BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Di dalam menjalankan roda kehidupan setiap orang harus mampu bersaing dalam mencari penghasilan. Persaingan mencari penghasilan ini dilakukan oleh setiap orang untuk memenuhi dan membiayai semua kebutuhan hidupnya. Demikian juga halnya dengan suatu Negara, sangat memerlukan penghasilan dari segala bidang dalam memenuhi setiap kebutuhan yang akan di gunakan untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana serta untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warga masyarakatnya. Negara Republik Indonesia melalui pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam memenuhi kebutuhan tersebut harus mencari sumber pendapatan baik yang berasal dari dalam negeri dan ada yang dari luar negeri. Pendapatan yang berasal dari luar negeri biasanya merupakan dana pelengkap, baik berupa penanaman modal asing maupun berupa pinjaman dana yang dilakukan secara bilateral atau multilateral. Pendapatan yang berasal dari dalam negeri biasanya dapat berupa tabungan masyarakat, tabungan pemerintah ataupun dari pajak yang dibayar oleh masyarakat sebagai salah satu sumber pemenuhan kebutuhan tersebut. Pajak sebagai sumber penerimaan negara telah dipungut di Indonesia sejak awal kemerdekaan. Pungutan terhadap pajak bersifat memaksa dan terutang oleh wajib pajak dengan tidak mendapat prestasi kembali secara langsung, hasil dari
1
2 pungutan pajak dapat digunakan membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.1 Seiring dengan perkembangan zaman, pajak sebagai sektor yang memberikan penerimaan terbesar bagi negara serta merupakan salah satu sumber dana utama dalam melakukan pembangunan di Indonesia. Pada pertengahan tahun 70-an sampai dengan tahun 80-an, penerimaan negara dalam APBN masih dikuasai oleh penerimaan dari sektor minyak dan gas (Migas). Akhir tahun 80-an ketika potensi minyak mulai menurun, maka pajak muncul sebagai penerimaan negara yang besar dan menggantikan peran dari minyak dan gas (Migas). Secara implisit ini berarti bahwa peranan rakyat semakin besar dalam pelaksanaan pembangunan, sehingga pemerintah lebih peduli dan lebih memperhatikan kepentingan rakyat baik dalam penerapan peraturan perpajakan maupun terhadap penggunaannya.2 Pajak merupakan iuran dari rakyat diperoleh berdasarkan jenis dan kebutuhannya. Salah satunya adalah pajak atas kekayaan berupa tanah, hal tersebut oleh Negara telah diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan : “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar - besarnya kemakmuran rakyat”. Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, berguna untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, serta merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan.
1
Marihot P. Siahaan, 2005, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, (selanjutnya disebut Marihot P. Siahaan I), PT. Raja Grafindo, Jakarta, hal. 7. 2 Indra Ismawan, 2000, Memahami Reformasi Perpajakan 2000, PT. Elex Media Komputindo, Kelompok Media Jakarta, hal. 4.
3 Selain tanah, segala bangunan yang dibangun diatas suatu bidang tanah juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Mereka yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan sangat wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak pertama yang pemungutan dan pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah kota dan pemerintah kabupaten mulai 1 Januari 2010. Sebelumnya PBB dikelola oleh pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia
1945
menyebutkan
adanya
pembagian
pengelolaan
pemerintahan pusat dan daerah. Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan daerah. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang. Pasal 18 ayat (2) menyebutkan bahwa, “pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Selanjutnya, pada ayat (5) menyebutkan bahwa, “pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluasluasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”. Kemudian pada ayat (6) menyatakan bahwa
4 “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Selanjutnya
Pasal 23 A Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa harus diatur dengan Undang-Undang (UU). Berdasarkan hierarki norma hukum yang berlaku di Indonesia, UU menempati posisi nomor dua, yakni setelah UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Sesuai kewenangan yang dimiliki dan didukung dengan berlakunya kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah maka Pemerintah daerah umumnya mencari sumber penerimaan alternatif di daerahnya, untuk meningkatkan PAD sebagai salah satu sumber penerimaan daerah. Langkah yang ditempuh Pemerintah Daerah untuk meningkatkan PADnya adalah dengan menggunakan kewenangannya berdasarkan Otonomi Daerah. Salah satu kewenangan otonomi yang nyata bagi Pemerintah Daerah adalah pengelolaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), untuk itu Pemerintah daerah menerbitkan berbagai Peraturan Daerah (Perda) tentang Pajak, retribusi dan pungutan lain. Di samping itu, Pemerintah Daerah juga mengeluarkan kebijakan di seputar kegiatan usaha, terutama melalui perdagangan atau pengaturan pasar.3 Terbitnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan perubahannya yaitu Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah), daerah diberi keleluasaan dan
3
Adrian Sutedi, 2008, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, Cetakan I, Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor, hal. 19.
5 peluang besar untuk menggali sumber-sumber penerimaan daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut maka daerah memiliki kewenangan untuk menggali dan mengatur
sumber-sumber
penerimaannya
dalam
rangka
meningkatkan
pembangunan, pertumbuhan ekonomi, kemajuan, kemakmuran, kemandirian dan pemberian pelayanan kepada masyarakat daerah. Salah satu kabupaten/kota di Bali yang melaksanakan pembangunan dengan sumber pendapatan terbesar dari sektor pajak adalah Kabupaten Badung. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, pemerintah kabupaten Badung telah mengakomodir regulasi mengenai pemungutan PBB. Hal ini menjadi menarik, karena kabupaten Badung merupakan salah satu daerah di Provinsi Bali yang nilai investasinya sangat tinggi terutama karena faktor perkembangan pariwisata. Nilai investasi yang menyebabkan harga tanah melambung terus, maka sangat dibutuhkan regulasi yang tepat untuk mengatur hal ini sehingga sektor pajak dan retribusi menjadi sumber pemasukan utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pemerintah kabupaten Badung. Undang-Undang Pendapatan Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sebagai salah satu dasar hukum pajak daerah, memberikan kebijakan kepada pemerintah daerah untuk memungut dan mengelola sendiri Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sehingga diharapkan dapat secara maksimal meningkatkan PAD agar kesejahteraan masyarakat juga dapat meningkat. Pemerintah kabupaten / kota dalam hal ini diberikan ruang untuk mengimplementasikan regulasi yang cocok dengan kondisi di daerah masing-masing. Undang-undang PDRD hanya memberikan limitasi terkait pemungutan PBB di daerah, kemudian memberikan
6 rongga kepada pemerintah daerah untuk menerapkan regulasi tersebut menjadi sesuai dengan kebutuhan di daerah. Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan bahwa Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang: a. digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan; b. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan; c. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu; d. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak; e. digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan f. digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pengaturan tersebut jika dikaitkan dengan kawasan jalur hijau dan kawasan limitasi tidak ditemukan secara jelas pengaturan tentang hal tersebut, akan tetapi menunjukkan adanya kekaburan norma yaitu pada frasa kata “yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan” dan frasa kata “atau sejenis dengan itu” terkandung kekaburan norma dan bisa terjadi multitafsir. Dalam menafsirkan ketentuan Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut di atas, Pemerintah Daerah Kabupaten Badung menerbitkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. Pasal 21 ayat (3) mengatur pengurangan pajak pada kawasan hijau dan kawasan limitasi lainnya, yang berbunyi
7 “Pengurangan penetapan pajak terhutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, khusus untuk kondisi tertentu objek pajak pada tanah pertanian, jalur hijau, kawasan limitasi, dan wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Bupati, sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari besaran pokok pajak terutang”. Pada penafsiran selanjutnya atas Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, Pemerintah Kabupaten Badung berpendapat bahwa jalur hijau dan kawasan limitasi lainnya dapat dibebaskan PBB-nya (tidak dikenakan PBB). Oleh sebab itu, menerbitkan Peraturan Bupati Badung Nomor 89 Tahun 2012 Tentang Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan untuk kondisi tertentu objek pajak pada jalur hijau dan kawasan limitasi, yang dalam Pasal 1 diatur mengenai “pengurangan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan untuk kondisi tertentu objek pajak pada jalur hijau dan kawasan limitasi” dan Pasal 2 diatur mengenai “pengurangan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diberikan sebesar 100% (seratus persen) kepada wajib pajak atas pajak yang tertuang”. Dari keadaan demikian akan timbul masalah apakah kebijakan pengurangan pajak ini bertentangan dengan asas dan tujuan pemungutan pajak pada umumnya karena akan berpengaruh pada PAD (Pendapatan Asli Daerah) sehingga menarik untuk diungkap apa dasar pembenar dari kebijakan pengurangan pajak ini. Berdasarkan hal tersebut sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut berkaitan dengan program/kebijakan Bupati Badung untuk
meniadakan
pemungutan PBB berkaitan dengan pengurangan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan untuk kondisi tertentu objek pajak pada jalur hijau dan kawasan limitasi apakah dapat dilaksanakan, sedangkan sudah ada peraturan yang
8 lebih tinggi yang mengatur tentang itu. Dalam pelaksanaannya juga, proses PBB melibatkan banyak pihak yang terkait seperti : Kantor Pertanahan, Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Bank, Pemerintah Daerah, Kantor Pajak, Pengadilan dan lembaga-lembaga berwenang lainnya. Selain itu peraturanperaturan yang mendukung pelaksanaan PBB juga saling terkait antara satu dengan lainnya. Karena saling keterkaitan tersebut, baik keterkaitan peraturan maupun lembaga-lembaganya, maka dalam prakteknya tidak jarang malah menimbulkan permasalahan. Setelah di telusuri tesis-tesis yang sudah ada di Indonesia pada umumnya dan lingkungan Universitas Udayana pada khususnya ditemukan beberapa judul tesis yang menyangkut tentang pajak bumi dan bangunan, adapun judul-judulnya sebagai berikut: 1. Tesis yang berjudul “Pengaturan Pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan di Kawasan Jalur Hijau”, oleh Ni Luh Putu Miarmi Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana Tahun 2013, dengan rumusan masalah sebagai berikut : a. Apakah dasar pembenar pembebasan pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau? b. Bagaimanakah menciptakan harmonisasi pengaturan dalam pembayaran pajak bumi dan bangunan oleh masyarakat di kawasan jalur hijau ? 2. Tesis yang berjudul “Keberadaan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai Pajak
Pusat dalam Era Otonomi Daerah”, oleh Hernanda Bagus Priandana Pada Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2009, dengan rumusan masalah sebagai berikut:
9 a. Apakah ada kemungkinan Pemerintah Pusat dapat menyerahkan PBB kepada Pemerintah Daerah sebagai pajak daerah untuk menaikkan penerimaan daerahnya dengan berlakunya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah? b. Apakah
Pemerintah
Daerah
mampu
melaksanakan
dan
pengambilalihan administrasi pengelolaan PBB? 3. Tesis yang berjudul ”Penyelesaian Sengketa Pajak Bumi dan Bangunan di Kantor Palayanan Pajak Bumi dan Bangunan Semarang”, oleh Indra Hadyanto pada Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2007, dengan rumusan masalah sebagai berikut : a. Bagaimanakah terjadinya sengketa pajak di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Semarang Satu? b. Upaya-upaya hukum apa yang dapat di tempuh oleh wajib pajak apabila terjadi sengketa pajak tersebut? c. Bagaimana penyelesaian sengketa pajak yang dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Semarang Satu? Bahwa tesis dan laporan penelitian yang diuraikan di atas berbeda dengan penulisan tesis ini, begitu juga apa yang pernah dilakukan oleh penulis-penulis lainnya tetapi cakupan dan pembahasannya berbeda sehingga karya ilmiah ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan masih sangat
10 relevan untuk penelitian lebih lanjut. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang akan dituangkan dalam bentuk tesis dengan judul : “Pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada Jalur Hijau dan Kawasan Limitasi di Kabupaten Badung”.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
yang
telah
diuraikan
sebelumnya,
permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut : 1. Apakah dasar pengaturan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada jalur hijau dan kawasan limitasi di Kabupaten Badung? 2. Bagaimanakah kedudukan hukum Peraturan Bupati Badung Nomor 89 Tahun 2012 mengenai Pajak Bumi dan Bangunan pada jalur hijau dan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian atas permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya adalah untuk pengembangan ilmu hukum. Salah satunya adalah di bidang Hukum Administrasi Negara dan Hukum Pajak yang berkaitan dengan pelaksanaan pemungutan PBB pada jalur hijau dan kawasan limitasi.
11 1.3.2 Tujuan Khusus Sehubungan dengan tujuan umum, maka tujuan khusus yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang dasar pengaturan pengurangan PBB pada jalur hijau dan kawasan limitasi di Kabupaten Badung. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan hukum Peraturan Bupati Badung Nomor 89 Tahun 2012 mengenai Pajak Bumi dan Bangunan pada jalur hijau dan Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2012 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis penulis berharap hasil dari penelitian ini dapat memberikan sumbangan dan manfaat bagi pengembangan pengetahuan dan membantu dalam membuat peraturan di bidang hukum khususnya hukum pajak yang dalam hal ini berkaitan dengan pelaksanaan pemungutan pajak bumi dan bangunan (PBB). 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pemerintah sebagai aparat perpajakan dan administrasi negara, agar memberikan pelayanan yang lebih baik dan efektif serta pembinaan terhadap wajib pajak sehingga
segala
masyarakat.
program
yang
dikembangkan
mampu
mensejahterakan
12 1.5 Landasan Teoritis Landasan Teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum/teori khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma/kaidah hukum yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini akan digunakan teori-teori, konsepkonsep, dan asas-asas hukum yang berpengaruh sebagai landasan pemikiran penelitian. Untuk membahas dan mengklarifikasi permasalahan penelitian ini, dipergunakan teori-teori hukum sebagai berikut : 1.5.1 Teori Welfare State (Teori Negara Kesejahteraan) Teori welfare state (teori negara kesejahteraan) digunakan dalam penelitian ini untuk membahas rumusan masalah pertama maupun kedua. Tujuan negara kesejahteraan (welfare state) adalah memberikan kesejahteraan kepada segenap masyarakat (kesejahteraan umum). Dalam rangka kesejahteraan umum tersebut, negara kesejahteraan wajib memprioritaskan upaya-upaya yang harus ditempuh pemerintah supaya kesejahteraan umum dapat dinikmati segenap lapisan masyarakat. Dikaitkan dengan permasalahan penelitian ini yaitu pengurangan pajak bumi dan bangunan pada jalur hijau dan kawasan limitasi yang besarnya mencapai 100% atau pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau dan kawasan limitasi, pemerintah daerah Kabupaten Badung telah menunjukkan suatu upaya dimaksud, supaya kesejahteraan dapat dinikmati masyarakat umum, terutama dalam penelitian ini, bagi masyarakat yang tanahnya terkena kawasan jalur hijau diberikan suatu bentuk kenikmatan berupa pembebasan pajak bumi dan bangunan untuk meringankan beban pajak, karena tanahnya tidak bisa difungsikan selain yang telah ditentukan dalam Perda Kabupaten Badung tentang Kawasan Jalur Hijau dan Kawasan Limitasi.
13 Sejarah kelahiran Teori Negara Kesejahteraan4 menjadi landasan dan kedudukan dan fungsi
pemerintahan dalam konsep negara modern. Negara
kesejahteraan merupakan antitesis dari negara hukum formal (klasik)., yang dilandasi pemikiran untuk melakukan pengawasan yang ketat terhadap penyelenggaraan kekuasaan negara. Konstruksi intelektual yang menandai sebuah teori negara kesejahteraan memiliki tujuan pokok antara lain: pertama, mengontrol dan mendayagunakan sumber daya sosial ekonomi untuk kepentingan publik; kedua, menjamin pendistribusian kekayaan secara adil dan merata; ketiga, mengurangi kemiskinan; keempat, menyediakan asuransi sosial bagi masyarakat miskin; kelima, menyediakan subsidi untuk layanan sosial bagi disadvantage people; keenam, memberikan proteksi bagi setiap warga negara.5 Dari tujuan negara modern tersebut, dapat dimaknai bahwa teori negara kesejahteraan tidak semata-mata berorientasi untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara, akan tetapi lebih menekankan pada upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Berkaitan dengan negara kesejahteraan, Spicker menyatakan bahwa welfare state adalah a state which benefits its citizen in accordance with certain set of principles, from cradle to grave.6 (terjemahan bebas : negara kesejahteraan adalah keadaan yang menguntungkan warga sesuai dengan set tertentu prinsip, dari buaian sampai liang kubur) Fungsi negara semacam itulah yang menjadi
4
Sejak turut serta secara aktif dalam pergaulan kemasyarakatan, lapangan pekerjaan pemerintah makin lama makin luas. Administrasi negara diserahi kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurszorg). Diberinya tugas “bestuurszorg” itu membawa suatu konsekuensi yang khusus bagi administrasi negara. Lihat E. Utrecht, 2008, Pengantar Hukum administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hal. 28-29. 5 Amien Alhumami, 2005, “Negara Sejahtera”, Artikel Harian Kompas. 6 Paul Spicker, 2000, The Welfare State: A General Theory, Sage, London, hal. 6.
14 keharusan bagi peran kontekstual negara-negara modern. Pergeseran konsep ini sekaligus mengubah skema peran sosial pemerintah yang semula sekedar subordinate terhadap legislasi parlemen, menjadi berperan aktif untuk mampu mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan melalui kebijakan regulasi operasional dan berbagai diskresi untuk tujuan mencegah menajamnya kesenjangan sosial serta mengupayakan terwujudnya social welfare. Berkaitan dengan konsep negara kesejahteraan yang merupakan revisi dari konsep negara pasif, Asshiddqie7 menguraikan bahwa dalam konsep negara kesejahteraan, negara dituntut untuk memperluas tanggung jawabnya kepada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi rakyat banyak. Perkembangan inilah yang memberikan legalisasi bagi negara intervensionis abad ke-20. Negara justru perlu dan bahkan harus melakukan intervensi dalam berbagai masalah sosial dan ekonomi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Melalui intervensi ini, fungsi negara juga meliputi kegiatan-kegiatan yang sebelumnya berada di luar jangkuan fungsi negara, seperti memperluas ketentuan pelayanan sosial kepada individu dan keluarga dalam hal-hal khusus, seperti social security, kesehatan, kesejahteraan sosial, pendidikan dan pelatihan serta perumahan. Di samping itu, kegiatan intervensi negara itu juga meluas sampai pada pengaturan terhadap berbagai aktivitas masyarakat, baik secara individual maupun badan-badan koletif (corporate bodies) untuk maksud mengubah kondisi hidup dan kehidupan individu dan kelompok penduduk secara relatif cepat. 7
Jimly Asshidiqie, 2004, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia-Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan Kolektivisme dalam Kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980an, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, hal. 223.
15 Mengomentari konsep negara pengurus versi Bung Hatta, Asshiddiqie8 lebih jauh berpendapat bahwa kecenderungan intervensionistis ini muncul dan berkembang di mana-mana, termasuk di negara-negara baru yang muncul sebagai akibat proses dekolonisasi global pada abad ke-20. Indonesia, tak terkecuali, juga dipengaruhi oleh gagasan negara kesejahteraan ini. Seperti dikemukakan oleh Hatta dalam sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945, negara Indonesia yang akan didirikan dengan konstitusi yang sedang mereka rumuskan dalam sidang BPUPKI itu adalah negara pengurus. Apa yang dimaksudkan oleh Hatta dengan negara pengurus itu, tidak lain adalah negara kesejahteraan atau welfare state. Hal ini tercermin dalam rumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu dalam Bab XIV mengenai kesejahteraan sosial. Dengan demikian, pada abad ke-20 ini konsep negara kesejahteraan ini menjadi populer, dan secara cepat mempengaruhi cara kerja berbagai pemerintah di seluruh penjuru dunia. Jadi, perspektif teori negara kesejahteraan lebih menekankan kepada negara agar berperan secara aktif dalam mengelola dan mengorganisasi dan mengelola perekonomian yang di dalamnya mencakup tanggung jawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warga negara. Dari uraian tersebut dapat dirumuskan konsep kesejahteraan umum sebagai ”keseluruhan prasyarat-prasyarat sosial yang memungkinkan atau mempermudah manusia untuk mengembangkan semua nilainya”, atau sebagai ”jumlah semua kondisi kehidupan sosial yang diperlukan agar masing-masing individu, keluarga-keluarga, dan kelompok-kelompok
8
Ibid.
16 masyarakat dapat mencapai kebutuhan atau perkembangan mereka dengan lebih utuh dan cepat”.9 Berdasarkan uraian tentang teori negara kesejahteraan, jika dihubungkan dengan cita-cita negara Indonesia yang menjatuhkan pilihan pada negara kesejahteraan. Hal tersebut tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa ”Pemerintahan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Para pendiri negara dalam menjatuhkan pilihan negara kesejahteraan, dilandasi alasan-alasan yang sekaligus menjadi alat ukur kesuksesan
dalam
menjalankan sistem negara kesejahteraan, sebagai berikut: pertama, untuk mempromosikan efisiensi ekonomi; kedua, untuk mengurangi kemiskinan; ketiga, mempromosikan kesamaan sosial (social equality); keempat, mempromosikan integritas sosial atau menghindarkan eksklusif sosial; kelima, mempromosikan stabilitas sosial; dan keenam, mempromosikan otonomi atau kemandirian individu.10 Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri utama negara kesejahteraan adalah munculnya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya. Dengan kata lain, ajaran welfare state11
9
Frans Magnis Suseno, 2009, Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka, Jakarta, hal. 314. 10 Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, 2008, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi, Pengembangan Kebijakan dan Perbandingan Pengalaman, PSIK Universitas Paramadina, Jakarta, hal. 21-22. 11 Pemikiran perihal tercapainya imbangan kegiatan ekonomi yang menguntungkan semua warga bangsa telah menjadi wacana yang menghasilkan sistim Negara kebangsaan yang bersifat Negara kesejahteraan. Lazimnya dengan berbagai variant definisi karena perbedaan sudut pandang terhadap unsur-unsurnya akan tetapi tidak berbeda dalam substansi dari berbagai Negara tersebut akan disebut sebagai social welfarestate atau sociale rechtsstaat.
17 merupakan bentuk konkrit dari peralihan prinsip staatsonthouding, yang membatasi peran negara dan pemerintah untuk mencampuri kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, menjadi staatsbemoeienis yang menghendaki negara dan pemerintah terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, sebagai langkah untuk mewujudkan kesejahteraan umum, disamping menjaga ketertiban dan keamanan.
1.5.2 Teori Kewenangan Wewenang (atau sering pula disebut dengan istilah kewenangan) merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan.12 Sjahran Basah mengemukakan bahwa kewenangan seseorang atau badan hukum pemerintah untuk melakukan suatu tindakan pemerintahan dapat diperoleh dari peraturan perundang-undangan baik secara langsung (atribusi) ataupun pelimpahan (delegasi dan sub delegasi) serta atas dasar penugasan (mandate).13 Pendapat ini juga dikemukakan oleh H.D. Van Wijk dan Wilem Konijnenbelt yang mengklasifikasikan cara perolehan kewenangan atas 3 (tiga) cara antara lain: a. Atributie : “Teoleninning van een bestuursbevoegdheid door een wetgever aan een bestuurorgaan”, atau atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan. b. Delegatie : “Overdracht van een bevoegdheid van he teen bestuurorgan aan een ander”, atau delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
12
Habib Hadjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, hal. 77. 13 Sjahran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, hal.7.
18 c. Mandate : “een bestuurorgan lat zijn bevoegdheid names hues uitoefenen door een ander”, artinya mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.14 Melihat kepada ada atau tidaknya suatu peralihan kewenangan, F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek berpendapat mengenai cara peralihan wewenang pada hakekatnya hanya melalui cara atribusi dan delegasi saja. Atribusi adalah pembangunan kekuasaan kepada bagian instansi dan pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh pembuat undang-undang (dalam arti material kepada organ administrasi negara). Delegasi adalah pelimpahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada pejabat yang lebih rendah atas dasar peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini suatu badan juga telah memiliki wewenang secara mandiri membuat peraturan perundang-undangan (wewenang atribusi), menyerahkan kepada suatu badan untuk membuat peraturan perundang-undangan atas dasar kekuasaan dan tanggung jawabnya sendiri. Menurut Indroharto penerima wewenang atas dasar delegasi (delegataris) dapat pula mendelegasikan wewenang yang diterimanya dari pemberi wewenang asli (delegasi) kepada organ atau pejabat TUN lainnya.15 Bagir Manan16 dan Irwan Yulianto17 menyatakan teori wewenang pembentukan peraturan perundang-undangan dibedakan atas atribusi dan delegasi, pengertian atribusi wewenang pembentukan peraturan perundang-undangan memuat unsur-unsur :
14
Ridwan H.R., 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hal. 45. Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, hal. 66. 16 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Kedudukan dan Fungsi Keputusan Presiden Sistem Perundang-undangan dan Peranannya Dalam Akselerasi Pembangunan Ekonomi, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 206-214. 17 Irwan Yulianto, 2014, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara,” Jurnal Ilmiah Fenomena, Vol. XII, No. 1, hal 1180-1181. 15
19 1. Penciptaan wewenang baru untuk membuat peraturan perundangundangan; 2. Wewenang tersebut diberikan oleh pembentuk Undang-Undang Dasar atau pembentuk Undang-Undang kepada suatu lembaga; 3. Lembaga yang menerima wewenang itu bertanggung jawab atas pelaksanaan wewenang tersebut. Sedangkan pengertian delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan memuat unsur-unsur : 1. Penyerahan wewenang untuk membuat peraturan perundang-undangan; 2. Wewenang itu diserahkan oleh pemegang wewenang atributif (delegans) kepada lembaga lainnya (delegataris); 3. Lembaga yang menerima wewenang (delegataris) bertanggung jawab atas pelaksanaan wewenang tersebut. Wewenang
atribusi
dan
delegasi
terdapat
persamaan
dan
perbedaan.
Persamaannya adalah lembaga yang menerima wewenang bertanggung jawab atas pelaksanaan wewenang itu. Sedangkan perbedaannya adalah (1) pada delegasi selalu harus didahului adanya atribusi, sedangkan pada atribusi tidak ada yang mendahului dan (2) pada atribusi terjadi pembentukan wewenang, sedangkan pada delegasi terjadi penyerahan wewenang.18 Berkaitan dengan kewenangan menjalankan prinsip negara hukum baik kewenangan atribusi, delegasi maupun mandate akan melahirkan pemberlakuan asas dalam hukum Pemda baik asas desentralisasi, asas dekonsentrasi maupun asas tugas pembantuan. Dalam desentralisasi yang merupakan penyerahan kewenangan kepada daerah otonom dimana daerah otonom adalah hasil dari pelimpahan kewenangan desentralisasi. Menurut Ateng Syaruddin istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atas kemandirian Zelfstandigheid tetapi bukan
18
S.F. Marbun, 2004, Mandat, Delegasi, Atribusi Dan Implementasinya Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hal. 109-120.
20 kemerdekaaan atau onafhakelijkheid, kebebasan yang terbatas/kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.19 Konsep hukum publik, wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Tanpa adanya kewenangan yang dimiliki, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan atau tindakan pemerintahan. Menurut Donner, ada dua fungsi berkaitan dengan kewenangan, yakni fungsi pembuatan kebijakan (policy making) yaitu kekuasaan yang menentukan tugas (taakstelling) dari alat-alat pemerintah atau kekuasaan yang menentukan politik negara dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy executing) yaitu kekuasaan yang bertugas untuk merealisasikan politik negara yang telah ditentukan (verwezenlijkking van de taak).20 Pelimpahan wewenang Pusat kepada Daerah, didasarkan kepada Teori Kewenangan, yaitu pertama-tama kekuasaan diperoleh melalui attributie oleh lembaga negara sebagai akibat dari pilihan sistem pemerintahan. Setelah menerima kewenangan attributie (diatur dalam Undang-Undang Dasar), kemudian dilakukan pelimpahan (afgeleid) yang dilakukan melalui dua cara, yaitu delegatie dan mandaat. Pada delegatie hanya boleh di Sub Delegatie, dan tidak ada Sub-sub Delegatie. Ini dilakukan karena jabatan kenegaraan dalam setiap sistem pemerintahan, wajib dipertanggungjawabkan, sesuai dengan prinsip pembagiannya. Untuk menentukan batas dan tanggung jawab dari masing-masing lembaga negara ditentukan beberapa prinsip, yaitu :
19
Ateng Syarudin, 1993, Perencanaan Administrasi Pembangunan Daerah, Mandar Maju Bandung, hal. 1. 20 Victor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Bina Aksara, Jakarta, hal. 30.
21 1. Setiap kekuasaan wajib dipertanggungjawabkan 2. Setiap pemberian kekuasaan harus dipikirkan beban tanggung jawab untuk setiap penerima kekuasaan 3. Kesediaan untuk melaksanakan tanggung jawab harus secara inklusif sudah diterima pada saat menerima kekuasaan 4. Tiap kekuasaan ditentukan batasnya dengan teori kewenangan.21
1.5.3 Teori Keadilan Teori keadilan dipergunakan sebagai landasan teoritis dalam penelitian ini karena ada relevansinya dengan permasalahan terkait dengan pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau dan kawasan limitasi sedangkan kewajiban dari wajib pajak adalah membayar pajak. Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”.22 Di antara ketiga asas tersebut sulit untuk ditegakkan secara bersamaan, karena untuk menegakkan yang satu, harus mengalahkan/mengorbankan yang lainnya. Pendapat Gustav Radbruch sejalan dengan yang diungkapkan oleh Bismar Siregar yang menyatakan: untuk menegakkan keadilan, saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu, karena hukum hanyalah sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan23. Sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa : “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how it distributes its benefits and cost,” (terjemahan bebas: Dalam hal hukum, 21
Ibrahim R., 2009, Hubungan Pemerintah Pusat–Daerah dan Konstalasi Demokrasi di Indonesia, Makalah, Diskusi Panel Pada Perancangan dan Advokasi Hubungan Pusat-Daerah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Denpasar 5 – 7 Februari 2009, hal. 7. 22 Gustav Radbruch, 1950, Legal Philosophy, in The legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, hal. 107. Lihat juga Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta, hal. 95. 23 Dardji Darmodihardjo dan Shidarta, 1996, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Cetakan Kedua, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 154.
22 keadilan akan dinilai sebagai bagaimana hukum memperlakukan orang dan bagaimana mendistribusikan manfaat dan biaya) dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.24 (terjemahan bebas : setiap fungsi hukum, umum atau khusus, adalah alokasi) Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak ahli hukum disebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah hal itu tidak menimbulkan masalah? Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya, dalam kasus hukum tertentu bila hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya.25 Radbruch26 mengajarkan “bahwa kita harus menggunakan asas prioritas dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum”. Achmad Ali tidak dapat menyetujui sepenuhnya pendapat Radbruch tersebut, sebagaimana dikatakannya : “Penulis sendiri sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi tidak dengan telah menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan Radbruch, yakni berturut-turut keadilan dulu baru kemanfaatan barulah terkhir kepastian hukum. Penulis sendiri menganggap hal yang lebih realistis jika menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang penulis maksudkan, ketiga tujuan hukum kita diprioritaskan sesuai kasus yang kita hadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum.”27
24
Peter Mahmud Marzuki, 1997, “The Need for the Indonesian Economic Legal Framework”, dalam Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX, hal. 28. 25 Achmad Ali, Op.Cit, hal. 95-96. 26 Achmad Ali, Op.Cit, hal. 96. 27 Achmad Ali, Op.Cit.
23 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum semua tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap kasus. Keadilan menurut Aristoteles adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Keadilan artinya berbuat kebajikan, atau dengan kata lain keadilan merupakan kebajikan yang utama. Aristoteles menyatakan: justice consists intreating equals equally and unequals unequally, in proportion to their inequality.28 Prinsip ini beranjak dari asumsi untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama secara proporsional. Aristoteles membagi keadilan menjadi dua bentuk, yaitu29: Pertama keadilan distribusi, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional. Kedua, keadilan korektif yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan illegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti atas miliknya yang hilang. Selanjutnya di kemukakan oleh Thomas Aquinas adalah30: Keadilan distributif pada dasarnya merupakan penghormatan terhadap person manusia (acceptio personarum) dan keluhurannya (dignitas). Dalam kontek keadilan distributive, keadilan dan kepatutan (equitas) tidak tercapai semata-mata dengan penetapan nilai yang aktual, melainkan juga atas dasar kesamaan antara satu hal dengan hal yang lainnya (acqualitas rei ad rem). Ada dua bentuk kesamaan, yaitu: 1) kesamaan proporsional (acqualitas proportionis); dan 2) kesamaan kuantitas atau jumlah (acqualitas quantitas).
28
Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hal. 36. 29 Abdul Ghofur Anshori, 2006, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 47-48. 30 E. Sumaryono, 2002, Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, Yogyakarta, hal. 90-91.
24 John Rawls berpendapat keadilan sebagai fairness yang subjek utamanya adalah struktur dasar masyarakat, atau lebih tepatnya cara lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerjasama sosial.31
Aliran utilitarianisme dari Jeremy Bentham, keadilan itu bukan untuk satu dua orang saja, namun yang dianggap adil itu harus berlaku untuk banyak orang (the greatest happiness of the greatest number). Hal ini dapat dimaknai bahwa adil menurut aliran utilitarianisme adalah didasari oleh asas moral kebaikan dan kebenaran untuk kemanfaatan atau kebahagian sebanyak-banyaknya dari jumlah yang sebanyak-banyaknya pula.32 Keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak), sedangkan disisi lain, perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur manfaat). Keadilan itu sesungguhnya berhubungan dengan hati nurani, bukan hanya sekedar definisi dan juga bukan soal formalformalan. Ia berhubungan erat dengan praksis kehidupan sehari-hari dari manusia. sehingga tepatlah apa yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch : “Summum ius summa inuiria”, bahwa keadilan tertinggi itu adalah hati nurani. Orang yang terlalu mematuhi hukum secara apa adanya seringkali justru akan merugikan keadilan.33 Dalam penelitian ini teori keadilan yang digunakan adalah teori keadilan dari Gustav Radbruch yang meletakkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain yaitu kemanfaatan dan kepastian hukum. 31
John Rawls, Tanpa Tahun, A Theory Of Justice; Teori Keadilan, Pustaka Belajar, hal. 7. Erni R. Emawan, 2012, Etika Hukum dalam Bisnis, CV. Alfabeta, Bandung, hal. 93. 33 Jeremies Lemek, 2007, Mencari Keadilan Pandangan Kritis Terhadap Penegakkan Hukum di Indonesia, Galang Press, Yogyakarta, hal. 25. 32
25 1.5.4 Konsep Pajak Pajak adalah gejala masyarakat, artinya bahwa pajak hanya terdapat dalam masyarakat. Jika tidak ada masyarakat, tidak akan ada pajak, karena di dalam masyarakat ada kelangsungan hidup dari individu dan kelompok masyarakat tersebut
sebagai suatu kelangsungan
hidup
bernegara.
Untuk menjaga
kelangsungan hidup itu diperlukan biaya. Di sinilah filosofi pajak yang sesungguhnya, bahwa pajak digunakan sebagai alat untuk pembiayaan kelangsungan hidup bernegara yang diambil dengan mengurangi penghasilan rakyatnya.34 Brotodiharjo35 memberi batasan-batasan dari P.J.A. Adriani bahwa pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Pengertian pajak sendiri dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 85 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4740) yang tertuang dalam Pasal 1, sebagai berikut : “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
34
Soemitro, Rochmat, 1992, Pajak Bumi dan Bangunan (Edisi Revisi), Refika Aditama, Bandung, hal. 1-2. 35 Brotodihardjo, Santoso, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Keempat, Refika Aditama, Bandung. hal. 2.
26 Definisi pajak yang dahulu tidak tercantum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sekarang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 sudah terdapat definisi tentang pajak dan kata “kontribusi” dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tersebut menggantikan kata “iuran” pada batasan-batasan dari Prof. Dr. P.J.A. Adriani tentang definisi dari pajak. Selanjutnya Brotodiharjo menegaskan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pajak antara lain adalah : 1. Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 3. Pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. 4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment. 5. Pajak dapat pula membiayai tujuan yang tidak budgeter yaitu mengatur. Menurut Slamet dan Syarifuddin,36 Pajak dapat diartikan sebagai suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif negara atau iuran yang dibayarkan oleh rakyat didasarkan pada undangundang, yang dapat dipaksakan tanpa balas jasa langsung yang dapat ditunjuk. Mainstream pemikiran tersebut telah mendorong para pengelola pajak berlaku kurang mencerminkan semangat berbangsa dan bernegara yang berjiwa demokratis.Dikatakan pula bahwa demokrasi yang berarti kesetaraan dan partisipasi, maka demokrasi perpajakan dimaknai sebagai terbangunnya sistem perpajakan yang menggambarkan adanya kesetaraan antara pemerintah dan masyarakat pembayar pajak, sehingga memungkinkan munculnya partisipasi
36
Irianto, Edi Slamet dan Syarifuddin Jurdi, 2005, Politik Perpajakan, Membangun Demokrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hal. 63.
27 masyarakat, sejak dari proses pembuatan kebijakan perpajakan, pengumpulan pajak dan pemanfaatan uang pajak. Prinsip dari demokrasi yang paling urgen adalah meletakkan kekuasaan di tangan rakyat, bukan di tangan penguasa.37 Penelitian ini bermaksud meneliti tentang Pajak Bumi dan Bangunan khususnya Pajak Bumi dan Bangunan pada jalur hijau dan kawasan limitasi di Kabupaten Badung. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994. Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi atau tanah dan atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak. Pajak bumi dan bangunan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diberi pengertian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Rochmat Soemitro memberikan pengertian dari pajak bumi dan bangunan sebagai berikut : ”Pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas harta tidak bergerak, maka yang dipentingkan adalah obyeknya dan oleh karena itu keadaan status orang atau badan yang dijadikan subyek tidak penting dan tidak mempengaruhi besarnya pajak”. 38
37 38
Ibid, hal. 94. Rochmat Soemitro, 2006, Pajak Bumi dan Bangunan, PT. Eresco, Bandung, hal.5.
28 Menurut Erly Suandy yang dimaksud pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terhutang ditentukan oleh keadaan objek atau bumi, tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besar pajak.39 Menurut Mardiasmo, memberikan pengertian di bawah ini : Pengertian pajak bumi dan bangunan adalah pajak bumi dan bangunan terdiri atas pajak terhadap bumi dan bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya, meliputi tanah dan perairan, serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang diusahakan.40 Menurut Suharno, yang dimaksud Pajak Bumi dan Bangunan adalah penerimaan pajak pusat yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada daerah. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan tersebut dimasukkan dalam kelompok penerimaan bagi hasil pajak.41 Dari pengertian tentang Pajak Bumi dan Bangunan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan adalah penerimaan Negara yang berasal dari rakyat atas kebendaan objek atau bumi, tanah dan atau bangunan yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada daerah masing-masing untuk meningkatkan pendapatan daerah tersebut.
1.5.5 Konsep Jalur Hijau Jalur hijau merupakan bagian dari elemen Ruang Terbuka Hijau Publik. Salah satu bentuk jalur hijau adalah jalur hijau jalan. Terdapat beberapa struktur 39
Erly Suandy. 2002, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, hal. 64. Mardiasmo, 2008, Perpajakan Edisi Revisi 2008, CV Andy Offset, Yogyakarta, hal. 91. 41 Suharno, 2003, Potret Perjalanan Pajak Bumi dan Bangunan, Perpustakaan Nasional, Jakarta, hal. 32. 40
29 pada jalur hijau jalan yaitu daerah sisi jalan, median jalan, maupun pulau lalu lintas (traffic islands). Daerah sisi jalan adalah daerah yang berfungsi untuk keselamatan dan kenyamanan pemakai jalan, lahan untuk pengembangan jalan, kawasan penyangga, jalur hijau, tempat pembangunan fasilitas pelayanan dan melindungi bentukan alam. Simonds (1983) menyatakan bahwa karakter dan tingkat kelayakan untuk hidup dari sebuah kota sangat ditentukan oleh kondisi alamnya dan pengaturan ruang-ruang terbukanya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa bentuknya berupa tepi laut, jalur biru, jalur hijau, taman kota dan area rekreasi dan lain-lain. Bentuknya jalur hijau dapat berupa jalan raya lintas, jalan raya yang berumput tengahnya, koridor transportasi, lereng, jalan setapak, jalur jogging dan jalur sepeda. Jalur hijau merupakan daerah hijau sekitar lingkungan pemukiman atau sekitar kota, yang bertujuan mengendalikan pertumbuhan pembangunannya, mencegah dua kota atau lebih menyatu, mempertahankan daerah hijau, rekreasi ataupun daerah resapan hujan, di daerah ini tidak diperbolehkan ada bangunan apapun.42 Menurut Arifin dan Nurhayati43 jalur hijau jalan merupakan ruang terbuka hijau yang memanjang baik yang berada di sisi jalan maupun sebagai pemisah atau median jalan. Undang-undang lingkungan hidup menyebutkan bahwa jalur hijau diperuntukan sebagai resirkulasi udara sehat bagi masyarakat guna mendukung kenyamanan lingkungan dan sanitasi yang baik.
42
Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota DKI Jakarta, 2011, Daftar Istilah, Tidak dipublikasikan, Jakarta, hal. 11. 43 Arifin, H. S. dan Nurhayati, H. S. A., 2010, Pemeliharaan Taman, Penebar, Swadaya. Jakarta, hal. 47.
30 Penanaman jalur hijau jalan merupakan hal penting dalam merancang dan mengelola ruang serta memecah masalah.44 Vegetasi merupakan faktor penting dalam lingkungan sehingga pemilihan vegetasi harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dengan karakteristik vegetasi yang ditanam, terutama untuk penanaman jalur hijau di lingkungan perkotaan yang berada di lingkungan yang penuh polusi dan keadaan yang kurang mendukung. Pemilihan tanaman untuk suatu lanskap harus memperhatikan aspek agronomis, arsitektural tanaman dan nilai identitas tertentu, misalnya tanaman langka, unik, eksklusif dan lainnya.45 Jalur hijau bisa berbentuk jalur (path), seperti jalur hijau jalan, tepian air waduk atau danau dan bantaran sungai, bantaran rel kereta api, saluran/ jaringan listrik tegangan tinggi, dan simpul kota (nodes), berupa ruang taman rumah, taman lingkungan, taman kota, taman pemakaman, taman pertanian kota, dan seterusnya, sebagai jalur hijau. Ruang terbuka yang disebut Taman Kota (park), yang berada di luar atau di antara beberapa bangunan di lingkungan perkotaan, semula dimaksudkan pula sebagai halaman atau ruang luar, yang kemudian berkembang menjadi istilah jalur hijau kota, karena umumnya berupa ruang terbuka yang sengaja ditanami pepohonan maupun tanaman, sebagai penutup permukaan tanah. Tanaman produktif berupa pohon bebuahan dan tanaman sayuran pun kini hadir sebagai bagian dari jalur hijau berupa lahan pertanian kota atau lahan perhutanan kota yang amat penting bagi pemeliharaan fungsi keseimbangan ekologis kota.
44
Booth, N.K., 2013, Basic Elements of Landscape Architectural Design, Waveland Press, Inc. Illinois, hal. 62. 45 Nurisjah, S., 2011, Tanaman Untuk Taman dan Lansekap Kota, Kerjasama Lembaga Pengabdian pada Masyarakat IPB dengan Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
31 1.5.6 Konsep Kawasan Limitasi Kawasan limitasi merupakan kawasan yang tidak dapat dikembangkan sama sekali yang memiliki ratio tutupan lahan sama dengan 0% sehingga tidak boleh ada bangunan di dalam kawasan ini.46 Kawasan Limitasi yang ditetapkan adalah :47 1. Kawasan Suci merupakan kawasan yang dipandang memiliki nilai kesucian oleh umat Hindu di Bali. Kawasan suci diantaranya pantai, campuhan (pertemuan sungai), mata air (beji), catus patha/pempatan agung dan setra/kuburan Hindu. Lokasi kawasan suci tersebut diantaranya di Pantai Jimbaran, Pantai Kutuh, Pantai Benoa dan Pantai Tanjung Benoa; 2. Kawasan Taman Hutan Rakyat (Tahura), kawasan tahura yang ada sekarang tetap dipertahankan fungsi sebagai hutan bakau dan dibuatkan jalan inspeksi sebagai batas fisik antara tahura dan fungsi peruntukan lainnya; 3. Kawasan Sempadan Pantai ditetapkan sesuai dengan rekomendasi rencana sempadan pantai di Kabupaten Badung yaitu untuk Pantai di Kelurahan Jimbaran, di Desa Pecatu, di Desa Ungasan dan di Desa Kutuh sebesar 50 meter, untuk Pantai di Kelurahan Benoa sebesar 30 meter dan untuk Pantai di Kelurahan Tanjung Benoa sebesar 25 meter terhitung dari titik pasang tertinggi sampai dengan daratan; 4. Kawasan Sempadan Sungai tersebar diseluruh Kuta Selatan pada sisi kiri kanan sungai di luar kawasan permukiman dengan jarak sempadan 46 47
http://www.bappeda.badungkab.go.id/pecatu.htm. Ibid.
32 sekurang-kurangnya 50 meter pada sungai tidak bertanggul dan 5 meter pada sungai bertanggul. Untuk sungai di dalam kawasan permukiman sekurang-kurangnya 10 meter kiri kanan sungai tidak bertanggul dan 3 meter kiri kanan sungai bertanggul serta cukup untuk dibangun jalan inspeksi sungai atau jalan lingkungan; 5. Kawasan Sempadan Jurang tersebar di Daerah Bukit meliputi Kelurahan Jimbaran, Desa Pecatu, Desa Ungasan dan Kelurahan Benoa dengan jarak sekurang-kurangnya 2 kali kedalaman jurang pada jurang dengan batasan yang
memiliki kemiringan
lereng
sekurang-kurangnya
45%
dan
kedalaman sekurang-kurangnya 5 meter pada garis datar 11 meter; 6. Kawasan Sekitar Mata Air tetap dilindungi karena selain berfungsi sebagai sumber air untuk kebutuhan sehari-hari juga merupakan air suci dengan radius pengamanan sebesar 100 meter. Tidak diperbolehkan kegiatan yang mengganggu fungsi penyerapan air dan mengganggu kesucian mata air; 7. Kawasan Radius Kesucian Pura atau Kekeran adalah kawasan yang berada pada radius kesucian pura sesuai Bhisama PHDI tentang kesucian Pura yang terdiri atas Apaneleng Agung (minimal 5 Km dari pura) untuk Sad Kahyangan, Apaneleng Alit (minimal 2 Km dari pura) untuk Dang Kahyangan, dan Apanimpug atau Apanyengker untuk Kahyangan Tiga dan lain-lain. Kebijaksanaan pengelolaan radius kesucian pura adalah : a. Di daerah kekeran tidak diperkenankan membuat bangunan kecuali bangunan penunjang kegiatan ritual dan tempat tinggal dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) rendah;
33 b. Penetapan radius kesucian disesuaikan dengan kondisi di lapangan serta kesepakatan dengan PHDI dan desa adat setempat dengan tetap memperhatikan batasan kelestarian lingkungan dan radius kesucian pura; c. Penetapan radius kesucian pura kahyangan tiga adalah apenimpug atau apenyengker yang jaraknya minimal 50 meter untuk bangunan bertingkat dan 25 meter untuk bangunan tidak bertingkat ; d. Pemanfaatan ruang suci dalam radius kesucian pura sebagai kawasan tidak terbangun terkecuali bangunan-bangunan yang telah ada dan rencana pembangunan yang berada dalam radius kawasan kesucian pura yang telah memiliki perijinan lengkap tetap diijinkan, sedangkan pembangunan baru mutlak berpedoman kepada keputusan ini. e. Kawasan Sempadan Perbatasan Wilayah minimum 50 m pada kiri kanan garis perbatasan wilayah kabupaten. Tidak ada kegiatan bangunan fisik yang diijinkan untuk dilakukan pada kawasan ini.
1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian Kajian ini adalah mempergunakan metode penelitian hukum normatif. Menurut Sunaryati Hartono, dalam penelitian hukum normatif, untuk mengkaji persoalan hukumnya dipergunakan bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahanbahan hukum primer (primary sources or authorities) dan bahan-bahan hukum sekunder (secondary sources or authorities). 48
48
Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20, Alumni Bandung, hal 134.
34 1.6.2 Jenis Pendekatan Penelitian hukum normatif terdapat beberapa metode pendekatan yakni pendekatan
perundang-undangan
(statute
approach),
pendekatan
konsep
(conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan historis (historical approach) pendekatan filsafat (philosophical approach) dan pendekatan kasus (case approach). Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep hukum (conceptual approach), dan pendekatan historis (historical approach). Pendekatan perundang-undangan (statute approach), dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049). Pendekatan konsep hukum (conceptual approach) dilakukan dengan menelaah terbitnya Peraturan Bupati Badung Nomor 89 Tahun 2012 Tentang pengurangan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan untuk kondisi tertentu objek pajak pada jalur hijau dan kawasan limitasi diatur (khusus mengenai pengurangan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diberikan sebesar 100% (seratus persen) kepada wajib pajak atas pajak yang tertuang di kabupaten Badung). Pendekatan sejarah (historical approach) digunakan dalam penelitian ini mengingat Pemerintah Daerah Kabupaten Badung telah memberlakukan pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur
35 hijau jauh sebelum Peraturan Bupati Kabupaten Badung Nomor 89 Tahun 2012 diterbitkan.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah segala dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum, dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, serta Peraturan Bupati Badung Nomor 89 Tahun 2012 Tentang pengurangan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan untuk kondisi tertentu objek pajak pada jalur hijau dan kawasan limitasi. Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti hasil penelitian atau karya tulis para ahli hukum yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Data Penunjang yaitu berupa informasi dari lembaga atau pejabat, baik dari lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung maupun dengan para pihak terkait yang membidangi tentang pemungutan PBB.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Metode pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara mengkaji sumber tertulis seperti dokumen dan peraturan perundang-undangan. Bahan hukum dikumpulkan melalui studi dokumentasi, yakni dengan melakukan
36 pencatatan terhadap hal-hal yang relevan dengan masalah yang diteliti yang ditemukan dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Untuk mendukung pengumpulan bahan hukum tersebut dilakukan studi lapangan. Studi lapangan melalui sarana wawancara dilakukan terhadap informan yang terkait seperti dengan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan pihak-pihak berkompeten yang ada di lingkungan Pemerintah Kabupaten Badung khususnya yang membidangi perpajakan. Masukan yang diperoleh digunakan sebagai penunjang dan untuk mengkonfirmasikan bahan hukum sekunder.
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisa terhadap bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam kajian ini adalah teknik deskripsi, interpretasi, sistematisasi, argumentasi dan evaluasi. Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa teknik deskripsi adalah mencakup isi maupun struktur hukum positif.49 Pada tahap deskripsi ini dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari aturan-aturan hukum yang dikaji dan menggambarkan apa adanya tentang suatu keadaan. Lebih lanjut berkaitan dengan teknik Interpretasi, Alf Ross mengatakan : The relation between a given formulation and specific complex of facts.The technique of argumentation demanded by this method is directed toward discovering the meaning of the statute and arguing that the given facts sre either covered by it or not.50 (terjemahan bebas : Hubungan antara rumusan konsep yang diberikan dan kumpulan fakta khusus. Teknik argumentasi ini dibutuhkan oleh 49
Philipus M Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Dalam Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember, hal. 33. 50 Alf Ross, 1959, On Law And Justice, University Of Californis Press, Barkely & Los Angeles, hal. 111.
37 cara ini yang diarahkan kepada penemuan makna dari undang-undang dan faktafakta yang saling melengkapi satu sama lain). Menurut I Dewa Gede Atmadja dari sisi sumber dan kekuatan mengikatnya, secara yuridis interpretasi ini dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:51 1. Penafsiran otentik; yakni penafsiran yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan itu sendiri. Penafsiran ini adalah merupakan penjelasan-penjelasan yang dilampirkan pada undang-undang yang bersangkutan (biasanya sebagai lampiran). Penafsiran otentik ini mengikat secara umum; 2. Penafsiran Yurisprudensi ; merupakan penafsiran yang ditetapkan oleh hakim yang hanya mengikat para pihak yang bersangkutan; 3. Penafsiran Doktrinal ahli hukum; merupakan penafsiran yang diketemukan dalam buku-buku dan buah tangan para ahli sarjana hukum. Penafsiran ini tidak mempunyai kekuatan mengikat, namun karena wibawa ilmiahnya maka penafsiran yang dikemukakan, secara materiil mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan undang-undang. Bertitik tolak dari pandangan Philipus M. Hadjon dan I Dewa Gede Atmadja diatas, maka untuk membahas persoalan hukum yang dikaji, akan dipergunakan penafsiran otentik dan penafsiran gramatikal. Penafsiran Otentik dalam kajian ini dimaksudkan adalah penafsiran yang didasarkan pada penafsiran yang diberikan oleh pembentuk undang-undang, melalui penjelasan-penjelasannya dan peraturan perundang-undangan yang lain. Sedangkan penafsiran Gramatikal dalam kajian ini dilakukan dalam kaitannya untuk menemukan makna atau arti aturan hukum, khususnya aturan hukum yang berkaitan dengan pengenaan PBB.
51
I Dewa Gede Atmadja, 1996, “Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum, Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekuen”, Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Tata Negara Pada FH. UNUD, hal. 14.