BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Ilmu pengetahuan itu sangat penting untuk berlangsungnya kehidupan seseoarang. Salah satu cara untuk menuntut ilmu yaitu melalui jalur pendidikan baik formal, informal ataupun nonformal. Seperti yang tercantum dalam UndangUndang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV pasal 13 dengan tegas menyatakan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal yang dapat saling melengkapi dan memerkaya. Sistem pendidikan juga harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan. Hal ini sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Banyak orang di sekitar kita tidak mengalami dengan tuntas duduk di bangku sekolah.
Menurut Muhammad (dalam Setiawan, 2010), Senior Peneliti ILO
(Organisasi Buruh Internasional), sebanyak 19% anak-anak di bawah 15 tahun tidak bersekolah dan lebih memilih untuk menjadi pekerja. Survei yang dilakukan ILO mencakup 1.200 keluarga di lima provinsi, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat,
1
2
Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Berdasarkan survei itu, Makassar memiliki jumlah anak putus sekolah terbesar di Indonesia. Menurut Rahmawan (dalam Setiawan, 2005), Program Manajer Kampanye ILO, hal ini disebabkan karena kesadaran orang tua yang masih rendah terhadap pendidikan. Hanya sekitar 39% orang tua di Makassar berpikir wajib belajar itu sampai SD. Itu pula yang menyebabkan para orang tua membiarkan anaknya untuk bekerja dalam jangka waktu yang cukup lama. Karena dari 1.200 keluarga yang ada, hanya sekitar 45% yang menyatakan keluarganya malu bila anaknya yang di bawah umur harus bekerja. Quinn (dalam Setiawan, 2005), Kepala Penasihat Teknik ILO, menyatakan permasalahan ini dapat diselesaikan jika ada upaya dari pemerintah untuk meningkatkan kesadaran para orang tua terhadap kebutuhan anaknya akan pendidikan. Menurutnya, banyaknya anak usia sekolah yang tidak bersekolah dan menjadi pekerja anak karena biaya pendidikan di Indonesia masih terlalu mahal. Sekarang saatnya bagi pemerintah untuk mengurangi biaya pendidikan bagi keluarga miskin. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan di luar negeri bahwa putus sekolah mengakibatkan banyak remaja memiliki keterbatasan pendidikan yang akhirnya dapat mengurangi kesejahteraan ekonomi dan sosial sepanjang kehidupan dewasa mereka (Rumberg, 1987 dalam Santrock 2006:19). Muridmurid putus sekolah karena banyak alasan. Dalam sebuah penelitian, hampir 50% anak muda putus sekolah menyebutkan alasan-alasan yang berkaitan dengan sekolah, seperti tidak menyukai sekolah, dikeluarkan atau diskors, 20%
3
menyebutkan alasan-alasan ekonomi untuk meninggalkan sekolah. Sepertiga murid perempuan putus sekolah karena alasan-alasan pribadi seperti kehamilan atau pernikahan (Rumberg, 1983 dalam Santrock 2006:19). Adapun penelitian terbaru tentang anak putus sekolah yaitu angka putus sekolah di jenjang pendidikan dasar hingga saat ini masih tinggi. Siswa yang putus sekolah di tingkat SD dan SMP sekitar 768.960 orang, terdiri atas 527.850 siswa SD dan 241.110 siswa SMP. Meski secara nasional angka putus sekolah mengalami perbaikan, di 19 provinsi angka putus sekolah di tingkat SMP masih cukup tinggi. Hal ini tercermin dari angka partisipasi kasar untuk tingkat SMP yang berada di bawah pencapaian nasional sekitar 98,11%. Pencapaian rata-rata angka partisipasi kasar di jenjang SMP/MTs secara nasional 2009/2010 mencapai 98,11% atau di atas target 95%. Artinya, masih ada sekitar 1,89 % penduduk usia SMP yang tidak sekolah. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Nasional, jumlah siswa SMP sederajat sekitar 12 juta siswa (Siry, 2010). Sementara anak usia SMP yang tidak menikmati bangku pendidikan SMP, sebagian tersebar di 19 provinsi, termasuk Jawa Barat. Provinsi lainnya adalah Papua Barat 79,59%, Nusa Tenggara Timur 79,91%, Papua 89,74%, Kalimantan Barat 82,11%, Kalimantan Selatan 86,76%, dan Kalimantan Tengah 89,45%. Adapun yang hampir mendekati rata-rata nasional adalah Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sumatera Selatan, Banten, Lampung, Kalimantan Timur, Bangka Belitung, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku. Mereka putus sekolah terutama akibat persoalan ekonomi. Selain itu, sekitar 920.000 lulusan SD tidak bisa melanjutkan pendidikan ke SMP dengan
4
beragam alasan. Adapun lulusan SMP yang tidak melanjutkan ke jenjang SMA sederajat lebih banyak lagi, yakni sekitar 30,1% atau sekitar 1,26 juta siswa (Siry, 2010). Menurut Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh (dalam Siry, 2010) saat ini jumlah siswa yang putus sekolah di tingkat SD sekitar 31,05 juta orang dan siswa yang putus sekolah di tingkat SMP sekitar 12,69 juta orang. Alasan utama tingginya angka putus sekolah dan tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena faktor ekonomi dan sulitnya akses ke sekolah. Karena itu, penyelesaian yang ditawarkan pemerintah juga harus menjawab akar masalah yang dihadapi masyarakat. Dari data di atas, sebagian besar yang putus sekolah adalah remaja. Padahal remaja itu merupakan generasi penerus bangsa yang seharusnya mereka bisa menikmati bangku sekolah. Masa remaja merupakan masa yang akan kaya potensi. Pemerintah harus bisa
menjawab akar permasalahan yang dihadapi
masyarakat agar setiap anak Indonesia bisa bersekolah tanpa harus memikirkan biaya yang begitu besar. Saat seseorang mempunyai keinginan kuat untuk sekolah tetapi biaya sekolah tidak ada, pada umumnya orang tua menyuruh anaknya untuk berhenti sekolah atau sebaliknya anaknya sendiri terpaksa berhenti sekolah. Untuk sebagian orang hal tersebut akan menjadi tekanan. Tekanan hidup berlangsung begitu intens dan cepat, seseorang perlu mengembangkan kemampuan dirinya sedemikian rupa untuk mampu melewati itu semua secara efektif. Untuk mampu menjaga
5
kesinambungan hidup yang optimal, maka kebutuhan akan kemampuan untuk menjadi resilien sungguh menjadi makin tinggi ( Hikmat, 2010). Rhodes dan Brown (dalam Hikmat, 2010) menyatakan bahwa anak-anak yang resilien adalah mereka yang beresiko memiliki disfungsi psikologis di masa yang akan datang akibat peristiwa hidup yang menekan, tetapi ternyata pada akhirnya mereka tidak memiliki disfungsi tersebut. Contohnya, tidak semua anak yang putus sekolah gagal mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak, tidak semua remaja nakal menjadi pelaku kriminal di masa dewasanya, dan sebagainya. Dalam perjalanannya, terminologi resiliensi mengalami perluasan dalam hal pemaknaan. Diawali dengan penelitian Rutter & Garmezy ( dalam Hikmat, 2010), tentang anak-anak yang mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan. Dua peneliti di atas menggunakan istilah resiliensi sebagai descriptive labels yang mereka gunakan untuk menggambarkan anak-anak yang mampu berfungsi secara baik walaupun mereka hidup dalam lingkungan buruk dan penuh tekanan. Ketahanan atau resiliency adalah kemampuan manusia untuk menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan yang dialaminya (Grotberg, 1995:6). Sikap resilien bukan hal magis, ini tidak hanya ditemui pada orang-orang tertentu, dan ini bukan pemberian dari sumber yang tidak diketahui. Semua manusia memiliki kemampuan untuk menjadi resilien dan mampu menghadapi kesulitannya termasuk individu-individu yang pernah mengalami putus sekolah.
6
Menurut Grotberg (1995:9) ada tiga kemampuan yang membentuk resiliensi. Untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah I Have. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah I Am, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah I Can. Sejauh ini penelitian tentang resiliensi di Indonesia khususnya, yang bersifat kuantitatif menyatakan adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara dukungan sosial dengan resiliensi (Sanni, 2009). Selain itu, penelitian yang bersifat kualitatif menyatakan bahwa kedua subyek penyandang tuna daksa memiliki kemampuan resiliensi dalam hidupnya setelah peristiwa kecelakaan yang menyebabkan salah satu tubuhnya diamputasi. Kedua subyek memenuhi kriteria resiliensi yang ditandai oleh insight, kemandirian, hubungan, inisiatif, kreativitas, humor, dan moralitas. Kedua subyek dapat mencapai resiliensi disebabkan oleh faktor I Have (Aku punya), I Am (Aku ini), dan I Can (Aku dapat) (Anggraeni, 2008). Fenomena yang peneliti temukan adalah subyek yang pernah mengalami putus sekolah yaitu S (22 tahun), salah seorang mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri di daerah J. Peneliti melakukan wawancara awal pada tanggal 17 Januari 2011. S berhenti sekolah ketika kelas satu SMP, karena ia melihat keadaan ekonomi orang tua yang kurang mencukupi. S takut beban orang tuanya semakin bertambah, sehingga memutuskan untuk berhenti sekolah atas dasar kemauan sendiri. Padahal selama di SD selalu mendapatkan juara pertama dan murid teladan se kecamatan B. Walaupun sudah berhenti sekolah, S tetap berkeinginan
7
untuk melanjutkan sekolah.
Peristiwa tersebut membuat S merasa tertekan,
sehingga ia sedih dan kecewa. Setelah tidak sekolah, S tinggal di pesantren yang tidak jauh dari rumahnya. Saat
di pesantren S mengikuti SMP terbuka, namun hanya sebentar karena ia
merasa malu paling tua di kelasnya. Tetapi keinginan S untuk sekolah tidak berhenti begitu saja. S tetap mempelajari buku-buku pelajaran SMP milik temannya satu pesantren. S juga mencari informasi untuk bisa melanjutkan sekolah. Akhirnya S mendapatkan informasi program paket B yang ijazahnya setara dengan SMP. S mengutarakan keinginan untuk melanjutkan sekolah kepada orang tuanya, mereka heran tidak mungkin bisa sekolah lagi karena sudah lama tidak sekolah. S meyakinkan orang tuanya bahwa ia bisa melanjutkan sekolah, sehingga orang tua S mengizinkannya. S sungguh-sungguh belajar dalam mengikuti program paket B, sehingga S bisa masuk ke sekolah negeri. Awal pertama masuk sekolah, S bingung untuk membayar biaya sekolah. S belajar dengan sungguh-sungguh, sehingga S mendapatkan beasiswa berprestasi untuk membayar SPP. S mempunyai keinginan yang kuat untuk melanjutkan sekolah. S yakin bahwa ia bisa mewujudkan cita-citanya dengan sungguhsungguh belajar dan mencari informasi beasiswa. Peristiwa putus sekolah yang dialami S tersebut membuat ia merasa tertekan, namun ia berusaha untuk bangkit dari keterpurukan untuk bisa melanjutkan sekolah.
8
Melihat fenomena yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis tertarik untuk mengetahui secara obyektif bagaimana individu yang pernah mengalami putus sekolah untuk berusaha sekolah lagi untuk mewujudkan cita-citanya dalam sebuah penelitian dengan judul “ Gambaran Resiliensi pada Mahasiswa yang Pernah Mengalami Putus Sekolah ”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka identifikasi masalahnya adalah: Bagaimana gambaran resiliensi pada mahasiswa yang pernah mengalami putus sekolah?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memeroleh gambaran yang mendalam mengenai resiliensi pada mahasiswa yang pernah mengalami putus sekolah.
D. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi pengembangan psikologi klinis yang ada di Indonesia terutama tentang resiliensi. 2. Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan pemicu untuk semangat menjadi seorang resilien masayarakat.
dalam
menjalani
kehidupan
bagi
semua
kalangan
BAB II LANDASAN TEORITIS
A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Istilah resiliensi berasal dari kata Latin resilire yang artinya melambung kembali. Awalnya istilah ini digunakan dalam konteks fisik atau ilmu fisika. Resiliensi berarti kemampuan untuk pulih kembali dari suatu keadaan, kembali ke bentuk semula setelah dibengkokkan, ditekan, atau diregangkan. Bila digunakan sebagai istilah psikologi, resiliensi adalah kemampuan manusia untuk cepat pulih dari perubahan, sakit, kemalangan, atau kesulitan (the Resiliency Center dalam Hikmat, 2010). Resiliensi (resilience) merupakan istilah yang relatif baru dalam khasanah psikologi. Paradigma resiliensi didasari oleh pandangan kontemporer yang muncul dari lapangan psikiatri, psikologi, dan sosiologi tentang bagaimana anak, remaja, dan orang dewasa sembuh dari kondisi stres, trauma dan resiko dalam kehidupan mereka (Deswita, 2006:14). Resiliency means being able to bounce back from life developments that may feel totally overwhelming at first (Al Siebert dalam Hikmat, 2010), Secara umum, resiliensi bermakna kemampuan seseorang untuk bangkit dari keterpurukan yang terjadi dalam perkembangannya. Awalnya mungkin ada tekanan yang mengganggu. Namun orang-orang dengan resiliensi yang tinggi akan mudah untuk kembali ke keadaan normal.
9
10
Ada individu yang mampu bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif sedangkan individu lain gagal karena mereka tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau setelah mengalami tekanan yang berat bukanlah sebuah keberuntungan, tetapi hal tersebut menggambarkan adanya kemampuan tertentu pada individu yang dikenal dengan istilah resiliensi (Tugade & Fredrikson, 2004 dalam Chandra, 2010). Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block (dalam Chandra, 2010) dengan nama ego-resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal. Secara spesifik, egoresilience adalah: “… a personality resource that allows individual to modify their characteristic level and habitual mode of expression of ego-control as the most adaptively encounter, function in and shape their immediate and long term environmental context.” (Block dalam Chandra, 2010). Dari definisi yang dikemukakan di atas, nampak bahwa ego resiliensi merupakan satu sumber kepribadian yang berfungsi membentuk konteks lingkungan jangka pendek maupun jangka panjang, sumber daya tersebut memungkinkan individu untuk memodifikasi tingkat karakter dan cara mengekspresikan pengendalian ego yang biasa mereka lakukan. Sejumlah ahli yang berbicara tentang resiliensi mengemukakan berbagai definisi resiliensi.
11
a. Grotberg (1995:6) menjelaskan bahwa resiliensi adalah kemampuan manusia untuk menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan yang dialaminya. b. Menurut Germezy (dalam Hurtes, et,el, 2001:334) resiliensi secara umum didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengatasi atau beradaptasi terhadap stres yang ekstrim dan kesengsaraan. c. Masten & Coatswerth (dalam Schoon, 2006:7) mengatakan bahwa untuk mengidentifikasikan resiliensi diperlukan dua syarat, yaitu yang pertama adanya ancaman yang signifikan pada individu (ancaman berupa status high risk atau pditimpa kemalangan dan trauma yang kronis) dan yang kedua adalah kualitas adaptasi atau perkembangan individu tergolong baik (individu berperilaku dalam compotent manner). d. Resiliensi disebut juga oleh Wolin & Wolin (dalam Chandra, 2010) sebagai keterampilan coping saat dihadapkan pada tantangan hidup atau kapasitas individu untuk tetap sehat (wellness) dan terus memperbaiki diri (self repair). e. Wolff (dalam Chandra, 2010) memandang resiliensi sebagai trait. Menurutnya, trait ini merupakan kapasitas tersembunyi yang muncul untuk melawan kehancuran individu dan melindungi individu dari segala rintangan kehidupan. Individu yang mempunyai intelegensi yang baik, mudah beradaptasi, social temperament, dan berkepribadian yang menarik pada akhirnya memberikan kontribusi secara konsisten pada penghargaan
12
diri sendiri, kompetensi, dan perasaan bahwa ia beruntung. Individu tersebut adalah individu yang resilien. f. Reivich dan Shatté (2002:15) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. g. Banaag, 1997 (dalam Karkara, 2008:11) menyatakan bahwa resiliensi adalah suatu proses interaksi antara faktor individual dengan faktor lingkungan. Faktor individual ini berfungsi menahan perusakan diri sendiri dan melakukan konstruksi diri secara positif, sedangkan faktor lingkungan berfungsi untuk melindungi individu dan “melunakkan” kesulitan hidup individu. h. Lazarus (dalam Chandra, 2010) menganalogikan resiliensi dengan kelenturan pada logam. Misalnya, besi cetak yang banyak mengandung karbon sangat keras tetapi mudah patah (tidak resilien) sedangkan besi tempa mengandung sedikit karbon sehingga lunak dan mudah dibentuk sesuai dengan kebutuhan (resilien). Perupaan tersebut bisa diterapkan untuk membedakan individu yang memiliki daya tahan dan yang tidak saat dihadapkan pada tekanan psikologis yang dikaitkan dengan pengalaman negatif. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk dapat bertahan menghadapi cobaan, untuk mempertahankan kehidupan yang baik dan seimbang dimana individu tersebut menyesuaikan diri dan beradaptasi
13
terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul dalam kehidupan serta dapat bangkit kembali dari tekanan atau masalah yang dihadapi.
2. Fungsi Resiliensi Reivich dan Shatté (2002:15) mencatat 4 fungsi resiliensi, yaitu: a. To overcome the obstacles of childhood (Untuk mengatasi kendala masa kanak-kanak) Individu memerlukan resiliensi untuk mengatasi kemalangankemalangan yang terjadi pada masa lalunya, seperti pengabaian emosional atau penyiksaan fisik untuk kemudian mengambil tanggung jawab dalam menciptakan masa depan yang diinginkan. b. To steer through the everyday adversities (Untuk mengatasi kemalangan pada kehidupan sehari-hari) Individu memerlukan resiliensi untuk mengatasi kemalangankemalangan yang terjadi pada kehidupan sehari-hari, misalnya berselisih pendapat dengan keluarga, tidak setuju dengan atasan, dan lain-lain. c. To bounce back from monumental crises and find away to move forward (Untuk bangkit kembali dari krisis dan bergerak maju) Kadang-kadang dalam perjalanan kehidupan terdapat peristiwaperistiwa yang sangat memukul, misalnya perceraian, kehilangan pekerjaan, atau kematian orang tua. Agar dapat bangkit kembali individu memerlukan resiliensi.
14
d. To reach out (Untuk menjangkau) Individu dapat mentransendensikan keinginan mempertahankan diri. Dengan resiliensi individu berani mengambil resiko, membuka diri untuk pengalaman dan tantangan baru sehingga ia memiliki kehidupan yang luas. Menurut Reivich dan Shatté (2002:27), individu yang memiliki kehidupan yang luas akan dapat menemukan makna dan tujuan dalam kehidupannya serta menghargai apa yang ia miliki dan alami.
3. Faktor- faktor yang Membentuk Resiliensi Berdasarkan Grotberg (1995: 9-12) ada tiga kemampuan yang membentuk resiliensi. Untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah I Have. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah I Am, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah I Can. a. I Have Faktor I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber dalam meningkatkan daya lentur. Sebelum anak menyadari akan siapa dirinya (I Am) atau apa yang bisa dia lakukan (I Can), anak membutuhkan dukungan eksternal dan sumber daya untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan keamanan yang meletakkan pondasi, yaitu inti untuk mengembangkan resilience. Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi. Sumber-sumbernya adalah sebagai berikut:
15
1) Trusting relationships (memercayai hubungan) Orang tua, anggota keluarga lainnya, guru, dan teman-teman mengasihi dan menerima anak tersebut. Anak-anak dari segala usia membutuhkan kasih sayang tanpa syarat dari orang tua mereka dan pemberi perhatian primer (primary care givers), tetapi mereka membutuhkan kasih sayang dan dukungan emosional dari orang dewasa lainnya juga. Kasih sayang dan dukungan dari orang lain kadang-kadang dapat mengimbangi terhadap kurangnya kasih sayang dari orang tua. 2) Struktur dan aturan di rumah Orang tua yang memberikan rutinitas dan aturan yang jelas, mengharapkan anak mengikuti perilaku mereka, dan dapat mengandalkan anak untuk melakukan hal tersebut. Aturan dan rutinitas itu meliputi tugas-tugas yang diharapkan dikerjakan oleh anak. Batas dan akibat dari perilaku tersebut dipahami dan dinyatakan dengan jelas. Jika aturan itu dilanggar, anak dibantu untuk memahami bahwa apa yang dia lakukan tersebut salah, kemudian didorong untuk memberitahu dia apa yang terjadi, jika perlu dihukum, kemudian dimaafkan dan didamaikan layaknya orang dewasa. Orang tua tidak mencelakakan anak dengan hukuman, dan tidak membiarkan orang lain mencelakakan anak tersebut.
16
3) Role models Orang tua, orang dewasa lain, kakak, dan teman sebaya bertindak dengan cara yang menunjukkan perilaku anak yang diinginkan dan dapat diterima, baik dalam keluarga dan orang lain. Mereka menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu, seperti berpakaian atau menanyakan informasi dan hal ini akan mendorong anak untuk meniru mereka. Mereka menjadi model moralitas dan dapat mengenalkan anak tersebut dengan aturanaturan agama. 4) Dorongan agar menjadi otonom Orang dewasa, terutama orang tua, mendorong anak untuk melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain dan berusaha mencari bantuan yang mereka perlukan untuk membantu anak menjadi otonom. Mereka memuji anak tersebut ketika dia menunjukkan sikap inisiatif dan otonomi. Orang dewasa sadar akan temperamen anak, sebagaimana temperamen mereka sendiri, jadi mereka dapat menyesuaikan kecepatan dan tingkat tempramen untuk mendorong anak untuk dapat otonom.
17
5) Akses pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan layanan keamanan Anak-anak
secara
individu
maupun
keluarga,
dapat
mengandalkan layanan yang konsisten untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh keluarganya yaitu rumah sakit dan dokter, sekolah dan guru, layanan sosial, serta polisi dan perlindungan kebakaran atau layanan sejenisnya. b. I Am Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri. Faktor ini meliputi perasaan, sikap, dan keyakinan di dalam diri anak. Ada beberapa bagian-bagian dari faktor dari I Am yaitu : 1) Perasaan dicintai dan perilaku yang menarik Anak tersebut sadar bahwa orang menyukai dan mengasihi dia. Anak akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain. 2) Mencintai, empati, dan altruistik Anak mengasihi orang lain dan menyatakan kasih sayang tersebut dengan banyak cara. Dia peduli akan apa yang terjadi pada orang lain dan menyatakan kepedulian itu melalui tindakan dan kata-kata. Anak merasa tidak nyaman dan
18
menderita karena orang lain dan ingin melakukan sesuatu untuk berhenti atau berbagi penderitaan atau kesenangan. 3) Bangga pada diri sendiri Anak mengetahui dia adalah seseorang yang penting dan merasa bangga pada dirinya dan apa yang bisa dilakukan untuk mengejar keinginannya. Anak tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkannya. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut. 4) Otonomi dan tanggung jawab Anak dapat melakukan sesuatu dengan caranya sendiri dan menerima konsekuensi dari perilakunya tersebut. Anak merasa bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab. 5) Harapan, keyakinan, dan kepercayaan Anak percaya bahwa ada harapan baginya dan bahwa ada orang-orang dan institusi yang dapat dipercaya. Anak merasakan suatu perasaan benar dan salah, percaya yang benar akan menang, dan mereka ingin berperan untuk hal ini. Anak mempunyai rasa percaya diri dan keyakinan dalam moralitas dan kebaikan, serta dapat menyatakan hal ini sebagai
19
kepercayaan pada Tuhan atau makhluk rohani yang lebih tinggi. c. I Can I can adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai seting kehidupan (pendidikan, pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur
tingkah
laku,
serta
mendapatkan
bantuan
saat
membutuhkannya. Ada beberapa aspek yang memengaruhi faktor I can yaitu : 1) Berkomunikasi Anak mampu mengekspresikan pemikiran dan perasaan kepada orang lain. Mendengarkan apa yang dikatakan orang lain serta merasakan perasaan orang lain. 2) Pemecahan masalah Anak dapat menilai suatu permasalahan, penyebab munculnya
masalah
dan
mengetahui
bagaimana
cara
memecahkannya. Anak dapat mendiskusikan solusi dengan orang lain untuk menemukan solusi yang diharapkan dengan teliti. Dia mempunyai ketekunan untuk bertahan dengan suatu masalah hingga masalah tersebut dapat terpecahkan.
20
3) Mengelola berbagai perasaan dan rangsangan Anak dapat mengenali perasaannya, memberikan sebutan emosi, dan menyatakannya dengan kata-kata dan perilaku yang tidak melanggar perasaan dan hak orang lain atau dirinya sendiri. Anak juga dapat mengelola rangsangan untuk memukul, melarikan diri, merusak barang, berbagai tindakan yang tidak menyenangkan. 4) Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain Individu
memahami
temperamen
mereka
sendiri
(bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi,
membantu
individu
untuk
mengetahui
kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi 5) Mencari hubungan yang dapat dipercaya Anak dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan interpersonal.
21
Setiap faktor dari I Have, I Am dan I Can memberikan kontribusi pada berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi resiliensi. Individu yang resilien tidak membutuhkan semua sumber-sumber dari setiap faktor, tetapi apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak dapat dikatakan sebagai individu yang beresiliensi, misalnya individu yang mampu berkomunikasi dengan baik (I Can) tetapi ia tidak mempunyai hubungan yang dekat dengan orang lain (I Have) dan tidak dapat mencintai orang lain (I Am), ia tidak termasuk orang yang beresiliensi. Peneliti akan merujuk pada tiga faktor yang membentuk resiliensi dari Grotberg (1995: 9-12), yaitu: dukungan eksternal (I Have), kekuatan dalam diri (I Am) dan kemampuan interpersonal (I Can).
4. Karakteristik Individu yang Resilien Kehidupan manusia tidak jauh dari adanya tantangan, kesulitan dan cobaan-cobaan hidup yang harus dihadapi. Tantangan dan cobaan tersebut dapat berupa kesulitan-kesulitan sehari-hari, peristiwa yang tidak terduga maupun peristiwa traumatis. Beberapa individu mengalami dampak yang negatif atas tantangan yang harus dihadapinya. Namun ada juga individu yang berhasil mengatasi tantangan tersebut, merubahnya menjadi energi positif dan tetap menjalankan kehidupannya dengan sehat dan berkualitas. Sehingga resiliensi dibutuhkan oleh seseorang agar dapat bertahan dalam menghadapi cobaan serta untuk mempertahankan kehidupan yang baik dan seimbang. Para
22
ahli telah melakukan berbagai penelitian untuk mengungkap apa saja karakteristik individu yang resilien, diantaranya : a.
Menurut Fox, 1995 (dalam Syifa, 2010) karakteristik individu yang resilien, antara lain:
1) Mereka memilih keputusan untuk melangkah maju. Mereka menghindari keputusan untuk berhenti atau mundur (stepping forward). 2) Mereka mempunyai kemampuan dalam menyerap pelajaran positif dibalik kekacauan (learning from chaos). 3) Mereka mempunyai
kemampuan dalam menyeleksi materi yang
ditekuninya (selective learner). 4) Mereka berpikir dalam konteks peluang, kemampuan, kemungkinan dan menjauhi
pikiran-pikiran
tentang
keterbatasan,
kekurangan,
atau
ketidakmampuan (opportunity and possibility approach). 5) Mereka mempunyai dorongan untuk menghasilkan perbedaan yang unik (creative people). 6) Mereka memunculkan banyak alternatif dan opsi untuk bisa sampai pada sasaran yang dituju (explorer people). 7) Mereka mempunyai keyakinan yang kuat bahwa dirinya mampu untuk mewujudkan apa yang diinginkan (the "I can" mental attitude). b.
Menurut Wolin dan Wolin, 1999 (dalam Hikmat, 2010) ada tujuh karakteristik
utama
yang
Karakteristik-karakteristik
dimiliki inilah
oleh
yang
individu
membuat
yang
resilien.
individu
mampu
beradaptasi dengan baik saat menghadapi masalah, mengatasi berbagai
23
hambatan, serta mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Masing-masing karakteristik ini memiliki bentuk yang berbedabeda dalam tiap tahap perkembangan (anak, remaja, dewasa), yaitu: 1) Insight Kemampuan untuk memahami dan memberi arti pada situasi, orang-orang yang ada di sekitar, dan nuansa verbal maupun nonverbal dalam
komunikasi,
individu
yang
memiliki
insight
mampu
menanyakan pertanyaan yang menantang dan menjawabnya dengan jujur. Hal ini membantu mereka untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi. 2) Kemandirian Kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang. Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang lain. Orang yang mandiri tidak bersikap ambigu dan dapat mengatakan “tidak” dengan tegas saat diperlukan. Ia juga memiliki orientasi yang positif dan optimistik pada masa depan. 3) Hubungan Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, ataupun memiliki role model yang sehat. Remaja mengembangkan hubungan dengan melibatkan diri (recruiting) dengan beberapa orang dewasa dan
24
teman sebaya yang suportif dan penolong. Pada masa dewasa, hubungan menjadi matang dalam bentuk kelekatan (attaching), yaitu ikatan personal yang menguntungkan secara timbal balik dimana ada karakteristik saling memberi dan menerima. 4) Inisiatif Individu
yang
resilien
bersikap
proaktif,
bukan
reaktif,
bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki
diri
ataupun
situasi
yang
dapat
diubah,
serta
meningkatkan kemampuan mereka menghadapi hal-hal yang tak dapat diubah. Mereka melihat hidup sebagai rangkaian tantangan dimana mereka yang mampu mengatasinya. Anak-anak yang resilien memiliki tujuan yang mengarahkan hidup mereka secara konsisten dan mereka menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh untuk berhasil di sekolah. 5) Kreativitas Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari tiap perilakunya dan membuat keputusan yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan. Anak yang resilien mampu secara kreatif menggunakan apa yang tersedia untuk
25
pemecahan masalah dalam situasi sumber daya yang terbatas. Selain itu, bentuk-bentuk kreativitas juga terlihat dalam minat, kegemaran, kegiatan kreatif dari imajinatif. 6) Humor Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari kehidupan, menertawakan diri sendiri, dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Seseorang yang resilien menggunakan rasa humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. Rasa humor membuat saat-saat sulit terasa lebih ringan. 7) Moralitas Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa takut akan pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang yang membutuhkan. Moralitas adalah kemampuan berperilaku atas dasar hati nurani. Dari kedua tokoh tersebut dapat disimpulkan bahwa resiliensi bermakna kemampuan seseorang untuk bangkit dari keterpurukan yang terjadi dalam perkembangannya. Awalnya mungkin ada tekanan yang mengganggu, namun orang-orang dengan resiliensi tinggi akan dapat kembali ke keadaan normal.
26
Individu yang memiliki kemampuan resiliensi memiliki kekuatankekuatan dari dalam diri untuk melawan tekanan dan kesulitan dalam hidup. Mereka mampu mengatasi dan tidak berlarut-larut dalam kondisi stres. Individu yang memiliki kemampuan resiliensi adalah individu yang memiliki kekuatan dan keterampilan yang dapat membuat mereka mampu merespon dengan baik tantangan yang ada dan tumbuh berkembang melalui pengalaman-pengalaman tersebut.
5. Faktor-faktor yang Memengaruhi Resiliensi a. Faktor resiko Menurut Garmezy (dalam Setyowati, dkk, 2011:6), faktor resiko mencakup hal-hal yang dapat menyebabkan dampak buruk atau menyebabkan
individu
beresiko
untuk
mengalami
gangguan
perkembangan atau gangguan psikologis. b.Faktor Pelindung Faktor pelindung merupakan faktor yang bersifat menunda, meminimalkan, bahkan menetralisir hasil akhir yang negatif. Masten dan Coatsworth (dalam Schoon, 2006:11) mengemukakan tiga faktor pelindung yang berhubungan dengan resiliensi pada individu, yaitu: 1) Faktor Individual Faktor individu merupakan faktor-faktor yang bersumber dari dalam individu itu sendiri, yaitu mempunyai intelektual yang baik, namun individu yang mempunyai intelektual yang tinggi belum
27
tentu individu itu resilien, sociable, self confident, self-efficacy, harga diri yang tinggi, memiliki talent (bakat). 2) Faktor Keluarga Faktor-faktor keluarga yang berhubungan dengan resilensi, yaitu
hubungan yang dekat dengan orangtua yang memiliki
kepedulian dan perhatian, pola asuh yang hangat, teratur dan kondusif bagi perkembangan individu, sosial ekonomi yang berkecukupan, memiliki hubungan harmonis dengan anggota keluarga-keluarga lain. 3) Faktor masyarakat disekitarnya Faktor dari masyarakat yang memberikan pengaruh terhadap resiliensi pada individu, yaitu mendapat perhatian dari lingkungan, aktif dalam organisasi kemasyarakatan di lingkungan tempat tinggal.
6. Kondisi yang Dihayati sebagai Tekanan oleh Individu (Putus Sekolah) Pada masa seperti sekarang ini pendidikan merupakan suatu kebutuhan primer, dimana dalam memasuki era globalisasi seperti sekarang ini pendidikan sangatlah penting peranannya. Orang-orang berlomba untuk dapat mengenyam pendidikan setinggi mungkin untuk mengejar teknologi yang semakin canggih. Tetapi disisi lain ada sebagian masyarakat tidak dapat mengenyam pendidikan secara layak, baik dari strata tingkat dasar sampai
28
jenjang yang lebih tinggi. Selain itu juga ada sebagian masyarakat yang sudah dapat mengenyam pendidikan dasar namun pada akhinya putus sekolah juga (Wijaya, dkk, 2011). Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang disertai dengan mengupas realita. Undang-undang mengatakan bahwa warga negara yang berumur 6 tahun berhak mengikuti pendidikan dasar. Sedangkan warga negara yang berumur 7 tahun berkewajiban untuk mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara sampai tamat. Pendidikan dasar merupakan pendidikan yang lamanya 9 tahun yang diselenggarakan selama 6 tahun di SD dan 3 tahun di SLTP atau sederajat. Pasal 6 ( 1 ) disebutkan, setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, 2 ( a ) disebutkan, bahwa setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan (dalam Wijaya, dkk, 2011). Menurut Departemen Pendidikan di Amerika Serikat (Whitener, 1996 dalam Idris 2011) mendefinisikan bahwa anak putus sekolah adalah murid yang tidak dapat menyelesaikan program belajarnya sebelum waktunya selesai atau murid yang tidak tamat menyelesaikan program belajarnya. Menurut Mudjito (dalam Republik Indonesia co.ltd, 2008), penyebab siswa putus sekolah antara lain karena letak geografis yang sulit.
persoalan ekonomi, sosiokultural, dan
29
a. Persoalan ekonomi, faktor ketidakmampuan membiayai sekolah atau faktor ekonomi menjadi faktor penyebab yang paling dominan putus sekolah. Kenyataan itu dibuktikan dengan tingginya angka rakyat miskin di Indonesia yang anaknya tidak bersekolah atau putus sekolah karena tidak ada biaya. b. Kondisi orang tua yang tidak begitu memperhatikan pendidikan sang anak atau tidak begitu memahami makna penting pendidikan juga menyumbang terhadap kemungkinan putus sekolah sang anak. Faktor lainnya juga seperti kondisi keluarga anak yang perhatian orang tuanya kurang juga merupakan penyebab kasus anak putus sekolah. c. Lokasi fasilitas sekolah yang jauh, tidak terjangkau, tenaga pengajar yang kurang juga menjadi faktor penyebab putus sekolah Kemudian fenomena pengaruh dari gaya hidup yang konsumtif dan hedonis juga membuat banyak anak-anak yang memutuskan untuk meninggalkan bangku sekolah tersebut. Murid-murid putus sekolah karena banyak alasan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rumberg (dalam Santrock, 2006:19), hampir 50% anak muda putus sekolah menyebutkan alasan-alasan yang berkaitan dengan sekolah, seperti tidak menyukai sekolah, dikeluarkan atau diskors, 20% menyebutkan alasan-alasan ekonomi untuk meningalkan sekolah. Sepertiga murid perempuan putus sekolah karena alasan-alasan pribadi seperti kehamilan atau pernikahan.
30
Selain itu, penyebab putus sekolah itu ternyata bermacam-macam, baik internal maupun eksternal dari diri siswa sendiri. Aspek internalnya, yaitu tidak ada keinginan atau motivasi untuk melanjutkan sekolah dalam diri anak. Lalu penyebab eksternalnya adalah selain faktor ekonomi orang tua yang tidak memungkinkan melanjutkan sekolah anak-anaknya. Menurut
Rumberg
(dalam
Santrock,
2006:19),
putus
sekolah
mengakibatkan banyak remaja memilki keterbatasan pendidikan yang akhirnya dapat mengurangi kesejahteraan ekonomi dan sosial sepanjang kehidupan dewasa mereka Saat seseorang mempunyai keinginan kuat untuk sekolah tetapi biaya sekolah tidak ada, pada umumnya orang tua menyuruh anaknya untuk berhenti sekolah atau sebaliknya anaknya sendiri terpaksa berhenti sekolah. Untuk sebagian orang hal tersebut akan menjadi tekanan. Tekanan hidup berlangsung begitu intens dan cepat, seseorang perlu mengembangkan kemampuan dirinya sedemikian rupa untuk mampu melewati itu semua secara efektif. Untuk mampu menjaga kesinambungan hidup yang optimal, maka kebutuhan akan kemampuan untuk menjadi resilien sungguh menjadi makin tinggi (Hikmat, 2010). Liquanti, 1992 (dalam Chandra, 2010) menyebutkan secara khusus bahwa resiliensi pada remaja merupakan kemampuan yang dimiliki remaja di mana mereka tidak mengalah saat menghadapi tekanan dan perbedaan dalam lingkungan. Mereka mampu terhindar dari penggunaan obat terlarang, kenakalan remaja, kegagalan di sekolah, dan dari gangguan mental.
31
Rhodes dan Brown (dalam Hikmat, 2010) menyatakan bahwa anak-anak yang resilien adalah mereka yang beresiko memiliki disfungsi psikologis di masa yang akan datang akibat peristiwa hidup yang menekan, tetapi ternyata pada akhirnya mereka tidak memiliki disfungsi tersebut. Contohnya, tidak semua anak yang putus sekolah gagal mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak, tidak semua remaja nakal menjadi pelaku kriminal di masa dewasanya, dan sebagainya. Menurut William, 1988 (dalam Santrock, 2006:19) ada beberapa pendekatan untuk mengurangi angka putus sekolah, yaitu: a. Memantau pengalaman-pengalaman kerja seperti melalui pendidikan kerja sama, magang (apprenticeship), belajar keahlian (internships), pelatihan sebelum kerja dan wirausaha yang dijalankan anak-anak muda. b. Pelayanan masayarakat dan lingkungan, yang meliputi pelayanan sukarela dan layanan yang dipandu oleh anak-anak muda. c. Menata ulang pendidikan kejuruan. Arah yang utama seharusnya bukanlah persiapan untuk memperoleh pekerjaan yang spesifik tetapi perolehan keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan untuk dapat memasuki beragam jenis pekerjaan. d. Jaminan-jaminan pendidikan, pekerjaan, atau pelatihan lanjutan. e. Informasi dan konseling karir untuk memberi jalan bagi anak-anak muda akan peluang-peluang pekerjaan dan pilihan karir serta model peran yang berhasil.
32
f. Program-program sukarela sekolah, tidak hanya memberi pelajaran tambahan tetapi juga menyediakan akses kepada teman-teman
yang
dewasa dan para pembimbing.
7. Resiliensi dalam Perspektif Islam Sejauh ini belum ada yang mengungkapkan secara spesifik mengenai persamaan antara resiliensi dengan sabar. Dalam hal ini, peneliti hanya berusaha untuk melihat ciri-ciri yang identik antara definisi, faktor dan ciriciri dalam resiliensi dan sabar. Menurut Maulan (2008) sabar adalah menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah. Sabar juga berarti menahan diri atas segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridha Allah Swt. Menurut Syarbini & Haryadi (dalam Maulan, 2008) sabar bukan berarti mengendapkan seluruh keinginan sampai terlupakan dibawah sadar, sehingga menimbulkan penyakit-penyakit kejiwaan, tetapi sabar adalah mendorong jiwa dan menggerakkan raga untuk mencapai cita-cita yang diinginkan. Sabar bukan berarti menyerah pada keadaan tanpa ada upaya bangkit, dan tanpa tahu jika kita memang selalu diberi kesempatan untuk beramal dan berkarya lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Dengan kata lain, sabar adalah kemampuan, keuletan, dan ketangguhan dalam mengatasi masalah secara kreatif, progresif, dan sesuai dengan petunjuk agama. Allah Swt berfiman dalam surat Al-Kahfi (18) :28.
33
ك َ ل مَ َع اَّلرِينَ َي ْدعٌُنَ زَّبَ ُيمْ ّبِب ّْل َغدَاةِ ًَا ّْل َعشِّيِ يُسِيدًُنَ ًَجْيَوُ ًَّلَب َت ْعدُ عَيْنَب َس َ ًَاصْبِسْ نَ ْف ن أَمْ ُس ُه َ عنْ ِذمْسِنَب ًَاتَبَ َع ىٌََاهُ ًَمَب َ ُن َأغْفَلْنَب قَلْبَو ْ عَنْ ُيمْ تُسِيدُ شِينَ َت ا ّْلحَيَب ِة اّلدُنْيَب ًَّلَب ُتطِ ْع َم )٢٨( فُ ُسطًب Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas (Depag RI, 2005:297). Perintah untuk bersabar pada ayat tersebut adalah untuk menahan diri dari keingingan „keluar‟ dari komunitas orang-orang yang menyeru Rab nya serta selalu mengharap keridhaan-Nya. Perintah sabar di atas sekaligus juga sebagai pencegahan dari keinginan manusia yang ingin bersama dengan orang-orang yang lalai dari mengingat Allah Swt (Maulan, 2008). Amru bin Usman mengatakan, bahwa sabar adalah keteguhan bersama Allah, menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan tenang. Hal senada juga dikemukakan oleh Imam al-Khowas, bahwa sabar adalah refleksi keteguhan untuk merealisasikan Al-Quran dan sunnah (dalam Maulan, 2008). Sehingga sesungguhnya sabar tidak identik dengan kepasrahan dan ketidak mampuan. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat Ar-ra‟d (13): 22.
ًَاَّلرِينَ صَبَسًُا اّبْ ِتغَبءَ ًَجْوِ زَّبِ ِيمْ ًَأَقَبمٌُا اّلّصَلَبةَ ًَأَنْفَقٌُا مِّمَب زَشَقْنَب ُىمْ سِسًا ًَعَلَبنِيَ ًت )٢٢( ل ّلَ ُيمْ عُقْبَى اّلدَا ِز َ حسَنَ ِت اّلسَيِئَ َت أًُّلَ ِئ َ ًَ َيدْزَءًُنَ ّبِب ّْل Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik) (Depag RI, 2005:252).
34
Tasmara (2001:30) menjelaskan bahwa sabar berarti terpatrinya sebuah harapan yang kuat untuk menggapai cita-cita (dalam bahasa arab, asa dapat diartikan sebagai cita-cita atau harapan, sehingga orang yang putus asa berarti orang yang kehilangan harapan atau terputusnya cita-cita). Tasmara juga menjelaskan bahwa sabar berarti memiliki ketabahan dan daya yang sangat kuat untuk menerima beban, ujian, ataupun tantangan tanpa sedikitpun mengubah harapan untuk menuai hasil yang ditanamnya dan didalam nilai-nilai sabar tersebut nampak sikap-sikap yang paling dominan antara lain sikap percaya diri, optimis, mampu menahan beban ujian, dan terus menerus berusaha sekuat tenaga (mujahadah). Imam Al-ghazali (dalam Wati, dkk, 2011:1) mengatakan bahwa sabar adalah suatu kondisi mental dalam mengendalikan nafsu yang tumbuhnya atas dorongan ajaran Islam. Sedangkan menurut M. Jamaluddin (dalam Wati dkk, 2011:1), barang siapa yang tegak bertahan sehingga dapat menundukkan dorongan hawa nafsu secara terus menerus maka orang tersebut termasuk golongan orang yang sabar. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa sabar ialah menahan diri dalam menanggung suatu penderitaan, baik dalam menemukan sesuatu yang tidak diinginkan ataupun dalam bentuk kehilangan sesuatu yang disenangi, sehingga orang yang sabar ia akan kuat melewati cobaan atau permasalah yang dihadapinya.
35
a. Macam-Macam Sabar Menurut Yusuf Al-Qardhawi (dalam Wati, dkk, 2011:2) dalam bukunya Ash-Shabrfi Al-Quran, sabar dapat dibagi menjadi enam macam: 1) Sabar menerima cobaan hidup Cobaan hidup, baik fisik maupun non fisik, akan menimpa semua orang baik berupa lapar, haus, sakit, rasa takut, kehilangan orang-orang yang di cintai, kerugian harta benda dan lain sebagainya. Cobaan seperti itu bersifat alami, manusiawi, oleh sebab itu tidak ada seorang pun yang dapat menghindar, yang diperlukan adalah menerimanya dengan penuh kesabaran, seraya memulangkan segala sesuatunya kepada Allah Swt. Menurut Tasmara (2001:42) Sabar dalam menghadapi musibah atau cobaan merupakan tingkatan sabar yang paling sulit diantara yang lainnya, karena setiap mukmin bisa saja mampu bersabar menunaikan kewajiban dan menahan diri dari berbagai larangan, sedangkan untuk menghadapi ujian dari Allah Swt tidak semua mampu melewatinya. Ujian yang diberikan oleh Allah Swt dapat berupa kematian anggota keluarga yang dicintainya dan musnahnya harta benda yang dimilikinya akibat bencana alam, maupun kelaparan yang sedang melandanya. 2) Sabar dari keinginan hawa nafsu Hawa nafsu menginginkan segala macam kenikmatan hidup, kesenangan dan kemegahan dunia. Untuk mengendalikan segala keinginan itu dibutuhkan kesabaran. Jangan sampai semua kesenangan hidup dunia itu membuat orang lupa diri apa lagi lupa Tuhan.
36
3) Sabar dalam taat kepada Allah Swt Dalam menaati perintah Allah, terutama dalam beribadah kepada-Nya diperlukan kesabaran. 4) Sabar dalam berdakwah Jalan dakwah adalah jalan panjang berliku-liku yang penuh dengan segala onak dan duri. Seseorang yang melalui jalan itu harus memiliki kesabaran. 5) Sabar dalam perang Dalam peperangan sangat diperlukan kesabaran, apalagi menghadapi musuh yang lebih banyak atau lebih kuat. Dalam keadaan terdesak sekali pun, seorang prajurit Islam tidak boleh lari meninggalkan medan perang, kecuali sebagai bagian dari siasat perang. 6) Sabar dalam pergaulan Dalam pergaulan sesama manusia baik antara suami isteri, antara orang tua dengan anak, antara tetangga dengan tetangga, antara guru dan murid, atau dalam masyarakat yang lebih luas, akan ditemui hal-hal yang tidak menyenangkan atau menyinggung perasaan. Oleh sebab itu dalam pergaulan sehari-hari di butuhkan kesabaran sehingga tidak cepat marah, atau memutuskan hubungan apabila menemui hal-hal yang tidak disukai. Pada intinya, bahwa sabar merupakan salah satu sifat atau karakter orang beriman dan sifat ini dapat dimiliki oleh setiap insan. Manusia memiliki potensi untuk mengembangkan sikap sabar ini dalam hidupnya. Sabar tidak identik dengan kepasrahan dan menyerah pada kondisi yang ada. Dengan demikian, sabar
37
adalah sebuah sikap aktif, untuk merubah kondisi yang ada, sehingga dapat menjadi lebih baik (Wati, dkk, 2011:3). Perintah untuk bersabar juga terdapat dalam banyak hadits. Rasulullah Saw selalu menganjurkan sahabat dan pengikutnya untuk bersabar dalam menghadapi keadaan dan situasi. Beberapa hadits mengenai perintah bersabar, diantaranya: Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan ra, ia berkata : “Rasulullah Saw bersabda: “sungguh mengagumkan keadaan seorang mukmin. Keadaan mereka senantiasa mengandung kebaikan. Dan tidak terjadi yang demikian itu, kecuali bagi orang mukmin. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur. Hal itu merupakan kebaikan. Jika ia tertimpa musibah, ia bersabar. Itu juga merupakan kebaikan (HR. Muslim). Diriwayatkan al-Atha’ dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Rasulullah Saw masuk ke tempat orang-orang Anshar, lalu beliau bertanya : “Apakah kamu semua orang beriman? Semua mereka diam. Maka menjawab Umar ra, “Ya, wahai Rasulullah!Nabi Saw lalu bertanya, ”apakah tandanya keimanan kamu itu? Mereka menjawab, “ksmi bersyukur atas kelapangan. Kami bersabar atas cobaan. Dan kami rela dengan ketetapan Tuhan (qadha). Lalu Nabi Saw menjawab, “Demi Tuhan pemilik Kabah! Benar kamu itu orang beriman!” Nabi saw bersabda, “Pada kesabaran atas yang tidak engkau sukai itu banyak kebajikan. “Isa al-Masih as. Berkata, “engkau sesungguhnya tidak akan memperoleh apa yang engkau sukai, selain dengan kesabaranmu atas apa yang tiada engkau sukai (HR. Tirmidzi).
Kesabaran bukan hanya kekuatan menempuh jalan sulit berliku, tetapi juga sinar yang menerangi perjalanan. Seseorang yang sabar tidak akan diombangambingkan hawa nafsu yang terus mendorongnya keluar dari jalur yang benar. Dia tidak akan ragu-ragu memilih keputusan-keputusan yang sulit dan berani jika tantangannya hanyalah mengorbankan hawa nafsu atau kepentingan sesaat (Jiwanto, 2011:1).
38
Kualitas kesabaran dapat diukur bukan hanya dari tingkat kesulitan yang dihadapi, tetapi juga dilihat dari tujuan dan prinsip yang diperjuangkan. Banyak orang yang melakukan hal-hal yang sangat sulit hanya sekedar untuk tujuan tidak jelas, seperti popularitas yang tidak berdasar. Kesabaran menjadi agung dan bernilai ketika itu berasas pada keridhoan Allah Yang Maha Agung (Jiwanto, 2011:1) Kesabaran berlipat ganda nilainya ketika muatan motivasi dan idealismenya begitu tinggi. Karena itu kesabaran tertinggi adalah kesabaran yang diperankan oleh para Nabi dan Rasul. Mereka bukanlah makhluk Allah yang mencari popularitas atau mengumpulkan perhiasan-perhiasan fana. Mereka adalah hambahamba pilihan Allah berjuang demi menyampaikan kebenaran dan menegakkan keadilan (Jiwanto, 2011:2). Kesabaran menjadi progresif ketika kita mempunyai pengetahuan apa yang harus dilakukan. Ketika kita hanya bermodal niat baik maka seringkali kesabaran tersebut menjadi tidak bernilai sama sekali. Kesabaran juga hanya menjadi efektif jika kita dapat membuat langkah-langkah yang tepat untuk merancang masa depan yang lebih baik (Jiwanto, 2011:2). Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa resiliensi identik dengan sabar, tetapi tidak berarti sama. Jika dilihat lagi mengenai resiliensi yang berarti kemampuan individu untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. Sabar juga memiliki arti yang sama, yaitu membentuk jiwa manusia menjadi kuat dan teguh tatkala menghadapi bencana (musibah). Individu yang resilien atau dalam
39
Islam disebut sabar, jiwanya tidak bergoncang, tidak gelisah, tidak panik, tidak hilang keseimbangan, dan tidak berubah pendirian.
B. Kerangka Pemikiran Murid-murid putus sekolah karena banyak alasan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rumberg (dalam Santrock, 2006:19), hampir 50% anak muda putus sekolah menyebutkan alasan-alasan yang berkaitan dengan sekolah, seperti tidak menyukai sekolah, dikeluarkan atau diskors, 20% menyebutkan alasanalasan ekonomi untuk meningalkan sekolah. Sepertiga murid perempuan putus sekolah karena alasan-alasan pribadi seperti kehamilan atau pernikahan. Menurut
Rumberg, 1987 (dalam Santrock, 2006:19)
putus sekolah
mengakibatkan banyak remaja memilki keterbatasan pendidikan yang akhirnya dapat mengurangi kesejahteraan ekonomi dan sosial sepanjang kehidupan dewasa mereka. Ketika seseorang mempunyai keinginan kuat untuk sekolah tetapi biaya sekolah tidak ada, pada umumnya orang tua menyuruh anaknya untuk berhenti sekolah atau sebaliknya anaknya sendiri terpaksa berhenti sekolah. Untuk sebagian orang hal tersebut akan menjadi tekanan. Tekanan hidup berlangsung begitu intens dan cepat, seseorang perlu mengembangkan kemampuan dirinya sedemikian rupa untuk mampu melewati itu semua secara efektif. Untuk mampu menjaga kesinambungan hidup yang optimal, maka kebutuhan akan kemampuan untuk menjadi resilien sungguh menjadi makin tinggi (Hikmat, 2010).
40
Liquanti, 1992 (dalam Chandra, 2010) menyebutkan secara khusus bahwa resiliensi pada remaja merupakan kemampuan yang dimiliki remaja di mana mereka tidak mengalah saat menghadapi tekanan dan perbedaan dalam lingkungan. Mereka mampu terhindar dari penggunaan obat terlarang, kenakalan remaja, kegagalan di sekolah, dan dari gangguan mental. Rhodes dan Brown (dalam Hikmat, 2010) menyatakan bahwa anak-anak yang resilien adalah mereka yang beresiko memiliki disfungsi psikologis di masa yang akan datang akibat peristiwa hidup yang menekan, tetapi ternyata pada akhirnya mereka tidak memiliki disfungsi tersebut. Contohnya, tidak semua anak yang putus sekolah gagal mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak, tidak semua remaja nakal menjadi pelaku kriminal di masa dewasanya, dan sebagainya. Dalam perjalanannya, terminologi resiliensi mengalami perluasan dalam hal pemaknaan. Diawali dengan penelitian Rutter & Garmezy (dalam Hikmat, 2010), tentang anak-anak yang mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan. Dua peneliti di atas menggunakan istilah resiliensi sebagai descriptive labels yang mereka gunakan untuk menggambarkan anak-anak yang mampu berfungsi secara baik walaupun mereka hidup dalam lingkungan buruk dan penuh tekanan. Grotberg (1995:6) menjelaskan bahwa resiliensi adalah kemampuan manusia untuk menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan yang dialaminya. Menurut Grotberg sikap resilience bukan hal magis, ini tidak hanya ditemui pada orang-orang tertentu, dan ini bukan pemberian dari sumber yang tidak diketahui. Semua manusia memiliki kemampuan untuk menjadi resiliency dan mampu
41
menghadapi kesulitannya termasuk individu-individu yang pernah mengalami putus sekolah. Resiliensi dibutuhkan oleh seseorang agar dapat bertahan dalam menghadapi cobaan serta untuk mempertahankan kehidupan yang baik dan seimbang. Individu yang memiliki kemampuan resiliensi memiliki kekuatan-kekuatan dari dalam diri untuk melawan tekanan dan kesulitan dalam hidup. Mereka mampu mengatasi dan tidak berlarut-larut dalam kondisi stres. Individu yang memiliki kemampuan resiliensi adalah individu yang memiliki kekuatan dan ketrampilan yang dapat membuat mereka mampu merespon dengan baik tantangan yang ada dan tumbuh berkembang melalui pengalaman-pengalaman tersebut. Banyak penelitian yang berusaha untuk mengidentifikasikan faktor yang berpengaruh terhadap resiliensi seseorang. Faktor tersebut meliputi dukungan eksternal dan sumber-sumbernya yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga, lembaga-lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi perempuan), kekuatan personal yang berkembang dalam diri seseorang (seperti self-esteem, a capacity for self monitoring, spritualitas dan altruism), dan kemampuan sosial (seperti mengatasi konflik, kemampuan-kemampuan berkomunikasi). Berdasarkan Grotberg (1995:9) ada faktor yang membentuk resiliensi. Untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah I Have. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah I Am, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah I Can. Dengan mempunyai ketiga faktor tersebut maka individu akan menjadi seorang yang resilien, mampu
42
bertahan, mengatasi dan menghadapi suatu permasalahan atau tekanan dalam hidupnya. Untuk menbantu menggambarkan bagaimana alur berpikir penulis dalam melakukan penelitian ini, uraian di atas dapat digambarkan secara sederhana dalam skema sebagai berikut:
Bagan 2.I Skema Kerangka Pemikiran Individu putus sekolah (mendapatkan tekanan berupa keinginan untuk sekolah tetapi biaya terbatas)
Faktor-faktor Resiliensi
I have ( dukungan eksternal ) - Trusting relationship (memercayai hubungan) - Struktur dan aturan rumah - Role models - Dorongan agar menjadi otonom - Akses pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan dan layanan keamanan
I am ( Perasaan dan kepercayaan dalam diri individu ) - Perasaan dicintai dan perilaku yang menarik - Mencintai, empati dan altruistic - Bangga pada diri sendiri - Otonomi dan tanggung jawab - Harapan, keyakinan dan kepercayaan
I can ( kemampuan interpersonal ) - Berkomunikasi - Pemecahan masalah - Mengelola berbagai perasaan dan rangsangan - Mengukur tempramen diri sendiri dan orang lain - Mencari hubungan yang dapat dipercaya
Individu yang Resilien Mampu mengatasi, menghadapi kesulitan yang dialami sehingga membuat ia menjadi orang yang kuat atas kesulitan yang dialaminya.