BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Setiap orang yang bekerja akan mengalami pensiun, seseorang baru memasuki masa pensiun jika berusia 60 tahun bagi guru, 65 tahun bagi hakim di mahkama pelayanan atau bagi peneliti madya dan serta peneliti utama hal ini berdasarkan Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2013 tentang perubahan keempat atas peraturan Pemerintah nomor 32 tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Peraturan Pemerintah, 2013). Ketika seseorang memasuki masa pensiun secara psikologis sudah masuk pada kategori dewasa akhiratau yang lebih dikenal dengan istilah manula.Dari segi produktivitas kerja sudah menurun, dan dari tugas perkembangan pun mereka telah dipersiapkan untuk menikmati kehidupan mereka. Mempersiapkan diri menghadapi masa pensiun, masa dimana seseorang berhenti dari aktifitas bekerja secara formal yang disebabkan karena bertambahnya usia diikuti kemunduran fisik sehingga dibutuhkan penyesuaian diri terhadap masa pensiun, menurut Schwatrz dalam Hurlock (2008) pensiun merupakan pola hidup atau masa transisi dari pola hidup yang sudah menjadi rutinitas sebelumnya ke pola hidup yang baru sehingga pensiun selalu menyangkut perubahan peran, dari bekerja menjadi tidak bekerja atau terjadinya perubahan keinginan dan nilai seperti rasa ingin dihargai dan dihormati .
1
2
Hurlock (2008) mengungkapkan perubahan yang terjadi pada masa pensiun merupakan masa perubahan yang penting dalam kehidupan seseorang, dimana individu yang bekerja menjadi tidak bekerja yang akan berefek pada kurangnya penghasilan, kurangnya interaksi dengan teman sekantor, relasi-relasi dan meningkatnya waktu luang, sering kali hal seperti itu terjadi dari sesuatu yang dianggap ada menjadi tidak ada sehingga perasaan ketakutan akan kehilangan pekerjaan yang selama ini dilakukan. Sebagian orang dalam menghadapi masa pensiun memiliki pandangan positif, namun ada sebagian yang mempersepsikan pensiun secara negatif.dengan beranggapan bahwa pensiun merupakan akhir dari segalanya,
individu akan
memiliki kondisi mental tidak stabil, rasa kurang percaya diri, berlebih-lebihan dalam bekerja dengan anggapan bahwa individu yang pensiun tidak berguna lagi serta merasa tidak dibutuhkan lagi karena usia sudah tua dan produktifitas menurun. Masa pensiun bagi sebagian orang dipandang sebagai pertanda diri sudah tidak berguna sehingga menyebabkan orang menjadi sensitive, subjektif dan kurang realistis dalam menghadapi pensiun. Hal ini mengakibatkan depresi dan post power syndrome (Indriana, 2012). Pandangan negatif seseorang tentang pensiun menyebabkan individu menolak datangnya masa pensiun, sikap penolakan tersebut ditandai dengan adanya perasaan stres, cemas, dan depresi.Namun hal yang terjadi pada saat masa pensiun itu tiba, banyak individu tidak mau berhenti dari pekerjaannya (Indriana, 2012). Dalam laporan penelitan, dimana para hakim di Amerika umumnya cenderung menunda pensiun, mereka tetap aktif bekerja dengan mengabaikan
3
umur tua, kesehatan yang lemah dan masa pensiun (Garrow, 2000; Gross, 2007), masa pensiun menjadi jauh lebih sulit bagi mereka yang memiliki kekuasaaan dan kedudukan yang lebih tinggi, karena takut akan kehilangan jabatan mereka selama ini. Selama menghadapi masa pensiun individu akan mengalami banyak perubahan dalam dirinya, begitu juga yang terjadi pada Guru. Selama bertugas sebagai guru yang selalu memberikan pengajaran pada siswa, sering berinteraksi dengan siswa, menjadi contoh dan tauladan bagi siswa, menjadi motivator bagi siswa, selalu dihormati baik oleh siswa maupun oleh masyarakat.Kepercayaan yang diberikan masyarakat, di pundak guru merupakan tugas dan tanggung jawab yang berat.Sebab tanggung jawab guru tidak hanya di sekolah, tetapi juga di luar sekolah (Oktradiksa, 2012). Hasil wawancara yang dilakukan dengan salah seorang kepala sekola SDN kecamatanGemolong mengemukakan sebagian dari guru yang pernah mengajar di SDN 1 Gemolong tidak menerima situasi yang dialami ketika memasuki masa purna bakti kehilangan status sebagai guru akan berefek pada pendapatan ekonomi, tetapi hal itu tidak berlangsung lama, dukungan lingkungan sekitar terhadap status guru walupun sudah pensiun masih tinggi,
individu
diberikan
jabatan-jabatan
strategis
dalam
masyarakat.
(Wawancara, 26 April 2012) Peneliti menanyakan pada seorang guru Matematika yang masa tugasnya tinggal dua tahun setengah, tentang bagaimana mempersiapkan diri menjelang pensiun. Menurutnya hal yang harus dilakukan adalah mempersiapkan diri, menerima apa yang terjadi, bersyukur pada Tuhan, mengikuti kegiatan-kegiatan
4
sosial dimasyarakat terutama pengajian di malam jum’at dan berkumpul dengan teman yang juga memasuki masa purna atau yang sudah purna dilapangan badminton, saling bertukar pikiran dan saling memberikan motivasi, atau mengunjungi saudara, sehingga tidak akan muncul kekhawatiran ditinggalkan, kehilangan status sosial, tidak dipandang lagi oleh masyarakat atau terjadi stres karena tidak terpenuhi lagi perekonomian yang menyebabkan sakit pada fisik (Wawancara, 26 April 2013). Santaroso dan Lestari, (2008) mengungkapkan bahwa Post Power Syndromebanyak dialami oleh mereka yang baru saja atau hampir memasuki masa pensiun.Istilah tersebut muncul untuk individu yang mengalami gangguan saat memasuki waktu pensiun yaitu stres, depresi, tidak bahagia, merasa kehilangan harga diri dan kehormatan.Pensiun memutuskan seseorang dari aktivitas yang biasa dilakukan, Post Power Syndrome merupakan gejala pasca kekuasaan dimana sebagian individu merasakan kehilangan status sosial, jabatan, kekuasaan, penghasilan dan kehormatan. Post Power Syndrome terjadi karena beberapa faktor antara lain kurangnya penerimaan diri, penarikan diri secara sosial, masih menginginkan jabatan, konsep diri yang negatif, regulasi emosi ( Indriana, 2012). Menurut Suardiman (2011) faktor penyebab terjadinya post power syndrome adalah penurunan berbagai aspek seperti fisiologis, psikis, fungsi fisik, kognitif, regulasi emosi, minat, sosial, ekonomi dan religiusitas.Post Power Syndrome merupakan keadaan yang menimbulkan gangguan fisik, sosial, dan spiritual pada lanjut usia
5
saat memasuki waktu pensiun sehingga dapat menghambat aktifitas mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari ( Santoso dkk, 2008). Ancok dkk (2008) mengartikan religiusitas sebagai keberagaman yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Sumber keagamaan adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Ketakutan-ketakutan akan ancaman lingkungan alam sekitar serta keyakinan manusia tentang segala keterbatasan dan kelemahannya. Rasa ketergantungan yang mutlak, membuat manusia mencari kekuatan sakti dari sekitarnya yang dapat dijadikan kekuatan pelindung dalam kehidupannya dengan kekuasaan yang berada diluar dirinya yaitu Tuhan. Hasil penelitian The Princeton Religion Research Center ( Indriana dkk, 2011) melaporkan bahwa 72% dari orang-orang yang berusia 18-24 tahun mengatakan bahwa agama sangat penting dalam hidupnya, sedangkan pada orangorang yang berusia 50 tahun atau lebih berjumlah 91 persen. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa hanya 28% dari orang-orang yang berusia 18-24 tahun aktif menjalankan ibadah keagamaan dan 48% pada mereka yang berusia 50 tahun ke atas. Religiusitas sama pentingnya dengan ajaran agama, bahkan religiusitas lebih dari sekedar memeluk ajaran agama tertentu, religiusitas mencakup seluruh hubungan dan konsekuensi, yaitu manusia dengan penciptanya dan dengan sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Religiusitas lebih mengarah kepada
6
keseimbangan antara diri, orang-orang disekeliling, lingkungan dan pengakuan atau bentuk kepasrahan dalam menjalani perintah Tuhan (Suardiman, 2011). Moberg dalam Indriana dkk (2011) mengemukakan salah satu hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 57% dari respondennya merasa agama lebih berarti bagi mereka setelah pensiun dibanding sebelumnya. Penelitian ini juga melaporkan terjadi perbedaan pria dan wanita dalam melihat agama sebagai hal yang berarti dalam hidup, hasil penelitian menunjukan 66-71% pada orang lanjut usia wanita dan 52-55% pada pria mengatakan bahwa agama merupakan sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya dan hanya 5% wanita dan 7-19% pria yang mengatakan bahwa agama tidak berarti banyak bagi mereka. Dari hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa religiusitas meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Proses menghadapi pensiun akan mendorong individu pada banyak persoalan dan kejadian yang menuntut agar individu mampu mengatasi konflik yang mungkin akan dihadapinya dan dapat mempengaruhi perubahan-perubahan emosi, oleh karena itu di butuhkan regulasi emosi bagi para guru dalam menghadapi masa pensiun sebagai bentuk penyesuaian diri sehingga perilakunya dapat diterima oleh lingkungan dan mampu membuat mereka merasa nyaman. Regulasi emosi merupakan kemampuan individu dalam mengontrol emosi yang dimilikinya (Gross, 2007), menghadapi masa pensiun diperlukan sikap yang menerima kondisi dan keadaan yang terjadi baik pada diri individu maupun penyesuaian diri terhadap lingkungan sehingga tidak muncul rasa frustasi saat menjalain masa pensiun,
7
Kemampuan meregulasi emosi akan mendorong individu pada kepuasan hidup yang lebih baik, hal ini seiring dengan yang dikemukakan oleh Diener dan Suh dalam Suardiman (2011). Kemampuan meregulasi emosi akan memperkaya, kompleks dan bervariasi pada individu dimasa pensiun. Individu mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar dan beradaptasi dengan status yang baru, tidak merasa kehilangan pekerjaan yang selama ini di tekuni, mampu memposisikan diri dalam pergaulan sehari-hari baik di lingkungan keluarga maupun dengan tetangga sekitar tempat individu menetap ( Suardiman, 2011; Indiriana dkk 2011; Indriana 2012). Pada tahap-tahap tertentu, individu akan menghadapi beberapa kejadian dan masalah yang membentuk sikap menerima serta memahami apa yang terjadi di sekelilingnya sehingga akan membantu
dalam meregulasi emosi individu
secara positif. Penting bagi semua individu yang memasuki masa pensiun dalam kesehariannya untuk dapat meningkatkan kemampuan regulasi emosi yang baik agar dalam menghadapi masa pensiun akan sanggup mengatasi persoalanpersoalan kehidupan dengan bijaksana, mampu menyesuaikan diri dalam situasisituasi yang tidak menguntungkan, sehingga individu dapat menikmati hidup saat memasuki masa pensiun. Sejalan dengan hal yang terjadi diatas, terjadi fenomena yang saling berhubungan antara individu yang berpandangan negatif terhadap masa pensiun akan memunculkan Post Power Syndrome sehingga dibutuhkan religiusitas dan regulasi emosi. Individu yang memiliki religiusitas yang baik akan menerima masa pensiun dengan lapang dada, ikhlas, dan pasrah. Individu yang mampu
8
meregulasi emosinya akan mampu menyesuaikan diri dengan baik dalam lingkungannya sehingga akan lebih kuat menghadapi kondisi yang penuh tekanan selama transisi dari masa bekerja ke masa pensiun. Berdasarkan ulasan di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Apakah ada hubungan
religiusitas dengan Post Power
Syndrome pada guru menjelang pensiun ?, 2. Apakah ada hubungan regulasi emosi dengan Post Power Syndrome pada guru menjelang pensiun ?, 3. Apakah ada hubungan religiusitas dan regulasi emosi dengan Post Power Syndrome pada guru menjelang pensiun ?.
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk a. Mengetahui hubungan religiusitas dengan Post Power Syndrome pada guru menjelang pensiun. b. Mengetahui hubungan regulasi emosi dengan Post Power Syndrome pada guru menjelang pensiun. c. Mengetahui hubungan religiusitas dan regulasi emosi dengan Post Power Syndrome pada guru menjelang pensiun. 2. Manfaaat penelitan a. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran serta memberikan informasi dalam studi psikologi dalam kaitannya
9
pada hubungan religiusitas dan regulasi emosi dengan Post Power Syndrome pada guru menjelang pensiun. b. Manfaat Praktis Melalui penelitian ini diharapkan guru yang menghadapi usia pensiun mampu menghadapi masa pensiun ketika sudah tiba waktunya, dengan cara meningkatkan religusitas dan kemampuan meregulasi emosi sehingga terhindar dari Post Power Syndrome. C. Keaslian Penelitian Penelitian sebelumnya tentang Post Power Syndrome dengan judul Pengaruh Optimisme Menghadapi Masa Pensiun Terhadap Post Power Syndrome Pada Anggota Badan Pembina Pensiunan Pegawai (BP3) Pelindo Semarang yang dilakukan oleh Fandy Achmad Yunian (2013), letak perbedaannya dengan penelitian yang akan peneliti lakukan pada variable independen yaitu religiusitas dan regulasi emosi. Penelitian yang sejalan dengan penelitian yang akan di lakukan oleh peneliti adalah penelitian yang dilakukan oleh Santoso dan Lestari (2008) dengan judul peran serta keluarga pada individu yang mengalami Post Power Syndrome dimana penelitian ini menunjukan peran positif keluarga dalam membantu individu yang mengalami Post Power Syndrome, letak perbedaan dengan penelitian ini pada variabel independen. Dimana variabel independen dalam penelitian sebelumnya adalah dukungan keluarga sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan peneliti mengunakan religiusitas dan regulasi emosi sebagai variable independen.
10
Penelitian dengan judul perencanaan dan persiapan menghadapi masa pensiun Hakim (2007) difokuskan pada penyesuaian diri individu ketika memasuki masa pensiun penelitian yang dilakukan adalah penelitian ekperimental dengan cara membuat pelatiah mengahadapi masa pensiun, perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Hakim dengan yang akan diteliti pada metode penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Hakim menggunakan metode experiment sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan, peneliti mengunakan metode penelitian kuantitatif. Efektivitas
pelatihan
persiapan
pensiun
terhadap
kecemasan
menghadapi masa pensiun pada karyawan Perum Damri Semarang yang dilakukan oleh Sari (2011) sangat dekat dengan penelitian yang akan diteliti. Penelitan yang dilakukan Sari difokuskan pada karyawan yang hampir pensiun untuk menurunkan kecemasan yang dialami oleh karyawan Perum Damri Semarang, perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada metode penelitian. Metode penelitian yang digunakan Sari (2011) adalah metode eksperimen dengan mengukur pengaruh pelatiah pensiun dengan kecemasan menghadapi masa pensiun, sedangkan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif korelasi dimana penelitian yang akan dilakukan untuk melihat hubungan antara religiusitas dan regulasi emosi dengan kecenderungan post power syndrome Penelitian dengan judul hubungan antara penerimaan diri dan religiusitas terhadap kualitas hidup pada wanita lanjut usia dengan hasil Penelitian bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan yang positif
11
dan signifikan antara penerimaan diri dan religiusitas terhadap kualitas hidup pada wanita lanjut usia di wilayah Kecamatan Pundong Tahun 2011, perbedaan dengan penelitian yang nanti akan diteliti terletak pada variabel dependen, dimana penelitian ini menjadikan kualitas hidup sebagai variabel dependen sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan, peneliti mengunakan Post Power Syndrome sebagai variabel dependennya . Religiusitas, Keberadaan Pasangan Dan Kesejahteraan Sosial (sosial well being) Pada Individu Binaan PMI Cabang Semarang, oleh Indriana, Desiningrum, dan Kristiana, (2011) adalah penelitian yang di fokuskan kepada kesejateraan sosial sebagai variable dependennya sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan difokuskan pada kecenderungan post power syndrome. Penelitian tahun 2008 oleh Mariyani dengan judul
Hubungan
Adversity Quotient Dan Kecerdasan Ruhani Dengan Kecenderungan Post Power Syndrome Pada Anggota TNI AU di Lanud Iswahjudi Madiun. Perbedaan penelitian ini dengan yang akan diteliti terletak pada variabel independen, penelitan ini mengunakan Adversity Quotient Dan Kecerdasan Ruhani sebagai variabel independen sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti mengunakan religiusitas dan regulasi emosi sebagai variabel independen.