1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam khazanah tafsir al-Qur’an kata dīn, millah dan syarī‘ah sering dihubungkan. Tujuannya tiada lain untuk mendapatkan penjelasan mengenai maksud dari ayat-ayat al-Qur’an. Karena tafsir itu sendiri sebagaimana diungkapkan oleh Az-Zarkasī (1984: 13) adalah ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan menjelaskan maknamaknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya. Dalam tafsir al-Manār misalnya, Rasyīd Riḍā (1947: 3/257) memaknai ad-dīn dalam ayat
(1) (1) /Inna ad-dīna ‘indallāhi al-islāmu/ ‘Sesungguhnya dīn di sisi Allah hanyalah Islam.’ (QS Ali Imran [3]: 19) secara umum dengan al-millah dan
asy-syar‘u atau asy-syarī‘ah. Dengan
mengambil makna taklif (beban tanggung jawab manusia pada Tuhan) secara umum ketiganya bermakna sama. Kemudian dalam kitab tafsir al-Jāmi’u al-Ahkām al-Qurʼan, karya alQurthubī (t.t.: 4/137) dijelaskan bahwa, perintah mengikuti millah Ibrāhīm dalam ayat
(2) (2) /Qul ṣadaqallāhu, fattabi‘ū millata Ibrāhīma ḥanīfan wa mā kāna min al-musyrikīna/
2
‘Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”, maka ikutilah millah Ibrāhīm yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.’ (QS. Ali Imran [3]: 95) adalah perintah untuk mengikuti dīn Ibrāhīm. Jadi millah menurut penafsiran ini sama atau paling tidak identik dengan dīn. Selanjutnya dalam tafsir al-Mishbah. Ketika menafsirkan ayat
(3)
(3) /Li kulli ja‘alnā minkum syir‘atan wa minhājān, walau syā’allāhu laja‘alakum ummatan wāḥidatan walākin liyabluwakum fī mā ātākum, fastabiqū al-khairāt/ “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu Kami berikan syarī’at dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan”. (QS al-Maidah [5]: 48), Quraisy Shihab (2009: 3/139) menjelaskan bahwa al-Qur’an menggunakan kata syarī‘ah dalam arti yang lebih sempit dari kata dīn yang biasa diterjemahkan dengan agama. Syari’at adalah jalan terbentang untuk satu umat tertentu dan nabi tertentu, seperti syari‘at Nūh, syari‘at Ibrāhīm, syari‘at Mūsā, syari‘at ’Īsā, serta syari‘at Muhammad saw., sedangkan dīn/agama adalah tuntunan Ilahi yang bersifat umum dan mencakup semua umat. Dengan demikian, agama dapat mencakup sekian banyak syari‘at. Apabila dilihat dalam kamus ternyata tiga unsur bahasa ini juga memiliki keterkaitan. Di antaranya dalam kamus Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia karya Ahmad Warson Munawwir (1997: 437). Di sana kata dīn di antaranya diartikan dengan kata millah. Kemudian Ibnu Manẓūr (t.t: 4271) dalam Lisān al-
3
‘Arab menerjemahkan kata millah di antaranya dengan kata asy-syarī‘ah dan addīn. Dari fenomena tafsir ini dapat diketahui bahwa kata dīn,
millah dan
syarī‘ah ditafsirkan memiliki relasi makna. Adapun relasinya ditafsirkan bervariasi. Sebagian menyatakan bahwa dīn, millah dan syarī‘ah memiki relasi persamaan dan sebagian yang lain menyatakan bahwa syarī‘ah maknanya berada dalam cakupan kata dīn. Dari sudut pandang linguistik, berbagai kontruksi relasi makna memiliki logika sendiri-sendiri. Relasi persamaan misalnya, ia membolehkan adanya subtitusi. Sementara relasi ketercakupan, ia tidak memperbolehkan adanya subtitusi. Hal ini dapat berdampak pada produk penafsiran. Apabila logika bahasa ini digunakan untuk membaca ayat-ayat tentang hubungan antaragama sebagaimana data (1), (2) dan (3) diatas, maka produk tafsir hubungan antaragama bisa jadi juga bervariasi. Pembacaan subtitusi berarti menghindari konfrontasi antara ayat yang satu dengan yang lain, tidak demikian bila dibaca dengan tidak adanya subtitusi. Kalau dilihat dari sisi ilmu tafsir, menghubung-hubungkan ayat dengan ayat lain dalam menggali maksud kalam Tuhan ini bisa dijumpai dalam metode muqārin,
mawḍū‘ī,
juga
dalam
teori
munāsabat
al-Qur’an.
Metode
muqārin (komparatif) adalah menafsirkan sekelompok ayat al-Qur’an atau suatu surat tertentu dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, atau antara ayat dengan hadis, atau antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspekaspek perbedaan tertentu dari objek yang dibandingkan (Farmawy-al, 1977: 45).
4
Mengenai pembandingan ayat dengan ayat bisa pada ayat-ayat yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau bisa juga pada ayat-ayat yang memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama. Adapun tafsir mawḍū‘ī (tematik) adalah tafsir berdasarkan tema atau topik tertentu. Penafsiran dengan metode ini di antaranya dilakukan dengan cara menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat dan surat al-Qur’an yang diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian secara menyeluruh dari ayat-ayat tersebut untuk menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang akan dibahas. Menurut Nasrudin Baidan (2011:381) metode tafsir tahlīlī/tafṣīlī (analitis) sangat mungkin memasuki wilayah mawḍū‘ī (tematik) bila pembahasan yang dilakukan tidak lagi sebatas pemahaman yang luas, melainkan telah menyelesaikan tema yang diangkat dalam ayat itu secara tuntas dan komprehensif. Memang ada persoalan dalam metode ini, yaitu mengenai tolok ukur bahwa suatu ayat ditafsirkan oleh ayat lain (al-Qur’ānu yufassiru ba‘ḍuhu ba‘ḍā), padahal ayat-ayat tersebut secara susunan mushafi berjauhan letaknya. Dalam hal ini Fazlur Rahman menyatakan bahwa tolok ukurnya adalah logis tidaknya hubungan ayat tersebut (Mustaqim, 2006: 384). Pembicaraan mengenai keterkaitan ayat-ayat al-Qur’an tersebut juga bisa diketemukan dalam teori munāsabat al-Qur’an. Teori ini menggarisbawahi bahwa aspek-aspek tertentu yang menghubungkan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, atau antara satu ayat dengan ayat lain dalam himpunan beberapa ayat, ataupun satu surat dengan surat yang lain itu ada, baik ia dalam
5
bentuk konkret (hissī) ataupun dalam bentuk abstrak (aqlī atau khayalī) (Baidan, 2011:183-4). Dari uraian ini dapat diketahui bahwa peranan bahasa terhadap produk tafsir adalah sangat besar. Hal ini disebabkan bahwa hubungan antara pikiran dan bahasa adalah sangat erat, tidak terkecuali pikiran tentang agama dalam sebuah tafsir. Pikiran-pikiran keagamaan itu merupakan bahasa, karena tiada cara lain untuk berpikir tentang kenyataan agama selain lewat bahasa. Sebagaimana dinyatakan oleh Kaelan (2009: 340) bahwa sesungguhnya bahasa itu merupakan suatu ’pikiran’, sebab tiada cara lain untuk berpikir tentang kenyataan itu selain lewat bahasa. Dengan demikian logika bahasa juga sangat berpengaruh terhadap konstruksi pikiran atau wujud pemahaman, tak terkecuali pemahaman agama dalam sebuah tafsir. Sudut pandang tertentu terhadap bahasa akan mempengaruhi bentuk pemahaman terhadap pesan bahasa tersebut. Berangkat dari sini penulis akan meneliti apa sesungguhnya makna dīn, millah dan syarī‘ah itu, bagaimana pandangan linguistik terhadap relasi makna tiga unsur bahasa tersebut, dan apa implikasinya terhadap tafsir lugawī (bahasa) mengenai hubungan antaragama? Sebagaimana telah diuraikan bahwa variasi relasi makna tiga unsur bahasa ini diasumsikan memiliki pengaruh terhadap bervariasinya produk tafsir hubungan antaragama.
1.2. Perumusan Masalah Berangkat dari latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan sebelum ini, maka masalah yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah apa
6
sesungguhnya relasi makna dīn, millah, dan syarī‘ah menurut analisis linguistik, dan apa implikasinya terhadap tafsir lugawī (bahasa) mengenai hubungan antaragama. Secara terinci problem tersebut akan diurai secara berurut dengan menjawab persoalan-persoalan berikut: 1) Apa makna dīn, millah, dan syarī‘ah? 2) Apa relasi makna dīn, millah, dan syarī‘ah? 3) Bagaimana implikasi relasi makna dīn, millah, dan syarī‘ah terhadap tafsir lugawī (bahasa) tentang hubungan antaragama?
1.3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) Menjelaskan makna dīn, millah, dan syarī‘ah. 2) Merumuskan relasi makna dīn, millah, dan syarī‘ah. 3) Mendeskripsikan implikasi metodologis rumusan relasi makna dīn, millah, dan syarī‘ah terhadap tafsir lugawī (bahasa) tentang hubungan antaragama. Penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan kajian linguistik dan tafsir al-Qur’an. Dalam linguistik penelitian ini memberikan kontribusi terhadap pengembangan teori bahasa, utamanya dalam bidang perkembangan makna dan relasi makna tiga unsur bahasa al-Qur’an, yaitu dīn, millah, dan syarī‘ah. Adapun dalam bidang tafsir penelitian ini berguna untuk pengembangan tafsir al-Qur’an sebagai kitab petunjuk dengan pendekatan linguistik. Penting untuk mendekati alQur’an dengan pendekatan ilmiah meskipun al-Qur’an itu sendiri bukan kitab
7
ilmiah. Sebagaimana diungkapkan oleh Syahrūr (2014: 5) bahwa Kitab yang diwahyukan bukan merupakan dalīl ilmiah, tapi dalīl keimanan. Untuk mengikuti risalah Muhammad penyampaian dalīl ilmiah atas kebenarannya adalah dari sisi luar Kitab itu sendiri.
1.4 Tinjauan Pustaka Beberapa kajian terdahulu yang berkaitan dengan relasi makna, dan tafsir al-Qur’an tentang hubungan antaragama di antaranya adalah kajian yang dilakukan oleh Waryono Abdul Ghafur (2008: 147-194) dalam disertasinya yang berjudul “Millah Ibrāhīm dalam Al-Mīzān fi Tafsīr al-Qurʼān” karya Muhammad Husein Ath-Thabāthabā’ī. Dalam karyanya ini ia memperlihatkan bahwa pengertian millah Ibrāhīm dalam tafsir Al-Mīzān fi Tafsīr al-Qurʼān memiliki hubungan dengan pengertian dīn dan syarī‘ah. Dīn memiliki pengertian yang lebih umum dari pada syarī‘ah, dan millah. Millah adalah contoh kongkrit dalam mengarungi dan menjalankan syarī‘ah sehingga sesuai dengan dīn. Namun demikian penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menganalisis relasi makna ketiga unsur bahasa al-Qur’an itu, tetapi untuk menggali pengertian millah Ibrāhīm secara komprehensif sehingga dapat ditentukan siapa yang saja yang termasuk di dalam millah tersebut dan berhak mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan. Selanjutnya mengenai relasi tanda bahasa dan makna dalam bahasa Arab pernah dikaji oleh Muhammad Yusuf (2008: 292-293) dalam disertasinya yang berjudul “Relasi Tanda Bahasa dan Makna dalam Bahasa Arab (Kajian atas
8
Pemikiran Ibn Fāris dalam al-Shāḥibī)”. Setelah melakukan kajian terhadap pemikiran Ibn Fāris dalam al-Shāḥibi, ia menyimpulkan bahwa yang pertama, Ibn Faris merupakan seorang yang menerima adanya sinonimi dalam bahasa Arab. Adapun
sinonimi
yang
dimaksud
disini
adalah
sinonim
proposisional
(propositional synonymy) yang terwujud dalam perbedaan dialek, seperti kata halafa/aqsama, dan sinonim menyepi (near synonymy) seperti (arāda/raghiba fi) ‘ingin’. Adapun mengenai sinonim mutlak (absolute synonymy), ibnu Fāris tidak banyak berbeda dengan linguis-linguis modern baik yang berasal dari Barat, seperti Cruse dan Lyons maupun yang berasal dari Arab seperti al-Tawwāb dan Ya’kub yang menyatakan bahwa sinonim mutlak merupakan barang mahal yang sangat sulit untuk dihidangkan oleh suatu bahasa. Kedua, dalam hal relasi kehiponiman Ibnu Fāris tampak tidak membedakannya dengan relasi makna kesinoniman. Dimana relasi makna kehiponiman seperti nama-nama singa, madu, dan ular dimasukkan ke dalam kajian kesinoniman. Adapun mengenai relasi kemeroniman Muhammad Yusuf tidak menemukannya di dalam kitab al-Shāḥibi karya Ibnu Fāris yang ditelitinya itu. Lebih lanjut Muhammad Yusuf menjelaskan bahwa sesungguhnya kajian tentang kehiponiman dan kemeroniman merupakan kajian yang baru dalam linguistik Arab (Yusuf, 2008: 293). Ketiga, dalam hal relasi makna pertentangan, tampak adanya perbedaan definisi yang cukup jauh antara Ibnu Fāris dengan linguis modern. Menurut Ibnu Faris, pertentangan itu adalah satu kata sama bentuk yang memiliki dua makna yang saling bertentangan. Adapun menurut kajian linguis modern relasi makna
9
pertentangan adalah dua kata yang memiliki bentuk yang berbeda dan berlawanan makna (Yusuf, 2008: 294). Bila dilihat dari jenis oposisi maknanya menurut penulis disertasi ini yang didasarkan pada karya Ibn Fāris juga tapi dalam kitab yang berbeda, yakni al-Maqāyīs fi al-Lughah, kontranim dalam bahasa Arab itu ada tiga macam jenis, yaitu kontranim antonim, komplementer dan direksional. Kontranim antonim memiliki dua sub tipe, yakni kontranim antonim berkutub dan kontranim antonim equipalen. Kontranim komplementer tidak memiliki sub tipe. Adapun kontranim direksional meliputi, kontranim antipodal, kontranim imbangan, kontranim reversif dan kontranim konversif (Yusuf, 2008: 295). Kemudian secara khusus mengenai persoalan adakah relasi makna sinonimi dalam al-Qur’an pernah dikaji oleh Muhammad Nuruddin al-Munajjad (1997: 135-226), dalam penelitiannya At-Tarāduf fi al-Qurʼān al-Karīm (baina an-Naẓariyyah wa at-Taṭbīq). Ia menyimpulkan bahwa sinonimi dalam al-Qur’an itu tidak ada, namun ia tidak mengingkari adanya sinonim dalam Bahasa Arab (Munajjad, 1997: 226). Pernyataannya ini disimpulkan setelah mengadakan penelitian beberapa kata-kata dalam al-Qur’an yang tampak sinonim. Setelah dilacak maknanya kemudian di dirujuksilang dengan definisi sinonim yang sebelumnya telah disimpulkan. Menurutnya sinonim adalah dua kata yang menunjukkan pada pengertian yang hakiki (bukan majazi/kiasan) serta tertentu pada makna yang satu, deskripsi yang satu, dan lingkungan bahasa yang satu. Oleh karena itu, tidak masuk dalam pengertian sinonim kata-kata yang termasuk lafaẓ
murakab, kata-kata yang bermakna majazi/kiasan, dan kata-kata yang
digunakan karena alasan balagah. Juga tidak masuk dalam definisi sinonim dua
10
kata atau lebih yang tampak sama tapi berbeda deskripsi dan berbeda lingkungan bahasanya (Munajjad,1997: 135). Setelah dirujuk silang ditemukan bahwa, dalam kata-kata yang tampak sinonim tersebut terdapat; (1) perbedaan penunjukan (2) perbedaan dari sisi keumuman dan kekhususannya. (3) perbedaan i’tibar (4) sebab-sebab balagah dalam penggunaan kata-kata itu, misalnya kata-kata yang bermakna majazi (kiasan), contohnya adalah kata syadīdun yang maknanya adalah ”bakhil”, dan (5) perbedaan dialek. Masih dalam persoalan adakah relasi sinonimi dalam al-Qur’an, Abdul Mustaqim (2006: 216-219) dalam disertasinya yang berjudul ”Epistemologi Tafsir Kontemporer (Studi Komparatif antara Fazlur Rahman dan Mihammad Syahrur)” melihat bahwa keberadaan relasi makna sinonimi dalam al-Qur’an itu masih diperdebatkan. Fazlur Rahman agaknya masih mengakui prinsip sinonimitas atau paling tidak ia mengakui similarity kata-kata dalam al-Quran. Hal ini dapat dilihat dari beberapa penjelasan Rahman ketika mengaplikasikan metode tafsir tematik. Contohnya ketika ia menafsirkan konsep etika al-Quran dari term iman, islam dan taqwa. Rahman melihat ketiga term tersebut secara esensial memiliki hubungan dan similaritas makna sebagai basis dari konsep etika al-Qur’an. Sementara itu, Syahrur menolak konsep sinonimitas dalam al-Quran, sebab menerima sinonimitas sama dengan menolak historisitas perkembangan bahasa. Padahal faktanya bahasa itu mengalami perkembangan diakronis. Namun demikian pembahasan relasi makna sinonimi dalam disertasi ini dimaksudkan sebagai entri perbedaan prinsip-prinsip penafsiran antara Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur, tidak dimaksudkan untuk mengkaji secara komprehensif relasi makna
11
dīn, millah, dan syarī‘ah sebagai mana yang akan penulis lakukan dalam penelitian ini. Kemudian mengenai penggunaan pendekatan pragmatik dalam mengkaji ayat-ayat al-Qur’an diantaranya pernah dilakukan oleh Mardjoko (2010). Dalam disertasinya yang berjudul “Kalimat Interogatif (jumlah Istifhamiyyah) dalam alQur’ān (analisis Pragmatik)”, ia mendiskripsikan struktur kalimat interogatif dalam al-Qur’an untuk selanjutnya dianalisis fungsi pragmatiknya dan prinsipprinsip jawabannya. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab kegelisahan peneliti mengenai pemaknaan terhadap wacana kalimat interogatif (jumlah istifhamiyyah) dalam al-Qur’an. Kalimat interogatif tersebut diasumsikan tidak semuanya dimaksudkan untuk makna konvensional yang menuntut datangnya jawaban dari lawan tutur, tetapi lebih banyak dimaksudkan untuk tujuan-tujuan lain diluar tujuan sebenarnya. Dari penelitian ini ditemukan bahwa ada beberapa fungsi pertanyaan dalam al-Qur’an ditinjau dari perspektif tindak tutur ilokusi, diantaranya adalah perintah, menghibur, penegasan, mengejek, dan menjelekkan. Adapun dari jawabannya (jawab istifham) ada yang diduga tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kerja sama yang ditawarkan oleh Grice, terutama mengenai prinsip kuantitas dan relevansi. Sebagai contoh penyimpangan terhadap prinsip kuantitas adalah jawab istifham dalam QS al-A’raf [7]: 113-114. Dalam ayat ini penambahan jawaban memang disengaja oleh penuturnya dan dimaksudkan untuk menunjukkan betapa seriusnya penutur (Fir’aun) berkeinginan mendapatkan kemenangan dalam pertandingan. Dengan adanya maksud tersebut, maka ketidak sesuaian jawaban
12
terhadap prinsip kuantitas dapat dimaklumi dan dibenarkan (Mardjoko, 2010: 255) Mengenai contoh penyimpangan terhadap prinsip relevansi adalah jawab istifham dalam QS al-Baqarah [2]: 189. Ketidak sesuaian jawaban dalam ayat ini memang disengaja oleh penutur, dan dimaksudkan untuk memberitahu kepada lawan tutur bahwa jawaban yang lebih pantas bagi mereka adalah guna dan fungsi bulan sabit itu, bukan sebab hakikinya tentang keadaan bulan secara ilmiah. Pengalihan jawaban pertanyaan (istifham) ini disebabkan pada waktu itu akal mereka belum disiapkan untuk mengetahui sebab yang sebenarnya, juga mengingat untuk mengetahui sebab perubahan bulan sabit tersebut membutuhkan ilmu yang berkaitan dengan falak dan geografi. Mereka belum disiapkan untuk menerima pengetahuan tersebut. Inilah barangkali yang menjadi alasan mengapa Rasul memalingkan jawaban dari yang semestinya diberikan. Dengan alasan tersebut kiranya dapat dimaklumi jika lawan tutur memberikan jawaban berbeda dengan topik yang ditanyakan penanya (Mardjoko, 2010: 270). Penelitian-penelitian terdahulu ini menunjukan bahwa makna itu berkembang dikalangan pengguna bahasa. Sebagai contoh millah yang asalnya bermakna ‘mengimlakkan’ kemudian ditafsirkan sebagai contoh kongkrit dalam pengamalan syarī‘at. Dari fenomena perkembangan makna inilah para pengguna bahasa sering dihadapkan pada pesan yang berbeda di dalam menangkap sebuah tanda atau simbol bahasa. Dengan demikian tidak mustahil juga muncul berbagai variasi relasi makna di dalam beberapa unsur bahasa yang bisa berdampak pada penafsiran teks.
13
Berangkat dari fenomena perkembangan bahasa dan belum adanya pembahasan mengenai “relasi makna dīn, millah, dan syarī‘ah serta implikasinya terhadap tafsir hubungan antaragama” sebagaimana yang terlihat dalam kajian pustaka yang penulis lakukan, maka penulis bermaksud untuk mengkajinya secara komprehensif
relasi tiga kata tersebut untuk kemudian dicari implikasi
penafsirannya. Kajian ini menurut hemat penulis layak dan penting dilakukan, untuk menyajikan analisis linguistik terhadap tafsir hubungan antaragama.
1.5 Kerangka Teori Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, yaitu untuk menganalisis relasi makna kata dīn, millah, dan syarī‘ah dan implikasinya terhadap penafsiran alQur’an tentang hubungan antaragama, maka pada bagian ini akan diuraikan apakah makna itu, bagaimana linguistik menganalisis relasi makna, dan metode apa yang akan digunanakan untuk mengaplikasikannya dalam penafsiran alQur’an.
1.5.1 Makna dan Pemaknaan Menurut Ogden dan Richard (1972: 186-187) makna adalah: 1) Suatu perbendaharaan kata yang intrinsik. 2) Hubungan dengan benda-benda lainnya yang unik, yang tak dapat dianalisis. 3) Kata lain tentang suatu kata yang terdapat di dalam kamus. 4) Konotasi kata. 5) Suatu esensi. 6) Suatu aktivitas yang diproyeksikan ke dalam suatu objek. 7) Suatu peristiwa yang dimaksud. 8) Keinginan. 9) Tempat sesuatu dalam suatu system. 10) Konsekuensi praktis suatu
14
benda dalam pengamalan kita untuk waktu mendatang. 11) Konsekuensi teoritis yang terkandung dalam suatu pertanyaan. 12) Emosi yang ditimbulkan oleh sesuatu. 13) Sesuatu yang secara aktual dihubungkan dengan suatu lambang oleh hubungan yang telah dipilih. 14) Efek-efek yang membantu ingatan kalau mendapat rangsangan. Asosiasi-asosiasi yang diperoleh. 15) Beberapa kejadian lain yang membantu ingatan terhadap kejadian yang pantas. 16) Suatu lambang seperti yang kita tafsirkan. 17) Suatu yang kita sarankan. 18) Penggunaan lambang yang dapat mengacu apa yang dimaksud. 19) Kepercayaan menggunakan lambang sesuai dengan yang dimaksud. 20) Tafsiran lambang yang berkaitan dengan hubungan-hubungannya, percaya tentang apa yang diacu, dan percaya kepada pembicara apa yang ia dimaksud. Selanjutnya menurut al-Khuli (1982: 166) makna adalah “mā yafhamuhu asy-syakhṣu min al-kalimāti aw al-‘ibārāti aw al-jumali” (apa yang dapat dipahami seseorang dari suatu kata, ungkapan atau kalimat. Definisi ini memperlihatkan bahwa dengan mengetahui makna kata, baik pembicara , pendengar, penulis, maupun pembaca yang menggunakan, mendengar atau membaca lambang-lambang berdasarkan sistem bahasa tertentu, percaya tentang apa yang dibicarakan, didengar atau dibaca. Dilihat dari jenisnya, Abdul Chaer (2007: 289-296) membagi
makna
menjadi 6 kategori, yaitu; 1) makna leksikal, gramatikal, dan kontekstual, 2) makna referensial dan non-referensial, 3) makna denotatif dan makna konotatif, 4) makna konseptual dan makna asosiatif, 5) makna kata dan makna istilah, dan 6) makna idiom dan peribahasa.
15
Makna bisa digali atau dicari melalui beberapa pendekatan, diantaranya adalah melalui pendekatan analitik atau referensial, dan melalui pendekatan operasional (Pateda, 2001: 86-87). Pendekatan analitik ingin mencari makna dengan cara menguraikannya atas segmen-segmen utama, sedangkan pendekatan operasional
ingin
mempelajari
kata
dalam
penggunaannya.
Pendekatan
operasional lebih menekankan, bagaimana kata dioperasikan di dalam tindak fonasi sehari-hari. Kemudian bila dilihat dari sisi hubungan-hubungan fungsi yang berbeda di dalam bahasa pencarian makna juga bisa dilakukan dengan pendekatan ekstensional dan pendekatan intensional (Nida, 1975: 22). Pendekatan ekstensional ialah pendekatan yang memusatkan perhatian pada penggunaan kata di dalam konteks, sedang yang dimaksud dengan pendekatan intensional adalah pendekatan yang memusatkan perhatian pada struktur-struktur konseptual yang berhubungan dengan unit-unit utama. Adapun teknik untuk menganalisis makna bisa menggunakan teknik penamaan, parafrasis, pendefinisian dan pengklasifikasian (Nida, 1975: 64). Beberapa cara yang digunakan dalam proses penamaan adalah penyebutan bagian, penyebutan sifat khas, dan penyebutan pengistilahan. Selanjutnya parafrasis merupakan deskripsi lain dari suatu leksem. Sementara pendefinisian merupakan suatu proses memberi pengertian pada sebuah kata dengan menyampaikan seperangkat ciri pada kata tersebut supaya dapat dibedakan dari kata-kata lainnya, sedangkan pengklasifikasian merupakan cara memberikan pengertian pada suatu kata dengan cara menghubungkan kata yang satu dengan kata yang lain.
16
1.5.2 Perkembangan Makna Di dalam memberikan makna yang juga harus diperhatikan adalah adanya perubahan makna dalam bahasa. Perkembangan makna mencakup segala hal tentang makna yang berkembang atau berubah.
1.5.2.1 Ruang Lingkup Perkembangan Makna Dalam hal ini Parera membedakannya menjadi dua macam, yaitu (1) Pergeseran makna. Pergeseran makna merupakan gejala perluasan, penyempitan, pengonotasian
(konotasi), penyinestesiaan (sinestesia), dan pengasosiasiaan
sebuah makna kata yang masih hidup dalam satu medan makna. Dalam pergeseran makna rujukan awal tidak berubah atau diganti, tetapi rujukan awal mengalami perluasan rujukan atau penyempitan rujukan. (2) Perubahan makna. Perubahan makna merupakan gejala pergantian rujukan dari simbol bunyi yang sama. Ini berarti dalam konsep perubahan makna terjadi pergantian rujukan yang berbeda dengan rujukan semula (Parera, 2004: 107) Adapun menurut Pateda perubahan makna itu menyangkut banyak hal, yaitu 1) Perluasan makna. Perluasan makna berhubungan dengan pemakaian bahasa. Masyarakat pemakai bahasa, apakah dengan jalan analogi, atau dengan swadaya bahasa itu sendiri meluaskan makna yang terdapat pada sebuah kata. 2) Pembatasan makna. Di dalam pemakaian bahasa, sebuah kata dapat mengalami pembatasan makna. 3) Melemahkan makna. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak kata yang tetap dipertahankan penggunaannya namun lambangnya diganti. Maksud penggantian lambang tersebut adalah untuk melemahkan makna agar
17
orang yang dikenai kegiatan tidak tersinggung.
Pelemahan kata ini terjadi
disebabkan oleh: i). pertimbangan psikologis, maksudnya agar orang tidak tersinggung perasaannya (orang tidak merasa tertekan secara psikologis; ii). pertimbangan secara politis, maksudnya agar masyarakat tidak sampai terganggu ketentramannya,
mengganggu
keamanan;
iii)
pertimbangan
sosiologis,
maksudnya agar masyarakat tidak resah; iv) pertimbangan religious, maksudnya agar orang yang dikenai kata tidak akan tertekan imannya; dan v) pertimbangan kemanusiaan, manusia mempunyai hak yang disebut hak-hak asasi manusia, yang antara lain menyangkut martabat dan kehormatan pribadi, dan bahwa manusia yang satu dengan yang lain memiliki hak yang sama. 4) Kekaburan makna. Kekaburan makna disebabkan i) sifat kata atau kalimat yang bersifat umum (generic); ii) kata atau kalimat tidak pernah homogen seratus persen, kata akan jelas maknanya jika berada dalam kalimat dan kalimat akan jelas maknanya jika berada dalam konteks; iii) batas makna yang dihubungkan dengan bahasa dan yang berada diluar bahasa tidak jelas; iv) kurang akrabnya kata yang digunakan dengan acuannya. (Pateda: 2001: 193-194)
1.5.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Makna Perubahan makna merupakan gejala yang terjadi di dalam suatu bahasa akibat dari pemakaian yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Parera (2004: 110-117) faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran dan perubahan makna adalah faktor linguistik, historis, sosial, psikologis, pengaruh asing, keperluan dan kekuasaan.
18
Senada dengan Parera, menurut Abdul Chaer (2007: 311-313) faktorfaktor penyebab perkembangan makna adalah, 1) Perkembangan dalam Bidang Ilmu dan Teknologi. Adanya
perkembangan
konsep
keilmuan
dan
teknologi
dapat
menyebabkan sebuah kata yang pada mulanya bermakna A menjadi bermakna B atau bermakna C. 2) Perkembangan Sosial Budaya. Perkembangan dalam masyarakat berkenaan dengan sikap sosial dan budaya dapat menyebabkan terjadinya perubahan makna sebuah kata atau leksem. 3) Perkembangan Pemakaian Kata Setiap bidang kegiatan atau keilmuan biasanya mempunyai sejumlah kosakata yang berkenaan dengan bidangnya itu. Kosa kata yang pada mulanya hanya digunakan pada bidang-bidangnya itu dalam perkembangan kemudian digunakan juga dalam bidang-bidang lain, dengan makna yang baru atau agak lain dengan makna aslinya, yang digunakan dalam bidangnya. 4) Pertukaran Tanggapan Indra. Alat indra yang lima mempunyai fungsi masing-masing untuk menangkap gejala-gejala yang terjadi di dunia ini. Misalnya, rasa getir, panas dan asin ditangkap dengan alat indra perasa, yaitu lidah dan gejala yang berkenaan dengan bunyi ditangkap dengan alat indra pendengar telinga. Namun dalam perkembangan pemakaian bahasa banyak terjadi pertukaran pemakaian alat
19
indra untuk menangkap gejala yang terjadi disekitar manusia itu. Perubahan tanggapan indra ini disebut dengan istilah sinestesia. 5) Adanya Asosiasi Yang dimaksud dengan adanya asosiasi di sini adalah adanya hubungan antara sebuah bentuk ujaran dengan sesuatu yang lain yang berkenaan dengan bentuk ujaran itu. Dengan demikian bila disebut ujaran itu maka yang dimaksud adalah sesuatu yang lain yang berkenaan dengan ujaran itu. Asosiasi itu dapat berupa hubungan wadah dengan isinya, hubungan waktu dengan kejadian atau hubungan tempat dengan peristiwa atau lembaga. Selanjutnya menurut linguis Arab, ‘Ūdah Khalīl Abū ‘Ūdah (1985: 83-86), bahwa hal-hal yang menyebabkan terjadinya perubahan makna adalah, 1) Penggunaan Kata. Makna kata berubah mengikuti konteks penggunaannya. Dalam waktu yang lama sebagaian makna kata yang sering dirujuk oleh konteks penggunaannya tersebut menghilangkan makna umumnya. Dimana konteks yang secara umum digunakan tersebut membatasi maknanya. Contoh katakata yang demikian ini dalam agama Islam banyak sekali. Kata-kata yang dulunya memiliki makna umum oleh
Islam digunakannya untuk makna
khusus, misalnya اﻟﺼﻼة/aṣ-ṣalāh/, اﻟﺤﺞ/al-hajj/, اﻟﺼﻮم/aṣ-ṣaum/, اﻹﯾﻤﺎن/alīmān/, اﻟﻜﻔﺮ/al-kufr/, اﻟﺮﻛﻮع/ar-rukū/, dan اﻟﺴﺠﻮد/as-sujūd/. Sebaliknya ada juga kata yang asalnya bermakna khusus kemudian digunakan untuk makna umum. Contoh hal ini adalah kata اﻟﺒﺄس/al-ba’ts/, اﻟﻮرد/al-warad/ dan اﻟﺮاﺋﺪ /ar-rā’id/. اﻟﺒﺄس/al-ba’ts/ asalnya bermakna اﻟﺤﺮب/al-harb/ (perang),
20
kemudian sering digunakan untuk makna segala kekerasan. اﻟﻮرد/al-wird/ asalnya hanya bermakna mendatangi air, kemudian menjadi mendatangi segala sesuatu. Adapun اﻟﺮاﺋﺪ/ar-rā’id/ pada asalnya mencari perlindungan kemudian menjadi mencari segala kebutuhan. 2) Perpindahan Makna Hakiki kepada Makna Majazi. Penggunaan makna majazi ini bukan suatu keharusan sebagaimana yang terdapat dalam gaya bahasa pada syair, ia terjadi pada suatu masa tertentu dan dalam lingkungan bahasa tertentu. Contoh dalam hal ini adalah kata اﻟﻮﻏﻰ/al-waga/, اﻟﻐﻔﺮ/al-gufru/, dan kata اﻟﻌﻘﯿﻘﺔ/al-‘aqīqah/. Telah berpindah makna اﻟﻮﻏﻰ/al-waga/ dari kekacauan suara dalam perang menjadi perang itu sendiri. Telah berpindah makna اﻟﻐﻔﺮ/al-gufru/ dari tabir menjadi memaafkan dari dosa-dosa. Sedang makna kata اﻟﻌﻘﯿﻘﺔ/al-‘aqīqah/ awalnya adalah rambut yang sudah ada pada anak sejak ia keluar dari rahim ibunya kemudian bermakna sembelihan ketika mencukur rambut itu. 3) Kejelasan Makna Kata dalam Pikiran. Perubahan makna kata terkadang tergantung pada sampainya kejelasan makna tersebut dalam pikiran. Ketika yang ditunjuk oleh kata tersebut telah jelas dalam pikiran, maka sedikit sekali kemungkinan berubah maknanya, sebaliknya bila samar maka ia memungkinkan banyak menyimpang. 4) Perkembangan Bunyi Kata. Terkadang perkembangan bunyi kata menjadi sebab terjadinya perkembangan makna. Stabilnya kata mengantarkan pada tetapnya makna, sebaliknya berubah-ubahnya mendorong pada perubahan maknanya
21
5) Tata Bahasa Kaidah-kaidah bahasa berperan terhadap perubahan makna kata dan juga membantu mengorientaskan pada arah yang khusus. Kalimat وﻟﺪ/walad/ dalam bahasa Arab, misalnya dalam ucapan seseorang “ وﻟﺪ ﺻﻐﯿﺮ/waladun ṣagīrun/”, menjadikan maknanya terikat dengan laki-laki. 6) Pergantian Zaman Makna sebagaian kata berubah bersamaan dengan perpindahan zaman dari zaman klasik menjadi modern. Faktor-faktornya yang mempengaruhi perubahan makna kata ini banyak sekali. Keserupaan dari sisi tertentu merupakan faktor sosiologis dan psikologis yang mempengaruhi perubahan makna kata. Contoh dalam hal ini adalah kata اﻟﺒﮭﻠﻮل/al-bahlūl/, اﻟﻐﺎﻧﯿﺔ/algāniyah/, اﻟﺤﺎﺟﺐ/al-ḥājib/. اﻟﺒﮭﻠﻮل/al-bahlūl/ dalam syair zaman dahulu bermakna orang yang mulia, sebagaimana ucapan Hasan bin Tsabit dalam syairnya:
ﻭﻝﹺ ﺃﹶﺔﻴﻫﻠ ﻰ ﺍﹾﳉﹶﺎ ﻓﻬﹺﻢﻟﻛﹶﺄﹶﻭ
ﹸﻜﻦ ﻳﻟﹶﻢﺍ ﻭﻭﺎﺩﻼ ﹺﻡ ﺳ ﹶﺳﻰ ﹾﺍﻻﻴﻞﹸ ﻓﺎﻟﻬﺑ
(4)
(4) /Bahālīlu fī al-Islāmi sādū wa lam yakun ka`awwalihim fi aljāhiliyati awwali/ Para Bahlul di dalam Islam adalah mulia tidak seperti pada masa Jahiliyah dulu. Akan tetapi sekarang maknanya adalah orang dungu yang tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Orang telah merubah harakat ba’ dalam kata tersebut dari dhammah
menjadi
fathah. اﻟﻐﺎﻧﯿﺔ
/al-gāniyah/ pada zaman dulu
bermakna wanita yang tidak bisa disifati kecantikannya, adapun sekarang bermakna wanita yang hina. Adapun اﻟﺤﺎﺟﺐ/al-ḥājib/ dulu di dalam daulah
22
Andalusiyah maknanya sepadan dengan perdana menteri sekarang, namun pada zaman sekarang tidak lebih dari pengawal atau pelayan. 7) Peran Adat. Adat dan nilai-nilai perubahan dari masa kemasa mempengaruhi perubahan sebagian makna. Itu semua merupakan akibat dari faktor-faktor yang bercampur aduk dalam kehidupan manusia. Diantara kata yang terus menerus berkembang dan berubah maknanya adalah kata yang merujuk pada pengertian buang air kecil atau buang air besar dan alat kelamin. Hampirhampir tidak ada kata darinya yang tersebar sehingga daya rasa masyarakat menetapkannya. Peradaban yang berpengaruh tidak menyukai, maka ia menggantikannya dengan kata lain dari bahasanya sendiri atau dari bahasa asing. 8) Perbedaan Dialek. Makna kata bisa berubah ketika terjadi perpindahan dari satu dialek kepada dialek lain atau dari satu bahasa ke bahasa lain. Disini masuk faktorfaktor psikologis dan sosiologis di dalam menetapkan makna kata. Beberapa kata menonjol sehingga dianggap menjadi bagian dari kata-kata yang baik dan dipilih dan beberapa kata yang lain tenggelam dan menjadi bagian dari kata yang tidak baik. Akhirnya makna dasarnya hilang dan dipakailah makna yang baru. 9) Pemahaman yang tidak Tepat. Pemahaman yang tidak baik dapat menjadi sebab terjadinya perubahan makna, khususnya pada masa kanak-kanak. Terkadang anak-anak salah
23
memahami makna kata dan tidak dibetulkan kesalahan-kesalahan ini. Maka meluaslah kesalahan pemahaman ini bersama berjalannya waktu sehingga menjadi menetap. Sesungguhnya tidak dibatasi masalah ini hanya terjadi pada anak-anak, akan tetapi juga terjadi pada orang dewasa sebagai hasil dari analogi yang salah. 10) Perubahan Reference. Makna kalimat terkadang berubah karena sesuatu yang ditunjuk oleh kata itu telah berubah watak, unsur, fungsi serta keadaan masyarakat yang berkaitan dengan itu. Sebagai contoh adalah kata اﻟﺮﯾﺸﺔ/ar-rīsyah/ (pena), اﻟﻘﻄﺎر/al-qiṭār/ (kereta api), dan اﻟﺒﺮﯾﺪ/al-barīd/ (pos). اﻟﺮﯾﺸﺔ/ar-rīsyah/ (pena) dulu berkaitan dengan alat tulis yang dibuat dari bulu burung, adapun sekarang secara umum menunjuk pada bagian dari hasil tambang tertentu dalam bentuk khusus. اﻟﻘﻄﺎر/al-qiṭār/ (kereta api) pada zaman dulu adalah kumpulan unta yang dirangkai jadi satu untuk membantu perjalanan, adapun sekarang ia adalah alat sebagaimana yang telah diketahui secara umum. Adapun اﻟﺒﺮﯾﺪ/albarīd/ (pos) secara umum pada masa lalu adalah binatang yang digunakan untuk mengangkut surat-surat, kemudian saat ini secara umum ia adalah system atau sarana yang digunakan untuk mengatur kegiatan tersebut. 11)
Pebedaan Tingkatan dan Golongan Perbedaan
manusia
dalam
tingkatan
dan
golongan
banyak
memunculkan perbedaan dalam memberikan makna kata dan keluar dari maknanya yang awal. Hal ini dapat dijumpai
ditengah-tengah kelompok
pengguna bahasa tertentu yang berbeda di dalam suku, etnik, kejiwaan, dan
24
perbedaan keadaan sosial, politik, budaya, pendidikan, arah pemikiran, perasaan, tingkatan-tingkatan pekerjaan serta jabatan. Masing-masing tingkatan atau kelompok memerlukan ungkapan-ungkapan yang halus dan cepat sehingga lahir istilah-istilah khusus sesuai dengan tujuan urusan mereka masing-masing yang sering mereka sebutkan dalam kehidupan mereka. Dalam perubahan itu, makna yang muncul sebagai akibat dari pergeseran dan perubahan makna masih mempunyai kaitan dengan makna dasar sebelumnya. Asosiasi menjadi salah satu dasar utama hubungan antara makna yang lama dan makna yang telah bergeser dan berubah. (Parera, 2004: 119) Dengan demikian di dalam perubahan makna terdapat ṣilah (penghubung) antara makna baru dengan makna lama. Asosiasi sebagai fenomena perkembangan bahasa telah melahirkan teori medan asosiasi.
Teori medan asosiasi sebagai hipotesis kerja, membedakan
pergeseran dan perubahan makna pada dua kategori, yaitu pergeseran dan perubahan makna berdasarkan asosiasi antara penangkapan panca indera, dan pergeseran dan perubahan makna berdasarkan asosiasi nama-nama. Kemudian masing-masing kategori pergeseran dan perubahan makna dibedakan lagi atas dua asosiasi, yakni asosiasi berdasarkan kemiripan dan asosiasi berdasarkan hubungan. Jadi ada empat kategori. (Parera, 2004: 119)
1.5.3 Medan dan Relasi Makna Makna satuan bahasa sering memiliki relasi dengan satuan bahasa yang lain. Dalam sebuah wacana, relasi makna ini mejadi suatu hal yang sangat penting
25
dalam memberikan interpretasi terhadap makna wacananya, karena makna wacana tidak sekedar makna leksikal. Dengan demikian beberapa unsur bahasa menjadi satu kesatuan membentuk makna dalam sebuah wacana. Begitu juga dengan wacana tafsir hubungan antaragama sebagaimana yang akan diteliti dalam penelitian ini, makna tidak hanya lahir dari unsur-unsur bahasa secara berdiri sendiri, tapi secara keseluruhan. Hubungan kata dengan kata lahir makna kalimat dan kalimat dengan kalimat lahir makna wacana. Wujud relasi makna unsur-unsur bahasa itu bermacam-macam. Abdul Chaer (2007: 297-305) menyebutkan beberapa wujud relasi makna, yaitu sinonimi, antonimi, polisemi, homonimi, dan hiponimi. Adapun Mansoer Pateda (2001: 240) dengan mengutip pendapatnya Nida menyatakan bahwa ada empat prinsip untuk menyatakan hubungan makna, yaitu
(1) prinsip tercakup
(inclusion), (2) prinsip tumpang tindih (overlapping), (3) prinsip komplementasi (complementation) dan (4) prinsip persinggungan (contiguity). Untuk menguji asumsi mengenai wujud relasi makna ini dapat memanfaatkan analisis komponen makna. Menurut Parera (2004: 162) bahwa dengan analisis komponen atau komposisi makna kata, kita dapat meramalkan hubungan antar makna. Sebagai contoh dua kata mempunyai kesinoniman jika dua kata itu memiliki komponen atau komposisi semantik yang identik dan dua kata berantonim jika dua kata itu memiliki satu pertentangan dalam komposisi. Komponen makna adalah the total meaning of a word being seen in term of a number of distinct elements or components of meaning (Palmer, 1976: 85). Dimana makna yang dimiliki oleh setiap unsur bahasa itu terdiri dari sejumlah
26
komponen yang membentuk keseluruhan makna kata atau unsur bahasa itu. Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutiri, atau disebutkan satu persatu berdasarkan pengertian-pengertian yang dimilikinya (Chaer, 2007: 318). Namun demikian sebelum menganalisis wujud relasinya tentu harus dipastikan terlebih dulu apakah unsur-unsur bahasa itu memang benar-benar memiliki relasi antara yang satu dengan lainnya. Untuk mengetahui hal ini, maka analisis medan makna dapat dimanfaatkan.
1.5.3.1 Medan Makna Setiap bahasa sebagai sistem memiliki tingkat keterhubungan medan makna. Kaitannya dengan ini Nida (1974: 174) pernah menyatakan, “A semantic domain consists essentially of a group of meanings (by no means restricted to those reflected in single word) which share certain semantic components. Makna yang berkembang secara diakronis sebagaimana diuraikan diatas merujuk pada kemungkinan semakin variatifnya kata-kata atau leksem-leksem dalam suatu bahasa itu dikelompok-kelompokkan berdasarkan ciri-ciri semantik yang dimiliki oleh kata-kata itu. Dari sini nampak penting mengetahui perkembangan makna kata-kata tertentu sebelum mengelompokannya untuk kemudian ditentukan ada atau tidaknya relasi maknanya. Kata-kata yang berada dalam satu kelompok lazim dinamai kata-kata yang berada dalam satu medan makna (semantic domain, semantic field) atau satu medan
leksikal.
Kata-kata
itu
maknanya
saling
berhubungan
karena
27
menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu (Chaer, 2007: 315-316). Kata-kata atau leksem-leksem yang mengelompok dalam satu medan makna, berdasarkan sifat hubungan semantisnya dapat dibedakan atas kelompok medan kolokasi dan medan set. Kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmatik yang terdapat antara kata-kata atau unsur-unsur leksikal itu. Sebagai contoh, katakata cabe, bawang, terasi, garam, merica, dan lada berada dalam satu kolokasi, yaitu yang berkenaan dengan bumbu dapur (Chaer, 2007: 317). Kalau kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmatik, kerena sifatnya yang linier, maka kelompok set menunjuk pada hubungan paradigmatik, karena kata-kata yang berada dalam satu kelompok set itu saling bisa disubtitusikan. Sekelompok kata yang merupakan satu set biasanya mempunyai kelas yang sama, dan tampaknya juga merupakan satu kesatuan. Setiap kata dalam set dibatasi oleh tempatnya dalam hubungan dengan anggota-anggota lain dalam set itu. Umpamanya kata remaja merupakan tahap perkembangan dari kanak-kanak menjadi dewasa. Sedangkan kata sejuk merupakan suhu di antara dingin dan hangat. Maka kalau kata-kata yang satu set dengan remaja dan sejuk dibagankan adalah “manula/lansia – dewasa – remaja – kanak-kanak – bayi”, dan “terik – panas – hangat – sejuk – dingin” (Chaer, 2007: 317-318). Pengelompkan kata atas medan makna ini hanya bertumpu pada makna dasar, makna denotatif, atau makna pusatnya saja (Chaer, 2007: 318).
28
1.5.3.2 Relasi Makna Setelah dipastikan bahwa beberapa unsur bahasa itu berada dalam satu medan makna, maka dapat dipastikan bahwa antar unsur bahasa itu memiliki relasi makna. Dari sini analisis linguistik terhadap bentuk relasi makna dapat dilanjutkan. Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa disini dapat berupa kata, frase, maupun kalimat. Menurut Nida (1975: 15-19), makna unit-unit semantik yang berbeda dapat dihubungkan satu dengan yang lain dengan empat cara utama; yaitu (1) inclusion (ketercakupan), contohnya makna ‘dog (anjing)’ termasuk di dalam makna ‘animal (hewan)’. (2) Overlapping (saling meliputi), contohnya kata ‘ill/ sick (sakit)’, kata-kata yang berpasangan ini biasanya disebut synonyms. (3) Complementation (pelengkap), relasi ini secara umum memiliki tiga tipe, yaitu opposites (kontras), misalnya kata ‘go/come (pergi/kembali)’, reversives
(berkebalikan),
misalnya
kata
‘aliniate/reconcile
(memisahkan/menyatukan)’ serta conversives (bertentangan), misalnya kata ‘buy/sell (membeli/menjual)’ . (4) Contiguity (kontak), contohnya kata ‘walk (berjalan), run (berlari), hop (menjingkat), skip (meloncat), dan crawl (merayap)’. Selanjutnya Chaer (2007: 297), menurutnya relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan makna, pertentangan makna, ketercakupan makna, kegandaan makna, atau juga kelebihan makna. Tambahnya bahwa, dalam pembicaran tentang relasi makna ini biasanya dibicarakan masalah-masalah yang disebut sinonim, antonim, polisemi, homonimi, hiponimi, ambiguiti, dan
29
redundansi. Begitu juga Pateda (2001: 206-226), berkaiatan dengan relasi makna ini ia juga menguraikan masalah antonimi, hiponimi, homonimi, polisemi dan sinonimi dalam pembahasannya ‘Sekitar Makna’. Sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 2007: 297). Relasi sinonimi ini bersifat dua arah. Maksudnya, kalau satu satuan ujaran A bersinonim dengan satuan ujaran B, maka satuan ujaran B itu bersinonim dengan satuan ujaran A. Antonim atau antonimi adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain (Chaer, 2007: 299). Selanjutnya sebuah kata atau satuan ujaran disebut polisemi kalau kata itu mempunyai makna lebih dari satu (Chaer, 2007: 301). Kemudian homonimi adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama tetapi maknanya berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan (Chaer, 2007: 302). Adapun hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain (Chaer, 2007: 305). Kalau disebut hiponimnya, maka sudah dapat dibayangkan nama kelompoknya (superordinatnya). Begitu juga bila disebut nama kelompoknya, maka sudah termasuk di dalamnya hiponimnya (Pateda, 2001: 210). Adapun Ahmad Muhtār ‘Umar (1982: 54-138) dalam bukunya ‘Ilmu adDilālah, ia membagi kalam menjadi tiga bagian, yaitu (1) al-Mutabāyin, yakni satu kata mengandung satu makna saja, (2) al-musytarak al-lafẓi, yakni satu kata
30
mengandung banyak makna, dan (3) al-mutarādif, yakni kata yang banyak akan tetapi mengandung satu makna yang sama. Selanjutnya ia juga menguraikan pandangannya tentang sinonimi, hiponimi, meronimi dan antonimi. Menurutnya, hubungan sinonimi (‘alāqat at-tarāduf) adalah dua kata atau lebih mengandung unsur konseptual yang mirip atau semakna, seperti kata “ أب/abun/” dan “واﻟﺪ /wālidun/”.
Hubungan hiponimi (‘alāqat al-isytimāl) adalah hubungan yang
melibatkan sejumlah makna yang terkandung dalam sebuah kata yang setiap anggotanya memilkiki kemiripan acuan, misalnya kata “ إﻧﺴﺎن/insānun”/ dan katakata yang menjadi cakupannya “ أﺣﻤﺪ/Ahmad, ﻋﻤﺮ/‘Umar/, ﺧﺎﻟﺪ/Khālid/ dan sebagainya”. Hubungan bagian dengan keseluruhan (‘alāqat al-juz bi al-kull) atau meronimi adalah seperti hubungan kata “ اﻟﯿﺪ/al-yadu/” dengan “ اﻟﺠﺴﻢ/al-jismu/” atau “ اﻟ َﻌ َﺠﻠَﺔ/al-‘ajalatu/” dengan “ اﻟﺴﯿﺎرة/as-sayāratu/”. Perbedaan antara meronim dan hiponimi adalah bahwa “ اﻟﯿﺪ/al-yadu/ (tangan)” bukan termasuk jenis “ اﻟﺠﺴﻢ/al-jismu/ (badan)”, melainkan bagian darinya. Sedang “ ﺧﺎﻟﺪ/Khālid/ (Khalid)” adalah jenis “ إﻧﺴﺎن/insān/ (manusia)” dan bukan bagian darinya. Adapun
hubungan pertentangan adalah hubungan kata yang memiliki relasi
pertentangan, misalnya kata “ ﺣﻲ/ḫayyun/” dengan kata “ ﻣﯿﺖ/mayyitun/”. Demikian bebarapa pandangan para ahli mengenai relasi makna. Namun demikian ada bebarapa hal yang perlu mendapat penekanan disini berkaitan dengan analisis komponen makna sebagai sarana untuk memetakan relasi makna. Berkaitan dengan sinonimi, bahwa acuan kesinoniman adalah kata-kata yang memiliki kesamaan semantik yang lebih menonjol daripada perbedaannya (Cruse, 2004: 156). Jadi dalam relasi sinonimi ini satu kata dengan yang lainnya tidak
31
harus dapat disubtitusi dalam semua konteks, tapi sudah cukup dalam beberapa konteks dengan tanpa ada perubahan yang signifikan mengenai isi konseptual tuturannya (Nida, 1975: 17). Selanjutnya berkaitan dengan relasi hiponimi bahwa ia adalah hubungan makna yang mengandung pengertian hirarki (Djadjasudarma 1993: 48). Yakni sebuah kata mengandung semua komponen makna kata lainnya.
1.5.4 Implikasi Relasi Makna terhadap Metode Penafsiran Al-Qur’an Ada dua metode untuk mengkaitkan antara relasi makna dīn, millah dan syarī‘ah dengan penafsiran al-Qur’an tentang hubungan antaragama dalam penelitian ini. Pertama metode subtitusi. Bahwa hubungan overlapping (saling meliputi) antar unit-unit semantik mengindikasikan kebolehan dilakukan subtitusi antar unit-unit semantik tersebut dengan tanpa ada perubahan makna (Palmer, 1976: 91-92). Dalam penerapannya metode ini tidak menghadap-hadapkan unitunit semantik tersebut secara diametral. Dengan demikian penafsiran ini tidak menghadapi problem ta‘āruḍ al-adillah (pertentangan antar dalil). Kedua, metode inklusi (ketercakupan). Metode ini diaplikasikan dalam beberapa bentuk, a)
Penyebutan
superordinatnya
maka
pengertiannya
mencakup
seluruh
hiponimnya kecuali apabila penyebutannya diberi atribut tertentu, maka ia merujuk pada hiponim tertentu pula. Superordinat adalah kata yang berada pada tingkat atas dalam sistem hierarki relasi ketercakupan sedang hiponim adalah anggota-anggota yang berada pada tingkat bawahnya (Pateda, 2001: 209-210). Jadi penyebutan superordinat dengan atribut tertentu sama dengan
32
memilih hiponim yang sesuai dengan atribut yang disebut dan menghapus semua hiponim yang tidak sesuai. b) Penyebutan holonimnya (keseluruhan) maka sudah termasuk di dalamnya semua meronim atau partonim (bagian)nya. Hal ini bila semua bagian menjadi kepentingan dari keseluruhannya. Sebab kedudukan antar bagian terhadap keseluruhannya dalam relasi ini tidak harus sama. Beberapa bagian bisa jadi menjadi kepentingan dari keseluruhannya, sedangkan bagian yang lainnya bersifat opsional (Djajasudarma, 2012: 90). Apabila beberapa bagian tidak menjadi kepentingan dari keseluruhannya, maka beberapa bagian (meronim)nya bisa dikeluarkan darinya dengan cara memberikan atribut tertentu pada holonimnya. Pembatasan dengan atribut tertentu pada superordinat dan holonim ini dalam penafsiran al-Qur’an sama dengan menggunkan metode naskh-mansūkh (menghapus-dihapus). Penggunaan metode ini dalam penafsiran al-Qur’an dimaksudkan untuk memberikan jalan keluar dari problem ta‘āruḍ al-adillah (pertentangan antar dalil). Dengan ketentuan yang dihapus adalah naṣ yang terdahu oleh naṣ yang datang belakangan.
1.5.5. Paradigma Tafsir Hubungan Antaragama Menurut Cobb sebagaimana yang dikutip oleh Alwi Shihab dalam bukunya Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (1999: 84) menyebutkan bahwa hampir semua agama terdapat tiga pandangan teologis dalam berinteraksi dengan golongan lain.
Tiga pandangan teologis itu adalah
33
eksklusivis, inklusivis, dan pluralis. Eksklusivis berpandangan bahwa keselamatan atau kebahagiaan abadi hanya dapat dicapai melalui agama tertentu, kemudian inklusivis berpandangan bahwa keselamatan suatu agama akan diberikan kepada umat yang lain, sedangkan pluralis beranggapan bahwa keselamatan dapat dicapai melalui aneka jalan. Tiga pandangan teologis ini mainstream-nya adalah teologi eksklusif, dan teologi inklusif. Adapun teologi pluralis merupakan perkembangan lebih lanjut dari teologi inklusif. Hal ini dapat dipahami dari apa yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid (1999: xix) dalam bukunya Tiga Agama Satu Tuhan, bahwa sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirnya ke arah yang semakin pluralis. Dari sini untuk tujuan penelitian ini penulis akan menggunakan dua paradigma tafsir yang bersifat kontra produktif
tersebut, yaitu tafsir eksklusif dan tafsir inklusif. Hal ini
mengingat paradigma pluralis berada pada posisi yang selaras dengan paradigma inklusif.
1.5.6 Dialektika Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam Pertemuan umat Islam dengan agama lain telah terjadi sejak masa kelahiran Islam (Shihab, 1999: 92). Dari sini wajar bila al-Qur’an sebagai Kitab petunjuk banyak berbicara mengenai pola hubungan antar pemeluk umat beragama. Diantaranya adalah Surat al-Baqarah [2]: 256
34
(6a)
(6a) /Lā ikrāha fī ad-dīni, qad tabayyana ar-rusydu min al-gayyi, fa man yakfur bi aṭ-tagūti wa yu’min bi Allāhi faqad istamsaka bi al-‘urwati alwuṡqa lā infiṣāma lahā, wa Allāhu samī‘un ‘alīmun/ ‘Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus, dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.’ Ayat ini sering ditafsirkan sebagai ayat toleransi Islam. Setiap orang diakui hak-haknya untuk menentukan agamanya. Tidak ada paksaan terhadap seseorang untuk masuk agama Islam. Islam juga menghormati setiap orang untuk menjalankan agamanya masing-masing. Dalam Surat Al-Kāfirūn [109]: 1-6 disebutkan,
. . (7a) . . . .
(7a)
/Qul yā ayyuhā al-kāfirūn. Lā a‘budu mā ta‘budūn. Wa lā antum ‘abidūna mā a‘budu. Wa lā ana ‘abidun mā ‘abadtum. Wa lā antum ‘abidūna mā a‘budu. Lakum dīnukum wa liya dīni./ ‘Katakanlah: "Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.’ Contoh toleransi dalam praktek sejarah di antaranya dapat dijumpai dalam
tulisan Ibnu Kaṡīr dalam kitab tafsirnya. Ketika menafsirkan surat Āli ‘Imrān [3]: 59-63 ia mengutib riwayat dari Ibnu Ishaq, bahwa ‘Nabi Muhammad didatangi
35
utusan orang-orang Nasrani dari Najran yang berjumlah 60 orang. Di antara mereka terdapat 14 orang pemuka mereka yang menjadi tumpuan segala urusan mereka. Mereka tiba di Madinah dan menemui Nabi Muhammad di Masjid Nabawi. Ketika itu Nabi Muhammad sedang shalat ‘aṣar dan saat itu juga, telah masuk waktu shalat mereka, maka mereka pun berdiri shalat di Masjid Nabawi dan mereka mengerjakan shalat dengan menghadap ke timur. Lalu Nabi Muhammad bersabda kepada para sahabatnya, ‘‘Biarkan mereka” (Kaṡīr, 1999: 1/454). Dalam ayat lain juga dinyatakan bahwa umat Islam dianjurkan untuk membuat kedamaian selama tidak diperangi karena agama atau diusir dari negeri. Tersebut dalam surat Al-Mumtaḥanah [60]: 7-9 sebagai berikut,
(8)
. .
.
(8) /‘Asā Allāhu an yaj‘ala bainakum wa baina al-lażīna ‘ādaitum minhum mawaddatan, wa Allāhu qadīrun, wa Allāhu gafūrun raḥīm. Lā yanhākumu Allāhu 'āni al-lażīna lam yuqātilūkum fī ad-dīni wa lam yukhrijūkum min diyārikum an tabarrūhum wa tuqsiṭū ilaihim, inna Allāha yuḥibbu al-muqsiṭīna. Innamā yanhākumu Allāhu 'āni al-lażīna qātalūkum fī ad-dīni wa akhrajūkum min diyārikum wa ẓāharū ‘alā ikhrājikum an tawallauhum , wa man yatawallahum fa ūlāika humu aẓ-ẓālimūna./ ‘Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka, dan Allah adalah Maha Kuasa, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
36
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu, dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Dalam perspektif ini peperangan dalam Islam boleh dilakukan karena orang Islam diperangi terlebih dulu atau di ganggu (Qardhawi, 2010: 178). Jadi perang dimaksudkan untuk membela dan meninggikan kalimat Allah. Namun demikian, dalam perspektif lain Islam juga tidak jarang ditafsirkan sebagai agama pedang. Secara normatif penafsiran yang demikian ini di antaranya didasarkan pada surat at-Taubah [9]: 5,
(9)
(9) /Fa iżā insalakha al-asyhuru al-ḥurumu faqtulū al-musyrikīna ḥaiṡu wajadtumūhum wakhużūhum waṣurūhum waq‘udū lahum kulla marṣadin, fa in tābū wa aqāmū aṣ-ṣalāta wa ātawū az-zakāta fakhallū sabīlahum, inna Allāha gafūrur raḥīmun/ ‘Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian, jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang. Di sini, peperangan dalam Islam itu tidak hanya bersifat ad-difā’ī/defensif tapi juga aṭ-ṭalabi/offensif. Alasan disyari’atkannya perang adalah karena kekafiran
(http://thoriquna.wordpress.com/dasar-hubungan-umat-islam-dengan-
orang-orang-kafir/jihad-melawan-orang-orang-kafir-yang-tidak-memerang/. Diak-
37
ses tanggal 23 Nopember 2011). Jadi kobolehan orang Islam menyerang orang kafir adalah karena kekafiran mereka. Demikian dua kecenderungan penafsiran mengenai pola hubungan antaragama yang kontraproduktif. Satu bersifat inklusif atau membuka diri untuk menerima perbedaan sedang yang lain mengarah kepada sikap eksklusif atau menutup diri untuk menerima perbedaan. Namun demikian secara metodologis penafsiran yang demikian ini masih terbuka peluang untuk dikaji ulang, bahkan pada bentuk tafsir bi ar-riwāyah (periwayatan) sekalipun. Menurut Amin alKhūli (1961: 302) persoalan metodologi tafsir, -- yang nota bene-nya adalah seperangkat konsep dan teori, proses dan prosedur untuk mengembangkan tafsir— merupakan ilmu yang belum matang (gayr an-naḍj), sehingga selalu terbuka untuk diperbaharui dan dikembangkan. Sebelum diuraikan mengenai dialektika pemikiran antara inklusivisme dan eksklusivisme Islam berikut akan dijelaskan lebih dulu mengenai pengertian inklusivisme dan eksklusivisme Islam, dasar skriptual dan perkembangan wacananya.
1.5.6.1 Pengertian Inklusivisme dan Eksklusivisme dalam Agama Di dalam kamus kata inklusif dan eksklusif diartikan sebagai berikut. Pertama, dalam bahasa inggris, di antaranya terdapat dalam kamus ‘Oxford Learner’s Pocket Dictionary’. Dalam kamus ini dijelaskan arti inclusive (adj.) adalah including everything (Bull, 2011: 224) adapun exclusive (adj.) artinya 1. only to be used by or given to one particular person or group 2. (of a group) admitting only carefully chosen people 3. of a high quality and expensive and therefore not used by many people.
38
Exlusive sebagai noun adalah report published by only one newspaper, sedang exclusively (edverb) artinya only (Bull, 2011: 153). Kedua dalam bahasa Indonesia. Setelah masuk ke dalam perbendaharaan kata Indonesia inclusive berubah menjadi inklusif dan exclusive menjadi eksklusif. Menurut ‘Kamus Bahasa Indonesia’, Inklusif (adverbia) artinya; termasuk; terhitung, contoh: kendaraan itu bermuatan 40 orang termasuk pengemudi, kondektur, dan kenek (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008: 589) adapun eksklusif /éksklusif/ (adjektiva) artinya; 1 bersifat mengasingkan diri (tentang orang); 2 tidak bersedia menerima atau mengizinkan masuknya anggota baru (tentang kelompok atau perkumpulan); 3 tidak termasuk. Eksklusif /éksklusif/ (adjektiva) artinya; terpisah; khusus. Keeksklusifan (nomina) artinya; perihal eksklusif. Pengeksklusifan (nomina) artinya; proses, cara, perbuatan mengeksklusifkan. Adapun eksklusivisme /éksklusivisme/ (nomina) suatu paham tentang kecerderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008: 379). Dari uraian di atas dapat disimpulakan bahwa inklusif secara bahasa adalah terbuka sebaliknya eksklusif adalah tertutup. Namun bila dinisbatkan pada agama apakah yang dimaksud dengan inklusivisme dan eksklusivisme itu? Teologi inklusivis – papar Alwi Shihab – terutama dikaitkan dengan pandangan Karl Rehner, seorang teolog Katolik berpengaruh abad ini, yang intinya menolak asumsi bahwa Tuhan mengutuk mereka yang tidak berkesempatan meyakini Injil. Mereka yang mendapatkan anugerah cahaya Ilahi walaupun tidak melalui Yesus, tetap akan mendapatkan keselamatan (Shihab, 1999: 84). Senada dengan ini Nurcholis Madjid, ia memaknai inklusivisme Islam dalam dua hal. Pertama, pandangan terhadap agama-agama lain sebagai bentuk implisit dari agama tertentu. Kedua, sikap terbuka dan toleran terhadap penganut agama non-Islam (Madjid, 1992: 234).
39
Adapun teologi eksklusif - masih dari paparan Alwi Shihab – dalam dunia Kristen, eksklusivis berarti kebahagiaan abadi hanya dapat dicapai melalui Yesus, dan hanya mereka yang percaya pada-Nya yang selamat (Shihab, 1999: 84). Senada dengan ini Nurcholish Madjid menyatakan sikap eksklusif dalam melihat agama lain adalah melihat agama-agama lain sebagai jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya (Madjid, 1999: xix). Jadi inklusivisme dalam agama adalah pandangan bahwa keselamatan suatu agama akan diberikan kepada umat yang lain, sedangkan eksklusivisme adalah pandangan bahwa keselamatan atau kebahagiaan abadi hanya dapat dicapai melalui agama tertentu (Shihab, 1999: 84-85).
1.5.6.2 Dasar Skriptual Pandangan Inklusif dan Eksklusif dalam Islam Baik pandangan inklusif ataupun eksklusif dalam Islam memiliki dasar skriptual yang cukup memadai. Berikut akan diuraikan dasar-dasar skriptual pandangan inklusif dan eksklusif dalam Islam. 1)
Dasar Skriptual Pandangan Inklusif
Mengutip tulisan Alwi Shihab (1999: 84-85), bahwa dasar-dasar skriptual pandangan inklusif adalah
(10a)
(10a) /Inna al-lażīna āmanū wa al- lażīna hādū wa al-naṣārā wa aṣṣābiʼīna man āmana billāhi wa al-yaumi al-ākhiri wa ‘amila ṣālihan
40
fa lahum ajruhum ‘inda rabbihim wa lā khaufun ‘alaihim wa lā hum yaḥzanūn/ ‘Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orangorang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.’ (QS al-Baqarah [2]: 62) Selanjutnya dikuatkan dengan ayat yang mirip redaksinya dengan ayat di atas, yaitu
(11a)
(11a) /Inna al-lażīna āmanū wa al- lażīna hādū wa aṣ-ṣābiʼūna wa alnaṣārā man āmana billāhi wa al-yaumi al-ākhiri wa ‘amila ṣālihan fa lā khaufun ‘alaihim wa lā hum yaḥzanūn/ ‘Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benarbenar beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.’ (QS al-Maidah [5]: 69) Sementara yang lebih mengarah pada pandangan pluralis mendasarkan penafsirannya pada dasar skriptual berikut
(12a)
(12a) /Wa anzalnā ilaika al-kitāba bi al-haqqi muṣaddiqan limā baina yadaihi min al-kitābi wa muhaiminan ‘alaihi, faḥkum bainahum bimā
41
anzalallāhu, wa lā tattabi’ ahwā’ahum ‘ammā jā’aka min al-ḥaqqi, li kullin ja‘alnā minkum syir‘atan wa minhājān, wa lau syāʼallāhu laja’alakum ummatan wāḥidatan wa lakin liyabluwakum fī mā ātākum, fastabiqū al-khairāt, ilāllāhi marji’ukum jamī’an fayunabbi’ukum bi mā kuntum fīhi takhtalifūn/ ‘Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan syari’at dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu’ (QS al-Maidah [5]: 48) 2)
Dasar Skriptual Pandangan Eksklusif
Masih menurut Alwi Shihab (1999: 84-85), dasar-dasar skriptual pandangan eksklusif adalah ayat
(13a)
(13a) /Inna ad-dīna ‘indallāhi al-islām, wa makhtalafa al-lażīna ūtū alkitāba illā min ba‘di mā jāʼahum al-‘ilmu bagyān bainahum, wa man yakfur biʼayātillāhi fa innallāha sarī‘u al-ḥisāb/. ‘Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.’ (QS Ali Imran [3]: 19) dan dikuatkan dengan ayat
42
(14a) (14a) /Wa man yabtagi gaira al-islāmi dīnān falan yuqbala minhu wa huwa fī al-ākhirati min al-khāsirīn/ ‘Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.’ (QS Ali Imran [3]: 85) 1.5.6.3 Perkembangan Wacana Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam Islam sebagai agama yang dilahirkan untuk membawa rahmat bagi seluruh alam (QS al-Ambiya’ [21]: 107) melahirkan asumsi bahwa Islam adalah pilar perdamaian, bersifat universal dan inklusif. Namun disisi lain keterlibatan Islam dalam berbagai konflik sosial juga telah mengasumsikan bahwa sebagai institusi iman-idiologis, Islam juga bersifat partikular dan eksklusif sebagaimana tercermin dalam konsep jihād. Dalam literatur tafsir pandangan inklusif dapat dijumpai dalam beberapa tafsir, di antaranya tafsir al-Manār karya Syaikh Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha, tafsir al-Mīzān
karya at-Thabathabai, dan tafsir al-Mubīn karya
Muhammad Jawad Mughniyah. Menurut mereka, QS al-Baqarah [2]: 62 dan QS al-Maidah [5]: 69 telah menjanjikan keselamatan penganut agama Kristen, Yahudi, dan Shabiin, yang percaya kepada keesaan Tuhan, pengadilan hari kemudian, dan menghiasi diri dengan amal kebajikan. Adapun pandangan eksklusivis dapat dengan mudah dijumpai dalam beberapa tafsir klasik Islam hingga sampai kepada penafsir modern, seperti Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fī Ẓilāli al-Qur’an, Wahbah al-Zuhaily dalam tafsirnya At-Tafsīr al-Munīr, Said Hawwa dalam tafsirnya Al-Asas fi at-Tafsīr, Mutawalli al-Sya‘rawi dalam Tafsīr
43
asy-Sya‘rawi, dan penafsir Syiah Muhammad al-Balaghi dalam ‘Ala ar-Rahmān fi Tafsīr al-Qur’an. Seiring dengan perkembangan dunia yang sangat cepat dan globalisasi yang telah menjadikan dunia menjadi satu, menjadi dunia yang polisentris, multi kultural dan multi-religius, wacana inklusivisme Islam juga semakin menguat. Harapannya adalah agar Islam ikut memberi andil bagi upaya-upaya perdamaian dunia global yang multi-religius ini. Sebagaimana disadari banyak pihak bahwa peran agama memang sangat penting bagi upaya-upaya perdamaian dunia. Hans Kung (1999: xvii) menyebutnya bahwa, ‘Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antaragama’. Terus bergulirnya wacana inklusivisme Islam ini dapat dilihat dari pernyataan para pakar, di antaranya Ismail Raji al-Faruqi, ia menjelaskan bahwa asal semua agama adalah satu, karena bersumber pada yang satu, Tuhan. Agama yang menjadi asal semua agama ini disebutnya Ur-Religion atau “agama fitrah” (din al-fithrah) yang bersifat meta-religion, sebagaimana firman Allah
(15)
(15) /Fa ʼaqim wajhaka li ad-dīni ḥanīfan, fiṭratallāhi al-latī faṭara annāsa ‘alaihā, lā tabdīla li khalqillāhi, żālika ad-dīnu al-qayyimu wa lākinna akṡara an-nāsi lā ya‘lamūn/ “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum [30]: 30).
44
Islam mengidentikkan dirinya dengan “agama fitrah” ini. Tetapi kemudian, sejalan dengan tingkat perkembangan sejarah, peradaban dan lokasi umat yang menerimanya, “agama fitrah” atau Ur-Religion tersebut berkembang menjadi agama historis atau tradisi agama yang spesifik dan beraneka (plural) (Faruqi-al, 1982: 102-105). Di Indonesia, wacana inklusivisme Islam ini juga terus berkembang, di antaranya melalui Nurcholish Madjid. Dalam bukunya “Tiga Agama Satu Tuhan”, Nurcholish Madjid (1999: xix) menulis, “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirnya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antaragama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah “Satu Tuhan Banyak Jalan”. Dengan kata lain pluralis memandang bahwa segenap agama-agama besar mengajak penganutnya ke pantai keselamatan. Jadi banyak jalan menuju keselamatan (Shihab, 1999: 84-85). Kemudian
Alwi
Shihab
(1999:
108-109)
menyebutkan
bahwa
eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat al-Qur’an. Sebab alQur’an tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya. Prinsip
45
ini digariskan oleh dua ayat al-Qur’an, sebuah eksposisi yang jarang sekali terjadi sebuah ayat al-Qur’an tampil dua kali dan hampir mirip kata per kata, yang menyatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, Yahudi, Nasrani dan kaum Shabi’in, mereka yang percaya pada Allah dan hari akhir dan berbuat kebaikan, akan menerima pahala dari Tuhan mereka, mereka tidak akan merugi, dan tidak akan berduka cita” (QS. Al-Baqarah [2]: 62 dan al-Māidah [5]: 69) Apa yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid di atas , bahwa “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirnya ke arah yang semakin pluralis”, menunjukkan bahwa pandangan teologi inklusif ini berkembang kearah pluralis. Dari sini terlihat kajian tentang pluralisme agama ini menjadi semakin berkembang. Di Indonesia yang merupakan negara yang pluralitas keagamaannya cukup tinggi nampak sangat merespon terhadap pandangan teologi ini. Bermunculanlah akhirnya para pengkaji yang apresiatif terhadap pandangan teologi ini, diataranya adalah Ulil Abshar Abdalla. Ia menyatakan bahwa semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar (Majalah GATRA, 21 Desember 2002). Kemudian Budhy Munawar Rahman (2002: 51-53) dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia (terbitan JIL), ia menulis satu artikel berjudul “Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama”. Dalam pandangannya teologi pluralis memberikan legitimasi kepada kebenaran semua agama, bahwa pemeluk agama apa pun layak disebut sebagai orang yang beriman, dengan makna orang yang percaya dan menaruh percaya kepada Tuhan. Karena itu sesuai QS alHujurat [49]: 10-12, mereka semua adalah bersaudara dalam iman. Siapapun
46
yang beriman - tanpa harus melihat agamanya apa – adalah sama dihadapan Allah. Karena, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu. Seiring dengan semakin mengemukanya pandangan teologi inklusif yang berkembang kearah pluralisme ini, muncul pula upaya-upaya pertahanan terhadap pandangan teologi eksklusif yang dianggap sebagai upaya untuk menjaga kemurnian aqidah Islam dari pencemaran teologi inklusif maupun pluralis. Reprentasi dari pertahanan dari
eksklusivisme Islam ini di Indonesia adalah
keluarnya fatwa majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang pengharaman sekularisme, liberalism dan pluralisme pada 28 Juli 2005. Beranjak dari pengertian bahwa; “Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.” Maka MUI menilai bahwa paham yang demikian ini adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Oleh karena itu umat Islam haram mengikuti paham ini. Selanjutnya MUI menfatwakan bahwa dalam masalah akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan akidah dan ibadah umat Islam dengan akidah dan ibadah pemeluk agama lain. Adapun bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan akidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif,
47
dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan (Majelis Ulama Indonesia, 2011: 91-92).
1.5.6.4 Dialektika Pemikiran Pemikiran mengenai inklusivisme dan eksklusivisme Islam terus saja berkembang. Hal ini tidak lepas dari urgensi tema ini dalam konteks kehidupan masyarakat global yang plural dewasa ini dan keterpautannya dengan persoalan yang sangat fondamental dalam Islam yaitu masalah teologi. Secara ekstrem persoalan ini menyangkut persoalan iman dan kufur. Dari sini tidak jarang dalam diskusinya muncul klaim kesesatan pada salah satu paham dari dua paham ini. Dalam dialektika pemikirannya, inklusivisme dan eksklusivisme Islam sesungguhnya menyoal pada masalah pluralitas atau keberbedaan. Poros ekstrim masing-masing adalah penolakan dan penerimaan terhadap pluralitas. Namun dalam perkembangannya diskusi lebih banyak membincangkan persoalan bagaimana menyikapi perbedaan atau pluralitas itu. Di antaranya adalah eksistensi klaim kebenaran, dan misi agama-agama ditengah-tengah masyarakat yang plural. 1)
Kebenaran Agama-agama
Persoalan mendasar mengenai kebenaran agama-agama adalah apakah kebenaran itu hanya milik Islam saja atau juga milik agama-agama lain selain Islam? Dalam pandangan Islam inklusif klaim kebenaran dapat mengantarkan pada sikap tidak toleran. Jika setiap agama hanya menganggap agama sendiri yang benar, maka sikap itu akan merupakan potensi untuk konflik, karena saling menklaim kebenaran yang hanya satu itu. Dari sini tampak terlihat terhadap klaim
48
kebenaran kaum inklusivis berusaha menjahui. Kebenaran agama tidak bisa diklaim hanya milik salah satu agama saja. Budhy
Munawar-Rahman
(2010:
LIII)
misalnya,
mendefinisikan
kebenaran, termasuk kebenaran agama sebagai persepsi manusia yang sifatnya tunggal dimensi dalam menangkap “Yang Nyata” (The Real). “The Real” itu bisa diumpamakan sebagai seekor gajah. Sedangkan manusia adalah seperti orang buta yang mencari bentuk gajah, sehingga gambaran mengenai gajah bagi setiap orang buta adalah yang dirasakan secara individu. Ada yang mengatakan bahwa gajah itu seperti tali karena memegang ekornya, seperti tembok karena memegang tubuhnya yang keras, atau seperti sebatang pohon, karena memegang kakinya. Dari gambaran ini dapat dipahami bahwa kebenaran itu banyak dan berbeda-beda. Jika kebenaran itu hanya satu dan mutlak menurut persepsi manusia yang berbeda posisinya, maka yang diperoleh adalah kebenaran parsial atau kebenaran sepotong-potong yang terfragmentasi. Pengakuan
terhadap
banyak
kebenaran
inilah
di
antara
yang
menggelisahkan kaum eksklusivis. Pluralitas kebenaran akan menjatuhkan pada relativisme, pemahaman bahwa semua agama itu sama, yaitu sama-sama benar. dan karena sama-sama benar orang akan mudah terjatuh pada penyatuan agamaagama atau sinkritisme. Hal ini sejatinya membawa pada jenis keyakinan baru atau agama baru dengan teologi baru, yaitu “teologi semua agama” (Husaini, 2005: 352-353).
49
Dalam pandangan kaum eksklusivis al-Qur’an secara konkret mengecam keras kepercayaan-kepercayaan tertentu, di antaranya adalah kepercayaan kaum Kristen.
(16)
,
,
,
.
(16) /Laqad kafara al-lażīna qālū innallāha huwa al-Masīḥu ibnu Maryam, wa qāla al-masīḥu yābanī Isrā’īla u‘budūllāha rabbī wa rabbakum,innahū man yusyrik billāhi fa qad ḥarramallāhu ‘alaihi al-jannata wa ma’wāhu an-nār, wa mā li aẓ-ẓālimīna min anṣār. Laqad kafara al-lażīna qālū innallāha ṡāliṡu ṡalāṡatin wa mā min ilāhin illā ilāhun wāḥidun, wa in lam yantahū ‘ammā yaqūlūna layamassanna al-lażīna kafarū minhum ‘ażābun alīmun. Afalā yatūbūna ilāllāhi wa yastagfirūnahū, wallāhu gafūrun raḥīm, mā almasīḥū ibnu Maryama illā rasūlun qad khalat min qablihi ar-rusul wa ummuhu shiddīqah, kānā ya’kulāni aṭ-ṭa‘āma, unẓur kaifa nubayyinu lahumu al-ayāti ṡumma unżur annā yu’fakūna/ ‘Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al masih putera Maryam", Padahal Al masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", Padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa. jika
50
mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orangorang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya ?. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Al masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang Sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (Ahlul Kitab ) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu. (QS al-Maidah [5]: 72-75). Kecaman demikian ini disampaikan tiada lain menunjukkan akan kesalahan dan kesesatan keyakinan tersebut. Lantas bagaimana bisa semua agama dianggap benar? Dengan demikian jelas bahwa keyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya jalan keselamatan adalah bagian dari lurus dan benarnya aqidah seseorang. Ketetapan tentang agama Islam sebagai satusatunya agama yang benar adalah hal yang jelas dan gamblang. QS Ali Imran [3]: 19 dan 85 secara tegas menjelaskan hal itu. Ditetapkan pula pintu gerbang memasuki agama Islam adalah membaca Kalimah Syahadat: “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. (Husaini, 2005: 363) Terhadap anggapan bahwa sikap eksklusif dan klaim kebenaran mengarah pada disharmonisasi sosial, maka hal ini dalam pandangan eksklusivis tidak bisa dituduhkan pada Islam. Baik secara normatif maupun historis Islam sangat apresiatif terhadap pluralitas (bukan pluralisme) dan tidak ada paksaan dalam seruan terhadap Islam (QS. Al-Baqarah [2]: 256).
51
(6b) (1b) /Lā ikrāha fī ad-dīni/ “tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama.” Sebaliknya anggapan bahwa inklusivisme Islam mengantarkan pada relativisme dan sinkritisme dalam agama, sesungguhnya juga terdapat penolakan. Dimana penyamaan semua agama itu lebih merupakan kebijakan (policy) public. Dalam kebijakan itu, setiap pemeluk agama masih terus bisa mengaggap agamanyalah yang benar. Tapi sikap ini tidak perlu dinyatakan secara terbuka, karena arahnya ke dalam, kepada iman individual (M. Dawam Rahardjo dalam Rachman, 2010: LV). Alwi Sihab menegaskan bahwa konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Karena sebagai konsekuensi dari paham relativisme agama, doktrin agama apa pun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya “semua agama adalah sama,” karena kebenaran agama-agama, walaupun berbeda-beda dan bertentangan satu dengan lainnya, tetap harus diterima. Untuk itu seorang relativis tidak akan mengenal, apalagi menerima, suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pluralisme terdapat unsur relativisme, yakni unsur tidak mengklaim pemilikan tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran tersebut pada pihak lain. Paling tidak seorang pluralis akan menghindari sikap absolutisme yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain (Shihab, 1999: 42). Selanjutnya pluralisme agama juga bukan sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagaian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru
52
tersebut. Dengan demikian seorang pluralis, dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama, tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya. Tapi yang terpenting ia harus committed terhadap agama yang dianutnya. Pengertian pluralisme bersyarat ini menurut Alwi Shihab (1999: 43) terekam dalam anjuran Allah dalam al-Qur’an surat Saba’ [34]: 24-26)
(17) ,
. , (17) /Qul man yarzuqukum mina as-samāwāti wa al-arḍi, qulillāhu, wa innā au ʼiyyākum la‘alā hudan au fī ḍalālin mubīnin, qul lā tus’alūna ‘ammā ajramnā wa lā nus’alu ‘ammā ta‘malūna, qul yajma‘u bainanā rabbuna ṡumma yaftaḥ bainanā bi al-ḥaqqi wa huwa al-fattāḥu al‘alīmu/ “Katakanlah: "Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah", dan Sesungguhnya Kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang Kami perbuat dan Kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat". Katakanlah: “Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar, dan Dia-lah maha pemberi keputusan lagi maha mengetahui”. 2)
Dakwah dan Jihad
Apabila Islam tidak boleh diakui sebagai satu-satunya agama yang benar lantas kenapa ada seruan dakwah dan jihad dalam Islam.?
Inilah di antara
pertanyaan argumentatif eksklusivisme Islam. Ini adalah ekspresi dari ajaran monoteisme Islam yang direpresentasikan oleh syahadat tauhid. Monoteisme Islam
jelas mengarahkan pada penolakan terhadap kemusyrikan dan
mengarahkan pada penyatuan bagian-bagian yang terpisah. Penyatuan itu
53
mencakup pula agama-agama monoteistik sebelumnya, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an,
(18)
.
(18) /Qul yā ahla al-kitābi ta‘ālau ilā kalimatin sawāin bainanā wa bainakum allā na‘buda illāllāha wa lā nusyrika bihī syai’an wa lā yattakhiża ba‘ḍunā ba’ḍan arbābān min dūnillahi, fa in tawallau fa qūlū isyhadū bi annā muslimūna/ “Katakanlah: "Hai Ahlul Kitab , marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” (QS. Ali Imran [3]: 64). Secara eksklusif upaya-upaya penyatuan ke dalam satu kebenaran sebagaimana direkam dalam kisah nabi Sulaiman dan ratu Saba’ dalam al-Qur’an tampak dilakukan dengan cara paksaan dan menggunakan kekuatan.
, (19)
(19) /Innahu min sulaimāna wa innahu bismillāhi al-raḥmāni al-raḥīmi, allā ta‘lū ‘alayya wa’tūnī muslimīna/ “Sesungguhnya surat itu, dari Sulaiman dan sesungguhnya (isi)nya: "Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri” (QS an-Naml [27]: 30-31).
54
Dan ketika ratu Saba’ bermaksud untuk menawarkan perdamaian dengan nabi Sulaiman dengan cara mengirimkan hadiah padanya, maka nabi Sulaiman justru mengancam akan memerangi mereka
(20)
(20) /Irji’ ilaihim falana’tiyannahum bi junūdin lā qibala lahum bihā wa lanukhrijannahum minhā ażillatan wa hum ṣāgirūna/ “Kembalilah kepada mereka sungguh Kami akan mendatangi mereka dengan balatentara yang mereka tidak kuasa melawannya, dan pasti Kami akan mengusir mereka dari negeri itu (Saba) dengan terhina dan mereka menjadi (tawanan-tawanan) yang hina dina”(QS anNaml [27]: 37). Kemudian dalam paradigma jihad tampak juga nash-nash yang secara tekstual tampak mengarah pada upaya-upaya penyatuan dengan kekuatan. Di antara dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban berikut
ﻝﹶﺪ ﺑﻣﻦ " : ﻗﹶﺎﻝﹶﺳﻠﱠﻢ ﻭﻪﻋﻠﹶﻴ ُﺻﻠﱠﻰ ﺍﷲ ﺒﹺﻲﺎﺱﹺ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﻟﻨﺒﺑﻦﹺ ﻋ ﻋﻦﹺ ﻟﻚﺎﺑﻦﹺ ﻣ ﻧﺲﹺ ﺃﹶﻋﻦ (21) ."ﻩﺘﻠﹸﻮ ﻓﹶﺎﻗﹾﻪﻨﻳﺩ (21) /’An Anasi ibni Māliki ‘an ibni ‘Abbasi anna an-Nabiyya shalla Allāhu ‘alaihi wa sallama qāla, ‘man badala dīnahu faqtulūhu/ “Dari Anas bin Malik, dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw. Bersabda, “Barang siapa yang mengganti agamanya (pindah dari Islam ke agama lain), maka bunuhlah ia” (Shahih Ibnu Hibban Juz X: 327, dalam al-Maktabah al-Syamilah). Dalam pandangan yang inklusif arahan terhadap penyatuan monoteisme Islam ini tidak harus dengan melenyapkan segala perbedaan. Sebab penghapusan terhadap keberbedaan itu berarti pelanggaran terhadap salah satu tujuan penciptaan keragamaan dan keberbedaan oleh Allah (Ghanoushi, 2007: 58).
55
Telah menjadi sunnatullah keragaman itu ada. Ayat-ayat yang menjelaskan hal ini banyak sekali, di antaranya adalah.
(22) .
(22) /Wa min āyātihi khalqu al-samāwāti wa al-arḍi wakhtilāfu alsinatikum wa alwānikum, inna fī żālika la’āyātin lil ‘alimīna/ “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tandatanda bagi orang-orang yang mengetahui” (QS ar-Rum [30]: 22).
(23)
(23) /Wa fī al-arḍi qiṭa‘un mutajāwirātun wa jannātun min a‘nābin wa zar‘un wa nakhīlun ṣinwānun wa gairu ṣinwānin yusqā bi mā’in wāḥidin wa nifaḍḍilu ba‘ḍahā ‘ala ba’ḍin fi al-ukul, inna fī żālika la’āyātin liqaumin ya‘qilūna/ “Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir” (QS ar-Ra’d [13]: 4).
(24) .
(24) /Yā ayyuhā al-nāsu innā khalaqnākum min żakarin wa unṡā wa ja’alnākum syu‘ūban wa qabā’ila lita‘ārafū, inna akramakum ‘indallāhi atqākum, innallāha ‘alīmun khabīr/ “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
56
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).
, (25)
(25) /Walau syā’a rabbuka laja‘ala al-nāsa ummatan wāḥidatan, walā yazālūna mukhtalifīna, illa man raḥima rabbuka, waliżālika khalaqahum/ “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu, dan untuk itulah Allah menciptakan mereka” (QS. Hud [11]: 118-119). Kemudian dalam konteks keberagaman agama, secara tegas QS. Al-Hajj [22]: 40 juga menekankan pada kehendak Allah untuk melindungi keberagaman rumah ibadah dari berbagai agama yang berbeda.
(26) .
(26) /Walaulā daf’ullāhi an-nāsa ba‘ḍahum bi ba‘ḍin lahuddimat ṣawāmi’u wa biya’un wa ṣalawātun wa masājidu yużkaru fīhāsmullāhi kaṡīran, walayanṣurannallāhu man yanṣuruhu, innallāha laqawiyyun ‘azīzun/ “….dan Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biarabiara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa”. Adapun tujuan penciptaan keragaman itu sebagaimana terlihat dalam ayat di atas adalah untuk menunjukkan tanda-tanda kebesaran Allah. Selain itu terlihat
57
dalam ayat berikut bahwa tujuan penciptaan keberagaman itu juga
untuk
memberi ujian pada manusia,
(27) (27) /Waja‘alnā ba‘ḍakum li ba‘ḍin fitnatan ataṣbirūna, wa kāna rabbuka baṣīran/ “dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain, maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha melihat” (QS. Al-Furqan [25]: 20). Ayat-ayat
ini menekankan kehendak Allah ketika mencipta manusia
secara berbeda, dan mengajak mereka untuk tidak cepat-cepat dan berusaha menghapus perbedaan-perbedaan itu. Hendaknya perbedaan dapat menjadi faktor pertumbuhan, unifikasi, maupun kesatuan, dan bukannya sebagai faktor otoritarianisme dan kekacauan. Untuk itu sebelum mencapai penyatuan, maka harus ada terlebih dahulu pengakuan akan adanya hakikat perbedaan yang inheren di alam semesta dan masyarakat. Unifikasi adalah ciri khas yang juga inheren pada struktur alam semesta, manusia, dan hubungan-hubungan sosial. Tanpa unifikasi tidak mungkin ada pengetahuan, tatanan sosial, pemahaman masalah yang menyatu, ataupun penetapan hubungan-hubungan kemanusiaan apapun. Namun bagaimana upaya penyatuan oleh syahadat tauhid (monoteisme) ini dihadapan kelompok-kelompok yang menyekutukan Allah (musyrik) dan mengingkari pengabdian (beribadah) pada Allah, karena disisi keberbedaan tujuan penciptaan juga beribadah kepada Allah sebagaimana ditegaskan dalam ayat
. (28) (28) /Wa mā khalaqtu al-jinna wa al-insa illā liya‘budūni/
58
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS adz-Dzariyat [51]: 56). Ayat ini menekankan bahwa tujuan penciptaan adalah beribadat (mengabdi) kepada Allah, sementara perbedaan sebagai tujuan penciptaan yang lain menjurus kepada pengakuan akan adanya orang-orang yang tidak beriman dan tidak mengabdi kepada Allah. Pandangan yang lebih terbuka menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan dan taggung jawab individual. Islam mengakui perbedaan dan selanjutnya menganggap perbedaan sebagai gejala alam dan tanda kemahabesaran dan kehendak kreatif Allah (Ghanoushi, 2007: 60). Jadi penyatuan dalam monoteisme (syahadat tauhid) adalah penyatuan dalam keberagaman. Cara mengabdi (beribadat) kepada Allah yang Maha Esa yang merupakan tujuan utama penciptaan alam semesta tidak diraih dengan pengingkaran terhadap perbedaan. Sebaliknya, yaitu melalui pengakuan terhadap perbedaan dan perjuangan untuk mengembangkannya hingga sampai ke beberapa peringkat kesatuan yang rumit. Dengan demikian akan memungkinkan berbagai cakupan keragaman dan pluralisme yang luas dalam masyarakat Muslim. Hubungan antara keragaman dengan masyarakat-masyarakat dan agama-agama lain yang berdamai dengannya berlangsung melalui berbagai mekanisme syura (permusyawaratan), dialog, sembari mencegah kemungkaran dan menyuruh kebaikan, dengan mengakui sepenuhnya hak-hak orang lain untuk berbeda, sekaligus
menolak
penggunaan
sebagaiamana disebut dalam ayat
paksaan
untuk
mengubah
keyakinan,
59
(6c) (6c) /Lā ikrāha fī ad-dīni/ “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama” (QS. Al-Baqarah [2]: 256). dan juga ayat
. (7b) (7b) /Lakum dīnukum wa liya dīni/ “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS al-Kafirun [109]: 6). Dalam sikap inklusif meskipun menganggap diri kita yang paling benar, tetapi pada kelompok lain juga ada yang benar. Orang lain tidak dipersalahkan hanya karena berbeda dengan kita. Oleh karena itu dakwah dalam pandangan Islam inklusif adalah cerminan dari ketulusan jiwa untuk mengajak orang lain ke jalan kebenaran yang diyakininya dengan membuang jauh-jauh primordialisme. Dengan demikian tidak akan sakit hati atau kecewa bila yang diajak tidak menunaikannya. Tidak ada pula pemaksaan dan penghinaan terhadap objek dakwah. Dengan demikian teks-teks suci yang secara literal tampak mengarah pada upaya-upaya penyatuan ke dalam Islam dengan kekuatan yang kemudian diterjemahkan dalam pengertian jihad, maka dalam pandangan ini harus dikembalikan pada konteksnya. Dalam kasus hadits Ibnu Hibban sebagaimana dikutib pada data (16) di atas dikembalikan pengertiannya pada konteks wurudnya hadits ini, yaitu dalam konteks peperangan. Dalam kondisi peperangan, apabila ada orang memisahkan diri dari jamaah Islam, maka ia akan sangat membahayakan Islam. Ia akan dapat menceritakan rahasia-rahasia umat Islam
60
kepada musuh umat Islam saat itu. Maka wajar ketika itu, Nabi Saw. menyuruh membunuh orang itu (Mustaqim, 2012: 22-23). Berkenaan dengan hukuman pada orang murtad ini Mohamed S. El Awa (1982: 63), mantan guru besar hukum di Universitas Riyad, menjelaskan bahwa yang melakukan murtad tidak dihukum karena keimanannya, tapi ia dihukum apabila mengancam stabilitas dan keamanan umat Islam. Seorang berpindah agama dikenakan sangsi jika ia menunjukkan ketidak-loyalannya kepada komunitas atau negaranya. Atau jika ia murtad dan membentuk kekuatan dengan kelompok lain untuk menyerang negaranya sendiri yang dalam sistem hukum modern disebut treason atau conspiracy. Kalau seorang hanya berpindah agama tanpa adanya kekhawatiran membawa kekacauan kepada umat atau negara Islam, ia tidak dikenakan hukuman. Uraian tentang kebenaran dan dakwah (misi) agama-agama ini telah menggambarkan akan adanya dialektika pemikiran pro dan kontra absolutisme (kebenaran tunggal) serta pro dan kontra penghapusan keberagaman di dalam Islam. Menurut Syamsul Hidayat (2012: 39) sebagaimana dikutip dari Richard J. Mouw dan Sandra Griffioen penerimaan terhadap keragaman dapat dibedakan dalam dua sikap. Pertama deskriptif, yaitu sekadar mengakui keragaman, dan kedua normatif-preskriptif yang tidak sekadar mengakui, tetapi juga mau memperjuangkan keragaman. Pada tataran deskriptif, keberagaman (pluralisme) adalah fakta sosial yang tidak terelakkan, baik karena kondisi awal masyarakatnya sudah majemuk maupun karena proses pluralisasi kehidupan yang dibawa oleh arus modernisasi. Selanjutnya pada tataran normatif-preskriptif, terdapat tiga
61
ranah keragaman, yaitu konteks budaya (contextual pluralism), asosiasi-asosiasi kelembagaan (associational pluralism), dan sistem nilai yang memberi arahan pada kehidupan manusia (directional pluralism).
1.6 Metode Penelitian Berikut akan diuraikan metode dalam penelitian ini, yang meliputi metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data.
1.6.1 Metode Pengumpulan Data Langkah pertama yang dilakukan di dalam penelitian ini adalah mengumpulkan data. Data yang berupa bahan jadi penelitian (Sudaryanto, 1995: 9; Kesuma, 2007: 25) pada penelitian ini adalah data linguistik dan data tafsir. Data linguistik adalah berupa kata dīn, millah dan syarī‘ah. Sumber datanya adalah teks-teks sya’ir jāhilī, al-Qur’an dan al-Hadis. Data dari al-Qur’an merupakan data pokok sedang data dari sya’ir dan
al-Hadis adalah data
pendukung analisis. Keduanya digunakan sebagai pendukung analisis karena secara kontekstual mereka lahir di seputar turunnya al-Qur’an. Bahwa al-Qur’an tidak diturunkan dalam ruang yang kosong, akan tetapi dalam konteks budaya Arab 15 abad yang lampau, di mana perihal hidup termasuk bahasanya direpresentasikan dalam syair-syair jahili. Adapun al-Hadis ia menjadi penjelas bagi teks-teks al-Qur’an yang terbatas tersebut. Selanjutnya data tafsir merupakan tafsir al-Qur’an tentang hubungan antaragama. Sumber datanya adalah berbagai penafsiran al-Qur’an dari para ahli tafsir, diantaranya adalah tafsir ‘al-Qur`ān al-
62
‘Azhīm’ karya Ibnu Kaṡīr, tafsir ‘al-Manār’ karya Rasyid Ridha, dan tafsir ‘alMishbah’ kaya Quraisy Shihab. Data al-Qur’an yang merupakan data pokok dalam penelitian ini akan dikumpulkan dengan metode korpus. Berikut adalah contoh data dari teks sya’ir, 1
ﻖﻳ ﹾﻠﺤ ﻃﻞﹴ ﹶﻻ ﺑﺎﹶﻣﻦ ﻊﺗﻀ ﺎﻤﻬﻭﻣ
ﻳ ﹶﻘﻞﹾ ﻘﻞﹾ ﺗ ﺎﻤﻣﻬ ﻳﻦﹺ ﺍﻟﺪﺩﻮﻤ ﻋﻧﺖﻭﺃﹶ (29)
(29) /Wa ʼanta ‘amūdu ad-dīni mahma taqil yuqal wa mahmā taḍa’ min bāṭilin lā yulḥaq/. ‘Engkau adalah penopang kekuasaan, meski tak seberapa yang dikatakan orang, dan meskipun ada kebatilan yang tidak sanggup kamu tuntaskan’. Sya’ir ini diucapkan oleh al-Mumazaq al-‘Abdī ketika ia memuji salah seorang raja .(Abu ‘Udah, 1985: 115) Selanjutnya contoh data dari teks Hadis adalah,
ﻦ ﻋ ﻧﹺﻲ ﺃﹶﺑﹺﻲﺒﺮﺎﻡﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺧﻫﺸ ﻦﻰ ﻋﻴﺤﺎ ﻳﺪﺛﹶﻨ ﻰ ﺣﺜﹶﻨ ﺍﻟﹾﻤﻦ ﺑﺪﺤﻤ ﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪ( ﺣ30) ﻣﻦ ﺃﹶﺓﹲ ﻗﹶﺎﻝﹶﻣﺮ ﺎ ﺍﻫﻨﺪﻋﺎ ﻭﻬﻋﻠﹶﻴ ﺧﻞﹶ ﺩﻠﱠﻢﺳ ﻭﻴﻪﻠﹶ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﻪ ﺻﺒﹺﻲﺸﺔﹶ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﻟﻨ ﺋﺎﻋ ﻪ ﻟﹶﺎ ﺍﻟﱠﻠﻴﻘﹸﻮﻥﹶ ﹶﻓﻮﻄﺎ ﺗ ﺑﹺﻤﻜﹸﻢﹶﻠﻴ ﻋﻣﻪ ﺎ ﻗﹶﺎﻝﹶﻬﻠﹶﺎﺗ ﺻﻦ ﻣﺬﹾ ﹸﻛﺮﻧﺔﹸ ﺗ ﻓﹸﻠﹶﺎ ﻗﹶﺎﹶﻟﺖﻩﺬﻫ )ﺭﻭﺍﻩﺒﻪﺎﺣ ﺻﻴﻪﻠﹶ ﻋﺍﻡﺎﺩ ﻣﻴﻪﻳﻦﹺ ﹺﺇﻟﹶ ﺍﻟﺪﺣﺐ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺃﹶﻠﱡﻮﺍ ﻭﻤﻰ ﺗﺘ ﺣﻞﱡ ﺍﻟﱠﻠﻪﻤﻳ (41:ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ (30) Ḥaddaṡanā Muḥammadu ibn al-Muṡanna, ḥaddaṡanā Yaḥya ‘an Hisyāmin qāla ʼakhbaranī ʼabī ‘an ‘Aʼisyata ʼanna an-Nabiyya ṣallallāhu ‘alaihi wa sallama dakhala ‘alaihā wa ‘indahā ʼimraʼatun qāla man hāżihi qālat fulānatu tażkuru min ṣalātiha, qāla mah ‘alaikum bimā tuṭiqūna fa wallāhi lā yamallu Allāhu ḥatta tamallū wa kāna ʼaḥabba ad-dīni ʼilaihi mā dāma ‘alaihi ṣāḥibuhu/ “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna, telah menceritakan kepada kami Yahya dari Hisyam. Ia berkata, telah mengabarkan kepadaku bapakku dari ‘Aisyah bahwa Nabi shallallāhu ʼalaihi wa sallam mendatanginya sedang bersamanya ada seorang wanita lain, lalu Nabi shallallāhu ʼalaihi wa sallam bertanya: “siapa ini?” ‘Aisyah menjawab: “si fulanah”, Lalu diceritakan tentang shalatnya. Maka Nabi shallallāhu ʼalaihi wa sallam bersabda: “mah (pernyataan kurang senang), hendaknya kalian mengerjakan yang 1
Abu ‘Udah, 1985: 115
63
kalian sanggupi, demi Allah, Allah tidak akan bosan hingga kalian sendiri yang menjadi bosan, dan agama yang paling dicintai-Nya adalah apa yang senantiasa dikerjakan secara rutin” (HR al-Bukhari, hadis no. 41). 1.6.2 Metode Analisis Data Setelah data dapat disediakan dengan baik dalam arti telah diklasifikasikan dengan cukup rapi, tahapan selanjutnya adalah melakukan analisis. Data linguistik akan dianalisis dengan langkah-langkah berikut: Pertama, data akan dianalisis akar kata dan derivasinya sehingga dapat dikatahui kelas kata atau kategorinya. Selanjutnya data akan dilacak maknanya dalam berbagai kamus, diantaranya kamus Munawwir, al-Mawrid Qamus Araby-Inglizy (A Modern Arabic English Dictionary), Mu’jam Maqayis al-Lughah, dan kamus Lisān al-‘Arab. Baru kemudian data dianalisis maknanya berdasar penggunaannya dalam sya’ir, alQurʼan dan Hadis. Kedua, data dari berbagai sumber data tersebut dianalisis dengan analisis medan asosiasi untuk menemukan perkembangan maknanya. Sebagai hipotesis kerja teori medan asosiasi dapat ditempuh melalui empat kategori, yaitu (1) pergeseran dan perubahan makna berdasarkan asosiasi antara penangkapan pancaindera atas dasar kemiripan, (2) pergeseran dan perubahan makna berdasarkan asosiasi antara penangkapan pancaindera atas dasar hubungan, (3) pergeseran dan perubahan makna berdasarkan asosiasi nama-nama atas dasar kemiripan, dan (4) pergeseran dan perubahan makna berdasarkan asosiasi namanama atas dasar hubungan. Sebagai contoh adalah perkembangan makna kata syarī‘ah. Kata syir‘ah demikian juga syarī‘ah pada mulanya berarti ‘air yang
64
banyak atau jalan menuju sumber air’. Kemudian agama dinamai syarī‘ah karena ia adalah sumber kehidupan ruhani sebagaimana air sumber kehidupan jasmani. Di sisi lain, tuntunan agama berfungsi membersihkan kotoran ruhani, serupa dengan air yang berfungsi membersihkan kotoran material (Shihab, 2002, Vol 3: 139). Perkembangan makna yang demikian ini termasuk perkembangan makna asosiasi kesamaan tanggapan panca indera (metafora) atas dasar kemiripan. Ketiga, analisis relasi makna. Untuk menganalis unsur bahasa dīn, millah dan syarī‘ah sehingga ia dapat dipetakan relasinya akan dipergunakan beberapa perangkat, diantaranya adalah, sintaksis, semantik dan pragmatik. Sintaksis membahas kata dalam hubungannya dengan kata lain, atau unsur-unsur lain sebagai suatu satuan ujaran. (Chaer, 2007: 206) Dalam struktur sintaksis dibahas kategori dan fungsi sintaksis. Melalui perspektif ini kata dīn, millah dan syarī‘ah akan dianalisis relasi maknanya. Sebagai contoh data yang terdapat dalam ayat berikut: (31)
(31) /Qul innanī hadānī rabbī ilā ṣirāṭin mustaqīmin dīnan qiyamān millata Ibrāhīma ḥanīfan, wa mā kāna mina al-musyrikīn/ “Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, millah Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik” (QS al-An’am [6]: 161). Secara gramatikal kata millah dalam ayat ini merupakan pengganti (badal) dari dīn. Jadi dīn dan millah dalam konteks ayat ini adalah sama karena yang satu menggantikan yang lain. Sebagai pengganti ia memiliki rujukan yang sama dengan yang digantikan yaitu ṣirāṭ.
65
Selain sintaksis data juga akan dianalisis dengan analisis semantik. Analisis ini diperuntukkan untuk menggali makna. Dalam hal ini penggalian makna akan dilakukan melalui beberapa pendekatan, diantaranya adalah melalui pendekatan analitik atau referensial, dan melalui pendekatan operasional (Pateda, 2001: 8687). Pendekatan analitik ingin mencari makna dengan cara menguraikannya atas segmen-segmen utama, sedangkan pendekatan operasional ingin mempelajari kata dalam penggunaannya. Pendekatan operasional lebih menekankan, bagaimana kata dioperasikan di dalam tindak fonasi sehari-hari. Bila dilihat dari sisi hubungan-hubungan fungsi yang berbeda di dalam bahasa pencarian makna juga akan dilakukan dengan pendekatan ekstensional dan pendekatan intensional (Nida, 1975: 22). Pendekatan ekstensional ialah pendekatan yang memusatkan perhatian pada penggunaan kata di dalam konteks, sedang yang dimaksud dengan pendekatan intensional adalah pendekatan yang memusatkan perhatian pada struktur-struktur konseptual yang berhubungan dengan unit-unit utama. Di samping sintaksis dan semantik analisis pragmatik juga akan dimanfaatkan dalam penelitian ini. Pragmatik dalam penelitian ini akan digunakan untuk menganalisis relasi makna din, millah dan syarī‘ah berdasarkan konteks penggunaan tiga kata tersebut. Dengan demikian makna yang didapatkan akan semakin komprehensif karena tidak hanya makna tekstual tapi juga kontekstual. Operasionalisasinya, pragmatik disini akan menganalisis pengetahuan yang diasumsikan dimiliki bersama antara penutur dengan petutur sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam komunikasi. Berikut penjelasan mengenai konsep dan
66
istilah-istilah operasional dari teori pragmatik yang akan digunakan dalam penelitian ini. 1) Tindak Tutur Pijakan utama penerapan teori pragmatik dalam penelitian ini adalah terletak pada konsepsi tindak tutur sebagai unit pembicaraan atau percakapan. Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan data penelitian akan dilihat dari sudut pandang ini. Karena dari sudut pandang ini bahasa sebagai ujaran dapat dianalisa berdasarkan konteks penggunaannya. Jadi bukan berpijak pada kata, frasa atau kalimat secara struktural. Yang dimaksud dengan tindak tutur adalah tuturan yang menjadi unit fungsional dalam komunikasi (Richards, 1985: 265; Allan, 1998: 164). Ada tiga konsepsi tindak tutur, yaitu 1) tindak lokusi (locutionary act), 2) tindak ilokusi (illocutionary act), dan 3) tindak perlokusi (perllocutionary act). Tindak lokusi adalah tindak tutur sebagai the act of saying something atau tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Nababan
(1987: 4) mengidentifikasi
bahwa konsep lokusi adalah konsep yang berkaitan dengan proporsi kalimat. Tuturan dalam hal ini dipandang sebagai satu satuan yang terdiri atas dua unsur, yakni subjek dan predikat atau topik dan comment. Tindak lokusi ini menurut Wijana (1996: 17-8) merupakan tindak tutur yang relatif paling mudah untuk diidentifikasi karena dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan yang tercakup dalam situasi tutur. Selanjutnya menurut Parker (1986: 15) dari perspektif pragmatik tindak lokusi sebenarnya kurang begitu penting perannya dalam memahami tindak tutur.
67
Apabila kita menyertakan identifikasi tuturan tersebut dengan situasi tertentu yang menyertainya, maka tuturan tersebut bisa mempunyai daya ilokusi (illocutionary act). Jika dipandang dari segi penutur, tuturan ini dapat dikatakan merupakan strategi pemecahan masalah. Sebuah tuturan dapat memiliki daya ilokusi jika tindak tutur tersebut dikaitkan dengan situasi yang menyertai tuturan tersebut. Dengan kata lain, tindak ilokusi adalah tuturan yang dipergunakan untuk melakukan sesuatu atau the act of doing something. Selanjutnya, jika tuturan tersebut ditujukan untuk mempengaruhi orang lain, maka tuturan itu mempunyai pengaruh atau daya perlokusi (perllocutionary act). Dengan kata lain, tindak perlokusi adalah tuturan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur atau disebut sebagai the act of affecting someone. Daya perlokusi ini bisa disengaja atau tak disengaja. Jika daya ilokusi dapat dianalisis melalui pihak penutur, maka daya perlokusi ini muncul dari penafsiran pendengar atau mitra tutur. 2) Presupposisi Presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan (Yule, 1996: 43). Analisis presupposisi ini penting untuk mengasumsikan pengetahuan bersama antara penutur dengan petutur. Karena informasi tertentu itu dianggap sudah diketahui, maka informasi yang demikian biasanya tidak akan dinyatakan oleh penutur dan akibatnya akan menjadi bagian dari apa yang disampaikan tetapi tidak dikatakan. Interpretasi presupposisi ayat tentang dīn, millah dan syarī‘ah akan melengkapi informasi dari tuturan ayat. Hasil interpretasi ini sedapat mungkin
68
dirujuk silang dengan konteks ayat. Dalam hal ini konteks ayat akan mengacu pada asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), baik mikro maupun makro. 3) Konteks Untuk menginterpretasikan tindak tutur sesuai dengan penggunaannya maka hal yang penting dilihat adalah konteks tuturan tersebut. Karena berbeda konteks tuturan yang sama bisa bermakna berbeda. Adapun yang dimaksud konteks adalah lingkungan (environment; circumstances) dimana bahasa itu digunakan. (Brown & Yule, 1983: 25)
Lingkungan yang dimaksud dapat
mencakup lingkungan fisik maupun lingkungan nonfisik atau lingkungan sosial. Lingkungan fisik tuturan dapat disebut dengan koteks (cotext) sedangkan lingkungan sosial tuturan dapat disebut dengan konteks (context). Kemudian Wijana (1996: 11) lebih memperjelas maksud dari konteks dalam ilmu pragmatik. Konteks dalam pragmatik pada hakikatnya adalah segala latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur. Keempat analisis komponen makna. Tujuan analisis ini adalah untuk menguji lebih lanjut pemetaan relasi makna dīn, millah dan syarī‘ah yang telah dilakukan sebelumnya. Untuk tujuan ini, data dīn, millah dan syarī‘ah akan diambil dari al-Qurʼan. Analisis ini akan menjelaskan makna yang dimiliki oleh setiap kata yang terdiri atas sejumlah komponen yang membentuk keseluruhan makna kata itu. Komponen makna ini akan dianalisis, dibutiri atau disebutkan satu persatu berdasarkan “pengertian-pengertian” yang dimilikinya. Teknik yang akan digunakan untuk menganalisis komponen makna dīn, millah dan syarī‘ah adalah tekniknya Nida (1975: 64) yaitu penamaan, parafrasis,
69
pendefinisian dan pengklasifikasian. Proses penamaan
berkaitan dengan
acuannya. Beberapa cara yang akan digunakan dalam proses penamaan adalah penyebutan bagian, penyebutan sifat khas, dan penyebutan pengistilahan. Selanjutnya parafrasis merupakan deskripsi lain dari suatu leksem. Sementara pendefinisian merupakan suatu proses memberi pengertian pada sebuah kata dengan menyampaikan seperangkat ciri pada kata tersebut supaya dapat dibedakan dari kata-kata lainnya, sedangkan pengklasifikasian merupakan cara memberikan pengertian pada suatu kata dengan cara menghubungkan kata yang satu dengan kata yang lain. Selanjutnya data tafsir akan dideskripsikan secara kualitatif melalui langkah-langkah berikut: Pertama kategorisasi, yakni ditinjau dari sisi produk tafsir hubungan antaragama dan dari sisi metodologinya. Kedua adalah penafsiran data. Dalam hal ini data yang sudah dikatagorisasikan ditafsirkan secara logis dan luas, yakni apa dan bagaimana implikasi metodologi tafsir terhadap produk tafsir hubungan antaragama.
1.6.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data Hasil analisis data penelitian ini disajikan dengan menggunakan metode sajian informal. Dengan perkataan lain disajikan dalam bentuk kata-kata biasa yang sangat teknis sifatnya.
70
1.7 Sistematika Pembahasan Berdasarkan
latar belakang dan tujuan penelitian, maka sistematika
pembahasan penelitian ini disusun sebagai berikut: Bab I, adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah untuk menjelaskan secara akademik mengapa penelitian ini penting untuk dilakukan. Selanjutnya dirumuskan masalah atau problem akademik yang hendak dipecahkan dalam penelitian ini sehingga menjadi jelas masalah yang akan dijawab. Sedangkan untuk menjelaskan pentingnya penelitian ini dan kontribusinya bagi pengembangan keilmuan, maka pada bab ini juga dijelaskan mengenai tujuan dan manfaat penelitian. Selanjutnya akan diuraikan juga mengenai penelitianpenelitian terdahulu yang sejenis untuk memberikan penjelasan dimana posisi penulis dalam penelitian ini dan apa yang baru dalam penelitian ini. Kemudian dilanjutkan dengan landasan teori, yaitu teori tentang makna, perkembangan makna, medan, komponen dan relasi makna, implikasi relasi makna terhadap metode penafsiran al-Qur’an serta paradigma tafsir hubungan antaragama. Uraian lebih lanjut adalah mengenai metode penelitian dan langkah-langkahnya. Hali ini dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana proses dan prosedur serta langkahlangkah yang akan dilakukan peneliti dalam penelitian ini, sehingga sampai kepada tujuan menjawab problem-problem akademik dalam penelitian ini. Bab II, membahas analisis linguistik terhadap relasi makna dīn, millah dan syarī‘ah. Pembahasan dimulai dengan analisis akar kata, dilanjutkan dengan analisis perkembangan makna dīn, millah dan syarī‘ah, yakni mulai dari penggunaannya dalam sya’ir jāhilī sampai dengan pengunaannya dalam al-Qurʼan
71
dan Hadis. Selanjutnya adalah analisis relasi makna tiga unsur bahasa tersebut dan diselesaikan dengan analisis komponen maknanya guna menguji kesimpulan rumusan relasi makna sebelumnya. Bab III, menguraikan implikasi relasi makna dīn, millah dan syarī‘ah terhadap tafsir al-Qur’an tentang hubungan antaragama. Pembahasan dimulai dengan pemetaan relasi makna dīn, millah dan syarī‘ah. Dari hasil pemetaan ini akan dirumuskan implikasi logis bentuk-bentuk relasi tiga unsur bahasa tersebut terhadap tafsir al-Qur’an tentang hubungan antaragama. Bab IV, adalah problematika epistemologi penafsiran. Isi pembahasannya adalah diskusi mengenai produk tafsir hubungan antaragama dan epistemologi penafsirannya kemudian diakhiri dengan pembahasan universalisme Islam sebagai sebuah sintesa. Bab V, adalah penutup yang berisi kesimpulan yang merupakan jawaban atas rumusan masalah sebelumnya dan diakhiri dengan saran-saran konstruktif bagi pemangku kebijakan mengenai hubungan antaragama.