BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Organisasi mengalami perubahan karena organisasi selalu menghadapi
berbagai macam tantangan. Tantangan globalisasi seperti adanya agenda regional Asean Free Trade Area (AFTA) serta tantangan Asean Single Community (ASC) pada tahun 2015 memaksa seluruh kawasan ASEAN termasuk Indonesia untuk bergabung dalam kesepakatan kawasan perdagangan bebas (Sudjarwadi, 2013). Hal ini merupakan tantangan sekaligus ancaman bagi tenaga kerja Indonesia yang sehingga diperlukan sumberdaya manusia (SDM) lebih profesional agar mampu bersaing dengan tenaga kerja negara lain. Dalam menjawab tantangan globalisasi, peran perguruan tinggi yang akan mencetak SDM menjadi lebih berat. Persaingan bebas tenaga kerja membutuhkan kompetensi terampil yang didapatkan dari lulusan perguruan tinggi. Selain itu, berbagai isu terkait kualitas perguruan tinggi di Indonesia masih bervariasi sangat sehingga dampaknya para lulusan belum mampu bersaing di dunia kerja. Seperti yang dipaparkan oleh Sasono (2013) mengenai belum mampunya perguruan tinggi menjawab tantangan global yang semakin ketat digambarkan dengan kurangnya wawasan para intelektual perguruan tinggi. Hal yang sama dipaparkan oleh Rektor Universitas Mercu Buana, Nugroho (2014) kurangnya kompetensi hardskill dan softskill para lulusan perguruan tinggi kerap menjadi keluhan pelaku industri. Hal ini mengindikasikan, perguruan tinggi
belum membentuk kualitas lulusannya sesuai dengan kebutuhan kompetensi pasar. Dari data di internet melalui www.webometrics.info (2014) yang merupakan suatu media informasi pendidikan berbasis online disebutkan bawah tiga besar kampus terbaik di Indonesia hanya menempati peringkat ke- 414 (UGM), 532 (UI) dan 622 (ITB) pada urutan di World Rank, masih jauh dari yang diharapkan dan menjadi refleksi bagi kualitas perguruan tinggi di Indonesia. Beberapa isu tersebut menjadi pertanyaan besar mengapa kualitas pendidikan, khususnya pendidikan tinggi belum mampu menjawab tantangan globalisasi. Padahal di lain sisi, perguruan tinggi sebagai organisasi pendidikan menjadi ujung tombak peradaban generasi penerus bangsa. Secara konseptual, persyaratan kompetitif era informasi menjadi organisasi yang lebih global, lebih berorientasi pelanggan, lebih fleksibel, lebih berorientasi pembelajar dan lebih tergantung pada kerja tim, tuntutan ini menjadi kecenderungan untuk menjadi organisasi pembelajar yang mengharuskan individu pembelajar meningkatkan kemampuan dan berkolaborasi mengelola perbedaan, kompleksitas dan ambiguitas perspesi (Ulrich, 1998). Selain itu Ortenblad dan Koris (2014) memaparkan bahwa organisasi khususnya dengan core business mengajar dan pembelajar seperti sekolah dan universitas harus menjadi organisasi pembelajar. Dalam tataran kelompok atau organisasi, perguruan tinggi dengan perkembangannya (knowledge)
yang
menjadikan harus
pembelajaran
dikelola,
sehingga
sebagai muncul
objek istilah
pengetahuan knowledge
management, disinilah peran perguruan tinggi sebagai organisasi pembelajar (learning organization) untuk mengelola informasi, wawasan, serta pengalaman berbagai individu dalam suatu organisasi menjadi pengetahuan yang lebih bermanfaat. Perguruan tinggi merupakan organisasi yang didalamnya terdapat berbagai macam individu biasa disebut civitas akademika seperti pimpinan perguruan tinggi, pengelola, staf kependidikan, staf pendidik (dosen), mahasiswa, dan para stakeholder menjadi hal yang menarik untuk dikaji dari perspektif manajemen sumber daya manusia sebagai organisasi pendidikan yang terus tumbuh dan berkembang. Organisasi pendidikan khususnya perguruan tinggi dengan berbagai persaingan yang ketat dituntut untuk meningkatkan kemampuannya dan mengembangkan diri sehingga mampu memberikan jasa pendidikan melalui ilmu pengetahuan yang berkualitas didukung oleh seluruh civitas akademika. Tantangan itu timbul akibat dari perubahan lingkungan yang terus menerus berubah dan memaksa individu maupun organisasi untuk mengikuti perubahan tersebut. Untuk tetap eksis dalam lingkungan yang memiliki tantangan dan ketidakpastian, organisasi harus harus berubah atau beradaptasi untuk tetap bertahan. Perubahan lingkungan juga menuntut organisasi lebih fleksibel dan tanggap (responsiveness) terhadap lingkungannya. Saat ini perguruan tinggi menghadapi perubahan yang signifikan, di mana tuntutan dari para stakeholder lebih meningkat. Generasi muda sebagai penentu kehidupan berbangsa dan bernegara akan ditentukan oleh kemampuan perguruan
tinggi dalam menghasilkan alumni-alumni berkualitas. Untuk itu aktivitas penangkapan pengetahuan yang aktif melalui media elektronik, meningkatkan budaya membaca, kegiatan bedah buku, seminar, dialog, diskusi yang bisa dilakukan dalam interaksi sehari-hari, pengembangan dan penciptaan pengetahuan melalui penelitian dan pengabdian masyarakat harus didorong dan ditingkatkan terus. Maka pengembangan dan transmisi knowledge merupakan peran sentral dan tanggung jawab universitas. Peneliti meyakini bahwa faktor sumberdaya yang dimiliki masing-masing perguruan tinggi tidak terkecuali sumberdaya manusia memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan sebuah perguruan tinggi. Untuk itu diperlukan sebuah strategi yang tepat agar potensi yang dimiliki sumberdaya manusia mampu dikembangkan dengan lebih baik. Oleh karena itu, dengan tidak bermaksud menafikan berbagai faktor yang mungkin turut menentukan keberhasilan perguruan tinggi dalam mengemban amanat mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara maka konsep organisasi pembelajar (learning organization) nampaknya menjadi orientasi dalam efektifitas suatu perguruan tinggi. Perguruan tinggi baik secara eksplisit maupun implisit harus membangun kesadaran civitas akademika akan pentingnya pembelajaran sebagai dasar dan pendorong pengembangannya sebagai organisasi yang memperbaharui pengetahuannya (Absah, 2008). Pengetahuan merupakan salah satu intangible asset yang sangat penting dan memiliki nilai strategis. Dengan memahami hal ini seharusnya perguruan tinggi dapat memanfaatkan knowledge sebagai sumberdaya dalam usaha pencapaian
tujuan-tujuannya yakni peningkatan kualitas bagi seluruh melalui konsep organisasi pembelajar. Berbagai
tulisan
mengenai
organisasi
pembelajar
banyak
sekali
ditemukan, namun mayoritas dalam konsep organisasi bisnis. Maka dalam rangka melatarbelakangi relevansi ide organisasi pembelajar pada organisasi pendidikan, peneliti melakukan studi literatur mengenai organisasi pembelajar pada perguruan tinggi sebagai framework reference dalam penelitian. Sebelumnya berikut uraian beberapa penlitian mengenai organisasi pembelajar. Beberapa referensi peneliti mengenai makna dari organisasi pembelajar yang biasanya diadopsi oleh banyak peneliti sebelumnya dimulai dari March dan Olsen (1975) mengatakan dalam organisasi pembelajar setiap individu mempunyai kognisi sendiri yang mempengaruhi perilaku termasuk partisipasi individu dalam suatu organisasi serta kegagalan untuk pembelajar adalah dari kurangnya motivasi dalam organisasi, pandangan lain oleh Argyris dan Schon (1978) memaparkan bahwa organisasi pembelajar ditandai dengan anggota didalamnya yang memiliki kemampuan mendeteksi dan memperbaiki masalah yang muncul (detection and correction the error) melalui proses ini setiap anggota organisasi akan memetakan sebuah siklus pembelajar yang tertanam baik dalam dirinya sendiri. Dalam organisasi pembelajar terdapat sistem disiplin dalam meningkatkan kapasitas organisasi untuk menjadi organisasi yang lebih efektif (Senge, 1990). Disusul padangan lain mengenai organisasi pembelajar sebagai organisasi yang memfasilitasi pembelajaran pada semua anggota organisasinya (Pedler, 1991)
serta keahlian organisasi untuk menciptakan, memperoleh dan membagi pengetahuan dengan memodifikasi perilaku individu di dalamnya sehingga menggambarkan wawasannya (Garvin et al., 1993), disusul oleh Marsick dan Watskin (1996) mengatakan bahwa sebuah organisasi pembelajar dinilai sebagai salah satu yang memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan orang dan struktur untuk memindahkan organisasi ke arah pembelajaran dan perubahan. Lain hal dengan Nonaka dan kawan – kawan (1994) melatarbelakangi penelitian organisasi pembelajar yang diciptakan melalui dialog berkelanjutan antara pengetahuan implisit dan eksplisit. Dari beberapa latarbelakang mengenai asal konsep organisasi pembelajar, maka dapat disimpulkan beberapa persamaan diantarnya bahwa organisasi pembelajar terkait dengan proses pembelajaran organisasi yang memaknai tentang pembelajar mandiri bagi individu dalam suatu organisasi, kesadaran organisasi untuk belajar dan mengelolanya, iklim yang memfasilitasi pembelajaran dan belajar dari pengalaman organisasi yang bergerak menuju perubahan. Dilain sisi, perbedaan yang muncul menurut peneliti terkait pemaknaan dari organisasi pembelajar itu sendiri, karena berbagai organisasi dapat mempunyai esensi yang berbeda mengenai konsep organisasi pembelajar tergantung dari jenis organisasi itu sendiri, walaupun pada tujuannya tetap mengarah pada efektifitas organisasi. Menjadi sangat menarik bagi peneliti mendapatkan bahwa terdapat banyak penelitian mengenai organisasi pembelajar pada perguruan tinggi yang diadopsi dari penelitian-penelitian yang sebelumnya dipaparkan. Hal senada dikemukakan
oleh Rowley (2000) yang menyatakan bahwa pada dasarnya perguruan tinggi merupakan organisasi yang dicirikan oleh creating knowledge, dissemination dan learning organization. Dari telaah literatur dalam satu dekade terakhir seperti yang diungkapkan oleh Kumar (2005) dalam latarbelakang penelitiannya bahwa perguruan tinggi swasta berusaha menjadi organisasi pembelajar dalam menjawab perubahan zaman serta menjadi kompetitif dalam lingkungan yang kompleks (Portfelt, 2006), karena menajdi organisasi pembelajar adalah proses mendasar perguruan tinggi manapun (Bratianu, 2007). Tahun berikutnya Lewis et al. (2008) mengadopsi The Fifth Disipline by Senge dalam melihat komitmen perguruan tinggi menjadi organisasi pembelajar, seperti menyebarkan pengetahuan (Greenwood, 2009) di era globalisasi untuk menjawab berbagai tantangan ke depan (Voolaid & Vanesaar, 2011) seperti yang dipaparkan sebelumnya. Selanjutnya Bak (2012) mengambil model Senge kembali dalam penelitiannya mengenai ekplorasi karakter organisasi pembelajar, ditutup selanjutnya dalam penelitian Ortenblad dan Koris (2014) yang memulai tulisannya dengan analisis berbagai ide awal mengenai konsep organisasi pembelajar di perguruan tinggi. Dari beberapa penelitian diatas, pada intinya paparan mengenai organisasi pembelajar di perguruan tinggi dilatarbelakangi oleh penelitian sebelumnya yang berasal dari organisasi bisnis diaplikasikan ke dalam organisasi pendidikan. Peneliti menyimpulkan bahwa organisasi pembelajar di perguruan tinggi
dilatarbelakangi dari persaingan yang makin cepat, tuntutan era globalisasi, sehingga bentuk dari organisasi pembelajar dapat berbeda tergantung dari jenis perguruan tinggi dan lingkungan sekitarnya. Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, berbagai penelitian mengenai organisasi pembelajar pada peguruan tinggi secara umum diadopsi dari penelitian di bidang bisnis seperti yang dipopulerkan oleh Senge (1990) masih sedikitnya referensi mengenai penelitian serupa dalam konteks perguruan tinggi, khususnya di Indonesia menjadikan kekosongan ilmu yang peneliti anggap perlu untuk dikaji lebih dalam lagi. Untuk itu peneliti tertarik mengenai konsep organisasi pembelajar pada organisasi pendidikan, khususnya perguruan tinggi sebagai wadah dalam memproduksi pengetahuan serta menjadi storage yaitu media penyimpanan “knowledge” dan tidak berhenti sampai hal tersebut, perguruan tinggi harus menjadi media transfer pengetahuan yang ada baik secara internal dan ekternal kepada masyarakat. Sama halnya dengan sebuah perguruan tinggi, sebagai sebuah organisasi jika menjadi organisasi yang statis, yang tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan yang berubah dan tidak memenangkan kompetisi dalam lingkungan tersebut maka organisasi tersebut akan mati. Hal ini dibuktikan dengan beberapa latarbelakang penelitian organisasi pembelajar pada perguruan tinggi dapat ditekankan pada faktor persaingan PT dalam era globalisasi yang makin pesat. Salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta bernama STMM (Sekolah Tinggi Multi Media) atau biasa dikenal dengan MMTC (Multi Media Training
Centre)
merasakan
tantangan
besar
dalam
menghadapi
dinamika
dan
kompleksitas lingkungan bisnis perguruan tinggi yang menuntut peran lebih besar dalam organisasi pembelajar. STMM merupakan satu-satunya sekolah tinggi negeri dibawah pemerintah yang mempunyai kekhasan di bidang multimedia. Sebagai sekolah tinggi yang menerapkan keunggulan, mengharuskan organisasinya belajar terus menerus dan mentransformasikan diri pada seluruh lingkungan organisasi. Dinamika STMM berubah dari lembaga training menjadi sekolah tinggi menarik untuk dikaji dalam perspektif organisasi pembelajar. Selain itu STMM sebagai kampus broadcast terbesar dengan peralatan lengkap menjadikan sekolah tinggi ini menjadi incaran khususnya masyarakat umum yang tertarik dunia broadcasting atau penyiaran multimedia. Seperti yang peneliti temui dilapangan salah satu bahwa kelebihan STMM, karena peralatan peralatan siaran televisi dan radio yang dimiliki oleh mmtc sangatlah lengkap. Peralatan siaran yang 70% di import langsung dari Jepang hasil kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Jepang dengan standar peralatan siaran yang mumpuni. Dengan memiliki tiga studio televisi dan tiga studio radio. Makanya jangan heran jika mengunjungi studio maka akan banyak melihat peralatan dengan sticker berbendera jepang dengan tulisan From People to Japan, dengan merk peralatan yang sebagian besar dikeluarkan oleh brand perusahaan ternama Sony. Didukung keunikan sumber daya alat dan kapabilitas STMM dengan berbagai fasilitas multimedia yang canggih apabila dikelola dan dimobilisasi dengan baik akan menghasilkan keunggulan kompetitif yang suistanable pada
perguruan tinggi agar mampu memenangkan persaingan dalam pasar khususnya STMM yang merupakan sekolah tinggi dibawah pemerintah RI tepatnya oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Sejarah panjang STMM yang ikut mempersatukan bangsa Indonesia dalam membangun masyarakat menjadikan lembaga pendidikan yang disegani khususnya kawasan Asia Tenggara. Dengan kurun waktu yang cukup dikatakan tidak singkat, sejak tahun 2000 penyelenggaran MMTC menjadi perguruan tinggi sudah mulai berjalan dan proses perizinan menjadi resmi STMM baru disahkan pada April 2014. Dalam berbagai proses menuju perubahan tersebut, STMM berkembang menjadi salah satu sekolah tinggi yang patut dilirik. Hal ini menjadi tantangan sekaligus peluang, karena tidak banyak sekolah tinggi dengan bidang multimedia yang mempunyai keunggulan dari sisi fasilitas canggih dalam hal broadcasting. STMM tidak berpuas diri, namun makin memotivasi diri untuk lebih baik dalam mengembangkan organisasinya sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Beberapa hal yang menjadi fokus persaingan STMM ialah: 1.
Munculnya beberapa program studi sejenis di berbagai universitas baik negeri maupun swasta;
2.
Adanya berbagai program kursus singkat yang didirikan oleh lembagalembaga (production house) tertentu;
3.
Perkembangan ilmu dan pengetahuan khususnya di bidang multimedia yang makin cepat dan canggih;
4.
Sumber daya manusia khususnya pengajar yang linier di bidangnya masih terbatas dan yang ada sudah bertambah tua; dan
5.
Tuntutan dunia kerja yang makin tinggi dengan tenaga yang terampil. Dari uraian tersebut diatas, penulis berkeyakinan bahwa berbagai faktor
persaingan pada STMM Yogyakarta baik secara internal dan eksternal menjadikannya perlu meningkatkan diri dalam kapasitas organisasinya. Paparan mengenai STMM demikian menarik bagi peneliti dengan kapasitas sebagai organisasi pemerintah untuk menjawab semua tantangan saat ini dan kedepan serta menjadi salah satu kekuatan yang harus dimiliki oleh organisasi. Untuk itu organisasi membutuhkan konsep implementasi yang menjadi alat untuk menaklukan perubahan. Salah satunya melalui organisasi pembelajar (learning organization) yang diterapkan oleh STMM Yogyakarta. Dalam organisasi pembelajar terjadinya proses pembelajaran yang sangat tergantung pada individu-individu yang berada dalam organisasi, karena mereka adalah pelaku pembelajaran organisasi. Hal ini tak luput dilakukakan oleh STMM MMTC menanggapi perubahan lingkungan yang ada. STMM merupakan sebuah sekolah tinggi berbasis broadcasting atau multimedia yang awalnya merupakan lembaga pendidikan dan pelatihan bagi para broadcaster yang dibawahi Deppen (Departemen Penerangan) sekarang berubah menjadi Kominfo RI (Kementrian Informasi dan Komunikasi Republik Indonesia). Dalam perjalanannya bertransformasi dari lembaga kedinasan menjadi swadana, STMM semakin memahami pentingnya organisasi pembelajar di terapkan dalam organisasinya. Berbagai proses menuju perubahan organisasi
memerlukan banyak pemikirian, adaptasi, baik atas perubahan dari luar dan dalam organisasi. Untuk itu peneliti tertarik melihat bagaimana implementasi peran perguruan tinggi (STMM) dalam membangun organisasi pembelajar. Hal tersebut menjadi latar belakang penelitian yang berjudul “Peran Perguruan Tinggi dalam Membangun Organisasi Pembelajar di STMM Yogyakarta. 1.2
Permasalahan Penelitian Permasalahan yang menjadi fokus penelitian yaitu: “Apa sajakah peran
perguruan
tinggi dalam
membangun
organisasi
pembelajar
di STMM
Yogyakarta?” Peneliti akan menjawab ketertarikannya mengenai proses perguruan tinggi, perannya serta wujud membangun organisasinya sebagai organisasi pembelajar, khususnya di STMM dengan berbagai ciri khasnya sebagai sekolah tinggi yang menarik mata berbagai pihak. 1.3
Keaslian Penelitian Dari latar belakang penelitian terdapat banyak sumber yang memaparkan
organisasi pembelajar dalam konteks perguruan tinggi sebagai suatu organisasi pendidikan, untuk melihat lebih jelas gambaran penelitian terdahulu dengan fokus yang akan diteliti maka peneliti akan menjelaskan lebih rinci penelitian sebelumnya yang menjadi referensi. Pertama, penelitian oleh Kumar (2005), objek penelitian fokus di perguruan tinggi swasta di Malaysia, dengan mengadopsi konsep organisasi pembelajar sebelumnya dari Marsick dan Watkins (1996) yang menggunakan
metode survey dengan pendekatan kuantitiatif mengukur fokus persepsi kepada efektifitas organisasi dengan mengembangan budaya pembelajar terstruktur dalam kurikulum. Dari penelitian tersebut dihasilkan pemaknaan organisasi pembelajar merupakan kegiatan belajar sambil bekerja, kesadaran organisasi untuk belajar, iklim yang memfasilitasi pembelajaran, dan struktur belajar. Peneliti lain, Bratianu (2007) dengan objek penelitian universitas mengadopsi konsep organisasi pembelajar dari dari Senge (1990), Marsick dan Watkins (1996) sebagai rancangan penelitian menggunakan pendekatan kualitatif menganalisis model yang sudah ada dikombinasi dengan studi literatur peneliti, hasil penelitian menggambarkan organisasi pembelajar di perguruan tinggi terkait berbagi pengetahuan yang terbuka di tengah birokrasi yang ada untuk menjadi organisasi yang lebih efektif. Mengadopsi kembali dari penelitian sebelumnya (Argyris & Schon,1978; Senge, 1990; Marsick & Watkins, 1996) digambarkan dengan pendekatan kualitatif melalui studi literatur dan observasi lapangan, penelitian dengan objek perguruan tinggi negeri di Kenya bahwa organisasi pembelajaran meliputi budaya pembelajar oleh para pimpinan, kerja sama dan pemberdayaan di dalam organisasi (Lewis et al., 2008). Sama seperti Nazari & Pihie (2012) dengan objek penelitian dosen di empat provinsi Iran, melalui metode survey menggunakan analisis Anova menggambarkan bahwa organisasi pembelajar ditentukan oleh individu organisasi yang memiliki tingkat persepsi yang berbeda satu sama lain.
Dari beberapa penelitan tersebut terdapat persamaan terkait dengan masalah yang diteliti yaitu objek penelitian terletak di suatu perguruan tinggi, dengan beberapa metode baik wawancara dan observasi serta dua jenis pendekatan yaitu kuantitatif dan kualitatif. Persamaan lainnya mengarah pada peran organisasi pembelajar dengan tujuan efektifitas organisasi perguruan tinggi. Namun dengan perbedaan beberapa fokus penelitian sebelumnya diantaranya iklim, budaya, struktur dan persepsi serta perilaku individu organisasi. Sedangkan berbeda dari yang sudah ada sebelumnya, penelitian ini lebih memfokuskan pada menggali bakal konsep (teori) yang muncul dari fenomena di lapangan mengenai implementasi organisasi pembelajar dengan pendekatan kualitatif melalui prosedur Grounded Theory. Selain itu berbagai latar belakang mengenai organisasi pembelajar di perguruan tinggi lebih mengarahkan perhatiannya pada rekomendasi perguruan tinggi untuk menjadi organisasi pembelajar sebagai respon berbagai perubahan pada dunia luar. Hal ini menarik, karena tidak ada definisi pasti dari peneliti sebelumnya mengenai konsep organisasi pembelajar di perguruan tinggi. Beberapa paparan diatas menjadi latar belakang masalah peneliti yang mendalami makna organisasi pembelajar itu sendiri dalam konteks perguruan tinggi, peneliti tertarik mengkaji implementasi organisasi pembelajar yang terkandung pada perguruan tinggi, khususnya di STMM Yogyakarta tanpa interverensi dari berbagai teori yang sudah muncul dan selain itu orisinalitas penelitian terdapat dalam objek atau lokasi di penelitian yang sebelumnya belum
pernah peneliti temukan penelitian yang mirip atau serupa dari segi fokus, pendekatan dan metode penelitian di sekolah tinggi tersebut. 1.4 Tujuan Penelitian Sesuai dengan fokus penelitian yang sudah dipaparkan sebelumnya, maka tujuan umum penelitian adalah untuk memahami peran perguruan tinggi dalam membangun organisasi pembelajar di STMM. Secara khusus penelitian bertujuan untuk : 1.
Menggambarkan berbagai hal yang dilakukan perguruan tinggi khususnya STMM dalam membangun dirinya sebagai organisasi pembelajar.
2.
Memahami dampak peran perguruan tinggi dalam membangun organisasi pembelajar di STMM Yogyakarta.
3.
Mengetahui bentuk atau contoh implementasi perguruan tinggi sebagai organisasi pembelajar di STMM Yogyakarta.
1.5
Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan bermanfaat secara teoritis menjawab berbagai
pertanyaan mengenai peran perguruan tinggi dalam membangun organisasi pembelajar serta secara praktis memberikan masukan mengenai apa sajakah cara, proses, serta contoh implementasi dari peran perguruan tinggi sebagai organisasi pembelajar baik bagi kalangan akademisi dan menambah referensi kepustakaan mengenai organisasi pembelajar bagi peneliti lain ke depan.