1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pemilu presiden merupakan momen penting bagi bangsa Indonesia untuk menentukan kelanjutan kepemimpinan pemerintahan. Tentu dalam hal ini hanya bisa dilakukan dengan memilih pemimpin yang tepat. Sementara itu, caprescapres berlomba untuk mempromosikan diri melalui berbagai media. Akibatnya banyak bermunculan wacana-wacana yang mengandung unsur persuasif untuk menarik simpati dari para pemilih. Masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam pelaksanaan pilpres juga tidak ketinggalan untuk ikut serta menciptakan wacanawacana baik yang berupa kritikan maupun dukungan terhadap para capres. Bentuk wacana yang muncul dalam pilpres sangat beragam, baik dalam bentuk berita, iklan, maupun wacana di media sosial seperti twitter. Salah satunya adalah akun twitter @CapresJokes yang mengemas isu-isu politik seputar pilpres 2014 dalam bentuk wacana humor. Twitter sendiri merupakan jejaring sosial yang berupa mikroblog yang memungkinkan para penggunanya untuk saling mengirim atau membaca pesan singkat yang lazim disebut kicauan (tweet). Kicauan berbentuk pesan singkat karena penggunanya hanya bisa menulis tidak lebih dari 140 karakter. Selain itu, pengguna twitter juga bisa mengunggah berbagai foto atau gambar disertai pesan. Wacana humor dalam akun @CapresJokes merupakan bentuk reaksi publik terhadap pelaksanaan pilpres dengan menjadikan capres-capres, tokoh
2
politik, dan partai sebagai sasarannya. Wacana tersebut mengemas dukungan, penolakan, maupun kritikan dalam bentuk gambaran peristiwa yang terkait dengan pelaksanaan pilpres 2014 yang diwujudkan dalam bentuk wacana humor sehingga tujuan tersebut dapat tersamarkan dengan efek jenaka. Cerita-cerita yang ada di dalam wacana humor politik bersifat fiktif, artinya pembuat wacana (penulis) sengaja menciptakan peristiwa dalam sebuah teks yang bermuatan humor terkait dengan isu-isu politik pada pilpres 2014. Walaupun demikian, sebagai sebuah karya kreatif tentu dalam penciptaannya didasari oleh observasi tertentu sehingga dapat menggerakkan emosi dan memancing efek jenaka bagi penikmatnya. Wacana dalam akun twitter @CapresJokes merupakan wacana humor politik karena sasaran humornya adalah tokoh-tokoh politik seperti Prabowo dan Joko Widodo sebagai capres-capres yang bersaing dalam pilpres 2014. Sebagaimana Raskin (1985: 222) mengemukakan bahwa humor politik menjadikan pimpinan politik, politikus, lembaga, kelompok, partai dan gagasangagasan politik sebagai sasaran. Sejalan dengan itu Rustono (1998:56) mengklasifikasikan humor menjadi empat tipe berdasarkan topiknya, yaitu humor seksual, humor etnik, humor agama, dan humor politik. Wacana humor pada akun twitter @CapresJokes merupakan wacana humor politik karena topik dalam humor tersebut mengandung muatan politik. Selanjutnya untuk memudahkan dalam menyebutan, maka wacana humor politik disingkat WHP. Humor dapat menjadi sarana untuk menyampaikan pesan atau kritik secara tersirat dan tersurat (Rohmadi, 2010: 286). Sebagaimana diketahui, WHP di akun
3
twitter @CapresJokes tidak saja hanya berisi humor semata, tetapi mengandung unsur-unsur yang implisit. Sifat humor yang ringan dan dianggap lucu sehingga membuat senang penikmatnya digunakan sebagai cara akun twitter @CapresJokes untuk menyampaikan kritikan maupun dukungan secara tersamar. Pemanfaatan humor dimaksudkan untuk menghindari sikap frontal dalam mengungkapkan pesan-pesan politik sehingga tidak menyinggung perasaan seseorang. Untuk lebih jelasnya, cermati nuansa humor yang terdapat dalam contoh-contoh berikut.
(1) Pasukan NAZI Bungkus :| #eyaah Pasukan NAZI Bungkus (56/26 Juni 2014) (2) Pikirkan Ibu Negara kami Pak Bowo...:v Prabowo : Apa yang kita bisa manfaatkan dari Rhoma nanti? Hatta Rajasa: Bininya 4, elo bisa minta 1 bro! Prabowo : Kagak kepikiran gw! (17/20 Mei 2014) (3) Duh dek... #pukpuk Suryadharma : Halo…dengan McD? McD : Selamat malam. Iya dengan McD. Ada yang bisa dibantu? Suryadharma : Bisa pesen, Mbak? McD : Iya…bisa. Pesan dada atau paha? Suryadharma : Kalo pundak ada, Mbak? Saya butuh pundak buat bersandar..saya sedih sekarang jadi tahanan KPK. (26/23 Mei 2014) (4) Santaii brooo! Wkwkwk Jokowi : Waduh…saya belum teruji di ITB dan IPB nih. Ahok : Santai Bro, ente kan capres bukan penyaring air bersih yang teruji ITB dan IPB. (117/27 Mei 2014) (5) Woles pak woles….
4
Terima kasih sudah ngatain saya anak PKI, capres boneka, maling, sinting, dll. Saiki aku presidenmu. (128/21 Agust 2014) (6) Nnggg ...... Jokowi : Saya ada Jusuf Kalla Prabowo : Saya punya Hatta…!! Jokowi : Hasyim Muzadi.. Prabowo : Mahfud..!! Jokowi : Anis Baswedan Prabowo : Marzuki Alie..!! Jokowi : Dahlan Iskan Bro.. Prabowo : Surya Dharma..!! Jokowi : Metro dong.. Prabowo : Nngg..TV One.. Jokowi : Slank..! Prabowo : Rhoma..Hiks.. Jokowi : Iriana.. Prabowo: ….!! (132/7 Juni 2014)
Alasan mendasar mengapa WHP di akun twitter @CapresJokes diteliti karena wacana ini berbeda dengan wacana humor lain seperti kartun, karikatur, dan sebagainya. Kekhasan WHP dapat diamati dari strukturnya, cara pencipta WHP dalam mengkreasikan humor, maupun fungsinya. Berdasarkan objek penelitian tersebut, penelitian ini membahas, pertama, struktur dari WHP di akun twitter @CapresJokes. Analisis struktur wacana digunakan sebagai dasar analisis wacana selanjutnya. Struktur teks WHP dalam akun ini berbeda dengan wacana humor lain, terutama pada bagian isi karena terdiri dari tweet dan meme. Tweet merupakan bagian isi yang berupa komentar. Sedangkan, meme merupakan sebuah gambar yang memuat ekspresi atau menggambarkan suatu kejadian baik dengan tulisan
5
dan atau foto yang menarik, atau bisa juga suatu gambar yang mewakili perasaan sang pembuat meme tersebut. Dawkins (1989), dalam bukunya The Selfish Gene, mengemukakan bahwa meme membawa ide-ide sosial, simbol, atau praktik tertentu melalui tulisan, gambar, omongan, ritual, gestur, dan fenomena lainnya yang dapat diimitasi. Meme dalam WHP di akun @CapresJokes memuat ide atau gagasan yang berupa tiruan suatu peristiwa politik. Dalam sebuah wacana, setiap bagian tentu mengemban fungsi masingmasing. Begitu pula pada WHP di akun @CapresJokes, setiap jengkal wacana berpotensi mengemban fungsi, seperti menyampaikan informasi, menghibur, menggambarkan peristiwa, dan sebaginya. Oleh karena itu, analisis tentang fungsi bagian-bagian maupun subbagian-subbagian WHP sangat perlu untuk dilakukan. Selain itu, ada beberapa kemungkinan tipe-tipe WHP yang digunakan oleh pencipta WHP dalam menyajikan wacananya. Analisis tentang tipe-tipe WHP diperlukan
dalam
rangka
menyelidiki
bagaimana
cara
pencipta
WHP
mengkreasikan humornya. Dengan memperhatikan contoh (1) s.d. (6) ada teks humor yang berbentuk dialog, monolog, serta nondialog dan nonmonolog. Tipetipe teks humor tersebut mempengaruhi bagaimana pencipta mengkreasikan humornya. Dengan demikian, analisis tentang tipe-tipe WHP perlu untuk dilakukan untuk mengetahui variasi dari WHP. Kedua, berdasarkan sudut pandang pragmatik, humor adalah salah satu bentuk permainan (Wijana, 2004: 2). Permainan yang dimaksud adalah permainan bahasa. Munculnya nuansa humor dalam WHP tentu sangat diperhitungkan oleh penciptanya sehingga pembaca dapat memperoleh efek humornya. Oleh karena
6
itu, permasalahan kedua membahas tentang bagaimana humor dikreasikan dalam WHP. Nuansa humor terlihat dengan jelas dalam wacana di akun twitter @CapresJokes, sehingga perlu juga dilakukan penyelidikan terhadap aspek-aspek yang mendukung penciptaan humor. Ketiga, meneliti makna sebuah tuturan dalam WHP merupakan usaha untuk merekonstruksi tindakan apa yang menjadi tujuan penutur ketika ia memproduksi tuturannya. Tujuan tuturan pada akhirnya merupakan analisis terhadap fungsi wacana. Oleh karena itu, kajian mengenai fungsi WHP dianggap penting. Dalam hal ini analisis akan melibatkan aspek tuturan yang lain seperti konteks.
(7) Ical: #rapopo Ndasmu! Jokowi : Aku nyapres. Ahok : Aku rapopo. Abu Rizal Bakrie : Rapopo ndasmu!
T M
(91/24 Mar 2014) Konteks : Setelah pencalonan Joko Widodo, media ramai membicarakan reaksi dari tokoh-tokoh politik lain. Tak terkecuali Abu Rizal Bakrie dari partai Golkar yang juga ikut dalam pencalonan presiden tahun 2014 dan Basuki Tjahya Purnama (Ahok) yang merupakan wakil Joko Widodo sebagai gubernur DKI Jakarta.
Pada data di atas menunjukkan bahwa penulis memanfaatkan konteks yang dikenal oleh pembaca, sehingga dapat membantu pemahaman pembaca dalam menangkap maksud penulis. Seperti yang dikemukakan Rohmadi (2010:291) bahwa baik penikmat maupun pencipta humor sama-sama memiliki background knowledge, sehingga konteks yang dimanfaatkan oleh pencipta humor dengan tulisan dan gambar ditangkap sama oleh penikmat humor. WHP pada data (7)
7
memiliki fungsi untuk menyindir. Sindiran ditunjukkan kepada Abu Rizal Bakrie (Ical) dan dibuktikan melalui tuturan Ical “Rapopo ndasmu!”. Tuturan Ical tersebut semakin menguatkan bahwa ia merasa tersaingi. Sehingga, dengan menampilkan kembali tuturan tersebut pada T, seolah-olah menunjukkan bahwa penulis menginginkan Ical untuk berhenti mengikuti pencalonan presiden. Keempat, menganalisis citra capres-capres yang terepresentasi dalam WHP. Sebagaimana Wijana (2014) dalam tulisannya “Membangun Citra Bangsa Indonesia: Studi Atas Tema Wacana Humor Berbahasa Indonesia” juga menggunakan teks cerita humor untuk menggambarkan bagaimana citra orang Indonesia berperilaku. Analisis citra capres-capres ini dilakukan karena diketahui bahwa dalam WHP terdapat figur-figur yang terepresentasi melalui tuturantuturan tokohnya sehingga membentuk citra tertentu. Figur-figur tersebut terutama menyasar kepada capres-capres, yaitu Prabowo dan Jokowi, yang menjadi kandidat presiden dalam pilpres 2014. Hal ini semakin menguatkan asumsi bahwa WHP merupakan jenis denigration jokes karena dalam praktiknya menyasar pada figur-figur tertentu. Denigration jokes merupakan salah satu jenis humor politik yang menyerang sasaran secara tajam dan langsung mengena ke figur tertentu (Raskin, 1985: 222). Berdasarkan data (7), fungsi tuturan adalah mengejek. Ejekan ditujukan kepada Ical yang merasa tersaingi oleh Jokowi sebagai bakal capres. Tokoh Jokowi diposisikan sebagai capres yang diprediksi menjadi lawan kuat dari ARB yang dibuktikan dengan tuturan Ical yang bernada kasar (marah) dalam menanggapi tuturan Ahok. Dalam tuturan ini, tokoh Ical direpresentasikan sebagai
8
bakal capres yang merasa terancam terhadap pengaruh kuat Jokowi. Dengan kata lain, Jokowi memiliki citra sebagai capres yang kuat. Sebagian besar humor dianalisis dengan menggunakan kerangka psikologi. Teori psikologi berpijak pada asumsi bahwa lelucon merupakan tipu daya emosional yang kelihatan seolah mengancam tetapi sebenarnya tidak, terdapat konflik antara dua dorongan yang saling bertentangan, dan terdapat dua makna atau interpretasi yang tidak sama yang digabungkan dalam satu makna gabungan yang kompleks. Raskin (1985) meneliti humor dari segi linguistik dengan mengenalkan teori
semantik
humor
yang
memanfaatkan
keambiguan
yaitu
dengan
mempertentangkan makna pertama yang berbeda dengan makna kedua. Pembaca atau pendengar menikmati kelucuan apabila mengambil salah satu makna, dan kemudian menertawakan dirinya karena ia salah. Meneliti humor dengan berpijak pada penemuan Raskin dibuktikan bahwa kelucuan humor terbentuk karena adanya kontadiksi gagasan (Noerhadi, 1989; Wijana, 1995: 14). Selain dari sudut pandang semantik humor, wacana humor juga dapat diteliti dari sudut pandang pragmatik. Aspek kebahasaan dan pragmatik dirasa perlu untuk diteliti karena pada dasarnya proses penciptaan humor tidak semata menyangkut penyimpangan aspek semantik, tetapi juga termasuk di dalamnya penyimpangan terhadap aspek-aspek pragmatik. Soedjatmiko (1991) yang akhirnya menganalisis wacana humor dengan menggunakan teori semantik humor dan teori pragmatik humor, walaupun hasilnya tidak secara mendalam menguraikan tentang penyimpangan aspek kesopanan.
9
Berangkat dari penelitian-penelitian tersebut, penulis mengkaji WHP ini selain menggunakan kerangka berpikir Raskin bahwa ada pertentangan gagasan dalam mengkreasikan humor juga menggunakan teori pragmatik humor. Dengan menggunakan kerangka pragmatik diharapkan dapat diketahui berbagai variasi dalam mengkreasikan humor WHP.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, masalah dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.2.1
Bagaimana struktur WHP di akun twitter @CapresJokes?
1.2.2
Bagaimana proses penciptaan humor WHP di akun twitter @CapresJokes?
1.2.3
Bagaimana fungsi WHP di akun twitter @CapresJokes?
1.2.4
Bagaimana citra capres yang terepresentasi dalam WHP di akun twitter @CapresJokes?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut. 1.3.1
Mendeskripsikan struktur WHP di akun twitter @CapresJokes.
1.3.2
Mendeskripsikan proses penciptaan humor WHP di akun twitter @CapresJokes.
1.3.3
Mendeskripsikan fungsi WHP di akun twitter @CapresJokes.
1.3.4
Mendeskripsikan citra capres yang terepresentasi dalam WHP di akun twitter @CapresJokes.
10
1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperoleh manfaat, baik secara teoretis maupun praktis. Berikut ini manfaat teoretis dan praktis terhadap kajian wacana humor politik di akun twitter @CapresJokes.
1.4.1
Manfaat Teoretis Secara teoretis, hasil dari penelitian ini secara umum diharapkan dapat
mengembangkan teori linguistik, terutama tentang analisis wacana humor politik. Selain itu, topik tentang wacana humor dalam pemilu presiden dapat dijadikan pilihan pustaka dalam kajian fenomena kebahasaan dari berbagai sudut pandang. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi penelitian lanjutan sebagai langkah untuk mengembangkan penelitian dalam bidang linguistik.
1.4.2
Manfaat Praktis Secara praktis, kajian ini juga diharapkan bermanfaat bagi pembaca dalam
menyikapi fenomena penggunaan bahasa pada kampanye presiden. Selain itu, kajian terhadap wacana di jejaring sosial juga berguna menumbuhkan sikap kritis masyarakat,
mengingat
bahwa
pencipta
wacana-wacana
tersebut
bukan
merupakan subjek yang netral dalam memandang suatu peristiwa.
1.5 Tinjauan Pustaka Telah ada beberapa penelitian tentang wacana humor yang dilakukan oleh para ahli. Penelitian-penelitian tersebut setidaknya dapat menjadi sumber arahan atau informasi, serta fokus penelitian yang belum pernah diteliti. Dengan
11
demikian, peneliti dapat melakukan pengembangan dan mengkaji lebih dalam lagi. Beberapa penelitian tersebut antara lain sebagai berikut. Selama ini, wacana humor lebih banyak diteliti untuk menganalisis proses penciptaannya. Salah satu penelitian tentang wacana humor dilakukan oleh Wijana (1995) dalam disertasinya berjudul “Wacana Kartun dalam Bahasa Indonesia” yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Kartun (2004), secara spesifik mendeskripsikan wacana humor bahasa Indonesia yang berupa kartun yang wujudnya visual dan menggunakan bahasa tulis. Ia mengkaji tentang penyimpangan aspek pragmatik, pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan, dan tipe-tipe wacana kartun bahasa Indonesia. Dalam kajiannya, ia menganalisis wacana kartun menggunakan studi pragmatik. Selain wacana kartun, Subagyo (1998) telah meneliti wacana pojok (WP) dari sudut pandang struktural dan pragmatik. WP adalah wacana dalam surat kabar harian yang oleh penulisnya ditujukan untuk menyentil tindakan atau peristiwa bernilai berita. Kajian terhadap WP bertujuan untuk mendeskripsikan struktur WP, aspek-aspek situasi tutur atau aspek-aspek pragmatis WP, tipe-tipe WP, serta humor dalam WP. Selanjutnya, wacana humor yang berbentuk teka-teki diteliti oleh Wahyuningsih (2012) dengan judul “Wacana Teka-Teki Humor Bahasa Indonesia: Analisis Struktur, Aspek Kebahasaan, dan Fungsi”. Ia mengkaji struktur wacana teka-teki humor, aspek kebahasaan yang digunakan, dan fungsi wacana teka-teki humor. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa struktur wacana teka-teki humor meliputi bentuk, pola, isi, dan teknik penciptaannya. Selanjutnya,
12
aspek kebahasaan yang dimanfaatkan meliputi aspek fonologis, morfologis, sintaksis, semantis, dan aspek pragmatis. Sementara fungsi wacana teka-teki humor yang ditemukan adalah menyindir, mengejek, membingungkan pembaca, dan mengacaukan pemahaman. Ketiga penelitian tentang wacana humor di atas, menganalisis dari sudut pandang struktural dan pragmatis. Penelitian-penelitian tersebut memberikan kontribusi yang penting terhadap penelitian tesis ini yaitu terutama dalam menganalisis struktur WHP, penciptaan humor, dan fungsi WHP. Sementara itu, penelitian tentang pencitraan pernah dilakukan oleh Aprilia (2013) dengan judul “Pencitraan Partai Demokrat di Harian Kompas dan Jawa Pos
dalam Pemberitaan Pemeriksaan Anas
Urbaningrum
oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)”. Penelitian ini menggunakan kerangka penelitian framing Robert Enmant untuk meneliti proses pembentukan suatu berita dan ideologi yang mempengaruhi pencitraan terhadap penyajiannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pemberitaan Kompas, Partai Demokrat terkait pemeriksaan Anas Urbaningrum oleh KPK dicitrakan sebagai partai yang tidak bersih dan tertutup. Sedangkan, pada harian Jawa Pos, Partai Demokrat dicitrakan sebagai partai yang memiliki solidaritas yang tinggi dan bersifat terbuka. Penelitian tersebut berusaha untuk menyelidiki citra Partai Demokrat dari sudut pandang kajian wacana media (ilmu komunikasi). Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan penulis ini yaitu dari sudut pandangnya. Penelitian dalam tesis ini menggunakan sudut pandang linguistik dalam menganalisis figur atau tokoh yang terepresentasi dari tuturan dalam WHP
13
yang berpotensi memunculkan citra dari figur atau tokoh tersebut. Akan tetapi, penelitian tersebut cukup memberikan kontribusi penting dalam hal menganalisis teks-teks kebahasaan yang merepresentasikan citra seseorang. Berdasarkan kajian beberapa penelitian di atas, menunjukkan bahwa belum ada penelitian tentang wacana humor politik di akun twitter @CapresJokes yang menganalisis struktur, penciptaan humor, fungsi, dan citra seseorang, kelompok, atau institusi yang terepresentasi dari wacana humor. Oleh karena itu perlu untuk melakukan penelitian tentang WHP dengan kerangka tersebut. Kajian ini menunjukkan bahwa wacana humor masih sangat memungkinkan untuk diteliti menggunakan kajian linguistik dengan pendekatan yang berbeda.
1.6 Landasan Teori 1.6.1
Struktur Wacana Istilah wacana dipakai oleh bermacam-macam disiplin ilmu dengan
perbedaan pengertian masing-masing. Menurut ilmu linguistik, Kridalaksana (2011: 259) memberikan pengertian bahwa wacana adalah satuan gramatikal tertinggi atau terbesar yang direalisasikan dalam bentuk karangan utuh. Pengertian wacana sering dirancukan dengan teks. Pada awalnya, keduanya dibedakan. Walaupun sama-sama merujuk pada satuan bahasa yang lebih besar dari kalimat, tetapi dalam analisisnya, keduanya memperlihatkan perbedaan fokusnya. Jika dalam analisis wacana, fokus analisisnya adalah struktur bahasa lisan, sedangkan analisis teks fokusnya adalah struktur bahasa tulis (Crystal via Yuniawan, 2005:287). Seiring dengan perkembangannya, pendapat tersebut terbantahkan
14
karena linguistik modern memperkenalkan teks yang meliputi semua jenis tuturan, sehingga teks dapat saja berupa artikel di majalah, wawancara televisi, percakapan, maupun resep masakan (Alba-Juez, 2009:6). Studi tentang wacana dalam linguistik merupakan reaksi terhadap studi linguistik yang hanya mengutamakan aspek kebahasaan dari kata atau kalimat saja tanpa menghubungkannya dengan relasi antarkalimat sebagai satu kesatuan yang utuh. Halliday dan Ruqaia Hassan (1976:1) mengungkapkan bahwa kesatuan dalam wacana tersebut bersifat semantis yang tidak dipandang dari segi bentuk saja tetapi juga dari makna. Oleh karena itu, wacana tidak harus diwujudkan dalam bentuk rangkaian kalimat yang lengkap melainkan dapat juga berupa frasa atau kata dengan diikuti konteks dan situasi. Luxemburg (1984:100) mengungkapkan bahwa wacana merupakan bentuk proses komunikasi verbal yang berkesinambungan, artinya terdapat tahapan yang sistematis yaitu dari titik mula, tengah berlangsung, sampai titik akhir. Tahaptahap komunikasi tersebut menentukan wacana yang dihasilkannya. Berdasarkan tahapan komunikasinya, sebuah wacana memiliki bagian-bagian, yaitu bagian awal wacana, bagian tubuh wacana, dan bagian penutup wacana. Bagian awal wacana berfungsi sebagai pembuka, bagian tubuh berfungsi sebagai isi, dan bagian penutup berfungsi sebagai penanda akhir wacana. Dari ketiga bagian tersebut, yang wajib ada adalah tubuh wacana. Oleh karena itu, bagian tubuh wacana merupakan bagian terpenting dalam sebuah wacana (via Baryadi, 2002: 14).
15
Lebih lanjut, menurut Baryadi (2002, 14-15), bagian-bagian wacana yang dikemukakan oleh Luxemburg (1984) tersebut merupakan pembagian wacana secara umum. Setiap bagian masih dimungkinkan untuk dirinci menjadi bagian yang lebih kecil lagi. Misalnya, pada bagian tubuh berisi wacana monolog atau dialog. Pada wacana monolog terdiri dari kalimat-kalimat yang berurutan linier yang diproduksi oleh pihak pembicara saja. Sedangkan wacana dialog bisa dirinci strukturnya, meliputi stimulus-respon yang diproduksi pembicara dan mitra bicara. Dengan mengacu pada pendapat Luxemburg (1984), WHP sebagai suatu bentuk proses komunikasi memiliki tahapan-tahapan sistematis sehingga menentukan wacana yang dihasilkannya. WHP tentu memiliki bagian-bagaian seperti halnya wacana pada umumnya. Bagian-bagian tersebut terbentuk secara terstruktur dan sistematis sehingga pembaca dapat merespon isi keseluruhan dari wacana tersebut.
1.6.2
Teori Linguistik Humor Menurut
pendekatan
pragmatik,
humor
pada
hakikatnya
adalah
penyimpangan implikatur konvensional dan implikatur pertuturan (Wijana, 2004: 19). Implikatur konvensional menyangkut makna bentuk-bentuk linguistik yang dalam hal ini dijelaskan dengan teori semantik humor yang memanfaatkan ambiguitas, sedangkan implikatur pertuturan (menyangkut prinsip kerjasama, prinsip kesopanan, dan parameter pragmatik) memanfaatkan teori Grice (1975) tentang prinsip kerjasama dan Leech (1985) tentang prinsip kesopanan.
16
Humor dalam kerangka psikologi berpijak pada tiga teori besar, yaitu teori pembebasan, teori konflik, dan teori ketidakselarasan (Wilson via Soedjatmiko, 1991: 70-71). Teori pembebasan menjelaskan bahwa lelucon merupakan tipu daya emosional yang kelihatan seolah mengancam tetapi sebenarnya tidak. Sementara teori konflik memberikan tekanan pada implikasi perilaku humor, yaitu terdapat konflik antara dua dorongan yang saling bertentangan. Sedangkan, dalam teori ketidakselarasan terdapat dua makna atau interpretasi yang tidak sama yang digabungkan dalam satu makna gabungan yang kompleks. Penelitian humor dari segi linguistik memiliki konsep yang sama seperti teori humor dalam kerangka psikologi, hanya saja dengan menggunakan istilah yang sedikit berbeda. Raskin (1985) memberikan istilah “perspektif-kognitif” untuk teori ketidakselarasan, “perilaku sosial” untuk teori konflik, dan “psikoanalistis” untuk teori pembebasan. Terlepas dari kedua teori tersebut, Wilson (via Soedjatmiko, 1991: 72) menyimpulkan bahwa semua teori tentang humor pada akhirnya menyimpulkan hal yang sama. Apabila humor disimbolkan dengan “X” dan kedua makna yang berlawanan dengan “M1” dan “M2”, terjadinya humor dapat dijelaskan dengan tahapan berikut. M1 = X = M2 dan M1 ≠ M2 Wacana nonhumor memiliki hubungan M1 dan M2 yang konjungtif (M1 = M2). Seperti pada contoh Konglomerat kaya harta dan Ilmuwan kaya ilmu. Kata kaya pada kedua kalimat tersebut bermakna sama yaitu „banyak memiliki‟ (Wijana, 2004: 24). Akan tetapi, dalam wacana humor, hubungan M1 dan M2 bersifat disjungtif (M1 ≠ M2). Seperti pada WHP berikut.
17
(8) Santaii brooo! Wkwkwk Jokowi Ahok
T
: Waduh…saya belum teruji di ITB dan IPB nih. M : Santai Bro, ente kan capres bukan penyaring air bersih yang teruji ITB dan IPB. (117/27 Mei 2014)
WHP (8) memanfaatkan ambiguitas antara makna literal dan nonliteral pada deretan frasa teruji di ITB dan IPB. Secara literal deretan frasa tersebut dimaksudkan untuk air bersih. Akan tetapi, dalam tuturan Ahok deretan frasa tersebut berparafrase dengan kalimat ente kan capres tidak memiliki makna seperti makna literalnya. Kelucuan WHP di atas dapat digambarkan pada bagan berikut. Air bersih = teruji di ITB dan IPB = capres Air bersih ≠ capres
Menurut Raskin, sebuah teks dikatakan sebagai teks humor jika memenuhi dua kondisi berikut (Raskin, 1985: 99): (1) Teks humor, sebagian atau seluruhnya, merupakan keselarasan dengan melibatkan dua script. (2) Kedua script yang membangun keselarasan itu berlawanan secara khusus. Kondisi di atas dapat dijelaskan bahwa teks humor terbentuk dengan melibatkan dua script yang berbeda, dimana yang dimaksud dengan script adalah pemetaan makna (semantic mapping) berdasarkan informasi semantik yang melekat pada kata. Ketidakselarasan pada dua pemetaan makna tersebut yang akhirnya dapat memunculkan efek lucu dalam humor seperti yang telah dicontohkan sebelumnya pada WHP (8). Humor secara tidak kongruen
18
menyatukan dua makna atau penafsiran yang berbeda ke dalam suatu objek yang kompleks. Ketidakselarasan bagian-bagian itu dipersepsikan secara tiba-tiba oleh penikmatnya. Adanya kesalahan inferensi pada tuturan Jokowi yang menyatakan bahwa dirinya belum teruji di ITB dan IPB dengan konsep air bersih yang teruji di ITB dan IPB akhirnya membentuk kelucuan WHP. Selain menyimpangkan makna, tindak ujar yang terdapat dalam wacana humor menyimpang dari yang terdapat pada komunikasi serius. Raskin (1985: 100) menyebut komunikasi humor sebagai komunikasi yang non-bonafide. Oleh karena itu, wacana humor seringkali menyimpang dari aturan-aturan yang digariskan oleh pragmatik. Aspek-aspek pragmatik yang dilanggar oleh wacana humor antara lain prinsip kerjasama, prinsip kesopanan, dan parameter pragmatik. Lebih lanjut, Attardo (1994:138) menyebut ciri khas komunikasi humor adalah penyimpangan-penyimpangan terhadap prinsip kerjasama secara sengaja pada salah satu maksimnya atau lebih. Dalam komunikasi normal, peserta percakapan seharusnya mematuhi maksim-maksim untuk melaksanakan prinsip kerjasama tersebut. Pengkreasian humor dalam WHP yang dilakukan dengan menyimpangkan prinsip kerjasama ini berlaku pada data yang berupa percakapan. Terdapat 4 maksim percakapan dalam prinsip kerjasama ini yang dikemukakan oleh Grice (1975:45-47), antara lain maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim
cara
(maxim of
manner).
Maksim
kuantitas
mengharuskan peserta pertuturan memberikan kontribusi secukupnya atau sebanyak-banyaknya terhadap lawan bicaranya. Maksim kualitas mengharuskan
19
peserta percakapan mengungkapkan informasi berdasarkan bukti-bukti yang memadai. Sementara itu, maksim relevansi mengharuskan peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah yang sedang dibicarakan. Sedangkan, maksim cara mengharuskan peserta pertuturan memberikan kontribusi yang rasional terhadap lawan bicaranya. Berikut contoh pelanggaran prinsip kerjasama dengan menyimpangkan maksim kuantitas (Grice, 1975:51): A B
: Where does C live? : Somewhere in the South of France.
Pada contoh tersebut, B memberikan jawaban atas pertanyaan A secara tidak lengkap. Jawaban tersebut tidak salah, tetapi jawaban yang diinginkan A sebenarnya lebih dari itu. Dalam hal ini, B tidak memberikan kontribusi yang cukup untuk menjawab pertanyaan A, sehingga tuturan B menyimpang dari maksim kuantitas dalam prinsip kerjasama. Selain prinsip kerjasama, dalam wacana humor seringkali diwarnai dengan penyimpangan prinsip kesopanan. Leech (1983: 132-138) mengajukan teori kesopanan berdasarkan prinsip kesopanan (politeness principle) yang meliputi maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Maksim kebijaksanaan, diungkapkan dengan tuturan imposif dan komisif yang mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian
20
orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Jadi, maksim ini berpusat pada orang lain. Maksim penerimaan, diungkapkan dengan tuturan komisif dan imposif. Maksim ini mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri. Dapat dikatakan bahwa maksim ini berpusat pada diri sendiri. Maksim kemurahan, diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim ini mengharuskan peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat pada orang lain atau meminimalkan rasa tidak hormat pada orang lain. Maksim ini berpusat pada orang lain. Peserta pertuturan yang meminimalkan penghargaan diri sendiri berarti menerapkan paradoks pragmatik, sedangkan peserta yang memaksimalkan keuntungan diri sendiri berarti menyimpang terhadap paradoks pragmatik. Selanjutnya, maksim kerendahan hati, diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif dengan mengharuskan peserta pertuturannya untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Maksim ini berpusat pada diri sendiri. Maksim kecocokan, diutarakan dengan menggunakan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim ini mengharuskan peserta pertuturan untuk memaksimalkan kecocokan antara penutur dan mitra tutur. Maksim ini memusatkan pada penilaian buruk atau baik penutur terhadap dirinya dan orang lain. Terakhir, maksim kesimpatian, juga memusatkan pada penilaian buruk atau baik penutur terhadap dirinya dan orang lain. Maksim ini diungkapkan dalam kalimat ekspresif dan asertif dengan
21
mengharuskan peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati pada lawan tutur. Sebagai contoh, berikut disajikan bentuk penyimpangan prinsip kesopanan.
(9) Gimana adek-adek??
T
Prabowo : Bahkan di Korea Utara pun tidak terjadi! M Hatta Rajasa : Di Korut mana ada pemilu begooooo. Fadli Zon : Itu gue yang ngajarin. (85/11 Agusts 2014)
Tuturan Hatta Rajasa meminimalkan rasa hormat pada Prabowo dengan menuturkan kata bego „bodoh‟ akibat pernyataan Prabowo yang salah. Tuturan Hatta Rajasa menunjukkan kesombongan dengan menyebut Prabowo bodoh. Jadi, tuturan Hatta Rajasa di atas menyimpang terhadap maksim kerendahan hati dalam prinsip kesopanan. Aspek pragmatik yang terakhir juga sering dilanggar oleh pencipta humor yaitu parameter pragmatik. Parameter pragmatik merupakan hal-hal yang mengatur strategi pemilihan bentuk-bentuk yang memiliki tingkat kesopanan yang berbeda (Wijana dan Rohmadi, 2009:59). Penutur mempergunakan strategi yang berbeda-beda dalam memperlakukan secara wajar lawan tuturnya. Brown dan Levinson (1978) menggolongkan strategi tersebut menjadi 4, yaitu kurang sopan, agak sopan, sopan, dan paling sopan. Strategi tersebut dikaitkan dengan 3 parameter pragmatik yang meliputi (1) tingkat jarak sosial (distance rating) antara penutur dan lawan tutur yang ditentukan berdasarkan parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural; (2) tingkat status sosial (power rating) yang didasarkan atas kedudukan yang berbeda antara penutur dan lawan
22
tutur; dan (3) tingkat peringkat tindak tutur (rank rating) yang didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lain. Berikut ini contoh penyimpangan parameter pragmatik dalam wacana humor.
(10) Pikirkan Ibu Negara kami Pak Bowo...:v
T
Prabowo : Apa yang kita bisa manfaatkan dari M Rhoma nanti? Hatta Rajasa: Bininya 4, elo bisa minta 1 bro! Prabowo : Kagak kepikiran gw! (17/20 Mei 2014) Tuturan Hatta Rajasa dalam contoh mengandung penyimpangan parameter status sosial yang didasarkan perbedaan kedudukan penutur dan lawan tutur. Seharusnya tuturan Hatta Rajasa lebih sopan karena sedang berbicara dengan mitra koalisinya, dimana kedudukan Prabowo adalah calon presiden sedangkan Hatta Rajasa adalah calon wakilnya. Ketiga aspek pragmatik yang telah diuraikan tersebut harus dipatuhi dalam komunikasi normal. Akan tetapi, wacana humor berusaha untuk menyimpangkan aspek-aspek tersebut untuk menciptakan kelucuan. Pragmatik mengkaji penggunaan bahasa tidak hanya pada aspek internal. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa penciptaan wacana humor juga tidak terlepas dari pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan seperti fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan wacana. Aspek-aspek kebahasaan tersebut merupakan aspek kebahasaan dari tataran terendah yaitu fonologi hingga tataran tertinggi yaitu wacana yang mencakup fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan konteks.
23
1.6.3
Fungsi Wacana Kegiatan komunikasi dalam pragmatik merupakan kegiatan yang
berorientasi tujuan (Leech, 1983: 30). Sejauh prinsip-prinsip pragmatik umum berorientasi pada tujuan atau didasarkan pada motivasi penutur, teori yang menjelaskan prinsip-prinsip tersebut bersifat fungsional. Teori ini berusaha mengkaji bahasa sebagai suatu sistem yang berhubungan dengan fungsi sosialnya. Oleh karena itu, sebuah wacana yang merupakan produk kegiatan komunikasi memiliki fungsi sosial tertentu. Meneliti fungsi sebuah wacana dilakukan dengan menyelidiki tuturantuturan di dalamnya. Fungsi tuturan dalam suatu wacana berkaitan dengan tindak ujar (atau tindak ilokusi) dan tuturan sebagai hasil dari tindak verbal. Meneliti makna sebuah tuturan merupakan usaha untuk merekonstruksi tindakan apa yang menjadi tujuan penutur ketika ia memproduksi tuturannya. Sebuah tuturan dalam suatu wacana dapat mengandung maksud atau tujuan yang berbeda apabila digunakan dalam konteks yang berbeda (Baryadi, 2012:16). Tujuan tuturan dapat disembunyikan oleh penuturnya melalui tindak tutur atau tuturan yang muatan maksudnya sudah menjadi pengertian umum di masyarakat sehingga pemahamannya sangat tergantung pada konteks. Sebagai contoh, tujuan tuturan dapat ditemukan salah satunya pada tuturan “Tolong Mbak, saya dibuatkan minum”. Tujuan tuturan tersebut adalah meminta tolong jika konteks yang dipahami apabila diucapkan oleh seorang ibu yang sedang sakit. Akan tetapi, jika yang mengucapkan adalah seorang ibu yang sedang tidak sibuk,
24
maka tuturannya bermaksud untuk mewujudkan kekuasaannya. Oleh sebab itu, tujuan tuturannya adalah menyuruh.
1.6.4
Citra (Image) Menurut KBBI (Pusat Bahasa, 2008) citra adalah rupa atau gambaran yang
dimiliki oleh orang banyak atau pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk. Lebih lanjut. Nimmo (2006) menyebut bahwa citra adalah segala hal yang berkaitan dengan situasi keseharian seseorang, menyangkut pengetahuan, perasaan, dan kecenderungannya terhadap sesuatu. Menurut teori image building, citra akan terlihat dan terbentuk melalui proses penerimaan secara fisik (panca indra), masuk ke saringan perhatian (attention filter), dan akan menghasilkan pesan yang dapat dilihat dan dimengerti yang kemudian berubah menjadi persepsi dan akhirnya membentuk citra. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa citra merupakan gambaran objek atau situasi pribadi atau sekelompok orang yang dipersepsikan oleh orang lain. Citra di dalam politik sebenarnya lebih dari sekadar strategi untuk menampilkan kandidat para pemilih. Tetapi juga berkaitan dengan yang dimiliki oleh pemilih baik yang diyakini sebagai hal yang benar atau tidak. Artinya, citra lebih dari sekadar kesan yang dibuat atau gambaran yang dibuat oleh pemilih. Citra adalah strategi seorang kandidat dalam menciptakan kesan personal dengan kepercayaan yang sudah ada dalam benak para pemilih. Pencitraan yang positif akan berpengaruh positif pula terhadap sikap, kepercayaan dan tingkah laku orang yang dipersuasi. Begitupun sebaliknya, pencitraan yang negatif akan berpengaruh negatif terhadap penilaian seseorang.
25
Berkaitan dengan WHP, citra yang dimaksud adalah gambaran objek atau situasi pribadi atau sekelompok orang yang terepresantasi berdasarkan hal-hal yang ditampilkan melalui tuturan-tuturan dalam wacana tersebut. merujuk pada pendapat Eriyanto (2001, 311) representasi wacana digunakan untuk menunjuk bagaimana objek, situasi pribadi atau sekelompok orang tersebut diungkap.
1.7 Metode Penelitian Penelitian tentang WHP di akun twitter @CapresJokes ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Alasan penggunaan rancangan penelitian kualitatif karena data yang diperoleh berupa bentuk kata-kata, ucapan, atau percakapan yang sulit untuk diteliti secara kuantitatif. Selanjutnya, metode penelitian dijabarkan berdasarkan tiga tahapan, yaitu penyediaan data, penganalisisan data, dan penyajian hasil analisis data (Sudaryanto, 1993:5). Tahapan-tahapan penelitian diuraikan sebagai berikut.
1.7.1
Tahap Penyediaan Data Data penelitian berupa wacana humor pada pilpres 2014 diambil dari akun
twitter @CapresJokes sejak akun ini dibuka yaitu pada tanggal 24 Maret 2014 hingga pengumuman hasil sidang sengketa pilpres oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 21 Agustus 2014 yang berujung pada ditetapkannya pemenang pilpres. Data keseluruhan berjumlah 148 data. Objek dalam penelitian ini adalah wacana humor yang menyasar Prabowo beserta tim suksesnya dan Jokowi beserta tim suksesnya.
26
Data dikumpulkan dengan menggunakan metode simak. Metode simak diwujudkan dengan membaca penggunaan bahasa secara tertulis. Data yang telah terkumpul kemudian diklasifikasikan untuk keperluan analisis data. Klasifikasi data dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu mengumpulkan wacana humor politik yang diasumsikan dapat mewakili yaitu dengan mengesampingkan WHP yang tidak mendukung analisis data.
1.7.2
Tahap Analisis Data Data yang telah diklasifikasi kemudian dianalisis dengan memanfaatkan
beberapa metode dan teknik analisis data. Pertama, analisis struktur WHP menggunakan metode agih dengan menerapkan teknik bagi unsur langsung (BUL). Cara kerja teknik ini adalah dengan membagi satuan lingual datanya menjadi beberapa bagian atau unsur, dan unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993:31). Berikut contoh penerapan teknik BUL terhadap WHP di akun twitter @CapresJokes.
(11)
Ada yg punya solusi???#capresjokes Prabowo : Jadi gimana kita ini bro? Ical : Gua juga bingung cyinn..
(kalimat tanya)T (Inisiasi) M (Respons) (83/24 Juli 2014)
Contoh (11) merupakan kutipan bagian ISI wacana. Bagian ISI memiliki struktur tweet-meme (T-M). Sebagai subbagian yang membangun sebuah wacana, masing-masing subbagian tersebut mengemban fungsi tertentu. Sebagaimana terlihat dalam contoh (11), tweet menunjukkan fungsinya untuk mengomentari
27
peristiwa dalam meme, sedangkan meme yang berbentuk percakapan dialog mengemban fungsi untuk menggambarkan peristiwa kebingungan yang dialami Prabowo. Kedua,
menganalisis
tentang
penciptaan
humor
dengan
melihat
pertentangan gagasan di dalamnya. Cara ini dilakukan dengan memeriksa hubungan pemetaan makna yang membentuk WHP. Selain itu, penciptaan humor juga dianalisis menggunakan metode padan pragmatis untuk WHP yang berbentuk percakapan. Metode padan pragmatis merupakan metode analisis data yang alat penentunya berupa mitra wicara (Sudaryanto, 1993:15). Metode ini digunakan untuk menganalisis penyimpangan aspek-aspek pragmatis yang dimanfaatkan untuk menciptakan humor. Analisis penciptaan humor juga dilakukan dengan menganalisis pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan untuk menciptakan humor. Aspek-aspek tersebut disajikan secara struktural dari tataran terendah hingga tertinggi, mulai dari aspek ortografis, fonologis, hingga semantis. Berikut ini contoh analisis penyimpangan aspek kebahasaan untuk WHP yang bertipe non percakapan.
(12) *huahahaha* #capresjokes TV0ON Survey sorangan, ngitung sorangan
T M (88/9 Juli 2014)
Pada contoh data di atas, nuansa humor terlihat pada subbagian T dan M. pada M, pemanfaatan aspek kebahasaan yaitu aspek ortografis. Tulisan “ONE” diganti dengan menambahkan huruf O di awal dan menghilangkan huruf E di
28
akhir sehingga jika dibaca berbunyi [ɔɔn] „bodoh‟. Sementara itu, tuturan di atas juga memanfaatkan penyimpangan aspek pragmatis dengan melanggar maksim kemurahan pada prinsip kesopanan. Tuturan tersebut melanggar maksim kemurahan dengan meminimalkan rasa hormat pada pihak lain, yaitu TV ONE. Ketiga, menganalisis fungsi wacana. Fungsi wacana dianalisis dengan memanfaatkan tindak-tindak ilokusi yang menghasilkan tuturan. Identifikasi dilakukan dengan interpretasi tweet dan meme dalam WHP yang bersangkutan. Terakhir, analisis citra dari figur capres-capres peserta pilpres 2014, Prabowo dan Jokowi, yang terepresentasi melalui tuturan-tuturan dalam WHP. Analisis citra ini dilakukan dengan metode interpretasi.
1.7.3
Tahap Penyajian Hasil Analisis Data Menurut Sudaryanto (1993:144-145) ada dua metode dalam menyajikan
hasil analisis data, yaitu metode formal dan informal. Metode penyajian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa walaupun dengan terminologi yang sifatnya teknis. Sementara itu, penyajian formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang. Penggunaan kedua metode ini bermanfaat dalam menyajikan hasil analisis data. Dengan demikian, hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan penggunaan kata-kata biasa serta tanda dan lambang.
1.8 Sistematika Penyajian Hasil penelitian disajikan dengan sistematika sebagai berikut. Bab I dikemukakan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
29
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian hasil analisis data. Pembahasan terhadap permasalahan disajikan pada Bab II, III, IV, dan V. Pada Bab II dikemukakan hasil kajian WHP dari aspek struktur yang meliputi pengantar, bagian-bagian WHP, fungsi bagian-bagian WHP, tipe-tipe WHP, dan diakhiri rekapitulasi. Bab III mengemukakan humor dalam WHP yang meliputi pengantar, penciptaan humor melalui perlawanan script, penyimpangan aspek pragmatis dalam WHP, pemanfaatan aspek kebahasaan dalam WHP, dan diakhiri dengan rekapitulasi. Bab IV menyajikan hasil kajian terhadap fungsi WHP, meliputi pengantar, fungsi-fungsi WHP, dan diakhiri dengan rekapitulasi. Selanjutnya, Bab V disajikan hasil kajian tentang citra capres yang terepresentasi dalam WHP. Hasil pembahasan bab ini meliputi pengantar, citra Prabowo, citra Jokowi, dan catatan tambahan mengenai WHP, serta diakhiri dengan rekapitulasi. Bab VI merupakan bab terakhir (Penutup) yang berisi simpulan dan saran.