BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Bekakang Masalah Akhlak pada zaman sekarang ini mulai mengalami kerusakan. Kebanyakan orang tua merasa kewalahan dalam mendidik anak-anak mereka. Banyak pengaruh dari luar yang menyebabkan pergeseran nilai-nilai moral dan anak-anak menjadi korban perubahan tersebut.1 Era globalisasi ini masyarakat kita telah banyak melakukan bentuk penyimpangan dari ajaran tentang tingkah laku hidup atau ajaran agama yang berlaku di dalam lingkungan masyarakat. Mereka cenderung mengagung-agungkan budaya barat dibandingkan budaya asli Indonesia yang sebenarnya sangat unik dan beragam. Bukan hanya mengagung-agungkan budaya barat saja tapi teknologi global pun juga ikut mempengaruhi krisis akhlak pada masyarakat. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya nilai budaya bangsa yang semakin pudar, nilai-nilai kehidupan telah bergeser dari tatanannya, budaya malu hampir musnah dalam setiap tingkatan masyarakat, melemahnya kemandirian bangsa, dan manajemen keterbatasan perangkat, sehingga muncul berbagai kasus kriminal yang menjadi sorotan warga, seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perkelahian massa, dan masih banyak yang lainnya hingga menjadi pembahasan utama di media massa.
1
Wiwit Wahyuning, Komputindo, 2003), hlm. 1.
Mengkomunikasikan Moral Kepada Anak, (Jakarta: Elex Media
1
2
Keadaan tersebut mengharuskan individu untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan pasti. Secara realita tidak semua individu mampu melakukannya sehingga yang terjadi justru masyarakat atau manusia semakin menyimpan banyak masalah. Hal ini karena tidak adanya pemahaman individu dalam mengontrol jiwa spiritualnya sehingga jiwanya semakin menuju pada kegelapan. Jiwa individu perlu disegarkan kembali dengan melakukan perbuatanperbuatan yang bersifat baṭiniyyah. Berbicara masalah solusi tentang kebatinan, tentunya harus merujuk pada salah satu tokoh sufi yaitu Imām alGazāli. Ia merupakan tokoh yang mampu memadukan antara kekuatan jasmani dengan kekuatan ruhani. Imām al-Gazāli adalah seorang yang berjiwa besar dalam memberikan pencerahan-pencarahan Islam. Ia seorang figur kharismatik yang menarik untuk dibicarakan. Ia seorang pakar pendidikan yang luas pemikirannya, bahkan pernah berkecimpung langsung menjadi praktisi yaitu diangkat menjadi pimpinan (rektor) Universitas Nizamiah, Bagdad.2 Ulama yang diberi gelar ḥujjāt al-Islām ini memiliki perhatian yang cukup besar terhadap masalah akhlak. Hal ini dikarenakan jiwa spiritualnya yang begitu kuat, khususnya di masa-masa akhir petualangan intelektualnya. Pendidikan akhlak menurut Imām al-Gazāli sangat menarik untuk dikaji secara seksama agar mengetahui hakikat akhlak yang sebenarnya.
2
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 11.
3
Imām al-Gazāli hidup setelah zaman keemasan Bani Abbasiyyah. Keemasan yang membawa kemajuan tersebut mulai kelihatan merosot karena berbagai
konflik
baik
internal
ataupun
eksternal
(1000–1250
M).3
Kemerosotan internal terjadi dimana banyak sekali terjadi fanatisme mazhab yang berlebihan, dan menuduh bid„ah serta kafir setiap orang yang tidak mau menerima faham dan keyakinannya.4 Kemerosotan eksternal terjadi ketika Kristen Eropa melancarkan perang salib di Timur, sehingga mereka berhasil mengguncang Syiria dan mendirikan kerajaan-kerajaan Kristen latin di Baitul Maqdis, Antiocia, Tarabils dan Ruha sejak tahun 490 H/1098 M. Imām alGazāli dalam karya besarnya, Ihyā‟ „Ulūm ad-Dīn justru tidak menulis satu bab tentang
jihād (perang). Ia justru menekankan pentingnya apa yang
disebut jihād an-nafs (perang melawan nafsu).5 Hal ini menunjukkan betapa besarnya kepedulian Imām al-Gazāli terhadap pendidikan akhlak pada waktu itu. Pemikirannya telah memberikan pengaruh yang signifikan dalam perkembangan pendidikan akhlak dikalangan umat muslim. Pendidikan akhlak merupakan objek kajian yang sangat dinamis dan mendapat perhatian amat luas di kalangan pemerhati pendidikan sehingga ragamnya senantiasa lahir dan belum pernah berhenti.6 Akhlak merupakan 3
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 11.
4
Victor Said Basil, Al-Ghazali Mencari Ma„rifat, (Jakarta: Panji Mas, 1990), hlm. 1.
5
Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 9. Zainudin, “Pendidikan Akhlak Sebagai Tuntutan Masa Depan Anak”, dalam Ta„allum: Jurnal Pendidikan Islam, volume 01, nomor 02, Nopember 2013, (Tulungagung: STAIN Tulungagung), hlm. 205. 6
4
pondasi utama dalam membentuk pribadi manusia. Akhlak yang dimiliki seseorang bukan merupakan sesuatu yang dibawa sejak lahir, dan bukan sesuatu yang bersifat tetap, akan tetapi sesuatu yang dapat berubah, berkembang dan harus dibentuk melalui proses yang cukup lama, yaitu dengan pendidikan agama.7 Pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa balita sampai ia menjadi seorang mukallaf, seseorang yang telah siap mengarungi lautan kehidupan. Ia tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah SWT dan terdidik untuk selalu kuat, meminta pertolongan dan berserah diri kepada-Nya.8 Adapun akhlak menurut Imām al-Gazāli seperti yang disebutkan dalam kitab Ihyā‟ „Ulūm adDīn:
الخلق ما يصدر عنو الفعل بسهولة من غير ثقل ومن غير روية Artinya: “Khuluq adalah suatu pekerjaan yang diawali dengan mudah tanpa adanya rasa berat dan tanpa memerlukan pertimbangan”.9 Hakikat akhlak sebenarnya selalu mengarah pada sesuatu yang baik, namun ada beberapa faktor yang menjadikan akhlak seseorang menjadi buruk, baik berasal dari lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Imām al7
Muyasaroh, “Pembinaan Akhlak Siswa Melalui Pembiasaan Keagamaan di MIN Bantarbolang Pemalang”, Tesis, (Pekalongan: STAIN Pekalongan, 2014), hlm. 1. 8
Raharjo, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam; Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 63. 9
Kajian
Tokoh
Klasik
dan
Abū Ḥāmid al-Gazāli, Ihyā‟ „Ulūm ad-Dīn, (Lebanon: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2012), juz 3, hlm. 451.
5
Gazāli pun kemudian mengelompokan akhlak ada yang mahmūdah dan mażmūmah. Akhlak tersebut akan terbentuk dengan cara melalui pendidikan. Pendidikan akhlak menurut Imām al-Gazāli dapat diperoleh melalui metode yang bersifat intuitif yaitu dengan melakukan mujāhadah, riyādah dan mukāsyafah . Ketiga metode tersebut merupakan alat seseorang agar ia mampu mencapai derajat ma„rifat billāh. Melalui metode tersebut menjadikan seseorang mempunyai rasa takut yang tinggi kepada Allah SWT sehingga ia tidak ingin melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari syari„at. Perjalanan seseorang dari syari„at hingga ma„rifat adalah perjalanan yang selalu ditempuh oleh para kekasih Allah SWT. Tujuannya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kedekatan seseorang terhadap Allah SWT memudahkan ia untuk mengetahui ilmu-ilmu Allah SWT karena telah terbuka tirai penutup antara seseorang tersebut dengan Allah SWT. Inilah yang disebut dengan ilmu laduni. Imām al-Gazāli dalam kitab ar-Risālah al-Laduniyyah menyingkap tentang eksistensi ilmu laduni. Ia mengartikan bahwa ilmu laduni adalah sirkulasi cahaya keilhaman yang terjadi secara sempurna.10 Ilmu laduni adalah ilmu yang diperoleh seseorang melalui proses perjalanan cahaya ilham setelah terjadi kesucian jiwa. Ilmu kasyf (istilah lain ilmu laduni) adalah cahaya yang bersinar di dalam hati ketika dibersihkan dan disucikan dari sifat-sifat
10
Abū Ḥāmid al-Gazāli, Ar-Risālah al-Laduniyyah, (Lebanon: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2011), hlm.73.
6
tercela.11 Penyucian tersebut menjadikan tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala. Pendapat Imām al-Gazāli tersebut pada awalnya ingin mengatakan bahwa Ilmu laduni adalah ilmu yang diperoleh tanpa melalui perantara. Pada akhirnya beliau tidak mengenyampingkan proses pembelajaran untuk memperoleh pengetahuan yakni dengan cara belajar, meskipun kemudian beliau lebih mengunggulkan kekuatan spiritual atau rohani untuk bisa mendapatkan pengetahuan. Ada cara yang menunjang agar ilmu laduni itu didapatkan yang berbeda dengan cara belajar pada umumnya. Cara tersebut adalah seperti yang telah diungkakpkan oleh Imām al-Gazāli dalam kitab ar-Risālah al-Laduniyyah, ia mengatakan bahwa ilmu didapati oleh manusia melalui dua cara: pembelajaran insāni (at-Ta‟allum al-Insāni) dan pembelajaran rabbāni (atTa‟allum ar-Rabbāni). Pembelajaran Insāni adalah metode biasa yang dilakukan oleh manusia yaitu dengan menggunakan semua potensi akalnya. Pembelajaran Rabbāni adalah metode yang berasaskan wahyu yang disebut sebagai ilmu wahyu, serta ilham yang dikenal sebagai ilmu laduni.12 Ilmu laduni (ilmu dari sisiku) ialah ilmu yang Allah SWT limpahkan ke dalam hati tanpa ada sebab yang dilakukan oleh seorang hamba yang dipilih-
Abū Ḥāmid al-Gazāli, Ihyā‟ „Ulūm ad-Dīn, (Lebanon: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2012), juz 1, hlm. 34. 11
12
Abū Ḥāmid al-Gazāli, ar-Risālah al-Laduniyyah,… hlm. 67-70.
7
Nya (Para wali-Nya atau kekasih-Nya) dan tanpa menggunakan dalil-dalil.13 Ilmu laduni datang mengalir dengan sendirinya. Ilmu laduni yaitu ilmu pemberian langsung dari Allah SWT, yang didapat tanpa belajar sebagaimana umumnya seseorang yang mempelajari suatu bidang ilmu.14 Mengingat ilmu itu berasal dari Allah SWT, maka ilmu pengetahuan bisa didapatkan dari berbagai jalur tanpa harus melalui proses belajar atau jika melalui belajar, maka belajar yang berada di luar alam kesadaran. Ilmu laduni itu bagaikan rizki yang datang secara tidak disangka (min ḥaiśu la yaḥtasib) atau dengan meminjam bahasa Abdurrahman Mas„ud ilmu laduni itu datang secara tiba-tiba (al-fuj„ah), sehingga saat ini masih diselimuti mitos yang penuh misteri. Mitos ini diperkuat oleh tingkah laku aneh-aneh orang yang dianggap mempunyai ilmu laduni, yakni kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang secara lahir tidak pernah dipelajarinya, tetapi melalui riyādah15 dan mujāhadah16 khusus. Konsep khusus inilah yang menjadikan sedikit sekali orang yang mendapat ilmu laduni seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Malik dalam naẓam alfiyyahnya wafī ladunni laduni qalla wafī.
13
M. Abdul Mujieb, dkk., Ensiklopedia Tauf Imam Al-Ghazali, (Jakarta: Mizan Publika, 2009), hlm. 191. 14
Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008), hlm.
94. 15
Riyādah artinya kesungguhan mengamalkan latihan-latihan rohani selama menempuh perjalanan menanjak tersebut. Oleh : Muhammad Rusli Malik, Puasa, Menyelami Arti Kecerdasan Intelektal, Kecerdasan Spiritual, Kecerdasan Emosional di Bulan Ramadhan, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), hlm. 218. 16
Mujahadah adalah mencurahkan segala kemampuan untuk mencapai sesuatu. Oleh Munawir Abdul Fattah, Tradisi Orang-orang NU, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006), hlm. 288.
8
Eksistensi laduni sebenarnya masih di anggap sakral oleh kalangan pesantren. Mereka sebenarnya menolak terhadap pengetahuan yang secara tiba-tiba datang dengan sendirinya. Hal itu karena pada dasarnya pesantren adalah lembaga pendidikan yang mempunyai visi menjadikan santri dari yang awalnya tidak tahu menjadi tahu. Proses ini harus diperoleh tentunya dengan cara belajar. Bukan secara tiba-tiba yang banyak dilakukan oleh para gus, yang hingga kini kebanyakan gus dipercayai mempunyai ilmu laduni yakni kemampuan dari pihak Tuhan untuk menguasai berbagai ilmu tanpa mempelajarinya.17 Pesantren juga tidak menghilangkan adanya konsep riyādah sebagai upaya untuk membersihkan hati. Pembersihan inilah yang menjadikan santri terbuka hatinya
(futūh), tujuannya adalah untuk
mempercepat daya ingat dan daya tangkap serta dapat dicapai dengan mengamalkan wirid.18 Berkat amalan wirid, ilmu-ilmu yang mereka peroleh dapat diserap dengan cepat dan tidak mudah hilang. Pandangan masyarakat muslim secara umum mengatakan bahwa ilmu laduni dianggap sesuatu yang luar biasa.
Kaum sufi juga telah
memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. Ia merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari segala ilmu. Melalui mujāhadah, pembersihan dan penyucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam gaib bahkan bisa berkomunikasi langsung
17
Suryana Sudrajat, Ulama Pejuang dan Ulama Petualang; Belajar Kearifan dari Negeri Atas Angin, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 21. 18
Perdana Akhmad, Ilmu Hikmah, antara Hikmah dan Kedok Perdukunan, (Sukabumi: Adamssein Media, 2013), hlm. 128.
9
dengan Allah SWT, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk Nabi Khidhir. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai tingkatan ma„rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir tertentu. Hal itu wajar, karena setiap agama (Islam) memiliki potensi untuk melahirkan bentuk keagamaan yang bersifat mistik. 19 Mistik ialah pengetahuan (ajaran atau keyakinan) tentang Tuhan yang diperoleh melalui meditasi atau latihan spiritual, bebas dari ketergantungan pada indera dan rasio.20 Ilmu laduni dalam pemahaman modern identik dengan intuisi. Intuisi adalah bisikan kalbu atau kesanggupan dalam mencapai pengetahuan dengan pemahaman secara langsung tanpa melalui proses berfikir. Intuisi merupakan kegiatan batin tertinggi dan kekuatannya berada di atas kemampuan akal. Intuisi sangat variatif, bila terjadi pada diri seorang nabi maka label dan simbolnya adalah wahyu, begitu juga apabila dialami oleh orang yang bersih hatinya simbolnya menjadi ilham. Penampakan dua simbol ini juga mengalami perbedaan signifikan, satu sisi berbentuk mu„jizat, di sisi lain menjadi karāmah, padahal sumber keduanya berputar diatas akal, jiwa, qalbu, dan nurani manusia yang sama.21 Akal yang tertancap dalam jiwa digunakan untuk berpikir, kemudian dimasukkan ke dalam hati dan dalam nurani timbul perasaan untuk bertindak 19
Dadang Kahmad, Tarekat dalam Islam; Spiritualitas Masyarakat Modern, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm. 70. 20
21
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 112.
Abdurrahman Mas‟ud dalam pengantar Busyairi Harits “Ilmu Laduni dalam Perspektif Teori Belajar Modern”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet. ke-2, hlm. xiv.
10
sehingga terpancar dari anggota tubuhnya untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang berakhlak mulia. Laduni tidak membutuhkan belajar sebagaimana umumnya manusia biasa. Adanya laduni membuat pikiran manusia terpecah menjadi dua cara pandang dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu secara mistis dan rasionalis. Perbedaan dua cara pandang tersebut sulit untuk disatupadukan, bahkan ini sudah terjadi sejak perseteruan antara Nabi Khidir (mistis) dan Nabi Musa (rasionalis) yang dikisahkan dalam al-Qur‟an.22 Hal serupa juga dialami antara Malaikat (cenderung mistis) dan Iblis (rasionalis) pada saat memperdebatkan Nabi Adam untuk dijadikan khalīfah di bumi. Kedua kisah di atas menjadi sumber perdebatan sampai sekarang dan seterusnya terhadap bangunan kehidupan di dunia dalam segala bidang salah satunya adalah tentang teori belajar untuk mendapatkan pengetahuan. Dua tokoh tersebut (Nabi Musa dan Nabi Khidir) mempunyai karakter berbeda yang menjadi induk karakter bagi seluruh manusia di dunia. Nabi Musa sebagai orang yang mengemban syariat menjadi panutan orang untuk lebih mengedepankan kognitif atau ta„līmi. Adapun Nabi Khidir yang mengemban hakikat sebagai panutan orang untuk lebih mengedepankan afektif atau bahkan psikomotorik. Penelitian ini bermaksud untuk menghubungkan kedua karakter tersebut. Kedua karakter tidak boleh dipisah untuk membentuk karakter yang baik bagi seseorang, meskipun pada kenyataanya semua
22
Dikutip dalam kuliah Filsafat Islam Integratif bersama Dr. Imam Khanafi, M.Ag. tanggal 21 Desember 2014.
11
berawal dari belajar, namun titik tekan pada penelitian ini adalah sampai menuju laduni hingga mampu membentuk akhlak yang mulia. Berbeda dengan pendapat Busyairi Harits yang menyatakan bahwa ilmu laduni diperoleh melalui belajar. Ia mengatakan bahwa setiap orang yang memiliki ilmu pengetahuan hakikatnya ia memperoleh ilmu laduni, sebab apabila dikaitkan dengan keyakinan bahwa segala sesuatu datang dari Allah SWT (kullun minallāhi), maka semua jenis ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia adalah laduni.23 Agus Sutiyono dalam Jurnal Pendidikan Islam dengan judul Ilmu Laduni dalam Perspektif al-Ghazali, mengambil kesimpulan bahwa secara rasional, semua ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui belajar.24 Imām al-Gazāli sebenarnya ingin mengarahkan bahwa seseorang bisa berkhidmah karena ia pernah mendapatkan ilmu secara ta„limi. Seseorang ingin mendapatkan ilmu laduni juga pada awalnya ia mengetahui terlebih dahulu tentang hakikat laduni melalui ta„limi. Secara epistimologis Imām alGazāli membagi dua cara perolehan ilmu yaitu dengan jalur taktasibu melalui ta„allum (belajar) dan tahjumu (datang tiba-tiba) baik melalui wahyu maupun ilham.25 Pembagian ini, jika dikaitkan dengan taksonomi Bloom tentang kognitif, afektif dan psikomotorik, maka kognitif adalah pembelajaran yang melalui jalur taktasibu, psikomotorik identik dengan tahjumu. Adapun afektif 23
Busyairi Harits, Ilmu Laduni dalam Perspektif Teori Belajar Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet. ke-2, hlm. xiv. 24
Agus Sutiyono, “Ilmu Laduni dalam Perspektif al-Ghazali”, dalam Nadwa: Jurnal Pendidikan Islam, volume 7, nomor 2, Oktober 2013, (Semarang: IAIN Semarang), hlm. 325. 25
Abū Ḥāmid al-Gazāli, Ihya‟ Ulumuddin, (Semarang: al-„Alawiyyah, tt), juz 3, hlm. 17
12
merupakan bentuk pembelajaran yang bersifat pengabdian, sehingga dalam hal ini penulis menyebutnya dengan istilah takhdīmi. Takhdīmi adalah bentuk pendidikan akhlak yang dilakukan atas pengetahuan seseorang secara ta„līmi. Adapun psikomotorik merupakan bentuk pendidikan akhlak yang dilakukan atas dorongan keadaan lingkungan. Berdasarkan penjelasan tersebut, Imām al-Gazāli mengawali perjalanan keilmuannya dari kognitif (ta„līmi), afektif (takhdīmi), dan psikomotorik (laduni), hal ini terbukti bahwa Imām al-Gazāli awalnya terlalu menggeluti bidang fiqih kemudian di masa akhir usianya ia lebih menggeluti tentang tasawuf yang lebih berpijak pada pengontrolan hati. Ta„līmi, takhdīmi, dan laduni merupakan cara pembelajaran yang harus dilewati oleh peserta didik untuk bisa membentuk akhlak. Ta„līmi adalah proses mendapatkan pengetahuan melalui belajar secara umum. Takhdīmi (afektif) adalah proses mendapatkan pengetahuan dengan cara mengabdi kepada guru dalam bentuk apapun selama tidak mengandung unsur maksiat. Laduni menjadi bahasan utama dalam penelitian ini yakni mendapatkan pengetahuan melalui wahyu dari Allah SWT. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak boleh terputus karena merupakan tingkatan yang saling bertahap. Berawal dari belajar, bersikap, kemudian bertindak merupakan tangga pembelajaran untuk bisa membentuk outcome pendidikan yang berakhlak mulia. Berikut adalah gambar agar bisa mendapatkan pendidikan akhlak sebagai tangga ilmu laduni menuju ma„rifat billāh.
13
Gambar 1.1 Tingkatan Cara Pembelajaran Seseorang yang berpengetahuan secara ta„līmi saja belum tentu mempunyai akhlak yang bagus terhadap lingkungannya. Seseorang yang terlalu mengandalkan takhdīmi akan mendapatkan kesulitan ketika dituntut masyarakat untuk menyelesaikan sebuah permasalahan secara bijak dan profesional. Keduanya harus berkumpul agar bisa membentuk akhlak yang bagus. Seseorang yang sudah menggabungkan dua hal tersebut akan dengan sendirinya mendapatkan berbagai ilmu yang belum pernah ia dapatkan. Pengetahuan itu kadang datang secara tiba-tiba dan tanpa disadari. Hal ini bisa terjadi pada siapa saja sebagai bukti mendapatkan ilmu laduni untuk membentuk akhlak yang baik. Orang yang sudah melewati ketiga fase itu maka ia akan mendapatkan ilmu laduni. Caranya adalah dengan melakukan murāqabah (mengintai-intai pada Allah SWT), muqārabah (mendekatkan diri pada Allah SWT), musyāhadah (menyaksikan diri terhadap Allah SWT). Ketiganya jika telah
14
memenuhi jiwa manusia maka sampailah perjalanan ruhani manusia ke tujuan puncak dan maqam (posisi) makrifat.26 Pendekatan diri kepada Allah SWT menjadikan seseorang menumbuhkan rasa takut. Ia merasa bahwa setiap langkahnya selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga ia enggan ketika akan melakukan perbuatan maksiat. Hal tersebut menjadi awal bagi seseorang untuk melakukan perbuatan terpuji lainnya. Inilah hakikat dari pendidikan akhlak dimana dapat tercermin dari perjalanan ruhani seseorang yang sedang mencari ilmu laduni. Bedasarkan latar belakang diatas penulis ingin lebih dalam mengkaji tentang pendidikan akhlak dan ilmu laduni. Penulis juga ingin menjelaskan bahwa sejauh ini banyak orang yang mengabaikan ilmu laduni karena ilmu ini bersifat sakral, padahal ada nilai-nilai paedagogis dalam ilmu laduni yaitu sebagai pembentuk akhlak seseorang. Hal ini perlu penulis jelaskan mengenai hakikat dari pendidikan akhlak dan ilmu laduni itu sendiri baik secara paedagogis maupun filosofis. Penulis berusaha memberikan gagasan tentang ilmu laduni sebagai langkah-langkah pembentukan pendidikan akhlak, oleh karena itu penulis mengambil judul RELASI PENDIDIKAN AKHLAK DAN ILMU LADUNI MENURUT IMᾹM AL-GAZᾹLI.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 26
Jamaluddin Kafie, Tashawuf Kontemporer, (Jakarta: Republika, 2003), hlm. 127.
15
1. Bagaimana relasi pendidikan akhlak dan ilmu laduni menurut Imām alGazāli? 2. Apa landasan filsafat pendidikan akhlak dan ilmu laduni menurut Imam Imām al-Gazāli?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: 1. Relasi pendidikan akhlak dan ilmu laduni menurut Imām al-Gazāli 2. Landasan filsafat pendidikan akhlak dan ilmu laduni menurut Imām alGazāli
D. Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan secara teoritis dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai pendidikan akhlak dan ilmu laduni. Memperkaya khazanah keislaman dan informasi dalam rangka meningkatkan pendidikan akhlak melalui ilmu laduni. Secara praksis diharapkan dapat memberikan informasi sekaligus pertimbangan kepada pendidik dalam mendidik anak didiknya agar bisa mengamalkan pendidikan akhlak melalui ilmu laduni. Bagi lembaga pendidikan agar dapat menjadi salah satu acuan dalam menyusun strategi yang tepat untuk membentuk akhlak peserta didik.
16
E. Kerangka Teoritis Terdapat beberapa teori tentang pendidikan akhlak yang menjadi pembanding dari teori pendidikan akhlak Imām al-Gazāli. Diantaranya adalah menurut Ibnu Miskawaih:
وىذه الحال تنقسم إلى.الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر وال روية
منها ما يكون طبيعيا من أصل المزاج كاإلنسان الذي يحركو أدنى شيء نحو غضب:قسمين ويهيج من أقل سبب وكاإلنسان الذي يجبن من أيسر شيء كالذي يفزع من أدنى صوت
يطرق سمعو أو يرتاع من خبر يسمعو وكالذي يضحك ضحكا مفرطا من أدنى شيء يعجبو
ومنها ما يكون مستفادا بالعادة والتدرب وربما كان،وكالذي يغتم ويحزن من أيسر شيء ينالو 27
.مبدؤه بالروية والفكر ثم يستمر عليو أوال فأوال حتى يصير ملكة وخلقا
Maksud keterangan di atas adalah akhlak merupakan keadaan jiwa yang mengajak atau mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Sikap jiwa atau keadaan jiwa seperti ini terbagi menjadi dua; ada yang berasal dari watak (bawaan) atau fitrah sejak kecil dan ada pula yang berasal dari kebiasaan latihan. Contoh yang dari watak adalah seseorang memunculkan sifat marah dari suatu perbuatan yang mempunyai sedikit sebab, takut terhadap sesuatu yang paling ringan, merasa kaget terhadap suara yang paling kecil, merasakan kesusahan terhadap sesuatu yang didapat secara mudah. Adapun penggambaran dari kebiasaan latihan adalah pada awalnya terdapat pertimbangan dan pemikiran terhadap suatu perbuatan, kemudian dilakukan secara terus-temerus sehingga
27
Ibn Miskawaih, Tahżīb al-Akhlāq, (Beirut: Mansyurat al-Jamal, 2011), hlm. 265.
17
menjadi malakah (suatu sifat yang tertancap dalam hati) dan khuluq (tingkah laku). Pendapat yang dipilih Ibnu Miskawih adalah sebagaimana yang dikutip oleh Istighfarotur Rahmaniyah yaitu watak itu tidak alami. Manusia dicipta atas dasar watak namun berubah berkat pendidikan dan pengajaran cepat atau lambat.28 Berdasarkan keterangan ini manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawaan fitrahnya yang tidak baik menjadi baik. Ibnu Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa yang paling dibutuhkan oleh seorang anak adalah perkembangan akhlaknya, sebab seorang anak tidak akan tumbuh berdasarkan kebiasaan yang ia dapatkan di waktu kecil. Misalnya perilaku ingin bebas, marah, dengki, tergesa-gesa, nafsu yang tak terkendali, gegabah, sifat keras dan tamak. Semua hal tersebut akan sulit dihilangkan ketika ia sudah dewasa, bahkan akan menjadi tabiat yang berakar kuat, namun jika dengan sekuat tenaga segala sifat tersebut dihindarkan, maka pada suatu saat akan membaik.29 Ibnu Qayyim menegaskan bahwa pendidikan memiliki peran yang sangat besar dan pengaruh yang kuat dalam pembinaan akhlak anak. Pendidikan iman membuat anak terbiasa untuk melakukan akhlak yang mulia, sedangkan penyimpangan dan perilaku yang terjadi pada diri anak dikarenakan lemahnya pendidikan akhlak yang seharusnya diberikan pada awal masa kanak-kanak.
28
Istighfarotur Rahmaniyah, Pendidikan Etika; Konsep Jiwa dan Etika Perspektif Ibnu Miskawaih dalam Kontribusinya di Bidang Pendidikan, (Malang: Aditya Media, 2010), hlm. 148. 29
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Mengantar Balita Menuju Dewasa; Panduan Fiqh Mengasuh Anak Saleh, terj: Fauzi Bahreisy, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), hlm. 198.
18
Ahmad D. Marimba mengutip dari Ibn Sina mengemukakan bahwa tujuan pendidikan adalah harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki oleh seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual, dan budi pekerti.30 Tujuan pendidikan menurut Ibn Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya. Imām al-Gazāli memiliki pandangan unik tentang pebentukan akhlak manusia sebagai jalan untuk menuju ma„rifat billāh. Imām al-Gazāli dalam kitab al-Maqṣād al-Asnā Syarh Asma Allāh al-Husnā menyatakan bahwa sumber pembentukan akhlak yang baik itu dapat dibangun melalui internalisasi nama-nama Allah SWT (Asma‟ al-Ḥusna) dalam perilaku seseorang.
Artinya,
untuk
membangun
karakter
yang baik,
sejauh
kesanggupannya, manusia meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas beragama, dan sebagainya.31 Pendidikan akhlak menurut Imām al-Gazāli dalam kitab Ihyā‟ „Ulūm ad-Dīn bisa diperoleh melalui jalur mistik dengan melakukan taazkiyyah an-nafs baik
30 31
Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma„arif, 1990), hlm. 2.
Abū Ḥāmid al-Gazāli, al-Maqṣad al-Asnā Syarh Asma Allāh al-Husnā, (Beirut: Dār alKutub al-„Ilmiyyah, tt), hlm. 26-27.
19
melalui mujāhadah maupun riyāḍah.32 Melakukan akhlak mahmūdah yang terhimpun dalam susunan maqāmat kaum sufi dan meninggalkan akhlak mażmūmah. Berdasarkan pandangan tentang pendidikan akhlak menurut para ahli di atas, mereka mempunyai cara pandang tersendiri dalam merumuskan teori tentang pendidikan akhlak yang dipengaruhi oleh tradisi. Terdapat juga persamaan yakni akhlak muncul dari perilaku seseorang secara otomatis tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Secara ringkas dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 1.1 Teori Pendidikan Akhlak Perspektif Para Ahli Pemikir pendidikan Akhlak
Persamaan
Ibnu Miskawaih Ibnu Qayyim Ibnu Sina Imām al-Gazāli
Perbedaan Tradisi rasional
Akhlak terjadi secara otomatis
Tradisi kanak-kanak Tradisi sosial Tradisi Mistik
Pendidikan akhlak mengarahkan seseorang agar mempunyai hubungan yang intensif baik antar sesama makhluk maupun dengan khālik (Pencipta). Pendidikan akhlak merupakan sebuah nilai yang harus dipelajari, dirasakan dan diterapkan dalam keseharian setiap anak. Tujuannya adalah untuk membentuk pribadi yang bermoral. Realita yang terjadi seperti di Indonesia, kurang diperhatikan betapa pentingnya nilai-nilai pendidikan akhlak sehingga Abū Ḥāmid al-Gazāli, Ihyā‟ „Ulūm ad-Dīn, (Lebanon: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2012), juz 3, hlm. 71. 32
20
banyak krisis moral yang melanda bangsa Indoneisa. Hal ini tentunya ada kesalahan sistem dalam melakukan proses pendidikan. Berdasarkan hal tersebut, maka harus mengawali lagi melakukan pembersihan hati Para tokoh sufi mempunyai metode yang tepat untuk bisa mendapatkan pembersihan hati yaitu takhalli (pengkosongan diri terhadap sifat-safat tercela), tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji) dan tajalli (tersingkapnya tabir).33 Ketiga tahap tersebut juga digunakan oleh Imām alGazāli dalam perjalanannya mendekatkan diri kepada Allah SWT . Orang yang melalui tiga tahap tersebut maka mudah baginya untuk mendapatkan ilmu-ilmu dari Allah SWT yang bersifat gaib. Inilah yang dimaksud seseorang tersbut mendapatkan ilmu laduni. Imām al-Gazāli dalam karya ar-Risālah al-Laduniyyah menyingkap tentang eksistensi ilmu laduni. Ia mengartikan bahwa ilmu laduni adalah sirkulasi cahaya keilhaman yang terjadi secara sempurna.34 Laduni disebut juga sebagai ilmu kasyf. Imām al-Gazāli dalam kitab Ihyā‟ „Ulūm ad-Dīn, mengatakan bahwa Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala.35 Ilmu laduni adalah ilmu yang dipancarkan langsung oleh Tuhan ke lubuk hati manusia tanpa proses belajar terlebih dahulu dan tanpa proses
33
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 156.
34
Abū Ḥāmid al-Gazāli, ar-Risālah al-Laduniyyah,... hlm.73
35
Abū Ḥāmid al-Gazāli, Ihyā‟ „Ulūm ad-Dīn (Semarang: al-„Alawiyyah), juz 1, hlm. 21.
21
metode ilmiah. Imām al-Gazāli tetap mempunyai keyakinan terhadap konsep iktisāb, dimana ilmu tidak bisa didapatkan kecuali ada usaha. Berdasarkan hal demikian, ilmu laduni merupakan kekuatan yang bersifat konvergen artinya terjalin gabungan antara kekuatan empirik yang terjadi karena adanya iktisāb dan kekuatan nativistik yang dipengaruhi oleh faktor keturunan sehingga ilmu yang diperoleh lebih bersifat hujūmi (tiba-tiba). meskipun praktek di lapangan dari beberapa masyarakat menilai pemilik laduni justru dipengaruhi oleh aliran nativisme (faktor keturunan). Ilmu laduni jika diyakini karena adanya faktor keturunan maka siswa yang bukan dari keturunan orang pintar akan merasa malas belajar, jika diyakini bahwa laduni adalah berawal melalui langkah-langkah empirik-sosialisme maka orang yang rajin belajar jika tidak mendapatkan ilmu laduni justru akan selalu memberontak diri. Teori ilmu laduni yang bersifat konvergen ini hanya menjelaskan bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat gaib dapat dilakukan dengan melakukan kegiatan spiritual melalui tazkiyyah an-nafs. Adapun hasilnya adalah kehendak Allah SWT Yang Maha Kuasa bahwa seseorang itu telah mendapatkan laduni atau tidak. Teori tazkiyyah an-nafs berawal dari integrasi antara metode ta„lim dan taqarrub yang membentuk satu titik, yakni ilmu laduni. Pembersihan tersebut memunculkan perilaku yang terpuji (maḥmūdah) pada dirinya. Perhatikan gambar berikut:
22
Gambar 1.2 Skema dalam Kerangka Teori Terdapat berbagai ulama yang membandingi Imām al-Gazāli tentang ilmu laduni diantaranya Ibnu Arabi, al-Ḥarawi, dan al-Junaid al-Bagdadi. Ibnu „Arabi membagi ilmu menjadi dua yakni al-ladunni (al-mauhūb) dan almuktasib. Ilmu al-mauhūb itu tidak ada ukurannya sedangkan ilmu almuktasib itu bisa didapatkan karena adanya ketakwaan dan amal saleh.36 Maksud dari tidak ada ukurannya adalah ilmu laduni hadir tanpa diusahakan dan tanpa menggunakan argumentasi aqliyyah (argumentasi pikiran). Tidak ada yang melakukan kecuali Allah SWT.37 Pengertian ilmu laduni Ibnu
36
Ibnu „Arabi, al-Futuhāt al-Makiyyah, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2006), juz 2,
hlm. 291. 37
hlm. 409.
Ibnu „Arabi, al-Futuhāt al-Makiyyah, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2006), juz 4,
23
„Arabi, memiliki persamaan dengan pengertian ilmu laduni Imām al-Gazāli, namun menurut Ibnu „Arabi ilmu laduni sifatnya lebih mendasar yakni mutlak hanya Allah SWT yang memberi tanpa bantuan apapun. Hal ini jika tidak menggunakan argumentasi aqliyah, bagaimana mungkin melahirkan proses pembelajaran. Al-Ḥarawi dalam kitab Manāzil as-Sā‟irīn, membagi ilmu menjadi tiga, ilmu al-jali (jelas), ilmu al-khafi (samar) dan ilmu al-laduni. Ilmu laduni sebagai ilmu gaib yang mempunyai derajat paling tinggi, hubungan antara seseorang dengan sesuatu yang gaib tidak terdapat hijab.38 Ilmu Laduni merupakan ilmu yang diberikan oleh Allah SWT ke dalam hati tanpa sebab yang dilakukan seseorang hamba tanpa menggunakan dalil-dalil. Sebab yang dimaksud adalah sebab yang disengaja, atau usaha untuk mendapatkan ilmu laduni. Al-Junaid al-Bagdadi mengatakan bahwasanya tasawuf ialah engkau bersama Allah SWT tanpa penghubung.39 Seseorang yang sudah terjadi ikatan dengan Allah SWT tanpa penghubung maka disitulah pancaran cahaya ilmu laduni akan turun. Keliaran pemikiran semacam itu dalam pandangan Junaid al-Baghdadi, tidaklah benar. Baginya, dunia tasawuf harus tetap berpijak pada realitas konkret manusia. Pencapaian tertinggi dalam dunia tasawuf hanyalah sampai level maḥabbah dan ma„rifah. Bedasarkan hal tersebut eksistensi
38
Abdullāh al-Anṣari al-Ḥarawi, Manāzil as-Sā‟irīn, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1988), hlm. 76-77. 39
Sokhi Huda, Tasawwuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah, (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 28.
24
konkret hamba („ubūdiyyah) tetap terpisah dari eksistensi Tuhan (Ulūhiyyah). Menurut al-Junaidi, syariat tetaplah penting dalam menuju maḥabbah dan ma„rifah.40 Terdapat perbedaan tentang ilmu laduni dari para ulama. Pada intinya ilmu laduni itu ilmu yang mengalir karena adanya cahaya keilhaman. Ilham tersebut bisa diberikan kepada hati seseorang apabila ia melakukan perbuatan terpuji. Adapun jika melakukan perbuatan tercela maka akan semakin jauh untuk mendapatkan ilmu laduni dari Allah SWT .
F. Tinjauan Pustaka Terdapat berbagai peneliti yang mengemukakan tentang pendidikan akhlak perspektif Imām al-Gazāli diantaranya menurut Silahuddin. Sasaran pendidikan menurut Imām al-Gazāli telah dilukiskan sejalan dengan pandangannya tentang hidup dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya, artinya sejalan dengan filsafatnya,
yang
sukma ẓillanī (jiwa yang abstrak) dan
menggabungkan antara potensi
sukma
ẓāhirī (jiwa yang nyata).
Menurutnya, puncak kesempurnaan manusia ialah seimbangnya peran akal dan hati dalam membina ruh manusia. Berdasarkan hal tersebut, maka sasaran inti dari pendidikan adalah kesempurnaan akhlak manusia, dengan membina ruhnya.41 40
Abdul Hamid Mudjib, http://wwwahamid.blogspot.co.id/2011/05/tasawwuf-al-imamjunaid-al-baghdadi-ra.html, diunduh pada tanggal 20 november 2015. 41
Silahuddin, “Konsep Pendidikan Islam Menurut al-Ghazali; Tinjauan Filsafat Pendidikan”, dalam Islamic Studies Journal, Vol. 2 No. 1 Januari – Juni 2014, (Aceh: UIN ArRaniry Fakultas Tarbiyah), hlm. 163
25
Doly Hanani, dalam penelitiannya yang berjudul Pendidikan Karakter Anak Menurut Imām al-Gazāli mengatakan bahwa Kajian tentang konsep pendidikan karakter terutama pendidikan karakter menurut Imām al-Gazāli dalam kitab Ihyā‟ „Ulūm ad-Dīn sangatlah penting dilakukan saat ini mengingat pendidikan karakter menjadi bagian salah satu aspek yang harus dilakukan guna mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pendidikan karakter (akhlak) anak menurut Imām al-Gazāli dalam Kitab Ihyā‟ „Ulūm ad-Dīn adalah usaha sadar oleh orang dewasa (orang tua dan masyarakat) untuk membimbing karakter atau akhlak anak yang diorientasikan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat, yaitu dengan mengajarkan ajaran agama sehingga mampu mengontrol hidupnya dengan sifat-sifat terpuji yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari.42 Ajaran agama tersebut mengutamakan penyucian jiwa dan ibadah, tawakkal, ikhlas, solidaritas, cinta ilmu bermanfaat, jujur, kesederhanaan, sabar, syukur, dan sikap lemah lembut. Nok Rohayati memberikan kesimpulan dalam jurnal ta‟dib bahwa pendidikan akhlak menurut Imām al-Gazāli adalah pendidikan formal dan non formal. Pendidikan non formal ada dalam
keluarga. Imām al-Gazāli
menganjurkan metode cerita (ḥikāyah), dan keteladanan
(uswah al-
ḥasanah). Anak dibiasakan melakukan kebaikan dan pergaulan anak perlu diperhatikan. Orang 42
tua
wajib
menyekolahkan
anak
ke
lembaga
Doly Hanani, “Pendidikan Karakter Anak Menurut Imam al-Gazali”, Jurnal Pembaharuan Pendidikan Islam (JPPI), Volume 1 No 1 Desember 2014, IAIN Gorontalo, hlm. 53.
26
pendidikan
formal, diperlukan
pujian
dan
hukuman
(reward and
punishment). Anak mempunyai hak istirahat dan bermain. Imām al-Gazāli mensyaratkan adanya seorang guru atau mursyid yang ikhlas, bertanggung jawab,
mengamalkan
ilmunya.
Kewajiban murid
adalah
menjaga
kebersihan hati, tidak sombong dan tidak menentang guru, dalam belajar diniatkan untuk bertaqarrub kepada Allah SWT.43 Nur Hamim mengatakan bahwa kunci pembentukan akhlak dalam proses pendidikan menurut Ibnu Miskawaih dan Imām al-Gazāli menunjukkan bahwa manusia itu lahir dengan fitrah yang baik. Kepercayaan akan adanya fitrah tersebut akan mempengaruhi implikasi-implikasi praktis bagi metodemetode yang seharusnya diterapkan dalam proses belajar mengajar.44 Nasrudin dalam penelitian Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berdasarkan Sifat Fitrah Manusia mengemukakan bahwa pembelajaran Karakter Berbasis Fitrah Manusia adalah suatu sistem pembelajaran yang bertujuan untuk penanaman nilai-nilai Islam dan budi pekerti luhur, yang diarahkan kepada pembentukan manusia seutuhnya di atas pola dasar dari fitrah yang telah dibentuk Allah SWT dalam setiap pribadi manusia dengan tujuan menciptakan pribadi yag berkarakter kuat, sehat, dan cerdas. 45 Manusia
43
Nok Rohayati, “Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan Akhlak”, dalam Jurnal Ta‟dib, Vol. XVI, No. 01, Edisi Juni 2011, (Palembang: IAIN Raden Fatah Palembang), hlm. 110-111 44
Nur Hamim, “Pendidikan Akhlak: Komparasi Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih dan alGhazali” dalam Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 18 Nomor 1 Juni 2014, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel), hlm. 39. 45
Nasrudin, “Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berdasarkan Sifat Fitrah Manusia”, dalam Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun IV, Nomor 3, Oktober 2014, (Purworejo: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah), hlm. 268.
27
sudah diberi modal karakter yang bagus melalui fitrahnya. Fitrah tersebut apabila dipertahankan dengan menggunakan pendekatan ilmu laduni maka akan terjaga sehingga mencapai derajat yang mulia di sisi Tuhannya. Adapun tentang ilmu laduni, Imām al-Gazāli dalam kitab ar-Risālah alLaduniyyah mengartikan bahwa ilmu laduni adalah sirkulasi cahaya keilhaman yang terjadi secara sempurna.46 Ilmu laduni dalam istilah lain dikenal dengan ilmu kasyaf atau ilmu ḥuduri. Imām al-Gazāli dalam kitab Ihyā‟ „Ulūm adDīn, mengatakan bahwa Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala.47 Berdasarkan al-Mukāsyafah inilah ilmu laduni dapat tergali. Adapun dalam buku “Ilmu Hudhuri” Mehdi Ha‟ri Yazdi membedakan antara pengetahuan melalui konsep atau konseptualisasi (al-ilmu al-ḥuṣūli) dan pengetahuan melalui kehadiran (al-ilmu al-ḥuduri).48 Singkatnya Ilmu hudhuri (knowledge by presence) berkaitan dengan pengetahuan hadir Tuhan yang dalam hal ini disamakan dengan ilmu laduni. Agus Sutiyono dalam Jurnal Pendidikan Islam dengan judul Ilmu Laduni dalam Perspektif al-Gazāli, mengambil kesimpulan bahwa secara
46
Abū Ḥāmid al-Gazāli, ar-Risālah al-Laduniyyah, (Lebanon: Dār Al-Kutub Al-„Ilmiyyah, 2006), hlm.73 47 48
Abū Ḥāmid al-Gazāli, Ihyā‟ „Ulūm ad-Dīn, (Semarang: al-„Alawiyyah) juz 1, hlm. 21.
Mehdi Ha‟ri Yazdi, Ilmu Hudhuri, Prinsip-prinsip Epistimologis dalam Filsafat Islam, terj: Ahsin Mohamad, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 14.
28
rasional, semua ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui belajar.49 Ia menegaskan
bahwa
proses
pembelajaran
yang
dijalankan
seseorang
berlangsung melalui perangkat lahir, batin, fisik dan spiritual. Buku Ilmu Laduni dalam Perspektif Teori Belajar Modern karya Busyairi Harits yang merupakan pengembangan tesisnya dengan judul Ilmu Laduni dalam Perspektif Pendidikan Islam (Sebuah Tinjauan Belajar), mengatakan bahwa setiap orang yang memiliki ilmu pengetahuan hakikatnya ia memperoleh ilmu laduni, sebab apabila dikaitkan dengan keyakinan bahwa segala sesuatu datang dari Allah SWT (kullun minallāhi), maka semua jenis ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia adalah laduni.50 Busyairi mengambil kesimpulan bahwa memburu ilmu laduni jika dilakukan dengan riyādah, ritual-ritual keagamaan, meminum wifiq-wifiq maka hanya akan mendatangkan pada penyesalan belaka. Dapat dipahami bahwa Busyairi lebih bersikap rasionalis dalam memandang ilmu laduni sehingga bisa dikatakan bahwa ilmu laduni berawal dari ilmu ta„limi. Berbagai pandangan tentang pendidikan akhlak diatas pada intinya menekankan bahwa akhlak merupakan bagian yang sangat urgen. Pendidikan akhlak merupakan suatu pondasi yang penting dalam membentuk manusia yang berakhlak mulia, guna membentuk insan yang bertakwa dan menjadi seorang muslim sejati. Pelaksanaan pendidikan akhlak melalui ilmu laduni
49
Agus Sutiyono, “Ilmu Laduni dalam Perspektif Al-Ghazali”, dalam Nadwa: Jurnal Pendidikan Islam, volume 7, nomor 2, Oktober 2013, hlm. 325. 50
Busyairi Harits, Ilmu Laduni dalam Perspektif Teori Belajar Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet. ke-2, hlm. xiv.
29
menurut Imām al-Gazāli, diharapkan mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh setiap umat muslim. Pendidikan akhlak dapat mengantarkan pada jenjang kemuliaan akhlak. Manusia menjadi semakin mengerti akan kedudukan dan tugasnya sebagai hamba dan khalifah di bumi melalui pendidikan akhlak tersebut. Hal ini sebagaimana dalam Hadits Nabi yang artinya “Sesungguhnya aku diutus untuk memyempurnakan budi pekerti yang mulia”.
Tabel 1.2 Kajian Penelitian Terdahulu
NO.
1
JUDUL DAN PENELITI
METODE
PERSAMAAN
PERBEDAAN
HASIL
Konsep Pendidikan
Jenis penelitian kepustakaan,
Sama-sama dalam Fokus penelitian
Kesempurnaan manusia ialah
Islam Menurut Al-
pendekatan kualitatif
meneliti tentang
seimbanganya peran akal dan hati
Ghazali; Tinjauan
tertuju pada nilai
pendidikan akhlak filsafat
Filsafat
pendidikan
dalam membina ruh manusia. Sasaran inti dari pendidikan adalah
Pendidikan,
kesempurnaan akhlak manusia,
(Silahuddin, Jurnal,
dengan membina ruhnya
2014) 2
Pendidikan
Jenis penelitian kepustakaan,
Sama-sama dalam Fokus penelitian
Pendidikan akhlak menjadi bagian
Karakter Anak
pendekatan kualitatif, sumber
meneliti tentang
lebih tertuju pada
salah satu aspek yang harus
Menurut Imam Al-
data primer Ihyā‟ „Ulūm ad-
pendidikan
anak
dilakukan guna mewujudkan tujuan
Gazali (Doly
Dīn, menggunakan analisis isi
karakter/akhlak
Hanani, Jurnal, 2014)
30
pendidikan nasional
31
3
Pemikiran Al-
Jenis penelitian kepustakaan,
Sama-sama dalam Fokus penelitian
Imam al-Ghazali menganjurkan
Ghazali tentang
pendekatan kualitatif, analisis
meneliti tentang
metode cerita (ḥikāyah), dan
Pendidikan Akhlak
isi
pendidikan akhlak sebagai
pada metode
keteladanan (uswah al- ḥasanah).
(Nok Rohayati,
pembentukan
Anak dibiasakan melakukan
jurnal, 2011)
akhlak
kebaikan dan pergaulan anak perlu diperhatikan. Orang tua wajib menyekolahkan anak ke lembaga pendidikan formal, diperlukan pujian dan hukuman (reward and punishment). Anak mempunyai hak istirahat dan bermain. seorang guru atau mursyid harus ikhlas, bertanggung jawab, dan mengamalkan ilmunya. Kewajiban murid adalah menjaga kebersihan hati, tidak sombong dan tidak menentang guru, dalam belajar diniatkan untuk bertaqarrub kepada Allah
32
4
Ilmu Laduni dalam
Jenis penelitian kepustakaan,
Sama-sama dalam Fokus penelitian
setiap orang yang memiliki ilmu
Perspektif Teori
pendekatan kualitatif lapangan,
meneliti tentang
memadukan
pengetahuan hakikatnya ia
Belajar Modern
menggunakan deskriptif
ilmu laduni
pengertian laduni
memperoleh ilmu laduni, sebab
(Busyairi Harits,
analitik, dan content analysis
terhadap peneliti
apabila dikaitkan dengan keyakinan
modern
bahwa segala sesuatu datang dari
buku, 2005)
Allah (kullun minallāhi), maka semua jenis ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia adalah laduni 5
Ilmu Laduni dalam
Jenis penelitian kepustakaan,
Sama-sama dalam Fokus penelitian
Secara rasional, semua ilmu
Perspektif al-
pendekatan kualitatif, sumber
meneliti tentang
pada proses
pengetahuan dapat diperoleh
Ghazali, (Agus
kitab Ar-Risālah al-
ilmu laduni
pembelajaran
melalui belajar
Sutiyono, jurnal,
Laduniyyah, menggunakan
yang dijalankan
2013)
analisis isi
seseorang berlangsung melalui perangkat lahir, batin, fisik dan spiritual
Tabel diatas memberikan perbedaan bahwa Silhauddin
lebih
memfokuskan pada keseimbangan antara akal dan hati agar terbentuk pendidikan akhlak. Doly Hanani lebih mendominasi pada anak sebagai awal pembentukan
akhlak.
Nok
Rohayati
memberikan
pandangan
bahwa
pendidikan akhlak bisa tercapai melalui berbagai metode. Metode yang sangat efektif adalah metode keteladanan. Berkaitan dengan ilmu laduni Busyairi Harits mengatakan bahwa setiap orang yang memiliki ilmu pengetahuan hakikatnya ia memperoleh ilmu laduni. Agus Sutiyono juga mempunyai pandangan yang sama. Ia mengatakan, secara rasional, semua ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui belajar. Imām al-Gazāli sendiri secara tidak langsung sebenarnya lebih dahulu menyatakan hal yang sama. Artinya ilmu laduni bisa didapatkan disamping merupakan pemberian langsung dari Allah SWT namun ada metode tertentu yaitu melalui pembersihan hati sebagai langkah untuk membentuk pendidikan akhlak. Sifat penelitian dari penulis ini adalah melanjutkan penelitian yang pernah dilakukan oleh para peneliti baik yang terdahulu maupun terkini yakni tentang pendidikan akhlak dan ilmu laduni. Kepribadian seseorang yang tidak berakhlak baik, sebenarnya berawal dari bagaimana caranya ia mendapatkan pembelajaran. Banyak tokoh yang menawarkan tentang gagasan metode pembelajaran diantaranya yang lebih bersifat konstruktif adalah Imām alGazāli. Ia mempunyai cara yang strategis untuk bisa mendapatkan pengetahuan yaitu dengan mendalami ilmu laduni.
33
34
G. Metode Penelitian 1. Jenis dan pendekatan penelitian a.
Jenis penelitian Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu jenis penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan macam - macam materi yang terdapat di ruang kepustakaan, misalnya : buku, majalah, naskah, catatan, dan lain - lain yang berhubungan dengan judul tersebut.51 Data yang terkumpul dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu gambaran yang utuh dan mendalam tentang komponen-komponen yang diteliti sehingga dapat memberikan kevalidan hasil penelitian.
b. Pendekatan penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yakni penelitian
yang
menghasilkan
prosedur
analisis
yang
tidak
menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantitatif.52 pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang menggambarkan realitas pada sebuah peristiwa secara terperinci, mendalam, dan menyeluruh. Pendekatan ini penulis gunakan karena penulis ingin lebih menyentuh ke aspek paedagogis yakni mencocokkan antara teori
51 52
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1989), hlm. 16.
Lexy J. Mleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. 22, hlm.6.
35
dengan fenomena nyata, maksudnya menghubungkan ilmu laduni terhadap akhlak seseorang. 2. Sumber data penelitian Sumber data penelitian ini adalah buku-buku kepustakaan. Adapun sumber data dapat dibedakan menjadi dua: a.
Sumber data primer Sumber primer yaitu hasil-hasil penelitian atau tulisan-tulisan karya peneliti atau teoritisi yang orisinil.53 Adapun yang menjadi sumber data primer adalah kitab-kitab karya Imām al-Gazāli yang berkaitan dengan akhlak dan ilmu laduni seperti Ihyā‟ „Ulūm ad-Dīn dan ar-Risālah al-Laduniyyah.
b. Sumber data sekunder Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku Ilmu Laduni dalam Perspektif Teori Belajar Modern karya Busyairi Harits, jurnal Ilmu Laduni dalam Perspektif Al-Gazāli karya Agus Sutiyono, dan buku-buku, jurnal-jurnal, internet, atau lainnya yang relevan dengan penelitian ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah cara yang dapat digunakan oleh peneliti
untuk
mengumpulkan
data.54
Peneliti
melakukan
teknik
53
Ibnu Hadjar, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kwantitatif dalam Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 83. 54
hlm.100.
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), cet. ke-7,
36
pengumpulan
data
menggunakan
metode
dokumentasi.
Metode
dokumentasi peneliti gunakan untuk memperoleh data berupa keterangan atau informasi yang diperoleh melalui buku, ataupun hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini. Tujuannya adalah untuk mendapatkan data yang dibutuhkan peneliti dalam menelaah buku-buku hasil karya Imām al-Gazāli yang berkaitan dengan pendidikan akhlak dan ilmu laduni. 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan penulis adalah: a. Analisis deskriptif, dimaksudkan untuk memberikan predikat kepada variabel yang diteliti susuai dengan tolok ukur yang sudah ditentukan.55 Analisis ini hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan. b. Analisis isi, atau seringkali disebut analisis dokumen, adalah telaah sistematis atas catatan-catatan atau dokumen-dokumen sebagai sumber data.56 Proses analisis dilakukan secara terus menerus baik di tempat penelitian maupun di luar tempat penelitian. Teknik analisis ini digunakan untuk memperoleh keterangan secara lengkap tentang pendidikan akhlak dan ilmu laduni perspektif Imām al-Gazāli.
55
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian,... hlm. 386.
56
Sanapiah Faisal, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982),
hlm. 133.
37
c. Analisis hermeneutik, merupakan usaha untuk beralih dari sesuatu yang sekiranya belum diketahui menjadi lebih faham atas teks.57 Hermeneutika berkaitan dengan pengetahuan dan kebenaran tidak hanya
sekedar
teks.58
Teknik
analisis
ini
digunakan
untuk
membuktikan kebenaran ilmiah tentang relasi pendidikan akhlak dan ilmu laduni menurut Imām al-Gazāli.
H. Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini agar memperoleh gambaran yang lebih jelas dan menyeluruh, maka secara global penulis merinci dalam sistematika penulisan sebagai berikut : Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoritis, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II tentang pendidikan akhlak dan ilmu laduni, berisi pertama tentang pendidikan akhlak, meliputi: pengertian pendidikan akhlak; hubungan antara akhlak dengan nilai, moral, karakter dan etika; landasan pendidikan akhlak; tujuan pendidikan akhlak. Kedua tentang ilmu laduni, meliputi: pengertian ilmu laduni; ilmu laduni dalam al-Qur‟an dan al-Hadis; ilmu laduni dalam wacana kaum sufi; Ilmu laduni dalam wacana pemikir modern; ciri-ciri orang mendapatkan ilmu laduni; metode mencari ilmu laduni. 57
Nafisul Atho dan Arif Fahrudin, Hermeneutika Transendental, (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), hlm. 132. 58
Hans-Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode, judul asli Truth and Method, terj: Ahmad Sahidah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), cet. ke-2, hlm. v.
38
Bab III tentang pendidikan akhlak dan ilmu laduni menurut Imām alGazāli, berisi: pertama sketsa biografi Imām al-Gazāli meliputi: riwayat keluarga Imām al-Gazāli, riwayat pendidikan Imām al-Gazāli, murid-murid Imām al-Gazāli, kondisi sosial dan politik masa Imām al-Gazāli, karya-karya Imām al-Gazāli, dan corak pemikiran Imām al-Gazāli. Kedua pendidikan akhlak dan ilmu laduni menurut Imām al-Gazāli, meliputi: pendidikan akhlak dalam maqāmāt menurut Imām al-Gazāli, metode pendidikan akhlak dalam mendapatkan ilmu laduni menurut Imām al-Gazāli. Ketiga landasan filsafat tentang ilmu laduni menurut Imām al-Gazāli terdiri dari landasan ontologi ilmu laduni menurut Imām al-Gazāli, landasan epistimologi ilmu laduni menurut Imām al-Gazāli dan landasan aksiologi ilmu laduni menurut Imām al-Gazāli. BAB IV analisis pendidikan akhlak dan ilmu laduni menurut Imām alGazāli, berisi: pertama relasi pendidikan akhlak dan ilmu laduni menurut Imām al-Gazāli, meliputi: relasi antara akhlak mahmūdah dan ilmu laduni, relasi antara akhlak mażmūmah dan ilmu laduni. Kedua landasan filsafat pendidikan akhlak dalam ilmu laduni menurut Imām al-Gazāli, meliputi: ontologi pendidikan akhlak dalam ilmu laduni menurut Imām al-Gazāli, epistimologi pendidikan akhlak dalam ilmu laduni menurut Imām al-Gazāli dan aksiologi pendidikan akhlak dalam ilmu laduni menurut Imām al-Gazāli. BAB V adalah penutup dari serangkaian pembahasan yang berisi tentang kesimpulan, implikasi dan saran-saran.