1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan input utama pembangunan
bangsa Indonesia untuk dapat bersaing atau berkompetisi di era globalisasi dengan bangsa lain. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dilakukan dengan menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang optimal bagi anak remaja sebagai generasi penerus bangsa. Perkembangan anak remaja yang dimaksud dalam hal ini adalah perkembangan kognitif. Menurut Piaget (1970), anak remaja yang dimulai pada usia 12 tahun yaitu pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama, merupakan tahap perkembangan aspek kognitif yang sering disebut sebagai period of formal operation. Perkembangan anak remaja pada usia ini adalah kemampuan untuk berpikir secara simbolis serta mampu memahami sesuatu secara bermakna tanpa memerlukan objek yang konkrit atau bahkan objek yang visual. Berdasarkan tahap kemampuan kognitif (berpikir), anak remaja usia SMP sangat potensial untuk mengoptimalkan kemampuan intelektualnya. Salah satu indikator yang menunjukkan kemampuan intelektual anak yaitu dengan mengetahui tingkat intelegensi (Intelligence Quotient / IQ). Studi oleh Lynn dan Vanhanen mengenai rata-rata IQ dari 113 negara pada beberapa tahun lalu yang dipublikasikan pada National IQ Scores-Country Rankings menunjukkan rata-rata IQ orang Indonesia pada urutan ke-20 yaitu berada pada angka 87, yang tergolong dalam rentangan rata-rata IQ sedang antara
2
85-115. Singapore, Korea Selatan dan Jepang menduduki urutan pertama, kedua, dan ketiga dengan rata-rata IQ masing-masing 108, 106, dan 105. Posisi Indonesia ini sejajar dengan sembilan negara lainnya yaitu Azerbaijan, Bolivia, Brazil, Guyana, Iraq, Myanmar, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Negaranegara dengan ras kulit putih seperti Eropa, Amerika Serikat dan Kanada, Argentina dan Uruguay di Amerika Selatan serta Australia dan Selandia Baru di Oseania memiliki rata-rata IQ tinggi walau tidak berada pada posisi lima besar. Negara-negara di benua Afrika memiliki IQ terendah diantara seluruh kawasan, seperti Ethiopia yang dirundung bencana pangan memiliki rata-rata IQ 63 yang berada jauh dibawah rata-rata dunia yaitu 90. Rendahnya rata-rata IQ orang Indonesia apabila dilihat dari bidang kesehatan dapat dipengaruhi oleh status gizi. Selain kekurangan gizi, masalah yang dihadapi adalah kelebihan gizi atau obesitas yang lebih dikenal dengan Sindroma Dunia Baru (New World Syndrome). Dalam hal ini, Indonesia menghadapi tantangan masalah gizi ganda atau double burden. Dalam artian bahwa masalah mengenai gizi kurang masih belum teratasi sepenuhnya namun sudah muncul masalah gizi lebih yaitu obesitas. WHO (2000) mendefinisikan obesitas sebagai kondisi abnormal atas akumulasi lemak yang ekstrim pada jaringan adipose. Sedangkan overweight adalah kelebihan berat badan dibandingkan dengan berat ideal yang dapat disebabkan oleh penimbunan jaringan lemak atau jaringan non lemak, misalnya pada seorang atlet binaragawan kelebihan berat badan dapat disebabkan oleh hipertrofi otot.
3
Obesitas pada anak secara tidak langsung dapat menurunkan tingkat intelegensi anak tersebut. Hal tersebut diduga akibat dari dampak penyakit yang diderita oleh anak obesitas seperti diabetes, Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS), masalah respirasi, masalah psikososial (rendah diri, mengisolasi diri, dan depresi) serta masalah kematangan sosial (Datar dkk., 2004). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hartini dkk. (2014), menunjukkan adanya korelasi derajat obesitas dengan prestasi belajar siswa sekolah dasar. Derajat obesitas ditemukan berhubungan lebih kuat dengan penurunan nilai rerata bahasa Indonesia dibandingkan dengan matematika. Pada penelitian ini didapatkan prevalensi obesitas 16,1%, lebih besar 1,6 kali dibandingkan penelitian sebelumnya di Denpasar yang dilakukan oleh Dewi dkk. pada tahun 2008, dimana prevalensi obesitas anak umur 8-12 tahun sebesar 9,7%. Pada tahun 1995, Li menemukan anak yang obesitas mempunyai nilai IQ yang lebih rendah dibandingkan anak normal terutama pada aspek berbahasa. Hal tersebut berkaitan dengan salah satu tanda terjadinya OSAS yaitu mendengkur, dikatakan anak yang menderita OSAS menjadi mengantuk, sulit berkonsentrasi sehingga kemampuan untuk mengikuti pelajaran dan aktivitas menjadi berkurang. Penelitian yang dilakukan oleh Montolalu, dkk. pada tahun 2009 yang dipublikasikan pada jurnal Paediatrica Indonesiana, menemukan bahwa terdapat hubungan antara obesitas dengan intelegensia pada siswa SMP yang berusia berusia 12-13 tahun. Peningkatan derajat obesitas berbanding lurus dengan rendahnya tingkat intelegensia. Penelitian ini dilakukan di kota Manado pada tiga SMP, dengan jumlah sampel 100 siswa yang obesitas dan tidak obesitas.
4
Sebanyak 58 siswa memiliki IMT normal dan 42 siswa tergolong obesitas (36 merupakan obesitas ringan, dan 6 dengan obesitas berat). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 42 siswa yang obesitas, 1% memiliki IQ rendah, 1% memiliki IQ dibawah rata-rata, 22% memiliki IQ rata-rata, 7% memiliki IQ diatas rata-rata dan 11% memiliki IQ superior. Sedangkan dari 58 siswa dengan IMT normal, tidak ada yang memiliki IQ dibawah rata-rata, 20% memiliki IQ rata-rata, 18% memiliki IQ diatas rata-rata. Gizi lebih merupakan masalah kesehatan dunia dengan jumlah prevalensi yang selalu meningkat setiap tahun, baik di negara maju maupun berkembang. Prevalensi gizi lebih pada anak usia 2-19 tahun di Amerika Serikat mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Gizi lebih pada anak laki-laki meningkat pada tahun 2000 sebesar 14,0% menjadi 18,6% pada tahun 2010 dan pada anak perempuan juga mengalami peningkatan dari 13,8% menjadi 15,0% (NOO, 2011). Berdasarkan hasil penelitian National Health and Nutrition Examination Survey tahun 2009-2010 di Amerika persentase overweight dan obesitas berdasarkan kelompok umur, yaitu anak usia 2-5 tahun sebesar 26,7%, usia 6-11 tahun sebesar 32,6% dan usia 12-19 tahun sebesar 33,6%. Hal ini menunjukkan bahwa prevalensi overweight dan obesitas tertinggi pada anak remaja usia 12-19 tahun. Pada tahun 2009-2010 Asia memiliki prevalensi gizi lebih sebesar 26,4% pada anak laki-laki dan 16,8% pada anak perempuan (NOO, 2011). Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi gizi lebih secara nasional pada anak umur 13-15 tahun sebesar 10,8% yang terdiri dari 8,3% gemuk dan 2,5% sangat gemuk atau obesitas. Prevalensi gizi lebih pada remaja umur 16-18 tahun
5
mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun 2007 sebesar 1,4% menjadi 7,3% pada tahun 2013. Berdasarkan Riskesdas 2013 dalam angka, kejadian gizi lebih di Bali pada anak usia 13-15 tahun mencapai 13,9% yang terdiri dari gemuk 9,7% dan obesitas 4,2%. Sedangkan di Denpasar prevalensi obesitas meningkat dari 11% pada tahun 2002 menjadi 21,7% pada tahun 2010 (Yoga dan Sidiartha, 2010). Golongan di masyarakat yang banyak mengalami masalah obesitas antara lain balita, anak usia sekolah, remaja, dewasa dan orang lanjut usia. Fokus yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah mengenai obesitas pada anak usia 13-14 tahun yaitu pada anak remaja yang berada pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hal tersebut terkait dengan masalah rentan gizi pada kelompok anak remaja. Pada masa remaja ini terjadi perubahan sikap dan perilaku dalam memilih makanan dan minuman yang turut dipengaruhi oleh teman sebaya dan lingkungan. Perilaku makan bagi sebagian besar remaja menjadi bagian gaya hidup sehingga kadang pada remaja sering terjadi perilaku makan yang tidak seimbang, diantaranya melewatkan sarapan pagi, konsumsi fast food dan soft drink (French, dkk., 2001). Makanan cepat saji atau fast food mengandung kalori, lemak dan karbohidrat yang tinggi. Apabila asupan karbohidrat dan lemak berlebih, maka karbohidrat akan disimpan sebagai glikogen dalam jumlah terbatas, sedangkan lemak akan disimpan sebagai lemak tubuh. Tubuh memiliki kemampuan menyimpan lemak yang tidak terbatas, sehingga jika konsumsi lemak tinggi secara intensif maka resiko terjadinya obesitas semakin besar (Soegih dan Wiramihardja, 2009). Hasil penelitian Badjeber, dkk. (2009) di Manado
6
menunjukkan bahwa anak memiliki risiko menjadi obesitas 3,3 kali lebih besar apabila memiliki kebiasaan makan makanan siap saji lebih dari tiga kali per minggu daripada anak yang jarang atau 1-2 kali per minggu makan makanan siap saji. Penelitian-penelitian mengenai status gizi yang telah dilakukan selama ini lebih banyak berfokus pada dampak (outcome) dari anak yang mengalami gizi buruk sedangkan dampak dari anak yang mengalami obesitas terkait tingkat intelegensi belum banyak dilakukan. Beberapa penelitian terdahulu mengenai korelasi obesitas dengan tingkat intelegensi mengunakan klasifikasi status gizi untuk orang dewasa dalam menentukan status gizi obesitas yaitu dengan nilai IMT > 25, sedangkan pada penelitian ini menggunakan standar baku penilaian status gizi sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak yang mengacu pada standar World Health Organization (WHO 2005). Kriteria penentuan status gizi obesitas untuk usia 5-18 tahun yaitu dengan nilai IMT/U > 2 SD. Hasil survey status gizi yang dilakukan pada saat studi pendahuluan di SMP Santo Yoseph Denpasar pada tanggal 16 – 18 September 2015, didapatkan bahwa terdapat total jumlah siswa kelas VII sebanyak 312 siswa yang terdiri dari 164 siswa laki-laki dan 148 siswa perempuan. Pengukuran antropometri dilakukan dengan mengukur berat badan dan tinggi badan, kemudian klasifikasi status gizi menggunakan nilai IMT/U sesuai dengan standar baku penilaian status gizi anak yang berlaku di Indonesia. Siswa laki-laki yang memiliki status gizi normal yaitu sebanyak 100 orang atau sebesar 61,0%; yang mengalami overweight sebanyak 37
7
orang atau sebesar 22,5%; dan yang mengalami obesitas sebanyak 27 orang atau sebesar 16,5%. Siswa perempuan yang memiliki status gizi baik yaitu sebanyak 55 orang atau sebesar 37,2%; yang mengalami overweight sebanyak 57 orang atau sebesar 38,5%; dan yang mengalami obesitas sebanyak 36 orang atau sebesar 24,3%. Prevalensi obesitas pada siswa kelas VII di SMP Santo Yoseph Denpasar secara keseluruhan adalah 20,2%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan prevalensi obesitas di kota Denpasar pada penelitian Hartini dkk. (2014) yaitu 16,1%. Berdasarkan latar belakang dan hasil studi pendahuluan, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui konsistensi hasil temuan terdahulu dengan menggunakan standar klasifikasi status gizi dan metode analisis yang berbeda dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Dengan demikian, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan status gizi dengan tingkat intelegensi pada siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP).
1.2
Rumusan Masalah Potensi SDM Indonesia dapat dikatakan belum optimal yang ditunjukkan
dengan rata-rata IQ orang Indonesia berada dalam rentangan IQ sedang. Indonesia saat ini dihadapkan pada tantangan di bidang kesehatan yaitu terjadi peningkatan prevalensi obesitas terutama pada anak remaja, yang dapat berdampak pada penurunan tingkat intelegensi remaja tersebut. Dengan demikian, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu: 1.2.1 Apakah terdapat hubungan antara status gizi dengan tingkat intelegensi pada siswa SMP?
8
1.2.2 Apakah terdapat hubungan antara lama obesitas dengan tingkat intelegensi pada siswa SMP?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membuktikan bahwa status
gizi berhubungan dengan tingkat intelegensi pada siswa SMP. 1.3.2
Tujuan khusus Penelitian ini secara khusus bertujuan:
a.
Menentukan proporsi IQ di bawah rata-rata pada siswa SMP yang mengalami obesitas.
b.
Menentukan proporsi IQ di bawah rata-rata pada siswa SMP dengan status gizi normal.
c.
Membandingkan proporsi IQ di bawah rata-rata pada siswa SMP yang mengalami obesitas dengan siswa SMP yang status gizinya normal.
d.
Membuktikan hubungan lama obesitas dengan tingkat intelegensi pada siswa SMP.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat praktis Secara praktis penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam upaya
peningkatan kualitas SDM dengan mengoptimalkan perkembangan kognitif anak remaja yang nantinya akan berdampak pada tingkat intelegensi. Intervensi yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan informasi mengenai dampak
9
memberikan makanan cepat saji kepada anak karena dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya yaitu berpotensi mengalami obesitas yang kemudian berdampak secara tidak langsung terhadap tingkat intelegensinya. Dengan demikian diharapkan dapat menekan jumlah anak yang mengalami obesitas, yang juga berpotensi menderita penyakit tidak menular pada saat dewasa serta dapat mewujudkan generasi dengan kemampuan intelektual yang optimal. 1.4.2 Manfaat teoritis a.
Hasil penelitian ini dapat menjadi evidence atau bukti ilmiah mengenai hubungan status gizi dengan tingkat intelegensi anak remaja sehingga dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan.
b.
Sebagai acuan atau bahan referensi bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian yang terkait sesuai dengan perkembangan IPTEK.