BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kanker merupakan penyakit yang disebabkan karena pertumbuhan abnormal pada sel-sel jaringan tubuh. Sel-sel kanker ini dapat menyebar ke bagian tubuh dan menimbulkan kematian. Sebagian besar penderita kanker di dunia berasal dari negara miskin dan berkembang, salah satunya yaitu Indonesia. Menurut World Health Organization (WHO, 2008) pada tahun 2030 di Indonesia akan terjadi peningkatan penderita kanker hingga tujuh kali lipat (Anonim, 2008). Menurut Greenlee dkk. (2001) menyatakan bahwa kanker menempati peringkat kedua sebagai penyebab kematian di dunia setelah penyakit jantung. Jenis kanker yang menjadi penyebab utama kematian di dunia diantaranya kanker paru paru, kanker lambung, kanker hati, kanker kolon dan kanker payudara (WHO, 2008). Satu dari beberapa jenis kanker yang menjadi penyebab utama kematian di atas yaitu kanker kolon. Kanker kolon menjadi penyebab kematian peringkat ketiga pada sebagian besar penduduk di USA (Siegel dan Naishadham, 2013). Kanker kolon merupakan jenis kanker yang timbul pada jaringan epitelial kolon. Kanker kolon dapat terjadi pada pria maupun wanita dengan persentase kejadian sama besar. Siegel dan Naishadham (2013) menyatakan bahwa, pada tahun 2013 di USA diperkirakan terdapat 73,68 kasus baru pada pria dan 69,14 pada wanita. Kasus baru tersebut menyebabkan kematian sebesar 26,3 pada pria dan 24,53 menyebabkan kematian pada wanita.
1
Di Asia, karsinoma kolorektal juga merupakan masalah yang penting. Insidensi di Jepang, yang dahulu rendah, sekarang meningkat hingga level pertengahan seperti di Inggris (Yee dkk., 2009). Di Indonesia, berdasarkan data dari Rumah Sakit Kanker Dharmais, pada tahun 2010, karsinoma kolorektal merupakan jenis kanker ketiga terbanyak dengan jumlah kasus 1,8/100.000 penduduk. Observasi dari bagian patologi Anatomi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa pada tahun 1986-1990 penderita kanker kolorektal berjumlah 275 orang, dan terus meningkat menjadi 368 orang pada tahun 1991-1995, sementara data pada tahun 1999-2003 mencapai 584 orang penderita. Hal ini membuktikan bahwa terjadi peningkatan kejadian karsinoma kolorektal di Indonesia. Kematian yang diakibatkan oleh kanker kolon ini sebagian besar karena terjadi metastasis. Salah satu agen kemoterapi yang telah digunakan secara komersial untuk pengobatan kanker kolon yaitu doxorubicin (Xu dkk., 2013). Doxorubicin menjadi first line drug untuk kemoterapi beberapa jenis kanker termasuk kanker kolon. Namun, efektivitas penggunaan agen kemoterapi doxorubicin ini menjadi terbatas karena adanya efek toksik terhadap sel normal (Fimognari dkk., 2006), kardiotoksisitas yang mengarah ke gagal jantung (Ferreira dkk., 2008; Tyagi dkk., 2004), dan kemoresistensi (Gangadharan dkk., 2009) sehingga pengobatan menjadi tidak efektif. Efek samping tersebut disebabkan karena akumulasi dosis yang diberikan, sehingga efektivitas doxorubicin terbatasi oleh dosis dan lama pemberian (Raffa dan Ronald, 2010). Oleh karena itu, pengurangan dosis penggunaan doxorubicin dimungkinkan dapat mengurangi toksisitas dan efek samping yang ditimbulkan. Hal ini menjadi tantangan besar bagi peneliti dalam
2
memperbaiki aplikasi penggunaan agen kemoterapi doxorubicin untuk terapi kanker kolon, sehingga efektivitas doxorubicin sebagai agen kemoterapi dapat ditingkatkan. Upaya peningkatan efikasi doxorubicin yaitu melalui pengkombinasian doxorubicin dengan agen lain yang memiliki aktivitas sitotoksik. Kombinasi kemoterapi (ko-kemoterapi) merupakan suatu strategi terapi kanker dengan cara mengkombinasikan beberapa agen kemoterapi yang diberikan secara bersamaan sebagai upaya untuk meningkatkan efektivitas dari masing-masing agen kemoterapi (Saunders, 2007). Senyawa alami maupun sintesis dapat digunakan sebagai agen ko-kemoterapi (Sharma dkk., 2004; Tyagi dkk., 2004). Kombinasi dengan senyawa fitokimia dapat dilakukan untuk meningkatkan sensitivitas agen kemoterapi terhadap sel target. Senyawa yang ideal digunakan sebagai agen ko-kemoterapi bersumber dari bahan alami yang berefek sinergis dengan agen kemoterapi, sehingga dosis agen kemoterapi dapat diturunkan (Zhao dkk., 2004). Akhir dekade ini penelitian tentang pengembangan terapi kanker semakin berkembang, dan pada penelitian ini dilakukan ko-kemoterapi antara doxorubicin dengan brazilein. Brazilein merupakan senyawa hasil isolasi dari kayu secang (Caesalpinian sappan L.) yang memiliki potensi besar sebagai agen ko-kemoterapi. Brazilein mempunyai aktivitas sitotoksik yang signifikan terhadap sel kanker payudara MCF-7dan MDA-MB-231, serta sel kanker hati HepG2 dan HepG3 (Gu dan Sun, 2014). Brazilein juga mampu menghambat pertumbuhan dan menginduksi apoptosis pada sel MCF-7 (Tao dkk., 2011), serta menghambat proliferasi dan menginduksi apoptosis pada sel kanker kulit A4431, BCC dan
3
SCC25 (Liang dkk., 2013). Laksmiani (2013) melaporkan bahwa brazilein memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel MCF-7 resisten doxorubicin dengan nilai IC50 sebesar 37 μM. Berdasarkan penelitian Tao dkk. (2011) didapatkan hasil bahwa brazilein juga memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel MCF-7 dengan nilai IC50 sebesar 7,15±0,43 μM, serta mampu menginduksi apoptosis dengan fenomena bergantung dosis setelah perlakuan selama 48 jam. Brazilein juga mampu memodulasi siklus sel yang menyebabkan sel arrest pada fase G1 (Tao dkk., 2013). Selain isolat brazilein, ekstrak dan fraksi etanolik secang juga memiliki aktivitas sitotoksik. Hasil penelitian Rivanti (2013) melaporkan bahwa ekstrak etanolik secang (EES) mampu menghambat pertumbuhan sel kanker kolon WiDr dengan nilai IC50 sebesar 32 μg/mL, sedangkan Novarina (2014) melaporkan bahwa fraksi etanolik secang (FES) memberikan penghambatan viabilitas sel dengan nilain IC50 sebesar 11 μg/mL. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dimungkinkan brazilein memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker kolon WiDr dan potensial untuk dikembangkan sebagai agen ko-kemoterapi pada terapi kanker kolon, sebagai upaya untuk menurunkan efek samping serta resistensi pada kanker kolon. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pontensi brazilein sebagai agen kombinasi terapi pada kanker kolon WiDr. Kombinasi antara brazilein dengan doxorubicin, diharapkan brazilein dapat dijadikan sebagai agen kokemoterapi doxorubicin untuk meningkatkan aktivitas sitotoksiknya melalui induksi apoptosis dan mampu menurunkan toksisitas serta resistensi yang ditimbulkan oleh doxorubicin terhadap penderita kanker kolon.
4
B. Perumusan Masalah 1.
Apakah kombinasi brazilein dengan doxorubicin dapat meningkatkan efek sitotoksik doxorubicin pada sel WiDr?
2.
Apakah kombinasi brazilein dengan doxorubicin dapat meningkatkan induksi apoptosis doxorubicin pada sel WiDr?
3.
Apakah kombinasi brazilein dengan doxorubicin dapat mempengaruhi modulasi siklus sel WiDr?
C. Keaslian Penelitian Penelitian potensi brazilein sebagai agen sitotoksik dan chemoprevention agent telah dilakukan secara in vitro pada beberapa jenis sel. Brazilein diketahui memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker nasofaring, paru-paru dan prostat (Yen dkk., 2010). Pada sel kanker hati HepG2 brazilein mampu menurunkan ekspresi mRNA survivin, diikuti aktivasi caspase, induksi apoptosis dan menghambat pertumbuhan (Tao dkk., 2011). Brazilein mampu menginduksi apoptosis pada sel MCF-7 melalui penghambatan ekspresi survivin dan memiliki aktivitas sitotoksik pada sel MCF-7 resisten doxorubicin (Laksmiani, 2013), serta memiliki aktivitas sitotoksik pada sel leukemia K562 normal dan resisten (Gu dan Sun, 2014). Brazilein juga mampu menghambat proliferasi dan induksi apoptosis pada sel kanker kulit (A4431, BCC dan SCC25) (Liang dkk., 2013) dan pada sel kanker serviks Hela
(Zou dkk., 2010). Penelitian mengenai uji stotoksik
kombinasi doxorubicin dengan senyawa lain terhadap sel kanker kolon WiDr telah dilakukan sebelumnya. Agen ko-kemoterapi lain yang telah dikombinasikan
5
dengan doxorubicin terhadap sel kanker kolon WiDr diantaranya adalah ekstrak etanolik kulit manggis (Gracinia mangostana L.) (Rohmah, 2013), K PGV-0 (Ismiyati, 2012), ekstrak etanol Gynura procumbens (Nurulita, 2009), ekstrak etanolik rumput mutiara (Hedyotis corymbosa L.) (Suparman, 2008) dan ekstrak etanolik biji buah pinang (Areca catechu L.) (Handayani, 2008). Pada penelitian ini akan dikaji potensi brazilein sebagai agen sitotoksik melalui induksi apoptosis dan modulasi siklus sel pada sel kanker WiDr. Penelitian yang dilakukan penulis merupakan penelitian yang berfokus pada pengamatan aktivitas sitotoksik brazilein ketika dikombinasikan dengan doxorubicin, dengan mengamati efek kombinasi tersebut pada induksi apoptosis dan modulasi siklus sel dibandingkan dengan perlakuan tunggalnya.
D. Urgensi Penelitian Prevalensi kanker kolon semakin meningkat dari tahun ke tahun. Menurut hasil survey American Cancer Society (2013) estimasi insiden kanker kolon sebanyak 102,480 kasus baru dan 50,830 diantaranya menyebabkan kematian. Penggunaan doxorubicin sebagai agen kemoterapi dalam jangka panjang dan dosis tinggi menyebabkan terjadinya resistensi kanker kolon, sehingga dalam penggunaanya sebagai agen kemoterapi perlu dibatasi. Sebagai upaya peningkatan efikasi doxorubicin pada sel kanker kolon perlu adanya pengembangan potensi senyawa
dari
bahan
alam
sebagai
agen
komplementer
kemoterapi
(ko-kemoterapi).
6
Penggunaan kayu secang (Caesalpinia sappan L.) sebagai obat tradisional di kalangan masyarakat sudah lama dimanfaatkan. Kayu secang ini mengandung senyawa aktif brazilein yang bersifat sitotoksik pada sel kanker. Brazilein sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai komplementer terapi kanker guna menekan efek samping agen kemoterapi yang merugikan serta menekan resistensi sel kanker sehingga metastasis sel dapat dihambat.
E. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mendapatkan bukti ilmiah potensi brazileinsebagai agen ko-kemoterapi doxorubicin sehingga dapat dijadikan sebagai dasaruntuk penelitian lanjutan. 2. Tujuan khusus Penelitian ini bertujuan untuk: 1. mengkaji efek sitotoksik kombinasi brazileindengan doxorubicin pada sel WiDr 2. mengkaji efek induksi apoptosis kombinasi brazileindengan doxorubicin pada sel WiDr 3. mengkaji pengaruh kombinasi brazileindengan doxorubicin terhadap modulasi siklus sel WiDr
7