BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transisi politik yang terjadi di Indonesia, sejak berakhirnya kekuasaan Soeharto pada bulan bulan Mei 1998, menghasilkan dua proses politik yang berjalan secara simultan: desentralisasi dan demokratisasi. Kedua proses politik itu terlihat jelas dalam pergeseran format pengaturan politik di taraf lokal maupun nasional, dari pengaturan politik yang bersifat otoritarian-sentralistik menjadi lebih demokratis-desentralistik (Dwipayana dan Sutoro Eko, 2003:v) Desentralisasi dianggap penting karena setidaknya telah mengubah pola relasi kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang selama ini terpusat di pusaran elit yang berada di Jakarta. Desentralisasi menghadirkan pola kebijakan bottom-up yang selama ini bersifat top-down. Sedangkan hadirnya demokratisasi telah merubah paradigma pola kekuasaan yang selama ini dimiliki secara penuh oleh birokrat, beralih kepada kekuasaan yang “diperebutkan” secara konstitutif oleh partai-partai yang hadir berdasarkan kemerdekaan hak asasi warga Negara Indonesia di bidang politik. Perubahan di level lokal tentu diawali dengan adanya revisi terhadap beberapa undang-undang tentang pemerintah daerah, yakni UU No.22/1999 (sekarang adalah UU No.32/2004. Pen) Salah satu lokus yang bergeser pengaturannya adalah desa (Dwipayana dan Sutoro Eko, 2003: vi). Sejak Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945 hingga sampai saat ini, peraturan-peraturan perundangan yang mengatur tentang bentuk dan susunan pemerintah di daerah, termasuk pemerintahan desa adalah sebaga berikut, (Widjaja, 2003: 2-3):
Universitas Sumatera Utara
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Pembentukan Komite Nasional Daerah; 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah; 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah; 4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah; 5. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah (disempurnakan); 6. Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960 (disempurnakan) tentang DPRD Gotong Royong dan Sekretaris Daerah; 7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Desapraja; 8. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah; 9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa; 10. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; dan 11. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Secara historis dan kultural, desa atau kesatuan masyarakat hukum terkecil di negara kita memiliki variasi nama. Desa adalah sebutan untuk kesatuan masyarakat hukum yang berada di Pulau Jawa. Sedangkan sebutan untuk kesatuan masyarakat hukum yang berada di luar Pulau Jawa memiliki perbedaan nama masing-masing berdasarkan karakterisitik daerah dan bahasanya. Misalnya kita mengenal adanya sebutan Nagari untuk
Universitas Sumatera Utara
daerah Sumatera Barat, Negeri untuk daerah Maluku, Huta untuk daerah Sumatera Utara, Marga untuk daerah Sumatera Selatan,
Kampung untuk daerah Kalimantan Timur,
Gampong untuk daerah Aceh, dan lain sebagainya. Perbedaan nama tersebut juga menghadirkan beragam variasi sistem dan struktur pemerintahan kesatuan masyarakat hukum di daerah-daerah tersebut. Dalam perspektif wawasan kebangsaan, variasi nama-nama tersebut seharusnya menjadi khazanah budaya Indonesia yang wajib dipertahankan sesuai aslinya, sehingga pola pembangunan yang dicanangkan ke level terendah dalam sistem kenegaraan kita dapat berjalan sebagaimana mestinya. Namun sejarah Orde Baru mencatat bahwa kuasa otoritarianisme Soeharto telah menghilangkan kekhasan masing-masing daerah yang telah mandiri secara baik tersebut. Inilah bukti betapa sentralisme kekuasaan telah memusnahkan konsepsi asli tentang pemerintahan desa yang seharusnya dapat menjadi modal filosofi pembangunan bagi tiap-tiap kesatuan masyarakat hukum di Indonesia. Menyinggung keterkaitan antar desa dengan pembangunan, harus didasari bahwa desa merupakan salah satu sub-sistem dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indoneisa, dan merupakan struktur terendah dalam sistem tersebut. Biarpun Desa merupakan struktur terendah dalam sistem pemerintahan kita, namun demikian, desa ternyata memegang peranan penting dalam proses implementasi kebijakan-kebijakan pembangunan. Sebab setiap kebijakan pembangunan pemerintah pusat, sebagian besar implementasinya dilakukan oleh pemerintah desa. Melihat pentingnya peranan desa dalam proses pembangunan, maka upaya-upaya meningkatkan peran struktur pemerintahan desa harus selalu digalakkan. Hal ini dimaksudkan agar proses pembangunan yang telah dicanangkan dapat menyentuh seluruh
Universitas Sumatera Utara
lapisan masyarakat tanpa kecuali. Masyarakat desa adalah unsur pembangunan yang harus diperhatikan kesetaraannya dalam proses pembangunan. Namun fokus masalah tersebut dalam realita di lapangan banyak yang tidak terlaksana secara baik. Hal tersebut akhirnya menimbulkan kesenjangan distribusi hasil-hasil pembangunan di masyarakat. Kondisi demikian tentu ada sebabnya. Salah satu permasalahan yang menjadi penyebab timbulnya kesenjangan tersebut di masyarakat desa adalah kepemimipinan kepala desa. Seorang kepala harus mampu melaksanakan tugas dan wewenangnya secara baik, sehingga kepemimpinannya mampu membawa kebaikan kepada warga desanya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebutkan dalam Pasal 14 Ayat 1, bahwa tugas kepala desa adalah: menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Dalam Ayat 2 Pasal 14 tersebut dinyatakan bahwa: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa mempunyai wewenang : a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD; b. mengajukan rancangan peraturan desa; c. menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD; d. menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desamengenai APB Desa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD; e. membina kehidupan masyarakat desa; f. membina perekonomian desa; g.
mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif;
Universitas Sumatera Utara
h.
mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
i.
melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mengingat tugas dan wewenang kepala desa sangat berat tersebut, maka sangat
diperlukan kemampuan dari kepala desa untuk mengkoordinasi seluruh kepentingan masyarakat desa dalam setiap pengambilan keputusan. Kepala desa harus menyadari bahwa pekerjaannya tidak mudah. Oleh sebab itu dia harus bersedia melimpahkan semua kewenangannya kepada semua tingkatan pimpinan sampai ke tingkat bawah, sekalipun seperti kepala dusun dan lainnya. (Widjaja: 31). Kesenjangan proses pembangunan adalah efek besar dari ketidakmampuan melakukan distribusi wewenang kepada jajaran di bawahnya oleh seorang kepala desa. Permisalan efek turunannya adalah lambannya proses pembangunan di beberapa bidang di antaranya pendidikan, kesehatan, transportasi, dan lain-lain. Fakta lapangan selalu menunjukkan adanya gerakan sosial dari masyarakat apabila masalah di atas tidak segera diperbaiki. Masyarakat desa yang terdiri dari masyarakatmasyarakat dusun cenderung bergerak untuk melepaskan diri dan membentuk desa baru dengan satu alasan bahwa dusun-dusun mereka tidak pernah diperhatikan oleh kepala desa mereka. Kekecewaan terhadap ketidaktanggapan kepala desa pada isu-isu kesetaraan dalam pembangunan, menghadirkan suatu persepsi yang sangat kuat bahwa membentuk desa baru (pemekaran) adalah sebuah solusi desentralistis dan demokratis guna percepatan pembangunan desa. Sebagaimana kita ketahui, bahwa kebijakan desentralisasi yang memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah otonom dalam mengatur dan mengurus rumah
Universitas Sumatera Utara
tangganya, pada intinya antara lain, adanya perwujudan demokratisasi penyelenggaraan pemerintah daerah yang selama ini sentralistis. Kedua, kebijakan penyerahan kewenangan kepada daerah untuk lebih memberdayakan dan memandirikan daerah, baik dalam peningkatan pelayanan kepada masayarakat, maupun peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, terimplementasikannya kebijakan otonomi daerah tersebut, memunculkan tuntutan baru dari daerah itu sendiri yaitu tuntutan makin mendekatnya pemerintah dengan masyarakat. Dari aspek geografis
terkadang suatu
wilayah daerah, sangat jauh dari rentang kendali ibu kota daerah otonom, sehingga berpengaruh pada akselerasi pelayanan. Pada dimensi yang terakhir inilah lahir tuntutan pemekaran daerah. (Murtir: 111). Secara teoritis, pembentukan desa baru nantinya akan melahirkan kesejahteraan dengan adanya peningkatan pelayanan yang lebih baik dan lebih cepat karena rentang rentang kendali pemerintah yang lebih pendek, dengan harapan fakta di lapangan tidak menunjukkan bahwa pemberian status otonom pada desa yang baru belum mampu menjawab persoalan kesejahteraan masyarakat karena pembentukan desa baru hanya dimanfaatkan oleh segelintir elit untuk mendapatkan kekuasaan. Adalah masyarakat Dusun IV Alue Tengku Muda Desa Alue Sungai Pinang Kecamatan Jeumpa Kabupaten Aceh Barat Daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mencoba melakukan pembentukan desa baru di dusun tersebut. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa masyarakat akan cenderung melakukan gerakan sosial guna mendapatkan hakhak mereka yang selama ini tidak mereka nikmati. Gerakan sosial tersebut kini sedang dilakukan oleh masyarakat Dusun IV Alue Tengku Muda. Mereka ingin melepaskan diri dari Desa Alue Sungai Pinang (desa induk) dan membentuk desa baru, sebab selama ini
Universitas Sumatera Utara
mereka merasa dianaktirikan oleh desa induk. Namum, pembentukan desa baru tentunya tidak hanya didasarkan pada persoalan hak-hak sosial ekonomi yang belum terpenuhi saja, tanpa mempertimbangkan studi kelayakan apakah dusun tersebut sudah siap untuk menjadi desa baik secara administratif maupun secara fisik kewilayahan, sehingga nantinya pembentukan desa baru menghadirkan kehidupan masyarakat desa yang maju dan sejahtera. Studi kelayakan yang dimaksudkan di atas harus berpedoman pada Peraturan Pemerintah No. 72 tentang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa Dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan yang di dalamnya memuat tentang syarat-syarat pembentukan desa. Syarat-syarat tersebut wajib dipenuhi oleh sebuah daerah (dusun) yang ingin melakukan pembentukan desa baru. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda Menjadi Desa Alue Tengku Muda”.
B. Perumusan Masalah Suharsimi Arikunto (1993: 17) menguraikan bahwa agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka penulis harus merumuskan masalahnya sehingga jelas dari mana harus memulai, kemana harus pergi, dan dengan apa ia melakukan penelitian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pentingnya perumusan masalah adalah agar diketahui arah jalan suatu penelitian.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis merumuskan masalah penelitian yang akan dilakukan sebagai berikut: Bagaimanakah Kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda untuk Menjadi Desa Alue Tengku Muda ?
C. Tujuan Penelitian Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah tentunya mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui sejauh mana Dusun IV Alue Tengku Muda dalam mempersiapkan diri guna menjadi desa defenitif. b. Untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam rencana pembentukan Dusun IV Alue Tengku Muda menjadi desa.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: a. Secara teoritis/akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kepustakaan pendidikan, khususnya mengenai pembentukan desa guna mewujudkan
percepatan
pembangunan
dalam
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat, serta dapat menjadi bahan masukan bagi mereka yang berminat menindaklanjuti hasil penelitian ini dengan mengambil kancah penelitian yang berbeda dan dengan sampel penelitian yang lebih banyak; b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi masyarakat desa khususnya di tempat penelitian ini dilaksanakan agar masyarakat terus
Universitas Sumatera Utara
mempersiapkan segala kebutuhan untuk menjadi sebuah desa definitif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
E. Kerangka Teori Kerangka teori diperlukan untuk memudahkan penelitian, sebab ia merupakan pedoman berfikir bagi peneliti. Oleh karena itu, seorang peneliti harus terlebih dahulu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari sudut mana ia menyoroti masalah yang dipilihnya.. Selanjutnya menurut Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi (1989: 37), teori adalah serangkaian asumsi , konsep, konstruksi, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.
1. Otonomi Daerah Otonomi Daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan mayarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-perundangan. Otonomi daerah menjadi satu hal yang penting, bukan semata-mata karena memberikan kewenangan yang besar kepada daerah, tapi dengan otonomi, sebuah pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran akan lebih dimungkinkan. Kita selama ini dapat melihat, ketika kebijakan ekonomi dan pembangunan ditentukan oleh pemerintah pusat, maka banyak sekali kebijakan yang dilakukan itu tidak tepat sasaran. Dengan otonomi daerah, pemerintah daerah akan lebih dapat melaksanakan program ekonomi dan
Universitas Sumatera Utara
pembangunan dengan mempertimbangkan kondisi riil daerah. Lebih dari itu, dengan otonomi juga percepatan pembangunan daerah dapat dilaksanakan karena otonomi memberikan peluang finansial yang lebih baik, yang apabila digunakan secara maksimal akan menciptakan jalan kemakmuran bagi masyarakat. (Halim, 2002:16) Adanya kebijakan otonomi daerah itu membawa konsep pemekaran daerah. Daerah-daerah di tanah air menyambut dengan antusias ide pemekaran daerah tersebut, saat ini saja di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah terbentuk 13 kabupaten baru. Melihat kecenderungan dan semangat daerah dalam memekarkan daerahnya, ada kekhawatiran bahwa ide pemekaran daerah lebih banyak dilatarbelakangi oleh nafsu segelintir orang yang tidak terakomodasi kepentingannya di daerah induk sehingga dengan berbagai upaya taktis dan politis dikembangkan wacana tentang perlunya pemekaran daerah. Hal ini tentunya melenceng dari tujuan pemekaran daerah yang sebenarnya untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Menurut Kastorius (Wahyudi, 2002:18) ide pemekaran daerah setidaknya harus menjawab tiga isu pokok, diantaranya: 1. Urgensi dan relevansi, apakah urgensi pemekaran daerah berkaitan dengan penuntasan masalah kemiskinan dan marginalitas etnik. Jika tidak, pemekaran daerah akan berdampak negatif dan proses pemiskinan rakyat akan semakin cepat. Pertimbangan umum pemekaran biasanya didasari oleh adanya potensi sumber daya alam yang siap untuk dieksploitasi sementara kemampuan daerah menyangkut finansial dan sumber daya manusia amat terbatas. Jalan keluar yang paling mungkin adalah mengundang pihak luar menjadi investor dan ketika keputusan ini diambil maka tidak lama setelah itu akan terjadi proses eksplotasi yang sangat besar
Universitas Sumatera Utara
terhadap kekayaan alam yang dimiliki daerah itu. Cara berfikir inilah yang sangat mengkhawatirkan dan berpotensi mengundang terjadinya proses pemiskinan. 2. Prosedur, apakah prosedur pemekaran daerah sudah ditempuh dengan benar sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang ditetapkan. Jika tidak, maka proses pemekaran daerah ini akan berbelit-belit karena rantai birokrasi yang mengurus persoalan seperti ini sangat panjang. 3. Implikasi, yakni sejauh mana pemekaran daerah memberi dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat dan secara politis berimplikasi terhadap terpeliharanya identitas etnik dan agama. Selain itu implikasi negatif yang juga harus diperhitungkan adalah terjadinya konflik horizontal berkaitan dengan ide pemekaran daerah itu. Di luar pihak yang memberi dukungan, pasti ada pihak-pihak tertentu yang tidak menyetujui ide pemekaran daerah itu.
2. Desa Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berikut adalah penjelasan mengenai desa dalam UU No. 32 Tahun 2004 tersebut: “Desa berdasarkan undang-undang ini adalah desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus
Universitas Sumatera Utara
kepentingan masyarkat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Undang-undang ini mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa walaupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah atau pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa di luar desa geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa ataupun karena transimigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri. Sebagai perwujudan demokrasi, dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dibentuk Badan Permusyawaratan Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa yang bersangkut an, yang berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa. Di desa dibentuk lembaga kemasyarakatan yang berkedudukan sebagai mitra kerja pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat desa.
Universitas Sumatera Utara
Kepala desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desa yang dalam tata cara dan prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada bupati atau walikota melalui camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawabanya dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya namun tetap harus memberi peluang kepada masyarakat melalui Badan Permusyawaratan Desa untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal yang bertalian dengan pertanggungjawaban dimaksud. Pengaturan lebih lanjut mengenai desa seperti pembentukan, penghapusan, penggabungan, perangkat pemerintahan desa, keuangan desa, pembangunan desa, dan lain sebagainya dilakukan oleh kabupaten dan kota yang ditetapkan dalam peraturan daerah mengacu pada pedoman yang ditetapkan pemerintah. Sedangkan menurut Sutardjo Kartodikusuma sebagaimana dikutip oleh Abu Ahmadi (2003: 241) menjelaskan definisi desa sebagai suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan tersendiri. Lapera, (2001: 3-6) menguraikan pandangannya tentang desa dengan dua sudut pandang yakni desa dari sudut pandang sosial budaya, dan desa dari sudut pandang politik dan hukum. Bila ditinjau secara sosial budaya desa dapat juga dikatakan sebagai komunitas dalam kesatuan geografis tertentu yang antar mereka saling mengenal dengan baik dengan corak kehidupan yang relatif homogen dan banyak bergantung secara langsung pada alam. Oleh karena itu, desa diasosiasikan sebagai masyarakat yang hidup secara sederhana pada sektor agraris, mempunyai ikatan sosial, adat dan tradisi yang kuat, bersahaja, serta tingkat pendidikan yang dapat dikatakan rendah.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, jika kita membahas mengenai desa, setidak-tidaknya memuat beberapa ciri berikut (Lapera, 2001: 4-5): a. Adanya suatu wilayah yang jelas – dengan demikian wilayah ini telah didefinisikan dengan jelas batas-batas teritorialnya; b. Adanya sekumpulan orang (bukan pribadi atau sebuah keluarga) yang bertempat tinggal di daerah yang dimaksud, dan menempatkan wilayah tempat tinggal tersebut sebagai “wilayah meraka”; c. Adanya ikatan dengan dasar yang beragam dan luas, seperti: kebutuhan akan rasa aman bersama; hubungan darah (satu nenek moyang); dan nilai-nilai sosial bersama yang dibangun bersama dari pengalaman hidup bersama; d. Mempunyai kekuasaan untuk mengatur urusan mereka sendiri – menetapkan pemerintahan sendiri; dan e. Mempunyai harta benda, kekayaan desa. Sedangkan dari sudut pandang politik dan hukum, desa sering diidentikkan sebagai organisasi kekuasaan. Melalui perspektif ini, desa dipahami sebagai organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara politis mempunyai wewenang tertentu dalam struktur pemerintahan negara. Dengan sudut pandang ini, desa bisa dipilah dalam beberapa unsur penting: (1)
adanya orang-orang atau kelompok;
(2)
adanya pihak-pihak yang menjadi “penguasa” atau pemimpin (baca: pengambil keputusan)
(3)
adanya organisasi (badan) penyelenggaraan kekuasaan;
(4)
adanya tempat, atau wilayah yang menjadi teritori penyelenggaraan kekuasaan; dan
Universitas Sumatera Utara
(5)
adanya mekanisme, tata aturan dan nilai, yang menjadi landasan dalam proses pengambilan keputusan. Siti Waridah, dkk, (2004: 125-126) mengutip pendapat pakar Sosisologi “Talcot
Parsons” yang menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (gemeinischaft) yang mengenal ciri-ciri sebagai berikut: a. Afektifitas; ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolongmenolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolongnya tanpa pamrih; b. Orientasi kolektif; sifat ini merupakan konsekuensi dari afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan, tidak suka menonjolkan diri, tidak suka berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan; c. Partikularisme; pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu. Perasaan subjektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku untuk kelompok tertentu saja (lawannya universalisme); d. Askripsi; yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan (lawannya prestasi);
Universitas Sumatera Utara
e. Kekaburan (diffuseness); sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antar pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa menggunakan bahasa tidak langsung untuk menunjukkan sesuatu.
3. Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat a. Pembangunan Desa Tujuan pembentukan desa adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dengan memanfaatkan berbagai potensi yang ada di desa tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pembangunan desa. Pembangunan desa seharusnya menerapkan prinsipprinsip yaitu: (1) transparansi (keterbukaan), (2) partisipatif, (3) dapat dinikmati masyarakat, (4) dapat dipertanggungjawabkan, dan (5) berkelanjutan (sustainable). Kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilakukan dapat dilanjutkan dan dikembangkan ke seluruh pelosok daerah, untuk seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan itu pada dasarnya adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Oleh karena itu pelibatan masyarakat seharusnya diajak untuk menentukan visi (wawasan) pembangunan masa depan yang akan diwujudkan. Masa depan merupakan impian tentang keadaan masa depan yang lebih baik dan lebih indah dalam arti tercapainya tingkat kemakmuran yang lebih tinggi. Pembangunan desa dilakukan dengan pendekatan secara multisektoral (holistik), partisipatif, berlandaskan pada semangat kemandirian, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan serta melaksanakan pemanfaatan sumber daya pembangunan secara serasi dan selaras serta sinergis sehingga tercapai optimalitas.
Universitas Sumatera Utara
Ada tiga prinsip pokok pembangunan pedesaan, yaitu: Pertama, Kebijakan dan langkah-langkah pembangunan di setiap desa mengacu kepada pencapaian sasaran pembangunan berdasarkan Trilogi Pembangunan. Ketiga unsur Trilogi Pembangunan tersebut yaitu (a) pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya, (b) pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan (c) stabilitas yang sehat dan dinamis, diterapkan di setiap sektor, termasuk desa dan kota, di setiap wilayah dan antar wilayah secara saling terkait, serta dikembangkan secara selaras dan terpadu. Kedua, Pembangunan desa dilaksanakan dengan prinsip-prinsip pembanguan yang berkelanjutan. Penerapan prinsip pembangunan yang berkelanjutan mensyaratkan setiap daerah mengandalkan sumber-sumber alam yang terbaharui sebagai sumber pertumbuhan. Disamping itu setiap desa perlu memanfaatkan SDM secara luas, memanfaatkan modal fisik, prasarana mesin-mesin, dan peralatan seefisien mungkin. Ketiga,
Meningkatkan
efisiensi
masyarakat
melalui
kebijaksanaan
deregulasi,
debirokratisasi dan desentralisasi dengan sebaik-baiknya. Dalam melaksanakan kegiatan pembangunan desa, diperlukan kerjasama yang erat antar daerah dalam satu wilayah dan antar wilayah. Dalam hubungan ini perlu selalu diperhatikan kesesuaian hubungan antar kota dengan daerah pedesaan sekitarnya, dan antara suatu kota dengan kota-kota sekitarnya. Hal ini disebabkan karena pada umumnya lokasi industri, lokasi kegiatan pertanian atau sektor-sektor lain yang menunjang/terkait cenderung terkonsentrasi hanya pada daerah administrasi yang berdekatan. Dengan
Universitas Sumatera Utara
kerjasama antar daerah, maka daerah-daerah yang dimaksud dapat tumbuh secara serasi dan saling menunjang. Seperti dalam pembangunan ekonomi pada umumnya, maka dalam mewujudkan tujuan pembangunan desa, terdapat paling sedikit empat strategi, yaitu (1) Strategi pertumbuhan, (2) Strategi kesejahteraan, (3) Strategi yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat, (4) Strategi terpadu atau strategi yang menyeluruh. (1) Strategi Pertumbuhan Strategi pertumbuhan umumnya dimaksudkan untuk mencapai peningkatan secara cepat dalam nilai ekonomis melalui peningkatan pendapatan perkapita, produksi dan produktivitas sektor pertanian, permodalan, penempatan kerja dan peningkatan kemampuan partisipasi masyarakat pedesaan. (2) Strategi Kesejahteraan Strategi kesejahteraan pada dasarnya dimaksudkan untuk memperbaiki taraf hidup atau kesejahteraan penduduk desa melalui pelayanan dan peningkatan program-program pembangunan sosial yang berskala besar atau nasional, seperti peningkatan pendidikan, perbaikan kesehatan dan gizi, penanggulangan urbanisasi, perbaikan pemukiman penduduk, pembangunan fasilitas transportasi, penyediaan prasarana dan sarana sosial lainnya. (3) Strategi yang Responsif terhadap Kebutuhan Masyarakat Strategi ini merupakan reaksi terhadap strategi kesejahteraan yang dimaksudkan
untuk
menanggapi
kebutuhan-kebutuhan
masyarakat
dan
pembangunan yang dirumuskan oleh masyarakat sendiri dan mungkin saja dengan bantuan pihak luar (sell need and assistance) untuk memperlancar usaha mandiri
Universitas Sumatera Utara
melalui pengadaan teknologi dan tersedianya sumber-sumber daya yang sesuai dengan kebutuhan di desa. (4) Strategi Terpadu dan Menyeluruh. Strategi terpadu dan menyeluruh ingin mencapai tujuan-tujuan yang menyangkut kelangsungan pertumbuhan, persamaan, kesejahteraan dan partisipasi aktif masyarakat secara simultan dalam proses pembangunan desa. Secara konsepsional terdapat tiga prinsip yang membedakannya dengan strategi lain, yaitu: Pertama, Persamaan, keadilan, pemerataan dan partisipasi masyarakat merupakan tujuan yang eksplisit dari strategi terpadu ini. Oleh karena itu pemerintah desa yang berwenang harus: (a) memahami dinamika sosial masyarakat setempat, (b) memecahkan masalah yang dihadapinya, dan (c) memperkuat aparatur pemerintah desa dalam melakukan intervensi sosial. Kedua, Perlunya perubahan-perubahan mendasar, baik dalam kesepakatan maupun dalam gaya dan cara kerja, karena itu pemerintah desa ,harus memiliki komitmen yang kuat untuk: (a) menentukan arah, strategi, dan proses menuju terwujudnya tujuan dan sasaran pembangunan, (b) memelihara integritas masyarakat pedesaan yang didukung oleh local leadership (kepemimpinan lokal). Ketiga, Perlunya keterlibatan pemerintah desa dan organisasi sosial secara terpadu, untuk meningkatkan keterkaitan antara organisasi formal dan organisasi informal. (Raharjdo: 19-23, 2006) b. Pemberdayaan Masyarakat Untuk mengatasi persoalan kemiskinan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik di desa maupun di perkotaan, maka hal tersebut dapat dilaksanakan
Universitas Sumatera Utara
dengan melakukan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya dimana masyarakat berdaya dan mandiri dalam mengelola berbagai potensi yang mereka miliki dalam mencapai kesejahteraannya. Randy R. Wrihatnolo dan Riant Nugroho Dwidjowijoto (2007: 37-41) menyatakan bahwa ada 5 argumentasi mengapa pemberdayaan masyarakat untuk dapat menyelesaikan masalah kemiskinan dan pembangunan Indonesia. Pertama, demokratisasi proses pembangunan. Konsep pemberdayaan dipercaya mampu memjawab tantangan pelibatan aktif setiap warga negara (baca: rakyat) dalam proses pembangunan, mulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasinya. Salah satu pendekatan untuk mendemokratisasikan proses pembangunan adalah memberikan peluan sebesar-besarnya kepada lapisan masyarakat paling bawah (grass-root, baca: rakyat miskin) untuk terlibat dalam pengalokasian sumber daya pembangunan. Inilah hakikat konsep pembangunan yang diarahkan oleh rakyat atau dalam istilah lain disebut pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat (community-driven development). Proses ini diyakini mampu menjadi wahana pembelajaran pencerdasan bagi rakyat untuk mengenali kebutuhannya
serta
melaksanakan
dan
melestarikan
upaya
memenuhi
kebutuhannya itu. Penerapan konsep pemberdayaan dengan demikian mempunyai efek
samping
dalam
bentuk
mampu
memberikan
jalan
terlaksananya
penyelenggaraan ketatanegaraan secara baik. Kedua, penguatan peran organisasi kemasyarakatan lokal. Konsep pemberdayaan dipercaya mampu menjawab tantangan bagaimana melibatkan organisasi kemasyarakatan lokal berfungsi dalam pembangunan. Organisasi kemasyarakatan lokal merupakan pemegang peran sentral terjadinya perubahan sosial karena
Universitas Sumatera Utara
merekalah yang paling mengerti karakter lapisan masyarakat bawah. Dalam mekanisme
manajemen
pembangunan
modern,
peran
mereka
harus
diorganisasikan secara hierarkis agar informasi tentang situasi terkini dapat dijalin secara
multiarah,
baik
vertikal
maupun
horizontal.
Peran
organisasi
kemasyarakatan dalam mendampingi rakyat miskin sangat bervariatif, mulai sebagai inisiator, katalisator, hingga fasilitator. Ketiga, penguatan modal sosial. Konsep pemberdayaan diyakini mampu menggali dan memperkukuh ikatan sosial diantara warga negara (baca: warga masyarakat). Penguatan modal sosial mengandung arti pelembagaan nilai-nilai luhur yang bersifat universal, yaitu kejujuran, kebersamaan, dan kepedulian. Penguatan modal sosial merupakan motivasi dasar setiap kegiatan yang dapat menjadi spirit (pemacu) perwujudan tujuan pemberdayaan itu sendiri. Proses pemberdayaan dengan sendirinya mampu menciptakan kultur masyarakat yang mandiri, menciptakan hubungan harmonis diantara rakyat serta antara rayat dengan pamong praja. Keempat, penguatan kapasitas birokrasi lokal. Konsep pemberdayaan secara khusus diyakini mampu meningkatkan fungsi pelayanan publik dan pemerintahan khusunya kepada penduduk setempat. Konsep pemberdayaan memaksa jajaran rakyatnya agar rakyat dapat memperoleh dan memenuhi kebutuhan hidupnya baik fisik maupun nonfisik secara mudah. Dalam proses pemberdayaan – akhirnya – karena rakyatnya bertambah cerdas, pada akhirnya mereka mampu memaksa para penyelenggara pelayanan publik dan pemerintahan untuk belajar memahami dan melayani rakyatnya lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
Kelima, mempercepat penanggulangan kemiskinan. Konsep pemberdayaan dalam bentuknya yang paling menonjol diyakini dapat mempercepat penanggulangan kemiskinan, yaitu meninngkatkan kesejahteraan rakyat miskin, karena dalam pendekatan pemberdayaan ini para penyelenggara poembangunan – baik pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan – dituntut memberikan pemihakan dan perlindungan kepada rakyat miskin. Pemihakan dilakukan dengan senantiasa mengalokasikan suumber daya pembangunan untuk rakyat miskin. Karakter lokal harus menjadi landasan dalam pemihakan agar antara berpeluang dan aspirasi dapat terartikulasikan secara baik. Perlindungan dilakukan dengan senantiasa membela rakyat miskin dalam berbagai aspeknya yang positif. Rakyat miskin harus senantiasa dilindungi dan didampingi agar memiliki kekuatan untuk meraih (mengakses) sumber daya ekonomi. Oleh karena itu, peran pendamping sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan ini.
Lebih lanjut, kita perlu memperhatikan penyataan berikut: (1) tidak semua pendudukmempunyai usaha atau melakukan/memiliki pekerjaan tertentu; dan (2) tidak semua penduduk mempunyai usaha atau melakukan/memiliki pekerjaan tertentu, memiliki penghasilan yang mencukupi kebutuhan konsumsinya dan konsumsi untuk seluruh anggota keluarganya. Dengan demikian, kita dapat mengatakan: (1) apabila penduduk yang mempunyai usaha atau melakukan/memiliki pekerjaan tertentu mempunyai penghasilan yang kurang dari kebutuhan konsumsinya (termasuk konsumsi seluruh anggota keluarganya) berdasarkan kebutuhan minimum lokal, ia dapat dikategorikan sebagai penduduk miskin;
Universitas Sumatera Utara
dan (2) apabila penduduk miskin tidak mempunyai usaha atau tidak melakukan/memiliki pekerjaan tertentu (sehingga tidak mempunyai penghasilan), ia dapat dikategorikan sebagai penduduk miskin parah. Agar penduduk miskin (baca: anggota rumah tangga miskin) menjadi tidak miskin lagi, meraka memerlukan sesuatu yang dapat memberikan penghasilan atau sesuatu yang dapat meringankan beban konsumsinya. Dalam rangka memberikan peluang bagi penduduk miskin agar dapat mempunyai usaha atau melakukan/memiliki pekerjaan tertentu sehingga dapat mempunyai penghasilan, kita dapat memberikan peluang pekerjaan yang dapat menambah/memberikan penghasilan. Untuk dapat menjalankan kebijakan pembangunan yang baik dan berkelanjutan, maka diperlukan proses pemberdayaan masyarakat yang baik juga agar tujuan-tujuan pembangunan yang ingin diwujudkan dapat terlakasa sesuai rencana.
4. Pembentukan Desa a. Pengertian Pembentukan Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa pada pasal 2 ayat (1) mengatakan bahwa desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. b. Tujuan Pembentukan Desa Berdasarkan Permendagri No. 28 Tahun 2006 pada pasal 2 menyatakan bahwa pembentukan desa bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Latuconsina, pemekaran adalah bagian dari proses implementasi desentralisasi yang memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum berbagai macam tujuan dapat diklasifikasikan ke dalam dua variabel penting yakni peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan. Secara otomatis melalui otonomi daerah dalam hal ini adalah pembentukan desa baru dengan azas desentralisasi akan terjadi optimalisasi hirarki penyampaian layanan akibat dari penyediaan pelayanan publik dilakukan oleh instansi yang memiliki kedudukan lebih dekat dengan masayarakat sehingga keputusan-keputusan strategis dapat lebih mudah dibuat, adanya penyesuaian layanan terhadap kebutuhan dan kondisi yang ada di tingkat lokal, adanya tingkat perawatan terhadap infrastruktur yang ada melalui alokasi anggaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di wilayahnya tersebut. c. Dasar Hukum Pembentukan Desa 1. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Pada pasal 2 ayat (3) dalam PP No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa menyatakan bahwa pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada. Sedangkan pada pasal 2 ayat (4) menyebutkan bahawa pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih dapat dilakukan setelah mencapai paling sedikit 5 (lima) tahun penyelenggaraan pemerintahan desa.
Universitas Sumatera Utara
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 Permendagri
No.
28
Tahun
2006
Tentang
Pembentukan,
Penghapusan,
Penggabungan Desa Dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan merupakan aturan turunan dari PP No. 72 Tahun 2005 yang mengatur lebih lanjut tentang mekanisme pembentukan desa. Permendagri tersebut memuat tentang syarat dan tata cara pembentukan desa yang merupakan aturan terbaru yang ada pada saat ini. Tata cara pembentukan desa sebagaimana yang dimaksud pada pasal 5 Permendagri No. 28 Tahun 2006 dilaksanakan sebagai berikut: a. Adanya prakarsa dan kesepakatan masyarakat untuk membentuk desa; b. Masyarakat mengajukan usul pembentukan desa kepada BPD dan Kepala Desa; c. BPD mengadakan rapat bersama Kepala Desa untuk membahas usul masyarakat tentang pembentukan desa, dan kesepakatan rapat dituangkan dalam Berita Acara Hasil Rapat BPD tentang Pembentukan Desa; d. Kepala Desa mengajukan usul pembentukan Desa kepada Bupati/Walikota melalui Camat, disertai Berita Acara Hasil Rapat BPD dan rencana wilayah administrasi desa yang akan dibentuk; e. Dengan
memperhatikan
dokumen
usulan
Kepala
Desa,
Bupati/Walikota
menugaskan Tim Kabupaten/Kota bersama Tim Kecamatan untuk melakukan observasi ke Desa yang akan dibentuk, yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Bupati/Walikota; f. Bila rekomendasi Tim Observasi menyatakan layak dibentuk desa baru, Bupati/ Walikota menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa;
Universitas Sumatera Utara
g. Penyiapan Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada huruf f, harus melibatkan pemerintah desa, BPD, dan unsur masyarakat desa, agar dapat ditetapkan secara tepat batas-batas wilayah desa yang akan dibentuk; h. Bupati/Walikota mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa hasil pembahasan pemerintah desa, BPD, dan unsur masyarakat desa kepada DPRD dalam forum rapat Paripur na DPRD; i.
DPRD bersama Bupati/Walikota melakukan pembahasan atas Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan desa, dan bila diperlukan dapat mengikutsertakan Pemerintah Desa, BPD, dan unsur masyarakat desa;
j.
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah;
k. Peyampaian Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada huruf j, disampaikan oleh Pimpinan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama; l.
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada huruf k, ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak rancangan tersebut disetujui bersama; dan
m. Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa yang telah ditetapkan oleh Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada huruf 1, Sekretaris Daerah mengundangkan Peraturan Daerah tersebut di dalam Lembaran Daerah.
Universitas Sumatera Utara
d. Syarat-Syarat Pembentukan Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa menyatakan bahwa pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada. Sedangkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 28 Tahun 2006 menyatakan bahwa pembentukan desa bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Adapun pembentukan desa harus memenuhi berbagai syarat yang tertuang dalam yang tertuang dalam PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa dan Permendagri No. 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa Dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan adalah sebagai berikut: Syarat pembentukan desa berdasarkan PP No. 72 Tahun 2005 pada pasal 2 adalah sebagai beikut: a. jumlah penduduk; b. luas wilayah; c. bagian wilayah kerja; d. perangkat; dan e. sarana dan prasarana pemerintahan Sedangkan dalam Permendagri No. 28 Tahun 2006 pada pasal 3 dijelaskan lebih lanjut tentang syarat pembentukan tentang desa adalah sebagai berikut: a. jumlah penduduk, yaitu: 1) wilayah Jawa dan Bali paling sedikit 1500 jiwa atau 300 KK; 2) wilayah Sumatera dan Sulawesi paling sedikit 1000 jiwa atau
Universitas Sumatera Utara
200 KK; dan 3) wilayah Kalimantan, NTB, NTT, Maluku, Papua paling sedikit 750 jiwa atau 75 KK. e. luas wilayah dapat dijangkau dalam meningkatkan pelayanan dan pembinaan masyarakat; f. wilayah kerja memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun; g. sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan antar umat beragama dan kehidupan bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat; h. potensi desa yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia; i.
batas desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang ditetapkan dengan peraturan daerah; dan
j.
sarana dan prasarana yaitu tersedianya potensi infrastruktur pemerintahan desa dan perhubungan.
F. Defenisi Konsep Menurut Masri Singarimbun yang dikutip oleh Mardalis (2003: 45) bahwa konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama. Tujuannya adalah untuk menghindari interpretasi ganda dari variabel yag akan diteliti. 1. Kesiapan Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, “kesiapan” merupakan kata nomina atau kata benda dengan konfiks ke-an (2002:1038), dengan kata dasar “siap”. “Siap” berarti mengatur atau membereskan sesuatu sehingga tinggal memakai saja
Universitas Sumatera Utara
(2002:1417). Sehingga kesiapan adalah suatu keadaan telah siap, yaitu segala sesuatu telah diatur dan dibereskan untuk suatu pekerjaan dengan persiapan berupa perlengkapan, hal, tindakan,
rancangan dan sebagainya.
Jadi
kesiapan
daerah
(dusun)
menuju
pembentukan desa adalah kemampuan daerah (dusun) dalam mempersiapkan daerahnya sehingga memenuhi semua persyaratan suatu daerah dapat dibentuk menjadi desa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 2. Desa Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Pembentukan Desa Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa menyatakan pembentukan desa adalah dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada.
G. Defenisi Operasional Definisi operasional adalah unsur-unsur yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel, sehingga dengan pengukuran ini dapat diketahui indikatorindikator apa saja yang mendukung penganalisaan dari variabel-variabel tersebut (Singarimbun, 1989: 46). Widodo (2004: 52) mengutip pendapat Fred N. Kerlinger, bahwa
Universitas Sumatera Utara
definisi operasional merupakan spesifikasi kegiatan peneliti dalam mengukur suatu variabel. Dalam definisi operasional ini disajikan parameter/indikator dari variabel yang diteliti dengan tujuan untuk memudahkan membaca fenomena-fenomena yang diteliti. Berdasarkan permasalahan dan kerangka teori yang menjadi referensi teoritis dalam penelitian ini, maka indikator yang digunakan untuk mengukur variabel tunggal (Kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda Menjadi Desa Alue Tengku Muda) adalah sebagai berikut: a. Jumlah penduduk; b. luas wilayah dapat dijangkau dalam meningkatkan pelayanan dan pembinaan masyarakat; c. wilayah kerja memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun; d. sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan antar umat beragama dan kehidupan bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat; e. potensi desa yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia; f. batas desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang ditetapkan dengan peraturan daerah; dan g. sarana dan prasarana yaitu tersedianya potensi infrastruktur pemerintahan desa dan perhubungan.
Universitas Sumatera Utara