BAB I PENDAHULUAN Ada beberapa nilai yang perlu ditekankan untuk menyikapi dan mengontrol bisnis, termasuk bisnis dengan sistem Multilevel marketing1 yang memunculkan masalah etis. Karena bagaimanapun sistem bisnis termasuk MLM tidaklah bisa dibebaskan begitu saja tanpa ada kontrol dari luar pilar ekonomi, lebih-lebih sistem bisnis MLM yang terbilang baru. Ekonomi tidaklah dapat dipisahkan untuk sebebas-bebasnya dilepaskan dari pilar moral. MLM (nama lain yang dikenal oleh banyak orang network marketing, home party selling, creative marketing atau cell marketing) satu sistem pemasaran yang terbilang baru, dalam arti MLM selama ini berada di luar kelas atau buku teks pemasaran. Dengan demikian untuk dapat melihat dan memahaminya, orang harus bersedia turun ke ”jalan” dengan kepala terbuka. Ibarat parasut, pikiran kita hanya fungsional sepanjang ia terbuka terhadap kenyataan hidup – khususnya yang tidak sesuai dengan buku teks atau mindset atau belief atau paradigm yang sedang mendominasi pikiran kelompok masyarakat tertentu.2 Dengan demikian sebagai seorang teolog perlu menyikapi pergumulan etis yang pasti terjadi dalam banyak bidang. Termasuk Ilmu ekonomi yang juga mempunyai misi kemasyarakatan untuk mempertahankan kebudayaan umat manusia di masa silam, masa kini dan masa depan. Dengan kata lain kenyataan ekonomi harus selalu dipedulikan oleh gereja dan teolog, karena ekonomi harus terkait erat dengan kehidupan konkret
1 2
Untuk selanjutnya akan disingkat dengan MLM. Andrias Harefa, MLM dan penggadaan Uang (Jakarta: Gramedia, 2001) hlm. 11 1
masyarakat, serta menyangkut aspek kehidupan masyarakat dan tidak hanya soal cari makan. A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sistem MLM ini bagi penulis sangat menarik untuk ditinjau secara etis, karena sistem ini yang terbilang baru dan masih menjadi pro dan kontra dalam praktik-praktik yang berjalan, baik di kalangan ekonom, masyarakat luas bahkan secara khusus di dalam gereja. MLM biasa dikenal dengan menjual atau memasarkan langsung suatu produk baik berupa barang atau jasa kepada konsumen. Sehingga biaya distribusi barang sangat minim atau sampai ke titik nol. MLM juga menghilangkan biaya promosi karena distribusi dan promosi ditangani langsung oleh distributor dengan sistem berjenjang (pelevel-an). Dalam MLM ada unsur jasa, artinya seorang distributor menjualkan barang yang bukan miliknya dan ia mendapatkan upah dari prosentasi harga barang dan jika dapat menjual sesuai target dia mendapat bonus yang ditetapkan perusahaan.3 Kritik yang ditujukan ke MLM sangatlah beragam. Sampai sekarang sudah ada sekitar 200 perusahaan yang mengatasnamakan dirinya menggunakan sistem MLM.4 Dalam pengamatan penulis pro dan kontra yang muncul di dalam praktik-praktik MLM, pertama, bisa dikarenakan masih banyak orang yang belum mendapat informasi dengan 3
Keputusan Menperindag Nomor 73/MPP/Kep/3/2000 tentang ketentuan kegiatan usaha penjualan berjenjang (IUPB ). Dalam IUPB Pasal 1 ayat 1 disebutkan : Penjualan berjenjang adalah suatu cara atau metode penjualan secara berjenjang kepada konsumen melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh perorangan atau badan usaha yang memperkenalkan barang dan/atau jasa tertentu kepada sejumlah perorangan atau badan usaha lainnya secara berturut-turut yang bekerja berdasarkan komisi atau iuran keanggotaan yang wajar. Yulius Silalahi, Tianshi Mendobrak Kebohongan MLM, ( Jakarta: Alinea,2006), hlm.14 4 Dilihat dalam daftar keanggotaan APLI (Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia), wadah tunggal bisnis MLM di Indonesia), pada tahun 2002 tercatat 47 perusahaan MLMyang resmi terdaftar. Ada peningkatan yang sangat besar jika sekarang sudah tercatat 200 perusahaan. Bisnis Multi Level Marketing (MLM) http://www.kampussyariah.com/; diakses : 5 Mei 2006 2
jelas dan lengkap tentang sistem-sistem yang ada dalam MLM. Ditambah lagi dengan adanya begitu banyak kasus penyelewengan dan penipuan yang merugikan banyak orang dengan berkedok MLM. Atau yang kedua, memang ada masalah etis yang sangat mendasar dalam sistem MLM ini. Dengan ini penulis ingin memberikan sedikit pemikiran dalam menghadapi pro dan kontra terhadap sistem Multilevel Marketing melalui penelitian ini. B. Perumusan Masalah
Menurut Andrias Harefa, menempatkan pemasaran sebagai jiwa dalam kehidupan manusia dalam organisasi sama artinya dengan menyerahkan diri untuk memenuhi kepuasan hawa nafsu. Gandhi pernah mengatakan bahwa seluruh sumber daya alam yang ada di bumi selalu cukup untuk menghidupi umat manusia. Namun isi dunia ini tak akan pernah mampu memuaskan hawa nafsu liar seorang manusia saja.5 Pemasaran bukanlah sesuatu hal yang pantas untuk menjadi jiwa perusahaan dalam bisnis yang bertahan dalam jangka panjang. Yang lebih layak menjadi jiwa dalam kompas perubahan adalah etika bisnis, termasuk etika pemasaran itu sendiri.6 Dengan pernyataan masalah dan pentingnya etika bisnis dalam mengkritisi sistem MLM secara khusus ini, penulis membatasi penelitian ini dalam 2 variable : a. Sistem Multilevel Marketing b. Etika Kristen Konsep pemasaran dan tinjauan etis terhadap sistem pemasaran adalah salah satu bidang yang perlu direformasi, bila kita ingin membangun masyarakat beretika yang
5 6
Gandhi menurut Andrias Harefa, MLM dan penggadaan Uang (Jakarta: Gramedia, 2001) hlm. 13 Ibid, hlm. 13-14 3
tidak sudi menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan tertentu. Pragmatisme yang menjadi ciri khas masyarakat modern hari ini, merupakan satu poin penting untuk gereja bersikap etis terhadap segala perkembangan dalam sistem pemasaran, bahkan juga ‘tradisi-tradisi’ etika gereja sendiri terhadap perkembangan bisnis. Perubahan adalah kata dasar dan kunci untuk pragmatisme. Realitas adalah suatu proses. Tidak ada satupun yang statis, karena itu kaidah-kaidah etispun selalu terbuka untuk evolusi dan perubahan. Pragmatisme adalah filsafat yang menekankan tindakan. Tindakan etis adalah tindakan yang memanfaatkan akal semaksimalnya agar dapat mengatasi lingkungan yang terus berubah.7 Selain itu setiap aksi sebenarnya merupakan interaksi. Individualisme dan egoisme merupakan sesuatu yang sungguh tidak boleh terjadi dalam dunia pragmatis ini. Sebab seperti dikatakan oleh Eka Darmaputera, ” Saya ada, karena mereka ada. Saya tidak survive tanpa mereka.8 Dalam perumusan masalah ini penulis menunjukkan dengan beberapa pertanyaan yang ingin digali dan dikembangkan dalam penelitian ini.
1. Seperti apakah sistem dalam perusahaan Multilevel Marketing, bisakah disamakan permasalahan etis sistem perusahaan MLM yang satu dengan perusahaan MLM yang lain ?
Dengan hadirnya berbagai macam perusahaan yang mengatasnamakan MLM mungkinkah bisa disamakan atau digeneralisasikan antara sistem perusahaan MLM yang satu dengan yang lain. Kalau memang ada perbedaan yang sangat signifikan dalam membangun sikap etika bisnis sangatlah baik jika tidak selalu dikatakan sama dan dinilai
7 8
Eka Darmaputera, Etika Sederhana untuk Semua (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000) hlm. 84 Ibid, hlm. 84 4
sama sebagai satu sistem yang tidak etis. Sikap kristis dibangun tetapi bukan menjadikan kecurigaan yang terlalu berlebihan dalam melihat semua. Masalah apa yang dimunculkan dalam sistem tersebut ?
2. Kebudayaan Korporat macam apa yang dimiliki oleh Multilevel Marketing?
Dalam
perusahaan
MLM,
kita
mengenal
pelatihan-pelatihan
yang
memperlengkapi dan memotivasi dengan baik para pelaku bisnis MLM. Istilah pemuridan atau kelompok sel atau pesponsoran yang semuanya merupakan bentuk menduplikasikan diri, sehingga downliner menjadi sama dalam kemampuan bisnis dengan upliner-nya dalam satu jaringan. Semua ini menjadi satu bentuk karakteristik yang sangat penting dalam perusahaan MLM. Di mana seseorang dalam bisnis MLM bukanlah seorang yang menjadi pengecer atau retail tetapi seseorang yang membangun jaringan. Ketika seseorang membangun jaringan, maka dia sebagai upline bertanggung jawab untuk mendampingi dan membimbing setiap orang yang ada dibawahnya, di dalam jaringannya (downliner-nya). Proses rekruitmen atau pesponsoran dalam setiap MLM, menurut penulis bisa dikatakan sebagai bentuk budaya korporat. Proses rekruitmen atau pesponsoran dalam setiap MLM dapat dikategorikan sebagai Budaya Korporat, karena merupakan kumpulan nilai-nilai, norma-norma, ritual dan pola tingkah laku yang menjadi karakteristik suatu perusahaan.9 Setiap budaya perusahaan akan memiliki dimensi etika yang didorong tidak hanya oleh kebijakan-kebijakan formal perusahaan, tapi juga karena kebiasaan-kebiasaan sehari-hari yang berkembang dalam organisasi perusahaan tersebut. Menurut Jacob
9
Bambang Rudito dan Melia Famiola, Etika Bisnis dan Tanggung jawab Sosial Perusahaan di Indonesia (Bandung: Rekayasa Sains, 2007)hlm. 71 5
Oetama, Setiap perusahaan memiliki apa yang disebut kebudayaan korporat. Kebudayaan korporat merupakan karakteristik yang memberikan corak khusus kepada masing-masing kelompok perusahaan, kebudayaan korporat ditumbuhkan dalam perusahaan melalui adanya nilai-nilai yang dihayati bersama.10 Kebudayaan korporat seperti apa yang ada dalam bisnis MLM ? Adakah nilai etis yang dibangun dengan kuat dalam budaya korporat MLM ? Apakah keterkaitan budaya korporat dalam nilai-nilai etis yang dibangun dengan sistem MLM ? Andrias Harefa mengatakan bahwa “ Mengatakan MLM lebih menekankan pada “recruitment business” jelas merupakan penyesatan. Sebab perekrutan dan pesponsoran yang tidak diimbangi dengan kerja keras menjual produk justru menjadi salah satu ciri utama dari money game atau praktek penggandaan uang.”11 Dengan pernyataan Andrias Harefa ini, maka sangat terlihat dengan jelas, bahwa ada hal penting dalam sistem bisnis MLM, yiatu proses perekrutan atau pesponsoran yang juga merupakan proses penting dalam sistem bisnis curang seperti money game. Dengan ini masalah rekrutmen atau pesponsoran menjadi poin penting yang tidak dapat dilewatkan, ketika menganalisa sistem bisnis MLM. Jangan-jangan penyesatan seperti dikatakan Andrias Harefa itu yang memang benar-benar terjadi dalam bisnis MLM, dalam proses rekrutmen atau pesponsoran (budaya korporat) MLM. Di mana produk yang hanya menjadi kamufalse.
3. Apa yang akan menjadi dasar keputusan etis seseorang mengkritisi sistem MLM? Setelah menggali sistem dan budaya korporat dalam MLM, baik positif maupun negatifnya. Maka perlu untuk ditanggapi dengan membangun sikap etis terhadap sistem
10 11
Jakob Oetama, Dunia Usaha dan Etika Bisnis (Jakarta: Kompas, 2001)hlm. 14 Andrias Harefa, MLM dan penggadaan Uang (Jakarta: Gramedia, 2001) hlm. 8 6
MLM. Penelitian ini ingin membawa sikap kritis kepada masyarakat khususnya kelompok yang pro dan kontra terhadap sistem bisnis MLM. Dengan ini minimal penulis ingin menempatkan etika pemasaran yang macam apa yang akan senantiasa disuarakan dalam tugas teolog dan gereja Tuhan di dunia ini. Dalam penelitian ini, penulis bukan mau mengatakan antipemasaran atau propemasaran, khususnya sistem MLM, tetapi ingin menempatkan pemasaran dalam etika Kristen.12 Bagi kebanyakan orang, keputusan etis diambil secara begitu saja berdasarkan tradisi atau kebiasaan, betapapun akhirnya orang menyadari tidak tepatnya keputusan itu. Eka Darmaputera menamakan cara tersebut tidak rasional, dan karena itu tidak etis. Keputusan yang tepat pada masa lampau tidak otomatis tepat untuk situasi yang baru.13 C. Hipotesis 1. Seperti apakah sistem dalam perusahaan Multilevel Marketing, bisakah
disamakan permasalahan etis sistem perusahaan MLM yang satu dengan perusahaan MLM yang lain ? Tanggapan Etika Kristen berkaitan dengan MLM selama ini telah mengeneralisasikan satu perusahaan Multilevel marketing dengan perusahaan Multilevel Marketing yang lain. Dalam MLM banyak sekali macamnya dan setiap perusahaan memiliki spesifikasi tersendiri. Sampai sekarang sudah ada sekitar 200 perusahaan yang mengatasnamakan dirinya menggunakan sistem MLM. Untuk menilai satu persatu perusahaan yang menggunakan sistem ini rasanya tidak mungkin,
kecuali jika perusahaan
12
Pada dasarnya segala bentuk usaha, baik bisnis, sosial ataupun kemasyarakatan harus mempunyai ide dan tujuan. Hal ini penting karena usaha itu merupakan bentuk kerja sama orang banyak. Ide dan tujuan itu kemudian dijabarkan menjadi values (nilai-nilai) yang ditawarkan kepada lingkungan itu untuk dibagi dan dimiliki bersama. Jakob Oetama, Dunia Usaha dan Etika Bisnis (Jakarta: Kompas, 2001)p. 3 13 Eka Darmaputera, Etika Sederhana untuk Semua (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000) hlm. 85 7
tersebut memberikan penjelasan utuh baik melalui buku yang diterbitkan atau presentasi langsung tentang perusahaan tersebut.14 Dengan kondisi semacam ini, maka perusahaan MLM tidak bisa semuanya dianggap sama, dengan mengatakan bahwa sistem bisnis MLM dari semua perusahaan MLM merupakan satu sistem bisnis yang curang dan memunculkan masalah etis yang sama. Menurut penulis, sistem MLM yang ada dalam perusahaan berbasis MLM bisa saja berbeda dalam sistem dan memunculkan permasalahan etis yang berbeda juga. 2. Pesponsoran atau budaya korporat macam apa yang dibangun dalam MLM ?
Sistem bisnis MLM sangat menarik dalam membangun jaringan atau network. Untuk itu semua, ada satu bentuk budaya korporat yang khas dalam setiap perusahaan MLM. Budaya korporat tentunya terkait dengan kekuatan dasar berjalannya sistem.15 Budaya korporat yang dibangun dalam bisnis MLM sebagai wujud pertolongan sosial, seperti yang dikatakan Rich Devos dalam bukunya, ”Compassionate Capitalism,” menurut dugaan penulis terlalu berlebihan. Budaya korporat MLM sesungguhnya hanya untuk pendukung sistem (support sistem) tanpa nilai-nilai moralitas. Budaya korporat hanya untuk ”memanfaatkan” orang lain agar masuk dalam sistem dan memperkaya diri sendiri. 3. Apa yang akan menjadi dasar keputusan etis seseorang mengamati sistem
MLM? MLM memang sangat sarat dengan menjanjikan mimpi yang luar biasa
14
http://www.syariahonline.com/ Bisnis Multi Level Marketing (MLM) diakses 5 Mei 2006 Perusahaan MLM terkemuka sering menyebut para distributor independennya sebagai mitra usaha. Hubungan di antara mereka jauh lebih mesra dibanding dengan hubungan perusahaan non-MLM dengan konsumennya. Andrias Harefa, MLM & Penggandaan Uang (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 77
15
8
dalam kesuksesan materi. Menurut penulis hal ini sangat mempengaruhi motivasi mendasar seseorang untuk terlibat dalam MLM. Nilai pertimbangan etis yang diambil tanpa mempertimbangkan banyak hal dari kelemahan sistem, yang penting bagaimana saya kaya ! Dugaan penulis pelaku MLM tidak pernah mempertimbangkan
masalah
etis
dalam
sistem
perusahaan
berbasis
MLM.Pertimbangannya hanyalah masalah akumulasi kekayaan dan keuntungan yang besar. D. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan 2 metode pengumpulan data, yaitu: kepustakaan dan lapangan. Metode kepustakaan dikerjakan dalam studi pustaka tentang MLM yang telah ditulis dan diterbitkan dalam beberapa buku, majalah, koran dan website. Metode Kepustakaan akan sangat membantu untuk melihat dan mengembangkan bahkan ikut ambil bagian dalam diskusi penelitian yang sudah berlangsung dalam masalah etika Kristen mengenai MLM. Sedangkan metode lapangan meliputi 1. Pengamatan. 2. Wawancara. Metode wawancara akan dicoba dilakukan dengan 10 orang di beberapa tingkatan level distribusi MLM yang berbeda (perhatikan lampiran). Sehingga dapat ditemukan berbagai motivasi dan kesulitan yang tentunya berbeda dalam tiap level distribusi. Sampel dalam metode ini ada 2 perusahaan MLM, yaitu Tianshi dan High Desert. 3. Participant observation, dilakukan dengan menghadiri kesaksian-kesaksian dan pertemuan-pertemuan para anggota dan calon anggota Tianshi dan High Desert, yang meliputi home sharing dan business meeting. 9
4. Pemeriksaan dokumen khusus, untuk mencermati jika terjadi perbedaan penafsiran terhadap satu sistem yang ada dalam MLM, maka dipandang perlu menggunakan dokumen yang spesifik tentang satu perusahaan MLM secara khusus. Dua perusahaan MLM yang akan menjadi acuan penelitian adalah perusahaan MLM Tianshi dan High desert. Pemeriksaan dokumen khusus ini akan memfokuskan diri kepada buku acuan bisnis perusahaan MLM Tianshi dan High Desert. Untuk melihat secara khusus budaya korporit yang ada dalam perusahaan MLM Tianshi dan High Desert. Pertimbangan memilih metode ini dalam pengumpulan data adalah E. Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan Menguraikan tentang kerangka dan arah serta tujuan penelitian etika terhadap sistem bisnis Multilevel marketing. Bab II Sistem dalam Multilevel Marketing dan Pesponsoran Bab ini akan menguraikan sistem secara spesifik dari 2 sample perusahaan MLM, yaitu Tianshi dan High Desert. Setelah diuraikan secara spesifik, dilanjutkan dengan menguraikan dan memaparkan pesponsoran atau budaya perusahaan MLM yang sangat signifikan dalam gerak sistem MLM. Budaya Korporat yang kelihatan berbeda dibanding dengan perusahaan bisnis konvensional dimunculkan dalam bisnis MLM. Bab III Analisa terhadap Sistem dan Pesponsoran Multilevel Marketing Melalui bab III ini penulis mencoba menganalisis permasalahan-permasalahan etis yang muncul dan terjadi dalam sistem MLM serta pesponsorannya. Selain itu untuk membuktikan hipotesa bahwa perusahaan MLM yang satu dengan yang lain tidaklah
10
dapat disamakan. Masing-masing perusahaan MLM memiliki pertimbangan etis yang dibangun dalam sistem secara berbeda. Dalam bab ini ingin penulis munculkan, apa permasalahan etis yang perlu disoroti ? Bab IV Tinjauan Teologis dan Sikap Etis terhadap Multilevel Marketing Tinjuan teologis dan sikap etis terhadap MLM akan mengulas permasalahan etis yang sudah diklasifikasikan dalam analisis permasalahan sistem dan budaya korporat MLM. Tinjauan teologis dan etikanya akan menggunakan pandangan etika bisnis menurut beberapa teolog yang membangun teologi ekonomi dalam menyikapi perkembangan perekonomian. Setelah dilihat secara teologis dasar etikanya akan dilanjutkan secara aplikatif berkaitan dengan permasalahan sistem dan budaya korporat MLM. Bab V Kesimpulan
11