BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Fenomena berpacaran sudah sangat umum terjadi dalam masyarakat. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan memahami lawan jenisnya dan belajar membina hubungan sebagai persiapan sebelum
menikah,
untuk
menghindari
terjadinya
ketidakcocokkan
dan
permasalahan pada saat sudah menikah. Masing-masing berusaha mengenal kebiasaan, karakter atau sifat, serta reaksi-reaksi terhadap berbagai masalah maupun peristiwa. Menurut Rezeki (dalam Ardiyantini, 2010), berpacaran merupakan berkasih-kasihan, sedangkan definisi pacar adalah teman atau lawan jenis yang mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Definisi pacar sebagai hubungan pertemanan antar lawan jenis yang mempunyai landasan cinta kasih di luar pernikahan juga tidak mencakup hubungan antar sesama jenis. Di negara luar khususnya Amerika Serikat menyebut kata “partners” untuk mendeskripsikan hubungan baik antar lain jenis, maupun sesama jenis. Hal ini berbeda dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sudah menikah. Mereka memiliki komitmen yang lebih tinggi untuk benar-benar menghasilkan keturunan dalam sebuah ikatan rumah tangga. Berpacaran berbeda dengan bertunangan. Bertunangan adalah bersepakat (biasanya diumumkan secara resmi atau dinyatakan di hadapan orang banyak) akan
1
menjadi suami-istri. Definisi ini justru saling bertentangan. Biasanya berpacaran tidak diumumkan secara terbuka kepada orang banyak. Kekerasan dalam berpacaran adalah suatu tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (Arya, 2010). Kekerasan dalam berpacaran telah banyak terjadi di Indonesia seperti yang dipaparkan Alvita (dalam Ardiyantini, 2010) mengutip dari beberapa sumber sebagai berikut : Harian Suara Merdeka (8 Maret 2009) bahwa terdapat 28 kasus kekerasan dalam berpacaran. Rifka Annisa, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi dan gender menemukan bahwa sejak tahun 2001-2005, dari 1683 kasus kekerasan yang ditangani, 385 diantaranya adalah kekerasan dalam berpacaran. Rumah Sakit Bhayangkara di Makassar yang menangani masalah kekerasan terhadap perempuan mendapatkan bahwa dari tahun 2005-2006 ada 7 kasus kekerasan dalam berpacaran yang dilaporkan. Sedangkan PKBI Yogyakarta mendapatkan bahwa dari bulan Januari hingga Juni 2008 saja, terdapat 47 kasus kekerasan dalam berpacaran, 57%
di antaranya adalah kekerasan emosional, 20%
mengaku mengalami kekerasan seksual, 15% mengalami kekerasan fisik, dan 8% lainnya merupakan kasus kekerasan ekonomi. Berdasarkan data yang telah disebutkan menunjukkan tindak kekerasan yang terjadi saat berpacaran cukup mengkhawatirkan dan sangat merugikan 2
bagi para wanita. Hal tersebut berkaitan dengan dampak yang diterima oleh korban
kekerasan
dalam
berpacaran.
Permasalahan
kekerasan
dalam
berpacaran harus segera dicari jalan keluarnya. Karena dewasa awal merupakan generasi penerus bangsa yang akan memegang peranan penting bagi kemajuan bangsa di masa yang akan datang. Apabila pada masa dewasanya seseorang mendapat perlakuan yang kasar baik secara fisik maupun psikis sehingga dapat mengganggu kestabilan jiwanya, maka hal ini dapat membawa dampak yang buruk bagi perkembangannya, terutama dalam perkembangan jiwanya. Fathul, dkk (2007) mengemukakan kekerasan dalam berpacaran mengalami berbagai macam distorsi dengan pemahaman tentang hal-hal yang terjadi selama berpacaran. Sering didengar pengakuan bahwa cemburu adalah bagian dari cinta, padahal sering terjadinya kekerasan dimulai dari alasan ini. Pasangan menjadikan perasaan cemburu untuk dapat melakukan hal-hal yang possessive dan tindakan mengontrol dan membatasi. Kekerasan dalam berpacaran yang umum terjadi adalah kekerasan seksual dimana korban dipaksa mulai dari melakukan ciuman sampai dengan intercourse atau berhubungan seksual. Dewasa awal berani melakukan hubungan seksual asalkan mereka tidak mengalami kehamilan, sehingga hubungan seksual yang dilakukan lebih pada “safe-s e x”, tidak ada rasa tanggung jawab sedikit pun didalamnya. Kekerasan dalam berpacaran adalah kekerasan atau ancaman melakukan kekerasan dari satu pasangan yang belum menikah terhadap pasanganannya yang lain dalam konteks berpacaran atau tunangan. 3
Menurut Israr (dalam Ardiyantini, 2010) penyebab terjadinya kekerasan dalam berpacaran antara lain : kecenderungan korban menyalahkan diri (tidak berani
menolak
atau berkata
“tidak”),
menutup
diri,
menghukum
diri,
menganggap dirinya aib. Faktor-faktor penyebab ini berkaitan erat dengan kemampuan individu dalam mengungkapkan perasaan, pikiran, kebutuhan yang dimiliki secara jujur tanpa merugikan orang lain dan diri sendiri (asertifitas). Menurut Chalhoun dan Acocella (dalam Ardiyantini, 2010) menyatakan bahwa orang yang asertif akan memegang kendali atas dirinya, menentukan pilihannya sendiri dan percaya sepenuhnya akan kemampuan dirinya. Dengan demikian perempuan yang asertif akan mengungkapkan kebutuhan dan perasaannya jika ia merasa tertekan dengan tetap menghormati kepentingan pasangannya. Sebaliknya perempuan yang tidak asertif ketrampilan
komunikasi
yang
membuatnya
mampu
tidak memiliki menegosiasikan
kepentingannya, maka tanpa disadari ia telah menjadi korban kekerasan karena kegagalannya menyatakan pikiran dan kebutuhannya secara terus terang dan telah memberi peluang pada orang lain untuk tidak menghargainya. Hal tersebut sama halnya dengan membiarkan diri mereka disakiti secara fisik, seksual, emosi maupun sosial. Pada umumnya keluarga dan teman yang mengetahui bahwa ada anggotanya yang mengalami tindak kekerasan akan mencoba untuk membantu dengan segala cara. Namun ada pula yang menerima begitu saja tindak kekerasan yang dialami dengan menyetujui pendapat bahwa hal tersebut terjadi karena kesalahan perempuan tanpa mempertanyakannya. Mereka menyaksikan 4
dan mengetahui bahwa telah terjadi tindak kekerasan tapi tidak menyatakan kemarahan ataupun kepedulian. Selain itu, mereka juga dapat merahasiakan tindak kekerasan tersebut atau malah menyetujui tindakan pelaku. Respon semacam ini merupakan pesan yang terselubung namun sangat kuat kepada korban bahwa kekerasan dapat diterima. Pesan seperti ini membuat perempuan cenderung
untuk
mengabaikan
dampak
dari
tindak
kekerasan
untuk
mengecilkan kebutuhan mereka sendiri. Hal ini terjadi baik pada pasangan yang masih berstatus berpacaran ataupun pasangan yang sudah menikah. Perempuan diharapkan dapat memanfaatkan masa berpacaran sebagai upaya untuk lebih mengenal kepribadian pasangan, menilai kekurangan dan kelebihan pasangan sebagai bahan pertimbangan untuk melangkah ke jenjang hubungan yang lebih tinggi yaitu pernikahan. Namun kenyataannya yang kerap terjadi, dalam setiap hubungan antara lawan jenis khususnya berpacaran, perempuan selalu berada dalam posisi yang lemah dan terpinggirkan. Perempuan kerap menjadi korban kekerasan baik secara fisik, psikis, emosional maupun secara ekonomis oleh pasangannya. Namun yang lebih memprihatinkan pelaku kekerasan seringkali tidak mendapatkan hukuman yang layak, selain itu korban tindakan kekerasan yang telah terjadi kerap dipersalahkan dan tidak mendapat dukungan (Arya, 2010). Perempuan yang mengalami kekerasan diharapkan memiliki ketegasan dan keberanian untuk mengungkapkan perasaan yang menganggu dirinya serta kondisi yang tidak diinginkannya kepada pasangannya. Oleh karena itu tindakan kekerasan sebenarnya dapat dicegah jika perempuan memiliki keberanian yang 5
tinggi untuk menolak atau mencegah potensi kekerasan yang mungkin akan ia alami. Melihat berbagai fenomena kekerasan yang kerap dialami oleh para perempuan yang berpacaran, peneliti tertarik untuk menelaah secara lebih mendalam bagaimana gambaran asertifitas pada perempuan yang mengalami kekerasan dalam berpacaran.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan di atas maka perlu dirumuskan permasalahan. Permasalahan tersebut adalah : Bagaimana gambaran asertifitas pada perempuan yang mengalami kekerasan dalam berpacaran?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam mengenai gambaran asertifitas pada perempuan yang mengalami kekerasan dalam berpacaran.
1.4 Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan kegunaan yang bersifat teoritis dan kegunaan yang bersifat praktis. 1.4.1
Manfaat Teoritis a) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan referensi dalam mengembangkan penelitian-penelitian selanjutnya. 6
b) Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya bidang penelitian Psikologi Sosial mengenai gambaran asertifitas pada perempuan yang mengalami kekerasan dalam berpacaran. 1.4.2
Manfaat Praktis a) Bagi perempuan yang mengalami kekerasan melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi untuk mengetahui informasi lebih dalam berdasarkan pengalaman perempuan yang mengalami kekerasan tentang gambaran asertifitas perempuan yang mengalami kekerasan. b) Bagi Orang Tua yang anaknya mengalami kekerasan dalam berpacaran. Dengan membaca hasil penelitian ini, diharapkan untuk menambah
pengetahuan
dan
pemahaman
tentang
asertifitas
perempuan yang mengalami kekerasan dalam berpacaran, sehingga dapat lebih bijaksana dalam bertindak menghadapi situasi tersebut. c) Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat dan Lembaga Perlindungan Perempuan, diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan
yang
mencangkup
menangani
kekerasan
dalam
berpacaran.
7
1.5 Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I
:Pendahuluan, menguraikan latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
:Tinjauan pustaka, menguraikan teori yang digunakan dalam penelitian dan kerangka pemikiran.
BAB III
:Metode penelitian, menguraikan pendekatan kualitatif, metode pengambilan subyek, dan metode pengumpulan data,
BAB IV
:Hasil penelitian, menguraikan hasil wawancara meliputi analisis kasus atau gambaran subyek.
BAB V
:Kesimpulan, menguraikan langkah terakhir dari suatu penyusunan penelitian meliputi kesimpulan dan saran.
8