1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pengertian Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tata negara adalah seperangkat prinsip dasar yang mencakup peraturan susunan pemerintah, bentuk negara dan sebagainya yang menjadi dasar peraturan suatu negara. 1 Prinsip dasar tersebut dicerminkan dalam gagasan kedaulatan rakyat yang dikandung Pasal 1 ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum maupun sesudah amandemen. Sementara yang dimaksudkan dengan kedudukan dan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam konteks UUD 1945 sebelum perubahan adalah MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan lembaga tertinggi negara yang memiliki peran sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dan lembaga tertinggi negara dalam kerangka sistem ketatanegaraan. Perubahan UUD 1945 turut mengubah pula kedudukan dan peran MPR dan mendudukkannya tidak lagi sebagai penjelmaan seluruh rakyat atau pun lembaga tertinggi negara melainkan menjadi lembaga tinggi negara yang setara dengan lembaga tinggi lainya sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan. MPR pun selanjutnya tidak lagi 1
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2012, Gramedia, Jakarta, hlm. 131.
1
2
berperan sebagai satu-satunya pelaksana kedaulatan rakyat tertinggi sebagaimana
dahulu.
Perubahan
yang
signifikan
tersebut
tetap
mempertahankan kewenangan MPR dalam hal mengubah dan menetapkan UUD 1945 sesuai Pasal 3 ayat (1) UUD 1945. 2 Sebagai lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara, MPR memiliki peran untuk menjalankan peran serta mewujudkan kedaulatan rakyat bersama-sama lembaga negara lainnya sebagaimana ketentuan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai tujuan berbangsa dan bernegara yang terkandung di dalam pembukaan UUD 1945. Gagasan kedaulatan rakyat dalam konstitusi lahir dalam suasana polemik intelektual di antara para pejuang kemerdekaan sejak tahun 1930-an, jauh sebelum konsep-konsep modern seperti negara hukum (rechtsstaat), hak asasi manusia (HAM) dan lain-lain diperdebatkan dalam rangka penyusunan UUD 1945. Pembahasan dalam perspektif historis tersebut, tidak dapat dilepaskan dalam memahami gagasan kedaulatan rakyat yang dirumuskan dalam UUD 1945 yang berlaku sekarang. 3 Pada tanggal 18 Agustus 1945 mulai diberlakukan undang-undang dasar yang menjadi sumber hukum tertulis dalam kehidupan berbangsa dan
2
https://imannumberone.wordpress.com/2013/07/03/negara-dan-peran-mpr-di-indonesia/, di akses pada tanggal 21 Januari 2016. 3 Jimly Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Bard Van Hoeve, Jakarta, hlm. 2-4.
3
bernegara yang disebut dengan UUD 1945. Sejak itu pula bangsa Indonesia telah memiliki
sistem
atau asas kedaulatan rakyat
dalam
proses
penyelenggaraan kehidupan kenegaraan. Alinea keempat merupakan intisari dan substansi Pembukaan UUD 1945 yang memuat antara lain dasar negara, tugas pemerintahan negara dan struktur dasar kekuasaan tertinggi negara yakni kedaulatan rakyat. 4 Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, para pendiri negara telah mengambil keputusan politik teramat penting dalam proses mendirikan negara baru. Keputusan politik tersebut adalah merupakan tujuan dari didirikannya Negara Republik Indonesia yaitu: Membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara Republik Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat. 5 Undang-Undang Dasar 1945 dengan demikian menganut prinsip kedaulatan rakyat yang selanjutnya dijabarkan pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan
yang menentukan bahwa kedaulatan adalah di
tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. MPR merupakan
4
Moerdiono, Hakekat, Makna dan Mekanisme Kedaulatan Rakyat Dalam Kehidupan Kenegaraan Kita, dalam Saafarudin Bakar (penyunting), 1987, “Kedaulatan Rakyat”, BP7 Pusat, Jakarta, hlm. 20. 5 Dahlan Thaib, 1999, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum Dan Konstitusi, Liberty, Yogyakarta, hlm. 2.
4
penyelenggara negara tertinggi yang melaksanakan kedaulatan rakyat sepenuhnya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 menegaskan karakteristik dasar gagasan kedaulatan rakyat yang akan dianut negara Indonesia merdeka: Negara Indonesia bukan negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi, kita mendirikian negara “semua buat semua”. Saya yakin, bahwa syarat mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah: Permusyawaratan Perwakilan. ...Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi musyawarah yang memberi hidup.6 Pemikiran
Sukarno
mengenai
gagasan
tentang
demokrasi
permusyawaratan berangkat dari kritiknya terhadap esensi individualisme dalam apa yang disebutnya sebagai demokrasi barat. Pemikirannya sendiri berdasar pada konsep negara “semua untuk semua”, kebutuhan akan terwujudnya negara yang demikian dapat dipenuhi dengan permusyawaratan seluruh bagian melalui sebuah mekanisme perwakilan. Kristalisasi atas pemikiran tersebut terwujud dalam UUD 1945 yang menetapkan suatu lembaga yang disebut dengan MPR dengan peran utama sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. MPR pun merupakan satu-satunya lembaga negara yang melaksanakan kedaulatan rakyat sepenuhnya.
6
Soekarno, 1984, Pancasila Sebagai Dasar Negara, Inti Dayu Press Yayasan Pendidikan Soekarno, Jakarta, hlm. 90-91.
5
Hal ini menunjukan sifat modern daripada UUD 1945. Karena negara modern pada umumnya adalah berdasarkan kedaulatan rakyat artinya kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Namun tidaklah bijaksana apabila seluruh rakyat melaksanakan kekuasaannya. 7 Kekuasaan tertinggi ada pada rakyat yang pelaksanaannya diserahkan kepada lembaga yang mewakili rakyat, maka lembaga tersebut akan menghasilkan produk-produk hukum sesuai dengan kehendak atau kemauan rakyat yang telah diwakilinya. Ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa MPR adalah pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat yang unsur-unsurnya terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat, Utusan-Utusan Daerah, dan Golongan-Golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Penjelasan UUD 1945 pun menyebutkan bahwa MPR merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, memegang kedaulatan negara, sehingga kekuasaannya tidak terbatas. 8 Kedudukan demikian mengharuskan MPR memiliki kekuatan memadai dan dapat mempresentasikan kedaulatan rakyat dalam arti sebenarnya. MPR sudah seharusnya menjadi atasan bagi presiden dan kepadanyalah presiden harus tunduk dan bertanggung jawab karena presiden
7
Padmo Wahyono, 1982, Negara Republik Indonesia, Rajawali, Jakarta, hlm. 11. Moh. Mahfud M.D., 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media Offset, Yogyakarta, hlm. 243. 8
6
pada dasarnya adalah mandataris MPR yang wajib menjalankan putusanputusan MPR. Presiden tidak neben, tetapi untergeordnet kepada MPR. 9 Studi yang mendalam, sistematis dan metodologis tentang konsep kedaulatan rakyat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tidak hanya penting dilihat dari aspek akademis semata, tetapi juga dari sudut praktis dalam praktik ketatanegaraan.10 Sejarah ketatanegaraan menunjukkan bahwa para pendiri negara sekaligus perumus UUD 1945 yang bersidang pada bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus 1945 berkehendak bahwa Negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan berdasarkan atas kekuasaan (machtstaat). Keinginan tersebut bertujuan agar negara kelak tidak dikuasai oleh kekuasaan politik tertentu melainkan oleh seluruh Rakyat Indonesia yang secara konstitusional diakui kedaulatannya. Bagaimana pun niat baik dan usaha para pendiri negara memenangkan pemikiran yang dapat mengantisipasi pelemahan kedaulatan rakyat, tetap saja di dalam implementasinya berbagai penyimpangan sulit untuk dihindarkan dalam praktek ketatanegaraan. Intervensi yang berasal dari presiden pada pasca perisitiwa pembacaan dekrit presiden 5 Juli 1959 misalnya, merupakan pelanggaran terhadap ketentuan UUD 1945. Presiden dalam peristiwa tersebut telah membubarkan DPR dikarenakan DPR telah menolak RAPBN
9
Ibid., hlm. 244. Dahlan Thaib, 1999, Kedaulatan Rakyat...Op.Cit., hlm. 4.
10
7
yang diajukan pemerintah. Apapun alasannya, presiden telah bertindak inkonstitusional. Berkaitan dengan dekrit presiden 1959 menurut Bagir Manan, 11 keputusan yang diambil oleh presiden kala itu disebutnya ekstra konstitusional yang dibedakan dari tindak inkonstitusional. Disebut demikian mengingat pembentukan negara relatif masih baru dan akan banyak menghadapi persoalan sehingga memerlukan pemerintahan yang kuat dan stabil. Untuk itu perlu sistem penyelenggaraaan pemerintahan yang terpusat di satu tangan (single executive). Pemusatan kekuasaan di tangan presiden hadir sebagai konsekuensi dari bentuk pemerintahan republik. Dalam kaitan ini, Hatta menulis: Orang lupa, bahwa Indonesia dalam masa peralihan ke pemerintahan nasional yang demokratis perlu suatu pemerintahan yang kuat. Sejarah Indonesia sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 menyatakan, bahwa pemerintahan yang kuat di Indonesia ialah pemerintahan Presidensil.12 DPR menurut UUD 1945 merupakan lembaga tinggi negara yang mempunyai tugas antara lain mengawasi tindakan-tindakan presiden. Kekuatan DPR setara dengan presiden yang secara struktural sama-sama merupakan lembaga yang satu tingkat berada di bawah MPR. Karena itu, secara konstitusional tindakan presiden membubarkan DPR tidak dapat dibenarkan. Hanya saja berbagai pandangan mengemuka bahwa secara
11
Bagir Manan, 2012, Membedah UUD 1945, UB Press, Malang, hlm. 110. Muhammad Yamin, 1959, Pembahasan Uundang-Undang Dasar Republik Indonesia, Siguntang, Jakarta, hlm. 311. 12
8
empiris tindakan tersebut dapat dimaklumi karena kondisi negara yang membutuhkan kepemimpinan kuat di tengah kompetisi tajam di antara berbagai kekuatan politik nasional. Dasar historis pemakluman tersebut dapat dilacak dari sejak 1956 yang menjadi titik awal periode kekacauan perpolitikan Indonesia. Persoalan berasal dari disharmoni hubungan antara pusat dan daerah yang selanjutnya memicu kemunculan separatisme seperti pembentukan Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Manguni, Dewan Garuda. Dewan LambungMangkurat dan sebagainya. Tidak hanya persoalan separatisme, di jantung kekuasaan sendiri berlangsung persaingan di antara partai-partai yang mengakibatkan
instabilitas
pemerintahan.
Situasi
demikian
yang
melatarbelakangit Presiden menempuh sikap untuk tetap menjalankan amanat Revolusi dan cita-cita bangsa dengan mengembalikan lagi UUD 1945. Seperti pidato Soekarno yang disampaikan pada tanggal 5 Juli 1959: Menemukan kembali Revolusi kita, berarti kita menyadari bahwa selama ini menjadi penyelewengan-penyelewengan dan harus kembali kepada dasar dan tujuan negara yang kita Proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan pendekritan berlakuknya kembali UUD 1945, maka terbukalah kemungkinan Revolusi kita mencapai tujuannya yang sebenar-benarnya, karena UUD 1945 mempunyai 2 landasan yang kuat, yaitu landasan idiil dan landasan materiil... 13 Memasuki tahun 1966 di Indonesia telah berlangsung transformasi politik yang lazim disebut dengan pergantian rezim Orde Lama menuju Orde
13
Pidato Presiden Soekarno berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita, tanggal 17 Agustus 1959.
9
Baru. Orde Baru bertekad untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai tanggapan atas langkah-langkah politik Presiden Sukarno yang dipandang inkonstitusional. Hal ini juga berarti bahwa seluruh ketentuan UUD 1945 dilaksanakan secara konsisten, taat terhadap azas-azas dan tanpa penyimpangan-penyimpangan, termasuk di dalamnya akan melaksanakan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat. Kenyataan sebaliknya terjadi, terbukti bahwa di dalam masa Orde Baru pun dijumpai beragam penyimpangan atas UUD 1945 dengan cara yang berbeda dari masa sebelumnya. Manipulasi politik dalam wujud deparpolisasi yang berdampak pada perimbangan kekuatan di internal MPR, membuat presiden mampu memusatkan kekuasaan politik yang besar dan melampaui kekuasaan MPR sekali pun. Kedudukan MPR secara praktis subordinatif terhadap kekuatan eksekutif, salah satu penyebab hal demikian dapat terjadi adalah akibat dari mekanisme rekrutmen keanggotaan yang tidak memenuhi syarat substantif seperti yang dituntut oleh prinsip-prinsip demokrasi. Terjadi perubahan politik saat Indonesia memasuki masa reformasi, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya dan pemilu diselenggarakan tiga tahun lebih cepat dari waktu yang seharusnya. Pemilu tahun 1999 menghasilkan 462 anggota MPR yang berasal dari kalangan partai politik. Pasca pemilu 1999, MPR melakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden melalui pengambilan suara terbanyak. Hal ini membedakan peran MPR pasca pemilu 1999 dengan peran MPR masa Orde Baru. Pada masa
10
Orde Baru, MPR tidak mampu berperan optimal dalam melakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden karena mayoritas anggota MPR merupakan loyalis Presiden Soeharto. Pasca pemilu 1999 MPR mampu menjalankan kewenangannya merubah UUD 1945 sebanyak empat kali perubahan. Hal yang sulit dilakukan pada masa Orde Baru. MPR bahkan mampu melakukan pemakzulan atas Presiden Abdurrahman Wahid yang dipilih oleh MPR sendiri. Fakta ini menunjukkan bahwa MPR mampu menjalankan perannya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, terbebas dari belenggu lembaga negara lainnya sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru dan Orde Lama. Mempertimbangkan hal tersebut, penulis tertarik untuk menyelidiki lebih jauh mengenai dinamika kedudukan dan peran MPR pada masa Orde Baru dan Reformasi 1999. Penulis membatasi dengan tidak menyertakan masa Orde Lama karena pada kedua masa setelahnyalah UUD 1945 beserta ketentuan mengenai MPR berlaku secara efektif. Penulis pun membatasi penelitian ini hanya sampai pada masa reformasi tahun 1999 karena mempertimbangkan adanya paradoks antara kedudukan dan peran MPR pada kedua masa di atas. Baik pada masa Orde Baru maupun Reformasi tahun 1999, kedudukan MPR tidak berbeda secara normatif, akan tetapi terdapat perbedaan peran MPR yang signifikan pada kedua masa tersebut. Fakta tersebut yang menarik perhatian penulis untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang kedudukan dan peran MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Penelitian akan dilakukan
11
dengan mengkomparasikan kedudukan dan peran MPR pada masa Orde Baru dan masa Reformasi tahun 1999. B. Rumusan Masalah Mempertimbangkan latar belakang penulisan dapat dirumuskan permasalahan yang akan dijawab pada penilitian ini yang di antaranya sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah Kedudukan dan Peran Majelis Permusyawaratan Rakyat Sebagai Penjelmaan Kedaulatan Rakyat Pada Masa Orde Baru?
2. Bagaimanakah Kedudukan dan Peran Majelis Permusyawaratan Rakyat Pada Masa Rerformasi tahun 1999? C. Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan dan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat pada masa Orde Baru dan Reformasi tahun 1999.
2.
Penelitian ini bertujuan menelusuri berbagai praktik ketatanegaraan yang relevan terhadap kedudukan dan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat pada masa Orde Baru dan Reformasi tahun 1999.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Akademis
12
a. Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai studi komparasi tentang kedudukan dan peran MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dalam sistem ketatanegaraan indonesia. b. Hasil penelitian ini dapat menyumbang wacana akademis tentang kedudukan dan peran ideal Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam sistem ketatanegaraan. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan bagi MPR untuk meninjau kembali kedudukan dan peran MPR sebagai lembaga pelaksana kedaulatan rakyat. b. Hasil penelitian diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman kepada publik terhadap kedudukan dan peran MPR di masa orde baru dan masa reformasi c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran, masukan dan perluasan ilmu hukum pada umumnya serta hukum kenegaraan pada khususnya. E. Keaslian Penelitian Keaslian penelitian dapat diartikan bahwa masalah yang dipilih belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya atau harus dinyatakan dengan tegas bedanya dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan.14 Dari penelusuran
14
Maria S.W. Soemardjono, 2001, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 18.
13
pustaka yang dilakukan penulis di perpustakaan Fakultas Hukum UGM. Penulis menemukan beberapa penelitian (tesis, laporan penelitian) yang memiliki relevansi terhadap proposal yang penulis susun. Sumber tersebut berasal dari penelitian ilmu hukum. Kendati demikian memiliki perbedaan dalam beberapa hal, diantaranya adalah: 1.
Perbedaan judul karya tulis. Judul tesis ini adalah “Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Pemakzulan Presiden Menuurut Undang-Undang Dasar 1945”. 15 Sedangkan tesis yang penulis angkat adalah “Kedudukan dan Peran Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pelaksana Kedaulatan Rakyat dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (studi komparasi MPR masa Orba dan masa Reformasi tahun 1999)”
2.
Perbedaan fokus penelitian: Judul Tesis yang di tulis oleh Sugeng Riyadi ini berfokus pada “Kedudukan MPR dan Pemakzulan Presiden.” Sedangkan tesis yang penulis teliti adalah “Kedudukan dan Peran MPR, Study komparasi Peran MPR masa Orba dan masa Reformasi. Sebuah kajian kesejarahan atas dinamika praktek MPR sebagai lembaga kedaulatan rakyat daalam sistem ketatanegaraan Indonesia”.
3.
Perbedaan rumusan masalah di mana tesis dengan “Kedudukan MPR dalam Pemakzulan Presiden menurut UUD 1945 memiliki rumusan masalah sebagai berikut: (1) Apa yang menjadi dasar pemikiran dari
15
Sugeng Riyadi, 2011, “Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Pemakzulan Presiden Menuurut Undang-Undang Dasar 1945”, Magister Hukum Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2011.
14
Pasal 3 ayat (3) jo. Pasal 7A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD Negara RI Tahun 1945) yang memberikan kewenangan pemakzulan terhadap presiden dan/atau wakil presiden kepada MPR?(2) Apakah Pasal 3 ayat (3) jo. Pasal 7A UUD Negara RI Tahun 1945 sejalan dengan gagasan purifikasi sistem pemerintahan presidensial? (3) Apakah mekanisme pemakzulan presiden yang telah ditetapkan dalam UUD Negara RI Tahun 1945 ini telah sesuai dengan doktrin pemerintahan presidensial? 16 Sedangkan, rumusan masalah yang penulis teliti yaitu sebagai berikut: (1) Bagaimanakah Kedudukan dan Peran Majelis Permusyawaratan
Rakyat sebagai
lembaga tertinggi negara dan sebagai pelaksana kedaulatan rakyat pada masa Orde Baru dan bagaimana kedudukan dan peran MPR masa Reformasi? Selain judul tesis yang sudah penulis uraikan di atas, sejauh pengetahuan penulis, belum ada judul tesis apapun yang mengangkat hal yang serupa dengan apa yang penulis teliti saat ini. Demikian juga dengan rumusan masalah judul tesis tersebut, berbeda jauh dengan rumusan masalah yang penulis teliti. Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa tesis ini merupakan karya asli dari penulis sendiri, dan karenanya, dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
16
Ibid., hlm. 6.
15
Sejauh penelusuran penulis terkait penelitian-penelitian yang serupa dengan judul penelitian yang penulis angkat, memang belum tertlalu banyak yang meneliti terkait hal tersebut. Ada beberapa penelitian yang penulis telusuri untuk mencari persamaan maupun perbedaan dengan penelitian yang penulis angkaat. Salah satu dari penelitian tersebut yang penulis temukan adalah: Penelitian yang dilakukan oleh Fitri Meilany Langi dengan judul “Kedudukan MPR Sebagai Lembaga Kedaulatan Rakyat Dalam Menetapkan Tap MPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Di Indonesia”. 17 Penelitian ini berupaya melacak
kedudukan MPR untuk mengetahui kewenangannya
sebagai lembaga kedaulatan rakyat yang salah satu fungsinya menetapkan Tap MPR dan lembaga apa yang berwenang menguji Tap MPR jika bertentangan dengan UUD 1945. Untuk menelusuri hal tersebut, Fitri Meilany merumuskan dua pertanyaan dalam rumusan masalah penelitianya: (1) Bagaimanakah Kedudukan MPR sebagai Lembaga Kedaulatan Rakyat dalam menetapakan TAP MPR. (2) Lembaga apakah Yang Berwenang Menguji Tap MPR Jika bertentangan dengan UUD 1945. Adapun metode penelitian Meilany adalah metode penelitian normatif.
17
Fitri Meilany Langi, “Lex Administratum”, Jurnal Unsrat Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013, unsrat.blog.spot.com., diakses pada tanggal 6 November 2015, pukul 15.49 WIB.
16
Penelitian yang dilakukan oleh Meilany ini tentu sangat berbeda dengan apa yang penulis teliti. Adapun letak persamaanya berada pada pembahasan kedudukan MPR dalam pelaksana kedaulatan rakyat dan metode penelitian yang digunakan. Titik fokus penelitian Meilany pada kedudukan MPR sebagai lembaga kedaulatan rakyat
dalam menetapkan Tap MPR,
sementara penelitian yang penulis teliti berpangkal pada kedudukan dan peran MPR sebagai lembaga kedaulatan rakyat dengan melakukan komparasi masa orde baru dan orde reformasi sebagai batasan kajian untuk melihat konsep MPR yang seharusnya. Selain itu, Meilany tidak melihat kedudukan MPR sebagai lembaga kedaulatan rakyat secara komprehensif. Dalam penelitian Meilany juga tidak membahas peran MPR sebagai lembaga kedaulatan rakyat, sementara penulis dalam penelitian ini mengulas peran MPR sebagai kajian kesejarahan atas konsep lembaga kedaulatan rakyat. Melihat kesesuaian mapun tidak kesesuaian antara Konsep MPR sebagai lembaga kedaulatan rakyat yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, perdebetan sidang-sidang BPUPK dan peran MPR sebagai lembaga kedaulatan rakyat pada masa Orde Baru maupun Reformasi.