian Universitas Negeri di Mataram berdasarkan Surat Keputusan Menteri PTIP nomor 89/62 tanggal 26 Juni 1962. Panitia ini diketuai oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I NTB, yaitu R. Ar. Moh. Ruslan Tjakraningrat. Panitia persiapan ini kemudian membentuk Badan Persiapan, yang terdiri atas dua bagian, yaitu Bagian Inti (Gubernur, Danrem, Kepala Polisi, dan Kepala Cabang Kejati) dan Bagian Penyelenggara (Seksi Pelajaran diketuai oleh Drs. Soeroso, MA dan Seksi
71
Material diketuai oleh Sadili Sastrawidjaja, SH). Badan Persiapan ini menghasilkan dua usulan pokok, yaitu : a.
Pendirian Fakultas Ekonomi, Fakultas Peternakan, dan Fakultas yang menghasilkan ahli agronomi
b.
Alternatif nama Universitas: SANGKAREANG atau MATARAM. Berdasarkan usulan Badan Persiapan yang diteruskan oleh Panitia
Persiapan, ditetapkan berdirinya Universitas Negeri yang berkedudukan di Mataram, dengan Surat Keputusan Menteri PTIP Nomor 139/62 tanggal 3 Nopember 1962. Sampai satu tahun setelah penerbitan SK tersebut, tidak ada kegiatan yang menandai berfungsinya universitas, sehingga atas permintaan Gubernur, pada tanggal 17 Nopember 1963 Yayasan Pendidikan Sangkareang membuka Fakultas Ekonomi yang diharapkan kelak akan menjadi salah satu fakultas di Universitas Negeri di Mataram. Badan Persiapan Pendirian Universitas Mataram dibubarkan tanggal 7 Desember 1963 karena tugasnya dinyatakan telah selesai. Pada tanggal 19 Desember 1963 Yayasan Pendidikan Sangkareang menyerahkan Fakultas Ekonomi yang didirikan bersama 41 orang mahasiswanya kepada Gubernur untuk selanjutnya diresmikan oleh Menteri PTIP. Pada saat inilah secara resmi Universitas Negeri di Mataram mengawali kegiatannya. Atas dasar inilah pada masa-masa awal Universitas Mataram memperingati Dies Natalis pada tanggal 19 Desember. Namun setelah serangkaian proses pendirian tersebut dicermati ulang ditetapkan kemudian bahwa Dies Natalis jatuh pada setiap tanggal 1 Oktober.
72
Pada tahun 1967, Universitas Mataram mendirikan tiga fakultas sekaligus, yaitu Fakultas Pertanian (1967), Fakultas Peternakan (1967) dan Fakultas Hukum (1967). Pada saat itu Universitas Mataram masih berstatus Presidiumschop. Berdasarkan keputusan Rapat Senat Universitas Mataram tanggal 8 Maret 1968, presidiumschop Universitas diubah menjadi rectorschop. Keputuisan Senat ini diperkuat dengan keluarnya Surat Keputusan Direktur Jenderal Perguruan Tinggi nomor 156/KT/I/SP/68 yang menetapkan terhitung mulai tanggal 1 Maret 1968 presidiumschop Universitas Mataram menjadi rectorschop Universitas Mataram dengan susunan pimpinan sebagai berikut, Rektor
: Kolonel M. Jusuf Abubakar
Pembantu Rektor I
: Drh. H.M. Anwar Abidin
Pembantu Rektor II
: Drs. Abdul Karim Sahidu
Pembantu Rektor III
: Drs. Abdul Munir
Pembantu Rektor Khusus : Ir. M. Qazuini Namun demikian, jabatan Rektor tersebut baru dikukuhkan pada tahun 1971 berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 36/M tahun 1971 tertanggal 22 Maret 1971, terhitung mulai tanggal 1 Maret 1968. Setelah periode Kolonel M. Jusuf Abubakar, rektor Universitas Mataram berturutturut adalah sebagai berikut, 1.
Kolonel Gatot Suherman (caretaker) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 13856/C/I/74 tanggal 6 Mei 1974.
73
2.
Kolonel CKH Soebiyanto, SH (Rektor periode 1974 – 1979) berdasarkan Surat Keputusan presiden nomor 62/M/75 21 April 1975.
3.
Brigadir Jenderal Soebiyanto, SH. (Rektor periode 1979 – 1984) berdasarkan Surat Keputusan Presiden nomor 141/M/1979 tanggal 31 Juli 1979.
4.
Ir. M. Qazuini, M.Sc. (Rektor periode 1984 – 1988) berdasarkan Surat Keputusan Presiden nomor 122/M tahun 1984 tanggal 26 Mei 1984.
5.
Ir. M. Qazuini, M.Sc. (Rektor periode 1988 – 1993) berdasarkan Surat Keputusan Presiden nomor 237/M tahun 1988 tanggal 30 Agustus 1988.
6.
Dr. Ir. Sri Widodo, M.Sc. (Rektor periode 1993 – 1997) berdasarkan Surat Keputusan Presiden nomor 43/M tahun 1993 tanggal 8 Februari 1993.
7.
Prof. Dr. dr. Mulyanto (Rektor periode 1997 – 2001) berdasarkan Surat Keputusan Presiden nomor 74/M tahun 1997 tanggal 2 April 1997.
8.
Ir. Mansur Ma’shum, Ph.D. (Rektor Periode 2001 – 2005) berdasarkan Surat Keputusan Presiden nomor 186/M tahun 2001.
9.
Prof. Ir. Mansur Ma’shum, Ph.D. (Rektor Periode 2005 – 2009) berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 170/M Tahun 2005.
10.
Prof. Ir. Sunarpi, Ph.D. (Rektor periode 2009 – 2013) berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 96/M tanggal 21 September 2009. Dalam perkembangannya, hingga tahun akademik 2010/2011 Universitas
Mataram memiliki 8 fakultas. Empat fakultas yang dibentuk setelah Fakultas Hukum adalah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), ditetapkan dengan SK Rektor Universitas Mataram nomor 102/PT.21/H4/1981 tanggal 25
74
April 1981. Kemudian Fakultas Teknik, fakultas ini didirikan berdasarkan perubahan status Sekolah Tinggi Teknik Mataram (STTM) menjadi Program Studi Teknik Sipil sesuai Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi nomor 68/Dikti/Kep/1991 tanggal 8 Nopember 1991. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 0375/o/1993 tanggal 21 Oktober 1993 secara resmi berdiri Fakultas Teknik di Universitas Mataram. Dua fakultas terakhir yang didirikan adalah Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam
berdasarkan
Surat
(FMIPA) Ketetapan
dan
Fakultas
Rektor
Kedokteran,
Universitas
masing-masing
Mataram
Nomor
10146/H18/2007 tanggal 25 Agustus 2007 dan Surat Ketetapan Rektor Universitas Mataram Nomor 10147/H18/2007 tanggal 25 Agustus 2007. Saat ini Universitas Mataram mengelola 44 program studi yang terdiri dari 8 program studi Magister, 29 program S-1 dan 7 program D-3. Khusus untuk Program Studi Magister (S-2) dikelola langsung oleh Program Pascasarjana berdasarkan SK Rektor No. 6847/J18.H/HK.01.11/2006 tanggal 3 Juni 2006. Kantor Pusat Universitas Mataram untuk pertama kali bertempat di Taman Mayura Cakranegara (sebuah situs bersejarah bagi bangsa Indonesia), kemudian pindah ke Jalan Pendidikan 37 Mataram, dan akhirnya sejak 1993 menempati gedung Rektorat yang sekarang di Jalan Majapahit 62 Mataram.
4.2.2.2 Lokasi Kampus Universitas Mataram memiliki dua area kampus yang agak sedikit terpisah oleh perumahan dosen dan fasilitas kampus lainnya.
75
Kampus lama terletak di Jalan Pendidikan Mataram, di lokasi ini semula terdapat Fakultas Ekonomi, Hukum dan Pertanian, namun pada perkembangannya kampus lama sekarang digunakan untuk Program Magister Manajemen, UPT Pusat
Bahasa,
UPT
Penelitian,
UPT
Pengembangan
Masyarakat,
dan
Laboratorium Lapangan Fakultas Perikanan. Kampus Baru Unram, terletak di Jalan Majapahit, dimana gerbang utama dan Gedung rektorat Unram tepatnya berada di jalan ini. Sementara kampus fakultas-fakultasnya bisa diakses melalui gerbang utama ini kemudian menyususri jalan lingkar yang melingkari semua faklutas yang ada di Unram, mulai dari Rektorat, Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, Fakultas Teknik, Fakultas Pertanian, Peternakan, MIPA, Kedokteran, UPT Perpustakaan, UPT Komputer, Asrama Mahasiswa, GOR, Masjid Baabul Hikmah, Fakultas Keguruan, dan Auditorium M. Yusuf Abubakar.
4.2.2.3 Visi Misi dan Tujuan VISI Universitas Mataram mampu menghasilkan lulusan berkualitas Ipteks tinggi, penelitian dan pengabdian yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui dukungan kerjasama yang dilandasi oleh nilai – nilai Imtaq. MISI Untuk mewujudkan visi tersebut, maka ditetapkan empat misi Unram sesuai bidang tugasnya yang dalam implementasinya
selalu dilandasi oleh nilai –
nilai keimanan dan ketaqwaan ( Imtaq) dan prinsip – prinsip
76
“ University Governance” keempat misi tersebut : 1.
Menyelenggarakan pendidikan tinggi yang berkualitas dalam rangka menghasilkan sumberdaya manusia berwawasan Ipteks.
2.
Menyelenggarakan penelitian yang mampu menghasilkan Ipteks yang mendukung kemajuan Pembangunan nasional dan wilayah.
3.
Menyelenggarakan pengabdian pada masyarakat untuk menerapkan Ipteks hasil pendidikan dan penelitian.
4.
Menyelenggarakan kerjasama dengan berbagai pihak/lembaga dalam dan luar negeri untuk mendukung pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
TUJUAN A. Tujuan Bidang Pendidikan Menata kelembagaan pendidikan dan pelayanan program studi yang sudah ada dan mengembangkan
program studi baru kebutuhan masyarakat,
pembangunan nasional dan wilayah. 1.
Menyediakan sarana, prasarana dan pembiayaan pendidikan yang cukup dan berkualitas.
2.
Menyediakan program pengembangan dosen dan pegawai non dosen melalui program pendidikan S-2, S-3, promosi Guru Besar, kursus dan pelatihan baik didalam maupun diluar negeri.
3.
Mengembangkan mekanisme dalam seleksi mahasiswa/mahasiswi baru, pengembangan proses belajar mengajar (PBM) dan pembinaan penalaran dan minat serta bakat.
B. Tujuan bidang Penelitian
77
1.
Menata dan mewujudkan kelembagaan penelitian yang sehat dan mampu menghasilkan dan mengembangkan.
Memanfaatkan sarana, prasarana
dan pembiayaan secara efektif dan efisien dalam pelaksanaan ipteks yang bermanfaat bagi kemajuan masyarakat dan pembangunan nasional. 2.
Memanfaatkan sarana, prasarana dan pembiayaan secara efektif dan efisien dalam pelaksanaan penelitian dan pengembangan Ipteks.
3.
Membina sumber daya manusia peneliti dan pengembang ipteks yang profesional dan berdaya saing tinggi.
C. Tujuan Bidang Pengabdian Pada Masyarakat 1.
Menata dan mengembangkan kelembagaan dan pola kegiatan Pengabdian Pada Masyarakat agar mampu melaksanakan kegiatan Pengabdian Pada Masyarakat dan kemajuan masyarakat dan pembangunan nasional.
2.
Mengusahakan sarana, prasarana dan pembiayaan secara efektif dan efisien dalam pelaksanaan kegiatan pengabdian Pada Masyarakat.
3.
Mengembangkan kemampuan dosen dan mahasiswa dalam merencanakan dan mengevaluasi kegiatan pengabdian pada masyarakat.
D. Tujuan Bidang Kerjasama 1.
Menata dan mengembangkan lembaga kerjasama agar mampu menjalin hubungan kerjasama dengan berbagai pihak/lembaga ditingkat regional, nasional dan internasional yang mendukung peningkatan kinerja dan mutu unram.
2.
Meraih peluang pengembangan sumber penerimaan ( revenue generating ) melalui pemanfaatan secara optimal seluruh sumberdaya yang ada.
78
3.
Meningkatkan keterampilan dan kemampuan sumberdaya manusia dalam menjalin hubungan kerjasama dengan pihak/lembaga lainnya.
4.2.2.4 Fakultas dan Program Pascasarjana Universitas Mataram memiliki 9 fakultas S1 dan 7 Program Studi Pascasarjana , yaitu: 1.
Fakultas Ekonomi
2.
Fakultas Teknik
3.
Fakultas Pertanian
4.
Fakultas Hukum
5.
Fakultas Peternakan
6.
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
7.
Fakultas MIPA
8.
Fakultas Perikanan
9.
Fakultas Kedokteran
Program Pascasarjana Universitas Mataram saat ini memiliki 7 (tujuh) Program Studi, yakni: 1.
Magister Manajemen (MM)
2.
Magister Ilmu Hukum (MIH)
3.
Magister Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering (MPSLK)
4.
Magister Manajemen Sumberdaya Peternakan (MMSP)
5.
Magister Pendidikan Sains (MPS)
6.
Magister Akuntansi (MAKSI)
7.
Magister Ilmu Ekonomi (MIE)
79
4.2.2.5 Struktur Organisasi Berdasarkan Statuta Universitas Mataram yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional Nomor 088/0/2003 tanggal 4 Juli 2003 susunan organisasi Unram terdiri dari unsur – unsur sebagai berikut : 1.
Dewan Penyantun
2.
Senat Universitas
3.
Unsur pimpinan terdiri dari :Rektor, Pembantu Rektor
I (Bidang
Akademik), Pembantu Rektor II (Bidang Administrasi Umum dan Keuangan), Pembantu Rektor III (Bidang Kemahasiswaan), dan Pembantu Rektor IV (Bidang kerjasama dan Perencanaan) jabatan PR IV adalah jabatan tambahan yang belum masuk dalam Statuta Unram tersebut di atas. 4.
Unsur Pelaksana Akademik : -
Bidang Pendidikan (PR I, Fakultas, Jurusan, Program Studi, UPT MKU dan Lembaga Pengembangan Pendidikan yang memiliki 6 Pusat Pengembangan : P3AI, Pendidikan Agama, Jaminan Mutu Pendidikan, Pembelajaran Primer, Pendidikan Masyarakat, dan Media Pembelajaran dan Multimedia )
-
Bidang Penelitian (Lembaga Penelitian yang membawahi 15 Pusat Penelitian : Lingkungan Hidup, Kependudukan, Peranan Wanita, Teknologi terapan, Pengembangan pedesaan, Pengembangan Usaha Mandiri, Bahasa dan Kebudayaan, Hukum dan Pengembangan Sumber daya, Agribisnis, Perencanaan Regional, Pengembangan
80
Sumber Daya Hayati, Pesisir Laut, ketahanan Pangan dan Gizi, Sumberdaya dan Agroklimat, Pengembangan Lahan Kering Tropika. -
Bidang
Pengabdian
Pada
Masyarakat
(memiliki
4
pusat
pengembangan yaitu Pemetaan dan Pengolahan Citra, Pemberdayaan Tenaga Kerja dan Pemuda, Tata Pemerintahan Yang Baik, dan Pengembangan Agroindustri) 1.
Unsur pelaksana administrasi dengan 2 biro : 1) BAAKPSI, terdiri dari
3
bagian
yaitu
(1)
Pendidikan
dan
kerjasama,
(2)
Kemahasiswaan, (3) Perencanaan dan Sistem Informasi, 2) BAUK, terdiri dari 3 bagian yaitu (1) Umum, Hukum, Tatalaksana dan Perlengkapan (UHTLP), (2) Kepegawaian, (3) Keuangan. 2.
Unsur Penunjang : -
UPT
-
Laboratorium
-
Bengkel
-
Lahan percobaan dan bentuk lain yang dianggap perlu dalam menyelenggarakan UNRAM.
pendidikan
akademik dan atau profesi di
81
4.2.2.6 Sarana dan Prasarana A. Asrama Mahasiswa Universitas Mataram memiliki satu Asrama Mahasiswa yang berada di dalam kampus dengan luas gedung 1.760 m2 dan memiliki 26 buah kamar . B. Koperasi Mahasiswa Untuk melayani kebutuhan sehari-hari mahasiswa, di kampus juga diadakan Koperasi Mahasiswa (KOPMA) yang pengelolaannya dilakukan oleh dan untuk mahasiswa sendiri di bawah supervisor PR III. C. Poliklinik Poliklinik Unram dikelola oleh beberapa orang dokter dan 3 orang tenaga para medis, poliklinik ini memberikan pelayanan kesehatan secara gratis kepada seluruh sivitas akademika dan karyawan Unram, termasuk pelayanan kesehatan untuk pemegang polis JPKMK, pelayanaaana kesehatan dilaksanakan dari pukul 08.00 pagi sampai pukul 17.00 Wita. D. Keagamaan Untuk menunjang pelaksanaan peribadatan bagi warga kampus yang beragama Islam, di kampus Unram terdapat 1 buah masjid yaitu masjid “Babul Hikmah” dan beberapa musholla yang berada di lingkungan masing-masing fakultas. E. Beasiswa Saat ini ada 17 jenis beasiswa yang diterima berkisar dari Rp.100.000,- s.d Rp. 300.000,- per bulan. Umumnya setiap jenis beasiswa mensyaratkan prestasi akademis yang tinggi dan secara ekonomis kurang mampu.
82
F. Fasilitas Kampus Lainnya Seperti halnya kampus-kampus PTN lain di Indonesia, Universitas Mataram memiliki berbagai macam fasilitas kampus seperti UPT Perpustakaan (3 lantai dengan koleksi buku dan Journal terbitan dalam dan luar negeri), UPT Pusat Komputer (Puskom), yang kemudian berganti nama menjadi UPT Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi (PUSTIK), UPT Pusat Bahasa, UPT Workshop, serta UKM atau Unit Kegiatan Kemahasiswaan yang diharapkan dapat membina mental mahasiswa.
4.2.2.7 Pusat Kegiatan Mahasiswa Unit Kegiatan Mahasiswa Unit Kegiatan Mahasiswa memiliki gedung khusus seluas 918 m2, berlantai dua. Gedung tersebut menjadi pusat kegiatan mahasiswa di seluruh fakultas Universitas Mataram dengan 26 macam kegiatan yang dikelompokkan dalam 3 (tiga) bidang yaitu bidang Minat dan Kegemaran, bidang Keilmuan dan Penalaran, dan bidang Keagamaan. Tabel 4.2 : Daftar Unit Kegiatan Mahasiswa
1.
Bidang Minat dan Kegemaran Media ( Jurnalis)
2.
Kyokushin
3. 4.
Kyokushinkai Fokus (Fotografi)
No.
Bidang Keilmuan dan Penalaran 20. Himp. Mahasiswa Peneliti dan Pengkaji Lingkungan 21. Wahana Mhs. Pengabdi Masyarakat
Bidang Keagamaan 22. Lembaga Dakwah Kampus 23.Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma 24. Oikumene 25. Studi Pengembangan AlQur’an
83
5.
Tae Kwon Do
26. Keluarga Mahasiswa Budhis
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Merpati Putih Bola Voli Boxer Koperasi Mahasiswa Perisai Diri Bola Basket Resimen Mahasiswa KSR-PMI Bulutangkis Grahapala (Pencinta Alam) 16. Pramuka 17. Paduan Suara 18. Sepak Bola 19. Shorinji Kempo Sumber : Buku Pedoman UNRAM 4.2.2.8 Kehidupan Mahasiswa A. Kehidupan Mahasiswa dalam kampus Komunitas Mahasiswa Unram dapat melakukan berbagai kegiatan bermanfaat melalui UKM-UKM yang tersedia. Disamping itu juga terdapat Asrama Mahasiswa sebagai tempat tinggal bagi mahasiswa umum. beberapa UKMF yang ada di FK UNRAM antaralain UKM KEROHANIAN ASY_SYIFA yang berdiri sejak tahyn 2005 dan di ketuai oleh asep nasrullah, kemudian januarman, dan dedy muhadi, UKMF bola yang diketuai oleh dwityo rahmat setiawan, UKMF basket diketuai oleh Syaiful jihad AL-Iqbal. UKF Lainnya adalah KMHD (UKF kerohanian hindu), UKF bulu tangkis, dan UKF Informasi dan Teknologi (Neuromedic) yang mulai berdiri pada Februari 2009. Kini UKF Neuromedic telah berhasil merilis portal FK Unram dengan alamat: www.fkunram.net
84
B. Kehidupan mahasiswa lingkar kampus Mahasiswa Unram umumnya memilih tempat tinggal atau kos-kosan di seputaran lingkungan kampus seperti Gomong, Kekalik, Dasan Agung dan Ampenan. Sebagai calon mahasiswa Universitas Mataram, banyak yang harus dipersiapkan terutama bagi mahasiswa yang berasal dari daerah, dan hal penting yang harus dipersiapkan adalah memperkirakan besarnya biaya hidup di kota Mataram. Secara umum komponen biaya hidup bagi seorang mahasiswa terdiri atas biaya pemondokan, makan, biaya transportasi, SPP, hiburan, dan biaya kegiatan kemahasiswaan. Universitas Mataram memiliki Asrama Mahasiswa yang berada di dalam kampus namun hanya memiliki 26 kamar yang hanya dapat menampung sebanyak 52 orang mahasiswa. Bagi mahasiswa Universitas Mataram yang mencari pemondokan, pemondokan banyak tersedia di sekitar Kampus Unram yang dikelola oleh masyarakat dengan biaya bervariasi sekitar Rp. 2.000.000,- per tahun dengan fasilitas yang layak, fasilitas yang lebih bagus dapat didapat dengan harga Rp. 3000.000,- per tahun. Mahasiswa yang sewa kamar bulanan atau mengontrak kamar/rumah, umumnya makan di kantin kampus atau di warung yang banyak terdapat di sekitar pemondokan mahasiswa. Sedangkan untuk mahasiswa yang secara bersama kontrak rumah biasanya iuran dengan memanfaatkan jasa pembantu rumah tangga dalam menyediakan makan sehari-hari. Pilihan lain untuk cara makan adalah jasa catering (rantangan) dengan biaya minim.
85
Mahasiswa yang memilih pondokan lengkap tentu tidak punya masalah dalam soal makanan, karena telah termasuk kedalam biaya yang dibayar. Angkutan umumnya hanya satu kali naik kendaraan, bahkan untuk beberapa tempat cukup dengan jalan kaki dari tempat pemondokan untuk menuju kampus karena kampus Universitas Mataram berada disatu lokasi. Bagi mereka yang melakukan keperluan pribadi
atau memerlukan
kegiatan rekreasi tidak membutuhkan biaya besar karena seperti pantai-pantai di sekitar Kota Mataram tidak memungut biaya untuk dikunjungi.
4.2.3 Universitas Muhammadiyah Mataram 4.2.3.1 Sejarah Universitas Muhammadiyah Mataram (UM. Mataram) berdiri pada tanggal 25 Juli 1980 yang pengelolaannya dilakukan oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Nusa Tenggara Barat/Majelis Pendidikan dan Pengajaran dan Kebudayaan dan selanjutnya pembinaan dilakukan oleh Yayasan Perguruan Tinggi Muhammadiyah sesuai dengan Akta Notaris Nomor 355 tanggal 21 Oktober 1981 dan disesuaikan dengan Akta Notaris Nomor 16 tanggal 8 Agustus 1986. Pada awal berdiri pada tahun 1980 Universitas Muhammadiyah Mataram memiliki tiga fakultas dan enam program studi, yaitu : 1.
FKIP
: - Pendidikan Moral Pancasila/Civic Hukum - Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
2.
FISIPOL
: - Ilmu Administrasi Negara
86
- Ilmu Administrasi Niaga - Ilmu Pemerintahan 3.
Fatek
: - Teknik Sipil
dengan status terdaftar sampai dengan tingkat Sarjana Muda, pengembangan dan peningkatan jumlah fakultas dan program studi dilakukan oleh UM. Mataram seiring dengan meningkatnya minat mahasiswa untuk melanjutkan studi di UM. Mataram, dalam kurun waktu 31 tahun Universitas Muhammadiyah Mataram berkembang cukup pesat sehingga sampai sekarang tahun2011 telah memiliki : tujuh Fakultas/Diploma, dua puluh Program Studi S1 dan D3.
Periode Kepemimpinan di Universitas Muhammadiyah Mataram adalah sebagai berikut : 1. H. Anwar Ikraman 2. H. Idrus (Rektorium) 3. Prof. Drs. H. Abdul Karim Sahidu 4. K. H. Dimyati Solihan 5. H. Agusfian Wahab, SH 6. Ir. H. Suharto Tjitrohardjono 7. Prof. Dr. H. Baharuddin AB, MS 8. Dr. Ir. Imam Hidayat, M.Ag, Er (Pj) 9. Drs. H. Syamsuddin Anwar (Pj) 10. H. Agusfian Wahab, SH (periode kedua) 11. Drs. H. Lalu Mudjitahid (Pj. Rektor)
87
12. Drs. Mustamin H. Idris, MS (sampai sekarang) Universitas Muhammadiyah Mataram selanjutnya disebut UM. Mataram merupakan
salah
satu
Perguruan
Tinggi
Swasta
milik
Persyarikatan
Muhammadiyah yang berkedudukan di Mataram sebagai Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sebagai salah satu amal usaha Muhammadiyah UM. Mataram adalah perguruan tinggi berakidah Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan AsSunnah serta berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang melaksanakan tugas Catur Dharma Perguruan Tinggi Muhammadiyah yaitu menyelenggarakan pembinaan ketakwaan dan keimanan kepada Allah SWT. Pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat menurut tuntunan Islam.
Universitas Muhammadiyah Mataram sebagai Perguruan Tinggi di usia yang ke tiga puluh satu tahun terus berbenah diri untuk mewujudkan menjadi perguruan tinggi sehat dan mandiri menuju UM. Mataram Tanggap Mutu. UM. Mataram diharapkan mampu menjadi kekuatan moral yang mampu membentuk akhlaq, karakter dan budaya bangsa yang berintergritas tinggi, menumbuhkan masyarakat yang demokratis dan menjadi sumber ilmu pengetahuan serta pembentukan sumber daya manusia yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Proses ini akan berhasil apabila Universitas Muhammadiyah Mataram mampu berinteraksi dengan baik untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi aktif dari Pemerintah dan masyarakat dan dunia swasta dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
88
4.2.3.2 Visi – Misi Universitas Visi :
Pada tahun 2030 Universitas Muhammadiyah Mataram menjadi lembaga pendidikan tinggi mandiri dan unggul berdaya saing yang mampu menghasilkan lulusan yang berakhlaq mulia, menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, menghasilkan penelitian yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan pembangunan nasional yang berkelanjutan dengan mempertahankan kearifan budaya lokal dan kelestarian sumber daya alam sebagai da’wah amar ma’ruf nahi munkar dalam rangka mewujudkan masyarakat utama yang diridhoi Allah SWT.
Misi :
1.
Menyiapkan mahasiswa menjadi Sarjana muslim yang beriman dan bertaqwa, berakhlaq mulia, yang memiliki kemampuan akademik
dan atau
profesinalisme
dan beramal menuju
terwujudnya masyarakat utama, adil makmur dan sejahtera yang diridhoi Allah SWT. Bagi mahasiswa non muslim dididik agar memiliki kemampuan akademik dan atau profesionalisme dan beramal menuju terwujudnya masyarakat utama, adil makmur dan sejahtera. 2.
Melaksanakan pendidikan yang dinamis dan berkualitas tinggi.
3.
Menyiapkan atau menyediakan infra struktur yang memadai untuk menunjang proses belajar mengajar berkualitas.
4.
Menyiapkan atau menyediakan kerangka kelembagaan yang baik dan kuat untuk menunjang proses penyelenggaraan pendidikan.
89
5.
Menjalin hubungan kerjasama yang erat dengan pihak lain yang sifatnya menguntungkan dalam segala bidang berdasarkan prinsip ajaran Islam.
6.
Menyiapkan atau menyediakan prangkat pelayanan internal maupun eksternal (publik) di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi untuk memajukan perekonomian bangsa dengan laju pertumbuhan yang tinggi.
7.
Melakukan pengembangan jalur pendidikan yang memiliki relevansi terhadap kemajuan UM. Mataram khususnya dan bangsa Indonesia umumnya.
8.
Melakukan inovasi dan program teknologi dan kapital melalui program nasional (menjadi input bagi Pemerintah).
4.2.3.3 Dasar dan Tujuan Universitas Muhammadiyah Mataram menyusun dan mengembangkan program berdasarkan pada : 1.
Pancasila dan UUD 1945.
2.
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3.
Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Adapun dalam kegiatan operasionalnya Universitas Muhammadiyah Mataram berpedoman pada :
90
a.
Qaidah Perguruan Tinggi Muhammadiyah tahun 1999.
b.
Statuta Universitas Muhammadiyah Mataram.
c.
Renstra Universitas Muhammadiyah Mataram tahun 2008 – 2013.
d.
Renop Universitas Muhammadiyah Mataram tahun 2011.
e.
Peraturan-peraturan lain yang terkait dan berlaku.
Tujuan penyelenggaraan pendidikan di Universitas Muhammadiyah Mataram adalah sebagai berikut : 1. Menghasilkan lulusan yang beriman, bertaqwa, menguasai IPTEKS, profesional, kreatif, inofatif, bertanggung jawab, dan mandiri manuju terwujudnya masyarakat utama. 2. Meningkatkan kegiatan penelitian sebagai landasan penyelenggaraan pendidikan dan mengembangkan IPTEKS. 3. Menghasilkan,
mengamalkan,
mengembangkan
dan
menyebarluaskan
IPTEKS dalam skala regional, nasional dan internasional. 4. Mewujudkan pengelolaan yang terencana, terorganisir, produktif, efektif, efisien dan terpercaya untuk menjamin keberlanjutan universitas. 5. Mewujudkan civitas akademika yang mampu menjadi teladan dan kehidupan masyarakat. 6. Menjalin kerjasama dengan pihak lain dalam lingkup regional, nasional dan internasional untuk pengembangan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.
91
Untuk mencapai tujuan tersebut Universitas Muhammadiyah Mataram memaksimalkan pelaksanaan Catur Dharma Perguruan Tinggi, yang meliputi : 1.
Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran.
2.
Penyelenggaraan penelitian dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan seni dan budaya.
3.
Penyelenggaraan pengabdian kepada masyarakat.
4.
Kajian Al-Islam dan Kemuhammadiyahan.
4.2.3.4 Kompetensi Lulusan Kompetensi
lulusan
Universitas
Muhammadiyah
Mataram
dapat
berkehidupan yang Islami dan beruswatun khasanah sehingga mampu : 1.
Merancang dan mengimplementasikan pengetahuan dan keterampilan di bidang keilmuan yang ditekuninya.
2.
Memiliki kreatifitas dan integritas ilmiah.
3.
Memiliki kemampuan mengkaji dan memecahkan masalah di bidang keilmuan saat ini dan yang akan datang dengan dukungan IPTEKS.
4.2.3.5 Lokasi Kampus Kampus Universitas Muhammadiyah Mataram terletak di Jl. K. H. Ahmad Dahlan No. 1 Pagesangan Mataram Telepon : (0370) 633723 Facsimile : (0370) 641906 Homepage
: http://www.ummat.ac.id
E-mail
:
[email protected]
Tgl. berdirinya
: 25 Juli 1980
Dies Natalis
: 25 Juli
92
4.2.3.6 Fakultas dan Program Studi Uraian tentang Fakultas dan Program Studi yang ada di Universitas Muhammadiyah Mataram lebih lanjut lihat tabel berikut ini : Tabel 4.3 : Fakultas dan Program Studi di UM. Mataram JENJANG (S-2/S-1/ PROFESI/POLITEKNIK/D3
TAHUN BERDIRI
NILAI DAN TAHUN AKREDITASI
a. Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah
S1
1981
B / 2008
b. Bahasa Inggris
S1
1990
C / 2008
c. PPKn
S1
1981
B / 2008
d. Geografi
S1
1990
C / 2008
e. FISIKA
S1
2007
dalam proses
a. Ilmu Pemerintahan
S1
1981
C / 2006
b. Ilmu Adm. Negara
S1
1981
C / 2006
c. Ilmu Adm. Niaga
S1
1981
C / 2006
d. Perpustakaan
D3
1990
dalam proses
a. Teknologi Hasil Pertanian
S1
1980
C / 2006
b. Teknik Pertanian
S1
1980
C / 2006
a. Teknik Sipil
S1
1980
C / 2005
S1
2007
dalam proses
c. Tekni Pertambangan
D3
1997
dalam proses
5. Fak. Hukum
a. Ilmu Hukum
S1
2007
dalam proses
6. Diploma Kesehatan
a. Kebidanan
D3
2006
dalam proses
b. Farmasi
D3
2006
dalam proses
Pendidikan Bahasa Arab
S1
2010
-
FAKULTAS 1. FKIP
2. FISIP
3. Faperta
4. Fatek
PROGRAM STUDI
b. Teknik Wilayah
7. Fak. Agama Islam
Perencanaan
93
BAB V PELAKSANAAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PADA 3 PERGURUAN TINGGI DI KOTA MATARAM DALAM KONTEKS PEMBINAAN KEHIDUPAN DEMOKRASI
Pelaksanaan atau penyelenggaraan Pendidikan Kewarganegaraan secara umum dapat dibagi atau dikelompokkan menjadi 2 bagian/kelompok, yaitu Pendidikan Formal dan Pendidikan NonFormal. Pendidikan secara formal yaitu Pendidikan Kewarganegaraan yang dilaksanakan secara formal di sekolah dalam hal ini di perguruan tinggi secara resmi, terencana, dan mempunyai tujuan serta kompetensi tertentu. Sedangkan pendidikan secara nonformal yang dimaksud adalah penyelenggaraan Pendidikan Kewarganegaraan diluar sistem persekolahan. Pendidikan Kewarganegaraan non formal ini dapat diselenggarakan oleh departemen, non departemen, lingkungan perusahaan, organisasi politik, organisasi sosial, dan organisasi kemasyarakatan termasuk juga di lingkungan keluarga. Pada bagian ini akan dijelaskan secara terperinci mengenai bagaimana penyelenggaraan atau pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan secara formal yang diselenggarakan pada perguruan tinggi di Mataram. Secara formal pelaksanaan pendidikan kewarganegaran di perguruan tinggi di dasarkan pada kepentingan nasional yang diwujudkan dalam kurikulum nasional. Kepentingan nasional disusun berdasarkan situasi dan kondisi Negara yang sedang dan akan dihadapi ke depan. Sebagai contoh pada Orde Reformasi
94
sekarang ini, ada beberapa ancaman yang dihadapi yang mengarah pada tantangan nonfisik dan gejolak sosial yang diwujudkan dalam bentuk mempertahankan, melindungi, atau bela Negara, tidak terlepas dari pengaruh lingkungan dari luar maupun dari dalam, baik langsung maupun tidak langsung. Untuk itu bangsa Indonesia harus menyusun rumusan atau konsep bela Negara yang dikaitkan dengan lingkungan strategis, yaitu pemahaman tentang wilayah Negara (NKRI) tentang ketahanan nasional (Tannas) dalam memperthankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKR)I. Konsep tentang hal ini (bela Negara) telah disusun sejak tahun 1973 pada TAP MPR No. IV/MPR/1973 tentang GBHN yaitu Wawasan Nusantara (Wasantara) dan Ketahanan Nasional (Tannas). Sesuai dengan perkembangsn zaman dan muatan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional tersebut, maka semua produk hukum dan system pendidikan kewarganegaraan yang cenderung melibatkan kemampuan fisik tidak belaku lagi. Sebagi penggantinya ialah UU No. 20 tahun 1982 tentang pokok-pokok pertahanan keamanan Negara yang memunculkan penyelenggaraan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) di lingkungan pemukiman pendidikan dan pekerjaan. Dalam lingkungan pendidikan PPBN diberikan dalam bentuk mata pelajaran sejak TK sampai Perguruan tinggi. Kemudian, dalam UU No. 2 tahun 1989 dan UU No. 20 tahun 2003 tentang system Pendidikan Nasional (Sisdiknas) direalisasikan dalam kurikulum wajib disemua jenjang dan jalur pendidikan dengan nama Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan yang riil di lapangan, ada beberapa komponen yang saling terkait yang perlu mendapat perhatian.
95
Komponen tersebut antara lain adalah kurikulum dan sarana, tenaga pengajar, manajemen pembelajaran. Keseluruhan komponen tersebut saling berhubungan dan terkait satu sama lain dalam mencapai tujuan pendidikan kewarganegaraan. Untuk itu, berikut ini akan diuraikan masing-masing komponen bagaimana keadaannya dan pelaksanaannya secara nyata di lapangan (Perguruan Tinggi di Mataram). Perguruan Tinggi yang dijadikan sampel dalam hal ini adalah melibatkan 3 (tiga) Perguruan Tinggi, yaitu Universitas Mataram (UNRAM), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram, dan Universitas Muhammadiyah Mataram (UMM). Pemilihan ketiga perguruan tinggi tersebut didasarkan bahwa ketiganya mewakili tiga versi pendidikan kewarganegaraan. UNRAM mewakili versi umum yang bahan/materinya disusun oleh Lemhanas dan Dirjen Dikti Diknas. IAIN Mataram mewakili versi khusus untuk perguruan tinggi Islam, dan Universitas
Muhammadiyah
Mataram
mewakili
versi
perguruan
tinggi
Muhammadiyah di Indonesia.
5.1 Kurikulum dan Sarana Kurikulum bila ditinjau dari aspek penyusunannya, maka kurikulum disusun oleh aparat yang berwenang, yaitu pemerintah dalam bentuk kebijaksanaan pendidikan. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang sifatnya berkesinambungan dan berorientasi ke masa depan. Oleh karena itu penyusunan kurikulum hendaknya berpijak pada masa sekarang sebagai untuk menghadapi masa yang akan datang dan juga didasarkan pada filosofi/filsafat pendidikan yang jelas sesuai Ideologi atau falsafah negara.
96
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kurikulum pendidikan merupakan aspek yang penting untuk menjaga kepentingan nasional maupun untuk memberikan kreatifitas dan menunjang kepentingan daerah. Untuk itu pemerintah pusat bertugas dan berkewenangan untuk menetapkan visi dan misi pendidikan nasional setiap jenjang dan jenis pendidikan dengan indikator keberhasilan yang jelas sebagai kurikulum nasional. Ketentuan tentang mata pelajaran apa saja yang wajib bagi setiap jenjang pendidikan dapat dilihat pada UU Sistem Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003 pasal 37. Khusus untuk kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: 1) pendidikan agama; 2) pendidikan kewarganegaraan; dan 3) bahasa. Masalah kurikulum yang digunakan dalam pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan pada perguruan tinggi di Mataram seperti yang ungkapkan informan berikut ini. ”kami melaksanakan pembelajaran pendidikan kewarganegaraan berpedoman pada kurikulum oleh Depdiknas, karena mata kuliah ini merupakan kurikulum Nasional yang wajib bagi seluruh mahasiswa.” (H. Usman). Hal senada diungkapkan oleh informan lainnya. ”Di kampus kami pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan berpedoman pada kurikulum Nasional (pedoman dari Depdiknas). Di samping itu kami juga menggunakan pedoman khusus untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah karena kami adalah Perguruan Tinggi Muhammadiyah.” (Taufik). Agak berbeda dengan informan dari IAIN Mataram yang mengungkapkan : ”Kami di IAIN menggunakan pedoman pada kurikulum bahwa khusus untuk Perguruan Tinggi Agama Islam dalam pelaksnaan pembelajaran Civic Education yang dikembangkan oleh ICCE.” (H. Nashuddin).
97
Dari ungkapan di atas dapat diketahui bahwa Pendidikan Kewarganegaraan atau Civic Education yang dilaksanakan merupakan mata kuliah wajib bagi seluruh mahasiswa dan mempunyai pedoman secara nasional atau kurikulum Nasional. Bila diteliti dari pedoman/kurikulum yang digunakan oleh para dosen terlihat bahwa Civic Education ini bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik memahami hak dan kewajibannya serta menjadikan warga negara yang demokratis sesuai dengan UUSPN No. 20 tahun 2003 Ps 37. Dengan demikian harus dilaksanakan dengan benar sesuai dengan pedoman secara nasional. Sebab kurikulum
merupakan
atau
dapat
diakatakan
sebagai
suatu
kebijakan
negara/pemerintah sehingga wajib dilaksanakan. Hal ini juga menunjukkan adanya hubungan yang erat antara pendidikan dan politik suatu negara. Jadi pendidikan dan politik secara dinamis dan sinergis berproses dalam pembentukan karakteristik masyarakat disuatu negara (Indonesia). Tentang hubungan antara pendidikan dan politik ini sesuai dengan pendapat Abernethy dan Coombe (M. Sirozi, 2007 : 13) yang menyatakan bahwa pendidikan dan politik terkait tanpa bisa dipisahkan. Dan ada empat aspek kehidupan masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah yaitu jenis dan jenjang pekerjaan, mobilitas sosial, ide-ide dan sikap-sikap masyarakat. Dinamika hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dalam mata masyarakat atau negara terus berkembang seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat suatu negara yang bersangkutan. Intensitas perubahan tersebut sangat nyata terlihat dalam proses yang menghantarkan negara
98
jajahan menuju kemerdekaan, dari kemerdekaan menuju negara yang lebih maju lagi. Misalnya bagaimana perkembangan atau perubahan Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan sejak kemerdekaan sampai saat ini. Seperti yang diungkapkan oleh informan berikut. ”Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan yang digunakan saat ini di Perguruan Tinggi telah mengalami perubahan sejak sekitar tahun 1973 sampai sekarang. Dulu bernama kewiraan saat ini berdasarkan SK Dirjen Dikti Depdiknas No. 43/DIKTI/KEP/2006 tentang rambu-rambu pelaksanaan kelompok mata kuliah. Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi berubah nama menjadi Pendidikan Kewarganegaraan demikian juga masalah materi, metode, strategi pembelajaran serta sistim evaluasinya juga ikut berubah.” (H.M. Matsir). Dengan adanya perubahan pengembangan ataupun penyempurnaan kurikulum seperti di ungkapkan di atas dan menurut SK DIRJEN DIKTI Depdiknas No.
43/DIKTI/KEP/2006,
maka
pendidikan
kewarganegaraan
memiliki paradigma baru yaitu Pendidikan Kewarganegaraan berbasis filsafat bangsa Pancasila.
Mata kuliah ini mempunyai peran strategis dalam
mempersiapkan warganegara yang cerdas bertanggung jawab dan berkeadaban. Sehingga mata kuliah ini termasuk dalam kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian (MKPK) yang wajib diberikan pada seluruh mahasiswa disemu fakultas dan jurusan maupun program studi. Pada hakekatnya Pendidikan Kewarganegaraan merupakan hasil sintesis antara Civic Education, Democracy Education serta Citizenship Education yang berlandaskan filsafat Pancasila serta mengandung identitas nasional Indonesia serta materi muatan tentang bela negara (MANSOER, 2006 : 4). Untuk melaksanakan ketentuan yang telah digariskan atau yang termuat dalam kurikulum diperlukan sarana dan prasarana termasuk di dalamnya tentang
99
media pembelajaran untuk melaksanakannya. Seperti yang dikemukakan oleh informan berikut. ”Dalam melaksanakan apa yang dikehendaki kurikulum memerlukan perangkat pembelajaran yang memadai di kampus kami perangkat dimaksud sudah lumayan memadai, tinggal bagaimana kreatifitas dan kecermatan pengajar untuk dapat memanfaatkannya sekalipun belum dikatakan sempurna atau mencukupi.” (Kafrawi). Hal senada juga dikemukakan oleh informan lain. ”Kalau dicermati apa yang tercantum dalam kurikulum dibutuhkan sarana perasarana atau media media pembelajaran yang lengkap demi tercapai tujuan yang diharapkan untuk menutupi kekurangan sarana prasarana dan media yang belum lengkap kami mengadakan kerjasama dengan pihak lain seperti berkunjung ke instansi terkait atau menugaskan mahasiswa ke instansi terkait untuk observasi tentang tugas-tugas, fungsi dari instansi yang bersangkutan.” (Taufik). Dari ungkapan di atas dapat dimaknai bahwa kurikulum dan sarana pembelajaran dapat dikatakan memadai dalam melaksanakan pembelajaran.
5.2 Tenaga Pengajar Dalam kegiatan pembelajaran, tenaga kependidikan merupakan suatu komponen
yang
penting
dalam
penyelenggaraan
pendidikan.
Tenaga
kependidikan adalah seseorang atau kelompok orang yang berprofesi mengelola kegiatan belajar dan mengajaratau peran yang lain yang memungkinkan berlangsungnya transformasi.
kegiatan belajar mengajar yang lebih efektif melalui
Tenaga
kependidikan
bertugas
menyelenggarakan
kegiatan
mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan. Salah satu unsur tenaga kependidikan adalah
tenaga
pendidik/tenaga
pengajar
yang
tugas
utamanya
adalah
100
mendidik/mengajar. Kehadiran pendidik dalam hal ini yang dimaksud adalah dosen di perguruan tinggi merupakan motivator, stabilisator, fasilitator, dan komunikator dalam pembelajaran yang tentunya bertujuan mensosialisasikan materi pembelajaran kepada peserta didik/ mahasiswa. Karena tugasnya mengajar, maka dosen/tenaga pengajar harus mempunyai wewenang mengajar berdasarkan kualifikasi sebagai tengan pengajar. Kedudukan dosen dalam hal ini difahami demikian penting sebagai ujung tombak dalam pembelajaran dan pencapaian mutu hasil belajar peserta didik/mahasiswa. Sebagai tenaga kependidikan dan tenaga pengajar, setiap dosen dalam melaksanakan tugasnya harus memiliki kemampuan profesional dalam proses belajar mengajar atau pembelajaran. Kemampuan ini sebagai gambaran bahwa dosen itu merupakan pekerjaan yang membutuhkan keahlian. Dengan kemampuan itu, dosen dapat melakukan peranannya sesuai standar kinerja dosen sebagai tenaga profesional. Seorang dosen dikatakan kompeten jika ia menguasai dan memiliki kecakapan profesional menyangkut seorang dosen. Hal ini ditandai dengan keahliannya selaras dengan tuntutan bidang ilmu yangn menjadi tanggung jawabnya. Kompetensi bersifat unik/khas untuk setiap dosen mengingat kompetensi teknis dan profesional berbeda. Demikian juga spektrum sikap setiapkomponen kompetensi tiap individu dosen berbeda. Kompetensi seorang dosen dalam melaksanakan tugasnya membutuhkan analisis dan sintesis atas dasar pengetahuan dan pengalamannya dalam melaksanakan pelayanan belajar membutuhkan
101
pemikiran dan kreatifitas. Dengan demikian, mengajar adalah mengusahakan agar terjadi perubahan perilaku peserta didik yang spesifik. Dalam pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan hal tersebut diatas perlu menjadi pertimbangan untuk diketahui dan difahami bahwa dosen yang mengajar Pendidikan Kewarganegaraan adalah bersifat khusus. Artinya seseorang intuk dapat bertugas mengajar harus memiliki kriteria/kualifikasi tersendiri disamping kualifikasi dosen secara umum. Kualifikasi yang dimaksud adalah bahwa seorang dosen Pendidikan Kewarganegaraan harus memiliki sertifikat atau telah menempuh kursus atau pelatihan khusus untuk itu. Seperti kursus yang dilaksanakan lembaga ketahanan nasional (Lemhanas) atau lembaga lain yang khusus untuk dosen Pendidikan Kewarganegaraan/Civic Education. Seperti yang dikemukakan oleh Koordinator Dikwar dosen Universitas Mataram H.M. Natsir sebagai berikut: ”Dosen PKn yang ada sekarang belum mecukupi dan memadai secara ideal. Kami sering kewalahan mengatur jadwal mengajar dosen yang ada, baik di UNRAM maupun di luar yagn belum mempunyai dosen bersertifikat. Dosen yang berkompeten ada pensiun sementara penambahan berjalan lambat akhirnya mangatasi kekurangan itu digunakan dosen belum punya SIM, tapi tanggung jawab tetap pada yang punya SIM” (wawancara 19 Agustus 2010).
Demikian juga yang dikatakan oleh Drs. Taufik, asisten dosen Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Muhammadiyah Mataram: ”Kewenangan untuk mengajar mata kuliah Pendidikan kewarganegaraan adalah dosen yang telah mengikuti kursus untuk itu. Di kampus kam, baru ada satu orang dosen yang telah mengikuti Kursus Calon Dosen Kewarganegaraan (SUSCADOSWAR), baik yang diselenggarakan Lemhanas, maupun yang diselenggarakan khusus bagi perguruan tinggi Muhammadiyah se-Indonesia. Saya hanya sebagai asisten beliau saja.”(wawancara 30 Juli 2010)
102
Hampir sama dengan tenaga pengajar yang ada di IAIN Mataram : ”Di IAIN tenaga dosen dapat dibilang telah mecukupi sekalipun tidak mempunyai sertifikat khusus tapi dosen-dosen yang ditugasi mengajar Civic Education telah mengikuti serangkaian workshop dan training yang dilakukan di intern kampus maupun di luar kampus”.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk dapat menjadi dosen yang berkewenangan mengajar pendidikan kewarganegaraan, harus memenuhi kualifikasi atau kompetensi khusus disamping kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang dosen pada umumnya. Dari pernyataan tersebut di atas tergambar juga bahwa jumlah dosen pendidikan kewarganegaraan adalah terbatas. Oleh karena itu, masalah rasio antara dosen dan mahasiswa tidak seimbang/tidak memadai bagi perguruan tinggi besar dan yang mempunyai mahasiswa yang banyak. Sementara tidak setiap tahun ada kursus untuk itu, dan jatah pengiriman dosen
yang
terbatas.
Sehingga
diambil
kebijakan
dalam
pelaksanaan
pengajarannya menggunakan asisten dosen dan penggabungan beberapa program studi dalam satu waktu perkuliahan. Bagi perguruan tinggi yang belum memiliki dosen yang berkompeten unutk itu, dapat juga meminjam dosen perguruan tinggi lain untuk mengajar mata kuliah kewarganegaraan. Dari paparan tentang tenaga pengajar diatas dapat dimaknai bahwa seseorang untuk dapat menjadi tenaga pengajar Pendidikan Kewarganegaraan harus mempunyai kompetensi khusus dan bersifat profesional. Hal ini sesuai dengan pendapat Munsyi, bahwa kompetensi mengacu pada kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan. Kompetensi menunjuk
103
pada performance dan perbuatan yang rasional memenuhi spesifikasi tertentu dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan (Hamzah B. Uno, 2007:61). Selanjutnya macam kompetensi yagn harus dimiliki oleh tenaga pengajar (dalam hal ini dosen) antara lain ada 4 macam (Hamzah B. Uno, 2007:69). 1. Kompetensi profesional, artinya harus memiliki pengetahuan yang luas dari subject matter (bidang studi) yang akan diajarkan. 2. Kompetensi personal, artinya sikap kepribadian yang mantap dan pantas diteladani. 3. Kompetensi sosial, artinya dapat menunjukkan kemampuan dalam berinterakasi sosial terhadap peserta didik bahkan dengan masyarakat. 4. Kompetensi untuk melakukan yang sebaik-baiknya yang berarti mengutamakan nilai-nilai sosial daripada material.
5.3 Manajaemen Pembelajaran Dikwar 5.3.1 Pola Pembelajaran Mengingat pendidikan kewarganegaraan merupakan pembelajaran yang menitik beratkan pada ranah afektif maka pembelajarannya berbeda dengan mata kuliah lain. Pembelajaran dalam pendidikan kewarganegaraan membutuhkan wawasan baru. Wawasan baru tersebut harus memuat prinsip dialogis, aplikatif tidak terlalu mementingkan aspek kognetif serta memandang mahasiswa sebagai steakholder utama. Paradigma baru dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan sangat diniscayakan, sebab selain dalam disiplin keilmuan aspek afektif sangat ditonjolkan sebagai ciri khas pembentukan watak dan disiplin. Pendidikan
104
Kewarganegaraan menekankan penerapan dalam kehidupan, bukan wacana tetapi aplikatif (Akif Khilmiyah, 2005 : 8). Oleh karena itu dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan diperlukan bentuk sajian yang berbeda dalam pengajaran, penggunaan metode serta evaluasinya seperti yang terungkap dalam wawancara dengan informan sebagai berikut : ”Pembelajaran pendidikan kewarganegaraan merupakan pembelajaran yang khusus dan khas berbeda dengan yang lain. Kita menggunakan metode dan evaluasi yang mengarah pada pembentukan sikap dan tingkah laku.” (H.M. Natsir). Hal senada diungkapkan oleh informan lain : ”Dalam pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan berbeda dengan mata kuliah lain, karena adanya istilah pendidikan di dalamnya. Jadi mempunyai pola yang khas sebagai pendidikan yang menekankan pada ranah pembentukan sikap. Dalam hal ini dosen dituntut di samping menyampaikan materi juga sebagai contoh atau model.” (Kafrawi). ”Kami di IAIN pelaksanaan pembelajaran Civic Educatioan sesuai dengan pedoman dari ICCE yaitu menggunakan paradigma humanistik yang mengedepankan proses pembelajaran demokratis melalui penerapan strategi pembelajaran partisipatif. Jadi dalam hal ini mahasiswa diposisikan sebagai subjek sekaligus sebagai objek sedangkan dosen sebagai fasilitator.” (H. Nashuddin). Dari ungkapan di atas dapat difahami bahwa pendidikan kewarganegaraan adalah merupakan mata kuliah yang khusus dan mempunyai karakteristik yang khas sebagai pendidikan yang menekankan pada ranah afektif atau pembentukan sikap. Dengan paradigma pembelajaran tersebut di atas akan dapat terwujud pengalaman belajar yang bermakna dan fungsional. Di samping itu pengetahuan dan pengalaman pembelajarannya akan membuat peserta didik menemukan jati dirinya sebagai manusia yang sadar akan tanggung jawab individu dan sosialnya.
105
Dalam proses pembelajaran pendidikan kewarganegaraan ada beberapa hal/komponen yang perlu mendapat perhatian, karena komponen inilah yang pada intinya saling berinteraksi. Komponen tersebut adalah perencanaan pebelajaran, materi pembelajaran, strategi pembelajaran dan evaluasi pembelajaran. Komponen tersebut akan berinteraksi secara sinergis dalam mencapai tujuan pembelajaran yang tercantum dalam kurikulum pendidikan kewarganegaraan.
5.3.2 Perencanaan Pembelajaran Proses pembelajaran meniscayakan adanya interaksi yang dinamis antar dosen dan mahasiswa. Hal ini akan mendorong terciptanya suasana yang kondusip di kelas. Dalam konteks itu setiap pembelajaran harus direncanakan secara rasional, sistemtik dan sistemik agar tujuan yang telah dirumuskan dapat tercapai. Pada pelaksanaan di lapangan para dosen rata-rata sebelum melaksanakan proses pembelajaran diwajibkan untuk membuat SAP (Satuan Acara Perkuliahan) yang merupakan rancangan dari apa yang akan dilakukan dalam proses pembelajaran. Perencanaan pembelajaran merupakan hal yang amat penting dalam suatu proses pembelajaran, sebab proses pembelajaran tanpa suatu perencanaan akan menjadi sia-sia karena tidak mempunyai standar acuan yang akan dicapai dalam proses tersebut. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh para informan berikut ini. ”Dalam melaksanakan tugas pengajaran kami harus menyusun perencanaan pembelajaran yang dinamakan Satuan Acara Perkuliahan atau SAP yang berisi seluruh aktivitas yang akan kita lakukan dalam perkuliahan.” (Suprapto).
106
Hal senada dikemukakan oleh Taufik : ”Sebelum mengajar kami harus menyusun perencanaan pembelajaran. Hal ini amat penting dilakukan karena tanpa ini kesulitan menentukan arah tujuan pembelajaran dengan kata lain pembelajaran tidak akan teratur atau sistematis.” Informan lain mengungkapkan lebih rinci mengapa perencanaan itu penting. ”Perencanaan pembelajaran sangat penting disusun oleh seorang dosen sebelum melaksanakan pembelajaran. Karena dalam perencanaan itu termuat segala hal yang akan dilakukan dalam aktivitas belajar mengajar seperti menentukan kompetensi standar dan indikator kompetensi yang harus dimiliki mahasiswa materi pembelajaran, strategi pembelajaran, media atau alat bantu, sampai pada penentuan model dan alat evaluasi untuk mengukur tingkat keberhasilan”. (H. Usman). Dari ungkapan di atas dapat dimaknai bahwa perencanaan pembelajaran itu amat penting artinya disusun oleh para dosen sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Karena dengan perencanaan akan memudahkan bagi dosen dalam mengajar apalagi bagi dosen yang mengajar lebih dari satu mata kuliah. Dalam penyusunan perencanaan pembelajaran perlu juga dipertimbangkan fleksibelitas dari perencanaan pembelajaran tersebut, sehingga dapat mudah diubah dan disesuaikan dengan kondisi dan dinamika yang berkembang dalam proses pembelajaran.
5.3.3 Materi Pembelajaran Setelah
menyusun
perencanaan
pembelajaran
selanjutnya
adalah
menentukan materi pembelajaran. Dalam hal penyusunan prosedur pembelajaran pendidikan tinggi dituntut untuk mempertemukan antara perkembangan masyarakat dan kebutuhan mahasiswa dengan materi perkuliahan. Sehingga dimasa depan perubahan masyarakat kebutuhan mahasiswa, kepentingan dan
107
penyesuaian kemampuan mahasiswa menjadi orientasi bagi arah desain pembelajaran/kependidikan. (Akif Hilmiyah, 2005 : 31). Tentang sumber materi yang digunakan dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan Perguruan Tinggi di Mataram tercermin dalam pernyataan informan sebagai berikut : ”Bahwa kuliah yang kami gunakan diambil dari silabi nasional, literatur terbaru serta kasus kasus yang ada dimedia masa yang dijadikan sebagai studi kasus.” (Kafrawi). ”Meteri perkuliahan yang kami pakai sesuai dengan pedoman dari ICCE yang terdiri dari tiga materi pokok : demokrasi, HAM dan masyarakat madani. Selanjutnya ketiga materi inti tersebut dikembangkan menjadi bahan kajian di kelas. Untuk mengembangkannya kami mengambil dari salain buku teks juga dari jurnal ilmiah media massa internet dan lain sebagainya.” (Suprapto). ”Dalam pelaksanaan pembelajaran bahan kuliah kami peroleh dari berbagai sumber, selain buku pokok yang disusun oleh Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah seperti buku teks dari Lemhannas dan media massa dari internet untuk memperluas wawasan.” (Taufik).
Dari ungkapan di atas menggambarkan bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran para pengajar rata-rata memiliki pedoman pokok dan selalu dikembangkan sesuai dengan perkembangan terbaru. Oleh karenanya materi perkuliahan dan proses penyajiannya harus diorganisir sesuai dengan tuntutan zaman. Karena menurut Diamond apabila kecendrungan perubahan zaman tidak direaksi dengan melakukan penyesuaian, maka hasil belajar kurikulum dan materi kuliah tidak akan mampu menyesuaikan kebutuhan mahasiswa dan sulit dijadikan sumber belajar (Akif Hilmiyah dkk, 2005 : 31). Oleh karena itu mempersiapkan materi perkuliahan dan kemutakhiran bahan dan pengorganisasian materi yang disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa menjadi prioritas. Hal ini penting
108
dilakukan agar program yang disajikan kepada mahasiswa memenuhi dan sesuai dengan alam fikir/logika mahasiswa sehingga menghasilkan retensi yang tinggi bagi pembentukan sikap dan ketrampilan profesional. Hal ini sejalan dengan pendapat Bligh (Akif Hilmiyah dkk, 2005 : 35) yang menyatakan bahwa penataan materi/bahan yang baik akan meningkatkan retensi dan menghindarkan retroactive sehingga pembelajaran tidak kontraproduktif. Secara
umum
materi
pembelajaran
pendidikan
kewarganegaraan/kewargaan berpedoman pokok pada materi yang disusun oleh ICCE, Diknas dan Lemhannas serta yang disusun oleh Diktilitbang PP Muhammadiyah. Diantara ketiga sumber materi pokok tersebut secara substansial tidak jauh berbeda. Bahan kajian menurut SK Dirjen Dikti Diknas no. 43/DIKTI/KEP/2006 adalah (1) Pendahuluan, (2) Filsafat Pancasila, (3) Identitas Nasional, (4) Negara dan Konstitusi, (5) Demokrasi Indonesia, (6) HAM dan Rule of Law, (7) Hak dan Kewajiban Warga Negara, (8) Geopolitik Indonesia, dan (9) Geostrategi Indonesia. Kemudian menurut ICCE adalah (1) Pendahuluan, (2) Identitas Nasional, (3) Negara, (4) Kewarganegaraan, (5) Konstitusi, (6) Demokrasi, (7) Otonomi Daerah, (8) Good Goverment, (9) Hak Asasi Manusia, dan (10) Masyarakat Madani. Sedangkan menurut Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah adalah (1) Pendidikan Kewarganegaraan dan Cita-cita menuju Masyarakat Madani, (2) Tinjauan Umum tentang Nilai-Nilai Demokrasi, (3) Pemerintahan yang Bersih dan Demokratis, (4) Transpormasi Nilai Demokrasi dalam Keluarga dan Masyarakat, (5) Membangun Identitas Nasional, (6) Tata
109
Dunia Baru dalam Globalisasi, (7) Ekonomi Kerakyatan dan Etos Ekonomi sebagai Basis Kekuatan Nasional, dan (8) Penegakan Hak Asasi Manusia.
5.3.4 Strategi Pembelajaran Strategi berasal dari kata bahasa Inggris ”strategy yang berarti ilmu siasat perang siasat akal. Kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia selain berarti siasat perang juga diartikan sebagai rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus (Ananda Santoso dan S. Prianto, 1995 : 333). Bila dihubungkan dengan pembelajaran, maka dapat diartikan suatu rencana yang cermat mengenai suatu kegiatan pembelajaran untuk mencapai sasaran dan tujuan pembelajaran
dalam
hal
ini
pembelajaran
Civic
Education/pendidikan
kewarganegaraan. Untuk mencapai kompetensi atau tujuan tersebut diperlukan pemilihan dan penerapan strategi yang tepat dan mampu mendekatkan peserta didik pada realitas sosial di mana peserta didik dapat menemukan jati dirinya yang sadar akan tanggung jawabnya. Sehingga dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan model dan paradigma baru sangat diniscayakan. Hal ini dilakukan karena selain dalam disiplin keilmuan aspek afektif sangat ditonjolkan sebagai ciri khas pembentukan watak dan disiplin, oleh karena itu dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan diperlukan bentuk sajian yang berbeda baik dalam mengajar, menerapkan strategi dan metode pembelajaran maupun sistem evaluasinya.
110
Jadi penentuan strategi dan atau metode yang akan digunakan oleh seorang dosen amat penting artinya dalam mencapai tujuan pembelajaran. Seperti yang dikemukakan oleh informan sebagai berikut : ”Dalam pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan keberhasilannya sangat ditentukan dari strategi dan metode yang kita terapkan. Strategi pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan berbeda dengan mata kuliah lain karena sesuai dengan visi dan misi saya membentuk watak warga negara yang baik sehingga harus cermat dalam memilih strateginya.” (H.M. Natsir).
Hal senada juga dikemukakan oleh informan lain sebagai berikut : ”Sesuai dengan visi dan misi Pendidikan Kewarganegaraan maka pemilihan strategi yang jitu amat penting dilakukan untuk mencapai tujuan, karena sangat mempengaruhi bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan dan tingkat keberhasilannya.” (Suprapto).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa dalam melaksanakan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan memerlukan strategi tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Briggs (Akif Khilmiyah dkk, 2005 : 8) sebuah pembelajaran secara umum dikembangkan dalam tiga fase, pemahaman utama, yaitu menyangkut dimensi mau kemana, dengan apa dan bilamana sampai ke tujuan. Dimensi pertama menyangkut penyusunan silabus. Deminsi kedua berkaitan dengan perancangan pembelajaran yang langsung terkait dengan pemilihan strategi pembelajaran yang akan digunakan oleh seorang dosen maupan aktivitas yang harus dijalani mahasiswa. Sedangkan dimensi ketiga mengarahkan dosen merancang sistem evaluasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagai kata lain dari penyampaian materi perkuliahan dan tujuan sebagai muara dari materi
111
perkuliahan adalah merupakan satu kesatuan yang harus dikuasai oleh seorang dosen/pengajar. Pendidikan Kewarganegaraan yang bertujuan menjadikan warga negara yang demokratis tidak akan berhasil dengan baik bila disampaikan dengan strategi dan metode yang tidak demokratis. Untuk itu dalam memilih/menentukan strategi pembelajaran pendidikan kewarganegaraan harus mempertimbangkan perkembangan dan perbedaan potensi mahasiswa. Pembelajaran bukan sebatas transpormasi pengetahuan lagi tapi harus mengarah pada pengembangan potensi serta aplikasi pengetahuan dalam area situasi lain. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional (Ps 3 UU no. 20 tahun 2003). Menurut Ausubel dan Dahren (Akif Hilmiyah, 2005 : 7) pembelajaran dianggap gagal bila mahasiswa hanya berhasil sebatas mencapai apa yang diajarkan atau sebatas replikasi dosen. Sebaliknya
pembelajaran
dianggap
berhasil
bila
mahasiswa
mampu
mentranspormasikan apa yang dipelajari dalam situasi yang baru sebagai bentuk aplikasi. Bila demikian halnya maka sesungguhnya mode pembelajaran tersebut harus bermuatan prinsip dialogis, aplikatif, tidak mementingkan aspek kognitif semata serta pembelajaran memihak pada mahasiswa selaku stakeholder utama. Jadi pembelajaran selalu diorientasikan pada mahasiswa. Strategi pembelajaran yang dipilih dan digunakan oleh dosen sangat mempengaruhi dan menentukan seberapa jauh pengalaman yang akan dijalani dan kemampuan yang harus dimiliki atau dikuasai. Sehingga dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan secara khusus mensyaratkan dosen/pengajarannya untuk menguasai ketrampilan menerapkan strategi yang tidak hanya dapat
112
mengembangkan kemampuan kognetif tapi dapat menumbuhkan afeksi dan psikomotorik mahasiswa secara terintegrasi dan komprehenship. Pedoman
lain
untuk
menentukan/memilih
strategi
pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan juga termuat secara resmi dalam pasal 5 SK Dirjen Dikti Depdiknas nomor : 43/Dikti/Kep/2006, sebagai berikut : 1.
Proses pembelajaran diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang,
memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa mahasiswa
kreativitas
dan
kemandirian
sebagai subjek pendidikan,
dengan
menempatkan
mitra dalam
proses
pembelajaran dan sebagai umat, anggota keluarga, masyarakat atau warga negera. 2.
Pembelajaran
yang diselenggarakan merupakan proses
yang
mendidik yang di dalamnya terjadi pembahasan kritis, analisis, induktif, deduktif dan reflektif melalui dialog kreatif, partisipatoris untuk mencapai pemahaman tentang kebenaran substansi dasar kajian berkarya nyata untuk menumbuhkan motivasi belajar sepanjang hidup. 3.
Bentuk aktivitas proses pembelajaran kuliah tatap muka, ceramah, dialog, diskusi interaktif, studi kasus, penugasan mandiri, tugas baca, seminar kecil, dan kegiatan kokurikuler.
113
4.
Motivasi
menumbuhkan
kesadaran
bahwa
pembelajaran
pengembangan kepribadian, merupakan kebutuhan hidup untuk dapat eksis di dalam masyarakat global.
5.3.5 Evaluasi Pembelajaran Dalam proses pembelajaran masalah evaluasi merupakan hal yang amat penting dan menempati prosesi yang sangat startegis. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa untuk perbaikan suatu pembelajaran tidak bisa lepas dari masalah evaluasi. Tentang hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh informan sebagai berikut : ”Evaluasi dalam proses pembelajaran pendidikan kewarganegaraan sangat penting dilakukan, karena dari evaluasi kita bisa tahu hasil dari proses pembelajaran yang dilaksanakan maksudnya apakah tujuan pembelajaan sudah tercapai atau belum.” (Kafrawi). Informan lain mengungkapkan hal senada. ”Evaluasi sangat penting dilakukan dalam setaip proses pembelajaran termasuk pendidikan kewarganegaraan. Kami mengadakan/melakukan evaluasi secara terus menerus, dalam arti tidak harus menunggu selesainya proses pembelajaran. Hal ini penting artinya untuk mengetahui perkembangan kegiatan mahasiswa sejak awal sampai hasil akhirnya tentang aktivitas, partisipasi prakarsanya dan lain-lain.” (Taufik). Ungkapan yang agak berbeda dikemukakan oleh H.M. Natsir sebagai berikut : ”Kami melakukan evaluasi tidak hanya untuk mengetahui hasil belajar mahasiswa tapi juga melakukan evaluasi pada proses pembelajarannya. Hal ini dilakukan dalam rangka memperbaiki proses atau meningkatkan mutu pembelajaran pendidikan kewarganegaraan secara berkelanjutan.” (wawancara 19 Agustus 2010) Dengan paparan di atas dapat dimaknakan bahwa evaluasi adalah merupakan suatu keniscayaan dalam suatu pembelajaran atau proses belajar mengajar. Hal ini
114
senada dengan ketentuan UU no. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang menyatakan
bahwa
evaluasi
pendidikan
adalah
kegiatan
pengendalian,
penjaminan dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan komponen yang dimaksud adalah menyangkut peserta didik, lembaga dan program pendidikannya. Evaluasi pendidikan/pembelajaran pendidikan kewarganegaraan seperti tersebut di atas dapat dilakukan dalam dua hal atau aspek yang saling terkait yaitu evaluasi proses pembelajaran dan evaluasi terhadap hasil belajar mahasiswa. Evaluasi proses pembelajaran dimaksudkan untuk mengukur efektivitas sebuah proses pembelajaran, meliputi ketepatan dan efektivitas penggunaan strategi, maka pembelajaran dan manajemen kelas. Sedangkan evaluasi dalam arti hasil belajar mahasiswa adalah dalam rangka mengukur ketercapaian indikator kompetensi pembelajaran yang diharapkan pada mahasiswa/peserta didik. Dalam pelaksanaan evaluasi yang secara riel di lapangan para pengajar pendidikan kewarganegaraan melakukannya berpariasi sesuai dengan kondisi dan situasi masing-masing. Hal ini diungkap oleh Kafrawi dalam berikut ini. ”Teknik evaluasi yang kami lakukan adalah pada setiap akhir kuliah/penyampaian materi diadakan tanya jawab. Di samping itu kami mengadakan kuis midtern dan UAS pada akhri semester.” (wawancara tgl 21 Juni 2010). Hal senada diungkapkan oleh Sunarjo Edi S. ”Dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran pengajaran saya menggunakan tes tulis, penugasan baik kelompok maupun individu dan pengamatan terhadap penampilan/sikap mahasiswa.” (wawancara 5 Agustus 2010).
115
Ungkapan berbeda dikemukakan oleh Suprapto. ”Padal pelaksanaan proses belajar mengajar Civic Education evaluasi yang kami lakukan dengan cara lisan dan tulis diikuti juga dengan evaluasi portofolio yang didahuli dengan tugas kunjungan ke DPRD dan instansi terkait lainnya.” (wawancara 1 Agustus 2010). Berdasarkan hasil wawancara pengamatan pada umumnya dosen/pengajar pendidikan kewarganegaraan proses evaluasi yang dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu penentuan tujuan evaluasi, mendesain evaluasi, mengembangkan instrumen
evaluasi,
mengumpulkan
data,
menganalisis
dan
menginterpretasikannya sebabagai hasil akhirnya. Berdasarkan uraian tentang evaluasi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa (1) evaluasi adalah merupakan bagian integral dari proses pembelajaran baik pada bagian awal tengah maupun akhir pembelajaran, (2) evaluasi dapat berbentuk atau berupa hasil karya mahasiswa, penugasan, kinerja atau tes, (3) evaluasi bersandar pada standar kompetensi yang berlaku atau yang telah ditentukan, (4) ruang lingkup tahapan evaluasi mencakup perencanaan, program, proses
dan
hasil
belajar,
(5)
Penafsiran/penetapan
mempertimbangkan standar minimal kompetensi yang ditetapkan.
hasil
evaluasi
116
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Sejarah perkembangan kehidupan kenegaraan Indonesia mengalami perubahan dan perkembangan yang besar terutama yang berkaitan tentang pendidikan kewarganegaraan. Perubahan dan perkembangan yang berkenaan dengan pendidikan kewarganegaraan dipengaruhi berbagai factor yang dapat dikelompokkan dalam faktor intern dan faktor ekstern. Faktor Intern adalah faktor yang bersumber dari dalam kampus sendiri, sedangkan Faktor Ekstern adalah faktor yang mempengaruhi pendidikan kewarganegaraan bersumber dari luar kampus. Dalam
bab
ini akan menguraikan
tentang
faktor
Intern
yang
mempengaruhi pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan meliputi kurikulum, sarana prasarana dan dosen. Kemudian menguraikan faktor Ekstern yang mempengaruhi
pelaksanaan pendidikan
kewarganegaraan
meliputi factor
globalisasi, ideology, politik dan sosial budaya bangsa.
6.1 Pengaruh Faktor Intern 6.1.1 Pengaruh Kurikulum Kurikulum diartikan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
117
pendidikan tertentu (UUSPN Pasal 1 ayat 20). Berdasarkan pengertian kurikulum ini dicermati dapat maknai bahwa kurikulum yang digunakan oleh guru atau dosen sangat berpengaruh terhadap peserta didik/mahasiswa. Sebab semua hal yang akan dilaksanakan baik oleh dosen maupun mahasiswa berpedoman utama pada kurikulum. Penyelenggaraan/pelaksanaan
pendidikan
kewarganegaraan
pada
perguruan tinggi di Kota Mataram menggunakan kurikulum yang bervariasi seperti ungkapan informan berikut ini : “Dalam melaksanakan pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di Universitas Mataram kami berpedoman pada kurikulum nasional dari Depdiknas dan hasil pertemuan nasional dosen pendidikan kewarganegaraan oleh Lemhannas”. (H.M. Natsir) Sedikit berbeda dengan pernyataan dari yang dilaksanakan di IAIN dan Universitas Muhammadiyah Mataram yaitu : “Kami di IAIN Mataram pembelajaran Civic Education berpedoman pada kurikulum nasional/KBK yang disusun dan dikembangkan oleh Center for Civic Education atau ICCE Jakarta”. (H. Nashuddin). “Di Universitas Muhammadiyah Mataram dalam pelaksanaan pengajaran pendidikan kewarganegaraan kami menggunakan pedoman yang dikembangkan oleh Majlis Diktilitbang PP Muhammadiyah di samping atau kami padukan dengan Kurikulum Nasional”. (Taufik). Dari ungkapan di atas dapat diketahui bahwa pendidikan kewargengaraan atau Civic Education adalah mata kuliah wajib ditempuh bagi seluruh mahasiswa di semua perguruan tinggi. Namun demikian pedoman atau kurikulum yang dipakai berbeda. Peberbedaan tersebut barakibat juga pada buku rujukan materi yang berbeda pula. Seperti yang ditunjukkan oleh masing-masing dosen. Di UNRAM rujukan utamanya adalah buku pendidikan kewargangeraan yang disusun oleh Diknas bersama Lemhannas. IAIN rujukan materi utamanya adalah
118
buku pendidikan kewargaan yang disusun oleh Indonesian Center for Civic Education (ICCE) UIN Jakarta. Sedangkan di Universitas Muhammadiyah Mataram menggunakan pedoman yang dikembangkan oleh Majlis Diktilitbang PP Muhammadiyah. Bila ditelusuri lebih jauh materi yang dicantum dalam buku pedoman tersebut terdapat perbedaan. Secara umum mempunyai dasar pijakan dan misi yang berbeda, kalau yang digunakan UNRAM sifatnya umum artinya pendidikan kewarganegaraan tersebut tidak dibahas atau dikaitkan dengan agama tertentu atau organisasi
politik
maupun
organisasi
sosial
tertentu.
Berbeda
dengan
pedoman/rujukan yang ada di IAIN Mataram atau Universitas Muhammadiyah Mataram. Di IAIN Mataram sesuai dengan nama dan visi misi pelajaran tertingginya yaitu bernafaskan Islam, maka pedoman/rujukannya dikaitkan dengan pandangan Islam. Seperti ketika membahas tentang negara ada butir yang berbicara tentang hubungan Islam dengan Negara. Begitu juga pada pokok bahasan tentang demokrasi ada sub materi yang membahas Islam dan demokrasi. Sedangkan di Universitas Muhammadiyah Mataram materi pendidikan di hubungkan dengan Islam juga dikaitkan dengan visi dan misi Persyarikatan Muhammadiyah seperti pada salah satu bagian dari rujukan pokoknya yang membahas bagaimana pendidikan kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah
diawali
dengan
landasan
normatif
bagi
setiap
warga
Muhammadiyah dalam bertindak dan beraktifitas. Hal ini dijadikan dasar/landasan guna mengembangkan topik bahasan yang lain. Di samping itu perlu ditekankan pada relevansi metodologi dengan substansi materi “Oleh karena itu peran dosen
119
dan mahasiswa perguruan tinggi Muhammadiyah sangat diharapkan dalam mengembangkan magteri melalui pengembangan metodologi pengajaran dan pengayaan kasus-kasus aktual dan lokal. Dalam hal pembelajaran demokrasi dikaitkan dengan bagaimana pendidikan Islam baik dalil dalam Al-Qur’an atau Hadits Nabi. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bicara logika materi yang diajarkan oleh dosen berasal dari Buku Pedoman/kurikulum yang dianut. Sedangkan kurikulum memuat antara lain apa yang menjadi misi dari lembaga yang bersangkutan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kurikulum sangat mempengaruhi dalam proses pembelajaran.
6.1.2 Pengaruh Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu komponen penting dalam suatu proses pembelajaran. Sarana dapat diartikan media pembelajaran sedangkan prasarana dapat diartikan sebagai sumber belajar. Kedua komponen tersebut amat dibutuhkan dalam proses pembelajaran, karena bila hal ini bermaslah maka berakibat pada proses pembelajaran tidak berlangsung dengan baik yang berujung kegagalan mencapai tujuan pendidikan atau pembelajaran itu sendiri. Dengan kata lain bila sarana dan prasaranan kurang baik akan berpengaruh pada peserta didik dalam menerima pelajaran seperti yang diungkap oleh informan berikut ini : “Kalau kuliahnya hanya dengan ceramah saja cepat ngantuk, apabila waktunya sudah agak siang dan biasanya saya pindah tempat duduk agak kebelakang biar ndak kelihatan sama dosennya”. (Humaedi).
120
Agak berbeda dengan yang diungkapkan oleh Sumarlin : “Saya paling kesel kuliah kalau pas mata kuliah umum yang digabung dengan jurusan lain, mana mahasiswa banyak, ribut suara dosen tidak jelas lagi, apalagi suasana kelas panas. Jadi serba ndak enak deh”. Dari ungkapan di atas mengisyaratkan bahwa dalam suatu proses belajar mengajar faktor media atau sarana prasarana yang memadai amat diperlukan. Sebab dalam proses pembelajaran media memiliki kontribusi dalam meningkatkan mutu dan kualitas pengajaran. Kehadiran media tidak saja membantu dosen dalam menyampaikan materi ajarannya tapi memberikan nilai tambah pada kegiatan pembelajaran. Baik media yang canggih dan mahal maupun yang sederhana dan murah. Tentang kontribusai media dalam pembelajaran seperti yang dikemukakan oleh Kemp dkk (Hamzah B. Uno, 2007 : 116) adalah sebagai berikut : (1) Penyajian materi ajar menjadi lebih standar; (2) Kegiatan pembelajaran jadi lebih menarik; (3) Kegiatan belajar jadi lebih interaktif; (4) Efisiensi waktu dalam pembelajaran; (5) Kualitas belajar dapat ditingkatkan; (6) Penyajian bahan ajar dapat disesuaikan dengan yang diajarkan; (7) Memberi nilai positif pada peserta didik dan proses belajar lebih baik; dan (8) Memberi nilai positif bagi pengajar. Dengan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peranan media dalam proses pembelajaran di samping memberikan wawasan yang luas mengenai pemanfaatan media juga amat berpengaruh dalam penerimaan siswa/mahasiswa dalam memahami bahan ajar yang disampaikan. Selain itu tersedianya sumber belajar yang lain seperti perpustakaan dan laboratorium dan lain-lain tak dapat diabaikan keberadaannya. Sebab hal ini sangat menunjang dan berpengaruh dalam proses pembelajaran
121
6.1.3 Pengaruh Dosen. Dosen adalah merupakan salah satu komponen yang amat penting dalam proses pembelajaran karena tanpa dosen/guru proses pembelajaran tidak dapat berjalan atau terlaksana. Secara umum dosen dapat dimengerti sebagai orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab dalam mendidik, mengajar dan membimbing mahasiswa/peserta didik. Untuk itu seorang dosen harus memiliki kemampuan untuk merancang porgram pembelajaran serta mampu menata dan mengelola pembelajaran untuk dapat terjadinya atau berlangsungnya proses pendidikan/pembelajaran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk dapat menjadi seorang dosen yang baik cukup banyak persyaratan yang harus dimiliki yang sering diistilahkan dengan kompetensi profesional guru/dosen meliputi kompetensi pribadi, kompetensi sosial dan kompetensi profesional mengajar oleh karena itu jabantan dosen memerlukan keahlian khusus dan tidak dapat dilakukan oleh sembarangan orang sebab sangat berpengaruh pada produk atau hasil pendidikan walaupun pada kenyataannya masih terdapat hal-hal di luar bidang profesional kependidikan. Pada dasarnya perubahan prilaku yang dapat ditunjukkan oleh mahasiswa dalam proses pembelajaran atau di luar proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh dosennya baik pengaruh latar belakang pendidikan dan pengalaman yang dimiliki dosen maupun bagaimana dosen memposisikan mahasiswa dalam seluruh kegiatan pembelajaran. Dengan kata lain pengetahuan, pengalaman dan iklim
122
yang dikembangkan dosen dalam proses pembelajaran mempunyai pengaruh terhadap perubahan prilaku mahasiswa. Dalam praktek perkuliahan di perguruan tinggi di Kota Mataram yang masuk pagi hari rata-rata dimulai pada jam 08.00 wita sedangkan yang masuk siang/sore dimulai pada jam 15.30 wita. Satu mata kuliah rata-rata membutuhkan waktu 11 menit bagi yang 2 sks dari 150 menit bagi mata kuliah yang berbobot 3 sks. Waktu jeda atau istirahat diantara jam kuliah pertama ke jam kuliah berikutnya membutuhkan waktu sekitar 15 – 20 menit. Waktu telah menunjukkan pukul 10.55 berarti lima menit lagi jam ke 2 perkuliahan akan segera dimulai. Mahasiswa semester 3 sudah sebagian besar berada di depan ruang kuliah 209 menanti jam kuliah berikutnya. Mereka tidak jauh dari ruang kelas karena belum lama keluar kuliah jam pertama yaitu 10.15. Ketika dosennya yang mau memberikan kuliah telah nampak dari kejauhan mereka mulai beranjak untuk masuk kelas dengan sedikit berebut masuk. Pada saat dosen masuk ruang dan memulai perkuliahan, dosen menjelaskan pokok bahasan yang akan diuraikan. Setelah proses ini berlangsung terjadilah interaksi di dalam ruang. Interaksi itu selalu dipandu oleh dosen dengan menggunakan metode ceramah. Dalam metode ceramah mempunyai hak berbicara lebih besar dalam proses pembelajaran. Sedangkan mahasiswa berkewajiban memperhatikan dan mendengarkan pembicaraan dosen.
Bila
dosen menghendaki partisipasi
mahasiswa ia akan merubah format interaksi menjadi dua pihak. Yaitu dosen
123
disatu pihak dan mahasiswa di pihak yang lain. Setelah itu dosen kembali hak bicara sepenuhnya pada dosen. Sejak masuk ruang kelas dosen terlihat berupaya untuk menciptakan ketenangan dan tetap mendapatkan perhatian mahasiswa. Dosen selalu mengawasi prilaku mahasiswa dan terkadang bila dosen melihat tidak adanya perhatian dosen menghentkan sejenak pembicaraannya lalu melemparkan pandangannya ke beberapa mahasiswa untuk meminta perhatian. Bahkan melontarkan pertanyaan untuk memperoleh perhatian mahasiswa. Upaya ini berhasil sehingga dosen yang bersangkutan akan selalu menjadi pusat perhatian mahasiswa di kelas saat proses pembelajaran berlangsung. Bila dicermati peran dosen selama proses perkuliahan identik dengan peran pemerintah dalam sebuah negara. Keduanya berposisi sebagai pengajar ketertiban, menjadi pusat perhatian dan memiliki kekuasaan serta hegemoni yang besar dalam proses pembelajaran ataupun pemerintahan. Lain lagi praktek perkuliahan yang dilakukan dosen lain yang hanya mementingkan kehadiran mahasiswa. Dosen tersebut amat rajin masuk dan tepat waktu namun waktu perkuliahan jarang sekali sampai berlangsung sampai 100 menit sesuai jadwal. Masuknya tidak lebih dari satu setengah jam, biasanya hanya mengecek kehadiran mahassiwa lalu memberi tugas atau meringkas foto copy materi kuliah kemudian keluar. Tanggapan mahasiswa terhadap dosen ini antara lain : “Ah pokoknya hadir (isi daftar hadir) dan kumpulkan tugas pasti lulus. Begitu cerita kakak tingkat yang lalu. Jadi ndak perlu belajar banget”. (Randy).
124
Demikian juga prilaku dan tanggapan mahasiswa yang lainnya. Rata-rata terlihat rajin masuk namun kebanyakan acuh tak acuh dengan mata kuliah yang diampu oleh dosen tersebut. Jadi hanya mengisi daftar hadir dan tugas bisa “berdamai” dengan tugas teman yang lain yang penting ada wujudnya. Agak berbeda praktek perkuliahan yang dilaksanakan oleh seorang ibu dosen yang memberikan nuansa lain saat memberikan kuliah. Beliau mencitptakan iklim kelas yang terbuka sehingga secara tidak langsung bepengaruh terhadap motivasi mahasiswa mengikuti kuliah. Dalam menyampaikan kuliah ibu dosen ini selalu meruhasa mengaitkan topik pembicaraannya dengan masalahmasalah yang aktual di masyarakat. Hal ini dilakukan dengan maksud dalam rngka menunbuhkan sikap humanistik mahasiswa terhadap sesama dan koneksi yang ada di masyarakat. Sikap tersebut misalnya antara lain ditumbuhkan melalui tugas untuk membuat laporan analisis atau tanggapan terhadap peristiwa yang sedang hangat dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Kemudian hasil itu didiskusikan pada pertemuan berikutnya. Sehingga suasana kelas menjadi hidup. Dari beberapa paparan di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku mahasiswa ataupun suasana pembelajaran sangat dipngaruhi oleh dosen yang bersangkutan. Jadi tergantung bagaimana dosen tersebut memposisikan diri apakah sebagai fasilitator, motivator, atau sebagai “tiran” yaitu sebagai satusatunya sumber informasi yang harus diikuti dan lain sebagainya. Hal ini juga dipengaruhi dengan bagaimana pengetahuan, wawasan dan keterampilan serta penghayatan dosen terhadap mata kuliah yang diampunya.
125
Dalam hal ini perlu dingat pada dasarnya perilaku atau perubahan prilaku dari mahasiswa/peserta didik sangat dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan, pendidikan dan pengalaman dosen yang bersangkutan. Dengan kata lain dosen berpengaruh terhadap perubahan prilaku mahasiswa. Oleh karena itu dosen harus berusaha menjadi contoh tauladan yang baik bagi mahasiswanya. Sebab pada dasarnya dosen adalah representasi dari sekelompok orang pada suatu komunitas atau masyarakat yang diharapkan dapat menjadi teladan. Juga seorang dosen sangat berpengaruh terhadap hasil belajar yang ditunjukkan oleh mahasiswa. Untuk itu dosen harus selalu meningkatkan profesionalitasnya/wawasan akademisnya secara berkelanjutan.
6.2 Pengaruh Faktor Ekstern 6.2.1 Pengaruh Globalisasi Dalam arti luas dan umum globalisasi sesungguhnya sudah berlangsung lana bila dilihat dari segi historisnya. Sebab hubungan antar bangsa sudah dimulai berabad-abad yang lalu
Seperti hubungan dengan antar bangsa , penyebaran
agama-agama dunia dan transformasi ilmu pengetahuan dan lain-lain. Dengan demikian globalisasi dalam arti yang luas sebenarnya sudah dimulai sebelum istilah globalisasi itu ditemukan dan populerkan. Pada milenium ketiga ini globalisasi dimaknai sebagai sebuah proses terintegrasinya bangsa-bangsa didunia dalam sebuah sistem global yang melintasi batas-batas negara. Proses tersebut difasilitasi oleh media informasi dan teknologi transfortasi yang semakin canggih sehingga perubahan-perubahan sosial akan
126
berlangsung terus menerus dihampir seluruh permukaan bumi.. Demikian juga halnya dengan pertukaran budaya akan semakin intensif. Hal ini akan secara simultan menggerakan perubahan di segalabidang baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya. Ilmu pengetahuan teknologi dan lain sebagainya. Anthony Giddens (2000) menamai tanda-tanda zaman seperti ini sebagai the run away world (dunia yang berlari). Dalam halini perubahan sosial yang terjadi
disebuah pelosok bumi ini akan berpengaruh secara signifikan pada
belahan bumi yang lain. ( Asykuri Ibnu Chamim dkk . 2003; 257 ) Globalisasi telah merambah dan mempengaruhi semua bidang kehidupan termasuk bidang pendidikan. Oleh karenanya, pertanyaan yang muncul adalah apa dan bagaimana dampak globalisasi bagi dunia pendidikan termasuk di dalamnya pendidikan kewarganegaraan? Menurut Zamroni (2007:5) bahwa globalisasi mempengaruhi dunia pendidikan melalui berbagai bentuk. Pertama: efisiensi dan produktifitas tenaga kerja senantiasa dikaitkan dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki; kedua: terjadi pergeseran kurikulum yang semula bersifat child centered atau subject centered bergeser ke arah kurikulum yang bersifat economy centered vocational training; ketiga: pendidikan bergeser dari pelayanan menjadi komoditas ekonomi. Akibatnya peran kemampuan dan tanggung jawab pemerintah semakin terbatas. Hal ini akan menimbulkan berbagai persoalan yang tidak diharapkan. Untuk itu berbagai bentuk baru pendidikan dan latihan diperlukan. Perkembangan ini akan menimbulkan konsekuensi yang tidak dapat dihindari. Seperti (1) mata pelajaran yang tidak berhubungan erat dengan ekonomi akan
semakin
tidak
penting,
misalnya
pelajaran
sejarah
termasuk
127
kewarganegaraan karena dianggap tidak sepenting mata pelajaran matematika, fisika; (2) prinsip pedagogik yang tidak memiliki hubungan erat dengan ekonomi akan semakin tidak penting; (3) persoalan-persoalan diskrepansi dan ketidak adilan akan semakin dperhatikan karena lebih penting membicarakan masalah efisiensi kualitas. Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan dunia akan sangat mempengaruhi dunia pendidikan termasuk pendidikan kewarganegaraan, hal ini terlihat dari berkali-kali perubahan kurikulum pendidikan kewarganegaraan yang mulai dilaksanakan sejak tahun 1950 di Indonesia. Untuk itu diperlukan sarana kegiatan pendidikan bagi setiap warga negara Indonesia pada umumnya dan mahasiswa sebagai calon pendidik dan pemimpin khususnya melalui Pendidikan Kewarganegaraan.
6.2.2. Pengaruh Aspek Ideologi Pengertian umum bahwa dalam ideologi terkandung nilai yang dianggap baik, luhur dan menguntungkan masyarakat, oleh karena ideologi digambarkan sebagai seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama. Bila nilai tersebut didukung oleh mayarakat, bangsa maka akan menjadi ideologi bangsa atau ideologi nasional bengsa yang bersangkutan. Disamping itu ideologi merupakan sistem nilai dan kebulatan ajaran yang memberikan motivasi dan mengandung konsep dasar tentang kehidupan yang dicita-citakan suatu bangsa. Keampuhan ideologi tergantung pada rangkaian nilai yang dikandungnya, apakah dapat memenuhi dan menjamin segala aspirasi dan kehidupan manusia atau tidak?
128
Secara teori, ideologi bersumber dari suatu falsafah dan merupakan pelaksanaan dari sistem falsafah itu sendiri. Tentang pengaruh ideologi dalam Pendidikan Kewarganegaraan berikut ungkapan informan adalah :
”Dalam pembelajaran Pendidikan Kewargenageraan masalah ideologi merupakan hal yang wajib, karena ideologi merupakan ciri khas dari suatu bangsa. Sehingga perlu ditanamkan agar mempribadi melalui pendidikan.” (H. Nashuddin).
”Pada era reformasi dewasa ini yang sekaligus merupakan era globalisasi tarik menarik kepentingan ideologi akan sangat mempengaruhi karakter bangsa. Oleh karena itu tugas berat bagi pendidikan kewarganegaraan dalam menanamkannya pada generasi muda/mahasiswa.” (Usman).
”Ideologi sangat berperan dalam kelangsungan hidup suatu bangsa, maka harus membangun ketahanan ideologi suatu bangsa yang berbasis pada falsafah bangsa. Hal ini dapat dilakukan melalui Civic Education atau Pendidikan Kewarganegaraan.” (Drs. Taufik).
Bertolak dari fenomena atau paparan di atas dapat ditarik suatu makna bahwa ideologi bagi suatu bangsa memiliki dua fungsi pokok, yaitu: pertama, sebagai tujuan ataau cita-cita dari kelompok masyarakat yang bersangkutan, artinya nilai0nilai yang hendak dituju secara bersama; kedua, sebagai sarana pemersatu dari masyarakat yang bersangkutan, artinya masyarakat yang banyak dan beragam itu bersedia menjadikan ideologi sebagai milik bersama dan menjadikannya bersatu. (Ramlan Surbakta, 1999:43) Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ideologi dapat digunakan sebagai unsur untuk membangun kekuatan nasional suatu negara. Bagi bangsa
129
Indonesia,Pancasila telah ditetapkan sebagai ideologi nasional melalui suatu kesepakatan. Dengan demikian, Pancasila dapat dijadikan rujukan yang mampu memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dan juga dijadikan pedoman
dalam
melaksanakan
kehidupan
berbangsa,
bernegara,
dan
bermasyarakat di segala bidang, baik pendidikan, politi, sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Penanaman
dan
pengembangan
kesadaran
berideologi
dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan benegara pada generasi penerus bangsa dengan cara menanamkan ideologi pancasila sebagai ideologi yang humanis, religius, demokratis, nasionalistis, dan berkeadilan. Proses penanaman dilakukan secara objektif dan ilmiah bukan secara doktriner, melalui barbagai jenjang pendidikan dan dilakukan dengan metode yang sesuai dengan tingkat pendidikan masingmasing. (Lemhanas, 2000:52)
6.2.3 Pengaruh Aspek Politik Pengertian politik dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu pertama: politik sebagai sarana atau usaha untuk memperoleh kekuasaan dan dukungan dari masyarakat dalam melakukan kehidupan bersama. Dengan kata lain bermakna usaha dalam memperoleh, memperbesar, memperluas, serta mempertahankan kekuasaan; kedua: politik digunakan untuk menunjuk kepada suatu rangkaian kegiatan atau cita-cita yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan yang dianggap baik, artinya bahwa politik sebagai suatu kebijakan.
130
Politik dalam arti kebijakan merupakan suatu proses alokasi sistem nilai dan norma kehidupan berbangsa dan bernegara yang diyakini baik dan benar. Hal ini dilakukan oleh suatu instansi yang berwenang agar menjadi pesoman pelaksanaan dalam mewujudkan cita-cita. Cita-cita bangsa Indonesia dapat dilihat pula pada pembukaan UUD 1945. salah satu cita-cita tersebut adalah ”mencerdaskan kehidpan bangsa”. Hal ini mengandung makna bahwa bangsa Indonesia sangat memperhatikan dunia pendidikan, karena dengan pendidikan segala sesuata dalam negaraini dapat dibangun. Tentang pengaruh politik pada pengajaran pendidikan kewarganegaraan lebih lanjut seperti dikemukakan oleh informan berikut ini :
”Pendidikan Kewarganegaraan sangat berhubungan dengan politik. Sebab dalam hal materi pengajarannya banyak berhubungan dengan hubungan warga negara dengan negara dan warga negara dengan negara secara luas termasuk bagaimana menyelenggarakan pemerintahan negara.” (HM. Natsir, SH.,MH).
Berhubungan dengan politik dalam arti kebijakan seorang informan berpendapat :
”Tak dapat dipungkiri antara politik dan pendidikan terjadi saling pengaruh mempengaruhi. Artinya apa yang dilaksanakan oleh pendidikan adalah merupakan kebijakan negara/pemerintah sebaliknya pendidikan yang baik akan dapat meningkatkan kualitas perpolitikan/kehidupan politik negara.” (Suprapto).
Dari teori dan pandangan di atas dapat dikatakan bahwa pendidikan dan politik adalah merupakan dua unsur penting dalam sistem sosial politik di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Kedua unsur tersebut sering dipandang sebagai bagian yang terpisah yang satu sama lain tidak memiliki
131
hubungan apa-apa. Padahal bila dikaji lebih jauh keduanya saling mengisi dan saling menunjang dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara. Lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk prilaku politik masyarakat di negara bersangkutan. Demikian juga sebaliknya, lembaga dan proses politik suatu negara akan berdampak besar pada karakteristik pendidikan di negara tesebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang erat dan dinamis antara pendidikan dan politik di suatu negara. Hubungan tersebut adalah merupakan realitas empiris yang telah tejadi sejak awal peradaban manusia. Keterkaitan antara pendidikan dan politik terimplikasi pada semua sektor, baik sektor filosofis maupun sekto rkebijakan. Filsafat pendidikan dari suatu negara seringkali merupakan refleksi prinsip ideologis yang diadopsi oleh negara tersebut. Sebagai suatu contoh di negara Indonesia, bahwa filsafat pendidikan nasional adalah merupakan artikulasi pedagogis dari nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila dan UUD 1945. hal ini dapat dilihat/dibuktikan pada pasal 2 UU no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebagai berikut: ”Pendidikan nasional bedasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” Demikian juga halnya seperti yang dikemukakan oleh Abernethy dan Coombe ( M. Sirozi, 2007; 7 ). ”Pendidikan dan politik terkait tanpa bisa dipisakan. Hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu pembentukan sikap kelompok, masalah pengangguran, dan peranan politik kaum cendikia. Kesempatan dan
132
prestasi pendidikan pada suatu kelompok masyarakat dapat mempengaruhi akses kelompok tersebut dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi.” Dengan paparan di atas dapat ditrik kesimpulan bahwa antara pendidikan dan politik memiliki hubungan yang signifikan dan saling mempengaruhi secara timbal balik. Sehingga kebijakan dan pelaksanaan bidang pendidikan di bsuatu negara seperti di Indonesia sangat dipengaruhi oleh politik atau kebijakan politik dari negara yang bersangkutan.
6.2.4. Pengaruh Aspek Sosial Budaya Untuk sampai pada uraian tentang pengaruh aspek sosial budaya pada pendidikan maka terlebih dahulu akan diuraikan tentang makna sosial itu sendiri . Setelah itu barulah akan dijelaskan tentang bagaiman pengaruh aspek sosial budaya tentang bagaimana pengaruh aspek sosial buaya padapendidikan pada umumnya dan pendidikan kewarganegaraan khususnya Pengertian ” sosial pada hakekatnya adalah merupakan interaksi dalam pergaulan hidup manusia dalam masyarakat. Dalam proses ini terkandung di dalamnya nilai-nilai kebersamaan, solidaritas, kesamaan nasib sebagai unsur pemersatu kelompok. Untuk menjamin keberadaan dan keberlangsungan hidup masyarakat, terdapat empat unsur penting.” (Gerungan, 1987:20) a) Struktur sosial, artinya fungsi utama dari hidup berkelompok di maksudkan agar mudah dalam menjalankan tugas dan memenuhi kebutuhan hidup, seperti sandang, pangan, papan, keamanan, dan sejenisnya.
133
b) Pengawasan sosial, yaitu merupakan suatu sistem dan prosedur yang mengatur
kegiatan
dan
tindakan
anggota
masyarakat
dalam
berinterakasi satu dengan yang lain agar tidak terjadi konflik. Disamping pengawasan sosial dalam masalah pemenuhan kebutuhan hidup, juga pengawasan dalam hal penggunaan pengetahuan, prakata, tingkah laku, agama/kepercayaan, moral, serta interaksi dengan kelompok luas. c) Media sosial, yaitu dalam suatu masyarakat diperlukan hubugan/relasi. Untuk itu masyarakat memerlukan landasan material untuk melakukan kegiatan dengan menggunakan alat transportasi, serta landasan spiritual untuk mengadakan komunikasi dengan menggunakan bahasa dan isyarat. Transportasi dan informasi merupakan mekanisme yang memungkinkan komunikasi dan relasi berlangsung lancar. d) Standar sosial, yaitu dalam realita kehidupan masyarakat, satandar sosial baik tertulis maupun tidak tertulis, betapapun sederhananya selalu ada. Hal itu diperlukan sebagai
ukuran unutk menentukan
apakah suatu tindakan itu baik atau buruk, benar atau salah, hina atau mulia, dan lainnya. Di samping setiap masyarakt itu memiliki standar sosial, juga menjaga dan mengembangkannya agar kualitas hidup itu menjadi lebih baik. Dengan kata lain, standar sosial kecuali berfungsi sebagai pengarah prilaku anggota masyarakat juga memberikan inspirasi dan pedoman untuk mencapai tujuan hidup yang diyakini
134
baik oleh kelompok masyarakat, standar sosial berguna untuk memanfaatkan cara dalam rangka mencapai tujuan. Pandangan tentang pengaruh pendidikan kewarganegaraan terhadap sosial budaya suatu bangsa seperti yang dikemukakan seorang informan berikut ini : ”Output pendidikan suatu negara harus atau tidak boleh bertentangan atau tercabut dari sosio budaya bangsa. Sehingga pendidikan itu harus dapat mengembangkan sosio budaya bangsa demikian sebaliknya.” (Usman).
Pendapat senada juga dikemukakan oleh seorang informan lainnya yaitu : ”Pendidikan dan sosio budaya bangsa merupakan dua hal yang memiliki hubungan yang sangat erat. Sebab berkembangnya kebudayaan merupakan hasil dari pendidikan suatu bangsa sebaliknya berkembangnya pendidikan berarti berkembangnya budaya bangsa itu sendiri.” (Drs. Taufik).
Berpijak dari teori diatas dapat dimaknai bahwa manusia itu dalam hidup bekelompok sesuai kodratnya sebagai makhluk sosial harus sesuai dengan fungsi, peran dan profesinya untuk memudahkan jalanya tugas-tugas kemanusiaan. Pembangunan nasional Indonesia selama ini menghasilkan struktur sosial yang cukup beragam sejalan dengan modernisasi, perkembangan zan dan iptek, fragmentasi kelompok masyarakat semakin berkembang baik vertikal maupun horizontal. Kehidupan masyarakat berdasarkan struktur peran dan profesi melahirkan bentuk hubungan dan ikatan antar manusia yang dapat menggantikan hubungan keluarga. Hubungan antar teman seprofesi terkadang lebih erat daripada hubungan keluarga. Di lain pihak semakin lebarnya struktur sosial secara horizontal juga melahirkan keanekaragaman aspirasi yang semakin sulit untuk diakomodasikan bersama.
135
Unsur sosial masyarakat merupakan unsur yang juga menentukan kekuatan nasional suatu negara. Hal-hal yang dialami oleh suatu bangsa yang homogen tentu saja akan berbeda dengan hal-hal yang dihadapi bangsa yang hetrogen (plural) dari segi sosial masyarakatnya. Seperti struktur sosial masyarakat Indonesia. Pengembangan integrasi nasional manjadi hal yang amat penting sehingga dapat memperkuatpersatuan dan kesatuan nasional. Masyarakat plural atau hetrogen seperti negara Republik Indonesia dapat difahami sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok. Di dalam masyarakat plural setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada atau membentuk kelompok tersendiri tanpa ada rintangan yang mengakibatkan terhakangnya hak untuk berkelompok atau bergabung dengan kelompok tertentu. Kemudahan begabung dengan setiap kelompok yang ada diperkuat dengan kesediaan dan keringanan satu kelompok dalam menerima kemenangan kelompok lain dalam sebuah persaingan yang jujur. Masyarakat yang hetrogen membuka peluang bagi persaingan dan konflik antar kelompok yang ada. Namun, kemenagan suatu kelompok yang telah sesuai dengan aturan yang diketahui harus diterima dengan rela sehingga konflik yang parah dapat terhindarkan. Tentang hal ini di negara Republik Indonesia yang notabene masyarakatnya plural atau hetrogen telah mengatur tentang kehidupan sosial dalam UUD 1945, terutama pada pasal 28. Demikian pula dengan kondisi budaya Indonesia tidak jauh dengan kondisi sosial yang plural. Budaya secara umum dapat dikatakan sebagai keseluruhan tata nilai dan cara hidup yang manifestasinya tampak dalam tingkah
136
laku dan hasil tingkah laku yang terlembagakan. Nilai atau sistem nilai dan cara hidup tersebut merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang menumbuhkan gagasan utama yang menjadi kekuatan pendukung dalam menggerakkan kehidupan (Minto Rahayu, 2007;248) Melalui budayanya itulah manusia berkarya, sehingga menjadi makhluk berbudaya, terhormat, dan beradab. Melalui kebudayaan, kehidupan manusia menjadi serasi, selaras, serta mempunyai dinamika yang normatif menuju taraf kehidupan yang lebih tinggi. Dinamika kehidupan manusia terus berkembang melalui sistem nilai dan norma-norma. Dengan demikian manusia sebagai individu
dan
sebagai
masyarakat
dalam
bebuat
itu
selalu
berkembang/mengembangkan kepribadian ke arah yang lebih baik. Nilai-nilai kehidupan serta interaksi individu menjadi selaras dan serasi bila keadaan lingkungan mendukung, artinya selalu dilandasi dengan sistem nilai dan norma. Dengan demikian dapat dikatakan perkembangan kepribadian manusia itu dapat terwujud, manakala setiap individu konsisten terhadap sistem nilai dan norma. Hal ini menempatkan individu dan sosial secara selaras, serasi, dan seimbang, serta setiap kegiatan individu atau kelompok itu mengacu pada terwujudnya kesejahteraan bersama. Sebaliknya, kehidupan akan timpang manakala prilaku individu atau kelompok terdapat kontradiksi- kontradiksi di dalamnya. Demikian pula dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, adanya erosi penghaytan nilai-nilai luhur budaya bangsa dapat menimbulkan ketegangan sosial serta membahayakan ketahanan nasional.
137
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa sdan subetnis yang masing-masing memiliki budaya sendiri. Karena suku-suku bangsa tersebut mendiami daerah tertentu, maka kebudayaannya disebut kebudayaan daerah. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan tersebut merupakan identitas dan kebangsaan suku bangsa tersebut. Kebudayaan daerah ada di Indonesia telah lama saling berkkomunikasi dan berintegrasi dalam kesetaraan. Dalam kehidupan bernegara sekarang ini, dapat dikatakan bahwa kebudayaan daerah tersebut merupakan kerangka dari kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia. Dengan demikian, kehidupan sosial budaya bangsa nasional akan terlepas dari perkembangan sosial budaya daerah. (Lemhanas SUSCADOSWAR,2000) Kebudayaan nasional menurut Koentjaraningrat (1986) berfungsi sebagai sumber pemberi identitas kebudayaan bersama sebagai suatu bangsa. Jadi, seluruh gagasan kolektif seluruh bangsa Indonesia yang beraneka/bhineka merupakan kebudayaan nasional yang fungsinya untuk saling berkomunikasi dan untuk memperkuat solidaritas bangsa. Berdasarkan proses interaksi budaya tersebut, maka kebudayaan nasional Indonesia memiliki ciri-ciri bersifat (1) religius; (2) kekeluargaan; (3) serba selaras; dan (4) kerakyatan. Komunikasi dan interaksi suku-suku yang ada di bumi Indonesia pada tahun 1928 telah menghasilkan aspirasi bersama sebagai satu bangsa di satu tanah air. Aspirasi ini terwujud secara sah dan diakui oleh bangsa-bangsa lain di dunia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945. Kenyataan ini menunjukkan bahwa keanekaragaman budaya justru merupakan hikmah bagi bangsa Indonesia. Di masa lalu telah mampu memunculkan faktor perekat persatuan bangsa yang
138
merupakan integrasi bangsa. Bangsa Indonesia menyadari bahwa untuk mewujudkan hakekat kodratnya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial harus melakukan suatu kontrak untuk menyepakati suatu integrasi hidup bersama dalam suatu wilayah negara, yaitu negara Indonesia. Untuk selanjutnya di masa depan,upaya untuk melestarikan keberadaan faktor perekat persatuan bangsa tersebut, yaitu keinginan dan semangat untuk hidup dan meraih cita-cita bersama akan menjadi tugas bersama seluruh warga negara. Untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita tesebut di atas yang salah satu jalannya adalah melalui dunia pendidikan, yaitu dengan menyesuaikan atau memasukkan dalam kurikulum pendidikan nasional. Jadi, dalam rumusan arah tujuan pendidikan di Indonesia haruslah dalam rangka menjadikan manusia Indonesia menjadi manusia yang bermartabat, berbudaya, dan cerdas. Hal ini berarti bahwa pendidikan di Indonesia dipengaruhi secara timbal balik dengan aspek sosial budaya Indonesia. Dengan kata lain, arah pendidikan di Indonesia tidak bisa terlepas dari keberadaan sosial budaya yang telah berakar di Indonesia. Esensinya adalah pengembangan kehidupan sosial budaya dalam merealisasikan pribadi dan segenap potensi manusia. Indonesia berdasarkan nilai luhur falsafah negara Pancasila sebagai ukuran tuntutan sikap dan tingkah laku bangsa dan negara Indonesia yang memberi landasan semangat dan jiwa menjadi ciri elemen sosial budaya. Koalisi secara kongkret tentang hal ini bisa disimak pada tujuan pendidikan nasional pada pasal 3 UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
139
BAB VII MAKNA PELAKSANAAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM KONTEKS PEMBINAAN KEHIDUPAN DEMOKRASI PADA TIGA PERGURUAN TINGGI DI KOTA MATARAM
Pada bab ini akan dibahas tentang makna pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan dalam konteks pembinaan kehidupan demokrasi. Makna yang akan dibahas adalah (1) makna kebangsaan; (2) makna solidaritas; (3) makna religius. Dalam pembahasan ini digunakan teori komunikasi. Komunikasi adalah suatu kebutuhan yang sangat fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat. Hal yang mendorong manusia atau seseorang berkomunikasi dengan manusia lain adalah kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Menurut Harold D Lasswell (Langara, 2005 ; 18) salah seorang peletak dasar ilmu komunikasi lewat ilmu politik memberi pengertian singkat tentang komunikasi adalah bahwa cara yang tepat untuk menerangkan suatu
tindakan
komunikasi
ialah
menjawab
pertanyaan
”siapa
yang
menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa dan apa pengaruhnya”. Selanjutnya dikatakan bahwa ada tiga fungsi dasar manusia berkomunikasi yaitu (1) Hasrat manusia untuk mengontrol lingkungannya. Melalui komunikasi manusia dapat mengetahui peluang yang ada untuk dimanfaatkan, dipelihara atau dihindarkan di sekitar lingkungannya; (2) Upaya manusia untuk dapat beradaptasi
140
di lingkungannya dan (3) upaya untuk melakukan tranformasi warisan sosialisasi (Langara, 2005 : 2). Jadi ketiga fungsi komunikasi tersebut di atas menjadi patokan dasar bagi setiap individu dalam berhubungan dengan sesama anggota masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa komunikasi tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Komunikasi diperlukan juga untuk mengatur tata krama pergaulan antar manusia karena berkomunikasi dengan baik akan memberikan pengaruh langsung pada struktur keseimbangan seseorang dalam bermasyarakat. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa keberhasilan seseorang dalam mencapai sesuatu yang diinginkan banyak ditentukan oleh kemampuan berkomunikasi. Dalam suatu proses komunikasi adalah beberapa unsur atau komponen yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Artinya terjadinya komunikasi bila didukung oleh komponen atau unsur-unsur komunikasi. Secara umum komponen komunikasi itu adalah Sumber, Pesan, Media, Penerima dan Pengaruh atau akibat/perubahan. Setiap komponen memiliki peranan masingmasing yang sangat penting dalam membangun proses komunikasi. Pelaksanaan pendidikan atau suatu pengajaran adalah merupakan proses komunikasi. Proses komunikasi itu terjadi pada proses belajar mengajar. Demikian juga halnya dengan pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan pada Perguruan Tinggi di Kota Mataram. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah bagaimana mengetahui makna perubahan pola pikir mahasiswa setelah
141
terjadinya proses belajar mengajar dalam pendidikan kewarganegaraan pada tiga Perguruan Tinggi di Mataram.
7.1. Makna Nasionalisme/Kebangsaan Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1997 : 604) Nasionalisme berarti : (1) Faham (ajaran) untuk mencitai bangsa dan negara sendiri ; (2) Kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan dan mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa itu, yakni semangat kebangsaan. Menurut Sartono Kartodirdjo (1993 : 21-25) Nasionalisme sebagai suatu ideologi dijiwai oleh prinsip-prinsip (1) Kebangsaan (Liberty) yang meliputi kebebasan beragama, berbicara/berpendapat, berkelompok/berorgansasi ; (2) Kesamaan (unity) prinsip ini menyangkut wilayah teritorial, bangsa, bahasa, ideologi, doktrin kenegaraan, sistem politik dan sistem perekonomian, hankam dan perempuan ; (3) Kebebasan (equality) mencakup kedudukan hukum, hak dan kewajiban ; (4) Kepribadian (personality) meliputi identitas, harga diri, rasa bangga dan rasa terhadap kepribadian dan identitas bangsa ; (5) Prestasi : cita-cita untuk mewujdkan kesejahteraan dan kebesaran dan kemuliaan dari bangsanya. Dari paparan di atas dapat ditarik suatu pengertian tentang nasionalisme yaitu suatu afinitas atau daya gabung kelompok yang didasarkan bahasa budaya, keturunan dan terkadang agama dan wilayah/teritorial, juga cita-cita dan kemerdekaan. Kehendak bersatu sebagai suatu afinitas dari kelompok dalam suatu wadah negara merupakan syarat utama. Dengan demikan tidak ada tempat untuk
142
mempersoalkan
perbedaan
suku,
agama,
ras,
golongan
dan
budaya.
Konsekuensinya harus siap mengorbankan kepentingan pribadi demi persatuan dan kesatuan nasional. Karena tanpa pengorbanan mustahil persatuan dan kesatuan nasional akan terwujud. Jadi dapat dikatakan secara sederhana bahwa nasionalisme adalah suatu faham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu diserahkan pada negara kebangsaan. Upaya penanaman semangat dan kesadaran nasionalisme dapat dilakukan melalui pendidikan. Salah satunya adalah melalui pendidikan kewarganegaraan. Dalam prakteknya penanaman dimaksud di kalangan perguruan tinggi dari tiga misi pembelajaran pendidikan kewarganegaraan pada struktur materi yang ada benar membahas mengkaji atau mencantumkan pokok bahasan tentang identitas nasional. Sementara pendapat umum bahwa nasionalisme merupakan bagian dari identitas nasional. Jadi dengan mengkaji atau mempelajari pendidikan kewarganegaraan adalah dalam rangka penanaman kesadaran nasionalisme pada mahasiswa dalam rangka membentuk kepribadian bangsa.
7.2. Makna Solidaritas Solidaritas diartikan atau mengacu pada atau hal yang menggambarkan hubungan perasaan sepenanggungan atau kesetiakawanan dalam masyarakat (Burhan MS, tl, 624). Dalam prakteknya seseorang mempunyai perasaan solider (solidaritas) dengan orang lain bila seseorang dapat mempersepsikan orang lain setara dengan dirinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kata atau istilah solidaritas merupakan istilah yang bersifat positif yang oleh banyak orang
143
dipahami sebagai mementingkan kelompok dari kepentingan diri sendiri. Dan memang secara umum dalam masyarakat solidaritas diartikan bahwa kepentingan bersama/umum didahulukan dari kepentingan bersama. Dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan/Civic Education baik menurut acuan/kurikulum Diknas, IAIN dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah dalam struktur materinya semua mengkaji masalah solidaritas. Terutama ketika mengkaji pokok bahasan tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam kajian tentang ini semua berbicara tentang kesetaraan kesamaan derajat manusia. Semua itu mengarah pada pembinaan kesetiaan pada prinsip kemanusiaan itu sendiri, yaitu persamaan derajat dan kebersamaan dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara seperti pengakuan seorang mahasiswa (Mulyawan) : ”Dalam pembelajaran Civic Education kami diberikan materi tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara atau warga masyarakat. Sehingga kami bisa menempatkan diri dalam pergaulan antar sesama bagaimana sebagai diri sendiri, warga masyarakat maupun warganegara”. Dari pengakuan di atas bila dikaji dari sesi hakekat manusia sebagai mahluk sosial maka sangat sejalan. Sebagai mahluk sosial manusia tak bisa hidup sendiri, pasti membutuhkan bantuan orang lain. Oleh karena itu manusia harus menjalin hubungan baik dengan orang lain. Dalam konteks berbangsa dan bernegara harus perlu dibangun solidaritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuan dalam maksud di atas tidak akan tercapai bila dalam praktek pembelajarannya tidak didukung oleh metode pembelajaran yang sesuai. Metode pembelajaran tersebut antara lain adalah melalui diskusi kelompok atau melalui gerakan mengumpulkan dana bagi korban bencana atau seperti pernyataan Gunawan sebagai berikut :
144
”Ketika bencana terjadi di Kabupaten Bima kami mengajak teman-teman mahasiswa melalui organisasi kemahasiswaan mencari dana untuk dapat membantu sesam a manusia yang dalam kesusahan, walaupun jumlahnya tidak besar tapi paling tidak dapat menghibur sesama yang sedang kesusahan”. Tindakan mahasiswa yang bersangkutan bila dikaji lebih jauh bahwa tindakan itu didorong oleh rasa kebersamaan sebagai warga masyarakat. Hal ini muncul akibat kesadaran kemanusiaan sebagai mahluk sosial. Jadi solidaritas itu dibangun didasarkan pada pemahaman dan kesadaran akan akibat kemanusiaan itu sendiri. Pengembangan dan kesadaran ini dibangun antara lain melalui dunia pendidikan.
7.3. Makna Religius Bila dipandang dari sudut agama pulau Lombok didiami oleh mayoritas masyarakat yang beragama Islam yang pada umumnya merupakan masyarakat asli pulau ini. Menurut data dari Departemen Agama Provinsi NTB tahun 2001 jumlah penduduk yang beragama Islam mencapai 94,8% selebihnya adalah menganut agama Hindu, Budha, Kristen Protestan dan Katholik. Dominasinya jumlah umat Islam di pulau Lombok tentunya berpengaruh pada jumlah tempat peribadatan seperti Masjid, Mushola, Langgar dan sebagainya. Hal ini menjadi indikator lain dari keberadaan umat Islam di pulau ini adalah adanya lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren dan lain-lain. Berbicara tentang sejarah masuknya Islam di pulau Lombok menurut penuturan-penuturan yang ada sementara ini amat beragam. Diduga keragaman ini mencerminkan keragaman asal usul penyebarannya. Ada yang mengatakan dari
145
Jawa, Melayu, Bugis dan lain sebagainya. Salah satu sumber yang menyebutkan masuknya Islam ke pulau ini dari Jawa adalah Babad Lombok. Menurut Tawalinudin Haris (M. Noor dkk, 2004 : 82) hal tersebut dapat dibenarkan dengan bukti-bukti arkeologis yang terdapat dalam situs makam Selaparang. Pada makam tersebut terdapat sejumlah batu nisan tipe kepala kerbau bersayap dan tipe silendrik. Selain itu dari segi bentuk dan motif hiasannya memiliki kesamaan dengan beberapa nisan yang terdapat di Aceh, Banten dan Madura yang diperkirakan berasal dari kurun waktu yang bersamaan. Kemudian satu hal yang agak pasti setelah proses Islamisasi ini adalah berdirinya Kerajaan Selaparang dan Pejanggik Islam. Di mana keduanya merupakan kerajaan serumpun dari garis keturunan yang sama, Kerajaan Selaparang berpusat di Lombok Timur sedangkan Kerajaan Pejanggik di Lombok Tengah. Setelah runtuhnya kedua kerajaan tersebut maka runtuh pula kekuatan Islam secara struktural. Agama Islam hanya sebagai agama rakyat yang dianut oleh rakyat kebanyakan dalam suasana ketakutan dan ketertindasan. Berita tentang Islam baru terdengar kembali setelah pecah perang Sakra I dan II pada tahun 1841 dan 1845. Pada tahun 1891 pecah peperangan yang menentang kekuasaaan kerajaan Mataram (Hindu) yang dipelopori kalangan masyarakat biasa yaitu Tuan Guru Haji Ali Batu walaupun beliau tewas dalam pertempuran tersebut. Walau demikian peperangan ini berdampak dengan berkobarnya semangat jihad yang lebih besar menentang kekuasaan yang lalim. Sepeninggal Tuan Guru Haji Ali Batu kepemimpinan dipegang oleh murid-muridnya. Satu hal yang agak jelas dari
146
perkembangan Islam di wilayah ini adalah bahwa Islam telah lama sebagai kekuatan baru yang cukup diperhitungkan. Dan corak Islam pada periode ini sangat didominasi oleh kaum tarekat (sufisme). Selanjutnya penyebaran dakwah Islam oleh para Tuan Guru dilakukan dengan mendirikan pondok-pondok pesantren dan pengajian di Masjid, Surau dan Langgar-langgar. Corak pondok pesantren ini masih sangat tradiosional. Para santri mengaji secara kolektif dan nyaris tanpa program pengajaran yang teratur dan terencana. Pada generasi berikutnya lahir seorang pemuda yang kelak menjadi tokoh kharismatik di pulau Lombok ia adalah Muhammad Saggat yang kemudian lebih dikenal sebagai Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid. Beliau mengembangkan dakwah Islam dan membentuk sistem pendidikan baru. Pondok pesantren yang didirikan sekitar tahun 1934 sebagai cikal bakal berdirinya Madrasah Nahdatul Wathan Diniyah Islamiah (NWDI) yang merupakan pelopor pondok pesantren modern dengan sistem klasikal, materinya sistematis dan terukur. Pondok pesantren ini dapat diklaim sebagai pembawa semangat pencerahan dalam sistem pendidikan Islam di pulau Lombok. Hal ini sangat berpengaruh hingga saat ini terutama tentang penyebaran agama Islam dan keberagaman di kalangan masyarakat Lombok khususnya dan NTB umumnya. Dalam catatan sejarah belum pernah terjadi sebuah kerajaan/pemerintahan yang kuat membawahi semua komunitas sasak dalam waktu yang relatif lama. Sehingga memungkinkan lahirnya sebuah identitas bersama yang diakui oleh semua. Demikian juga yang terjadi dalam kehidupan keberagamaan. Secara
147
keseluruhan suasana kehidupan keberagamaan diwarnai oleh identitas yang berkembang dimasing-masing kampung. Tuan Guru K. H. Zainuddin Abdul Majid mengambil langkah strategis dengan menyiapkan kader dakwah melalui pendidikan. Akibat kerja keras beliau dengan para Tuan Guru yang lain sekarang suasana keberagamaan masyarakat Lombok khususnya dan NTB umumnya secara kualitatif telah berubah. Secara kultural masyarakat sasak memiliki identitas yang seragam berkaitan dengan ke-Islaman ; Identitas baru ini mengalami perjuangan panjang untuk menjadi sebagai masyarakat sasak yang Islami. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Lombok khususnya dan NTB umumnya merupakan masyarakat yang religius akibat pengaruh perjuangan tuan guru sampai sekarang masih sangat kuat dalam masyarakat. Karena tuan guru dipercayai sebagai seorang yang mempunyai dalam mengajarkan moral etika dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula halnya dalam dunia pendidikan. Para orang tua di Lombok menyekolahkan anak-anknya agar dapat membangun/mengabdi pada masyarakat sesuai prinsip ditanamkan oleh para tuan guru sejak dulu secara turun temurun. Pengaruh seperti ini seperti yang diungkapkan Muh. Ali ”Saya disuruh menuntut ilmu (sekolah) oleh orang tua saya agar dapat menjadi guru yang mengajar masyarakat untuk berbuat baik. Dalam mata kuliah pendidikan kewarganegaraan saya lebih sadar lagi betapa pentingnya membangun bangsa, karena pembelajarannya dikaitkan dengan agama dan keberagamaan”.
Pernyataan tersebut di atas terbukti dalam kurikulum/acuan pembelajaran pendidikan kewarganegaraan yang digunakan terutama di IAIN dan Universitas Muhammadiyah Mataram dikaitkan dengan Islam dan keberagamaan di
148
Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam struktur materi Civic Education pada kurikulum yang digunakan IAIN memiliki tiga materi pokok yaitu Demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), dan masyarakat Madani. Dari ketiga materi inti ini dikembangkan menjadi 10 pokok bahasan. Kemudian dari 10 pokok bahasan ini dikembangkan menjadi 69 sub pokok bahasan. Selanjutnya dalam kajian demokrasi terdapat dua sub yang beruhubungan dengan Islam yaitu : Islam dan Demokrasi serta Isu Jender dalam Islam dan Demokrasi. Sementara dalam kajian tentang HAM terdapat dua sub juga yang berkaitan dengan Islam yaitu HAM dalam tinjauan Islam serta Isu Jender dalam Islam dan HAM. Dalam kurikulum yang dipakai di Universitas Muhammadiyah Mataram yang bertema Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kehidupan yang Demokratis dan berkeadaban terdiri dari 8 materi pokok pada kajian tentang demokrasi terdapat sub yang berhubungan dengan keagamaan (Islam) yaitu yang berbicara tentang Transpormasi Nilai Demokrasi dalam keluarga dan masyarakat. Jadi dari paparan di atas dapat dikatakan pembelajaran pendidikan kewarganegaraan sejalan dengan karakter masyarakat NTB dan Indonesia pada umumnya yang religius. Hal ini didukung juga dengan kurikulum yang digunakan secara umum yang dikeluarkan oleh Diknas dimana salah satu pokok bahasannya adalah tentang Filsafat Pancasila yang bersifat religius sebagai dasar dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia.
149
7.4. Refleksi Demokrasi dimaknai sebagai suatu sistem pemerintahan. Hal ini sesuai dengan arti etimologis dari demokrasi itu sendiri, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Jadi demokrasi adalah suatu pemerintahan yang melibatkan rakyat sebagai subjek dalam pemerintahan dan subjek dalam mewujudkan cita-cita dari negara yang bersangkutan. Dengan kata lain demokrasi sebagai dasar kehidupan bernegara memberikan pengertian bahwa negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Oleh karena itu demokrasi saat ini diyakini oleh banyak pihak merupakan suatu sistem kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dapat menjamin warganegaranya mencapai kehidupan yang sejahtera. Sejalan dengan keyakinan tersebut di atas maka dewasa ini banyak bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia tengah melakukan transportasi menuju masyarakat demokratis. Keyakinan tersebut diperkuat dengan asumsi bahwa dalam demokrasi kehendak rakyat adalah dasar utama kewenangan pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya sehingga menjadi basis bagi tegak dan kokohnya sistem pemerintahan/politik demokrasi. Hal ini menunjukkan bahwa rakyat diletakkan pada posisi penting walaupun secara operasional pelaksanaannya diberbagai negara tidak selalu sama. Proses menjadi negara demokrasi bukanlah suatu proses yang mudah dan sederhana,
melainkan
suatu
proses
yang
cukup
unik.
Banyak
hasil
survei/penelitian menunjukkan bahwa proses menuju demokrasi (demokratisasi) menjalani kegagalan. Kegagalan tersebut cenderung disebabkan bangsa/negara
150
tersebut memiliki prasyarat utama demokrasi yaitu kultur dan struktur sosial politik yang demokratis. Kultur demokrasi berhubungan sikap dan prilaku politik demokrasi masyarakat sedangkan struktur sosial politik berhubungan dengan institusi politik yang demokratis dari negara yang bersangkutan. Sehingga kedua aspek ini harus berjalan beriringan untuk dapat menjadi negara demokratis. Meninjau pernyataan G. Almond & S. Verba bahwa kematangan budaya politik akan tercapai bila ada keserasian antara struktur dengan kultur maka membangun masyarakat demokratis berarti usaha menciptakan keserasian antara kultur yang demokratis dengan kultur yang demokratis. Membangun kultur demokrasi jauh lebih sulit bila dibandingkan dengan membangun struktur demokratis. Membangun struktur berarti membangun institusi atau lembaga demokrasi. Hal ini berarti menciptakan dan menegakkan lembaga atau institusi politik tersebut dalam negara yang bersangkutan. Sedangkan
membangun
kultur
politik
demokrasi
berarti
menegakkan,
menanamkan, mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi secara terprogram dan terencana serta membutuhkan waktu yang relatif lama. Jadi untuk menjadi negara demokrasi tidak hanya memerlukan struktur/lembaga, hukum, aturan atau institusi negara lainnya. Namun negara demokrasi sejati juga memerlukan sikap dan prilaku hidup demokratis masyarakatnya. Untuk itu diperlukan waktu yang relatif lama, berat dan proses yang rumit. Oleh karena itu secara substantib dan berdimensi jangka panjang guna memajukan masyarakat pendidikan demokrasi mutlak diperlukan, karena pendidikan pada hakekatnya adalah suatu proses penanaman sosialisasi dari nilai-
151
nilai demokrasi agar bisa diterima dan dijalankan oleh segenap warga negara. Pendidikan demokrasi dapat berarti formal, non formal maupun informal. Pendidikan demokrasi dapat saja diintergrasikan ke dalam berbagai bidang studi kelompok ilmu sosial. Di lain pihak pendidikan demokrasi dapat pula dijadikan mata pelajaran atau mata kuliah yang berdiri sendiri. Bila diintegrasikan paling tepat untuk saat ini adalah dikemas dalam wujud mata pelajaran atau mata kuliah pendidikan kewarganegaraan. Dalam UU no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dinyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, beriman, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggun jawab. (Pasal 3 UU Sisdiknas). Dengan ketentuan tersebut dapat ditarik makna bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah untuk menjadikan warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab terhadap bangsa dan negara bagi tegaknya sistem demokrasi. Sehingga adalah merupakan hal yang logis bila pendidikan kewarganegaraan baik sebagai mata pelajaran di sekolah maupun bagi mata kuliah di perguruan tinggi dihajatkan untuk mengemban misi sebagai pendidikan demokrasi. Berdasarkan paparan di atas dapat dimaknai bahwa pendidikan demokrasi amat penting artinya bagi pertumbuhan budaya demokrasi di masyarakat (Civic Cultur). Dengan demokrasi akan mendukung keberhasilan, perkembangan dan pemeliharaan serta tegaknya pemerintahan demokrasi. Namun berdasarkan pengalaman selama ini justru pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan
152
demokrasi kurang mendapatkan porsi yang memadai dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan. Oleh karena itu agar pembelajaran pendidikan kewarganegaraan dapat membina kehidupan berdemokrasi perlu dilaksanakan lebih sungguh-sungguh dengan penataan yang cermat. Penataan dimaksudkan agar pendidikan kewarganegaraan benar-benar berfungsi sebagai pendidikan demokrasi. Penataan yang perlu mendapat perhatian antara lain masalah materi, metode dan manajemen pembelajaran serta paradigma pembelajaran. Pada sisi materi yang perlu ditekankan tentang konsep demokrasi, sejarah demokrasi dan perkembangannya di Indonesia, nilai dan jiwa demokrasi yang
dikembangkan di
Indonesia.
Kemudian
metode
dan manajemen
pembelajaran harus disesuaikan dengan prinsip demokrasi. Sedangkan masalah paradigma pembelajaran yang dikembangkan adalah paradigma humanistik dimana peserta didik diposisikan sebagai objek sekaligus sebagai subjek pendidikan. Jadi pendidikan akan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sepanjang hayat (Pasal 4 ayat 3 UU no. 20 tahun 2003) serta mengedepankan proses pembelajaran yang demokratis, empiris, kontektual, hosuistik, dan problem sulving dengan melibatkan peserta didik/mahasiswa secara aktif melalui penerapan strategi pembelajaran partisipatif.
153
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN
8.1. Simpulan Berdasarkan paparan hasil penelitian di atas dapat ditarik kesimpulan: Pertama Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan mata kuliah yang wajib ditempuh bagi seluruh mahasiswa pada semua jurusan. Hal ini berdasarkan UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 ayat 2 huruf b. Dalam pelaksanaan di kota Mataram berpedoman pada 3 (tiga) acuan pokok atau kurikulum yaitu : (1) Acuan dari Diknas dan Lemhannas yang diperuntukkan bagi perguruan tinggi pada umumnya di Indonesia ; (2) Acuan yang disusun oleh Indonesia Center For Civic Education (ICCE) yang diperuntukkan bagi perguruan tinggi agama Islam dan (3) Acuan yang disusun oleh Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah diperuntukkan bagi perguruan tinggi di bawah organisasi Muhammadiyah.
Pendidikan
Kewarganegaraan
mengemban
misi
mengembangkan dan membina peserta didik berkenaan dengan peran, fungsi, tugas, hak dan kewajiban serta tanggung jawab sebagai warga negara dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. Di samping itu mata kuliah ini mengemban misi sebagai pendidikan moral/karakter dan pendidikan bela negara serta pendidikan demokrasi. Sebagai pendidikan moral/karakter belum sepenuhnya menerapkan prinsip pendidikan moral. Sebagai pendidikan bela negara belum tercantum dengan jelas dalam struktur materi pembelajarannya. Sedangkan sebagai pendidikan demokrasi yang menumbuhkan, mengembangkan dan
154
membina kehidupan yang demokratis masih belum mendapat porsi yang memadai. Hal ini terlihat dari sebaran materi yang ada di lapangan termasuk penggunaan metode pembelajarannya. Kedua Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam praktek di lapangan tidak terlepas dari pengaruh baik yang bersifat intern maupun ekstern dalam mencapi tujuannya. Pengaruh intern yaitu pengaruh yang datang dari dalam pembelajarannya sendiri seperti pengaruh kurikulum yang dipahami, pengaruh sarana dan prasarana belajar dan pengajar atau dosennya. Sedangkan pengaruh ekstern adalah pegaruh yang datang dari luar pembelajaran sendiri seperti Globlalisasi, Ideologi negara, politik dan sosial budaya yang berkembang dalam masyarakat. Berdasarkan pengaruh-pengaruh tersebut hasil pembelajaran secara kuantitatif bisa berbeda namun secara substantif relatif sama yaitu bagaimana menjadikan peserta didik menjadi warganegara yang baik yang faham dan menyadari hak dan kewajibannya. Sehingga dapat menempatkan diri atau memposisikan diri dalam pergaulan hidup sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketiga Berkenaan dengan makna yang terkandung dari pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan di tiga pergurun tinggi di kota Mataram dalam konteks pembinaan kehidupan demokrasi di antaranya adalah makna religius, makna solidaritas dan makna nasionalisme atau kebangsaan. Ketiga makna ini bila ditinjau lebih jauh sebenarnya sangat berkaitan. Karena makna religius dapat mendasari membangun solidaritas yang pada gilirannya dapat membangkitkan
155
semangat nasionalisme dan selanjutanya diharapkan dapat berpatisipasi aktif dalam kehidupan bemasyarakat, berbangsa dan bernegara.
8.2. Saran-saran Berkaitan dengan temuan di lapangan ada beberapa saran-saran perlu disampaikan sebagai masukan : 1. Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata kuliah wajib bagi seluruh mahasiswa. Oleh karena itu harus mempunyai pedoman dasar yang sama (satu) agar mengarah pada target yang sama, yaitu sesuai dengan tujuan pendidikan nasional seperti tertera dalam Pasal 3 UU no. 20 tahun 2003. 2. Sebagai pendidikan yang mengemban misi bela Negara maka harus memuat materi tentang nilai-nilai bela Negara yang selama ini belum ada dalam struktur materi pendidikan kewarganegaraan. Hal ini penting artinya karena nilai-nilai bela Negara merupakan bagian dari pengamalan nilai-nilai Pancasila. 3. Negara Indonesia adalah Negara yang sejak awal berdirinya telah memilih demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Oleh karena itu pendidikan kewarganegaraan mempunyai misi pendidikan demokrasi agar
benar-benar berfungsi sebagai pendidikan demokrasi maka
materinya perlu ditata ulang dengan memperluas materi demokrasi pada keputusannya. Untuk itu harus dirancang sedemikian rupa
156
sehingga terjadi keterpaduan konsep material, sikap moral dan prilaku moral demokratis. 4. Selain penataan masalah materi perlu juga tenaga pengajar yang professional dibidang pendidikan kewarganegaraan. Keprofesionalan ini penting artinya karena diharapkan akan mampu menanamkan pengetahuan dan kemampuan dasar untuk menjadi warga Negara yang diandalkan. Hal ini penting karena selama ini masih kurang dosen yang professional di bidang itu. 5. Untuk dapat membina kehidupan demokrasi yang baik hubungan dosen dan mahasiswa tidak hanya tersusun dalam satuan acara perkuliahan (SAP) semata, namun memerlukan hubungan sosial yang kohesif. Sehingga dapat memberikan sesuatu yang lebih mendalam serta mampu berkembang secara positif dan demokratis dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena belum adanya pembinaan dosen pendidikan kewarganegaraan secara terpadu sehingga belum adanya Grand Disgn Pendidikan Demokrasi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
157
Daftar Pustaka Abdulah, Irwan, 2006, Konrtruksi dan Reproduksi Budaya.Yogyakarta: Pustaka pelajar Abraham, M Francis, 1991, Moderenisasi Di Dunia Ketiga : Suatu Teori Umum Pembangunan. Yogyakarta : Tiara Wacana Amnur, Ali Mahdi (ED), 2007. Konfigurasi Politik Pendidikan Nasioanal. Yogyakarta : Pustaka Fahima Ashar, JS, 1994. “Sikap Politisi Nasional dan Citra Demokrasi Pancasila” Bisnis Indonesia. Jakarta tgl 5 Maret hal 7 Bakry, Noor MS, 2004, Pendidikan Kewarganegaran. Yogyakarta : Liberty Barker, Chris, 2005. Cultural Studies : Teori dan Praktek. Yogyakarta : Bentang Budaya Branson,Margaret S, Dkk, 1999. Belajar Civic Educatiom Dari Amerika, Yogyakarta : LKIS Budiyono, Kabul, 2007, Nilai–Nilai Kepribadiaan dan Kejuangan Bangsa Indonesia. Bandung : Alfabeta Bungin, Burhan, 2001. Metode Penelitian Sosial Format–Format Kualitatif dan Kualitatif. Surabaya: Erlangga Universiti Press Burhani MS dan Hasbi Lawrens, TT, Kamus Ilmiah Populer. Jombang : Lintas Media Clark, John, 1995, NGO Dan Pembangunan Demokrasi. Yogyakarta : Tiara Wacana Cipto B, et tal, 2002. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education). Yogyakarta : LP3 UMY Dahl, Robert A, 1988. Sesudah Revolusi Usai?. Jakarta : Erlangga Daniel Dana, 2006. Resolusi Konflig. Jakarta : Ilmu Populer Darmaningtyas, 2007, Pendidikan Rusak – Rusakan. Yogyakarta : LKIS Devine, Pat, 1995, Demokrasi dan Perencanaan Ekonomi. Yogyakarta : Tiara Wacana David Beetham & Kevin Boyle, 2000. Demokrasi Dalam 80 Tanya Jawab. Yogyakarta: Kanisius Effendy, Muhadjir, 2003, Masyarakat Equilibrium.Yogyakrarta : Bentang Budaya Faisal, Sanafiah, 2003. Format – Format Penelitian Sosial. Jakarta : Raja Grafindo Persada
158
Fatah, Eep Saefullah, 2000, Penghianatan Demokrasi Ala Orde Baru. Bandung: Alfabeta Fateranidh, Nor Anida, 2003. “Nasionalisme Dalam Pembelajaran IPS Sejarah Di SLTP Negeri 8 Yogyakarta” Tesis. Yogyakarta : Program Pascasarjana UNY Gaffar, Afan, 2004, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi.Yogyakarta : Pustaka Garna Judistira K,1992, Teori –Terori Perubahan Sosial. Bandung : Program Pascasarjana Giddens, Anthony, 2001. Ranaway World. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Hamidi, 2005. Metode Penelitian Muhammadiyah Malang
Kualitatif.
Malang
:
Universitas
Hendro Prasetyo, dkk, 2002. Islam & Civil Society. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Tamburaka, H Rustam E,1999, Pengantar Ilmu Sejarah Teori Filsafat Sejarah, Filsafat Dan Iptek. Jakarta : Bina Aksara Juliantara, Dadang,1998, Meretas Jalan Demokrasi.Yogyakarta : Kanisius Kaelan, dkk,2007, Memaknai Kembali Pancasila. Yogyakarta : Badan Pemerintahan Filsafat UGM Kertodirjo, Sartono,1999 Multidimensi Pembangunan Bangsa. Yogyakarta : Kanisius Kertodirjo, A. Sartono,Dkk1995, Negara dan Nasionalisme Indoesia. Jakarat :Grasindo Kertodirjo, Sartono,1999, Ideologi Dan Teknologi Dalam Kebangsaan Bangsa. Jakarta : Grasindo Kohn, Hans,1984, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya Jakarta : Erlangga Kompetindo Kusnadi, H dan Bambang Wahyudi, 2001, Teori Dan Menejemn Konflig. Malang: Taroda Kusumohamidjoyo, Budiono, 2000, Kebinekaan Mayarakat di Indonesia. Jakarta : Grasindo Lubis, Akhyar Yusuf, 2006, Dekontruksi Epistemologi Modern. Jakarta : Pustaka Indonesia Marijan, Kacung, 2006, Demokratisasi Didaerah : Pelajaran dari Pilkada Secara Langsung. Surabaya : Pustaka Eurika dan Pus De HAM Mas’oed, Mohtar, 2003, Negara, Kaital Dan Demokrasi.Yogyakarta : Pustaka Pelajar Masdar, Umaruddin DKK, 1999, Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar
159
Marsadi, H. Subandi Al, 2004. Pancasila dan UUD’45 Dalam Paradigma Reformasi. Jakarta : Ragagrafindo Persada Moleong. J. Lexy, 2005, Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya Morin, Edgar, 2005. Tujuh Materi Penting Dunia Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius Mubarok Achmad, 2005, Nasionalisme Religius Jati Diri Bangsa Indonesia. Jakarta : Bina Rena Pariwara Maksum, Ali (Penyunting). 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Malang : PuSAPoM Mujani, Sayful. 2007. Muslim Demokrat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Munir, Badrul, 2002, Perencanaan Pembangunan Daerah Dalam Perspektif Otonomi Notonagoro, 1978. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila. Jakarta : Pancuran Tudjuh Nugroho D. Rian dan Tri Hanurita S, 2005, Tantangan Indonesia : Solusi Pembangnuan Politik Negara Berkembang. Jakarta : Elexmedia Kopotindo Nusantara, Ariobimo, 2003, Membangun Kembali Karakter Bangsa. Jakarta: Elexmedia Pamuji S, 1995, Demokrasi Pancasila Dan Ketahanan Nasional. Jakarta : Bina Aksara Panjaitan, Merphin, 2001, Gerakan Warganegara Menuju Demokrasi. Jakarta : Restu Agung Panuju, Redi, 2002, Relasi Kuasa Negara Media Massa dan Publik.Yogyakarta: Pustaka Pelajar Pelly, Usman dan Asih Menanti,1994, Teori - Teori Sosial Budaya.Jakarta : Dirjen Dikti Piliang, Yasraf Amir, 2004, Posrealitas. Yogyakarta : Jalasutra Purnomo Arif,1999, “Sikap Demokratis Siswa SMU di Yogyakarta” Tesis, Yogyakarta, Program Pascasarjana UNY Pusat Bahasa Depdiknas, 2002, Kamus Besar Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Padmo Wahyono, “Demokrasi Politik Indonesia” dalam Rusli Karim dan Fauzi Rizal. 1991 Dinamika Budaya dan Politik dalam Pembangunan. Jakarta : Tiara Wacana Prayitno B, 1991. Apakah Demokrasi itu. Jakarta : United States Information Agency Rahayu, Minto, 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : PT. Grasindo
160
Rasyada, Dede Dkk, 2004. Buku Panduan Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education). Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah Rudini,1994, Atas Nama Demokrasi Indonesia Yogyakarta : Bigraf Publishing Ramlan Surbakti, 1999. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : Grasindo Sargent, Lmen Tower,1986. Idiologi Politik Kontempoler. Jakarta : Bina Aksara Salim, Agus, 2001, Teori dan Peraktik Penelitian Sosial. Yogyakarta : Tiara Wacana Samawi, A, 1995, “Konsep Demokrasi Dalam Pendidikan Menurut Progrefivisme John Dewe Y” Tesis. Yogyakarta : Program Pascasarjana UGM Setiawan Benni, 2006, Menifesto Pendidikan Indonesia. Yogyakarta : Ar Ruzz Merdia Simatupang, Maurits, 2002, Budaya Indonesia Yang Surpaetnis. Papas Sinar Sinauli Suharsimi, Arikunto, 2000, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Bina Sukardi, Cekli S Pratiwi, 2002, Mengukuhkan Kesatuan Negara Kesatuan. Malang : UMM Sumaatmaja, Nursid, TTt, Manusia Dalam Kontek Sosial Budaya Dan Lingkungan Hidup. Bandung : Alfabeta Sumanto, 1995, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Yogyakarta : Andi Offset Suparno, HA Dkk, 1986. Pola Berfikir Ilmuwan Dalam Konteks Sosiobudaya Indonesia. Surabaya : Erlangga Universitas Press Susetyo, Benny, 2005. Politik Pendidikan Penguasa. Yogyakarta : LKIS Susilo, J Basis (Ed),1997. Masyarakatd dan Negara. Surabaya : Erlangga Universitas Press Syamsuddin, Nazzaruddin,1993, Dinamika Sistem Politik Indonesia. Jakarta : Gramedia Samuel Huntington, 2001. Gelombang Demokrasitisasi Ketiga Terj. Asril Marjohan. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti Sukarna, 1981. Demokrasi Versus Kediktatora. Bandung Alumni Sparinga, DT, 2003. Multikulturalisme dalam Multiperspektif di Indonesia. Surabaya : Forum Rektor Simpul Jawa Tiur Universitas Surabaya Sumarsono. S, 2000. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : Lembaga Ketahanan Nasional Supriatnoko, 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : Penaku
161
Telaar, HAR, 2007, Mengindonesia Etnisitas Fan Identitas Bangsa Indonesia. Jakarta : Rineke Cipta Tilaar, HAR, 2003, Kekuasaan dan Pendidikan. Megelang : Indonesia Tera Triguna, Ida Bagus Gde Yudha.2000. Mengenal Teori – Teori Pembangunan. Denpasar : Widya Darma UNPAD Tranz Magais Suseno, 1997. Mencari Sosok Demokrasi . Jakarta : Gramedia. Uno, H. Hamzah B, 2007 Profesi Kependidikan. Jakarta : Bumi Aksara Wahid Hasyim Dkk, Telikungan Kapatilisme Global Dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia. Yogyakarta : LKIS Widjayanto, Andi Dkk, 2007, Transnasionalisasi Masyarakat Sipil.Yogyakarta : LKIS Winarno, Dwi. 2006. Paradigma Baru Pendidikan Kewargamegaraan. Jakarta: Bumi Aksara Winarso, 1995. ”Pengaruh Pola Asuh Dan Pemahaman Demokrasi Pancasila Serta Terpaan Media Massa Terhadap Perilaku Demokratis Siswa SMA” Publikasi Berkala Penelitian Pasca Sarjana. UNPAD 6 (2) Hal.23-26 Bandung Yafie, KH Ali,dkk, 2004, Rapatkan Barisan Untuk Kebangkitan Indonesia Raya. Jakarta : Bina Rena Pariwara Yaqin, M Ainul, 2005, Pendidikan Multikultural. Yogyakarta : Nuansa Aksara Yogyakarta Zamroni, 2007. Pendidikan dan Demokrasi Dalam Transisi. Jakarta : PSAP Muhammadiyah Zamroni, 2001. Pendidikan Untuk Demokrasi. Yogyakarta : Bigraf Publising _________________, 1999. Etika Politik, Prinsip Prinsip Moral Dasar Kewarganegaraan Modern. Jakarta : Gramedia