Bab I PENDAHULUAN
A. Tinjauan Umum Tanaman Obat Prospek pengembangan tanaman obat di Indonesia sangat cerah di masa mendatang ditinjau dari tersedianya sumberdaya alam dengan keanekaragaman hayati yang dikenal dengan megadiversity kedua setelah Barzilia. Distribusi tumbuhan tingkat tinggi yang terdapat di hutan tropika Indonesia lebih dari 12 % (30.000) dari yang terdapat di muka bumi (250.000). Indonesia memiliki tidak kurang dari 7.000 spesies tumbuhan berkhasiat obat yang berarti meliputi 90% dari jumlah tanaman obat yang terdapat di kawasan Asia (Taslim,2004). Burkill (1965) mencatat tidak kurang dari 1.650 spesies di Semenanjung Malaya dinyatakan mempunyai khasiat obat. Anonim (1986) menyatakan ada 3.689 spesies. Namun sampai saat ini belum terdapat catatan yang pasti mengenai jumlah tumbuhan yang telah dimanfaatkan sebagai obat yang terdapat di Indonesia. Salah satu dari macam tanaman obat tersebut adalah Rauvolfia serpentina Benth, sebagai anti hipertensi. Di samping itu, setiap spesies tumbuhan merupakan sumber bahan kimia hayati (chemical resources), sehingga biodiversitas
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
1
dapat dipandang sebagai suatu industri atau pabrik bahan kimiawi yang berproduksi sepanjang tahun menghasilkan bahan kimia berguna (Chemical Prospectives) melalui proses rekayasa bioteknologi alami (Achmad, 2000). Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat dunia telah memanfaatkan pengobatan dengan bahan tumbuhan sejak dahulu. Di negara-negara maju yang secara luas telah menggunakan obat-obatan modern, akhir-akhir ini menunjukkan bahwa mereka indikasi lebih menyukai obat tradisional atau obat-obatan
dari
tumbuhan
dari
pada
obat
sintetis.
Kecenderungan ini telah meluas ke berbagai negara di seluruh dunia yang dikenal dengan new green wave. Apabila menyebut negara berkembang, lebih dari 86% dari populasi penduduknya tergantung pada pengobatan tradisional dengan bahan dari tanaman
termasuk
Indonesia
(Farnsworth
et
al.,
1985:
Duke,1992). Di Indonesia, tumbuhan obat merupakan salah satu komponen penting dalam pengobatan berupa ramuan jamu tradisional dan telah digunakan sejak dahulu. Tumbuhan obat telah berabad-abad didayagunakan oleh bangsa Indonesia dalam bentuk jamu untuk memecahkan berbagai masalah kesehatan yang dihadapinya dan merupakan kekayaan budaya bangsa Indonesia yang perlu dipelihara dan dilestarikan. Pengertian tumbuhan obat atau yang dipercaya mempunyai khasiat obat adalah tumbuhan obat tradisional, modern, potensial dan simplisia. Tumbuhan obat tradisional yaitu spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercayai masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai obat tradisional. Tumbuhan obat modern, yaitu spesies tumbuhan
2
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa/ bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis. Tumbuhan obat potensial, yaitu spesies tumbuhan yang diduga mengandung senyawa/bahan biooaktif yang berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan secara ilmiah medis atau penggunaannya sebagai bahan obat tradisional sulit ditelusuri (Wachid,1986). Simplisia ialah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga berupa bahan yang telah dikeringkan (Anonim,1980). Kondisi pemanfaatan obat tradisional serta adanya perubahan gaya hidup akan memberikan peluang pasar yang makin besar sehingga memberikan dampak yang positif bagi perkembangan industri obat tradisional dan fitofarmaka. Pemanfaatan keanekaragaman hayati berupa berbagai ramuan jamu-jamu telah menarik perhatian jauh di luar batas negara Indonesia dan pemakaian jamu sebagai obat alternatif untuk berbagai penyakit khususnya untuk penyakit yang tidak berhasil disembuhkan dengan obat-obatan modern, sekarang terus meningkat. Saat ini industri jamu tradisional maju pesat dan secara ekonomis menguntungkan negara. Mengingat permintaan yang terus meningkat, pengadaan bahan baku obat atau jamu dengan cara pemungutan langsung dari alam akan mengancam keberadaan populasinya. Beberapa spesies tumbuhan adalah spesies yang secara alam dinyatakan langka serta terancam kepunahan. Di Indonesia kegiatan eksploitasi hutan, konversi hutan dan pemanfaatan lahan hutan oleh masyarakat, serta pengambilan tumbuhan obat dengan tidak mempertimbangkan aspek
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
3
kelestarian dapat dipandang sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi kelestarian dan penurunan populasi tumbuhan obat, sehingga secara tidak disadari kelangkaan jenis tumbuhan obat terus meningkat. Pemanfaatan tumbuhan obat Indonesia diduga akan terus berlangsung mengingat eratnya keterikatan bangsa Indonesia pada tradisi kebudayaannya dalam memakai jamu. Di samping itu beberapa bahan baku jamu telah menjadi komoditas ekspor yang handal untuk menambah devisa negara. Sayangnya meningkatnya pemanfaatan tumbuhan obat sebagai komoditas ekspor belum diikuti dengan pembudidayaan yang rasional dan pelestarian plasma nutfahnya. Rauvolfia spp. Telah lama digunakan dalam bidang pengobatan. Diantara golongan Rauvolfia itu adalah R. serpentina Benth, yang juga dikenal dengan nama pule pandak. Pule pandak merupakan tanaman penting yang diperhatikan di negara Barat setelah ditemukan alkaloid. Di India, pemakaian pule pandak sebagai obat tradisional untuk menyembuhkan berbagai penyakit sudah dilakukan beratus-ratus tahun yang lalu. Sejak itu banyak senyawa kimia obat-obatan diambil dari tanaman ini dan beberapa alkaloid telah diisolasi. Di Amerika Serikat Pule Pandak digunakan sebagai bahan baku obat modern dan tidak dibuat secara sintetis meskipun struktur kimiawinya telah diketahui. Bagian tanaman Pule Pandak yang dimanfaatkan adalah daun, batang dan akar, namun yang utama adalah akarnya. Akarnya mengandung lebih dari 50 senyawa alkaloid yang berkhasiat menyembuhkan beberapa penyakit dan luka (Blacow,1973; Tyler et al.,1988; Duke, 1992). Pada beberapa negara penghasil tanaman obat terbesar seperti Nepal, India dan Indonesia, Pule Pandak adalah salah satu dari
4
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
banyak tanaman obat yang dinyatakan langka karena pemungutannya masih langsung dari habitat alamnya. Kelangkaan yang terjadi juga sebagai akibat penyebaran pule pandak yang termasuk tipe endemik (Sharma, 2003), sehingga menurut CITES masuk pada appendix II atau menurut IUCN termasuk kategori genting (endagered species). Terbukti di beberapa daerah yang pernah ditemukan Pule Pandak, saat ini tanaman tersebut telah sulit ditemukan lagi seperti di daerah Cirebon, Cepu, Rembang dan Pulung Ponorogo. Pelestarian keanekaragaman hayati dapat ditempuh melalui cara in-situ dan ex-situ. Strategi terbaik bagi pelestarian jangka panjang adalah pelestarian in-situ, tetapi untuk spesies yang langka dan telah terdesak populasinya perlu strategi exsitu (McNeely et al.,1992). Jaminan upaya pelestarian ketersediaan bahan baku obat dapat dilakukan dengan studi secara mendalam terhadap upaya budidaya. Oleh karena tanaman adalah organisme maka tidak terlepas dari kebutuhan biologis, sehingga sebelum memindahkan suatu spesies tumbuhan kelahan budidaya, faktor biogeografi dan ekologi harus diperhitungkan. Pengetahuan tentang daerah penyebaran tumbuhan digunakan untuk menentukan tipe iklim dan tanah yang sesuai sehingga dapat memilih tempat budidaya.
B. Aspek Ekofisiologi Ekolofisiologi berasal dari kata ekologi dan fisiologi sehingga ilmu ini membahas hubungan timbal balik antara tanaman dan lingkungannya serta antara kelompok-kelompok tanaman dan efek fisiologisnya. Tanaman sebagai individu akan berinteraksi dengan tanaman sejenisnya atau tanaman
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
5
lainnya serta lingkungannya. Aspek pokok yang dikaji dalam ekofisiologi adalah Agronomi, Fisiologi Tanaman, dan Klimatologi dalam pengelolaan tanaman sehingga dapat memperoleh produksi yang maksimal. Pengelolaan tanaman melalui agroekosistem berdasarkan prinsip-prinsip
ekologi
akan
mewujudkan
produktifitas
tanaman yang maksimal dari segi kuantitas dan kualitas. Dalam budidaya tanaman obat masing-masing jenis tanaman memerlukan informasi mengenai karakter metabolit sekunder terhadap lingkungannya. Nilai dari Pule Pandak sebagai tanaman obat adalah terletak pada kandungan alkaloidnya. Sedangkan keberadaan alkaloid dalam tumbuhan sangat tergantung pada lingkungan terutama faktor-faktor yang mempengaruhi proses enzimatik antara lain jenis tanah, unsur hara, curah hujan, temperatur, dan cahaya. Bagian dari tanaman pule pandak yang banyak mengandung alkaloid adalah akarnya. Permasalahannya adalah alkaloid sebagai hasil utama tanaman obat Pule Pandak pembentukannya memerlukan tekanan lingkungan sedangkan untuk mendapatkan simplisia akar dengan bobot kering yang tinggi diperlukan faktor lingkungan yang mendukung fotosintesis yang maksimal. Sehingga dalam memproduksi Pule Pandak dengan bobot akar dan kadar alkaloid yang tinggi adalah dilema. Energi cahaya sebagai faktor limit dalam pertumbuhan Pule Pandak dapat diantisipasi melalui pemilihan tanaman lain sebagai naungan dengan mempelajari intensitas cahaya yang optimal untuk mendapatkan hasil akar dan kandungan alkaloid yang tinggi. Pengetahuan ketersediaan air dengan sifat– sifat curah hujan sebagai salah satu unsur dari faktor iklim
6
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
terhadap produksi metabolit sekunder sangat penting karena masing-masing jenis tanaman obat mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap unsur ini. Hubungan antar dan interspesies perlu dikaji untuk mengetahui sifat-sifat kompetisi dan alelopati. Tingkat kesuburan tanah dengan memperhatikan penambahan hara dalam macam dan dosisnya sangat mendukung produktivitas tanaman Pule Pandak. C. Aspek Budidaya dan Pascapanen Di dalam usaha budidaya suatu tanaman, diperlukan pengetahuan tentang faktor tumbuh tanaman tersebut, karena dalam proses budidaya suatu tanaman yang berorientasi pada produktivitas tanaman selain kemampuan suatu tanaman beradaptasi pada faktor lingkungan yang sedang berubah juga memerlukan pengetahuan tentang faktor-faktor produksi untuk mendapatkan produktivitas tanaman yang optimum. Produktivitas tanaman sangat ditentukan oleh interaksi berbagai faktor, seperti tanah, iklim, tanaman, dan pengelolaan tanaman. Pengelolaan tanaman merupakan usaha untuk menguasai lingkungan fisik agar kondisi lingkungan mendukung tanaman sehingga diperoleh hasil seperti yang diharapkan. Panen merupakan salah satu rangkaian tahapan dalam proses budidaya tanaman obat. Cara memanen dan penanganan pascapanen memerlukan perhatian khusus dalam pengelolaan tanaman obat. Waktu, cara pemanenan, dan penanganan bahan setelah panen merupakan periode kritis yang sangat menentukan kualitas dan kuantitas hasil tanaman. Oleh karena itu, waktu, cara panen, dan penanganan tanaman yang
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
7
tepat dan benar merupakan faktor penentu kualitas dan kuantitas tanaman obat. Setiap jenis tanaman memiliki waktu dan cara panen yang berbeda. Tanaman yang dipanen buahnya memiliki waktu dan cara panen yang berbeda dengan tanaman yang dipanen berupa biji, rimpang, akar, daun, kulit, dan batang. Begitu juga tanaman yang mengalami stres lingkungan akan memiliki waktu panen yang berbeda meskipun jenis tanamannya sama. Pengolahan hasil panen tanaman obat sangat erat kaitannya dengan masa sebelum panen, khususnya beberapa saat sebelum panen. Hal ini sangat menentukan mutu akhir dari simplisia. Mutu simplisia yang memenuhi syarat memerlukan tindakan penanganan yang dimulai dari prapanen, saat panen, dan pascapanen. Pascapanen merupakan suatu tahap pengolahan dari bahan yang telah dipanen, oleh karena itu kegiatan ini harus dilakukan secara benar karena akan berpengaruh terhadap mutu dan zat berkhasiat yang terkandung di dalamnya. Setelah panen sebagian besar tanaman akan mudah mengalami perubahan, terutama dalam hal mutu. Bila pengolahan tidak dilakukan secara baik dan benar maka akan dihasilkan simplisia yang tidak memenuhi persyaratan mutu. Hasil akan dikatakan baik bila memenuhi kriteria seperti penampakan menarik, bersih, dan memenuhi baku mutu yang sesuai dengan zat berkhasiat. Tahap pengolahan yang dilakukan tergantung bahan-bahan yang akan diolah, apakah dari akar, daun, bunga, biji, rimpang, dan kulit kayu. Secara umum kegiatan pascapanen tanaman obat meliputi sortasi, pembersihan, pengecilan ukuran, pengeringan, dan penyimpanan.
8
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
Untuk memulai proses pascapanen perlu diperhatikan cara dan tenggang waktu pengumpulan bahan tanaman yang ideal setelah dilakukan proses panen tanaman tersebut. Selama proses pascapanen sangat penting diperhatikan kebersihan dari alat-alat dan bahan yang digunakan. Tujuan dari pascapanen ini untuk menghasilkan simplisia tanaman obat yang bermutu, efek terapinya tinggi sehingga memiliki nilai jual yang tinggi.
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
9
10
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
Bab II BIOLOGI PULE PANDAK A. Taksonomi dan Morfologi Rauvolfia termasuk dalam suku Apocynaceae yang terdiri atas 131 spesies. Nama marga diberikan oleh Leonard Rauwolf, ilmuwan berkebangsaan Jerman, pada abad ke 16. Secara lengkap urutan taksonomi pule pandak adalah, Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Apocynales
Suku
: Apocynaceae
Marga
: Rauvolfia
Jenis
: Rauvolfia serpentina Benth
Rauvolfia mempunyai sinonim antara lain Ophyoxylon trifoliatum Gaertn, O. serpentinum L., R. trifoliatum (Gaertn) Baill, Hunteria sundana Miq., O. obversum Miq, dan R. obversa (Miq) Baill (Hendrian dan Hadiah, 1999). Nama asli tanaman tersebut di daerah India adalah Pagal – ki- dawa, Chandrinkan, Chotachand,
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
11
atau dalam bahasa Sanskrit disebut Sarphagandha, di China dikenal dengan yin tu luo fu mu dan di Inggris dikenal sebagai snake root. Di Jawa tanaman R. serpentina dikenal dengan nama Pule Pandak dan di Sunda Akar Tikus karena perakaran lurus, jarang bercabang dan semakin ke ujung semakin mengecil mirip ekor tikus (Kaul,1956; Soerohaldoko et al., 1959; Hendrian dan Hadiah, 1999). Spesies lain dari Rauvolfia spp. antara lain Rauvolfia tetraphylla L. (Syn. R. canescens L.; R. heterophylla Roem. and Schult.). Rauvolfia vomitoria Afzel. and R. caffra. Rauvolfia verticilata L (Syn. R. perakensis King & Gamble dan R. densiflora Wall. ex Benth. & Hook f.) Secara morfologi, sosok Pule Pandak merupakan tanaman kecil, menyemak, tanaman tahunan, tegak, dan mengandung getah, tinggi 15 – 50 cm. Penemuan yang lain menyatakan Pule Pandak dapat mencapai tinggi 1 m. Pule Pandak berbatang silindris, mempunyai percabangan berwarna coklat hingga abu-abu, berkulit halus hingga kasar, retak-retak atau bersisik (Hendrian
dan
Hadiah,
1999). Pule Pandak berdaun tunggal, bertangkai pendek dengan susunan daun atau
duduk
berkarang
berhadapan
bersi-
lang;
daun
berbentuk
lanset
atau bulat telur
memanjang dengan pangkal menyempit serta ujung Gambar 2.1. Bunga Pule pandak
12
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
runcing; tepi daun rata dengan pertulangan menyirip, panjang antara 3 cm - 20 cm dan lebar 2 cm – 9 cm (Dalimartha, 1999). Pule Pandak berbunga sepanjang tahun, mempunyai bunga majemuk, berbentuk payung yang keluar dari ujung tangkai, berukuran 3 cm - 9 cm, merapat dan terdiri atas 20 - 35 bunga. Bunga Pule Pandak berwarna merah atau putih kemerahan, penyerbukannya
dilaku-
kan oleh lebah atau lalat. Buah Pule Pandak merupakan
buah batu, ber-
bentuk bulat telur berpasangan, bila masih muda buah berwarna hijau dan bila sudah tua menjadi hitam (Dalimartha, 1999). Gambar 2.2 Buah pule pandak
Akar Pule Pandak merupakan bagian tumbuhan yang lebih besar dibandingkan dengan bagian tumbuhan yang terdapat di atas tanah. Bentuk akar Pule Pandak adalah akar tunggang dengan sedikit akar serabut yang kecil Gambar 2.3. Akar pule pandak
dan agak panjang.
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
13
Sistem perakaran masuk ke tanah dengan berkelok-kelok atau bengkok dan membesar. Pada titik pertemuan batas antara batang dan akar terjadi pembengkokan yang berakibat antara posisi batang tidak lurus dengan akar atau tidak satu garis lurus. Ciri khas lain akar Pule Pandak adalah berkerut-kerut membentuk alur tertentu sehingga kulit akar mudah mengelupas. Biasanya akar yang menancap ke bawah tunggal, tetapi tidak sedikit yang bercabang. Warna akar coklat muda sampai keputih-putihan, berbau khas dengan rasa sangat pahit. Akar pule pandak bersifat getas, berasa pahit, berbentuk kasar dan pecah-pecah. Warna kulit akar coklat dengan bagian dalam berwarna putih. Spesies R. serpentina Benth berbeda dengan spesies Rauvolfia lain karena tidak terdapat jaringan skelerenkim pada korteks dan ploem sekunder (Claus et al., 1972; Evans, 1985).
B. Kandungan Kimia dan Kegunaan Pule pandak Kandungan alkaloid R. Serpentina Benth
(Pule Pandak)
telah berhasil diisolasi pertama kali oleh Muller, Schlitter dan Bein pada tahun 1952. Tanaman ini mengandung lebih dari 21 macam alkaloid dan sekarang tidak kurang dari 50 macam alkaloid telah dapat diisolasi di antaranya reserpina, reserpinina, recinamina, yohimbina, ajmalina, ajmalinina, ajmalicina, serpentina, dan serpentinina. Perkembangan terakhir tiga macam alkaloid baru termasuk dalam monoterpenoid indol alkaloid dari tanaman ini telah berhasil diisolasi juga (Lilly, 1990; Duke, 1992; Sheludko et al., 2002). Pule Pandak mempunyai kadar kandungan alkaloid yang berbeda-beda menurut bagian tumbuhan, umur, fase pertum-
14
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
buhan (generatif dan vegetatif), teknik perbanyakan serta kondisi tempat tumbuh. Kadar alkaloid dari Pule Pandak akan meningkat sesuai dengan bertambahnya umur tanaman. Akar Pule Pandak yang merupakan bagian tumbuhan yang paling sering digunakan juga memiliki kadar kandungan alkaloid yang berbeda-beda. Kadar tersebut berkisar antara 0,7% – 2,4%. Di samping alkaloid total, kadar reserpina merupakan faktor utama. Kadar reserpina dalam akar Pule Pandak dapat mencapai 0,04 – 0,15% (Evans, 1989). Pule Pandak berkhasiat antara lain sebagai pencegah kenaikan suhu badan, obat penenang, obat tekanan darah tinggi dan menormalkan denyut jantung. Di antara alkaloid yang terkandung dalam akar Pule Pandak, reserpina adalah unsur yang paling penting karena lazim digunakan sebagai obat hipertensi. (Lilly, 1990; Nigg and Seigler, 1992; Duke, 1992). Penelitian menunjukkan bahwa potensi akar Pule Pandak memiliki khasiat empat kali lebih kuat sebagai antihipertensi daripada reserpina murni dengan jumlah setara dari zat aktif yang dikandungnya (Sutrisno, 1979; Tyler et al.,1988 ). Kandungan kimia Akar Pule Pandak menurut Bisset (1958) adalah seperti tercantum dalam tabel di bawah ini:
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
15
Tabel 2.1. Kandungan kimia pada Akar R. Serpentina dengan Presentase yang Dihasilkannya Nama Kimia
Persentase Hasil
Ajmaline Isoajmaline
0,01
Ajmalinine
0,05
Rauwolfinine
0,02
Serpinine
0,000027
Yohimbine
0,0064
Sarpagine
0,021
Corynanthine
0,019
3-epi-α - Yohimbine
0,054
α- Yohimbine
-
Rescinnamine
-
Reserpine
0,147
Reserpoxidine Methyl reserpate Deserpidine
0,014 -
δ- Yohimbine
0,02
Reserpinine
0,014
Reserpiline
-
Serpentine
0,08
Serpentinine
0,08
Chandrine
0,08
Sumber: Biset, 1958
16
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
C. Habitat dan Penyebaran Pule Pandak Tumbuhan Rauvolfia terdistribusi di daerah tropik, antara lain Amerika Tengah & Selatan, Afrika, India, Thailand, Myanmar, Malaysia, Sumatera, dan Jawa, namun jumlah jenis paling besar di Afrika dan Amerika Selatan. Meskipun demikian Rauvolfia juga diberitakan ada di China dan Jepang. Pada kawasan yang telah disebut diatas Rauvolfia serpentina hanya ada di India, Jawa, Myianmar, Thailand, dan Malaysia (Candra,1956; Tyler et al., 1988). Pada perkembangannya R. serpentina juga telah diintroduksi oleh Cina Penyebaran R. serpentina Benth di India cukup luas yaitu di daerah bagian Selatan dan sedikit bagian Utara. Diduga tanaman ini dibawa oleh orang-orang India dalam perjalanan berdagang ke negara-negara Asia Tenggara namun untuk menentukan India sebagai center of origin dari R. Serpentina Benth masih sulit Kaul (1956) sedangkan Hendrian (1998) menyatakan bahwa R. Serpentina Benth berasal dari India, Indonesia, Malaysia, Burma, dan Thailand. Pule Pandak kadang ditemukan di pekarangan rumah sebagai tanaman hias, namun lebih sering tumbuh di ladang, hutan jati atau tempat lainnya di dataran rendah sampai ketinggian sekitar 2.000 m dpl. (Dalimartha,1999; Kaul,1956). Di India Pule Pandak kebanyakan terdistribusi di daerah yang agak teduh, basah, dan berkabut dengan ketinggian sekitar 1.400 m dpl (Chandra,1956). Demikian pula di Thailand tanaman ini didapatkan di tempat yang teduh, lembab atau di bawah naungan dengan ketinggian sekitar 550 m – 800 m dpl. Di Jawa tanaman tersebut dapat ditemukan sampai ketinggian sekitar 600 m di atas permukaan laut (Hendrian, 1999; Akhtar,
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
17
2002), namun catatan Herbarium Bogorience menyatakan bahwa Pule Pandak juga pernah diketemukan di pegunungan Rinjani dengan ketinggian 1.650 m dpl. Sebaran tumbuhan berdasar ketinggian tempat dapat dinyatakan bahwa sebagian besar Pule Pandak terdapat pada ketinggian 100 m-700 m dpl. Hanya sebagian kecil Pule Pandak terdapat pada ketinggian di bawah 100 m dpl dan sebagian kecil pula terdapat di ketinggian 1.650 m dpl. Bimantoro (1990) menyatakan bahwa di Pulau Jawa ditemukan dua spesies Rauvolfia masing-masing adalah R.serpentina Benth dan R. Verticilata Arbain (1989) dan Hendrian (1998) menyatakan R. Verticilata L., ditemukan di Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Bali, sedangkan dari penelitian Sulandjari dan Tinjung (1997) di hutan Pringgodani, Kecamatan Tawangmangu dengan ketinggian 1.300 m di atas permukaan laut didapatkan spesies R.
Verticilata L dan di
hutan Tekil, Kecamatan Sidohardjo, Kabupaten Wonogiri, dan 300 m dpl. laut didapatkan spesies R. Serpentina Benth dan R. Verticilata L. Kedua tanaman ini merupakan tanaman semak dan dalam perdagangan, simplisianya sering dipalsukan antara R. Serpentina Benth dan R. Verticilata L karena mirip meskipun sebenarnya tumbuhan tersebut memiliki habitus sedikit berbeda (Tabel 2.2.)
18
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
Tabel 2.2. Perbedaan habitus R.serpentina Benth dan R. verticilata L. R. serpentine
Habitus Tinggi
25 cm – 80 cm
tanaman Bentuk daun
Memanjang s/d lanset
Warna daun
Hijau muda – tua
Warna bunga
Merah
Warna buah Kandungan reserpina
R. verticilata L.
Benth
1,5 m – 2 m Lonjong di ujung Hijau kekuningan Putih sedikit kemerahan
Muda hijau-tua
Muda hijau- tua abu-
hitam
abu
± 0,05 %
± 0,015 %
Sumber : Syamsuhidayat dan Hutapea (1991).
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
19
20
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
Bab III LINGKUNGAN TUMBUH PULE PANDAK
Pertumbuhan adalah suatu proses kehidupan tanaman pada lingkungan dengan sifat-sifat tertentu sehingga menghasilkan kemajuan perkembangan dengan memanfaatkan faktor
lingkungan.
Dengan
demikian
faktor
pertumbuhan
tanaman terdiri atas berbagai macam yang dapat dibagi menjadi faktor dalam yaitu faktor genetis dan faktor luar yaitu faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan terutama adalah cahaya matahari, temperatur, tanah, curah hujan, ketersediaan air, dan keseimbangan di antara faktor-faktor tersebut .
A. Energi Cahaya dan Temperatur 1. Energi cahaya Pertumbuhan tanaman baik vegetatif maupun generatif tidak terlepas dari faktor radiasi matahari. Pengaruh radiasi matahari ini tergantung pada intensitas, lama penyinaran, dan kualitas cahaya yang diterima tanaman. Cahaya mempunyai peranan yang mendasar pada proses fotosintesis di dalam metabolisme tanaman sehingga cahaya merupakan satu dari
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
21
faktor lingkungan yang terpenting. Cahaya merupakan sumber pokok energi yang secara langsung maupun tidak langsung menggerakkan proses-proses kehidupan setiap organisme kehidupan. Pengaruhnya pada metabolisme secara langsung melalui fotosintesis, serta secara tidak langsung melalui pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Cahaya juga memberikan energi yang dibutuhkan untuk reaksi sintesis, termasuk sintesis molekul khlorofil. Pertumbuhan, perkembangan, diferensiasi, dan reproduksi tanaman dapat berlangsung normal tidak hanya pada kualitas cahaya, intensitas cahaya, dan lama penyinaran tetapi juga fluktuasi penutupan awan dan
naungan
bawah tegakan. Cahaya matahari yang diterima pada suatu lahan pertanaman dapat ditinjau sebagai sumber energi panas yang menyebabkan terjadinya evapotranspirasi dan juga sebagai energi untuk fotosintesis. Tanaman berkhasiat obat mempunyai tanggapan terhadap cahaya berbeda-beda tergantung jenis tanamannya. Beberapa jenis tanaman menghendaki penyinaran penuh sepanjang hidupnya, sebagian tanaman lain menghendaki naungan dan ada juga yang dapat hidup pada kondisi keduanya. Energi cahaya menggiatkan beberapa proses dan sistem enzim yang terlibat dalam rangkaian metabolisme. Intensitas cahaya yang rendah dapat menghambat perkembangan akar dan pertumbuhan tunas, sehingga menurunkan aliran hasil fotosintesis ke daerah perakaran. Intensitas cahaya yang tinggi dapat menghambat kegiatan fotosintesis karena terjadi foto oksidasi. Andrade et al. (1993) melaporkan bahwa pengaruh negatif intensitas cahaya matahari yang tinggi tidak dapat dikurangi atau ditiadakan dengan memperbaiki kesuburan
22
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
tanah. Manfaat naungan tidak hanya sekedar mengurangi intensitas cahaya matahari, tetapi juga mengatur suhu, kelembaban dan ketersediaan CO2. Bahkan dengan menaikkan intensitas matahari 2 % - 25 %, dapat meningkatkan 7 mg – 22 mg CO2 dm-2 hari
-1
(Morecroft et al., 1997). Selanjutnya
pertumbuhan tanaman terhambat bila intensitas cahaya kurang dari 40 %, karena intensitas cahaya berhubungan erat dengan mekanisme stomata membuka atau menutup. Intensitas cahaya rendah mengakibatkan stomata tidak terbuka secara sempurna, sehingga difusi gas CO2 dari udara terhambat. Akibatnya proses fotosintesis terganggu. Tanaman yang tumbuh di bawah intensitas cahaya penuh akan menghasilkan akar yang lebih besar, jumlah relatif banyak, tersusun dari sel-sel yang berdinding tebal. Sebaliknya tanaman yang tumbuh di tempat teduh akar lebih kecil dan lebih sedikit, tersusun dari sel-sel berdinding tipis sebagai akibat penghambatan translokasi fotosintat ke akar (Schiefelbein and Benfey, 1991). Intensitas cahaya berhubungan dengan temperatur udara. Sarin (1982) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman Pule Pandak menghendaki naungan atau tanaman ini tidak menghendaki cahaya kuat dan angin yang panas. Temperatur udara yang sangat panas dapat mematikan tanaman akibat dari koagulasi protein. Pertumbuhan tanaman yang terhenti karena suhu tinggi merupakan gambaran bahwa suatu keseimbangan metabolik dalam tanaman terganggu, hal tersebut juga bisa terjadi pada intensitas cahaya yang terlalu rendah (Huang et al.,1998). Pule Pandak yang tumbuh liar di hutan menggugurkan daun pada waktu musim kemarau dan bersemi kembali saat musim hujan tiba. Hal ini sepadan dengan pola pertum-
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
23
buhan tegakan jati, yang menggugurkan daun dimusim kemarau dan bersemi kembali di musim penghujan (Sulandjari dan Tinjung, 1997).
2. Temperatur Temperatur merupakan faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi jazad hidup. Temperatur yang melebihi batas optimum dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Peningkatan temperatur dapat menurunkan lengas nisbi dan memperbesar gradien tekanan uap, akibatnya laju transapirasi meningkat. Apabila tidak diimbangi dengan penyerapan air menyebabkan tanaman akan kekurangan air (Chang, 1968). Perbedaan temperatur udara di sekitar tanaman dan di dalam tajuk dapat menyebabkan terjadinya perubahan lengas tanah. Makin besar perbedaan temperatur di sekitar tajuk tanaman, makin rendah keadaan lengas tanah sehingga tanaman sulit memanfaatkan air tanah. Kelengasan tanah juga mempengaruhi kandungan metabolit sekunder pada beberapa tanaman obat, seperti yang dilaporkan oleh Yaniv dan Palevitch (1982). Selain itu juga adanya perbedaan suhu antara siang dan malam hari berpengaruh terhadap pertumbuhan, karena semakin besar perbedaannya maka respirasi gelap akan meningkat dan dapat mengurangi hasil fotosintesis (Chang, 1968). Secara umum temperatur tanah dapat berpengaruh terhadap kegiatan perakaran tanaman, antara lain pada kecepatan pemanjangan akar, penyerapan air dan mineral tanah. Temperatur tanah yang sangat rendah dapat memperlambat penyerapan unsur hara oleh perakaran tanaman.
24
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
B. Tanah dan Ketersediaan Air 1. Tanah Tanah merupakan suatu lingkungan untuk pertumbuhan tanaman yang sangat kompleks. Bagian tanaman yang langsung berhubungan dengan tanah adalah akar, yang merupakan salah satu bagian vital yang berperan dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup tanaman dengan jalan mengabsorbsi hara dan air. Di samping akar merupakan bagian tanaman yang berfungsi untuk menegakkan dan berdirinya tanaman. Supaya dapat berfungsi dengan baik, akar memerlukan kondisi-kondisi lingkungan tanah yang baik pula. Adanya kelainan pada tanah menyebabkan aktivitas dan fungsi akar mengalami kesulitan dan hambatan yang secara menyeluruh menghambat proses pertumbuhan pada bagian tanaman yang lain. Tanah merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup tanaman Pule Pandak. Sifat fisik, kimia dan biologi tanah berperan besar dalam keberhasilan tumbuh tanaman. Ketiga sifat tersebut pada umumnya terkait dengan jenis tanah. Berdasarkan survai dan identifikasi tanaman Pule Pandak yang dilakukan di beberapa daerah di India oleh Kaul, (1956) menunjukkan bahwa pertumbuhan
tanaman
Pule Pandak yang sehat dan bagus terlihat pada semua lokasi tanah lempungan, sedang perpindahan dari tanah lempung ke
pasiran
atau
pasir
menunjukkan penyebaran
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
25
tanaman menjadi terbatas. Penelitian di daerah Lucknow, juga di India, menunjukkan bahwa Pule Pandak di tanah lempung tumbuh lebih baik, daun lebih hijau, berbunga lebih cepat dan tidak terserang hama atau penyakit. Sebaliknya tanaman yang tumbuh di tanah pasir daun menjadi pucat dan kecil yang diperkuat dengan hasil penelitian Chandra (1956) (di pot dan dilapangan) menunjukkan bahwa pada tanah pasiran, pertumbuhan tanaman lambat dan memacu penyakit daun dan akar. Hal itu berkaitan dengan saat pemindahan bibit ke tanah pasir yang menunjukkan daun menjadi kuning, selain pertumbuhan bibit lambat, biji yang gugur.
dihasilkan
cepat
Berbeda
sekali
pada tanah lempungan, daun-daun Gambar 3. Pule pandak tumbuh di tanah lempung dan pasir umur tanaman 6 bulan (Sulandjari, 2008)
menunjuk-
kan warna hijau tua.
Menurut Hendrian dan Hadiah (1999) Pule Pandak dapat dijumpai tumbuh pada kondisi tanah yang kurang subur. Tekstur tanah yang dijumpai di habitat Pule Pandak adalah geluh lempung berdebu, geluh dan lempung berdebu. Melalui pengairan yang baik tanaman Pule Pandak tumbuh besar dan tanaman tidak mati pada penggenangan sesaat seperti pada perkebunan mangga. Tanaman yang tumbuh pada tanah lempungan memerlukan drainase yang baik (Kaul,1956).
26
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
Jenis tanah tidak terlepas dari sifat kimia, seperti tanah lempungan tempat tanaman Pule Pandak tumbuh dengan baik, kemudian diketahui kaya akan CaCO3 dan NaCl. Kandungan unsur hara tanah yang cocok untuk tanaman Pule Pandak ratarata berkisar antara rendah sampai sedang, terutama ketersediaan N, Mg, K, dan Na, kandungan P sangat rendah sedangkan Ca sangat tinggi. Kandungan Ca sangat tinggi terutama pada tanah dengan bahan induk berupa kapur ternyata cocok bagi pertumbuhan Pule Pandak (Sarin,1982). 2. Ketersediaan air Faktor lingkungan yang penting menyangkut ketersediaan air untuk tanaman adalah curah hujan. Curah hujan adalah unsur iklim yang variasinya tinggi dari tahun ke tahun. Variasi dalam lama musim hujan perlu dipertimbangkan dalam budidaya tanaman hubungannya dengan lengas tanah yang tersedia dari kelembaban udara. Terutama untuk tanaman obat hubungannya dengan kadar metabolit sekundernya. Disamping itu curah hujan menentukan tempat yang akan kita pilih menjadi lokasi yang tepat untuk budidaya Pule Pandak. Pada umumnya di daerah tropik terdapat variasi yang nyata dari tahun ke tahun dalam permulaan dan lamanya musim hujan dalam jumlah hujan yang jatuh. Salah satu sifat penting dari iklim adalah musim, saat untuk menanam bibit dan saat panen. Informasi fisiologi terinci tentang hubungan antara hasil akar dan kandungan reserpina dengan lengas tanah dan kelembaban diperlukan untuk dapat memanfaatkan iklim sebaik-baiknya karena tanaman obat kualitasnya tergantung pada kandungan alkaloidnya sedangkan musim sangat berpengaruh.
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
27
Periode-periode kering dengan curah hujan kecil atau nihil dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil suatu tanaman namun kemungkinan berbeda terhadap hasil alkaloid atau metabolit sekunder dari tanaman obat. Selama periode hujan, biasanya kelebihan air mengakibatkan aliran permukaan, kejenuhan air dan penggenangannya. Di samping itu udara panas yang basah mendorong perkembangan dan penyebaran hama dan penyakit. Pule Pandak hidup baik pada curah hujan 200 mm – 500 mm/th, dengan rata-rata 4 bulan kering dan 6 bulan basah serta temperatur antara 10C–38C (Sarin, 1982).
C. Ketersediaan Unsur Hara Salah satu syarat agar tanaman yang diusahakan dapat memberikan hasil yang tinggi baik kuantitas maupun kualitas maka salah satu syaratnya adalah tersedianya unsur hara yang cukup dalam larutan tanah pada permukaan akar. Ketersediaan hara dalam tanah selama pertumbuhan tanaman budidaya, selain oleh larutan tanah itu sendiri, juga dapat dicapai dengan pemupukan. Ketersediaan unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat produksi tanaman, oleh karena itu pupuk diberikan pada saat tanaman membutuhkan dan dengan dosis yang seimbang. Untuk pertumbuhannya dan perkembangannya, tanaman memerlukan unsur hara terutama nitrogen (N), fosfor, (P) dan kalium (K). N merupakan suatu unsur yang banyak mendapat perhatian dalam hubungannya dengan pertumbuhan tanaman. N merupakan penyusun asam nukleat, asam amino, protein,
28
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
koenzim, alkaloid, protoplasma sel, dan khloropil yang semuanya penting bagi pertumbuhan tanaman sehingga N adalah unsur hara yang sangat penting dalam pertumbuhan tanaman, karena unsur ini diperlukan dalam setiap perkembangan dan pertumbuhan tanaman. Di samping itu juga berperan dalam proses fotosintesis, dan besar pegaruhnya terhadap hasil. Pengaruh yang nyata dari N adalah merangsang pertumbuhan tanaman yang memberikan warna hijau pada daun dan tanaman yang kurang N akan tampak kerdil dan sistem perakarannya terbatas. Unsur P berfungsi mempercepat pertumbuhan dan unsur kalium selain berpengaruh dalam metabolisme juga merangsang pertumbuhan akar. Fosfor (P) terdapat di semua bagian tanaman karena P sifat mobilitasnya tinggi. P juga merupakan bagian asam nukleat, fosfolipid, koenzim NADP yang merupakan pembentuk ATP, sehingga P dalam tanaman penting untuk proses metabolisme. P diserap tanaman dalam bentuk ion H2PO4¯,HPO4; PO4. P dalam tanah berasal dari mineral-mineral tanah, bahan organik tanah, dan pupuk P yang ditambahkan (Mackay and Barber, 1984). Penyediaan P yang tidak memadai akan menyebabkan laju respirasi menurun lalu berakibat pada fotosintesis juga. Kekurangan P dalam tanaman akan mempengaruhi proses fotosintesis, pernafasan, dan sintesis asam lemak sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan dan ratio akar tajuk (Föhse et al.,1988). Kalium (K) merupakan unsur yang penting bagi tanaman. Tanaman tidak mencapai pertumbuhan dan hasil maksimum tanpa K, karena fungsi yang diperankan oleh K tidak dapat diganti secara penuh oleh unsur lain (Larcher,1995). Fungsi K di dalam tanaman meliputi 1) untuk mengaktifkan
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
29
enzim, 2) sebagai pengatur air, 3) membentuk energi dalam bentuk ATP, 4) mengangkut hasil asimilasi,5) meningkatkan pengambilan N dan sintesis protein, dan 6) sintesis pati. Respon tanaman terhadap pemupukan dipengaruhi oleh kelembaban tanah, kesuburan tanah dan variasinya. Pemberian pupuk N meningkatkan luas daun dan aktifitas fotosintesis (Sallah et al.,1998) dan akar lebih panjang apabila lengas tanah cukup tersedia untuk tanaman serta kelembaban cukup ( Nielsen dan Halvorson, 1991). Disamping unsur hara makro, tanaman memerlukan hara mikro karena keduanya esensial bagi tanaman. Meskipun hara mikro dibutuhkan dalam jumlah sedikit oleh tanaman tetapi karena sifatnya esensial dan banyak berperan dalam proses enzimatik maka keberadaannya sangat berpengaruh pada proses metabolisme. Pada pembentukan metabolit sekunder antara lain alkaloid, unsur hara mikro berperan besar pada proses enzimatik yaitu sebagai aktivator atau gugus redox seperti Fe, Zn, Mn dan Cu (Larcher,1995). Pemupukan yang berlebihan juga dapat menyebabkan penyerapan unsur-unsur lain terhambat sehingga dapat mengakibatkan kekahatan antara lain kahat unsur-unsur mikro (Sharma dan Bapat, 2000). Sulandjari (2003) melaporkan bahwa kekahatan unsurunsur mikro, Zn, Cu, Mn dan Fe akan menurunkan tinggi tanaman, jumlah daun menjadi lebih sedikit dan daun menjadi sempit. Penurunan bobot kering akar nyata berbeda pada kekahatan unsur Zn dan Mn dibandingkan dengan kahat unsur Cu dan Fe ataupun kontrol larutan Hoagland dan pupuk daun. Kahat unsur Zn, Cu, Mn, dan Fe menurunkan kadar reserpina dibandingkan kontrol pupuk daun, meskipun perbedaan men-
30
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
jadi tidak berarti apabila dibandingkan dengan kontrol larutan Hoagland. Kandungan unsur hara tanah yang cocok untuk tanaman Pule Pandak rata-rata berkisar antara rendah sampai sedang, terutama ketersediaan N, Mg, K dan Na, kandungan P sangat rendah sedangkan Ca sangat tinggi. Kandungan Ca sangat tinggi terutama pada tanah dengan bahan induk berupa kapur ternyata cocok bagi pertumbuhan Pule Pandak. (Sarin 1982). Tanaman yang tumbuh di tanah dengan kandungan bahan organik berlebihan banyak terserang penyakit dan mati (Anonim, 2001). Pemberian pupuk organik dikombinasikan dengan pupuk anorganik lebih baik dibanding pemberian pupuk anorganik secara sendiri (Oudhia, 2002) . D. Faktor Pertumbuhan Akar Faktor lingkungan yang paling berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan akar adalah lingkungan pada sistem perakaran di dalam tanah terutama temperatur, kelengasan, aerasi dan unsur hara. Temperatur tanah hampir seluruhnya ditentukan oleh sinar matahari, mencapai maksimum pada tengah hari di permukaan dan paling rendah adalah di pagi hari. Namun demikian, air dalam tanah atau lengas tanah juga ikut mengendalikan temperatur tanah karena sifat air sebagai pengendali suhu. Air dalam tanah sangat ditentukan oleh pori tanah terutama pori mikro dan hal ini tergantung pada struktur dan tekstur tanah (Morecroft, 1998). Nisbah pori mikro dan pori makro dalam tanah berperan besar dalam pengaturan aerasi dan drainase. Kondisi tanah yang optimum dalam kesuburan fisik, kimia dan biologi menja-
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
31
min ketersediaan air dan unsur hara bagi tanaman. Kecepatan tumbuh akar dipengaruhi oleh aerasi, ukuran pori dan temperatur tanah (Monteith dan Unsworth, 1990). Temperatur tanah yang rendah dapat menurunkan penyerapan air dan unsur hara karena menurunkan translokasi unsur hara ke dalam tanaman sehingga proses metabolisme terganggu dan berakibat pada pertumbuhan tunas dan akibat terakhir adalah penghambatan pertumbuhan dan perkembangan akar dan tajuk (Li et al,.1994). Bowen (1991) menyatakan bahwa temperatur tanah berperan dalam pembentukan akar baru dan pemanjangan akar. Sedang pemanjangan akar lebih sensitif terhadap temperatur daripada bobot kering akar. Akar yang pendek terjadi pada temperatur rendah namun mempunyai diameter besar, sedang akar yang panjang sering terjadi pada temperatur tinggi dengan diameter yang kecil. Ditambahkan oleh Bowen (2001) bahwa perpanjangan total sistem akar Pinus radiata akan naik secara eksponensial pada temperatur 19 °C – 31 °C. Perbedaan pendapat tentang hubungan antara temperatur tanah dan diameter akar dikemukakan oleh Cooper (1973) yang menyatakan bahwa diameter akar jagung dan kapas menjadi kecil apabila temperatur naik, sedangkan Abas dan Hay (1983) menyatakan bahwa temperatur tanah 5 °C - 25 °C kurang berpengaruh terhadap diameter individu akar gandum. Pada tanaman lain seperti jagung, diameter individu akar akan berkurang apabila akar menjadi panjang dan tua. Pahlavian dan Silk (1988) menyatakan bahwa terjadi penurunan 23 % diameter akar primer jagung pada 19 °C dibanding 29 °C. Stamp (1984) menemukan bahwa 14 dari 28 inbred
32
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
jagung mempunyai lebih banyak akar lateral, apabila tumbuh pada temperatur 25 °C dibandingkan dengan tumbuh pada 15 °C. Juga pada tanaman gandum yang mencapai kerapatan akar lateral pada akar seminal terbesar pada temperatur 30 °C (Huang et al., 1991). Faktor lingkungan yang berpengaruh selain temperatur antara lain adalah unsur hara, lengas tanah dan zat pengatur tumbuh. Kaspar dan Bland (1992) menunjukkan bahwa pemupukan fosfat dan kalium pada temperatur tanah yang rendah akan menaikkan bobot kering akar. Selanjutnya diameter akar tidak hanya dipengaruhi atau ditentukan oleh mikroklimat tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh ketersediaan hara dan proses fotosintesis (Barber, 1989; Fitter and Hay, 1991). Mackey et al., (1985) melaporkan bahwa kelengasan tanah berpengaruh nyata terhadap panjang akar, jangkauan serta daerah penyebaran, sehingga panjang dan luas permukaan akar akan berpengaruh terhadap penyerapan unsur hara oleh tanaman. Menurut Arkin dan Taylor (1981), ada hubungan antara akar, tajuk dengan beberapa faktor lingkungan. Hubungan akar dan tajuk juga ditentukan oleh paling sedikit dua golongan zat pengatur tumbuh utama yaitu sitokinin dan giberelin yang dihasilkan oleh ujung akar. Kondisi lengas tanah yang kurang baik seperti kekeringan dan kejenuhan air akan menghambat produksi hormon sehingga memperlambat perkembangan tajuk (Fitter and Hay, 1991). E. Alelopati Dalam usaha pelestarian tanaman pule pandak, budidayanya dapat dimungkinkan ditanam di bawah tegakan selain tegakan jati dengan pola agroforestri. Disamping itu pola
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
33
tumpang sari dengan tanaman budidaya yang lain dapat dilakukan dengan memilih tanaman-tanaman yang dapat mensubstitusi kebutuhan akan naungan dari tanaman Pule Pandak. Namun yang penting diperhatikan adalah sifat alelopati dari kedua tanaman yang akan tumbuh berdampingan tersebut. Tanaman dalam pertumbuhannya menghasilkan sejumlah besar senyawa yang tidak berperan penting dalam metabolisme primer. Salah satu kemungkinanya, senyawa sekunder tersebut berfungsi sebagai pelindung bagian tanaman itu sendiri. Bagi tanaman lain, apabila senyawa tersebut dilepaskan ke lingkungan pertumbuhan dapat merupakan alelopati bagi tanaman yang peka. Konsep yang menyatakan bahwa tumbuhan dapat menimbulkan pengaruh buruk atau beracun atau hambatan pada tumbuhan lain yang dikenal sebagai alelopati dikemukakan oleh de Candolle sejak tahun 1932. Rice (1984) mendefinisikan alelopati sebagai beberapa pengaruh yang merugikan baik langsung atau tidak langsung dari suatu tanaman terhadap tanaman yang lain, melalui senyawa kimia yang dihasilkan dan dilepaskan ke lingkungan pertumbuhannya. Berdasarkan definisi tersebut, dapat diartikan bahwa kompetisi dapat dipisahkan dari alelopati. Kompetisi tanaman terjadi melalui pengurangan atau pemindahan faktor-faktor pertumbuhan yang dibutuhkan kedua tanaman tersebut. Tetapi alelopati terjadi karena penambahan senyawa beracun kelingkungan pertumbuhan. Atau dapat dikatakan, alelopati sebagai interaksi antara tumbuhan yang disebabkan oleh adanya senyawa hasil metabolisme.
34
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
Alelopati sangat menghambat perkecambahan, pertumbuhan atau metabolisme suatu tumbuhan yang disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa organik yang dilepaskan tumbuhan lain. Senyawa organik yang dikeluarkan tumbuhan tersebut dinamakan alelokemi, yaitu senyawa yang dilepaskan melalui akar tumbuhan yang masih hidup atau melalui organorgan tumbuhan lain ataupun melalui biji-biji (Rice, 1984). Pengaruh alelokemi bersifat selektif, yaitu berpengaruh terhadap jenis organisme tertentu namun tidak terhadap organisme lain (Weston, 1996; Kohli and Singh, 1991). Produksi senyawa beracun tersebut merupakan mekanisme penting sehingga memungkinkan suatu spesies dapat menekan pertumbuhan spesies lain. Pada hakekatnya alelokemi dapat dihasilkan oleh semua organ tumbuhan, meliputi, batang, akar, daun, rimpang, bunga, buah dan biji serta dapat keluar melalui jaringan dengan berbagai cara: penguapan, eksudat akar, lindian, dan dekomposisi bagian-bagian tubuhnya. Pada umumnya alelokemi merupakan metabolit sekunder yang dikelompokkan menjadi 14 golongan, yaitu asam organik larut air, lakton, asam lemak rantai panjang, quinon, terpenoid, flavonoid, tanin, asam sinamat dan derivatnya, asam benzoat dan derivatnya, kumarin, fenol, dan asam fenolat, asam amino non protein, sulfida serta nukleosida. Pelepasan alelokimia pada umumnya terjadi pada stadium perkembangan tertentu, dan kadarnya dipengaruhi oleh stres biotik maupun abiotik (Rice,1984; Einhellig, 1995). Senyawa alelopati pada konsentrasi tertentu dapat menurunkan kemampuan pertumbuhan tanaman budidaya karena transport asam amino dan pembentukan protein terhambat.
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
35
Penghambatan itu dapat melalui pertumbuhan akar pada semai, perpanjangan dan perbanyakan sel, aktivitas GA, dan IAA, penyerapan hara mineral, laju fotosintesis, respirasi, pembukaan stomata daun, sintesis protein serta dalam aktivitas enzim (Nelson,1996). Fenol merupakan salah satu komponen senyawa yang bersifat alelopatik yang dapat ditemukan dalam jumlah cukup besar pada hampir semua tumbuhan. Terutama tanamantanaman yang diketahui menghasilkan minyak atsiri dan metabolit sekunder lain seperti Eukaliptus. Senyawa fenol dapat di keluarkan melalui akar, daun ataupun organ tumbuhan lainnya. Senyawa-senyawa ini merupakan senyawa sekunder yang memegang peranan penting dalam interaksinya antara tumbuhan yang satu dengan yang lainnya. Bertambahnya senyawa-senyawa fenol yang sifatnya autoinhibitor meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan tumbuhan tersebut (Hall et al.,1982). Beberapa penelitian pernah dilakukan terhadap tumbuhan Eucalyptus deglupta adanya senyawa alelokemi yang dilepaskan ke lingkungan yang mempengaruhi tumbuhan lain yang berasosiasi. Senyawa yang menghambat pertumbuhan berupa fenol yang mudah larut dalam air, terpen yang mudah menguap, telah dapat diperoleh dari daun, kulit kayu dan akarnya (Silander et al.,1983). Selanjutnya senyawa fenol dapat masuk ke dalam tanah melalui pelindian, daun, eksudat akar atau karena dekomposisi sisa-sisa tumbuhan (Tukey, 1969; Rice,1984). Lambers et al. (2000) dan Tukey (1969) menyatakan bahwa penghambatan oleh senyawa alelopati terjadi pada proses pem-
36
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
bentukan ATP yang dapat menekan hampir semua proses metabolisme dalam sel. Karena ATP merupakan salah satu komponen yang berperan dalam mengikat CO2, sehingga jumlah karbohidrat yang berfungsi sebagai bahan bakar dan bahan penyusun struktur sel berkurang. Senyawa fenolik dapat menurunkan kandungan klorofil, sehingga menghambat fotosintesis yang dapat dilihat pada reduksi bobot kering tanaman. Sedangkan senyawa alelopati yang berada dalam tanah tidak mudah tercuci oleh air, karena terikat kuat oleh tanah. Pengaruh alelopati tersebut dalam tanah, dapat sampai beberapa bulan setelah tumbuhan itu tidak ada lagi. Namun apabila senyawa penghambat masuk ke dalam tanah akan mengalami penurunan konsentrasinya dengan daya racun yang berkurang pula karena daya racun senyawa
fenol
dapat
menyatu
dengan
asam
humat
(Lisanework and Michelsen,1993) Jenis tanah berpengaruh terhadap aktifitas alelopati, disamping itu hasil-hasil penelitian pengaruh hara NPK dalam tanah yang dikumpulkan Rice (1984) menunjukkan bahwa kekurangan unsur hara di dalam tanah akan menaikkan konsentrasi senyawa fitotoksik asam chlogenik dan scopolin dari tanaman tembakau (Nicotiana tabacum).
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
37
38
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
Bab IV METABOLIT SEKUNDER A. Metabolit Sekunder Tanaman mempunyai kemampuan mensintesis berbagai persenyawaan yang digolongkan atas metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit primer terlibat dalam proses fisiologis utama dengan mekanisme yang sudah diketahui. Sedangkan metabolit sekunder terlibat dalam proses-proses yang masih belum sepenuhnya dipahami. Menurut Sastrohamidjojo (1996) metabolit sekunder sebagai bahan kimia non nutrisi yang mengontrol spesies biologi dalam lingkungan atau dengan perkataan lain metabolit sekunder memainkan peranan penting dalam koeksistensi dan koevolusi spesies. Sebagai konsekuensi ekosistem merupakan keadaan yang dinamis. Metabolit sekunder merupakan hasil tanaman yang khas dan dijumpai sebagai terpenoid, glikosida (seroid dan fenolik) dan alkaloid. Senyawa ini dibentuk melalui alur (pathway) khusus dari metabolit primer dan dapat dianggap sebagai produk proses morfogenetik (Manitto, 1992). Metabolit sekunder adalah zat kimia bukan nutrisi, mempunyai struktur kimia yang beragam, penyebaran relatif terbatas, proses biosintesis dipe-
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
39
ngaruhi oleh jumlah dan aktivitas enzim, merupakan aspek spesialisasi sel dalam proses deferensiasi dan perkembangan organisme dan bersifat kurang penting bagi sel penghasil tetapi penting bagi organisme secara keseluruhan (Harborne, 1973; Manitto, 1992). Metabolit sekunder bagi manusia dapat bersifat positif ataupun negatif. Beberapa jenis tanaman bahan makanan mengandung metabolit sekunder yang bersifat racun. Buah tomat dan umbi kentang dahulu banyak mengandung alkaloid yang bersifat racun, namun para pemulia tanaman telah berhasil menghilangkan senyawa racun tersebut. Senyawa yang membawa sianida pada ketela pohon (Manihot uttilisima) dapat menghambat aktifitas enzim-enzim pencernaan, namun melalui peyiapan penghidangan yang baik, olahan dari bahan ketela ini menjadi tidak berbahaya. Aflatoksin yang diproduksi oleh jamur Aspergillus flavor tumbuh pada kacang-kacangan dalam penyimpanan yang tidak baik. Senyawa tersebut dapat mengakibatkan penyakit pada lever dan dapat menyebabkan kanker. Manfaat positif dari tanaman obat bagi manusia adalah karena kaya metabolit sekunder yang potensial sebagai sumber obat atau minyak atsiri. Metabolit sekunder yang berasal dari beberapa jenis tanaman dan kegunaannya dapat dilihat pada tabel 4.1.
40
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
Tabel 4.1. Metabolit Sekunder Yang Berasal dari Beberapa Jenis Tanaman dan Kegunaannya Kandungan kimia
Spesies
Aspirin
Salix sp., Populus sp.
Aconitine
Aconitum napellus
Atropine
Atropa bella-donna
Cytisine Germerine, protoveratrine
Cytus laburnum Veratrum album
Cardiacglycosides
Digitalis sp., Asclepias sp. Linaria vulgaris
Linarine, linine
Cinchona officinalis Quinine Sumber : Lambers et al. ( 2000)
Kegunaan/ pengobatan Penghilang rasa sakit Penghilang rasa sakit Penyembuhkan penyakit mata Migren Nyeri otot dan penghilang rasa sakit Penyakit jantung Penyakit darah Malaria
pemuluh
Keragaman struktur kimia metabolit sekunder sangat luas namun penyebaran masing-masing umumnya terbatas. Hal ini berhubungan dengan ketersediaan dan jenis enzim yang diperlukan untuk analisis. Proses fotosintesis menghasilkan senyawa sederhana dan terdistribusi luas yang memiliki berat molekul rendah seperti asam amino, karbohidrat, lemak dan protein. Senyawa-senyawa ini merupakan senyawa prekursor metabolit sekunder. Biosintesis metabolit sekunder dikendalikan secara genetik dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Waktu pembungaan, dormansi dan umur tanaman disamping faktor luar antara lain musim, suhu, habitat dan cahaya sangat mempengaruhi produk metabolit sekunder. Di samping itu konsentrasi dan kuali-
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
41
tas metabolit sekunder juga bersifat fluktuatif (Yanif dan Palevitch, 1982). Sebagai contoh, konsentrasi caffeine di dalam daun teh (Cammelia sinensis) meningkat apabila tumbuh pada intensitas cahaya yang tinggi daripada di bawah naungan. Sedangkan tannin dan lignin dalam Salix aquatica meningkat bila tanaman ini tumbuh pada kondisi nitrogen yang rendah (Lambers et al., 2000; Waring et al.,1985). Fungsi metabolit sekunder di dalam tanaman belum diketahui secara jelas. Beberapa pendapat menyatakan bahwa metabolit sekunder sebagai salah satu mekanisme pertahanan, bersifat biokemikal dan fisiologikal, sebagai timbunan produk sisa atau timbunan nitrogen, dan prekursor zat pengatur tumbuh. Selanjutnya Vapoortee (1987) menyatakan bahwa keberadaan senyawa metabolit sekunder dalam tanaman sangat tergantung pada lingkungan, sehingga metabolit sekunder memainkan peran sebagai penentu keberadaan tanaman pada ekosistem dan bagian tertentu senyawa ini didapatkan. Kadar dan akumulasi metabolit sekunder dipengaruhi oleh perimbangan biosintesis dan katabolisme, bervariasi tergantung pada fase perkembangan vegetatif atau generatif, variasi harian dan perbedaan kegunaan pada tanaman serta faktor lingkungan. Unsur hara sangat besar pengaruhya terhadap kandungan kimia dari suatu tumbuhan karena unsur hara pada proses biosintesis metabolit sekunder bertindak sebagai prekursor (Herbert, 1989). Umur tumbuhan mempunyai pengaruh yang besar pada kandungan kimia karena akumulasi metabolit sekunder akan bervariasi sesuai perkembangan pada umur tertentu. Pada tanaman Mentha piperita L kadar maksimum minyak atsiri daun mentol berada pada saat menjelang musim
42
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
berbunga, kemudian kamfer terakumulasi dalam kayu Campora officinarum L. pada saat pohon sudah tua, sedangkan R. serpentina di India di panen pada umur 15–36 bulan (Pramono, 1989; Said dan Nurhayati, 1992). Beberapa peneliti menyatakan bahwa air merupakan faktor lingkungan yang sangat berperan dalam sintesis metabolit sekunder. Pada umumnya kekurangan air atau stress air yang berdampak negatif pada pertumbuhan tanaman, relatif tidak selalu merugikan pada biosintesis metabolit sekunder. Hoft et al. (1996) menyatakan beberapa laporan menunjukkan bahwa, pada tanaman terjadi reaksi positip bila kekurangan air terhadap kandungan metabolit sekunder, seperti alkaloid tidak muncul di bawah kondisi kelembaban udara tinggi; kandungan alkaloid tertinggi pada Opium poppy yang di tanam di Rusia, Polandia dan Hongaria terjadi dibawah kondisi kekurangan air; dan stress air meningkatkan nikotin pada tembakau.
B. Alkaloid Alkaloid adalah senyawa dari tumbuh-tumbuhan yang terjadi secara alamiah, mempunyai sifat basa dan sedikitnya mengandung satu atom nitrogen yang membentuk bagian dari suatu sistem siklus (Aerts,1992). Senyawa ini merupakan senyawa alam yang bersifat basa dan mengandung satu atau lebih atom nitrogen. Biasanya atom nitrogen pada alkaloid terdapat di dalam sistem siklis, namun ada juga atom nitrogen yang terikat di luar sistem siklis. Kebanyakan alkaloid bersifat optik aktif, basa, dan membentuk garam dan asam. Alkaloid juga bisa membentuk ikatan dengan gula membentuk gliko alkaloida dan dengan gula alkohol membentuk banyak macam tergantung dari apakah alkaloida
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
43
dalam bentuk basa atau dalam bentuk garam. Pada umumnya alkaloid berbentuk kristal dengan titik lebur tertentu; tetapi ada juga yang berbentuk padatan amorf dan beberapa berbentuk cair. Kebanyakan alkaloid tidak berwarna, tetapi alkaloid yang lebih kompleks, terutama yang mengandung gugus aromatis akan memberikan sifat fisik lain seperti pada umumnya alkaloid hanya larut dalam pelarut organik, tetapi bila berbentuk garam atau alkaloid kuarterner sangat mudah larut dalam air (Cordel, 1981). Biosintesis alkaloid dimulai dari penyematan CO2 dan H2O oleh daun melalui aktivitas fotosintesis dan respirasi sehingga dihasilkan monosakarida. Kemudian melalui salah satu jalur metabolisme (jalur PEP) monosakarida melewati asam piruvat, asam sikimat, asam amino aromatik diperoleh alkaloid indol. Alkaloid indol dapat juga diperoleh melalui asam piruvat, asetil Co A dan asam amino alifatik. Setiap langkah reaksi, ensim spesifik berperan sebagai katalisator (Hashimoto and Yamada,1994). Reserpina merupakan alkaloid utama pada tanaman pule pandak dan merupakan senyawa metabolit sekunder yang termasuk golongan indol alkaloid kompleks (Gambar 3). Sebagai alkaloid, reserpina merupakan cadangan penyimpanan N yang ditimbun dan tidak mengalami metabolisme lagi (Blacow, 1973).
Gambar 4.1. Rumus bangun reserpina (Singh et al., 2004)
44
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
Alkaloid yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan biasanya dalam bentuk campuran yang kompleks, sehingga problem utama dalam proses isolasi alkaloid adalah bagaimana pemisahannya dari campuran tersebut. Mengingat banyak macam struktur dan sifat fisik alkaloid, maka berbagai prosedur untuk isolasi alkaloid sebaiknya dicoba untuk memperoleh hasil yang baik. Harborne (1973) memperkenalkan cara umum ekstraksi jaringan tumbuh-tumbuhan dan fraksinasi ke dalam golongan yang berlainan berdasarkan kepolarannya. Jaringan tumbuhan diekstraksi dengan metanol-air (4:1) sebanyak 10 x bobot sampel selama waktu tertentu, kemudian disaring. Filtrat diuapkan sampai sepersepuluh volume mula-mula pada suhu 40C, diasamkan H2SO4 2 M. Langkah selanjutnya diekstraksi dengan kloroform (3 kali). Lapisan air asam dibasakan sampai pH
10
dengan
penambahan
amonia
pekat
kemudian
diekstraksi dengan kloroform-metanol (3:1) 2 kali. Lapisan airbasa diuapkan, kemudian diekstrak dengan metanol. Di dalam ekstrak metanol terdapat alkaloid kuarterner dan N-oksida. Cordel (1981) mengatakan bahwa senyawa yang bersifat non polar dihilangkan terlebih dahulu dari tumbuh-tumbuhan dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut petroleum eter, kemudian diekstrak dengan etanol atau metanol. Selanjutnya ekstrak metanol atau etanol yang telah dipekatkan dipartisi dengan etil asetat, asam tartrat. Dalam lapisan etil asetat mengandung alkaloid yang basisitasnya rendah atau netral, kemudian lapisan asam tartrat dibasakan dengan amonia atau natrium karbonat sehingga diperoleh alkaloid kuarterner.
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
45
Prosedur yang dikemukakan beberapa ahli tersebut di atas semuanya hanya cara isolasi jaringan tumbuhan secara umum, dengan demikian prosedur tersebut harus dimodifikasi sesuai dengan senyawa yang ditelaah. Ekstraksi bahan akar pule pandak yang dilakukan oleh Sulandjari ‘(2007) adalah sebagai berikut: 1 gram serbuk akar Pule Pandak diaduk dalam petroleum eter 15 ml dibiarkan dalam 1 malam, kemudian disaring. Residunya ditambah dengan etanol 95% sebanyak 15 ml, digojog dengan sheker selama 1 malam kemudian disaring. Hasil saringan dipekatkan dengan dipanaskan/diuapkan di water bath. Hasilnya dipartisi dengan etil asetat : Asam Tartrat 2% = 7,5 ml : 7,5 ml. Kemudian dipisahkan dengan corong pisah. Didapatkan larutan etil aseat (alkaloid dengan kebasaan rendah) dan larutan asam tartrat. Larutan asam tartrat dibasakan dengan amonia sampai kertas lakmus biru, ditambah kloroform 10 ml dan dipisahkan. Didapatkan larutan basa mengandung alkaloid kuarterner dan kloroform mengandung alkaloid indol. Pengukuran kadar alkaloid dengan HPLC menggunakan fase diam silica dan fase gerak Methanol, deteksi UV 254.
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kandungan Kimia Suatu Tumbuhan Kandungan kimia suatu tumbuhan dapat dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar 1. Faktor Dalam a. Genetis
46
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
Pengaruh yang bisa terjadi karena dari tumbuhan satu spesies tertentu jarang sekali memiliki faktor genetika yang homogen, kecuali bila memang dipelihara secara khusus dan sangat teliti. Apabila perbedaan genetika cukup besar, dapat menimbulkan tidak hanya perbedaan morfologi saja tetapi juga penyimpangan biokimia, yang
mengakibatkan
perbedaan-perbedaan
dalam
jumlah dan tipe dari konstituen kimia yang dihasilkan. b. Morfologi Banyak dijumpai pada beberapa tumbuhan obat. Sebagai contoh tanaman yang menghasilkan kamfora, Bulbus skila yang berwarna putih dan merah, juga Rauvolfia. Antara Rauvofia serpentina dan Rauvofia verticilata. c. M u t a s i Mutasi adalah perubahan susunan atau konstruksi dari gen maupun kromosom suatu individu tanaman, sehingga memperlihatkan penyimpangan atau perubahan dari individu asalnya dan bersifat baka (turuntemurun). Sebagai contoh, Mutant strains Capsicum annuum meningkatkan kadar capsaicin 20 -60% pada generasi M3 dan M4 dengan cara memperlakukan biji dengan sodium azide dan ethylmethanesulphonate (Evans, 1989). d. Poliploidi Poliploidi adalah pengaruh yang disebabkan karena bertambahnya komplemen kromosom dan inti sel hidup suatu tumbuhan, yang bisa menyebabkan perubahan fisiologis dan kandungan kimia suatu tumbuhan. Seba-
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
47
gai contoh adalah minyak atsiri yang terkandung dalam Mentha spicata (4n) lebih kecil dari pada Mentha spicata (2n). Sedangkan Atropa
belladonna (4n) total tropane
alkaloidnya meningkat 68% dan Datura stramomium (4n) total tropane alkaloidnya meningkat 60-150% dibandingkan dengan (2n) (Evans, 1989). e. Pengaruh Hibridisasi Pemuliaan tanaman dengan hibridisasi ditujukan untuk mengkombinasikan satu atau beberapa karakter dari suatu varietas dengan varietas atau spesies lainnya untuk mempersatukan sifat-sifat unggul dari kedua tetua. Hibridisasi antar spesies Mentha telah menghasilkan bermacam minyak essensial antara lain menthol, carvone dan pulegone (Evans, 1989). f. Pengaruh Mikrobia Keadaan tumbuhan yang mempunyai daya tahan tidak sama dengan tumbuhan lain terhadap mikrobia yang sama, bisa mempengaruhi kandungan kimia dari suatu tumbuhan. 2. Faktor Luar a. Iklim Dan Cahaya Matahari Iklim dan sinar matahari besar pengaruhnya terhadap proses fotosintesis hubungannya dalam pembentukan metabolit primer dan sekunder. Sebagai contoh adalah Beladona stratomium dan Chinchona ledgeriana yang tumbuh pada intnsitas cahaya penuh memberikan alkaloid yang tinggi daripada tumbuh di bawah naungan. Pada panjang penyinaran yang panjang, daun Mentha spp. Mengandung menthone, menthol, dan sedikit mentho-
48
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
furan. Sedangkan apabila tanaman ini tumbuh pada panjang penyinaran yang pendek kandungan menthofuran akan mendominasi di dalam minyak atsirinya, (Evans, 1989). b. Pengaruh Tinggi Tempat Setiap jenis tanaman menghendaki ketinggian tempat yang berbeda. Tanaman kelapa menghendaki iklim pantai, sedangkan tanaman tebu akan lebih bagus pertumbuhannya di dataran rendah. Ketinggian tempat juga berpengaruh pada keberadaan dan produksi alkaloid suatu tanaman. Chinchona succirubra tumbuh baik di dataran rendah, namun tidak membentuk alkaloid (Evans, 1989). Sedangkan Arniputri et al., (2007) melaporkan bahwa ketinggian tempat tidak berpengaruh terhadap komponen utama temu hitam (Curcuma aeruginosa Roxb) yaitu 1,8-cineol, Camphor, Curzerene, 2,4-di-spironorbornylcyclobuta-1,3 dione dan Curdione, namun kadar komponen utama tersebut cenderung lebih tinggi di dataran rendah. c. Nutrisi Nutrisi atau unsur hara sangat mempengaruhi pembentukan metabolit sekunder karena unsur hara merupakan prekusor dari metabolit primer dan sekunder. Penelitian Bahl et al., (2000) menunjukan bahwa pemupukan dengan P 30 t ha -1 atau lebih tinggi nyata meningkatkan kandungan minyak bunga matahari. Posfor diketahui penting dalam metabolisme karbohidrat dan membantu perubahan karbohidrat menjadi minyak. Pemupukan P sampai dengan 150 kg ha
-1
meningkatkan prosentase
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
49
minyak atsiri tanaman Mentha piperita (Sulandjari et al.,2007) d. Umur Tumbuhan Umur tumbuhan akan mempengaruhi kadar dan akumulasi metabolit sekunder. Kadar reserpina dari Pule Pandak akan meningkat sejalan dengan pertambahan umur tanaman. e. Parasit Tumbuhan dalam keadaan terkena parasit/sakit, dalam mepertahankan hidup timbul mekanisme yang tidak normal. Dengan sendirinya akan terbentuk produk yang tidak normal pula. Antara lain menghasilkan metabolit sekunder.
50
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
Bab V OBSERVASI LINGKUNGAN DI HABITAT PULE PANDAK Observasi
lingkungan di habitat Pule Pandak dengan
tujuan mengungkap faktor-faktor lingkungan tempat tumbuh Pule Pandak di habitat asli dilaksanakan pada tahun 2002. Hal ini berdasarkan pengamatan bahwa Pule Pandak cukup banyak dijumpai di kawasan Hutan Tekil, Desa Sembukan, Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Wonogiri. A. Faktor Iklim Hutan Tekil terletak di Kecamatan Sidohardjo Kabupaten Wonogiri Propinsi Jawa Tengah. Secara geografis terletak pada sekitar 7° 50’ LS dan 111° 16’ BT, merupakan hutan liar, relatif jauh dari pemukiman (± 5 km dari perkampungan), tetapi sering menjadi tempat mencari kayu bakar bagi penduduk setempat. Tinggi tempat 300 m - 400 m dari permukaan laut. Sebaran curah hujan sepanjang tahun 1993 - 2002 di Hutan Tekil tidak merata, level tinggi terjadi pada bulan Nopember sampai Maret dan level rendah terjadi pada bulan Mei sampai September dengan rerata jumlah curah hujan 1.966,40 mm th-1.
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
51
Hasil Observasi di Hutan Tekil terhadap lingkungan habitat pertumbuhan Pule Pandak menunjukkan bahwa berdasarkan klasifikasi iklim daerah tersebut termasuk dalam iklim C (Schmid-Ferguson). Rerata temperatur udara 27,4 °C, kelembaban udara 78 % dan intensitas radiasi matahari di bawah tajuk pohon jati atau cahaya lolos kurang lebih 54 % dari cahaya terbuka. Sarin (1982) menyatakan bahwa pule pandak hidup baik pada curah hujan 200 mm – 500 mm/th dengan rata-rata bulan kering 5 dan rata-rata jumlah bulan basah 7. Tipe hujan menurut Schmid-Ferguson D, temperatur udara antara 10 0C–38 0C. B. Faktor Tanah Jenis tanah di kecamatan Sidohardjo Kabupaten Wonogiri (lokasi administratif Hutan Tekil) adalah tanah latosol dengan bahan induk campuran batuan tuf dan volkan. Kandungan lempung tinggi yaitu 42 %, debu 39 %, pasir 19 % dengan kadar lengas kapasitas lapangan 45,96 %.
Hasil
analisis tanah menunjukkan, kandungan unsur hara beserta kriteria menurut Hardjowigeno (1986) adalah N total 0,31 % (sedang), P tersedia 5,53 ppm (sangat rendah) dan K tertukar 0,18 me/100g (rendah), Ca 19,25 me/100g (tinggi), bahan organik 3,05% (rendah) dan KPK 18,60 me/100g (sedang) serta pH agak masam (5,92). Berdasarkan hal itu berarti karakter tanah lokasi tumbuh Pule Pandak bertekstur lempung berdebu dengan tingkat kesuburan rendah. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Pule Pandak mampu tumbuh pada kondisi tanah yang kurang subur. Hendrian (1998) menyatakan bahwa Pule Pandak tumbuh baik di tanah lempung atau lempung
52
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
berpasir. Ditambahkan oleh Siswoyo dan Zuhud (1991) bahwa pule pandak tumbuh baik di tanah regosol, mediteran dan latosol. Dengan karakter iklim dan tanah seperti yang telah disebutkan di atas, Hutan Tekil didominasi pohon jati yang mempunyai sifat menggugurkan daun di musim kemarau. Selain jati di hutan ini juga tumbuh tegakan cendana (Santalum album L.), sonokeling (Dalbergia pinnata Prain), Pule ( Alstonia scholaris.R.Br.), Bambu (Bambusa vulgaris Schard.), dan Lo (Ficus fistulosa Reinw). Pepohonan seperti jati, lo, bambu dan pohon besar lain akan menciptakan suatu mikroklimat yang khas sesuai dengan karakter pohon. Oleh karena itu macam tegakan berpengaruh terhadap kehidupan tumbuhan di bawahnya karena intensitas cahaya dan suhu rendah, sedangkan kelembaban pada umumnya relatif lebih tinggi daripada di tempat terbuka.
C. Keraagaan Pule Pandak Pule Pandak di Hutan Tekil tidak selalu hidup bersama pohon jati, tetapi kadangkala tumbuh di antara semak rendah lain semacam Tembelekan (Lantana camara L.), Alang-alang (Imperata cylindrica Beauv.), Kaliandra (Caliandra sp.) dan pohon-pohon selain jati. Keragaan tanaman pule pandak yang tumbuh di Hutan Tekil dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
53
Tabel 5.1. Keragaan Tanaman Pule pandak di Habitat Hutan Tekil Parameter Tinggi tanaman (cm) Jumlah daun Panjang daun(cm) Lebar daun (cm) Panjang akar total (cm) Diameter akar terbesar (mm) Bobot segar akar (g) Bobot kering akar (g) Kadar Reserpina (ppm)
Kisaran 25,40 - 38,40 7 - 15 7,65 – 15,4 4,98 – 6,54 30,85 – 65,80 6,2 – 10,5 28,44 – 37,12 6,59 – 8,40 110,18 – 177,82
Rata-rata 35,2 9 11,58 5,6 52,94 9,3 35,94 7,59 114,6
Pola pertumbuhan Pule Pandak di habitat asli mendekati pola pertumbuhan Jati, yaitu menggugurkan daun pada waktu musim kemarau dan bersemi kembali saat musim hujan. Akar Pule Pandak di tempat tersebut berkelok-kelok dan membesar, berkayu dengan kulit mudah mengelupas. Pule Pandak berbunga sepanjang tahun bahkan saat daun gugur pada musim kemarau habitus tumbuhan tinggal bunga dan buah yang tersisa. Pada saat itu Pule Pandak sering didapati dengan akar yang lebih besar daripada bagian atas tanaman. Menurut Klepper (1991) apabila tanaman menggugurkan daun proporsi pembagian fotosintesis ke akar lebih besar. Pada saat penelitian, Pule Pandak di Hutan Tekil kebanyakan sedang berbunga, meskipun tanaman relatif masih kecil atau muda. Pada tempat terbuka dengan intensitas cahaya tinggi atau prosentase naungan rendah Pule Pandak tumbuh dengan jumlah daun sedikit, mudah gugur atau daun kuning namun bunga atau buah masih terdapat di tanaman.
54
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
Bab VI PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP HASIL DAN METABOLIT SEKUNDER A. Intensitas Cahaya terhadap Pertumbuhan dan Hasil Faktor limit dari tanaman Pule Pandak adalah tanaman ini menghendaki naungan. Telah dilakukan penelitian Pule Pandak terhadap beberapa persentase naungan untuk mengetahui naungan yang terbaik untuk mendapatkan hasil akar yang tinggi (Sulandjari, 2005a). Hasil penelitian menunjukan bahwa perlakuan naungan sangat berpengaruh terhadap anasir mikroklimat. Intensitas cahaya sampai ke tajuk makin rendah, pada naungan sampai dengan 80%. Peningkatan naungan dari 20% sampai dengan 80% menurunkan temperatur udara dan menaikkan kelembaban udara. Meningkatnya temperatur udara dan kelembaban tersebut dapat meningkatkan lengas tanah dan menurunkan temperatur tanah. Secara umum naungan 20% menciptakan lingkungan mikro yang tidak berbeda dengan lingkungan mikro dari perlakuan kontrol (alami). Perbedaan hanya terjadi pada kelembaban udara dan lengas tanah. Monteith et al. (1990) berpendapat bahwa naungan meningkatkan efisiensi penggunaan air pada tanaman di
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
55
bawahnya, dengan menurunkan evapotranspirasi. Intensitas cahaya sangat berperan sebagai penentu kelembaban dan temperatur udara, lengas dan temperatur tanah. Semakin rendah intensitas cahaya, kelembaban udara dan lengas tanah semakin tinggi, sedangkan temperatur tanah dan udara semakin rendah. 1. Pertumbuhan dan Hasil Akar Peningkatan naungan dengan kerapatan 20 % sampai dengan 80 % menurunkan jumlah daun, meskipun demikian luas daun, indeks luas daun (ILD) dan nisbah luas daun (NLD) maksimal dicapai pada naungan 50%. Sesuai pendapat Werner et al. (1982) bahwa tanaman yang tahan terhadap intensitas cahaya rendah menunjukkan permukaan daun luas, mempunyai nisbah luas daun tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa Fotosintat lebih banyak dialihkan untuk pertumbuhan tajuk. Kerapatan naungan 20 % menambah jumlah daun, daun menjadi sempit namun bobot kering tanaman meningkat. Chabot dan Hicks (1992) menyatakan bahwa pada intensitas cahaya yang tinggi menyebabkan ukuran daun menjadi lebih kecil dan tebal, jumlah daun lebih banyak dengan stomata lebih kecil dan tekstur daun lebih keras. Peningkatan kerapatan naungan dari 20% sampai dengan 80% menurunkan laju asimilasi bersih (LAB). Meskipun ILD maksimal pada naungan 50%, namun penurunan LAB pada naungan yang lebih berat mengakibatkan menurunnya bobot kering tanaman. Soto-Pinto et al. (2000) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang tinggi akan melemahkan fotosintesis karena terjadi fotooksidasi cepat, sedangkan intensitas yang rendah mengakibatkan hasil fotosintesis rendah dan cadangan makanan dihabiskan lebih cepat dari-
56
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
pada yang disimpan. Selanjutnya intensitas cahaya yang diterima tanaman dapat mengendalikan terbuka dan tertutupnya stomata sehingga mempengaruhi fotosintesis. Tanaman yang mendapatkan intensitas cahaya yang sesuai akan mengakibatkan tercapainya keseimbangan dalam tubuh tanaman antara transpirasi pada daun dengan penyerapan air dan mineral oleh akar tanaman, sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan sempurna. Ditambahkan oleh Stirling et al. (1990) bahwa intensitas cahaya yang rendah sampai batas tertentu dapat menaikkan pertumbuhan dan hasil tanaman. Hal ini disebabkan setiap tanaman memiliki tanggapan yang berbeda-beda terhadap tingkat intensitas cahaya. Pule Pandak termasuk tanaman C3 sehingga tingkat kejenuhan terhadap intensitas cahaya rendah. Namun intensitas cahaya yang terlalu rendah dapat menghambat pertumbuhan akar dan tunas karena turunnya aktivitas fotosintesis sehingga bobot kering tanaman menjadi turun (Indriyanto, 1991). Kerapatan naungan 50 % juga mengakibatkan tanaman menjadi lebih tinggi daripada kerapatan naungan 20 %. Tanaman yang tumbuh di tempat teduh cenderung tumbuh memanjang karena ruas batangnya menjadi panjang tersusun dari sel-sel yang berdinding tipis, ruang antar sel lebih besar dan jaringan pengangkut dan jaringan pengikat lebih sedikit. Hal ini dapat disebabkan oleh aktivitas auksin (Boardman, 1977). Secara umum kerapatan naungan 20% memberikan bobot kering akar tertinggi (Gambar 6.1). Kerapatan naungan lebih dari 20% sampai dengan 80% mengakibatkan akar menjadi pendek, jumlah akar sedikit, dan diameter akar
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
57
menjadi kecil, sehingga mengakibatkan menurunnya bobot kering akar (Sulandjari, 2005a). Menurut Lambers et al. (1992) tanaman di bawah intensitas cahaya tinggi mengalokasikan fotosintatnya di akar sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan. Meskipun begitu kecepatan pertumbuhan akar sangat bervariasi tergantung kondisi lingkungannya (Fitter and
300
12
250
10
200
8
150
6
100
yRsp = 120.11+0.034-2.6E-06x R2 0.78 =
50
2
2
yBKA = 1.039+0.0008x R2 0.69 =
0 4000
4
Bobot Kering Akar (g)
Kadar Reserpina (ppm)
Hay,1991).
0
8000
Intensitas Cahaya (fc)
12000 Linear (BKA) Pol y. (Rsp)
Gambar 6.1. Hubungan Bobot Kering Akar (BKA) dan Kadar Reserpina dengan Intensitas Cahaya Kaspar dan Bland (1992) menyatakan bahwa tanaman yang mendapatkan intensitas cahaya yang sesuai, meningkatkan penyerapan unsur hara, sedangkan naungan berpengaruh terhadap temperatur tanah dan perpanjangan akar. Ditambahkan oleh Fitter dan Hay (1991) bahwa perpanjangan akar lebih sensitif terhadap perubahan temperatur tanah, sedangkan
58
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
diameter akar lebih dipengaruhi oleh penyerapan unsur hara dan jumlah karbohidrat yang didapat untuk pertumbuhannya dibandingkan pengaruh mikroklimat. Pertumbuhan dan hasil Pule Pandak alami lebih rendah dibandingkan Pule Pandak tumbuh pada kerapatan naungan 20% sampai dengan kerapatan naungan 50%. Rendahnya bobot kering akar tanaman Pule Pandak hidup alami disebabkan karena tanaman mendapatkan intensitas cahaya yang tidak stabil. Pohon jati mempunyai fase pengguguran daun pada musim kemarau, sehingga intensitas cahaya yang diterima oleh tajuk Pule Pandak menjadi tinggi, mengakibatkan tanaman pule pandak menggugurkan daun. Pada musim penghujan Pule Pandak dapat juga menggugurkan daun akibat intensitas curah hujan yang tinggi meskipun tidak sebanyak pada musim kemarau. Daun Pule Pandak yang gugur ini dapat tumbuh kembali, memerlukan waktu kurang lebih satu bulan. Kerapatan naungan 80% menurunkan pertumbuhan dan bobot kering akar. Hal ini terjadi karena pada kerapatan naungan 80% ini intensitas cahaya yang sampai di permukaan tajuk tidak mampu menghasilkan asimilat yang cukup sehingga tanaman menjadi kerdil. Menurut Mitchell dan Pearcy (2000), pada intensitas cahaya yang diterima tanaman lebih rendah dari 40 % pertumbuhan tanaman terhambat, karena intensitas cahaya erat kaitannya dengan terbukanya stomata. Dengan intensitas cahaya yang rendah, stomata tidak terbuka secara sempurna, sehingga penyerapan C02 terhambat dan fotosintesis terhambat. Intensitas cahaya berpengaruh terhadap kelembaban udara dan temperatur tanah. Hubungan bobot kering akar dengan
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
59
kelembaban udara dan temperatur tanah terlihat pada Gambar 6.2. (a)
(b)
300
12
yRsp = -4752.66+115.70x-0.67x2
300
12
250
10
200
8
150
6
2
R = 0.71
8
150
6
100
4
100
2
Bobot Kering Akar (g)
200
Kadar reserpina (ppm)
10 Bobot kering akar (g)
Kadar reserpina (ppm)
250
4
y BKA= -193.78+15.14x-0.28x 2
R = 0.74
y BKA= -204.404+5.62x-0.037x2
50
2
50
2
y Rsp= -1392.98+130.51x-2.66x
R2 = 0.77 0
0 70
75
80
85
Kelembaban (%)
2
2
R = 0.83
90
95
0
0 22
Poly. (Rsp)
24
26
28
Temperatur tanah (0C)
Poly. (BKA)
Gambar 6.2. Hubungan Bobot kering akar (BKA) dan KadarReserpina (Rsp) dengan Kelembaban Udara (a) dan Temperatur tanah (b) Persamaan regresi yang menunjukkan hubungan antara kelembaban udara dengan bobot kering akar adalah Y = -204,404 + 5,62X – 0,037X2 (R2 = 0,77) maka kelembaban optimum untuk bobot kering akar adalah 76,8 %, sedangkan temperatur tanah optimum untuk bobot kering akar adalah 27,2 °C pada persamaan regresi Y = -193,78 + 15,14X – 0,28 X2 (R2 = 0,74) . Bowen (1991) menyatakan temperatur tanah yang rendah menurunkan bobot kering akar karena temperatur rendah menaikkan viskositas air, sehingga penyerapan unsur hara menjadi turun. Ditambahkan oleh Fitter and Hay (1991) bahwa peningkatan temperatur dari 19-31°C meningkatkan panjang
60
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
akar total secara eksponensial dan merangsang pembentukan akar baru. Intensitas cahaya yang lolos dari naungan, jatuh di atas tajuk tanaman sangat berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan, hasil dan kadar reserpina Pule Pandak (Sulandjari, 2005 b). Analisis anasir mikroklimat dengan bobot kering akar tercantum pada Tabel 4.1. Nilai koefisien korelasi antara bobot kering akar dengan anasir mikroklimat sangat nyata atau nyata, didukung oleh pengaruh langsung dari intensitas cahaya dan kelembaban udara (Tabel 6.1). Tabel 6.1 Hubungan Lintas Komponen Mikroklimat dengan Bobot Kering Akar Parameter
Intensitas cahaya Tudr Rh Lngst Ttnh
Intensitas Cahaya
Tudr
Rh
0,77** 0,20 0,28 0,31 0,22
0,55 0,29tn - 0,28 0,29 0,19
- 0,57 0,18 - 0,40* - 0,26 - 0,18
Lngst
Ttnh
-0,59 - 0,21 - 0,31 - 0,20 tn -0,17
0,58 0,22 0,28 0,27 0,33 tn
r(BK)
0,74** 0,68** - 0,43* 0,41* 0,39*
Ket : ** / *= Sangat nyata /Nyata pada signifikansi 1% dan 5%; tn= tidak nyata Tudr=temperatur udara; Rh= Kelembaban; Lngst= Lengas tanah Ttnh= Temperatur tanah; BKA = bobot kering akar ; r(BKA) = Koefisien korelasi terhadap bobot kering akar ; cetak tebal hubungan langsung, tidak cetak tebal hubungan tidak langsung. Meskipun demikian nilai koefisien pengaruh langsungnya 0,77** jika dibandingkan dengan koefisien korelasi bobot kering akar r = 0,74** nilainya lebih besar. Singh dan Chaudary (1976) menyatakan, apabila koefisien korelasi besar tetapi koefisien
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
61
lintas kecil atau negatip maka penyebab hubungan itu lebih dipengaruhi oleh pengaruh tidak langsung atau sebaliknya. Oleh karena itu, korelasi positif sangat nyata bobot kering akar dengan intensitas cahaya bawah naungan banyak dipengaruhi oleh pengaruh langsungnya. Hal ini didukung juga oleh pengaruh langsung negatif nyata dari kelembaban udara –0,40* lebih kecil dari koefisien korelasinya r = –0,43* sehingga pengaruh tidak langsung lebih berperan yaitu intensitas cahaya bawah naungan. Pengaruh langsung lengas tanah -0,20tn dan temperatur tanah 0,33tn terhadap bobot kering akar tidak nyata namun koefisien korelasi keduanya nyata yaitu lengas tanah r = 0,41* dan temperatur tanah r = 0,39 *. Hal ini disebabkan oleh pengaruh tidak langsung intensitas cahaya masing-masing 0,31 dan 0,22. Sehingga dapat dikatakan peningkatan bobot kering akar memerlukan intensitas cahaya yang tinggi dengan kelembaban udara yang rendah yang dapat dihubungkan dengan intensitas cahaya. Dengan analisis lintas seperti di atas dapat diketahui bahwa peningkatan luas daun tidak selalu diikuti oleh peningkatan bobot kering akar dan untuk keragaman tanaman bagian atas yang dapat mencerminkan pertumbuhan komponen akar Pule Pandak adalah jumlah daun, artinya makin banyak jumlah daun maka bobot kering akar meningkat. Di samping itu peningkatan diameter akar akan diikuti peningkatan bobot kering akar. Sehingga dari hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa untuk meningkatkan bobot kering akar Pule Pandak, usaha yang dapat dilakukan adalah meningkatkan jumlah daun dan diameter akar.
62
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
2. Pertumbuhan dan Kadar Seserpina Penelitian Sulandjari (2005b) menunjukkan bahwa pada kerapatan naungan 50 % sampai dengan kerapatan naungan 80 %, kadar reserpina lebih tinggi daripada kerapatan naungan 20 %. Dengan demikian anasir mikroklimat yang mendukung sintesis reserpina berlawanan dengan bobot kering akar. Herms dan Mattson (1992) menyatakan kondisi lingkungan yang menekan pertumbuhan akan meningkatkan sintesis metabolit sekunder dan intensitas cahaya rendah merangsang pembentukan metabolit sekunder di akar sebagai reaksi pertahanan. Hoft et al. (1996) dalam penelitiannya terhadap Tabernaemontana pachysiphon menunjukkan bahwa intensitas cahaya yang rendah merangsang pembentukan alkaloid tetapi menurunkan pertumbuhan. Lebih dari 20% bobot kering akar berkurang pada intensitas cahaya yang rendah, namun kadar isovoacangine meningkat. Herbert (1989) menyatakan bahwa biosintesis reserpina dikendalikan oleh jumlah dan macam enzim, sehingga aktivitasnya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, terutama temperatur dan kelembaban, sedangkan karbohidrat sebagai hasil asimilat merupakan prekursor. Hubungan kelembaban udara dan temperatur tanah terhadap kadar reserpina dapat dilihat pada Gambar 6.2 Persamaan regresi yang menunjukkan hubungan antara kelembaban udara dengan kadar reserpina adalah regresi kuadratik Y = -4.752,66 + 115,70 X – 0,67X2 (R2 = 0,71) maka kelembaban optimum untuk kadar reserpina adalah 85,8 %, sedangkan persamaan regresi yang menunjukkan hubungan antara temperatur tanah dengan kadar reserpina adalah regresi kuadratik Y = -1.392,98 + 130,51X – 2,66 X2 (R2=
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
63
0,83) maka temperatur tanah optimum untuk kadar reserpina dicapai pada 23,8 0C. Dengan demikian kelembaban udara tinggi dan temperatur tanah rendah mendukung sintesis reserpina. Peningkatan lengas tanah mendekati kapasitas lapangan (42,78 %) tidak menurunkan kandungan reserpina tetapi sebaliknya (Gambar 6.3). Hal ini bertentangan dengan pernyataan Yanif dan Palevitch (1982) bahwa pada umumnya kandungan alkaloid pada tahun dengan jumlah curah hujan per bulan tinggi dan temperatur udara rendah tidak muncul atau lebih kecil daripada tahun kering, yaitu tahun dengan jumlah curah hujan per bulan rendah atau nol, sehingga hal ini dapat menjadi dasar waktu panen Pule Pandak yang tepat apabila dihubungkan dengan curah hujan. 150 y = -7216.48+373.55x-4.76x 2 R2 = 0.74
Reserpina (ppm)
120
90
60
30
0 34
35.5
37 38.5 Lengas Tanah(%)
40
Gambar 6.3. Hubungan Lengas Tanah dengan Kadar Reserpina Anasir mikroklimat yang berpengaruh langsung terhadap kadar reserpina adalah kelembaban udara namun faktor lingkungan ini sangat dikendalikan oleh intensitas cahaya. Analisis lintas komponen pertumbuhan dan akar terhadap kadar reserpina tercantum pada Tabel 6.2.
64
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
Tabel 6.2. Hubungan Lintas Komponen Pertumbuhan dan Komponen Akar dengan Kadar Reserpina r(Rsp)
Tolok ukur
JMD
LSD
PA
JA
DA
JMD
0,30tn
0,13
0,19
-0,18
-0,12
0,32 tn
LSD
0,13
-0,20 tn
0,15
-0,16
0,26
0,15 tn
PA
0,10
-0,15
0,49*
0,09
0,18
0,71**
JA
0,12
-0,09
-0,20
-0,43*
0,12
DA
0,08
-0,16
0,24
-0,09
0,59*
- 0,56* 0,50*
Ket : */** = Nyata/sangat nyata pada signifikansi 5% dan 1%;; ns : tidak nyata. JMD= jumlah daun; LSD= luas daun; PA= panjang akar; JA= jumlah akar; DA= diameter akar.r(Rsp): Koefisien korelasi terhadap kadar reserpina, angka cetak tebal hubungan langsung, tidak cetak tebal hubungan tidak langsung;
Tabel 6.2. menunjukkan bahwa jumlah daun dan luas daun tidak berkorelasi dengan kadar reserpina, demikian juga pengaruh langsungnya yaitu masing-masing jumlah daun 0,30tn dan luas daun -0,20
tn,
sehingga peningkatan jumlah daun
ataupun luas daun tidak diikuti oleh peningkatan kadar reserpina. Kadar reserpina berkorelasi dengan komponen akar yaitu panjang akar, jumlah akar dan diameter akar dengan pengaruh langsung nyata dan lebih besar daripada koefisien korelasinya adalah diameter akar yaitu 0,59*. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa diameter akar berpengaruh langsung terhadap kadar reserpina. Artinya peningkatan diameter akar diikuti peningkatan kadar reserpina dengan korelasi sebesar r = 0,50*, sehingga usaha untuk meningkatkan kadar reserpina dapat dilakukan dengan meningkatkan ukuran diameter akar.
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
65
B. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh dan Asupan Hara Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman 1. Zat Pengatur Tumbuh Hormon tumbuh adalah zat organik dalam konsentrasi sangat rendah dapat menimbulkan respon fisiologi, biologi, dan morfologi. Banyak peneliti menyatakan bahwa hormon tumbuh GA3 dan Sitokinin
berpengaruh terhadap aktivitas
enzim-enzim pada proses metabolisme tanaman. (Wingler et al,1998; Leitei et al, 2003). Dengan meningkatnya aktivitas metabolisme maka produksi asam amino sebagai salah satu prekusor metabolit sekunder akan meningkat. Di samping itu hormon tumbuh juga akan merangsang pertumbuhan dan perkembangan tanaman melalui pembelahan dan perpanjangan sel, merangsang sintesis RNA dan protein. Selanjutnya hormon tumbuh juga meningkatkan ketahanan tanaman terhadap stres lingkungan antara lain suhu tinggi dan kelengasan tanah yang rendah. Dengan meningkatnya kegiatan fisiologi tanaman karena masukan hormon tumbuh eksogen maka kebutuhan energi bagi tanaman akan lebih banyak. Oleh karena itu, di samping pemberian hormon, harus juga dilakukan asupan hara untuk tanaman. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman dikendalikan oleh dua faktor yaitu nutrisi dan hormon. Pemakaian hormon tumbuh untuk memperbaiki sistem perakaran, mempercepat keluarnya akar tanaman muda, mencegah gugur daun, buah, dan bunga, serta meningkatkan kemampuan fotosintesis. GA3 merupakan hormon tumbuh dengan fungsi kurang lebih seperti golongan auksin. Selain merangsang pertumbuhan, GA3 juga mempunyai fungsi mengaktifkan enzym
66
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
hidrolase termasuk protease yang mengurai protein menjadi asam amino, termasuk triptofan. Di samping itu juga meningkatkan aktivitas poliribosome dan RNA merangsang aktivitas enzim amilase, protease, ribonuklease, RUDP dan nitrat reduktase (Lambers et al., 2000). Sitokinin telah banyak dikenal dapat memperlambat senesen daun, terdapat secara luas pada tanaman-tanaman tingkat tinggi terjadi secara bebas maupun sebagai komponen t RNA khusus bagi asam amino serin dan tirosin. Kinetin sebagai derifat sitokinin dilaporkan pada konsentrasi 100 ppm memberi pengaruh yang maksimun dalam mempertahankan kandungan klorofil dan efektif dalam memperlambat laju repirasi sehingga memberikan akumulasi bahan kering yang lebih tinggi pada tanaman padi. Sitokinin juga meningkatkan enzim fotosintesis yaitu hydroksipirufat reduktase (Wingler et al.,1998). Berbagai pengaruh sitokinin terhadap proses metabolisme, menunjukkan bahwa sitokinin memainkan peranan penting dalam sebagian fase dari proses sintesis asam nukleat dan sintesis protein karena itu sitokinin penting pada berbagai fase tumbuh dan perkembangan tanaman. Evans (1989) melaporkan bahwa bibit Mentha piperita yang diberi NAA, akan memberikan hasil 30 – 50% minyak atsiri dan kandungan mentolnya 4,5 – 9% lebih banyak daripada kontrol. Kemudian pemberian GA3 pada Mentha piperita berpengaruh terhadap pemanjangan internodia, bentuk daun, kandungan klorofil bervariasi dan mengakibatkan penurunan minyak atsiri sampai dengan 52,45%. Sedang pemberian GA3 pada R. Serpentina
akan
menurunkan
konsentrasi
alkaloid
akar.
Sulandjari et al. (2007) melaporkan bahwa hormon sitokinin
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
67
lebih mampu meningkatkan kualitas tumbuh, hasil akar dan kadar reserpina dibandingkan dengan GA3. Hormon sitokinin yang diberikan 3 kali dengan konsentrasi 25 ppm bulan
-1
mampu meningkatkan bobot kering akar, sedangkan konsentrasi sitokinin 75 ppm bulan-1 meningkatkan kadar reserpina. Udomprasert et al (1995) menyatakan bahwa pemberian hormon tumbuh eksogen akan merubah nisbah fitohormon pendorong dan penghambat yang selanjutnya akan mengubah laju
pertumbuhan
dan
perkembangan
tanaman
dengan
memperbaiki sistem perakaran, mempercepat keluarnya akar tanaman muda dan meningkatkan kemampuan fotosintesis. Di samping itu sitokinin memberi pengaruh yang maksimum dalam mempertahankan kandungan klorofil. Selain sitokinin dan GA3, paklobtrazol adalah zat pengatur tumbuh yang bersifat sebagai retardan. Pengaruh fisiologis paklobutrazol antara lain adalah memperpendek ruas batang tanaman tetapi tidak mempengaruhi jumlah ruasnya. Penelitian Sulandjari et al. (2007) menunjukkan bahwa pemberian paklobutrazol cenderung menekan tinggi tanaman dan luas daun namun meningkatkan jumlah daun dan minyak atsiri Mentha piperita. 2. Asupan Hara Sulandjari (2007a) dalam penelitian yang dilakukan di dataran rendah dengan jenis tanah latosol menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik dalam jumlah besar yaitu 40 t ha-1 justru membuat tanaman menghasilkan akar yang lebih ringan dibanding pada takaran 20 t ha-1. Pemberian pupuk anorganik tidak menambah jumlah maupun panjang akar, namun dapat
68
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
berpengaruh terhadap diameter dan bobot keringnya. Jumlah akar semakin banyak dengan peningkatan takaran pupuk organik dari 0 t ha-1 sampai dengan 40 t ha-1. Interaksi antara pupuk organik dan anorganik terjadi pada panjang akar. Pemberian pupuk organik 20 t ha-1 menghasilkan panjang akar paling panjang dengan diameter terbesar diantara takaran 0 t ha-1 dan 40 t ha-1 sehingga menghasilkan bobot kering akar yang beratnya tidak berbeda dengan pemberian pupuk organik 40 t ha-1, namun nyata berbeda dan lebih berat dibanding tanpa pemberian pupuk organik. Bowen (1991) dan
Li et al.(1991) menyatakan bahwa
diameter akar meningkat pada temperatur tanah yang tinggi. Pada temperatur 12 0C, 22 0C dan 32 0C pembagian fotosintat ke akar meningkat 24 %, 30 % dan 32 %. Terjadi interaksi pada pemberian pupuk organik bersama dengan pupuk anorganik terhadap kadar reserpina dengan hasil tertinggi dicapai pada takaran pupuk organik 40 t ha-1 dikombinasikan dengan pupuk anorganik tunggal P, namun hasil ini tidak berbeda dengan pemberian pupuk organik dengan takaran 20 t ha-1 atau dikombinasikan dengan pupuk anorganik tunggal N ataupun lengkap NPK. Schrisema dan Verpoortee (1992) menyatakan bahwa pemupukan meningkatkan pertumbuhan dan kandungan alkaloid. Peningkatan suplai N mengakibatkan tingginya akumulasi alkaloid, meskipun pemupukan N dengan takaran yang cukup, lebih efektif daripada pemupukan N yang tinggi. Reserpina merupakan senyawa metabolit sekunder yang termasuk golongan indol alkaloid kompleks. Sebagai alkaloid, reserpina merupakan cadangan penyimpanan N yang ditimbun dan
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
69
tidak mengalami metabolisme lagi, oleh karena itu dengan pemupukan, ketersediaan N meningkat, mengakibatkan sintesis asam amino sebagai prekursor alkaloid juga meningkat. Hoft et al. (1996) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang tinggi bersama perlakuan pemupukan meningkatkan beberapa alkaloid antara lain Tubotaiwine-N-oxide. Peningkatan ini erat hubungannya dengan pemberian pupuk dan kelengasan yang cukup.
C. Pengaruh Jenis Tanah Terhadap Hasil dan Kadar Reserpina Penelitian telah dilakukan oleh Sulandjari (2007b), pada jenis tanah latosol dan regosol dengan pemberian pupuk organik 20 t ha-1, 40 t ha-1. Lengas tanah saat panen untuk jenis tanah regosol 30,81 % dan untuk jenis tanah latosol 38,26 %. Lengas tanah kapasitas lapangan masing-masing jenis tanah adalah regosol 36,6 % dan latosol 44,28 %. Analisis contoh tanah menunjukkan bahwa sifat kimia tanah latosol dan regosol pada penelitian ini tidak jauh berbeda dan dapat digolongkan pada tanah yang kurang subur. Pupuk organik mempengaruhi sifat fisik dan kimia tanah di samping kemampuannya untuk menahan air sebagai lengas tanah dan kelengasan tanah, sehingga sangat berpengaruh terhadap hasil akar dan kadar reserpina tanaman pule pandak. Peningkatan pupuk organik dari 0 t ha-1 sampai 20 t ha-1 meningkatkan semua variabel pertumbuhan namun peningkatan takaran pupuk organik dari 20 t ha-1 menjadi 40 t ha-1 peningkatannya tidak berarti. Peningkatan pupuk organik dari 0 t ha-1 sampai 20 t ha-1 meningkatkan semua parameter hasil
70
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
yaitu bobot kering akar dan kadar reserpina namun peningkatan takaran pupuk organik dari 20 t ha-1 menjadi 40 t ha-1 menyebabkan bobot kering akar dan kadar reserpina peningkatannya tidak berarti. Bobot kering akar dan bobot reserpina dalam akar di tanah latosol lebih tinggi dan nyata berbeda daripada
percobaan pada jenis tanah regosol. Perbedaan bobot
kering akar pada percobaan di tanah latosol dengan di tanah regosol cukup besar yaitu 46,12 %, namun kadar reserpina pada kedua jenis tanah tidak berbeda. Rendahnya kemampuan mengikat air pada jenis tanah regosol menyebabkan tingkat ketersediaan unsur hara dan mineral untuk tanaman menjadi rendah. Pada tanah latosol, peningkatan ketersediaan hara karena pemberian pupuk organik dan kemampuan tanah mengikat air akan mengakibatkan hasil fotosintesis lebih banyak digunakan untuk pembentukan ataupun pertumbuhan bagian atas tanaman lebih dahulu, tercermin pada bobot kering tanaman. Dari penelitian ini dapat dikatakan bahwa jenis tanah mempengaruhi bobot kering akar namun tidak berpengaruh terhadap kadar reserpina. Untuk pertumbuhan dan hasil tanaman Pule Pandak jenis tanah latosol lebih baik daripada regosol. Perbedaan kedua jenis tanah tersebut tidak berpengaruh terhadap kadar reserpina. Pemberian pupuk organik pada jenis tanah latosol dan jenis tanah regosol 20 t ha-1 mampu meningkatkan bobot kering akar dan kadar reserpina, sedangkan pemberian takaran yang lebih tinggi tidak meningkatkan hasil.
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
71
D. Pengaruh Alelopati terhadap Pertumbuhan Pule pandak Tanaman Eukaliptus dan Akasia diketahui menghasilkan senyawa fenol yang dapat bersifat alelopati terhadap tanaman yang berasosiasi di sekitarnya. Senyawa yang bersifat alelopati dapat menghambat pertumbuhan tanaman lain disekitarnya antara lain menghambat perpanjangan dan perbanyakkan sel, penyerapan mineral, sintesis protein serta aktivitas enzim (Lisanework and Michelsen,1993). Untuk mengetahui tanggapan tanaman Pule Pandak terhadap tegakan Eukalipus dan Akasia maka dilakukan penelitian pertumbuhan Pule Pandak pada media berpotensi alelopati (Sulandjari, 2000). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa macam media yaitu media bawah eukaliptus, akasia dan bawah jati nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan dan bobot kering akar. Sedangkan pemberian pupuk organik ataupun anorganik (NPK) nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan dan bobot kering akar. Pertumbuhan Pule Pandak pada media bawah Jati menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik daripada media bawah Akasia ataupun Eukaliptus yang ditunjukkan pada tinggi tanaman, luas daun, dan ratio akar tajuk. May dan Ash (1990) melaporkan bahwa senyawa fenolik dapat menurunkan kandungan klorofil sehingga menghambat fotosintesis yang dapat dilihat pada meningkatnya ratio akar tajuk karena hasil fotosintesis digunakan untuk pertumbuhan akar. Selanjutnya ekstrak daun Eukaliptus dapat menekan bobot kering tajuk. Kalau pertumbuhan akar dibatasi oleh persediaan zat yang kurang, pertumbuhan tunas relatif akan lebih dibatasi karena ia lebih jauh dari persediaan yang dibatasi itu. Sebaliknya kalau
72
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
pertumbuhan tunas dibatasi suatu bagian yang relatif lebih besar dari karbohidrat yang dihasilkan maka hasil fotosintesis akan digunakan oleh tunas itu sendiri dengan akibat pertumbuhan akar secara relatif akan lebih tertekan daripada tunas (Li et al.,1994). Pada analisis tanah awal menunjukkan bahwa kandungan hara pada media tanah bawah tegakan Eukaliptus menunjukkan angka paling tinggi dibanding dengan media tanah bawah tegakan Jati dan Akasia. Sedangkan analisis untuk fisika tanah menunjukkan bahwa media bawah Eukaliptus kandungan pasir dan lempung lebih tinggi dibandingkan media yang lain. Melihat sifat tanah dan hasil yang ditunjukkan oleh media bawah Eukaliptus dapat disimpulkan bahwa pengaruh Elelopati yang ada pada media Eukaliptus berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan Pule Pandak. Silander et al. (1983) menyatakan bahwa tanaman-tanaman yang menghasilkan minyak atsiri atau metabolit sekunder berpotensi bersifat alelopati. Senyawa yang bayak ditemukan dalam jumlah besar adalah fenol (Hall et al.,1982). Penurunan berat kering pada perlakuan media tanah bawah tegakan Eukaliptus dimungkinkan karena pengaruh senyawa fenol dapat menurunkan jumlah klorofil. Dari analisis fisika tanah yang menunjukkan kandungan pasir pada media tanah bawah tegakan eukaliptus yang lebih tinggi daripada kedua media yang lain juga dapat memperkuat pengaruh alelopati terhadap penghambatan pertumbuhan tanaman.
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
73
E. Pengaruh Curah Hujan terhadap Hasil Akar dan Kadar Alkaloid Di daerah tropis, curah hujan adalah menjadi faktor pembatas produktivitas tanaman. Selain peningkatan lengas tanah pada saat musim hujan lebih tinggi daripada musim kemarau, intensitas cahaya yang diterima oleh tajuk tanaman juga lebih bervariasi karena banyaknya hari berawan dan mendung. Temperatur udara yang cukup tinggi pada musim kemarau menurunkan kelembaban udara dan nyata berbeda dengan musim penghujan. Curah hujan yang tinggi mengakibatkan kelembaban udara meningkat, meningkatkan lengas tanah, dan menurunkan temperatur tanah. Sulandjari (2006) dalam penelitian pengaruh musim dan takaran pupuk organik terhadap hasil akar dan kadar reserpina Pule Pandak menunjukkan bahwa panen musim hujan lebih baik daripada panen musim kemarau, namun demikian tanaman Pule Pandak menghendaki adanya bulan kering untuk sintesis reserpina, sedangkan rutinitas ketersediaan air diperlukan untuk peningkatan bobot kering akar. Temperatur tanah percobaan panen musim kemarau lebih tinggi daripada percobaan panen musim penghujan dan hal ini akan mempercepat perombakan bahan organik sehingga hara lebih tersedia. Percobaan panen musim penghujan dengan bulan kering dua bulan menunjukkan perbedaan pertumbuhan dan hasil akar lebih tinggi bila dibandingkan percobaan panen musim kemarau, namun kadar reserpinanya tidak berbeda dengan percobaan panen musim kemarau. Kelengasan tanah yang sangat berbeda pada musim penghujan dan musim kemarau tidak menyebabkan perbedaan kadar reserpina.
74
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
Loyola et al. (1992) menyatakan bentuk pertahanan terhadap keterbatasan pertumbuhan akibat tekanan lingkungan antara lain kondisi kekeringan adalah mempertinggi biosintesis alkaloid. Perbedaan pendapat dikemukakan oleh Hoft et al. (1996) bahwa jumlah alkaloid pada tanaman lebih tinggi pada pengairan yang baik daripada kekeringan dan lebih tinggi pada pemberian pupuk daripada tidak dipupuk. Lambers et al. (1992)menyatakan bahwa tanaman di bawah intensitas cahaya tinggi mengalokasikan fotosintatnya di akar sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan. Meskipun demikian kecepatan pertumbuhan akar sangat bervariasi tergantung kondisi lingkungannya (Fitter, 1991), namun intensitas cahaya rendah merangsang pembentukan metabolit sekunder di akar sebagai reaksi pertahanan (Herms dan Mattson, 1992).
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
75
76
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
Bab VII BUDIDAYA TANAMAN PULE PANDAK A. Perbanyakan Tanaman Perbanyakan tanaman Pule Pandak dapat dari biji, setek batang dan setek akar. Perbanyakan melalui kultur jaringan telah banyak dilakukan dan menunjukkan hasil sampai pada aklimatisasinya. 1. Perbanyakan dengan Biji Secara alami, Pule Pandak berkembang biak dengan biji, tetapi persentase perkecambahan rendah yaitu sekitar 7 %–15 %, karena biji Pule Pandak mempunyai tempurung yang keras. Persentase keberhasilan perbanyakan pule pandak dengan biji dapat ditingkatkan melalui pengupasan separuh dari tempurung biji menjelang ditanam atau dapat juga melalui perendaman biji didalam larutan H2SO4 pekat atau setengah pekat selama lima menit sebelum ditanam. Secara alami Pule Pandak berkembang biak dengan biji. Berdasar suatu laporan, dari sejumlah biji yang ditanam hanya 15-30 % berhasil berkecambah dan bila tumbuh menjadi tanaman, baru berbunga sesudah berumur lebih dari 1 tahun.
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
77
Di Vietnam untuk mempercepat pertumbuhan biji Pule Pandak diberikan perlakuan berupa perendaman buah dalam air selama dua belas jam kemudian diperas dan
bijinya
dibersihkan. Selanjutnya biji direndam dalam air hangat (40-450 C) selama dua belas jam berikutnya. Biji yang jatuh ketanah langsung dari buah yang masak, akan tumbuh sampai dengan 60 %. Biji ditanam dalam bak-bak persemaian pada kedalaman 1 cm. Bak persemaian diletakkan pada tempat yang teduh dan lembab selama pertumbuhannya. Bji akan mulai berkecambah dalam tiga minggu. Bibit siap dipindah kelapangan sesudah bibit mencapai tinggi 10 – 12 cm. Kebutuhan biji untuk 1 ha kurang lebih 5 – 6 kg.
2. Perbanyakan dengan Setek Akar Apabila perbanyakan dengan biji memerlukan banyak tenaga dan biaya maka perbanyakan dengan setek akar lebih dianjurkan. Keberhasilan pembibitan melalui setek batang sebesar 40 %-65 %, sedangkan dengan setek akar dapat mencapai 50 %-80 % (Sudiarto et al.,1985; Anonim,1985). Penggunaan IBA 10 mg l-1 pada bibit mampu mempercepat dan memperkuat pertumbuhan akar (Sulandjari dan Sugiyono, 1995). Pal et al. (1998) melaporkan bahwa perlakuan IBA 10 mg l-1 dan NAA 100 mg l-1 mempercepat tumbuh tunas dan menghasilkan bibit yang kuat. Sebaiknya bahan setek dipilih dari akar dengan diameter 3 cm – 5 cm dengan panjang setek 3 cm – 4 cm. Penanaman setek yang terbalik tidak akan tumbuh bibit, sehingga untuk meng-
78
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
hindari hal tersebut pada saat mengambil bahan setek sebaiknya masih bersama batangnya. Setek akar dapat ditanam dalam polibag lebih dahulu atau langsung di lapangan pada kedalaman 1-2 cm pada awal musim hujan. Setek akar bertunas pada minggu ketiga sesudah tanam pada kelembaban yang cukup dan pemeliharaan yang baik. Pada minggu ke 5 – 6 umur bibit, akar primer tumbuh kuat dan tumbuh akar berikutnya dari daun yang baru dan bibit dari polibag siap dipindah kelapangan. Penanaman melalui pembibitan dengan polibag tingkat keberhasilannya lebih tinggi karena lingkungan pembibitan lebih dapat dikendalikan. Penggunaan suplemen perangsang pertumbuhan akar dengan merendam pada saat awal pembibitan dapat mempercepat dan memperkuat pertumbuhan akar pada bibit. 3. Kultur Jaringan Tanaman Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali (Pierik,1987). Dasar dari kultur jaringan adalah prinsip totipotensi, yaitu konsep bahwa setiap sel hidup mempunyai potensi genetik untuk tumbuh menjadi organisme yang sempurna. Prinsip utama kedua adalah kemungkinan pengaturan hormonal dari regenerasi tunas dan akar dengan ditemukannya auksin dan sitokinin (Hartmann et al.,1994). Kultur jaringan tanaman obat bertujuan untuk mendapatkan teknik perbanyakan vegetatip secara in vitro dalam usaha
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
79
pengadaan bibit maupun sebagai sarana pembiakan tanaman yang tidak dapat dibiakkan dengan benih atau dengan cara pembiakan konvensional sukar dilakukan. Juga bertujuan untuk mendapatkan senyawa metabolit sekunder dari kalus, serta sebagai cara menyelamatkan tanaman obat dari kepunahan (Mariska,1987) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Morfogenesis Tanaman dalam Kultur Jaringan Adalah: a. Genotip dari Sumber Bahan Tanaman yang Digunakan (Eksplan) Mudah tidaknya satu jenis tanaman membentuk tunas secara in vitro dapat dilihat dari kemampuannya diperbanyak secara in vivo. Pembentukan tunas secara langsung dari jaringan umumnya terjadi pada tanaman dikotil, namun tidak pada tanaman monokotil. Pembentukan tunas juga dapat dipengaruhi oleh bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan. Kesesuaian suatu bagian tanaman untuk dijadikan eksplan minimal dipengaruhi oleh 3 hal yaitu kemampuan regenerasi, tingkat fisiologis dan kesehatan dari tanaman sumbernya. Kemampuan regenerasi berkaitan dengan faktor genetik, dalam hal ini terutama perbedaan antar spesies. Sebagai contoh tanaman Begonia yang dikenal mudah dibiakkan dengan setek daun juga akan relatif mudah ditumbuhkan dengan kultur jaringan. Setiap sel tanaman mempunyai totipotensi yang berbeda. Totipotensi terbesar ditemukan pada bagian tanaman yang meristematis yaitu jaringan yang aktif membelah. Potongan bagian tanaman yang meristematis
80
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
kandungan hormon endogen cukup merangsang pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Leclerc, 2002). b. Media Media kultur jaringan tersusun dari beberapa atau seluruh komponen berikut: 1). Hara makro yang digunakan pada senyawa media 2). Hara mikro hampir selalu digunakan 3). Vitamin,Vitamin 4). Gula 5). Asam Amino dan N-organik 6). Senyawa komplek alamiah: air kelapa, ekstrak ragi dan lain-lain 7). Buffer, terutama buffer organik 8). Arang aktif 9). Zat pengaur tumbuh 10).Bahan pemadat (Gunawan,1995). Garam-garam mineral merupakan gabungan dari unsur-unsur essensial makronutrien dan mikronutrien. Dodds dan Roberts (1983) menyatakan bahwa makronutrien merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan tumbuhan dalam jumlah besar untuk menyokong pertumbuhannya, misal C,H,O,N,S,PK,Ca dan Mg. Mikronutien adalah unsur-unsur yang dibutuhkan tumbuhan dalam jumlah kecil, tetapi bila kekurangan/tidak ada akan mengganggu pertumbuhan, misalnya Fe, Mn, B, Cu, Mo dan Zn. Gula diberikan pada media kultur sebagai sumber karbon dan sumber energi pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Gula diperlukan untuk induksi dan per-
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
81
tumbuhan kalus (George dan Sherington,1984). Sukrosa merupakan salah satu jenis karbohidrat yang sering digunakan dalam media kultur karena mudah diserap oleh jaringan tanaman. Di samping itu jenis karbohidrat lain ialah maltosa, fruktosa, galakatosa dan laktosa yang memiliki sumber energi cukup tinggi. Kadar yang umum diberikan berkisar antara 2%-4% (George dan Sherington,1984; Katuuk, 1989). Menurut Suryowinoto (1985), sukrosa dengan kadar relatif tinggi penting untuk memacu induksi kalus. Sedang konsentrasi optimum sukrosa menurut Gunawan (1995) tergantung dari jenis kultur dan sukros merupakan komponen yang selalu ada dalam media tumbuh, kecuali dalam media untuk tujuan yang sangat spesifik misal agar only tanpa sukrosa atau karbohidrat lain digunakan untuk perkecambahan. Media tumbuh untuk kultur jaringan memerlukan penambahan vitamin, karena bagian tanaman yang dikulturkan belum mampu menghasilkan vitamin sendiri untuk kehidupannya. Vitamin dalam media kultur jaringan berfungsi untuk memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan tanaman in vitro bersama-sama dengan zat pengatur tumbuh. Vitamin juga mempunyai fungsi katalitik dalam sistem enzim dan diperlukan dalam jumlah kecil dan diberikan pada media untuk mempercepat pertumbuhan dan deferensiasi kalus. Vitamin yang umum diberikan pada media kultur antara lain tiamin-HCl, niacin, biotin, asam nikotinat, piridoksin, asam pantotenat, kalium klorida dan riboflavin (Staba,1980; Dodds dan Robert 1983, George dan
82
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
Sherington,1984). Penggunaan atau penambahan vitamin dapat secara sendiri atau campuran dari berapa vitamin misalnya vitamin MS (terdiri dari 5 vitamin) dan vitamin moiet & wetmore (6 vitamin). Mio-inositol ditambahkan pada media kultur karena berfungsi
membantu
deferensiasi
dan
pertumbuhan
jaringan, berperan dalam reaksi-reaksi metabolit pertumbuhan jaringan, berperan dalam reaksi-reaksi metabolik penting yang berhubungan dengan pembelahan sel dan merupakan perantara pada perubahan glukosa menjadi asam galaktunorat, juga sebagai prekusor untuk pektin dan penyusun dinding sel (Indrianto,1992). Kultur jaringan untuk menghasilkan senyawa metabolit sekunder gula yang digunakan adalah sukrosa karena bila menggunakan glukosa akan terbentuk senyawa penyusun dinding sel yang tidak dibutuhkan dalam kultur kalus. Metabolit sekunder lebih mudah diekstrak melalui kulur kalus. c. Lingkungan tumbuh Intensitas cahaya, jenis cahaya, lamanya penyinaran (kontinyu atau terputus), temperatur,O2, CO2 dan gas lain pada medium mempunyai peran penting dalam keberhasilan kultur jaringan. Pada umumnya proliferasi kalus terjadi dalam kondisi gelap, karena cahaya cenderung memacu terjadinya embriogenesis, pembentukan tunas dan penghijauan pada kalus (Pierik,1987).
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
83
Lingkungan tumbuh yang berpengaruh terhadap regenerasi tanaman secara in vitro adalah: 1). Temperatur Pada umumnya kultur jaringan memerlukan temperatur sebesar 18º C namun untuk pertumbuhan ini akan berbeda-beda pada setiap spesies serta jenis eksperimen. Ada yang suka terhadap temperatur tertentu ada pula yang memerlukan variasi siklus pergantian temperatur siang dan malam dapat mempengaruhi kultur jaringan (Katuuk,1989; Pierik, 1987). Temperatur berperan dalam mempengaruhi laju dan perbanyakkan jaringan, sehingga setiap tanaman memiliki suhu optimum untuk pertumbuhan dan perbanyakannya. (Wiendi et al.,1991). 2). Penyinaran Pemberian cahaya yang mempengaruhi pertumbuhan kultur in vitro yaitu: panjang gelombang cahaya dan intensitas cahaya. Intensitas cahaya yang diperlukan menurut (Pierik,1987) berkisar antara 1.000–10.000 lux, yang dapat dipenuhi dengan penyinaran lampu neon yang diatur waktu penyinarannya. Penyinaran selama 16 jam sehari akan memberikan intensitas cahaya antara 3.000 – 10.000 lux. Penyinaran dalam kultur jaringan bervariasi antara 10 – 18 jam per hari. Untuk kultur kalus lama penyinaran yang dibutuhkan hanya berkisar 10 - 12 jam atau kondisi gelap seutuhnya pada induksi kalus tahap awal yang selanjutnya dikombinasikan dengan penyinaran.
84
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
3). Ukuran Wadah Kultur Ukuran wadah kultur pada beberapa kasus dapat mempengaruhi pertumbuhan eksplan. Hal ini dimungkinkan karena perbedaan konsentrasi CO2 terlarut, etilen serta gas lain yang berada dalam wadah (Gunawan,1995). Penelitian Yuniastuti (2006) pada kultur jaringan pisang menunjukkan bahwa tanaman pisang dengan 125 ml menghasilkan pertumbuhan kalus 80%, sedangkan ukuran wadah 300 ml menghasilkan planlet 16 %. 4). pH Kondisi fisik media, dalam hal ini pH media, cenderung sedikit asam kira- kira 5,6 - 5,8. Kestabilan pH mempengaruhi proses pertumbuhan dalam hal ini berhubungan dengan ketersediaan unsur hara terlarut yang dapat diserap oleh tanaman. Pengaruh pH dalam media adalah: menjaga kestabilan membran sel, mengatur garam-garam dalam media supaya tetap dalam bentuk terlarut, membantu penyerapan hara dan mengatur sifat gel media sehingga pada kultur jaringan umumnya digunakan pH 5,6 - 5,8 (Katuuk,1989). 5). Fisiologi Jaringan Tanaman Sebagai Eksplan Stek yang berasal dari jaringan muda bisa langsung membentuk akar dibandingkan dari jaringan tua dan setiap jenis tanaman maupun organ memiliki ukuran eksplan yang optimum untuk dikulturkan. Beberapa peneliti melaporkan bahwa pada tanaman monokotil akan lebih mudah membentuk kalus daripada tanaman dikotil.
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
85
6). Zat pengatur Tumbuh Zat pengatur tumbuh sangat diperlukan sebagai komponen media kltur yaitu untuk pertumbuhan dan deferensiasi. Zat pengatur tumbuh digolongkan kedalam 5 macam yaitu auksin, sitokinin, giberelin, etilen dan inhibitor yang masing-masing mempunyai ciri khas dan pengaruh yang berlainan terhadap proses fisiologis (Wareing dan Philips, 1981). Dalam kultur jaringan, dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting adalah sitokinin dan auksin. Zat pengatur tumbuh ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ (Gunawan,1987). Auksin merangsang pertumbuhan kalus, merangsang pembesaran sel dan akar. Sitokinin berfungsi mengatur pertumbuhan dan morfogenesis (Katuuk,1989). Evans (1987) menyatakan bahwa jenis dan kadar zat pengatur tumbuh akan mempengaruhi pertumbuhan sel pada kultur jaringan tanaman. Pada kasus dimana suatu respon ditumbuhkan oleh penggunaan hormon tunggal, maka diduga jaringan mengandung hormon endogen yang berperan dalam menentukan respon tersebut. Pada beberapa jenis tumbuhan, zat pengatur tumbuh eksogen tersebut sangat spesifik, sebagai contoh, eksplan yang dapat menghasilkan cukup auksin tidak membutuhkan tambahan auksin untuk pembentangan dan atau pembelahan sel. Penambahan NAA dan BAP eksogen sebesar 0,8 mg/l dan 2 mg/l diduga lebih dapat memacu akti-
86
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
vitas pembelahan dan atau pembentangan sel-sel eksplan dibanding perlakuan lain (Armini et al,1992; Pierik,1987). Seswita et al. (1993) melaporkan bahwa perkembangan kultur tunas in vitro Rauvolfia serpentina dengan menggunakan eksplan tunas dalam media MS dan menambahkan 0,5 mg/l BAP akan menghasilkan penggandaan tunas. Namun penggunaan eksplan tunas dalam media ½ MS dan menambahkan 0,8 mg/l BAP akan menghasilkan tunas berakar. Zat pengatur tumbuh yang berbeda akan mempengaruhi
kecepatan
akumulasi
alkaloid
dan
kemampuan sel untuk tetap hidup walaupun di sub kultur berulang-ulang. Faktor-faktor yang mengatur induksi alkaloid adalah kadar 2,4 D dalam media. Apabila kadar 2,4 D dikurangi maka produksi alkaloid meningkat. Pada media produksi Zenk’s, kadar 2,4 D sebesar 0,1 mg/l akan mengakumulasi serpentina pada fase pertumbuhan log phase (Evans, 1987). Pemakaian 2,4 D berulang-ulang pada media kultur jaringan dapat menyebabkan munculnya efek samping 2,4 D yang bersifat herbisida. Namun apabila ditinjau dari kemampuan membentuk atau menginduksi kalus sangat tinggi dibanding jenis auksin yang lain.
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
87
4. Induksi Kalus Menurut Gunawan (1995), kalus merupakan kumpulan zat-zat amorf yang terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus menerus. Macam dan jenis kalus berdasarkan tekstur dan strukturnya. Tekstur kalus dapat berupa remah (viabel) atau kompak (compact). Sedangkan strukturnya dapat bergerombol (multiple-bud) atau tunggal. Kalus yang dimanfaatkan untuk diambil metabolit sekundernya adalah kalus yang embrionik. Untuk dapat menumbuhkan kalus, persyaratan minimal adalah penyediaan media yang sesuai baik komposisi maupun dosisnya untuk setiap jenis tanaman yang dikulturkan. Pertumbuhan kalus akan lebih baik bila dipacu dengan zat pengatur tumbuh, juga derajad keasaman yang berpengaruh pada tersedianya unsur hara. Pertumbuhan dan morfogensis tumbuhan secara in vitro dikendalikan oleh interaksi dan keseimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan ke dalam medium dan zat tumbuh yang dihasilkan secara endogen oleh sel-sel yang dikulturkan (Dodds dan Robert,1984). Untuk menginduksi pertumbuhan kalus, akar atau tunas diperlukan zat pengatur tumbuh yang sesuai. Variasi jumlah dan jenis zat pengatur tumbuh akan berpengaruh pada pertumbuhan yang terjadi dan metabolit sekunder yang dihasilkan. Induksi kalus dari kultur jaringan tanaman yang dikulturkan secara in vitro membutuhkan baik auksin atau auksin dan sitokinin di dalam medium pertumbuhannya (Dodds dan Roberts,1982). Hasnunidah (1999) melaporkan bahwa hasil statistik terhadap rerata bobot kalus pada pengamatan
88
minggu ke 8
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
setelah tanam menunjukkan bahwa kombinasi NAA dan BAP dengan konsentrasi yang bervariasi (NAA 0,8 mg/l dan BAP 2 mg/l) berpengaruh nyata menaikkan bobot kalus. Namun pada perlakuan BAP tunggal tanpa NAA sebesar 1 mg/l cenderung menurunkan bobot kalus. Sehingga penelitian ini memperlihatkan kecenderungan bahwa pembentukan dan proliferasi kalus Rauvolfia serpentina lebih cocok atau sesuai pada media MS yang mengandung konsentrasi NAA rendah dan BAP tinggi. Akram et al. (1990) menyatakan bahwa kalus akar Rauvolfia serpentina Benth. yang terbaik pada media MS yang mengandung 0,8 mg/l NAA + 2 mg/l BAP + 10 ml/l ekstra Nitrogen menunjukkan proliferasi yang baik. Kalus tersebut bertekstur kompak, padat dan berwarna hijau. Skoog et al. (1941) cit Moore (1989) menyatakan bahwa auksin dan sitokinin eksogen dibutuhkan untuk pertumbuhan eksplan dan pada ratio konsentrasi yang tepat kedua hormon tersebut dapat menginduksi pembentukan kalus. Jika hanya auksin yang ditambahkan, pemanjangan sel dapat terjadi tanpa diikuti pembelahan sel dan sitokinin tidak aktif dalam memacu pembelahan sel tanpa adanya auksin. Hal ini disebabkan karena kemampuan auksin dan sitokinin dalam mempengaruhi sejumlah perubahan fisiologis di dalam sel dan memacu berbagai proses metabolisme. Analisis pertumbuhan kalus umumnya didasarkan pada pengukuran berat basah jaringan. Parameter pertumbuhan dapat diamati dengan pertumbuhan biomasa jaringan dan penambahan masa merupakan efek dari sitokinin bersama auksin terhadap pembelahan sel (Street,1972).
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
89
Perpanjangan sel yang diakibatkan oleh zat pengatur tumbuh auksin terhadap dinding sel akan memperlonggar ikatan antara mikrofibril penyusun dinding sel, dengan cara memacu kerja enzim yang berperan dalam pemutusan ikatan fibril tersebut. Zat ini juga menyebabkan degradasi substansi di dalam sel sehingga tekanan osmosis pada vakuola meningkat, sedangkan tekanan di dinding sel menurun. Oleh karena itu air dapat masuk ke dalam sel disertai dengan kenaikan volume dalam pertambahan ukuran sel (Wareing dan Phillips,1986). Menurut Dixon (1985) bahwa media yang mengandung 2,4-D dapat menekan produksi metabolit sekunder setelah kalus ditumbuhkan selama periode waktu tertentu, tergantung kecepatan pertumbuhan kalus. Selain itu pemindahan kalus juga bertujuan untuk menghindari penumpukan metabolit yang semakin meningkat yang dapat bersifat toksik bagi kalus di dalam media. Apabila senyawa toksik sampai meracuni kalus maka pertumbuhan kalus akan terhambat. 5. Produksi metabolit sekunder dengan kultur jaringan Kultur jaringan tanaman saat ini tidak hanya digunakan untuk memperbanyak tanaman saja tetapi juga untuk memproduksi dan meningkatkan kandungan metabolit sekunder tanaman obat pada umumnya dan R. serpentina pada khususnya (Ahmad et al.,2002). Hal ini lebih menguntungkan karena :1) hasilnya dapat diambil langsung dari hasil kultur jaringan; 2) Untuk memungut hasilnya hanya beberapa bulan sampai kalus terbentuk; 3) hasil yang diperoleh kadang-kadang dapat lebih tinggi dari tumbuhan asal; 4) jenis metabolit sekunder dapat lebih banyak/diperoleh metbolit sekunder baru yang tidak dipunyai
90
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
pada tanaman asal; 5) kadar dapat ditingkatkan dengan memanipulasi media dan 6) menghemat waktu dan lahan, tidak tergantung musim, bebas hama dan penyakit serta kondisi dapat dikontrol (Suryowinoto, 1986 dan Dalimonthe 1987). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil metabolit sekunder pada kultur kalus biasanya dapat memproduksi metabolit sekunder yang lebih beraneka ragam. Sedang untuk memproduksi metabolit sekunder melalui kultur jaringan kebanyakan dengan memanipulasi komposisi media seperti konsentrasi, unsur makro dan mikro, gula, vitamin, senyawa organik lain dan hormon. Selain itu juga faktor cahaya, suhu, pH, pemberian prekusor dan elisitor dapat meningkatkan produk metabolit sekunder yang diinginkan (Staba,1980). Menurut Moris (1985) kultur suspensi sel dapat meningkatkan produksi metabolit sekunder sehingga cara ini lebih disukai dibanding kultur kalus. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan yaitu alkaloid kaufina meningkat 5 kali lipat lebih besar dari kadar alkaloid yang diperoleh dengan cara kultur kalus. Terjadi peningkatan kadar alkaloid dari kultur suspensi sel ini disebabkan karena kontak permukaan antara sel dengan media lebih luas akibat penggojogan yang terus menerus, sehingga sel-sel dalam media dapat lebih leluasa berinteraksi dengan bahan kimia yang ditambahkan kedalam media, disamping itu transfer biomasa lebih efektif dan berdaya guna. Senyawa organik kompleks yang sering ditambahkan ke dalam media kultur jaringan tanaman adalah air kelapa, ekstrak ragi, ekstrak pisang dan lain-lain. Ekstrak ragi dalam kultur media berkisar antara 0,5 - 2 gram/l. Dalam penelitian
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
91
terhadap kultur jagung Grenn et al. dalam Gunawan (1988) menambahkan ekstrat ragi 800 mg/l dan kasein hidrolisat 200 mg/l ternyata dapat memperbaiki pertumbuhan kalus, meskipun dalam medium sudah terdapat ion amonium. Lebih lanjut dikatakan bahwa di dalam ekstrak ragi mengandung asam amino, peptida dan vitamin. Tidak ada aturan khusus untuk macam media kultur jaringan yang dapat menyokong sintesis metabolit sekunder. Untuk memproduksi metabolit sekunder dari kalus suatu tumbuhan perlu dilakukan langkah penanaman eksplan dalam medium induksi untuk pertumbuhan kalus dengan beberapa kali subkultur dan selanjutnya kalus tersebut disubkultur pada medium produksi. Subkultur biasanya dilakukan 3 - 8 minggu setelah penanaman (Morris et al., 1985; Sugihardjo,1990). Ochta dan Yatazawa (1979) melaporkan bahwa manipulasi media MS dengan menambahkan 2,6 - 6 mg.l 2,4 D + 0 - 0,2 mg/l kinetin + 0,1% ekstrak ragi pada kultur kalus R. serpentina menghasilkan kandungan alkaloid 12 - 20% ajmaline. Penelitian Sulandjari (2000) menunjukkan bahwa manipulasi media MS dengan menambahkan 0,5 g/l ekstrak ragi meningkatkan bobot kering kalus R serpentina namun uji alkaloid negatif. Menurut beberapa peneliti banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pembentukan metabolit sekunder pada kultur jaringan. Butcher, Tabata dalam Dalimonte (1987) melaporkan bahwa faktor utama adalah ada tidaknya akumulasi metabolit sekunder, ditentukan oleh hubungan pembentukan dan deferensiasi sel dalam tumbuhan tersebut. Selain itu keberhasilan terbentuknya metabolit sekunder dalam kultur jaringan dipengaruhi oleh faktor lingkungan medium antara lain cahaya, zat pengatur tumbuh, prekusor dan nutrisi. Sedangkan
92
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
kendala biologis meliputi pertumbuhan dan perbedaan morfologi. Menurut Soegihardjo (1993), pada fase pertumbuhan biosintesis metabolit sekunder berjalan lambat, bahkan sering belum mulai produksi tetapi setelah fase pertumbuhan berakhir maka metabolit sekunder baru mulai diproduksi. Pada tumbuhan tingkat tinggi, ada senyawa-senyawa tertentu yang disintesis atau diakumulasi, hanya oleh organ-organ dan jaringan tertentu misalnya nikotin disintesis oleh akar tembakau. Anitha dan Kumari (2006) menyatakan bahwa Reserpina adalah alkaloid utama yang dihasilkan Rauvolfia spp. Biosintesis reserpina dimulai dari tryptophan. Kalus Rauvolfia tetraphylla L. pada media MS dengan penambahan 9 µM 2,4 D dan 50 mg/l tryptophan meningkatkan kadar reserpina. Menurut Soegihardjo (1993), kondisi stres dapat menguntungkan produksi metabolit sekunder. Stres menurut Grine (1981) adalah segala hambatan yang menurunkan bahan kering biomasa. Katagori stres di sini adalah nutrien, cahaya, suhu, pengaruh bahan kimia tertentu dan lain-lain. Namun keadaan stres yang berlebihan dapat menghentikan produksi metabolit sekunder. Cara perlakuan yang teliti pada faktor lingkungan kemungkinan di dapat keadaan yang dapat meningkatkan produksi metabolit sekunder yang jauh lebih tinggi daripada tanaman asal. B. Teknik budidaya 1. Jarak tanam Bila saat penanaman telah ditentukan dan persiapan lapangan telah dilakukan, maka hal yang perlu diperhatikan
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
93
adalah jarak tanam. Jarak tanam mempengaruhi populasi tanaman dan efisiensi penggunaan cahaya, juga mempengaruhi kompetisi antara tanaman dalam hal penggunaan air dan zat hara, dengan demikian akan mempengaruhi produk yang dihasilkan. Penelitian Sulandjari (2007a) menunjukkan bahwa jarak tanam 30 cm x 30 cm meningkatkan jumlah daun dan menambah luas daun. Peningkatan jumlah daun dan luas daun mengakibatkan meningkatnya bobot kering tanaman pada kerapatan naungan 20 % sampai dengan 80 %. Peningkatan jumlah daun dan luas daun berpengaruh terhadap parameter hasil. Meskipun jarak tanam 40 cm x 40 cm tidak nyata berbeda pengaruh dibandingkan 20 cm x 20 cm dan 30 cm x 30 cm, namun cenderung menurunkan luas daun, jumlah daun dan bobot kering tanaman, sehingga menurunkan bobot kering akar terutama pada tingkat naungan 20 %. Pada kerapatan naungan 20 % dan 50 % jarak tanam 20 cm x 20 cm atau 30 cm x 30 cm mampu meningkatkan hasil akar. Hal ini disebabkan karena perakaran tanaman Pule Pandak tidak banyak bercabang dan pertumbuhan lebih banyak memanjang ke bawah. Pada tingkat kerapatan naungan yang lebih tinggi yaitu 80 %, karena tingkat penyekapan intensitas cahaya sangat rendah mengakibatkan hasil fotosintesis kecil sehingga perlakuan jarak tanam tidak nampak berpengaruh pada peningkatan pertumbuhan dan hasil. Pada kerapatan naungan yang tinggi intensitas cahaya yang lolos menjadi rendah maka intensitas cahaya lebih berpengaruh menurunkan semua parameter pertumbuhan dan hasil daripada jarak tanam.
94
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
Jarak tanam berpengaruh nyata terhadap kadar reserpina. Jarak tanam 20 cm x 20 cm atau 30 cm x 30 cm pada naungan 20 % sampai dengan 80 % meningkatkan kadar reserpina. Namun pada naungan 20 % jarak tanam 20 cm x 20 cm lebih baik daripada jarak tanam lebih jarang. Sesuai pendapat Yamoa et al. (1998) menyatakan bahwa apabila kelembaban merupakan faktor pembatas, maka jarak tanam yang rapat meningkatkan hasil. Dapat dikatakan bahwa jarak tanam 20 cm x 20 cm atau 30 cm x 30 cm mampu meningkatkan variabel pertumbuhan, hasil dan kadar reserpina pada kerapatan naungan 20 % dan kerapatan naungan 50 %. Budidaya Pule Pandak yang telah dilakukan oleh masyarakat di India biasa ditanam di bawah naungan pohon mangga atau naungan lainnya dengan
jarak tanam
antara 30 cm – 45 cm dengan memberikan pupuk organik 10 t ha-1 – 15 t ha-1 (Oudia, 2002).
2. Ketinggian tempat dan pemupukan Ketinggian tempat berpengaruh terhadap variasi temperatur dan intensitas cahaya yang di terima oleh tajuk tanaman hubungannya dengan penutupan awan maupun kabut. Penanaman Pule Pandak yang di lakukan di dataran tinggi dan dataran rendah oleh Sulandjari (2007a) menunjukkan perbedaan yang cukup berarti terhadap hasil akar dan kadar alkaloidnya. Di dataran rendah pertumbuhan dan hasil menunjukkan nilai lebih tinggi dua sampai tiga kali lipat daripada penanaman di dataran tinggi. Berbeda dengan sebaran pule pandak di Jawa yang banyak ditemukan di dataran rendah, di
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
95
India Pule Pandak tumbuh liar ataupun dibudidayakan tersebar di daerah pegunungan Himalaya di dataran tinggi dan berkabut. Pada kondisi ini Pule Pandak tidak memerlukan naungan. Pemberian pupuk pada tanah latosol (lempungan) dan tanah regosol (pasiran) menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik 20 t ha-1 pada saat tanaman sampai dengan saat panen umur tanaman 1 tahun meningkatkan bobot kering akar meskipun hasilnya lebih tinggi pada tanah latosol (lempungan). Pemberian pupuk organik 20 t ha-1 juga menambah jumlah akar yang terbentuk, dengan diameter akar lebih besar, mengakibatkan bobot kering akar lebih tinggi dibanding takaran pupuk organik yang lebih besar (Sulandjari, 2007b). Laporan lain menyatakan bahwa pemupukan dengan dosis 30 kg ha-1 N dan 60 kg ha-1 P2O5 mampu meningkatkan hasil alkaloid total. Pule pandak yang ditanaman melalui budidaya dapat menghasilkan 2.000 kg ha-1 akar kering pada umur 18 bulan sampai 2 tahun. Kandungan alkaloid di akar pada tanaman budidaya lebih besar daripada tumbuhan yang tumbuh secara alami (Akhtar, 2002). Perbedaan lokasi tempat tumbuh pule pandak juga mengakibatkan kandungan alkaloid berbeda.
3. Pengairan Meskipun Pule Pandak di habitat alam tahan kekeringan namun pada budidayanya dianjurkan dilakukan pengairan yang cukup. Rutinitas ketersediaan air bagi tanaman pule pandak adalah untuk mendukung produktivitas akar yang tinggi.
96
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
Sistem pengairan dapat dilakukan dengan cara di leb (penggenangan) ataupun springkel. Budidaya Pule Pandak yang banyak dilakukan di India sebagai tanaman sela di perkebunan mangga menunjukkan bahwa tanaman ini tahan penggenangan bersamaan pada saat pengairan tanaman mangga di perkebunan ini (Kaul, 1956). Meskipun begitu pada saat udara sangat panas pengairan yang dilakukan dengan springkel ataupun manual dengan nozel kecil lebih dianjurkan untuk mencegah kerontokan daun. Tindakan pengairan harus memperhitungkan tingkat kelembaban area tanaman, karena kelembaban yang tinggi sering mengundang gangguan terhadap tanaman pule pandak karena penyakit yang ditimbulkan oleh jamur.
4. Hama penyakit Pada sanitasi yang baik umumnya Pule Pandak tidak mendapatkan gangguan hama penyakit yang berarti. Namun kelembaban yang tinggi atau tanaman sedang mengalami kondisi yang tidak baik (stress) karena kurang hara atau kurang pengairan dapat menimbulkan beberapa penyakit yang disebabkan oleh jamur. Penyakit yang sering menyerang Pule Pandak antara lain layu, yang disebabkan oleh Fusarium, kemudian penyakit daun yang disebabkan oleh Alternaria, jamur bubuk, penyakit virus mosaik, penyakit daun yang disebabkan Rhizoctonia solani dan penyakit mata akar (rootknot) yang menyebabkan pertumbuhan Pule Pandak menjadi kerdil. Percabangan muda kadangkadang juga terinfeksi oleh sejenis kutu hijau. Penyiangan hingga jarak 45 cm dari tanaman, secara efektif dapat mengen-
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
97
dalikan patogen, dimana rumput sering menjadi inangnya (Sulandjari, 2008). Alternaria akan menimbulkan bercak daun dengan warna coklat. Bercak coklat ini dapat juga disebabkan oleh Aphis. Serangan Aleurodichus spp. nampak pada permukaan daun berwarna putih. Bentuk serangannya dengan menghisap cairan daun sehingga daun menjadi berwarna kuning. Pada serangan yang berlanjut dapat menyerang bunga atau buah dan menyebabkan bunga atau buah gugur. Apabila menyerang batang atau pucuk batang menyebabkan batang busuk dan daun kering. Cara pencegahan terhadap serangan Rhizoctonia solani adalah dengan membuka semua naungan dan pengaturan drainase, karena jamur Rhizoctonia solani biasanya menyerang dalam suasana basah terutama dalam musim penghujan. Sedangkan cara pencegahan dari serangan Fusarium sp adalah dengan membasahi tanah/media, karena jamur Fusarium sp menyerang pada saat tanah dalam keadaan kering. Daun pule pandak juga sering dimakan ulat ataupun bekicot. Pada gangguan hama penyakit yang secara ekonomis tidak merugikan maka tidak perlu dilakukan penyemprotan dengan insektisida ataupun fungisida. Pada umumnya apabila sanitasi baik dan kondisi pencahayaan dan kelembaban yang cukup tanaman akan memperbaiki pertumbuhan dengan cepat. Hama yang kadang menyerang adalah bekicot, belalang dan serangga penghisap. C. Budidaya Pule Pandak Sistem Tumpangsari Tanaman berinteraksi satu dengan yang lain berdasarkan ruang dan waktu (horisontal dan vertikal). Selama proses pertumbuhan tanaman memerlukan energi, air dan hara dari
98
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
lingkungan, tetapi yang diperlukan tergantung pada tahapan pertumbuhan. Selama pertumbuhan, faktor iklim berubah menurut musim, dan tanaman itu sendiri mempengaruhi kondisi iklim mikro (kelembaban, temperatur tanah dan udara, naungan) dan makin besar tanaman maka jumlah air dan hara yang diperlukan makin meningkat. Dalam siste pertanaman campuran yang memegang peranan penting adalah pemilihan jenis tanaman yang memiliki pertumbuhan optimal berdasarkan ruang dan waktu (Rahman, 2002). Teknik yang berhubungan dengan dimensi keruangan dapat digunakan dalam memilih tanaman berdasarkan perbedaan kerapatan tanaman, pola pertanaman dan pengaturan keruangan. Pola tanam yang dapat dikembangkan adalah tumpang gilir, tumpang sari, pertanaman ganda dll. Oleh karena organ tanaman Pule Pandak yang banyak mengandung alkaloid dan sebagai bahan baku obat adalah akar maka dalam budidayanya sistem perakaran harus mendapatkan perhatian yang lebih banyak. Perakaran tanaman pada sistem tumpangsari mempunyai konsep dasar pemikiran, dapat mengurangi kompetisi khususnya terhadap unsur hara dan air, karena sistem perakaran pada setiap lapisan tanah berbeda pada setiap periode waktu, selanjutnya sistem perakaran pada sistem tumpangsari akan berinteraksi positip bila pemilihan kombinasi tanaman yang ditumpangsarikan tepat serta diikuti teknis penanaman yang benar. Pemilihan tanaman ketela sebagai tanaman sela mempunyai keuntungan efek naungan dan pemeliharaan lebih mudah serta jarang menjadi inang hama penyakit. Pule Pandak ditanam diantara tanaman kacang panjang dan cabe rawit,
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
99
nilam dan cabe rawit atau bersama tanaman terong merupakan alternatif untuk mendapatkan hasil yang bervariasi saat panen dan nutrisi yang dihasilkan (Sulandjari, 2008). Di Thailand dalam budidaya Pule Pandak, banyak dilakukan tanaman kedelai atau jagung sebagai tanaman sela terhadap tanaman Pule Pandak karena selain efek penaungan oleh tanaman dan kemampuan penambatan nitrogen oleh kedelai juga memberikan ekuivalen hasil energi dan protein yang menguntungkan.
D. Cara Panen dan Pasca Panen 1. Cara Panen Untuk mempermudah dalam pemanenan dan menghindari kerusakan akar yang akan dipanen, dapat dilakukan penyiraman sebelum panen sehingga tanah menjadi lunak/ gembur. Panen akar yang biasa dilakukan dengan mencabut seluruh bagian tanaman namun dapat juga memanen sebagian akar atau meninggalkan sebagian akar dan bagian atas tanaman. Dengan meninggalkan sebagian akar berarti menghemat pengadaan bibit dan waktu pembibitan. Candra (1956) melaporkan pada saat panen, cara memanen dengan meninggalkan sedikit akar dengan diameter yang kecil, menunjukkan kandungan alkaloid yang lebih tinggi daripada tanaman yang berasal dari bibit baru pada umur yang sama. Akar yang telah dipanen dibersihkan sisa tanah yang menempel dengan diketuk-ketukan dan disikat. Apabila tanah yang menempel sukar dibersihkan dapat dilakukan pencucian namun pencucian harus hati-hati sehingga tidak menimbulkan luka pada kulit akar karena memungkinkan tumbuh jamur
100
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
pada penyimpanan. Setelah dicuci, dipotong sepanjang 15 cm – 20 cm kemudian dijemur dengan alas anyaman bambu atau tikar. Untuk pengeringan bahan dalam jumlah besar digunakan rak bersusun yang dilengkapi roda, dengan sirkulasi udara yang lancar. Penjemuran tidak langsung di bawah cahaya matahari, atau ditempat yang teduh karena sinar ultravolet dapat merusak kandungan zat aktif atau alkaloid yang terkandung dalam akar Pule Pandak. Dianjurkan pengeringan mencapai kadar air ± 12%. Penyimpanan bahan yang telah kering juga merupakan faktor penting dalam menjaga mutu. Dalam penyimpanan harus dijaga terhadap pengaruh kelembaban, cahaya dan serangga atau jamur. Kemudian simpan di tempat yang kering atau kelembabannya rendah untuk mencegah jamur.
2. Pascapanen Simplisia merupakan produk hasil proses setelah melalui panen dan pascapanen menjadi bentuk produk untuk sediaan kefarmasian yang siap dipakai atau siap diproses selanjutnya. Proses pemanenan dan preparasi simplisia merupakan proses yang dapat menentukan mutu simplisia dalam berbagai artian, yaitu komposisi zat kandungan, kontaminasi dan stabilitas bahan. Simplisia dibuat biasanya untuk tujuan pengawetan bahan, pemenuhan stok untuk proses produksi juga paling tidak untuk mempertahankan kualitas bahan aktif. Secara teknis kegiatan pascapanen diawali dengan proses pengangkutan hasil panen, sortasi, pengupasan, pencucian, perajangan,
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)
101
pengeringan, pengepakan, penyimpanan. Sering dilupakan bahwa ketika simplisia sudah di dapat, pada saat itu, bahan dianggap sudah terbebas dari kerusakan yang akan mempengaruhi kualitas secara keseluruhan. Karena sebagai produk biologis, simplisia belum terbebas sepenuhnya dari aktivitas biokimia karena masih terdapat enzim yang bersifat nonaktif. Pascapanen sebagai mata rantai proses untuk memperoleh jaminan mutu bagi simplisia, secara umum sangat dipengaruhi oleh (1) kandungan air bahan, (2) pengaruh sinar ultra violet dan (3) pengaruh suhu (pemanasan) selama proses pengeringan berjalan, serta (4) pengaruh pH pada saat enzim di dalam jaringan (hasil panenan) masih dalam kondisi aktif (Komarawinata,2006). Ketika panen terjadi, aktivitas metabolisme yang terjadi di dalam tanaman dihentikan, tetapi komponen komponen kimia seperti enzim (Hidrolase, Oksidase, Polymerase, dll) yang tertinggal pada jaringan yang dipanen belum berhenti. Dalam pustaka disebutkan, enzim bisa terdapat dalam jaringan, selain itu enzim juga masih mempunyai aktivitas diluar sel hidup. Oleh karenanya kita sering menyaksikan kerusakan hasil panen yang merubah penampilan fisik menjadi berwarna coklat akibat aktivitas enzim oksidase. Enzim memiliki sifat tidak tahan terhadap pemanasan, dengan demikian tingginya kadar air pada hasil panen dapat menjadi wahana untuk aktivitas berikutnya, baik dalam merubah tampilan fisik (warna) maupun kandungan bahan kimianya (Pramono,1989)
102
Rauvolfia Serpentina (Pule Pandak)