BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan sosial yang masih belum bisa teratasi dan selalu menimbulkan efek domino terhadap seseorang. Pada umumnya masyarakat yang masih terbelakang, berpenghasilan rendah, dan jika diukur dengan kebutuhan hidup minimum masih dibawah standar itulah yang kebanyakan orang mendefinisikannya sebagai masyarakat miskin (Sumodiningrat 1999, h.13). Kebanyakan negara berkembang yang masih memiliki masyarakat yang demikian maka dengan sadarnya pemerintah akan melakukan tindakan yang kemudian dicerminkan dalam sebuah kebijakan. Misalkan di Indonesia, banyak kebijakan yang sifatnya untuk pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat, contohnya BLT (Bantuan Langsung Tunai), P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan); PNPM Mandiri; dan Inpres Desa Tertinggal. Terlebih lagi pada saat terjadi pengurangan subsidi BBM secara otomatis yang menimbulkan dampak kenaikan berbagai harga komoditas pokok di dalam masyarakat. Dan hal ini menyebabkan terjadinya penurunan daya beli masyarakat. Masyarakat miskin yang sebelumnya sudah sulit untuk memenuhi kebutuhan pokoknya ditambah dengan pencabutan subsidi BBM menyebabkan masyarakat miskin tersebut tidak kuasa lagi untuk mencukupi kebutuhannya. Beban yang mereka tanggung menjadi semakin berlipat-lipat akibat pencabutan subsidi BBM tersebut. Masyarakat miskin menjadi semakin terjepit, dan masyarakat menengah menjadi ikut miskin. Salah satu kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi tanggung jawab pemerintah yang harus dipenuhi adalah pendidikan dan kesehatan. Pemerintah harus menjamin bahwa semua warga negaranya berhak mengenyam kebutuhan tersebut
1
seperti yang tercantum dalam mandat UUD 1945. Untuk itu pemerintah mencanangkan berbagai kebijakan agar masyarakat miskin tetap bisa mengakses kebutuhan pendidikan dan kesehatan tersebut. Dan tindakan ini dilakukan pemerintah juga untuk melindungi masyarakat miskin yang notabene sama sekali tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi dirinya dan keluarganya. Melihat kemiskinan yang telah terjadi di Indonesia sejak lama pemerintah selaku policy maker tentu menggunakan kewajibannya untuk membuat sebuah kebijakan guna mengentaskan kemiskinan. Kita ambil contoh saja di daerah Gunung Kidul. Pada tahun 2013 sendiri pemerintah menganggarkan Rp 46 Miliar untuk program kemiskinan. 1 Dan anggaran tersebut digunakan untuk memberikan bantuan dana guna meringankan beban pengeluaran masyarakat. Angka yang cukup banyak jika digunakan untuk pengeluaran sekaligus terhadap beberapa rumah tangga miskin. Tentu saja orientasi keluarga tersebut secara logika pasti akan menggunakan dana tersebut untuk kebutuhan sehari-hari dibanding untuk memutarnya kembali agar bisa berkembang atau sekedar untuk tabungan masa depan seperti halnya investasi dalam pendidikan anak-anaknya. Sejatinya kebijakan pemerintah untuk memberikan sejumlah bantuan kepada masyarakat miskin merupakan kebijakan yang cukup membantu masyarakat tersebut mengurangi beban pengeluaran. Namun masyarakat Indonesia yang terbilang memiliki permasalahan yang kompleks tidak bisa memanfaatkan bantuan yang diberikan dari pemerintah. Masyarakat miskin yang sangat membutuhkan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari tentu akan lebih memilih untuk menghabiskan dana tersebut guna membeli kebutuhan akan pangan ketimbang untuk investasi masa depan atau untuk keperluan sekolah anak-anaknya. Dengan demikian dana yang diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah sama sekali belum mampu untuk membantu masyarakat keluar dari kemiskinan. 1
http://jogja.tribunnews.com/2013/03/28/pemda-diy-alokasikan-rp-46-miliar-genjot-penurunankemiskinan/, diunduh pada tanggal 2 April 2013
2
Program pemerintah yang memberikan bantuan dana tanpa adanya pemilihan target salah satunya adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT). BLT merupakan bantuan sosial yang memberikan sejumlah dana kepada masyarakat miskin tanpa syarat, dan program ini telah lama dijalankan di Indonesia, bantuan tersebut hanya membuat ketidakefektifan untuk masyarakat karena penggunaan dana tersebut yang kurang tepat. Misalkan saja rumah tangga miskin yang telah mengantri berjam-jam untuk mendapatkan bantuan dana tersebut justru menggunakannya untuk konsumsi rokok dan bukan untuk kebutuhan primer lainnya. Dari sini bisa disimpulkan bahwa kebijakan penanggulangan kemiskinan masih banyak yang kurang efektif terutama dalam implementasinya. BLT juga dinilai kurang tepat sasaran dalam pemberian bantuan, masyarakat yang dirasa mampu atau masyarakat menengah pun turut mendapatkan bantuan karena tidak ada ketentuan khusus yang diajukan oleh BLT dalam mendapat bantuannya. Pemerintah yang menanggapi ketidakefektifan bantuan tersebut kembali membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomer 15 tahun 2010 tentang percepatan penanggulangan kemiskinan. TNP2K ini merupakan lembaga yang dibentuk sebagai wadah koordinasi lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan di tingkat pusat untuk melakukan percepatan penanggulangan kemiskinan. 2 TNP2K inilah yang nantinya akan menyusun program dan kebijakan sebagai penanggulangan kemiskinan yang akan lebih ditajamkan kembali terkait sasaran program dan kebijakan nantinya. TNP2K menjelaskan bahwa pemerintah saat ini memiliki program penanggulangan kemiskinan yang terintegrasi mulai dari program penanggulangan kemiskinan berbasis bantuan sosial, program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat serta program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan usaha kecil. Pengelompokan tersebut lebih dikenal dengan pembagian kelompok menjadi 3 kluster. 2
http://www.tnp2k.go.id/id/mengenai-tnp2k/tentang-tnp2k/ diunduh pada tanggal 1 Juli 2014
3
Program penanggulangan kemiskinan dengan basis bantuan sosial yang merupakan baru di Indonesia adalah program pemberian bantuan dana bersyarat atau lebih dikenal dengan Conditional Cash Transfer (CCT), program tersebut merupakan kebijakan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin yang sama sekali tidak mampu untuk mendapatkan kebutuhan dasar akan pendidikan dan kesehatan dengan fokus target adalah keluarga sangat miskin. Program pemberian bantuan ini masuk ke dalam kluster 1, dimana program bantuan sosial dan perlindungan sosial ditujukan untuk pemenuhan hak dasar seperti pendidikan dan kesehatan. 3 Kebijakan penangulangan kemiskinan dengan basis pemberian bantuan sosial yang ada setelah BLT adalah Program Keluarga Harapan (PKH) yang memberikan bantuan dana bersyarat. PKH merupakan CCT yang masuk kedalam kluster 1 yang berdampingan dengan program Jamkesmas, Raskin, dan juga BSM (Bantuan Siswa Miskin). 4 Secara konsep, Departemen Sosial menjelaskan bahwa Program Keluarga Harapan (PKH) adalah program yang memberikan bantuan tunai bersyarat kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang telah ditetapkan sebagai peserta PKH. Agar memperoleh bantuan, peserta PKH diwajibkan memenuhi persyaratan dan komitmen yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), yaitu pendidikan dan kesehatan. 5 Peningkatan bidang pendidikan mewajibkan RTSM harus menyekolahkan anaknya yang masih mempunyai usia sekolah minimal sampai tingkat sekolah menengah. Sedangkan untuk bidang kesehatan, bagi RTSM yang mempunyai ibu hamil harus memeriksakan kandungannya secara rutin ke puskesmas. PKH juga memberikan skema bantuan untuk setiap rumah tangga secara detail, setiap keluarga mendapatkan bantuan berbeda-beda sesuai kriterianya. Tidak 3
http://www.tnp2k.go.id/id/program/program/ diunduh pada tanggal 1 Juli 2014 http://www.tnp2k.go.id/id/program/program/ diunduh pada tanggal 1 Juli 2014 5 http://pkh.depsos.go.id/index.php/2012-09-13-09-47-44/apa-itu-pkh, diunduh pada tanggal 30 Maret 4
2013
4
seperti BLT yang memukul rata bantuan kepada seluruh keluarga miskin yaitu sebesar kurang lebih Rp. 150.000 per kepala keluarga, namun untuk PKH ini antara keluarga yang mempunyai satu anak usia sekolah dengan keluarga yang mempunyai beberapa anak sekolah ataupun keluarga yang mendapati ibu hamil akan mendapatkan nominal bantuan yang berbeda. Misalkan saja keluarga yang mempunyai dua anak yang duduk di bangku Sekolah Dasar dan terdapat ibu hamil akan mendapatkan bantuan sejumlah Rp. 1.000.000 per kepala keluarga per tahunnya. Sedangkan untuk keluarga yang hanya mempunyai anak usia Sekolah Dasar akan mendapatkan bantuan sebesar Rp. 600.000 per kepala keluarga per tahun. Terkait dengan sumber pendanaan PKH, dinas sosial menginfokan bahwa sumber dana PKH berasal dari APBN dan APBD, namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa negara juga meninjam uang dari luar negeri. Menurut pengamat ekonomi, tercatat bahwa anggaran untuk kebijakan PKH berasal dari hutang luar negeri yang bunganya akan dibayarkan lebih besar. 6 Total anggaran PKH pada tahun 2009 dan 2010 saja mencapai Rp. 1,1 Triliun, sedangkan untuk tahun 2011 naik hingga Rp. 1,3 Triliun, dan bertambah lagi pada tahun 2012 yang mencapai Rp. 1,6 Triliun. Hal ini tentu saja akan semakin membebankan anggaran negara hanya untuk sejumlah bantuan dana langsung kepada masyarakat, disamping juga pelaksanaan program tersebut yang kurang efektif. Terkait dengan kemiskinan Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menurut BPS DIY tingkat kemiskinan pada tahun 2011 di kota mencapai 13,16% sedangkan di desa mencapai 16,08%. 7 Meskipun pada tahun 2012 tingkat kemiskinan penduduk DIY menurun hingga 15,88%. Ditambah kondisi Yogyakarta yang masih terbilang banyak daerah-daerah yang belum terjamah kegiatan perekonomian seperti Gunung Kidul. Daerah Gunung Kidul merupakan daerah pegunungan yang setiap tahunnya 6
http://www.beritasatu.com/makro/28615-program-keluarga-harapan-didanai-utang-luar-negeri.html, diunduh pada tanggal 1 April 2013 7
Wawancara penulis dengan Sunarto, staff BPS Gunung Kidul, di Yogyakarta, 21 Februari 2014
5
mengalami kekeringan dan memiliki kondisi lingkungan yang minim sumber daya alam. Karena di Gunung Kidul termasuk pegunungan kapur yang cukup sulit untuk menjadi lahan pertanian musiman yang bisa dijadikan sebagai mata pencaharian tetap masyarakat setempat. Di Kabupaten Gunung Kidul yang merupakan salah satu kabupaten di DIY dan yang akan menjadi lokus penelitian evaluasi PKH ini mempunyai jumlah penduduk miskin yang mencapai 23,03% dari jumlah penduduk per pertengahan tahun 2011 mencapai 678.043 jiwa. Kabupaten ini terbilang mempunyai masyarakat miskin yang cukup banyak, dilihat dari banyaknya buruh yang terdapat dikota-kota besar yang berarti mereka belum mampu mencari pekerjaan di daerah asalnya. Dan juga keadaan geografis daerahnya yang kurang memadai untuk mendapatkan mata pencaharian yang beragam, karena setiap tahun daerah tersebut mengalami kekeringan sehingga sektor pertanian di Gunung Kidul masih belum maksimal. Hal tersebut membuat masyarakatnya harus mencari pekerjaan sambilan selain bergantung pada alam disekitar, dan salah satu yang menjadi andalan adalah pekerjaan sebagai nelayan. Sementara itu keadaan penduduk desa Tepus mayoritas tamatan SD dan SMP, hanya sedikit sekali penduduk yang dapat mengenyam bangku pendidikan SMA, terlebih lagi perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan memang keadaan yang memaksa anak-anak di Desa Tepus tidak mampu menikmati bangku sekolah layaknya penduduk di daerah lain. Penduduk lebih mengutamakan permasalahan keberlanjutan hidup sehari-hari daripada untuk membiayai anak sekolah karena pada kenyataanya untuk kebutuhan hidup sehari-haripun mereka merasa banyak kesulitan. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab kemiskinan yang terjadi di Desa Tepus, seakan sudah mengakar dan sulit untuk dihilangkan. Untuk mengetahui seberapa jauh kebijakan PKH tersebut sudah mampu melindungi kehidupan sosial rumah tangga miskin, penulisan ini akan secara jelas menjelaskan bagaimana implementasi kebijakan tersebut berjalan dengan lokus 6
penelitian di Desa Tepus Kabupaten Gunung Kidul. Untuk melihat implementasi ini penulis menggunakan instrumen kebijakan sebagai pisau ukur untuk mengetahui seberapa jauh PKH telah diterapkan. Lokasi Gunung Kidul dipilih karena dengan pertimbangan bahwa Gunung Kidul merupakan daerah yang banyak penduduk miskin. Kemudian yang menjadi pertanyaan besar disini adalah seberapa jauh kah pemberian kebijakan Program Keluarga Harapan (PKH) dalam memberdayakan masyarakat miskin? Untuk membungkus seberapa jauh kah implementasi kebijakan tersebut, maka perlu adanya evaluasi terhadap implementasi kebijakan PKH. Misalkan saja salah satu dari variable dalam sebuah evaluasi kebijakan adalah sejauh mana sebuah program tersebut mencapai target populasi yang tepat. Program Keluarga Harapan menjadi target evaluasi karena program tersebut sangat berkaitan dengan penyelesaian masalah kemiskinan sehingga akan dilihat apakah kebijakan tersebut sudah sesuai yang diharapkan atau justru tidak terutama pada implementasinya di Kabupaten Gunung Kidul. Kabupaten tersebut menarik untuk diamati lebih jauh karena kemiskinan yang bisa dibilang menjadi sebuah warisan yang diturunkan sehingga banyak kebijakan yang sifatnya memberikan bantuan dana menjadi tidak efektif. Masyarakat miskin masih belum sepenuhnya sadar bahwa mereka sedang dibantu untuk dapat mengakses kebutuhan dasar akan pendidikan dan kesehatan. Kesempatan yang diberikan belum sepenuhnya digunakan dengan baik, banyak diantara RTSM yang hanya menyekolahkan anaknya pada saat akan mendekati pencairan dana. Desa Tepus juga menarik untuk diteliti karena di Desa Tepus masih banyak rumah tangga yang membutuhkan perlindungan sosial agar bisa sekiranya mampu menjangkau hak-hak dasarnya yang selama ini masih sulit untuk mereka dapatkan. Kondisi masyarakat Tepus yang masih banyak belum mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar menjadi alasan mengapa PKH perlu diimplementasikan disini. Selain itu angka putus sekolah
7
karena keterbatasan biaya juga masih banyak ditemukan di sejumlah RTSM Desa Tepus. Kebiasaan masyarakat di sana juga menjadi penyebab kemiskinan tersebut diturunkan ke anak cucunya. Misalkan saja, jika kepala keluarga mendapatkan bantuan berupa dana lewat PKH tersebut untuk meringankan pengeluaran mereka dengan harapan anaknya bisa melanjutkan sekolah dan tidak bekerja, namun justru dana tersebut digunakan untuk kepentingan lain misalkan saja untuk cicilan kendaraan bermotor. Namun pemerintah setempat yang mengetahui hal demikian justru membiarkan saja, dan belum ada pendampingan yang maksimal dalam pelaksanaannya. Keberadaan pekerja anak pun masih banyak, dari awal diimplementasikan kebijakan PKH di Desa Tepus masih belum banyak penurunan soal jumlah pekerja anak. Bantuan yang diberikan belum mampu mencukupi insentif anak untuk kembali ke sekolah, sehingga banyak dari mereka lebih memilih untuk bekerja dibanding sekolah. Meskipun anak tersebut bersedia untuk bersekolah, namun tingkat kehadiran dan prestasinya tidaklah naik. Tingkat kehadiran yang menurun ini disebabkan karena anak-anak lebih mengutamakan pekerjaan mereka membantu orang tua berdagang di pantai. Mereka lebih memilih untuk berdagang karena dengan berdagang sehari mereka mampu mendapatkan uang, dibanding dengan harus menunggu pencairan dana yang tiga bulan sekali. Guna mendukung pencarian informasi apakah kebijakan PKH tersebut efektif ataukah belum, maka penelitian ini akan lebih mengarah pada evaluasi terhadap berjalannya implementasi kebijakan PKH. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pisau analisis yang akan digunakan nantinya ialah dengan menggunakan kerangka teori dari instrument kebijakan yang ditawarkan oleh Chritopher Hood, yaitu berupa nodality, authority, treasure, dan organization, atau banyak ilmuwan yang menyingkatnya menjadi ‘NATO’.
8
Untuk mendukung dalam pencarian data lebih lanjut, penelitian ini akan didukung menggunakan metode penelitian studi kasus. Studi kasus dianggap dapat merepresentasikan fenomena-fenomena yang ditemui secara mendetail sehingga peneliti dapat mengeksplor hal-hal dasar pendukungnya. Dalam proses pengumpulan data, metode studi kasus ini akan didukung dengan observasi langsung, wawancara lebih mendalam, dan tentunya studi literasi dari pemberitaan-pemberitaan yang ada. Karena studi kasus memerlukan penggalian data lebih dalam maka metode-metode seperti observasi langsung dan wawancara memang sangat dibutuhkan. B. Rumusan Masalah Program Keluarga harapan (PKH) mempunyai tujuan untuk meringankan beban pengeluaran keluarga miskin dan juga untuk meningkatkan kemampuan keluarga miskin dalam mengakses pelayanan kesehatan dan pendidikan. Namun program tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan betul oleh RTSM untuk mengakses layanan pendidikan dan kesehatan. Dari permasalahan yang telah diuraikan diatas maka penelitian studi kasus ini menarik sebuah rumusan masalah yaitu SEBERAPA JAUH PELAKSANAAN KEBIJAKAN PKH (PROGRAM KELUARGA
HARAPAN)
DI
TEPUS
DALAM
MEMBERIKAN
PERLINDUNGAN SOSIAL BAGI RTSM? C. Tujuan Penelitian Tujuan dilaksanakannya penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut: 1. Untuk melihat bagaimana proses implementasi kebijakan PKH di Kabupaten Gunung Kidul 2. Untuk mengetahui sebab atau faktor dari kebijakan PKH yang tidak bisa mengurangi tingkat kemiskinan di Kabupaten Gunung Kidul, Khususnya kecamatan Tepus. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat :
9
1. Dari segi akademis, penelitian ini diharapkan memberi kontribusi bagi pemahaman dan pengembangan pada bidang ilmu politik, khususnya pada studi evaluasi terhadap implementasi kebijakan 2. Dari segi praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi pemerintah dan stakeholders agar kedepannya mampu memperbaiki apa yang menjadi kendala pada suatu kebijakan baik dalam perencanaan, pelaksanaan atau implementasi, maupun monitoring program sehingga bisa didapat kebijakan yang lebih tepat dan mencapai tujuan kebijakan itu sendiri. Sehingga bisa menjadi acuan apakah PKH akan dilanjutkan atau digantikan.
E. Kerangka Teori Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang berusaha untuk membantu mengurangi tingkat pengeluaran keluarga miskin dan sebagai imbalannya keluarga miskin diminta untuk melaksanakan syarat yang sudah ditetapkan guna meningkat kualitas SDM masing-masing keluarga. Kebijakan ini menjadi salah satu langkah dari pemerintah sebagai jalan lain untuk menggantikan subsidi BBM yang mulai dikurangi. Kementerian Sosial merancang program ini dengan baik, mulai dari tujuan, sasaran, hingga pendampingan yang harus dilakukan. Namun di beberapa daerah program ini masih belum efektif, sehingga disini bisa dipertanyakan bagaimana tingkat ketidakefektifan implementasi kebijakan tersebut. Untuk itu perlu adanya evaluasi terhadap implementasi kebijakan tersebut guna mengetahui disfungsi unit-unit administratif yang melaksanakan implementasi kebijakan ataukah terdapat kesalahan dalam memobilisasi sumberdaya yang ada.
10
1. Conditional Cash Transfer Perkembangan penanggulangan kemiskinan semenjak krisis ekonomi 1998 yang dialami oleh bangsa Indonesia semakin menunjukan keseriusan. Setelah program BLT yang belum cukup mampu untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia, pemerintah kembali meluncurkan kebijakan PKH yang salah satu program Conditional Cash Transfer (CCT) atau bantuan tunai bersyarat. Dalam penelitian World Bank terkait CCT, mereka mendefinisikan bahwa CCT adalah: Bantuan tunai bersyarat (CCT) adalah program yang mentransfer uang, biasanya untuk rumah tangga miskin, dengan syarat bahwa rumah tangga melakukan investasi yang sudah ditentukan dalam modal manusia anak-anak mereka. (Schady & Fizsbein 2009: 1) CCT dibanggakan di beberapa Negara yang masih memiliki penduduk miskin dengan kesenjangan jauh seperti yang terjadi di Amerika Latin. Seperti yang telah diterapkan oleh Brazil, Nikaragua, Columbia dan lain sebagainya. Negara tersebut mengawali penerapan CCT dan terbukti mampu mengurangi kemiskinan karena persyaratan yang diberikan oleh CCT. Dalam laporan terkait perkembangan CCT di Nikaragua, kemiskinan mampu turun 5-9 poin pada tahun 2002 (Schady & Fizsbein 2009: 15). Hal tersebut dikarenakan CCT tidak hanya memberikan bantuan secara mentah namun penerima manfaat juga mempunyai kewajiban untuk merubah kualitas diri mereka, sehingga bantuan mampu digunakan dengan baik. Program CCT ini merupakan program perlindungan sosial yang ditujukan untuk masyarakat miskin dan yang ada pada garis batas kemiskinan berdasarkan BPS. Perlindungan sosial ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia terutama kelompok masyarakat miskin. Pemerintah setempat mentransfer dana kepada masyarakat miskin yang memenuhi kriteria yang diantaranya adalah mendaftarkan anak ke sekolah, memeriksakan rutin anaknya ke pelayan kesehatan, diberikan vaksin dan lain sebagainya.
11
Pada umumnya CCT mampu untuk meningkatkan tingkat konsumsi masyarakat miskin, sehingga dengan CCT setidaknya mampu menghasilkan pengurangan yang cukup besar dalam kemiskinan (Fiszbein 2009 : xii). CCT juga mampu untuk meningkatkan peran wanita karena penerima dana pada Program Keluarga Harapan adalah wanita. Dengan adanya program ini wanita mampu untuk terlibat dalam kegiatan sosial sehingga peran wanita semakin meningkat dari yang sebelumnya hanyalah ibu rumah tangga yang mengurusi dapur dan anaknya. 2. Kebijakan Publik Pada dasarnya kebijakan merupakan sebuah instrumen untuk mengontrol tingkah laku warga negara dan juga pasti mempunyai dampak terhadap masyarakat luas. Di era globalisasi sekarang ini pergeseran paradigma kajian pemerintahandari government ke governance menjadikan proses kebijakan publik juga tidak sekedar proses perumusan yang terjadi di institusi pemerintah, namun juga concern pada output dan outcome yang nantinya akan dihasilkan. Sehingga masyarakat juga bisa ikut andil dalam pengawasan kebijakan. Proses input sumberdaya kebijakan hingga menghasilkan sebuah outcome itulah yang akan menghasilkan sebuah kefektifitasan sebuah kebijakan. Sehingga tepat untuk menganalisa evaluasi sebuah implementasi kebijakan dengan melihat output dan outcome kebijakan. Kebijakan publik adalah penyaringan dan pemilihan yang telah terumuskan dari tuntutan masyarakat yang dipenuhi atau tidak dipenuhi karena keterbatasan sumberdaya yang tersedia (Sitompul 2006:47).Didalam kebijakan tersebut terdapat aspek politik karena terdapat penyaringan dan pemilihan kepentingan dan akan memperjuangkannya menjadi sebuah kebijakan. Tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan menurut Dunn adalah sebagai berikut (Nugroho 2007: 7):
12
1. Fase penyusunan agenda; disini para pejabat yang dipilih menentukan masalah dalam agenda publik 2. Formulasi kebijakan; masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan untuk perumusan alternatif atau pilihan kebijakan. 3. Fase Adopsi Kebijakan; disini alternatif atau pilihan kebijakan dipilih dandidopsi dengan dukungan suatu masyarakat. 4. Implementasi Kebijakan; kebijakan yang telah diambil kemudian dilaksanakan oleh unit-unit administrative dengan memobilisir sumber daya yang dimiliki. 5. Penilaian Kebijakan; disini unit-unit pemeriksaan menilai apakah pembuat kebijakan telah memenuhi syarat dari pembuat dan pelaksana kebijakan. Hasil kebijakan atau dalam hal ini adalah implementasi kebijakan menurut William N. Dunn dibedakan antara keluaran (outputs) yaitu produk layanan yang diterima kelompok sasaran kebijakan dan impak (impacts), yaitu perubahan perilaku yang nyata pada kelompok sasaran kebijakan (Nugroho 2007: 26). Dalam penelitian ini focus yang akan diambil adalah pada keluaran atau output, karena ukuran dari efektivitas sebuah kebijakan adalah berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil yang diharapkan (Nugroho 2007: 24). Riset evaluasi membahas dua dimensi: yang pertama adalah bagaimana sebuah kebijakan bisa diukur berdasarkan tujuan yang ditetapkan, dan yang kedua adalah dampak aktual dari kebijakan (Parsons 2008: 548). Jika analisis evaluasi implementasi yang diutamakan maka dimensi yang terkait adalah bagaimana sebuah kebijakan bisa diukur dari tujuan kebijakan, karena ini merupakan sebuah pengukuran kinerja kebijakan antara tujuan dengan hasil yang dicapai. Sedangkan pendekatan untuk analisis evaluasi sendiri masih menurut Parsons, antara lain: 1. Teknik yang mengukur hubungan antara biaya dan manfaat dengan utilitas
13
2. Teknik yang mengukur kinerja 3. Teknik yang menggunakan eksperimen untuk mengevaluasi kebijakan dan program.
3. Karakteristik Evaluasi Dalam sebuah kebijakan, tindakan yang dilakukan pemerintah dirancang sedemikian rupa sehingga tujuan kebijakan diharapkan akan bisa mencapai tujuan dari kebijakan. Namun seandainya kebijakan tersebut gagal, maka pemerintah perlu mengetahui letak kegagalan tersebut agar hal yang sama tidak terulang di masa mendatang. Dan untuk itulah evaluasi diperlukan dalam sebuah proses kebijakan publik. Evaluasi kebijakan sekiranya bermaksud untuk mengetahui 4 aspek (Wibawa 1994: 9), yaitu: (1) proses pembuatan kebijakan, (2) proses implementasi, (3) konsekuensi kebijakan, dan (4) efektivitas dampak kebijakan. Dalam evaluasi kebijakan PKH ini, fokus akan ditujukan pada aspek kedua, atau disebut juga dengan evaluasi implementasi. Sebelum mengetahui lebih lanjut terkait evaluasi pada proses implementasi kebijakan, alangkah baiknya untuk mengetahui arti dari proses evaluasi itu sendiri. Menurut Darwin, (1994: 34 dalam Nurharjadmo 2008: 217) evaluasi kebijakan pada dasarnya adalah suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan membuahkan hasil yaitu dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan atau target kebijakan yang ditentukan. Tujuan dan target kebijakan ini dilihat dari seberapa jauh proses implementasi menghasilkan output di masyarakat. Evaluasi kebijakan digunakan untuk mengetahui masa depan keberlanjutan dari kebijakan tersebut,dan bertujuan untuk memperbaiki kebijakan. Oleh karena kebijakan PKH ini dirasa kurang efektif maka evaluasi diperlukan karena untuk digunakan kedepannya agar kebijakan pemerintah bisa benar-benar tepat sasaran dan tepat penggunaannya dan tepat sasaran. Evaluasi kebijakan sendiri menurut Thomas Dye (1987:351) adalah:
14
Evaluasi kebijakan adalah pemeriksaan yang obyektif, sistematis, dan empiris terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari segi tujuan yang ingin dicapai. (Parsons 2008: 547)
Evaluasi kebijakan ini lebih difokuskan pada evaluasi sebuah implementasi kebijakan atau dalam konsep Palumbo disebut sebagai evaluasi formatif, Palumbo, 1937: 40 menerangkan bahwa evaluasi kebijakan yang sedang diimplementasikan merupakan analisis tentang seberapa jauh sebuah program diimplementasikan dan apa yang bisa meningkatkan keberhasilan implementasi (Parsons 2008: 549). Jika dihubungkan dengan evaluasi implementasi kebijakan PKH ini maka nanti akan diperoleh seberapa jauh program tersebut telah diimplementasikan dan apa saja yang membuat program tersebut menjadi kurang efektif terutama didaerah Gunung Kidul. Sementara agar dapat mendeskripsikan evaluasi kebijakan PKH maka penulis memilih satu model evaluasi. Model evaluasi yang digunakan adalah model evaluasi formatif, menurut Rossi dan Freeman model evaluasi formatif mendeskripsikan tiga persoalan, yaitu: (1) sejauh mana sebuah program mencapai target populasi yang tepat; (2) apakah penyampaian pelayanannya konsisten dengan spesifikasi desain program atau tidak; (3) dan sumberdaya apa yang dikeluarkan dalam melaksanakan program (Parsons 2008: 550). Dalam kebijakan PKH populasi yang dicapai dirasa sudah tepat karena banyak dari keluarga miskin yang mendapatkan bantuan dana dari pemerintah. Tidak jauh beda dengan Rossi dan Freeman. Ernest R. House (1980) dalam Nugroho (2006) juga mempunyai model evaluasi tersendiri yang mempunyai lebih banyak poin di dalamnya. Ernest R. House menyebutkan bahwa terdapat beberapa model dalam evaluasi, yaitu: 1. Model sistem, dengan indikator utama adalah efisiensi,
15
2. Model perilaku, dengan indikator utama adalah produktivitas dan akuntabilitas, 3. Model formulasi keputusan, dengan indikator utama adalah kefektifan dan keterjagaan kualitas, 4. Model tujuan-bebas (goal free), dengan indikator utama adalah pilihan pengguna dan manfaat sosial, 5. Model kekritisan seni (art critism), dengan indikator utama adalah standar yang semakin baik dan kesadaran yang semakin meningkat, 6. Model review professional, dengan indikator utama adalah penerimaan professional, 7. Model kuasi-legal (quasi-legal), dengan indikator utama adalah resolusi, dan 8. Model studi kasus, dengan indikator utama adalah pemahaman atas diversitas.
4. Implementasi Suatu kebijakan publik yang telah disepakati dan disahkan tidak akan bermanfaat jika pelaksanaan implementasi kebijakan tersebut kurang maksimal. Karena pembuatan kebijakan tidak berakhir setelah kebijakan ditentukan atau disetujui. Kebijakan dibuat saat ia sedang diatur dan diatur saat sedang dibuat (Anderson, 1975: 98) dalam (Pasons 2008: 464). Oleh karena itu Parsons juga menjelaskan bahwa implementasi merupakan pelaksanaan pembuatan kebijakan dengan cara-cara lain. Dalam pandangan umum masyarakat mengetahui bahwa implementasi kebijakan adalah suatu proses dimana rancangan kebijakan mulai dilaksanakan dan memastikan tujuan kebijakan tersebut tecapai. Seperti yang dinyatakan oleh Presman dan Wildavsky, bahwa implementasi adalah proses interaksi antara penentuan tujuan dan tindakan untuk mencapai tujuan kebijakan ( Parsons 2008: 466). Dalam
16
pandangan Parsons, implementasi pada dasarnya adalah untuk membangun hubungan sebab-akibat agar kebijakan tersebut mempunyai dampak. Oleh karena itu tidak berlebihan jika dikatakan implementasi merupakan aspek yang paling penting dari seluruh proses kebijakan. Karena suatu kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan (Winarno 2002: 34). Implementasi sendiri memiliki tujuan secara umum, menurut Grindle , tugas implementasi adalah untuk membangun link yang memungkinkan tujuan kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah (Grindle 1980: 6). Hasil dari kegiatan pemerintah tersebut yang kemudian kita sebut dengan sebuah program yang akan dilaksanakan oleh birokrat yang berada di lapangan (street level bureaucracy) yang kemudian diarahkan kepada kelompok sasaran. Oleh karena itu, berhasil atau tidaknya implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, berikut ini merupakan kutipan beberapa pendapat terkait faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan. Grindle mengarahkan bahwa keberhasilan sebuah kebijakan ditentukan oleh dua faktor yaitu content atau isi kebijakan dan konteks implementasi. Seperti yang ditunjukan gambar dibawah ini:
17
Gambar 1.1. Model Implementasi Kebijakan Menurut Grindle Tujuan kebijakan
Tujuan yang ingin dicapai
Melaksanakan kegiatan Dipengaruhi oleh (a) Isi kebijakan: 1. Kepentingan yang dipengaruhi 2. Tipe manfaat 3. Derajat perubahan yang diharapkan 4. Letak pengambilan keputusan 5. Pelaksana program 6. Sumber daya yang dilibatkan (b) Konteks kebijakan: 1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat 2. Karakteristik lembaga dan penguasa 3. Kepatuhan dan daya tanggap
Hasil Kebijakan a. Dampak masyarakat, individu, kelompok b. Perubahan penerimaan masyarakat
pada dan dan oleh
Program aksi dan proyek individu yang didesain daan dibiayai
Program yang dijalankan seperti direncanakan?
Mengukur keberhasilan
Sumber: Samodra Wibawa, 1994: 23
Dalam (Nugroho 2006: 134) Grindle menjabarkan content atau isi kebijakan dipengaruhi oleh faktor kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan yaitu: 1. Kepentingan yang dipengaruhi oleh substansi kebijakan.
Hal ini berarti bahwa dalam setiap perumusan kebijakan tentu akan mengundang kepentingan aktor-aktor tertentu, sehingga jika kebijakan 18
tersebut berimplikasi negatif maka implementasi kebijakan akan terancam gagal. 2. Jenis manfaat / tipe manfaat yang akan dihasilkan.
Tipe manfaat dari kebijakan yang diterima juga berpengaruh pada keberasilan proses implementasi dan pencapaian dampak kebijakan yang diinginkan. 3. Derajat perubahan yang diinginkan.
Dalam hal ini implementasi kebijakan haruslah selalu memperhatikan tingkat perubahan yang mendasar, karena pemerintah harus meminimalisir perubahan yang mendasar tersebut. 4. Kedudukan / letak pembuat kebijakan
Hal ini berarti bahwa setiap keputusan akan mempertimbangkan dimana keputusan tersebut akan diambil. 5. (Siapa) pelaksana program
Artinya bahwa keputusan yang akan dibuat dalam tahapan implementasi kebijakan akan mementingkan juga siapa yang akan ditugaskan untuk melaksanakan berbagai macam program rancangan 6. Dan sumber daya yang dilibatkan.
Artinya bahwa setiap keputusan yang diambil akan berakibat pada pemenuhan sumberdaya yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan program yang telah ditetapkan. Sedangkan untuk konteks implementasi terdapat beberapa faktor yaitu: 1. Kekuasaan; kepentingan; dan strategi aktor yang terlibat
Proses implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh aktor-aktor tertentu yang terlibat dalam perumusan kebijakan dan juga pada saat implementasi tersebut berlangsung. 2. Karakteristik lembaga dan penguasa.
Kunci dari keberhasilan implementasi adalah pada penyusunan strategi yang tepat, dan untuk menyususn strategi yang tepat maka diperlukan pengorganisasian lembaga yang massive pula. 19
3. Kepatuhan dan daya tanggap.
Selain strategi yang tepat, kepatuhan pelaksana kebijakan juga sangat penting, karena jika strategi yang telah disusun tidak dilaksanakan oleh pelaksana kebijakan maka akan menjadi tidak berguna. Tidak jauh dengan Grindle, teori implementasi yang ditawarkan oleh ilmuwan Van Meter dan Van Horn juga menyatakan terdapat beberapa variable yang mempengaruhi implementasi kebijakan diantaranya adalah (Nugroho 2006: 128): 1. Aktivitas implementasi dan komunikasi organisasi 2. Karakteristik dari agen pelaksana/ implementor 3. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik 4. Kecenderungan dari pelaksana/ implementor Efektif atau tidaknya suatu kebijakan juga tergantung pada sikap dari implementor kebijakan. Karena salah satu komponen kebijakan adalah cara mencapai sasaran dari tujuan kebijakan tersebut, maka dalam cara tersebut juga terkandung komponen keijakan antara lain, siapa pelaksana atau implementornya, berapa besar dan dari mana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program dilaksanakan, dan bagaimana keberhasilannya. (Wibawa et. al. 1994: 15). Sehingga penting adanya untuk melihat bagaimana sikap atau tindakan yang dilakukan oleh para implementor kebijakan atau para birokrasi. Pendapat lainnya adalah yang dikemukakan oleh Christopher Hood yang juga tidak jauh dengan apa yang dinyatakan oleh Grindle ataupun Van Meter dan van Horn. Menurut Hood (Hood and Margetts, 2007) pada dasarnya pemerintah mempunyai 4 (empat) sumberdaya atau instrument yang dapat mereka gunakan, nodality, authority, treasure, dan organization (atau biasa disingkat menjadi NATO) (Howlett 2009: 24). Berikut ini merupakan penjabaran lebih jelas mengenai empat instrument tersebut:
20
1. Nodality Menurut Hood dalam (Osuna 2012: 43) Nodality merupakan posisi sentral pemerintah dalam jaringan informasi masyarakat yang bisa digunakan melalui pesan, seperti pemberitahuan, pengumuman publik.
Faktor yang
mencakup kejelasan isi kebijakan, sosialisasi kebijakan, dan penerimaan terhadap kebijakan. Nodality digunakan melalui penyaluran pesan seperti pemberitahuan atau pengumuman ke publik yang menjelaskan konten dari kebijakan. Dengan adanya nodality pemerintah mampu menggunakan informasi dalam menyampaikan kebijakannya kepada masyarakat dan digunakan untuk mengubah perilaku institusi sosial yang ada. Oleh karena itu, pemerintah harus dapat memastikan informasi itu memang dibutuhkan oleh berbagai pihak yang dituju oleh kebijakan (Harahap 2004: 41). 2. Authority Dalam (Margetts 2009: 5) authority merupakan otoritas yang menunjukan bahwa pemerintah memiliki kekuatan hukum yang resmi untuk menuntut, melarang, menjamin, atau mengadili. Selain itu pemerintah juga mempunyai kemampuan untuk memfasilitasi, atau menerbitkan peraturan administrative, atau dengan menguasi sumberdaya melalui pajak. Otoritas inilah yang digunakan pemerintah untuk mengendalikan perilaku masyarakat selaku objek kebijakan. Atau dengan kata lain authority (kewenangan) merupakan tanggung jawab pemerintah untuk melakkan pengawasan untuk mengawal agar kebijakan tersebut dapat dilksanakan (Harahap 2004: 41) 3. Treasure Treasure atau yang berarti harta, menurut Hood treasure adalah sebuah sesuatu yang dimiliki pemerintah berupa benda atau jasa yang diberikan kepada masyarakat dari pemerintah. (Margetts 2009: 5). Treasure juga mengindikasikan adanya ketersediaan dana atau benda bernilai lainnya dan pemerintah bisa menggunakannya untuk meraih tujuan kebijakan yang dibuat pemerintah (Osuna 2012: 44). Penggunaan resources memiliki peran 21
cukup penting dalam menjalankan kebijakan, dengan memaksimalkan sumberdaya ini diharapkan tujuan kebijakan juga mudah untuk dicapai. Dalam kondisi kebijakan PKH ini, pendamping menjadi sumberdaya yang dimiliki pemerintah untuk mengontrol perilkau masyarakat miskin. 4. Organization Organisasi sebagai sumberdaya dapat digunakan dalam apa yang disebut oleh Hood sebagai ‘treatments’, yaitu penggunaan upaya masyarakat dan kemampuan material lainnya dari organisasi tersebut (Osuna 2012: 44). Organisasi yang dijalankan pemerintah berupa sumberdaya yang mampu digunakan untuk mengontrol perilaku masyarakat. Sumberdaya ini tentunya juga dibarengi dengan kualitas dan kuantitas yang memadai sehingga mampu melaksanakan dan mencapai tujuan kebijakan. Organisasi ini juga mencakup pada karakteristik lembaga pelaksana kebijakan PKH, sehingga jelas bagaimana tugas masing-masing dalam menjalankan kebijakan. Semua teori implementasi yang dikemukakan oleh para ilmuwan sejatinya adalah untuk menggambarkan bahwa implementasi adalah untuk memastikan tujuan dari kebijakan tersebut terlaksana. Namun, dalam konteks kebijakan PKH, untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi implementasi pendekatan yang digunakan adalah menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Hood yaitu berupa nodality, authority (otoritas),
treasure (harta benda), dan juga organization
(organisasi). F. Definisi Konseptual 1. Kebijakan Publik Kebijakan publik adalah penyaringan dan pemilihan yang telah terumuskan dari tuntutan masyarakat yang dipenuhi atau tidak dipenuhi karena keterbatasan sumberdaya yang tersedia.
22
2. Implementasi Kebijakan Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta baik secara individu maupun kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan didalam kebijakan. Instrumen untuk melihat implementasi: a. Nodality, adalah kemampuan pemerintah untuk mengelola informasi yang masuk dari berbagai lapisan masyarakat atau kelompok kepentingan yang menuntut pemerintah untuk menginformasikan kembali kepada objek kebijakan. b. Authority, merupakan otoritas yang dimiliki pemerintah untuk mengatur perilaku objek kebijakan agar tujuan kebijakan bisa dicapai dengan menggunakan peraturan-peraturan yang berlaku. c. Treasure, adalah sejauh mana pemerintah mampu untuk menggunakan instrumen sumberdaya berupa jasa untuk mengontrol perilaku masyarakat miskin selaku target kebijakan. d. Organization,
adalah
lembaga
yang
dibentuk
pemerintah
untuk
menegakkan peraturan atau kebijakan yang berlaku. 3. Evaluasi implementasi Evaluasi kebijakan adalah pemeriksaan yang obyektif, sistematis, dan empiris terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari segi tujuan yang ingin dicapai.
G. Definisi Operasional Guna mendukung terkumpulnya semua data yang diperlukan sehingga bisa menjawab rumusan masalah penelitian dan menjawab keresahan dalam suatu kasus atau dalam hal ini terkait imlementasi kebijakan PKH, maka diperlukan instrumen pelaksanaan penelitian. Untuk itu dibawah ini akan dijabarkan operasional dalam penelitian nantinya: 1. Implementasi kebijakan. 23
a. Nodality dapat dinilai melalui: Isi kebijakan, sosialisasi kebijakan, dan juga respon dari objek kebijakan b. Authority dapat dinilai melalui pengawasan kepada objek kebijakan dan juga kepatuhan dan daya tanggap dari pelaksana kebijakan dalam mensukseskan berjalannya kebijakan PKH. c. Treasure, penggunaan model pemberian sumberdaya berupa jasa yaitu pendamping yang dimaksudkan untuk mengontrol perilaku masyarakat agar bisa mencapai tujuan dari kebijakan. d. Organization, dapat dinilai melalui struktur organisasi, job description, serta kualitas dan kuantitas dari sumber daya yang berada di dalam organisasi tersebut.
2. Untuk mengetahui apakah kebijakan tersebut apakah menghasilkan efektivitas atau tidak, maka perlu adanya variable evaluasi kebijakan untuk mengukurnya. Dan variable tersebut antara lain adalah sebagai berikut: -
Sejauh mana sebuah program mencapai target populasi yang tepat;
-
Apakah penyampaian pelayanannya konsisten dengan spesifikasi desain program atau tidak;
-
dan sumberdaya apa yang dikeluarkan dalam melaksanakan program
H. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Dalam penelitian ini metode yang akan digunakan adalah metode penelitian kualitatif yang menekankan pada obyektifitas dengan jenis penelitian adalah studi kasus (case study). Yang berarti bahwa dalam menyajikan data yang didapat bukanlah berupa angka-angka, namun berupa data wawancara, dokumen resmi maupun pribadi, catatan lapangan dan lainnya. Selain itu tujuan dari penelitian kualitatif adalah untuk menggambarkan realita empirik dengan yang ada dalam suatu fenomena secara rinci dan mendalam, oleh karenanya penggunaan pendekatan
24
kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokan antara realita empirik dengan teori yang berlaku dengan menggunakan metode deskriptif (Moleong 2004: 131). Tujuan penelitian kualitatif ini adalah untuk mendapatkan pemahaman menyeluruh dari satu/beberapa kasus yang terdapat dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini kasus yang diambil dalam penelitian adalah kebijakan Program Keluarga Harapan (PKH) yang dilaksanakan di Kabupaten Gunung Kidul. Selain itu rancangan kualitatif itu bersifat naturalistik, yang berarti bahwa evaluator tidak boleh berupaya untuk memanipulasi program atau kebijakan (Patton 2009: 13). Karena evaluasi ini juga bertujuan untuk perbaikan kebijakan dimasa yang akan datang, sehingga dibutuhkan hasil yang apa adanya dari kebijakan tersebut.
2. Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini adalah kebijakan Program Keluarga Harapan (PKH) yang merupakan program dari Kementerian Sosial dan juga dilaksanakan di Kabupaten Gunung Kidul. Program Keluarga Harapan di Kabupaten Gunung Kidul ini dipilih secara purposive untuk menjelaskan bagaimana efektivitas program melalui evaluasi implementasi kebijakan yang diliat dari aspek pencapaian tujuan kebijakan dan penyelesaian masalah yang ada di Gunung Kidul. Sampel yang akan diambil antara lain: Pemerintah Daerah Gunung Kidul, Dinas Sosial Kabupaten Gunung Kidul, Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Kidul, Dinas Pendidikan Kabupaten Gunung Kidul, masyarakat setempat dan lain-lain
3. Lokasi Penelitian Penelitian yang berfokus pada melihat efektif atau tidaknya suatu kebijakan yang dibungkus dalam evaluasi implementasi kebijakan ini akan mengambil lokasi penelitian di Desa Tepus, Kabupaten Gunung Kidul. Lokasi ini menarik karena dalam implementasi kebijakan PKH yang ada di Desa Tepus dirasa kurang berhasil dengan 25
indikator banyak warganya yang menggunakan dana tersebut untuk digunakan secara percuma seperti halnya untuk membeli rokok, kredit kendaraan bermotor, dan lain sebagainya yang bukan kebutuhan primer. Selain itu, selain faktor implementor yang nantinya akan dilihat lebih jauh bagaimana sikap mereka dalam mengimplementasikan kebijakan, faktor penting yang harus dilihat adalah sifat masyarakat sekitar yang mendapatkan bantuan dana PKH. Keadaan daerah Gunung Kidul bisa jadi menjadikan pribadi masyarakat setempat kurang bisa bergantung pada alam sekitar. Alam sekitar yang kurang bisa diandalkan menjadikan masyarakatnya begitu mendapatkan bantuan dana langsung mereka gunakan sekali pakai untuk keperluan sehari-hari dan tidak digunakan untuk kepentingan meningkatkan pendapatan dari pekerjaan pokok mereka.
4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui metode observasi, wawancara mendalam, dan analisis dokumen. 1. Observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematik mengenai suatu peristiwa atau fenomena yang terjadi dalam suatu penelitian. 2. Wawancara. Teknik wawancara merupakan salah satu cara pengumpulan data kualitatif, yang dapat diartikan sebagai cara yang dipergunakan untuk mendapatkan informasi (data) dari responden dengan cara bertanya langsung secara bertatap muka (face to face) (Suyanto 2005: 69). Wawancara sangat penting dilakukan untuk mendapatkan informasi yang detail terkait pelaksanaan program. 3. Analisis dokumen dilakukan untuk mendapat data sekunder berupa arsip, dokumen, maupun peristiwa yang tercatat yang cukup relevan dengan data yang diperlukan.
26
5. Teknik Analisis Data Proses
analisa
data
dalam
penelitian
ini
dilakukan
dengan
cara
mengelompokan, mengurutkan, dan meringkas data yang diperoleh dari wawancara mendalam, observasi, dan juga dokumentasi, termasuk didalamnya adalah menyantumkan transkip wawancara dari beberapa narasumber. Data yang dieroleh akan direduksi sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian. Dan kemudian akan disajikan dalam bentuk uraian penjelasan suatu fakta, yang kemudian akan ditarik kesimpulan atau verifikasi. Analisis yang digunakan dalam mengevaluasi implementasi kebijakan PKH ini adalah dengan logika induktif. Pendekatan suatu evaluasi adalah bersifat induktif dimaksudkan bahwa evaluator berupaya menyikapi dengan akal sehat suatu situasi tanpa mengedepankan harapan yang diduga sebelumnya perihal latar belakang program (Patton 2009: 15).
6. Sistematika Penulisan Dalam menyajikan naskah penelitian akan dibagi dalam beberapa bab yang saling terkait satu sama lain. Sistematika dari bab tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1. BAB I
: Pendahuluan
2. BAB II
: Conditional Cash Transfer di Indonesia
3. BAB III
: Nodality dan Authority
4. BAB IV
: Treasure dan Organization
5. BAB V
: Kesimpulan dan Saran
27