1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Dalam perjalanan sejarah, pada titik-titik tertentu terdapat peninggalan-
peninggalan yang masih dapat terlihat sampai sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya. Warisan budaya inilah yang diartikan sebagai produk atau hasil budaya fisik dari berbagai tradisi dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang menjadi elemen pokok dalam jati diri suatu kelompok atau bangsa (Davidson, 1991: 2). Setiap bangsa memiliki sejarah dan warisan budaya yang diwariskan dari masa lalu. Setiap generasi berkewajiban untuk menjaga dan melestarikan sejarah dan warisan budaya dari masa lalu. Pentingnya pelestarian ini bertujuan agar nilainilai yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan sebagai pembelajaran bangsa dan negara di masa yang akan datang. Sejarah dan warisan budaya yang dimaksud dapat berupa cerita perjuangan, bangunan bersejarah, dan semangat perjuangan dari para pendiri bangsa. Wilayah Nusantara (Indonesia) pernah dijajah oleh beberapa bangsa asing dalam waktu yang relatif panjang. Kondisi tersebut menghasilkan bentuk-bentuk pengaruh kebudayaan dari bangsa-bangsa Eropa sebagai pihak kolonialis dengan kebudayaan pribumi di Nusantara. Pencampuran tersebut kemudian menghasilkan kebudayaan baru di Nusantara yang dikenal dengan Kebudayaan Indis (Soekiman, 2000), hal ini memperkaya kebudayaan Nusantara dan menjadi salah satu karakter
2
kebudayaan Indonesia saat ini. Sampai saat ini, di Indonesia terdapat banyak budaya materi dan benda bersejarah peninggalan masa kolonial yang dapat ditemui, baik dalam bentuk artefak, arsitektur bangunan, maupun bentuk tata letak perkotaan di Indonesia. Bandung merupakan salah satu kota yang tak luput dari pengaruh kebudayaan kolonial. Pada perkembangannya Kota Bandung ini sengaja dirancang oleh pihak kolonialis Belanda untuk menampilkan suatu contoh yang ideal dari sebuah kota kolonial yang modern (Barker, 2008: 525). Meskipun kota ini pernah mengalami kerusakan dan kehancuran selama periode Perang Kemerdekaan, namun masih banyak bangunan dengan bentuk-bentuk arsitektur yang menonjol masih dapat dijumpai. Karakter arsitektur pada bangunan-bangunan di kota Bandung ini didominasi oleh gaya arsitektur Art Deco. Bentuk tata kota dan arsitektur bangunan di kota Bandung ini pun banyak menampilkan perpaduan antara budaya Timur dengan budaya Barat yang dikenal sebagai “arsitektur Indo-Eropa”. Beberapa di antaranya menampilkan bentuk atap dengan aksentuasi inspirasi dari budaya Minang, Jawa, dan Sunda (Barker, 2008: 525). Gaya perpaduan tersebut dapat terlihat pada karya-karya kelompok arsitek Hindia-Belanda yang tergabung dalam NIAK (Netherlandss Indie Arsitectuur Krink), beberapa nama yang dikenal di antaranya adalah Maclaine Pont, C.P. Wolff Schoemaker, dan F.J.L. Gheijsels. Arsitektur modern di Hindia Belanda sebelum Perang Dunia I dimulai dengan adanya pengaruh gaya Art Nouveau yang banyak menampilkan bentukbentuk keindahan plastisitas alam, kemudian dilanjutkan dengan pengaruh Gaya
3
Art Deco yang lebih mengekspresikan kemajuan teknologi. Gaya Art Deco ini merupakan perpaduan seni rancang bangunan dengan seni dekorasi (Art Nouveau) yang digabungkan dengan pemanfaatan teknologi modern yang berkembang pada masa itu. Konsep tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk baik media arsitektur, seni, maupun gaya hidup. Arsitektur Art Deco memiliki ciri-ciri elemen dekoratif geometris yang tegas. Penggunaan gaya Art Deco di tanah air merupakan salah satu efek dari Perang Dunia II (Rahardjo, 2004 dalam Destiani, 2008). Pada saat itu, gaya arsitektur ini sangat populer dan digunakan bersamaan dengan arsitektur modern yang sedang berkembang. Karena kepopulerannya banyak arsitek Hindia Belanda yang mengaplikasikan gaya ini untuk bangunan di kota-kota besar Indonesia seperti Bandung, Jakarta, Malang, Surabaya, Semarang, dan kota-kota lainnya. Dari hasil penelitian sejarah perkembangan arsitektur modern tersebut, kota Bandung memperlihatkan kualitas dan kuantitas peninggalan arsitektur modern yang paling kaya dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia1. Kota Bandung, sebagai salah satu bekas kota jajahan Belanda memiliki beberapa bangunan dengan corak arsitektur kolonial yang sangat menonjol dan masih bertahan dan kondisi sangat baik hingga kini. Beberapa bangunan tersebut di antaranya adalah:
Lebih lanjut dinyatakan bahwa kondisi ini menempatkan kota Bandung sebagai peringkat lima besar di antara kota-kota di dunia yang memiliki variasi bangunan berlanggam Art Deco terbanyak (Destiani, 2008: 34). 1
4
1.
Kompleks Museum Konferensi Asia-Afrika (Schouwburg Concordia-Societeit Concordia, C.P. Wolff Schoemaker, 1920)
2.
Hotel Savoy Homann (direnovasi A.F. Aalbers, 1939)
3.
Gedong Sirap ITB (Technische Hoogeschool te Bandung, Maclaine Pont, 1920)
4.
SMAN 3 dan 5 (Hoogere Burgerschool, C.P. Wolff Schoemaker, 1927)
5.
Bank Indonesia cabang. Bandung (Javashe Bank, E.H.G.H Cuypers, 1917)
6.
Bekas Markas Polda Jabar (Olie Fabriek Insulinde, R.L.A Schoemaker, 1917)
7.
Pabrik Kina Kimia Farma (Bandoengsche Kinine Fabriek, 1896)
8.
Markas Polisi wilayah Kota Besar Bandung (Kweekschool, diresmikan 1866)
9.
Mesjid Agung Bandung
10. Kantor Pusat PT KA (Grand National Hotel, 1910) 11. Balai kota Bandung (Gedong Papak, E.H.de Roo, 1929) 12. Beberapa rumah tinggal karya arsitek Soekarno Keberadaan bangunan-bangunan tersebut menjadi citra kota Bandung dan masih dimanfaatkan sampai sekarang, meski sebagian besar telah mengalami perubahan bentuk dan fungsi. Kompleks Museum Konferensi Asia-Afrika, terletak di Jalan Asia-Afrika No. 65, Bandung. Bangunan ini merupakan hasil rancangan Prof. C.P. Wolff Schoemaker
yang
memperlihatkan
perpaduan
yang
harmonis
dengan
lingkungannya. Gedung Merdeka (bagian dari kompleks Museum Konferensi AsiaAfrika) merupakan Bangunan Cagar Budaya dengan nilai sejarah yang paling tinggi dibanding dengan gedung bersejarah lainnya di Bandung. Sebuah peristiwa penting
5
pernah terjadi di tempat ini, yaitu tempat diadakannya pertemuan negara-negara dari dua benua yang bertujuan untuk membahas upaya melawan penjajahan yang sedang dialami oleh negara-negara dari kedua benua tersebut. Peristiwa tersebut dikenal dengan nama Konferensi Asia-Afrika. Sebagai bukti kebanggaan akan warisan budaya tersebut, saat ini masyarakat sering memanfaatkan Gedung Merdeka sebagai lokasi pertunjukan kegiatan seni dan budaya, bahkan tak jarang gedung tersebut digunakan sebagai ikon dari kota Bandung. Dari segi pariwisata, Gedung Merdeka yang kini menjadi bagian dari kompleks Museum Konferensi Asia-Afrika juga kerap dijadikan tujuan utama dalam perjalanan wisata edukatif dari berbagai kalangan maupun daerah. Dilihat dari bangunannya, kompleks Museum Konferensi Asia-Afrika ini memiliki arsitektur yang cukup menonjol dengan bangunan-bangunan di sekitarnya. Ini merupakan salah satu hal menarik yang penting untuk dipahami selain dari cerita sejarah Kota Bandung itu sendiri. Sehubungan dengan hal di atas, kompleks Museum Konferensi Asia-Afrika kini dimanfaatkan sebagai lokasi dari berbagai kegiatan yang memberikan dampak terhadap kondisi bangunan gedung tersebut. Dampak yang paling jelas terlihat adalah adanya perubahan-perubahan fisik pada gedung tersebut. Salah satunya adalah penambahan ruangan-ruangan yang difungsikan sebagai kantor pengelola Museum Konferensi Asia-Afrika. Perkembangan bangunan dalam hal ini penambahan ruang, perubahan tata ruang, perubahan bentuk, bahan, dan gaya, serta perubahan fungsi dalam kompleks
6
Museum Konferensi Asia-Afrika ini telah terjadi sepanjang keberadaannya sejak pendirian di tahun 1895 hingga saat ini. Suatu
proses
perkembangan
untuk
mengakomodasi
kepentingan-
kepentingan baru dan penyesuaian jaman merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan. Namun, tanpa pengetahuan mengenai sejarah perkembangannya akan dikhawatirkan hal tersebut malah dapat mengurangi nilai sejarah dari bangunanbangunan di kompleks Museum Konferensi Asia-Afrika. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian untuk menelusuri dan mendeskripsikan bentuk dan proses perubahan yang telah terjadi pada bangunan-bangunan kompleks Museum Konferensi Asia-Afrika ini, sehingga diharapkan sejarah perkembangan bentuk, fungsi, dan perannya dapat memberikan semacam panduan dan pertimbangan dalam melakukan tindakan-tindakan pengembangan fisik yang akan terjadi di masa datang. 1.2
Rumusan Masalah Berkaitan dengan latar belakang tersebut, permasalahan yang berusaha
dijawab dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana perkembangan bangunan, fungsi, serta peran eks Societeit Concordia di Bandung? 2. Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi terjadinya perubahan tersebut?
7
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perkembangan yang telah terjadi pada bangunan-bangunan kompleks Museum Konferensi Asia-Afrika baik dari hal fisik bangunan, fungsi bangunan, dan perannya terhadap kota Bandung sendiri serta untuk memperoleh suatu pemahaman mengenai latar belakang dari faktor perubahan-perubahan tersebut. 1.4
Tinjauan Pustaka Tulisan mengenai bangunan-bangunan kolonial yang ada di Kota Bandung
cukup banyak, salah satunya adalah karya Djefry W. Dana yang berjudul Ciri Perancangan Kota Bandung. Buku ini digunakan sebagai referensi untuk memperoleh keterangan terkait dengan kondisi fisik pada bangunan-bangunan kolonial yang ada di kota tersebut. Berkaitan dengan arsitektur bangunan, tulisan Yulianto Sumalyo (1993) Arsitektur Kolonial di Indonesia, menguraikan tentang perkembangan model arsitektur kolonial di Indonesia dari masa ke masa. Sehubungan dengan karakteristik bangunan pada kompleks Museum AsiaAfrika saat ini, yang menampilkan gaya arsitektural Art Deco yang sangat kuat, maka akan dirujuk penelitian yang pernah dilakukan mengenai penggunaan gaya Art Deco pada bangunan Bioskop Permata di Yogyakarta. Penelitian untuk penulisan skripsi ini dilakukan oleh Destiani (2008) dengan judul "Makna Art Deco Pada Gedung Bioskop Permata Yogyakarta". Skripsi tersebut juga menjelaskan mengenai keberadaan gaya arsitektural Art Deco pada bangunan-bangunan kolonial di Kota Bandung.
8
Karya tulis yang membahas bangunan Gedung Merdeka dapat dilihat pada buku karya Haryoto Kunto (1996) Balai Agung di Kota Bandung. Penjelasan terhadap fungsi awal dari Gedung Merdeka ini juga dapat ditemukan dalam buku tersebut. Ditinjau dari referensi yang telah ada sebelumnya, pembahasan lebih memperhatikan pada gaya dari bangunan kolonial yang ada di Bandung serta fungsi dari Gedung Merdeka yang dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan bersejarah berupa kegiatan antar negara yang bersifat internasional berupa konferensi internasional di tahun 1955 yang dihadiri oleh negara-negara dari dua benua yang kemudian dikenal sebagai Konferensi Asia-Afrika (KAA). Penelitian terkait perkembangan bangunan eks Societeit Concordia dari waktu ke waktu baik dari segi fisik, fungsi, dan perannya belum pernah dilakukan baik oleh perorangan maupun suatu lembaga. Mengingat hal tersebut, maka penelitian yang berjudul "Perkembangan Bangunan, Fungsi, dan Peran Eks Societeit Concordia, Bandung" akan memfokuskan penelitiannya terhadap perkembangan bangunan eks Societeit Concordia secara fisik dimulai dari awal berdirinya bangunan hingga saat ini. Kemudian, sejarah perkembangan peralihan fungsi bangunan eks Societeit Concordia serta bagaimana peran bangunan eks Societeit Concordia pada kota Bandung juga akan menjadi bagian dari fokus penelitian ini. 1.5
Metode Penelitian Dalam penelitian ini metode penelitian yang digunakan adalah menerapkan
penalaran induktif dengan sifat penelitian yang deskriptif. Penalaran induktif adalah
9
suatu proses berpikir yang berawal dari kajian data yang berupa fakta-fakta atau gejala-gejala hasil pengamatan kemudian digeneralisasikan menjadi penyimpulan untuk menjawab permasalahan penelitian (Tanudirjo, 1989: 34). Bersama dengan itu, penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan memberikan gambaran data berupa gejala atau fakta yang diperoleh melalui pengamatan
menjadi uraian
sistematis. Proses pelaksanaan penelitian ini dapat dibagi menjadi tahap-tahap seperti yang diuraikan di bawah ini: 1. Tahap Pengumpulan Data a. Observasi Observasi yang dilakukan berupa pengamatan pada perubahan bentuk, fungsi, dan tata ruang bangunan secara langsung di lokasi penelitian. Pengamatan ini didukung pula melalui data visual, seperti gambar denah bangunan dari awal berdirinya bangunan hingga saat ini serta beberapa foto lama dari berbagai sumber untuk memperoleh informasi terkait objek penelitian. b. Studi Pustaka Studi pustaka digunakan sebagai data penunjang yang dapat membantu menjawab permasalahan yang disampaikan dalam penelitian ini. Studi literatur dilakukan pada literatur buku, arsip perusahaan, dan artikel ilmiah mengenai Kota Bandung, sejarah berdirinya Gedung Merdeka serta kegiatan-kegiatan yang pernah dilaksanakan di Gedung Merdeka dan Museum Konferensi Asia-Afrika.
10
c. Wawancara Wawancara dilakukan dengan memberikan pertanyaan seputar objek penelitian untuk memberi data tambahan yang tidak diperoleh dari observasi maupun studi pustaka. Pertanyaan yang diajukan meliputi tahun pendirian, pembagian dan penjelasan ruangan, serta pemanfaatan bangunan yang menjadi objek penelitian. Responden yang dipilih adalah orang yang dianggap mengetahui serta memahami sejarah dari objek penelitian tersebut. 2. Tahap Analisis Data Berdasarkan data yang diperoleh melalui observasi, studi pustaka, maupun wawancara, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis data yang telah diperoleh untuk menjawab pertanyaan penelitian. Untuk menjawab perkembangan pada bangunan eks Societeit Concordia, analisis dilakukan pada data bangunan secara fisik dari awal berdiri hingga saat ini. Posisi keletakan bangunan ini dinilai mempengaruhi bentuk arsitektur bangunan eks Societeit Concordia yang terlihat berbeda dengan bangunan sekitarnya. Berdasarkan analisis tersebut diharapkan mampu menjelaskan mengenai perkembangan pada bangunan tersebut. Melalui data sejarah yang dikumpulkan, diketahui terdapat berbagai kegiatan yang pernah dilakukan pada bangunan tersebut. Data ini dapat menjelaskan peralihan fungsi bangunan serta perubahan perannya pada sejarah kota Bandung. 3. Tahap Kesimpulan Tahap ini merupakan tahap akhir dari penelitian. Pada tahap ini, data yang
11
telah diakumulasikan dan dianalisis kemudian diinterpretasikan. Hasil interpretasi tersebut merupakan jawaban dari semua permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Berkaitan dengan penelitian ini, kesimpulan berisi jawaban perkembangan bangunan dari segi fisik, fungsi, dan peran eks Societeit Concordia serta faktorfaktor yang melatarbelakangi terjadinya perkembangan bangunan dari segi fisik, fungsi, dan peran eks Societeit Concordia di Bandung.