BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai bagian dari kajian tipologi gramatikal, konstruksi kausatif cukup menarik untuk dikaji. Hal itu dilandaskan pada beberapa alasan. Pertama, konstruksi tersebut memiliki konvergensi dengan disiplin ilmu lain, seperti filsafat dan antropologi (Comrie, 1983: 158)1. Kedua, konstruksi tersebut memiliki dua komponen atau kejadian dalam membentuk satu situasi yang mengekspresikan relasi di antara penyebab (seorang individu atau peristiwa) dan pesebab (peristiwa yang disebabkan oleh kausasi) (lihat Comrie, 1983: 158; Song, 2001: 257, bdk. Goddard, 1998: 266)2, yang memuat struktur argumen dari predikat kausatif dalam pesebab (Payne, 2002: 175). Ketiga, konstruksi tersebut menunjukkan adanya keterlibatan sintaksis formal dan analisis semantik (Comrie, 1983: 159). [Hal itulah yang menyebabkan pembagian konstruksi tersebut berdasarkan parameter formal dan parameter semantis]3 Sejalan dengan itu, para ahli bahasa telah banyak mengkaji konstruksi kausatif dari sudut pandang yang berbeda. Ada yang mengkaji dari segi tipologis (misalnya, Comrie, 1983; Song, 2001); ada juga yang mengkaji dari segi sintaksis (Shibatani [ed.] 1976; Ackerman dan Webelhuth, 1998; Mulyadi, 2004; Subiyanto, 2013), bahkan ada yang telah mengkaji dari segi semantis (lihat Curnow, 1993 dalam Mulyadi, 2004; Goddard, 1998). Kajian-kajian itu memberikan kontribusi dalam mengembangkan konstruksi tersebut sesuai dengan tataran masing-masing.
21 Universitas Sumatera Utara
Seiring dengan ramainya pengkajian konstruksi kausatif, banyak ahli yang telah mengklasifikasikan kausatif berdasarkan parameter tertentu. Misalnya, di satu sisi, Comrie (1983) mengklasifikasikan kausatif berdasarkan parameter formal, yakni kausatif leksikal, kausatif morfologis, dan kausatif analitik – yang dalam pandangan Whaley (1997) dan Payne (2002) disebut kausatif perifrastis. Parameter tersebut sama dengan pembagian Goddard (1998) dan Song (2001). Lebih lanjut, Shibatani (1976) menyatakan bahwa kausatif analitik (perifrastik) merupakan konstruksi biklausal, sedangkan kausatif morfologis dan kausatif leksikal merupakan konstruksi monoklausal4. Di sisi lain, berdasarkan parameter semantis, kausatif dibedakan atas tingkat kendali yang diterima pesebab dan kedekatan antara penyebab dan pesebab dalam situasi makro (Comrie, 1983: 164). Berkaitan dengan itu, Song (2001: 278) menyatakan bahwa di antara ketiga tipe, kausatif leksikal menempati jarak terdekat dalam menghubungkan penyebab dan pesebab, sedang dua tipe lainnya berada di posisi setelahnya.5 Pembentukan konstruksi kausatif seperti parameter di atas tentu berbeda dalam setiap bahasa. Hal itu berhubungan dengan relasi makna, fungsi gramatikal, dan juga valensi yang terdapat dalam bahasa tersebut (Ackerman dan Webelhuth, 1998: 268). Misalnya, dalam bahasa Batak Toba (disingkat bBT)6, pembentukan konstruksi kausatif memiliki keunikan secara gramatikal. Namun, sampai saat ini kajian sintaksis terhadap konstruksi kausatif bBT belum pernah disinggung sama sekali. Oleh karena itu, urgensi penelitian ini berkaitan dengan (1) kekhasan konstruksi kausatif sebagai kajian tipologi, (2) kekhasan bBT sebagai bahasa yang memiliki sistem tata bahasa sendiri, dan (3) kepentingan pengkajian sintaksis terhadap bBT.
22 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan urgensi di atas, penelitian ini berfokus pada konstruksi kausatif bBT. Secara sederhana, ketiga tipe konstruksi dapat dideskripsikan dalam contoh kalimat berikut ini. (1) Mamunu ulok nangkiningan Bapa. [kausatif leksikal] AKT-bunuh-KAUS ular Adv-tadi Bapak-TOP ‘Bapak membunuh ular tadi’. (2) Torop do halak na manjambarhon boli nasida.[kaus. morfologi] Banyak T orang-TOP Pe AKT-bagi-KAUS mahar mereka-3TG.7 ‘Banyak orang yang membagikan maharnya itu’. (3) (a) Mangombak saba ibana. AKT-cangkul sawah dia-3TG-TOP. ‘Dia mencangkul sawah’. (b) Oma do mambahen ibana mangombak saba.8 [kausatif analitik] Ibu-TOP T V-KAUS dia-3TG AKT-cangkul sawah. ‘Ibu menyuruh dia mencangkul sawah’. Contoh di atas merupakan bentuk lazim dari ketiga tipe konstruksi kausatif yang terdapat dalam bBT. Sesuai dengan data di atas, kausatif leksikal dimarkahi verba leksikal mamunu ‘membunuh’ yang mengandung komponen sebab dan akibat, sedangkan kausatif morfologis dimarkahi afiks {-hon}, dan kausatif analitik dimarkahi verba kausatif mambahen ‘membuat’. Berbeda dengan bentuk lazim di atas, terdapat beberapa fenomena dalam konstruksi kausatif bBT. Pertama, fenomena dalam kaitannya dengan kausatif morfologis. Lazimnya, perubahan verba intransitif menjadi transitif dimarkahi afiks kausatif {pa-}, {-i}, {pa- -hon}, {pa- -i}, dan {-hon} seperti contoh di atas, tetapi dalam bBT (contoh 4b), hal itu dimarkahi afiks {maN-}. Selain itu, pemarkah afiks {-i} tidak hanya ditemukan pada bentuk dasar yang berkategori adjektiva dan nomina, tetapi juga ditemukan dalam kategori verba (contoh 5).
23 Universitas Sumatera Utara
Pemarkah afiks {pa-/ par-} juga tidak hanya ditemukan pada kategori adjektiva, adverbia, dan numeralia, tetapi juga pada kategori nomina (contoh 6). (4) (a) Mapitung manukna. AKT-buta ayam-3TG-TOP. ‘Ayamnya buta’. (b) Ibana do hape na mamitung manuk i. Dia-3TG-TOP T ternyata Pe AKT-buta-KAUS ayam Pron. ‘Dia ternyata membutakan ayam itu’. (5) Ompung do nakkaning mandungoi bapa. Nenek-TOP T tadi AKT-bangun-KAUS bapak. ‘Nenek membangunkan bapak tadi’. (6) Ndang tama ho mampartulang dongan samargam. Tidak baik kau-2TG-TOP AKT-paman-KAUS teman semarga-2TG. ‘Tidak baik memperpamankan teman semargamu’. Kedua, fenomena lain dalam kaitan dengan parameter semantis juga ditemukan dalam bBT (contoh 7). Afiks {maN- dan -hon} yang melekat pada adjektiva robur ‘hancur’ memunculkan verba mangarobur dan mangaroburhon yang memiliki nuansa makna. Apabila dihubungkan dengan parameter semantis, hal itu menunjukkan rentang waktu yang berbeda antara peristiwa sebab dan akibat. Nuansa makna yang dimaksud dapat dibuktikan dengan melekatkan fitur semantis kesengajaan seperti contoh berikut ini. (7) (a) Marobur artana. AKT-hancur harta-3TG-TOP. ‘Hartanya hancur.’ (b) Ibana do na sangajo mangarobur artana. Dia-3TG-TOP T Pe sengaja AKT-hancur-KAUS harta-3TG. ‘Dia sengaja menghancurkan hartanya’. (c) Ibana do na sangajo mangaroburhon Dia-3TG-TOP T Pe sengaja AKT-hancur-KAUS ‘Dia sengaja menghancurkan hartanya’.
artana. harta-3TG.
24 Universitas Sumatera Utara
Kedua fenomena yang dikemukakan di atas dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya. Fenomena tersebut menjadi alasan pertama untuk pelaksanaan penelitian ini. Dalam penelitian ini juga dibahas struktur yang membangun konstruksi kausatif. Perhatikan contoh berikut. (8) (a) Dabu anggina. AKT-jatuh adik-3TG-TOP. ‘Adiknya jatuh.’ (b) Ibana do mandabuhon anggina. Dia-3TG-TOP T AKT-jatuh-KAUS adik-3TG. ‘Dia menjatuhkan adiknya.’ (c) Ibana do mambahen anggina madabu. Dia-3TG-TOP T V-KAUS adik-3TG AKT-jatuh. ‘Dia membuat adiknya jatuh.’ Struktur dasar (8a) membentuk struktur derivasi (8b) dan (8c). Adanya pemarkah afiks {-hon} (8b) telah memunculkan konstituen FN baru yang berakibat pindahnya subjek anggina ke posisi objek dalam struktur yang membangun konstruksi kausatif. Selanjutnya, kehadiran verba kausatif mambahen pada struktur derivasi (8c) menyebabkan munculnya dua predikat terpisah mambahen dan madabu yang membentuk struktur matriks ibana mambahen dan struktur derivasi madabu anggina. Adanya perpindahan konstituen dalam konstruksi di atas dijelaskan dengan teori Penguasaan dan Pengikatan. Dua subsistem teori yang relevan adalah teori X-bar dan teori Perpindahan. Teori X-bar menerangkan struktur yang membangun konstruksi kausatif, sedangkan teori perpindahan menjelaskan proses perpindahan suatu konstituen yang menduduki posisi tertentu dalam struktur asal
25 Universitas Sumatera Utara
ke posisi lain dalam struktur derivasi (Mulyadi, 2004: 136). Pembahasan mengenai struktur ini merupakan alasan kedua diadakannya penelitian ini. Berdasarkan semua konsep dan fenomena yang dijelaskan di atas, penelitian ini difokuskan pada tipe-tipe konstruksi kausatif bBT dan struktur yang membangun konstruksi tersebut. Artinya, dalam tulisan ini digunakan dua kajian secara eklektis; tipologi untuk menjelaskan tipe konstruksi kausatif bBT dan sintaksis untuk menjelaskan struktur yang membangun konstruksi tersebut.
1.2 Rumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Bagaimanakah tipe-tipe konstruksi kausatif bBT berdasarkan parameter formal (morfosintaksis) dan parameter semantis? 2) Bagaimanakah struktur yang membangun konstruksi kausatif bBT?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dirumuskan dalam dua bentuk, yakni tujuan umum dan tujuan khusus. 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsepsi penutur bBT terhadap peristiwa sebab-akibat dan mendeskripsikan konstruksi kausatif dalam struktur sintaksis bBT.
26 Universitas Sumatera Utara
1.3.2 Tujuan Khusus Sejalan dengan rumusan masalah di atas, tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Mengidentifikasikan tipe-tipe konstruksi kausatif dalam bBT berdasarkan parameter formal (morfosintaksis) dan parameter semantis. 2) Mendeskripsikan struktur yang membangun konstruksi kausatif bBT.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini digolongkan atas dua bagian, yaitu manfaat secara teoretis dan manfaat secara praktis. 1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat dalam memperkaya khazanah pengetahuan linguistik, khususnya bidang tipologi gramatikal. Pendekatan tipologi yang digunakan dalam penelitian ini menjadi referensi bagi kajian lain dalam mengelompokkan bahasa-bahasa berdasarkan tipe tertentu. Selain itu, penelitian ini juga menjadi referensi dan bahan rujukan dalam mengenal kekhasan bBT, khususnya dalam tataran sintaksis. Hal itu dianggap perlu mengingat minimnya penelitian yang dilakukan terhadap sintaksis bBT. 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan penyusunan buku pengajaran bBT, baik di lembaga pendidikan formal maupun pendidikan informal. Selain itu, penelitian ini bermanfaat sebagai sumber informasi dan rujukan bagi penelitian lanjutan dan sebagai bahan perbandingan untuk melakukan kajian
27 Universitas Sumatera Utara
lanjut sehingga dapat memperkaya khazanah telaah sosial; bahasa, budaya, dan lingkungan Indonesia.
1.5 Definisi Istilah Bagian ini merupakan batasan mengenai sejumlah konsep yang digunakan sebagai suatu istilah teknis. Semua konsep itu merupakan kerangka dari fenomena empiris tentang konstruksi kausatif. Oleh karena itu, definisi istilah dari konsepkonsep tersebut dijelaskan sebagai berikut. 1. Kausatif dan Kausativisasi Kausatif merupakan gabungan dari dua situasi yang menggambarkan komponen sebab (verba kausatif) dan komponen akibat (predikat akibat) (Comrie, 1983: 158; Song, 2001: 257). Selanjutnya, kausativisasi merupakan proses pembentukan kausatif (Payne, 2002: 175). Menurut Comrie (1983: 158), kausativisasi merupakan proses peningkatan valensi dengan penambahan argumen agen/ aktor yang sekaligus merupakan penyebab terjadinya sebuah peristiwa kausatif. 2. Aplikatif Aplikatif merupakan proses penciptaan objek atau pengubahan fungsi nonobjek menjadi objek (Haspelmath, 2002: 216). Selain itu, peningkatan hierarki objek, misalnya objek tak langsung menjadi objek langsung juga dikategorikan sebagai proses aplikatif (Haspelmath, 2002: 217; bandk. Payne, 2002: 186). Itu sebabnya, aplikatif disebut juga sebagai alat penambahan valensi verba (Payne, 2002: 186; bandk. Whaley, 1997: 191). 3. Valensi Valensi adalah jumlah argumen dalam sebuah kalimat dikaitkan dengan verba yang disebabkan oleh fungsi-fungsi gramatikal (Katamba, 1993: 266). Lebih sederhana, Van Vallin dan Lapolla (1999: 147-150) mengatakan bahwa valensi adalah banyaknya argumen yang diikat atau diambil oleh verba. Konsep valensi berkaitan erat dengan perubahan jumlah argumen verba sebagai PRED dalam sebuah klausa yang memengaruhi argumen A atau SUBJ dan P atau OBJ suatu PRED verba (Haspelmath: 2002:218). 4. Relasi Gramatikal Relasi gramatikal merupakan bagian-bagian atau unsur dari kalimat/ klausa yang dikategorikan sebagai subjek (S), objek langsung (OL), dan objek tak langsung (OTL). Comrie, 1983: 170; Song, 2001: 264; dan Payne, 1997: 176 menyebutkan bahwa tiga relasi gramatikal tersebut adalah relasi yang bersifat sintaksis. Di samping itu, ada relasi yang bersifat semantik, yaitu: lokatif,
28 Universitas Sumatera Utara
benefaktif, dan instrumental yang secara kolektif disebut relasi oblik. (Blake, 1991; Artawa, 2000: 490). 5. Transitivitas Transitivitas dibedakan atas ketransitifan struktural dan tradisional. Transitivitas struktural mengacu kepada struktur yang berhubungan dengan sebuah predikat dan dua argumen, yaitu S dan OL, sedangkan transitivitas merujuk kepada proses membawa atau memindahkan tindakan dari agen ke pasien (Hopper dan Thompson (ed), 1982 dalam Budiarta, 2013). 6. Argumen Argumen merupakan unsur sintaksis dan semantis yang diperlukan oleh sebuah verba yang umumnya berkorelasi dengan partisipasi pada suatu kejadian atau keadaan yang dinyatakan oleh verba atau predikatnya. Jumlah argumen dalam sebuah klausa atau kalimat sangat ditentukan oleh verba sebagai inti (head) dari klausa atau kalimat tersebut (Culicover, 1997: 16-17). 7. Struktur Argumen Struktur argumen merupakan keterikatan argumen predikat dengan predikat itu sendiri yang membentuk sebuah struktur (Alsina, 1996: 4-7). Di sisi lain, Manning (1996: 35-36) menyatakan bahwa struktur gramatikal dan struktur argumen adalah hasil langsung dari gramatikalisasi dua rangkaian hubungan yang berbeda. Artinya, persoalan struktur argumen ditempatkan sebagai perwujudan sintaksis.
29 Universitas Sumatera Utara
Catatan: 1
Peranan penting konstruksi kausatif dapat dilihat berdasarkan disiplin ilmu lain, misalnya filsafat dan antropolinguistik. Filsafat akan memasuki wilayah kajian sifat penyebab dari peristiwa kausatif, sedangkan antropolinguistik akan mengkaji persepsi manusia dan juga kategorisasi sebab-akibat yang dihasilkan peristiwa kausatif tersebut (Comrie, 1983: 158).
2
Goddard cenderung mengarahkan definisi kausatif ke kajian semantik, yakni ungkapan yang di dalamnya sebuah peristiwa (peristiwa yang disebabkan) digambarkan sebagai peristiwa yang terjadi karena (disebabkan) seseorang melakukan sesuatu atau karena sesuatu terjadi (Goddard, 1998: 266).
3
Kajian konstruksi kausatif melibatkan interaksi antara sintaksis formal dan analisis semantik, dan itulah yang menghubungkan parameter formal dan parameter semantis (lihat Comrie, 1983:159).
4
Pembagian konstruksi kausatif yang dikemukakan oleh Arka (1993:8) didasarkan atas jumlah klausa yang terdapat dalam sebuah konstruksi kausatif. Perbedaan pembagian kausatif menurut Arka (1993:8) dan Comrie (1981: 158--160; 1989:165--171) pada prinsipnya tidak bertentangan satu sama lain.
5
Kausatif leksikal merupakan perpaduan maksimum antara dua predikat meskipun tidak mungkin menganalisis verba kausatif leksikal dalam dua morfem. Kausatif sintaksis merupakan perpaduan minimum antara predikat penyebab dan akibat, dengan dua predikat terpisah. Selanjutnya, kausatif morfologi menempati titik tengah pada kontinum fusi formal yang rentan terhadap analisis dari satu morfem ke morfem yang lain (Song, 2001: 278).
6
Salah satu contoh kekhasan bahasa Batak Toba tampak pada banyaknya kata yang tidak memiliki padanan makna atau sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti kata panongosan (pa + tongos + -an), tidak mempunyai padanan dalam bahasa Indonesia sehingga harus diterjemahkan dengan seseorang, yang dengan perantaraannya sesuatu dikirimkan. Oleh karena itu, adakalanya penggunaan bBT lebih sederhana daripada bahasa Indonesia, tetapi terkadang bisa lebih rumit atau kompleks (lihat Sinaga, 2002:1)
7
bBT memiliki partikel na yang dapat digunakan untuk memperkuat unsur yang mengikutinya. Partikel itu hampir sama dengan pronomina penghubung yang dalam bahasa Indonesia, tetapi penggunaannya lebih luas dalam BBT. Dalam beberapa hal, partikel na itu dapat diterjemahkan dengan yang, tetapi dalam beberapa hal tidak. Apabila partikel itu tidak dapat diterjemahkan dengan yang dalam bahasa Indonesia digunakan pemarkah Pe sebagai singkatan pemerkuat. Partikel tersebut berfungsi sebagai pemerkuat kalimat tanya, pemerkuat kalimat berita, pemerkuat kalimat terbelah, pemerkuat kalimat negatif, pembentuk kata majemuk, pemerkuat keterangan waktu lampau, pronomina relatif dalam klausa relatif dan atribut relatif, serta pembentuk nominalisasi (Sibarani, 1997: 220).
30 Universitas Sumatera Utara
8
Partikel do berfungsi sebagai pemarkah topik yang tempatnya tetap setelah topik meskipun fungsi-fungsi sintaksis dalam kalimat itu dipertukarkan. Partikel do (1) mengandung makna eksklusif yang menegaskan bahwa “topiklah yang terjadi, bukan yang lain”; (2) cenderung menyiratkan waktu yang lampau yang menyatakan bahwa kejadian itu telah terjadi pada waktu lampau, dan (3) perintah itu merupakan desakan/ saran penyapa untuk melakukan tindakan tertentu (Sibarani, 1997: 216).
31 Universitas Sumatera Utara