BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Di era keterbukaan informasi publik yang telah menjadi kebutuhan utama masyarakat, pemerintah semakin dituntut untuk lebih memaksimalkan peran dan fungsinya sebagai pelayan publik. Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tidak hanya sekedar tampil sebagai tim perancang beragam perangkat Teknologi Informasi Komunikasi dan komunikator penyampai pesan dari berbagai kebijakan pemerintah saja. Akan tetapi juga harus menjalankan peran gandanya sebagai humas pemerintah serta menciptakan masyarakat melek IT yang juga mampu memproduksi informasi. Adalah sebuah keniscayaan bagi Dinas Kominfo untuk memiliki komitmen kuat agar dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. serta menjamin hak warga negaranya untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik berbasis e-government (Elektronic Government) atau yang juga dikenal dengan Digital Government Service (DGS). Melalui pemanfaatan teknologi informasi dalam dunia pemerintahan berbasis pelayanan publik secara elektronik, DGS diharapkan dapat diaplikasikan di seluruh lingkup pemerintah daerah di Indonesia. Tujuannya untuk mengembangkan sumberdaya aparatur yang mengarah kepada DGS, sesuai dengan hasil Konferensi Nasional Sistem Informasi 2006. Diantaranya berhubungan dengan implementasi kebijakan, strategi pengembangan serta penerapan DGS di organisasi (Organization and Human
Capital
Development)
serta
e-procurement
(http://totoksuharto.blogspot.com/2010/02/pengembangan-sumberdayaaparaturdalam.html).
1
Penerapan sistem informasi di beragam bidang organisasi dan kehidupan pemerintahan yang di dalamnya juga meliputi bidang pendidikan, kesehatan, bisnis perdagangan tersebut merupakan kolaborasi antara teknologi informasi dan komunikasi dalam pengembangan sistem informasi. Termasuk bagaimana aplikasinya ke dalam suatu organisasi serta perannya dalam pengembangan sistem informasi digital yang telah mewujudkan sistem pelayanan selama 24 jam dengan alur birokrasi yang lebih ringkas dan tidak berbelit-belit. Kehadiran new media telah memudahkan proses konvergensi media dengan mengintegrasikan antara konten yang terdapat pada media konvensional dan media yang lebih modern ber-platform new media. Keberadaan media baru ini sebagai produk dari pertumbuhan di bidang teknologi komunikasi yang menurut Al Gore dalam Komunikasi Dan Politik, Sebuah Kajian Kritis (Putra, 2008) sebagai broadband internet, yaitu versi modern dari jaringan rel kereta api dan jalan tol penghubung sejumlah negara bagian di Amerika Serikat ini memungkinkan terselenggaranya partisipasi masyarakat dalam mengakses beragam informasi di era keterbukaan informasi publik. Dinas Kominfo berpeluang besar untuk menawarkan intensitas partisipasi masyarakat dalam ikut memberikan masukan penyusunan kebijakan pemerintah yang jauh lebih besar daripada hanya berpatokan pada penggunaan media konvensional (majalah, tabloid, radio). Melalui new media, peran dan fungsi Dinas Kominfo dalam mempublikasikan program e-government sekaligus untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Fokusnya pada pengiriman layanan online pemerintah
yang
dapat
meningkatkan
layanan
informasi
dan
kualitas
pelayanannya kepada masyarakat. Sehingga secara otomatis akan membentuk kultur dan spirit baru tentang penyelenggaraan sistem pemerintahan yang sehat, baik secara ekonomi maupun politis. Dinas Kominfo Pemkot Surabaya merupakan instansi pemerintah di bidang IT yang mencoba memfasilitasi segala kebutuhan IT warganya agar dapat
2
melek IT sekaligus diharapkan mampu memproduksi konten informasi, sehingga dapat berkontribusi dalam pembangunan kota Surabaya. Sampai saat ini, Dinas Kominfo Pemkot Surabaya telah menyediakan fasilitas internet gratis di 42 titik taman kota di Surabaya yang bisa diakses warga selama 24 jam. Diantara titik hot spot yang bisa dimanfaatkan yaitu di Taman Bungkul yang berlokasi di Jl Raya Darmo. Tujuannya agar masyarakat kota Surabaya lebih mudah untuk memperoleh beragam informasi secara online. Dari fasilitas akses internet tidak berbayar yang disediakan tersebut masih belum dimanfaatkan masyarakat secara maksimal. Hal ini karena jumlah pengguna internet di kota Surabaya saat ini masih di kisaran 2 juta orang, dari total
jumlah
penduduk
kota
Surabaya
(http://dispendukcapil.surabaya.go.id/index.php).
mencapai Sehingga
2,9
juta
masih
orang terjadi
kesenjangan digital (digital divide) di kota Surabaya. Oleh karena itu, dibentuklah program pelatihan internet yaitu Broadband Learning Center (BLC) yang merupakan program literasi internet berupa pembelajaran beragam materi tentang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bagi warga Surabaya yang diberikan secara gratis dan bersertifikat, dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung yang juga dapat dimanfaatkan pengunjung untuk menggunakan fasilitas internet serta free wifi. Tujuan utama dari penerapan program BLC ini adalah agar warga Surabaya tidak gagap teknologi (gaptek) di era serba digital. Hal ini sekaligus sebagai upaya dari Dinas Kominfo Pemkot Surabaya dalam menyiapkan warga Surabaya
untuk
siap
berkompetisi
dengan
negara-negara
ASEAN
(www.surabaya.go.id). Warga Surabaya diharapkan akan menjadi warga yang paling siap untuk menyongsong era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang rencananya akan segera diberlakukan pada akhir 2015 mendatang. Ketika nantinya MEA mulai diberlakukan, artinya negara-negara se-ASEAN akan bisa bebas berinvestasi di Indonesia, termasuk di Surabaya. Sehingga dengan pelatihan TIK yang dapat diakses secara gratis di BLC, masyarakat kota Surabaya
3
diharapkan sudah mempunyai bekal untuk bersaing dengan masyarakat global sekaligus siap menjadi tuan di kotanya sendiri. Melalui BLC, semua lapisan masyarakat Surabaya berkesempatan bisa belajar beragam materi pelatihan TIK tanpa ada pungutan. Bekerjasama dengan PT Telkom Divisi Regional V Jawa Timur, BLC berupaya meningkatkan pelayanannya agar dapat menjangkau seluruh masyarakat Surabaya sebagai upaya percepatan menuju Surabaya Cyber City. Yaitu konsep kota modern berbasis teknologi informasi yang saat ini telah banyak diterapkan di sejumlah kota besar di seluruh dunia, sebagai konsekuensi logis dari meningkatnya kebutuhan masyarakat yang ingin mengakses informasi dan berkomunikasi dengan mudah dan cepat. Konsep cyber city merupakan salah satu upaya pemberdayaan masyarakat di bidang teknologi informasi. Tujuannya untuk menjadikan kota Surabaya sebagai smart city dengan kondisi masyarakatnya yang seluruhnya melek IT. Sehingga selalu terkoneksi dan mampu merespon segala kebijakan yang diberlakukan oleh Pemkot Surabaya dengan cara mengaksesnya secara digital pada website milik Pemkot Surabaya, www.surabaya.go.id. Misalnya untuk proses pengurusan perijinan, pelayanan kesehatan, pendidikan dan jenis pelayanan publik lainnya yang saat ini sudah bermigrasi ke sistem online. Selain itu, Surabaya Cyber City juga diharapkan sebagai representasi dari penerapan e-Goverment di kota Pahlawan yang bertujuan meringkas prosedur birokrasi
yang sebelumnya relatif membutuhkan waktu lama.
Dengan
meminimalkan kontak langsung antara kantor pelayanan dengan pengguna layanan, maka diharapkan akan dapat memutus potensi terjadinya penyimpanganpenyimpangan di birokrasi. Sehingga akan terwujud sistem pemerintahan yang bersih dan transparan (Clean and Good Government). Fasilitas pembelajaran IT yang dapat dinikmati oleh masyarakat secara gratis ini bertujuan agar warga Surabaya melek IT, sehingga mereka dapat berinteraksi melalui IT untuk kemajuan pembangunan kota Surabaya. Penerapan
4
konsep cyber city melalui penetrasi program BLC oleh Dinas Kominfo Pemkot Surabaya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Surabaya dalam mengakses internet secara lebih luas dan tidak lagi terbatas pada kalangan tertentu saja. Tetapi diperuntukkan bagi semua kalangan masyarakat tanpa terkecuali. Sehingga dapat lebih memudahkan mereka dalam melakukan proses pengurusan administrasi pemerintahan yang sekarang ini sudah beralih dari sistem manual ke digital. Seperti halnya yang saat ini
diterapkan oleh Pemkot Bandung dan
Pemprop Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dengan pelayanan publik berbasis Digital
Government
Service
(DGS)
yang
masih
terus
disempurnakan
pelaksanaannya agar mendapatkan hasil lebih maksimal. Dari aplikasi keseluruhan program BLC oleh Dinas Kominfo Pemkot Surabaya tersebut tentunya masih harus dilakukan up grade dari segala lini, sehingga mampu menjawab tantangan kebutuhan literasi IT bagi semua warga Surabaya dalam mewujudkan masyarakat melek teknologi informasi dan komunikasi. Yang perlu digarisbawahi adalah, bagaimanakah pelaksanaan program BLC agar dapat dimanfaatkan oleh semua warga Surabaya? Lalu bagaimana pola manajemen komunikasi Dinas Kominfo Pemkot Surabaya untuk meningkatkan kualitas jajarannya dalam menyelenggarakan program pelatihan TIK? Dalam pelaksanaannya, tentunya masih banyak dijumpai kekurangankekurangan yang merupakan problematika dan menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi Dinas Kominfo Pemkot Surabaya. Hal ini karena, program pelatihan TIK yang bertujuan untuk menjadikan seluruh masyarakat kota Surabaya melek IT tersebut merupakan program pemberdayaan warga yang sifatnya berkelanjutan. Sehingga yang harus direalisasikan oleh Dinas Kominfo pemkot Surabaya adalah, bagaimana caranya agar program literasi internet tersebut bisa tercapai maksimal. Tidak hanya akan berimplikasi pada terwujudnya Surabaya Cyber City, melainkan juga mengoptimalkan pelaksanaan sistem pemerintahan berbasis eGovernment yang jauh berkualitas dan berdaya saing secara internasional.
5
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana pelaksanaan program Broadband Learning Center (BLC) oleh Dinas Kominfo Pemkot Surabaya periode 20142015?”
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui tentang pelaksanaan program Broadband Learning Center (BLC) oleh Dinas Kominfo Pemkot Surabaya periode 2014-2015 dari perspektif komunikasi. 2. Memahami pelaksanaan Digital Government Service (DGS) berbasis eGovernment oleh Dinas Kominfo Pemkot Surabaya.
D. Manfaat Penelitian Dari penelitian yang dilakukan, diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut: 1. Memberikan masukan/ saran bagi pemerintah kota Surabaya agar mengoptimalkan kinerja Dinas Kominfo Pemkot Surabaya dalam melaksanakan serta mengaplikasikan program pelatihan IT melalui BLC secara merata. Sehingga semua masyarakat Surabaya melek IT dan mampu memanfaatkannya
dalam pelaksanaan e-government
yang
berkualitas. 2. Sebagai kajian ilmiah disiplin ilmu komunikasi, khususnya bidang teknologi informasi tentang upaya pemerintah daerah untuk mewujudkan masyarakat melek IT.
6
E. Kerangka Pemikiran Sebagai pendekatan dalam pembahasan atas rumusan masalah dalam penelitian ini, maka dibutuhkan pembahasan dari masing-masing konsep seperti berikut ini: E.1 Cyber City Produk dari Cyber Community Kondisi masyarakat yang melek IT pada akhirnya menciptakan cyber community atau masyarakat maya yang membangun dirinya dengan mengandalkan interaksi sosial dan proses sosial dalam kehidupan kelompok (jaringan) dan antar sesama anggota masyarakat maya. Sifat proses dan interaksi sosial ditentukan oleh kepentingan mereka dalam dunia maya. Interaksi sosial sementara terjadi pada anggota masyarakat yang sepintas lalu ingin “jalan-jalan” dan hanya bermain di dunia maya melalui browsing dan chatting atau searching, kemudian meninggalkannya. Khusus interaksi sosial terjadi pada mereka para pengguna internet (netter) yang setiap saat berada dalam masyarakat maya. Mereka bergaul, menyapa, berbisnis, belajar dan melakukan aktifitas lain di dunia maya. Mereka memiliki email, website, blog, akun facebook, twitter, path, instagram atau bahkan provider yang bisa dimanfaatkan untuk berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat maya untuk berbagai kebutuhan. Salah satu ciri masyarakat maya adalah menciptakan kebudayaan sebagai hasil pengembangan budaya-budaya pencitraan dan makna yang setiap saat dipertukarkan dalam ruang interaksi simbolik. Dari budaya yang merupakan karya-karya imaji menakjubkan dalam dunia hiper-realitas itu kemudian menciptakan culture universal. Sedangkan yang paling menjadi ciri khas dari kebudayaan maya adalah sifatnya yang sangat menggantungkan diri pada media. Bahwa kebudayaan itu hanya ada secara nyata dalam media informatika dan beberapa diantaranya telah ditransformasikan ke dalam kognitif manusia. Inilah sebenarnya space dunia maya, yaitu dunia media dan dunia kognitif manusia. Hubungan keduanya melahirkan dunia baru bagi
7
masyarakat yang tidak bisa dihitung lagi seberapa besar space itu (Bungin, 2006). Bahwa teknologi dapat menciptakan masyarakat virtual dalam sebuah komunitas cyber yang berpotensi memberikan pengaruh besar untuk masyarakat dengan hanya membutuhkan biaya yang relatif sedikit. Seperti berdampak pada pengaruh intelektual, sosial, pengaruh komersial dan pengaruh yang paling penting yaitu soal pemahaman tentang politik. Akan tetapi memang, teknologi tidak akan dengan sendirinya bisa memenuhi potensi tersebut. Ini karena kekuatan teknis itu harus digunakan secara cerdas oleh masyarakat (Flew, 2002). Seperti yang disampaikannya berikut ini: “The technology that makes virtual communities possible has the potential to bring enormous leverage to ordinary citizens at relatively little cost. Intellectual leverage, social leverage, commercial leverage and most importantly political leverage. But the technology will not in itself fulfil this potential. This latent technical power must be used intelligently and deliberately by an informed population. More people must learn about that leverage and learn to use it, while we still have the freedom to do so, if it is to live up to its potential” Dalam buku Sosiologi Komunikasi, Bungin (2006) menyebutkan bahwa masyarakat cyber (cyber community) adalah sebuah kehidupan masyarakat manusia yang tidak dapat secara langsung diindera melalui penginderaan manusia, namun dapat dirasakan dan disaksikan sebagai sebuah realitas. Pada awalnya masyarakat maya adalah sebuah fantasi manusia tenang dunia lain yang lebih maju dari dunia saat ini. Fantasi tersebut adalah sebuah hiper-realitas manusia tentang nilai, citra, dan makna kehidupan manusia sebagai lambang dari pembebasan manusia terhadap kekuasaan materi dan alam semesta. Namun ketika teknologi manusia mampu mengungkapkan misteri pengetahuan itu, maka manusia mampu menciptakan ruang kehidupan baru bagi manusia di dalam dunia hiper-realitas itu. Kehidupan
masyarakat
cyber,
identik
dengan
budaya-budaya
pencitraan, dan makna yang setiap saat dipertukarkan dalam ruang interaksi
8
simbolis. Masyarakat cyber menciptakan culture universal yang dapat dijelaskan sebagaimana yang dimiliki oleh masyarakat nyata, yaitu: 1) Peralatan dan perlengkapan hidup Peralatan dan perlengkapan hidup masyarakat maya adalah teknologi informasi yang umumnya dikenal dengan mesin-mesin komputer dan mesin-mesin elektronika lain yang membantu kerja atau dibantu olehmesin komputer. Saat ini mesin-mesin yang dimaksud telah dapat memproduksi diri sampai pada tingkat yang diinginkan. 2) Mata pencaharian dan sistem-sistem ekonomi Masyarakat maya memiliki mata pencaharian yang sangat menonjol dan spesifik dalam bentuk menjual jasa dengan sistem ekonomi subtitusi. 3) Sistem kemasyarakatan Sistem kemasyarakatan yang dikembangkan dalam masyarakat maya adalah dalam bentuk sistem kelompok jaringan baik intra maupun antar jaringan yang ada dalam masyarakat maya (Bungin, 2006). Cyber community sangat berperan besar dalam memberikan kontribusinya bagi pembangunan. Terlebih, saat ini semua pengurusan administrasi pemerintahan telah bermigrasi dari sistem manual ke digital. Melalui cyber city yang merupakan program berkonsep kota modern berbasis teknologi informasi yang saat ini telah diterapkan di sejumlah kota besar di seluruh dunia termasuk di beberapa kota besar di Indonesia, masyarakat di era cyber society semakin berpeluang untuk lebih maju di bidang teknologi informasi. Dengan kondisi masyarakat yang terpenuhi kebutuhannya dalam mengakses internet secara lebih luas, implementasi cyber city juga bisa membantu masyarakat dalam memanfatkan kecanggihan teknologi informasi. Dalam hal ini, masyarakat akan semakin pandai menggunakan internet dalam jumlah besar. Pemasangan hot spot wifi di sejumlah tempat terbuka seperti tamantaman kota, tempat olahraga, lokasi bandara, pelabuhan, terminal bis, pusatpusat perbelanjaan modern dan tempat wisata lainnya akan semakin
9
memudahkan masyarakat untuk beraktifitas lebih leluasa dalam satu waktu bersamaan. Berwisata sambil kirim email, menyantap makanan sambil mengerjakan tugas kantor, duduk di kendaraan sambil chatting dengan kolega dan sebagainya adalah contoh-contoh aktifitas yang sering dijumpai di masyarakat, khususnya di kota-kota besar di Indonesia. Perlahan tapi pasti, internet mengubah perilaku atau budaya sebagian dari warga kota dari pelayanan konvensional menjadi serba digital dan instan. Dengan kelebihan itu juga, internet diprediksikan akan semakin diminati masyarakat sejalan dengan meningkatnya kebutuhan dan perkembangan teknologi informasi (www.biskom.web.id/2008/07/02/mewujudkan-cyber-city-di-indonesia.bwi). Sementara itu, di dalam jurnal komunikasi & teknologi pada website www.unesco.org/shs/most, S.P. Sekar dari Anna University-Chennai India menjelaskan bahwa pelaksanaan konsep cyber city sangat berpotensi mengubah interaksi sosial masyarakat yang lebih maju. Tentunya dengan proses perencanaan tata kota berbasis jaringan digital. Seperti yang disebutkannya berikut ini: “The growing sensitivity of Cyber City is measured: one, in terms of size and frequency of usage of digital network and its trends with the attributes that would likely to explain the group-wise characteristics on the adoption of Cyber City tools; second identification of sensitivity of changes in landuse pattern; third, the changing nature of social interaction through digital network or otherwise and its efficacy on social value as well as implications on urban planning process”. E.2 Literasi Internet Melalui ICT Learning Center Perkembangan teknologi mengantarkan Indonesia mengenal media internet. Awalnya, tahun 1995, penggunaannya masih terbatas di beberapa universitas untuk kegiatan penelitian. Seperti yang disebutkan oleh Wahyuni (2013), sejak munculnya Radnet pada pertengahan tahun 1990-an, konsumsi internet menjadi lebih luas. Radnet merupakan Internet Service Provider (ISP) komersial pertama di Indonesia. Kehadirannya kemudian banyak dimanfaatkan, terutama di bidang ekonomi.
10
Indonesia termasuk negara dengan jumlah penduduk besar yang pertambahannya diikuti dengan meningkatnya pengguna (user) internet. Sejak tahun 2000 hingga 2009, pengguna internet sudah mencapai 30 juta orang. Sementara Worldsats mencatat per 31 Maret 2011, penduduk Indonesia meningkat menjadi 245.613.043 jiwa dengan pengguna internet mencapai 39.600.000. Di Asia, pengguna internet di Indonesia menempati peringkat keempat setelah China, India dan Jepang. Meskipun demikian, Indonesia termasuk dalam negara dengan tingkat penetrasi rendah (di bawah 23,8%, yaitu sebesar 16%. Hal ini jauh jika dibandingkan dengan Korea Selatan dengan tingkat penetrasi internet 80,9% yang diikuti oleh Brunei Darussalam (79,4%), Jepang (78,4%), Singapura (77,2%) dan Taiwan (70,0%). Rendahnya tingkat penetrasi ini juga dapat ditunjukkan dengan kebiasaan user dalam beraktifitas di internet. Berikut tabel peringkat negara di Asia berdasarkan penggunaan internet: Tabel 1.1 Peringkat Penggunaan Internet di Asia Negara User Penetrasi (%) China
477.000.000
35,7%
India
100.000.000
8,4%
Jepang
99.182.000
78,4%
Indonesia
39.600.000
16,1%
Korea Selatan
39.440.000
80,9%
Filipina
29.700.000
29,2%
Vietnam
27.855.711
30,8%
Pakistan
20.431.000
10,9%
Thailand
18.310.000
24,7%
Malaysia
16.902.600
58,8%
Hasil riset Nielson pada tahun 2011 yang melakukan survei berkaitan dengan digital habit para user atau netizen menyebutkan jika aktifitas netizen
11
di Indonesia tergolong rendah. Hal ini sekaligus menggambarkan bahwa kondisi persebaran dan penggunaan internet di Indonesia relatif kurang merata (Hermin, 2011). Terlebih jika dilihat dari karakteristik pengguna internet yang masih banyak dimanfaatkan oleh lapisan masyarakat tertentu, dimana mereka identik dengan golongan terpelajar dan yang memiliki sosial ekonomi mapan. Agar persebaran dan penggunaan internet bisa merata pada semua lapisan masyarakat, maka dibutuhkan literasi internet secara berkelanjutan. Literasi internet yang didefinisikan Devito (2008: 4) sebagai kemampuan untuk memahami, menganalisis, mengakses atau bahkan sampai pada tahapan memproduksi konten new media, merupakan bentuk pemberdayaan (empowerment) agar konsumen bisa menggunakannya lebih cerdas, sehat dan aman. Hal ini sama dengan apa yang telah dimaknai oleh Doyle (1996) bahwa literasi internet (internet literacy) merupakan sebagai kemampuan dalam menggunakan pengetahuan teori dan praktik dalam hubungannya dengan internet sebagai medium komunikasi dan pengelolaan informasi. Sehingga masyarakat diharapkan dapat lebih memiliki kemampuan dalam memahami sekaligus mengendalikan pengaruh media dalam kehidupan masyarakat sehari-hari (http://jurnal.kominfo.go.id/index.php/jskm/article/view/2/24). Sebagai bagian dari komponen yang terdapat dalam information literacy, literasi internet menjadi salah satu kemampuan yang harus dipenuhi oleh setiap pengguna internet agar efektif dan efisien. Semakin seseorang memiliki literasi internet yang mumpuni, maka semakin menguasai pula ia dalam melakukan aktifitas komunikasi, pencarian informasi dan sejenisnya melalui medium internet guna memenuhi kebutuhannya. Dalam
Manajemen Perguruan
Tinggi
Modern,
Eko
Indrajit
menyebutkan bahwa pertumbuhan e-literacy pada setiap generasi akan berbeda sesuai dengan jamannya. Pada old generation, kesempatan mereka untuk mengenal e-literacy tumbuh secara linear atau sekuensial sejalan dengan berkembangnya teknologi. Namun untuk today dan next genaration, tumbuhnya e-literacy akan lebih cepat dan efektif karena tidak berjalan secara 12
sekuensial tetapi simultan. Digital Litaracy, Information Literacy, Computer Literacy dan I-Literacy akan dapat dikuasai dengan mudah secara simultan pada today/ next genaration. Maka: e-literacy= F ( Digital Litaracy, Information Literacy, Computer Literacy dan I-Literacy). Tingkat kematangan setiap individu dalam hal e-literacy akan berbeda-beda. Dalam hal ini menurut teori Personal Capability Maturity Model (PCMM), level e-literacy dari individu dapat dibedakan menjadi 5 level: a.
Level 0, jika seorang individu sama sekali tidak tahu dan tidak peduli akan pentingnya informasi dan teknologi untuk kehidupan.
b.
Level 1, jika seorang individu pernah memiliki satu dua kali pengalaman dimana informasi merupakan komponen penting untuk mencapai keinginan dan memecahkan masalah serta telah melibatkan teknologi informasi maupun komunikasi untuk mencarinya.
c.
Level 2, jika seorang individu telah berkali-kali menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk membantu aktivitasnya sehari-hari dan telah memiliki pola perulangan dalam penggunaannya.
d.
Level 3, jika seorang individu telah memiliki standar penguasaan dan pemahaman informasi maupun teknologi yang diperlukannya serta konsisten mempergunakan standar sebagai acuan penyelenggaraan aktivitas sehari-hari.
e.
Level 4, jika seorang individu telah sanggup meningkatkan secara signifikan kinerja aktivitas kehidupannya sehari-hari melalui pemanfaatan informasi dan teknologi.
f.
Level 5, jika seorang individu telah mengganggap informasi dan teknologi sebagai bagian tidak terpisahkan dari aktifitas sehari-hari serta secara langsung maupun tidak langsung telah mewarnai perilaku dan budaya hidupnya (bagian dari information society) (Indrajit, 2006). Untuk itu dibutuhkan ICT Learning Center atau Pusat Pembelajaran
TIK yang berfungsi memfasilitasi pengguna internet agar memiliki literasi internet yang baik serta meningkatkan e-literacy-nya. Dengan metode 13
pembelajaran cyber classroom, ICT Learning Center berperan sebagai wahana pelatihan pemanfaatan TIK yang memberikan berbagai layanan pelatihan berbasis internet dilengkapi berbagai fasilitas mendukung dengan materi ajar telematika yang disesuaikan dengan kebutuhan penggunanya di beberapa lokasi free hot spot yang telah disepakati. Pusat Pembelajaran TIK sebagai wujud dari program e-literacy dimaksudkan agar sistem informasi yang telah disediakan pemerintah mampu digunakan oleh masyarakat. Program edukasi terfokus ke keterampilan praktis yang diperlukan oleh masyarakat agar dapat berinteraksi serta mengakses informasi pelayanan pemerintah berbasis teknologi informasi.
E.3 Literasi Internet dalam Perspektif Komunikasi Salah satu
yang menyebabkan lambannya
perkembangan
e-
government di Indonesia adalah kesenjangan kemampuan masyarakat dalam penggunaan dan pemanfaatan TIK itu sendiri (digital divide) terhadap teknologi internet. Seperti perbedaan kesempatan dalam mengakses internet, tidak mampu memanfaatkan informasi, memiliki dan tidak memiliki sarana untuk mengakses internet. Penyebabnya ada beberapa faktor, yaitu: a. Infrastruktur. Hal ini banyak dipengaruhi oleh tidak meratanya pembangunan infrastruktur jaringan komunikasi dan regulasi di berbagai daerah. Adanya perbedaan pola hidup antara masyarakat perkotaan dan pedesaan di daerah-daerah. yang sudah maju. Masyarakat perkotaan di daerah yang sudah maju mempunyai kemampuan dan wawasan yang lebih tinggi akan teknologi informasi dibandingkan masyarakat perkotaan yang hidup di daerah kurang maju. Demikian pula, masyarakat pedesaan di daerah yang sudah maju, mereka akan mempunyai pengetahuan yang sedikit lebih tinggi untuk mengenal teknologi informasi dibanding masyarakat pedesaan di daerah yang kurang maju, atau bahkan tidak terjangkau jaringan komunikasi sama sekali.
14
b. Kekurangan skills (SDM). Disini bisa dikatakan sebagai minat dan kemampuan dari seseorang untuk menggunakan sarana digital. Masih banyak masyarakat yang merasa gugup, takut sehingga enggan menggunakan sarana digital seperti komputer atau laptop. c. Kekurangan isi/ materi berbahasa Indonesia. Konten berbahasa Indonesia menentukan bisa tidaknya seorang dapat mengerti mengakses internet, di Indonesia terutama kota-kota tingkat pendidikan sudah lebih tinggi. Jadi, sedikit banyak sudah mengerti bahasa Inggris. Sedangkan yang di desa, seperti petani-petani, mereka masih sangat kurang dalam menggunakan bahasa asing (Inggris). d. Kurangnya pemanfaatan akan internet itu sendiri. Berbicara mengenai kesenjangan digital, bukanlah semata-mata persoalan infrastuktur. Banyak orang memiliki komputer, bahkan setiap hari, setiap jam dan bisa mengakses internet, tetapi "tidak menghasilkan apapun". Misal, ada seorang remaja punya akses ke komputer dan internet. Tapi yang dia lakukan
hanya
chatting
yang
biasa-biasa
saja
(http://digilib.unila.ac.id/4640/19/Bab%20II.pdf). Dari penjelasan tersebut diketahui jika masyarakat dengan tingkat pendidikan relatif rendah yang gagap teknologi, dipastikan akan kesulitan dalam mengakses pelayanan publik berbasis TIK. Sehingga pada akhirnya dapat membuat sistem pelayanan publik berbasis e-government yang dirancang
menjadi
sia-sia
(http://widyariset.pusbindiklat.lipi.go.id/index.php/widyariset/article/viewFile/ 25/20). Berdasarkan pemahaman tentang digital dividen yang telah digagas oleh Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) pada tahun 2001, kesenjangan digital didefinisikan sebagai berikut: "Digital divide is the gap between individuals, households, businesses and geographic areas at different socio-economic levels with regard both to their opportunities to access information and communication technologies (ITs) and to their use of the Internet for a wide variety of activities ".
15
Dari pengertian tersebut diketahui bahwa kesenjangan digital adalah kondisi dimana ada perbedaan tentang kemampuan antara individu yang memiliki akses dan yang mampu menggunakan teknologi informasi. Hal tersebut terjadi antara tingkat individu, rumah tangga, bisnis dan area geografi yang tingkat sosial ekonominya berbeda, berdasarkan kesempatan mereka untuk mengakses teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Mengurangi kesenjangan digital berarti bagaimana agar masyarakat dapat lebih mengefektifkan akses internet dan sumber dayanya, penggunaan teknologi telekomunikasi dan komputer untuk bekerja, berkomunikasi, mencari informasi, membuat dan membentuk pengetahuan yang berfungsi efektif. Hal itu bisa dilakukan dengan meningkatkan kualitas pengetahuan masyarakat terhadap teknologi informasi yang pada akhirnya menciptakan sebuah komunitas yang lebih baik dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Seperti yang dijelaskan berikut ini: “In general, the higher the level of education, the more likely individuals are to have access to and use ICTs in both the home and the work place. Educational attainment and income are strongly related and explain much of the difference in uptake. Moreover, at the same income level, those with higher educational attainment will have higher rates of access. There are large differences in PC penetration and internet access between those with tertiary education and those at the lowest education levels, although the latter group is growing more rapidly from a low base”(http://www.oecd.org/sti/1888451.pdf). Jika kesenjangan digital tidak segera direduksi, maka hal tersebut akan menjadi
permasalahan
tersendiri
bagi
pemerintah
dalam
upayanya
menjadikan seluruh masyarakat Indonesia agar dapat melek IT secara keseluruhan. Terlebih sampai saat ini masih terjadi perbedaan cukup signifikan di dalam masyarakat terhadap penguasaan komputer dan teknologi informasi. Padahal, kata Jan A.G.M van Dijk, ketrampilan penguasaan digital seseorang yang terdiri dari ketrampilan untuk mencari, memilih dan memproses
informasi
dalam
komputer
berjaringan
tersebut
sangat
berpengaruh untuk meningkatkan posisinya dalam masyarakat. Seperti yang disampaikan dalam pernyataannya berikut ini:
16
“This problem is framed with terms such as „computer, information or multimedia literacy‟and „computer skills‟ or „information capita‟. the concept of „digital skills‟ as a succession of several types of skill.The most basic are „instrumental skills‟ or „operational skills‟, thecapacities to work with hardware and software. These skills have acquired muchattention in the literature and in public opinion. The most popular view is that skillsproblems are solved when these skills are mastered. However, many scholars engagedwith information processing in an information society have called attention to all kindsof content-related skills required to successfully use computers and the Internet. Information skills are the skills to search, select, and process information in computer and network sources. Strategic skills can be defined as the capacities to use computer and network sources as the means for particular goals and for the general goal ofimproving one‟s position in society” (www.utwente.nl/.../vandijk/.../The%20Evolution). Keberadaan TIK di era masyarakat digital saat ini adalah untuk memenuhi kebutuhan informasi dan komunikasi masyarakat yang terhalang ruang dan waktu. Teknologi-teknologi tersebut dibuat untuk membuat orang dapat berkomunikasi & berinteraksi dimanapun dan kapanpun dengan sangat mudah, tanpa harus lagi terbatas ruang dan waktu seperti zaman dahulu. ICT Learning Center sebagai program literasi internet adalah diantara upaya yang dilakukan pemerintah untuk memberikan pengetahuan masyarakat tentang TIK dan pemanfaatannya. Dalam
menyukseskan
program
literasi
internet,
dibutuhkan
manajemen komunikasi yang berperan sebagai alat untuk mencapai tujuan literasi internet. Yaitu menjadikan seluruh masyarakat melek IT. Manajemen komunikasi yang dipahami Kaye dalam Ruslan (2002) sebagai cara pengelolaan proses komunikasi dalam hubungannya dengan orang lain dalam konteks komunikasi merupakan modal utama bagi pemerintah untuk melakukan sosialisasi program literasi internet ke masyarakat. “Communication management is how people manage their communication processes through construing meanings about their relationships with others in various setting. They are managing their communication and actions in a large of relationship – some personal some professional”. 17
Agar sosialisasi dapat dilaksanakan dengan baik, maka pola komunikasi yang diciptakan juga harus baik. Diantaranya dilakukan dengan cara persuasif untuk mengajak serta memotivasi masyarakat, terutama mereka yang masih belum melek IT agar mau diajak belajar internet. Hal itu tidak terlepas dari transfer informasi atau pesan-pesan (messages) dari pengirim pesan sebagai komunikator kepada penerima pesan sebagai komunikan dalam proses komunikasi bertujuan (feeedback) untuk mencapai saling pengertian (mutual understanding) antara kedua belah pihak. Sebelum komunikator mengirimkan pesan-pesan kepada komunikan, terlebih dahulu memberikan makna dalam pesan-pesan tersebut (decode) yang kemudian ditangkap oleh komunikan dan diberikan makna sesuai dengan konsep yang dimilikinya (encode). Melalui transfer informasi/ pesan-pesan tersebut, terjadi proses interpretasi yaitu pihak komunikan akan menafsirkan makna “decode” menjadi “encode” dari berbagai sudut pandangnya (perspektif), berasal dari kerangka pengalamannya (field of experinces) dan kerangka referensinya (frame of references). Selanjutnya terjadi siklus proses penyampaian pesan/ informasi dalam komunikasi kemudian pihak komunikan memberikan umpan balik (feed back), baik tanggapan bersifat positif maupun negatif kepada pihak komunikator (Ruslan, 2002). Proses komunikasi akan efektif apabila komunikator melakukan peranannya sehingga terjadinya suatu proses komunikasi yang baik dan sesuai dengan harapan, di mana gagasan-gagasan atau ide dibahas dalam suatu musyawarah antara komunikator dengan komunikan, dan terjadi pemahaman tentang informasi atau segala sesuatu hal menjadi pokok dari pembahasan untuk mengarah pada kesepakatan dan kesatuan dalam pendapat. Sebaliknya, jika kesenjangan digital tidak segera diatasi melalui program literasi internet, maka yang akan terjadi adalah kegagalan proses komunikasi di dalam melakukan transfer informasi, dimana literasi internet diposisikan sebagai sebuah pesan. Dalam hal ini, pemerintah sebagai pihak
18
penyelenggara yang berperan sebagai komunikator (penyampai pesan), sedangkan masyarakat, terutama mereka yang masih belum melek IT adalah sebagai komunikan (penerima pesan). Akibatnya, kondisi tersebut secara otomatis akan berdampak pada terjadinya digital divide atau kesenjangan digital di dalam masyarakat berpotensi akan semakin melebar. Padahal, kemampuan literasi internet bagi seseorang menjadi suatu kompetensi yang harus dimiliki, karena persebaran informasi dan beragamnya informasi yang tersebar di masyarakat saat ini terlalu cepat, sehingga mengakibatkan ledakan informasi (booming information) yang dibarengi dengan perkembangan teknologi informasi. Salah satu hasil perkembangan teknologi informasi yang menyebabkan booming information tidak lain adalah internet, dimana seseorang dengan mudah dapat mengakses informasi tanpa dibatasi jarak dan waktu (http://journal.unair.ac.id/filerPDF/ln05697e9fb4full.pdf). Menurut Potter (2012), dengan penguasaan literasi media yang baik, maka masyarakat akan lebih mudah dalam memahami sebuah pesan serta menginterpretasi makna dari suatu pesan yang diterimanya ketika dia mengakses melalui internet. Sehingga orang membangun perspektifnya melalui struktur pengetahuan yang terkonstruksi dari kemampuannya dalam menggunakan
perangkat
teknologi
informasi
(http://www.medialit.org/sites/default/files/Voices_of_ML_%20James_Potter. pdf). Seperti yang didefinisikan sebagai berikut: “Media Literacy is a perspective from which we expose ourselves to the media and interpret the meaning of the messages we encounter. We build our perspective from knowledge structures, which are constructed from information using skills”. Pendidikan internet lebih pada pembelajaran tentang etika bermedia internet, bukan pengajaran melalui media. Pendidikan etika bermedia internet bertujuan untuk mengembangkan baik pemahaman kritis maupun partisipasi aktif, sehingga anak muda sebagai konsumen media internet memiliki kemampuan dalam membuat membuat tafsiran dan penilaian berdasarkan informasi yang diperolehnya. Selain itu anak muda mampu menjadi produser
19
media internet dengan caranya sendiri sehingga menjadi partisipan yang berdaya di komunitasnya. Pendidikan bermedia internet
merupakan
pengembangan kemampuan kritis dan kreatif anak muda. Sementara itu, sesuai dengan deklarasi UNESCO mengenai pendidikan media terdapat beberapa konsep mengenai pendidikan media. Konsep tersebut bertujuan untuk mendorong pendidikan media secara komprehensif mulai tingkat prasekolah sampai perguruan tinggi, pendidikan orang dewasa yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap, kesadaran kritis. Pendidikan semacam ini juga untuk melahirkan kompetensi yang lebih besar di kalangan pengguna media cetak, elektronik dan internet (http://journal.unair.ac.id/filerPDF/ln05697e9fb4full.pdf). E.4 Perkembangan Digital Government Service (DGS) Di masa keterbukaan informasi publik, Digital Government Service (DGS) atau yang juga dikenal dengan e-government (electronic government) menjadi bagian dari inovasi yang saat ini telah banyak dilaksanakan oleh pemerintah. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. E-government merupakan suatu cara pemerintah dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang paling inovatif, terutama aplikasi internet berbasis web, untuk menyediakan akses yang lebih mudah bagi masyarakat akan layanan dan informasi pemerintahan, meningkatkan kualitas pelayanan, dan memberikan masyarakat kesempatan yang lebih besar untuk berperan serta dalam institusi dan proses demokrasi. Tujuannya untuk mengembangkan sumberdaya aparatur yang mengarah kepada pelayanan publik berbasis elektronik, sesuai dengan hasil Konferensi Nasional Sistem Informasi 2006. Diantaranya
berhubungan
dengan
implementasi
kebijakan,
strategi
pengembangan serta penerapan DGS di organisasi (Organization and Human Capital
Development)
serta
e-procurement
(http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/apcity/unpan016377. pdf).
20
Penerapan sistem informasi di beragam bidang organisasi dan kehidupan pemerintahan yang di dalamnya juga meliputi bidang pendidikan, kesehatan, bisnis perdagangan tersebut merupakan kolaborasi antara teknologi informasi dan komunikasi dalam pengembangan sistem informasi. Termasuk bagaimana aplikasinya ke dalam suatu organisasi serta perannya dalam pengembangan sistem informasi digital yang telah mewujudkan sistem pelayanan selama 24 jam. Di dalam penerapan DGS, penyediaan akses langsung pada informasi, pengetahuan
dan
layanan
terintegrasi
dalam
sebuah
sistem
yang
dikembangkan di dalam lingkungan organisasi pemerintahan. Sehingga membutuhkan kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) dan sistem informasi yang handal. Pengembangan SDM sebagai persiapan menuju DGS mutlak diperlukan pelatihan dengan prioritas urutan sebagai berikut: Basic Computer, Basic Operating System, Computer Apllication, Sarana Aplikasi Komputer, Internet dan sistem informasi manajemen aplikatif lainnya. DGS dapat terwujud jika SDM aparatur sudah siap menguasai teknologi informasi secara digital, mulai dari pembuatan software, pengelolaan hardware dan pengelolaan
manajemen
terpadu
(http://totoksuharto.blogspot.com/2010/02/pengembangan-sumberdayaaparatur-dalam.html). Pelaksanaan program DGS tersebut merupakan bagian dari terobosan ICT yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengoptimalkan kinerjanya di bidang pelayanan berbasis internet. Tujuan akhir dari implementasinya
diharapkan
dapat
meningkatkan
kualitas
kinerja
pemerintahan, terutama dalam lingkup pelayanan masyarakat. Agar pelaksanaan program DGS atau e-government dapat terlaksana dengan maksimal, maka pemerintah harus lebih intens menggaungkannya secara berkelanjutan. Baik ke masyarakat maupun ke organisasi internal aparatur pemerintahan.
21
Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan sosialisasi di berbagai lini. Sehingga akan diperoleh percepatan perubahan kinerja pemerintahan berbasis e-government secara holistik.Baik secara Governmentto-Citizen (G2C) yaitu penyebaran informasi & layanan kepada masyarakat; Government-to-Business (G2B) meliputi berbagai pertukaran layanan antara pemerintah dengan komunitas bisnis; Government-to-Employee (G2E) meliputi layanan G2C serta layanan khusus yang hanya mencakup pegawai pemerintah; dan Government-to Government (G2G) yaitu transaksi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan antar departemen serta perwakilan dan biro terkait (Pascual, 2003). Berdasarkan konsep Transformasi Electronic Government, ada beberapa poin penting yang harus diterapkan oleh birokrasi pemerintahan. Pertama, bagaimana e-Government dapat merubah prinsip “Service to Citizens” menjadi “Service by Citizens”. Jika pada awal evolusi eGovernment,
pemerintah
memanfaatkan
teknologi
informasi
untuk
memperbaiki kinerja dan kualitas pelayanannya kepada masyarakat, maka pada akhir transformasi diharapkan masyarakat melalui sistem e-Government yang ada dapat melayani dirinya sendiri (madani); pada kerangka inifungsi pemerintah berubah dari pengatur menjadi fasilitator. Hal ini dimungkinkan karena adanya beberapa aplikasi yang dapat menggantikan fungsi manusia atau hal-hal yang memerlukan sumber daya fisik menjadi fungsi digital. Kedua, adalah mencoba untuk mengubah fenomena “Citizens in Line” menjadi “Citizens on Line”, dalam arti kata bagaimana jika dahulu masyarakat harus mengantri dan menunggu lama untuk mendapatkan pelayanan maka setelah e-Government diimplementasikan yang bersangkutan tidak harus menunggu lama dan membayar mahal untuk mendapatkan pelayanan karena semuanya dapat dilakukan secara on-line melalui internet (dunia maya). Ketiga, adalah mencoba untuk mengatasi permasalahan “Digital Divide” (kesenjangan digital) dan menjamin terciptanya sebuah “Digital
22
Democracy” (demokrasi digital). Seperti halnya di dunia nyata dimana terjadi kesenjangan sosial dan ekonomi antara si kaya dan si miskin, maka di dalam dunia teknologi informasi dikenal pula fenomena kesenjangan digital, dimana terjadi jurang yang besar antara sedikit dari mereka yang faham danfasih menggunakan teknologi informasi (dan memiliki akses yang mudah terhadapnya), dengan mereka yang sama sekali tidak mampu dan tidak dapat menggunakan teknologi terkait. Keadaan ini akan berpengaruh terhadap terhambatnya dan tertinggalnya negara yang bersangkutan dari kemajuan negara-negara lain yang tidak memiliki kesenjangan digital. Dalam demokrasi digital diharapkan terjadi sebuah lingkungan “dari, oleh, dan untuk” masyarakat yang berinteraksi secara digital, dalam arti kata terdapat pemerataan di dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi. Tujuan akhir dari konsep e-Government ini adalah agar tercipta sebuah sistem informasi digital yang dapat menunjang terciptanya demokratisasi dalam kehidupan bernegara. Keempat, adalah dalam rangka untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemerintah dengan menggantikan proses-proses yang “PaperBased” (manual, berbasis dokumen/ kertas) dengan mengimplementasikan secara utuh konsep “Government Online”. Yang dimaksud dengan proses manual di sini tidak hanya terbatas pada seluruh aktivitas yang masih menggunakan dokumen atau kertas semata, namun seluruh proses-proses konvensional
yang
masih
menggunakan
sumber
daya
fisik
untuk
menyelesaikannya, sementara negara lain telah memanfaatkan teknologi informasi untuk menggantikannya. Inti dari transformasi ini adalah tidak semata untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemerintahan, namun lebih jauh lagi juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan bernegara. Dengan tersedianya hubungan online 24 jam sehari dan 7 hari seminggu, maka pemerintah secara tidak langsung telah membuka diri sebagai mitra kerja dari siapa saja yang membutuhkannya, dari berbagai lapisan masyarakat tanpa kecuali.
23
Kelima, adalah mencoba untuk menggunakan “Digital Knowledge” sebagai pengganti dari “Physical Knowledge”yang selama ini dipergunakan sebagai sumber daya untuk meningkatkan kualitas kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Yang dimaksud dengan digital knowledge di sini adalah bagaimana hasil pengolahan data dan informasi yang mengalir di dalam infrastruktur e-Government dapat dimanfaatkan dan dijadikan sumber pengetahuan berharga bagi siapa saja yang membutuhkan. Mengapa digital knowledge di sini dikatakan lebih baik dari physical knowledge adalah karena proses penciptaan dan penyebaran pengetahuan secara digital jauh lebih mudah dan murah dibandingkan dengan proses penyebaran pengetahuan secara konvensional yang membutuhkan banyak sekali fasilitas dan aset fisik. Dengan adanya aplikasi semacam mailing list, homepage, newgroups dan lain sebagainya, pengetahuan berharga dari seseorang atau lembaga secara instan dan murah dapat disebarkan dan dinikmati oleh siapa saja yang membutuhkannya melalui dunia maya. Harapannya adalah bahwa kualitas pengetahuan masyarakat akan berkembang secara cepat dan signifikan melalui pemanfaatan sistem dan teknologi informasi yang ada (Indrajit, 2002).
E.5 Penerapan e-Government di Indonesia Penerapan e-Government dalam sistem pemerintahan Indonesia sangat relevan dengan era reformasi birokrasi yang saat ini sedang diprogramkan oleh pemerintah. Hal ini karena manfaatnya untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Dengan e-Government, informasi dapat disediakan 24 jam, 7 hari dalam seminggu, tanpa harus menunggu dibukanya kantor. Informasi dapat dicari dari kantor, rumah, tanpa harus secara fisik datang ke kantor pemerintahan. Sehingga pelaksanaan pemerintahan akan lebih efisien. Sebagai contoh, koordinasi pemerintahan dapat dilakukan melalui email atau bahkan video conference. Selain itu, pemberdayaan masyarakat melalui informasi yang mudah diperoleh. Dengan adanya informasi yang mencukupi, masyarakat akan 24
belajar untuk dapat menentukan pilihannya. Sebagai contoh, data-data tentang sekolah; jumlah kelas, daya tampung murid, passing grade dan sebagainya, dapat ditampilkan secara online dan digunakan oleh orang tua untuk memilih sekolah yang pas untuk anaknya. Atau ada pula informasi tentang luas sebuah pulau di Indonesia, jumlah penduduk suatu daerah, dapat diketahui tanpa harus datang ke daerah bersangkutan. Cukup memanfaatkan teknologi internet. Keseriusan pemerintah dalam mewujudkan e-Government juga jelas tercantum dalam lampiran Inpres Nomor 3 Tahun 2003, dimana pemerintah telah menyiapkan strategi nasional pengembangan e-Government. Tetapi permasalahannya adalah bahwa tidak semua masyarakat Indonesia mampu menerapkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Padahal, dengan adanya adanya tantangan global, pemerintah harus menganggarkan dana
yang
cukup
untuk
menerapkan
tahapan-tahapan e-Government.
Sehingga dibutuhkan formula dan strategi jelas tentang penerapan eGovernment di seluruh pemerintah daerah di tanah air agar memiliki agenda dan tujuan yang sama (http://www.biropem.baliprov.go.id/id/E-GovernmentDalam-Transparansi--Sistem-Pemerintahan-Modern- ).
E.6 Komparasi Pengembangan e-Government di Tingkat ASEAN & Negara Anggota PBB Berdasarkan hasil survei Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2012 tentang
Indeks
Pengembangan
e-Government,
Indonesia
menduduki
peringkat ke‐7 di tingkat ASEAN. Posisi tepatnya bahkan masih di bawah Thailand. Sedangkan urutan teratas diduduki oleh Singapura, berikut Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Filipina. Sehingga berdasarkan peringkat tersebut, Indonesia tertinggal jauh dibanding negara‐negara anggota ASEAN lainnya. Dari hasil survei PBB tersebut, pengembangan e‐Government Indonesia dapat dikatakan masih ketinggalan jauh, baik dalam penyediaan layanan online, pembangunan infrastruktur jaringan telekomunikasi maupun
25
dari ketersediaan sumber daya manusianya. Hasil survei menempatkan posisi Indonesia berada pada peringkat ke‐97 di tingkat dunia dengan nilai indeks sebesar 0,4949. Sedangkan berdasarkan hasil peringkat Waseda University tahun 2013 dari 55 negara (Waseda University, 2013), posisi Indonesia pada urutan ke‐40 di atas Philipina (ke‐41) dari 55 negara. Ini artinya posisi Indonesia mengalami penurunan 7 tingkat dari urutan ke‐33 pada tahun 2012 yang berada di atas Vietnam (ke‐38), Brunei (ke‐39), dan Kamboja (ke‐51). Penurunan peringkat tersebut menurut Prihanto (2012) menunjukkan adanya tingkat capaian pengembangan e‐Government Indonesia yang masih rendah. Pada tingkat ASEAN, posisi Indonesia berada pada peringkat ke tujuh setelah Singapura yang berhasil menduduki peringkat pertama (ke‐10 dunia), Malaysia peringkat ke‐2 (ke‐40 dunia), Brunei Darussalam peringkat ke‐3 (ke‐54 dunia), Vietnam peringkat ke‐4 (ke‐83 dunia), Philipina peringkat ke‐5 (ke‐88 dunia), Thailand peringkat ke‐6 (ke‐93 dunia). Hal yang memprihatinkan bahwa ternyata Indonesia hanya berada di atas Laos PDR (peringkat ke‐8), Kamboja (peringkat ke‐9), Myamar (peringkat ke‐10), dan Timor Leste (peringkat ke‐11). Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia berarti memiliki kecepatan atau kemampuan yang lebih rendah dalam mengadopsi pengembangan e‐Governmentnya dibanding Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Philipina, dan Thailand. Meskipun demikian, kecepatan adopsi ini masih jauh lebih tinggi dibanding dengan atas Lao PDR, Kamboja, Myamar, dan Timor Leste. Tetapi meskipun terjadi penurunan peringkat, akan tetapi keberhasilan pengembangan e Government tersebut sudah cukup mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia menaruh perhatian besar pada upaya pengembangan e‐ Government sesuai dengan target yang dicanangkan dalam Plan of action yang
dihasilkan
WSIS
fase
Jenewa
(http://balitbang.kominfo.go.id/balitbang/bppkiyogyakarta/files/2014/04/05_ Artikel-_Igf-Prihanto_des_2013.pdf ).
26
F. Model Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka dapat digambarkan model penelitian yang menjelaskan tentang pelaksanaan program Broadband Learning Center (BLC) oleh Dinas Kominfo Pemkot Surabaya dalam mewujudkan Surabaya Cyber City. Adapun model penelitiannya sebagai berikut: Bagan 1.1 Model Penelitian (Penyelenggara BLC) Dinas Kominfo Pemkot Sby
(Instrumen Pendukung BLC)
(Program Literasi TIK) Broadband Learning Center (BLC)
* Pendukung Teknis 1. Infrastruktur 2. Instruktur * Pelaksanaan BLC Program
(Outcome BLC) (Outcome Literasi Inet)
Literasi Internet
Surabaya Cyber City
* Dinamika Program 1. Problem 2. Tantangan
Pada bagan model penelitian diatas dijelaskan tentang tahapan alur pelaksanaan program BLC oleh Dinas Kominfo Pemkot Surabaya. Dalam pelaksanaannya, BLC terdiri dari beberapa bagian yang diposisikan sebagai instrumen pendukung keberlangsungan program yang diperuntukkan bagi seluruh masyarakat kota Surabaya. Yaitu meliputi: 1) Penyediaan fasilitas & sarana infrastruktur yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pelatihan TIK; 2) Penyediaan SDM tenaga instruktur yang berperan sebagai tenaga pengajar/ fasilitator pelatihan TIK, berikut dengan metode pengajaran serta pembagian tugasnya; 3) Program atau materi TIK yang dipelajari para peserta pelatihan di BLC; 4) Capaian prestasi yang diraih selama pelaksanaan program BLC;
27
5) Problem, permasalahan yang dihadapi Dinas Kominfo Pemkot Surabaya sebagai
pihak
penyelenggara
dan
peserta
pelatihan
BLC
selama
berlangsungnya program; 6) Tantangan pelaksanaan program BLC ke depannya. Keseluruhan instrumen pendukung bagi terlaksananya program BLC tersebut merupakan sebuah upaya yang diselenggarakan oleh Dinas Kominfo Pemkot Surabaya yang bertujuan memberikan outcome/ dampak untuk mewujudkan
literasi
internet.
Yaitu
kemampuan
masyarakat
untuk
memahami, menganalisis, mengakses atau bahkan sampai pada tahapan memproduksi konten new media dalam hubungannya dengan internet sebagai medium komunikasi dan pengelolaan informasi. Dengan terwujudnya literasi internet dalam masyarakat secara merata, maka mereka dapat lebih memiliki kemampuan yang sama dalam menggunakan internet. Sehingga akan menjadikan semua masyarakat kota Surabaya melek IT sekaligus bisa mengatasi digital divide atau kesenjangan digital yang sampai saat ini masih terjadi. Dengan demikian akan memudahkan bagi Dinas Kominfo Pemkot Surabaya untuk mewujudkan Surabaya Cyber City.
G. Kerangka Konsep Pada bagian ini menjelaskan tentang konsep-konsep yang digunakan dalam
objek
penelitian.
Konsep-konsep
tersebut
menjelaskan
alur
pelaksanaan program BLC oleh Dinas Kominfo Pemkot Surabaya untuk mewujudkan Surabaya Cyber City. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah: Tabel 1.2 Kerangka Konsep
No 1.
Konsep Pelaksana
Penjelasan Pelaksana yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kelompok yang berperan sebagai pihak pelaksana
28
program pelatihan ICT/ TIK. Terutama pada tahapan teknis program (pemateri TIK), langsung dibawah supervisi Dinas Kominfo Pemkot Surabaya. Penjabarannya di dalam hasil penelitian nantinya akan lebih fokus pada kualitas dan inovasi SDM dalam tugasnya sebagai tim pengelola BLC. 2.
Infrastruktur
Infrastruktur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah prasarana publik primer yang digunakan dalam proses pelatihan TIK yang diselenggarakan oleh Dinas Kominfo Pemkot Surabaya. Keberadaan infrastruktur sangat mendukung sekaligus menentukan tingkat efisiensi proses belajar mengajar yang dilakukan.
3
Instruktur
Pengertian instruktur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang yang bertugas mengajarkan materi pelatihan TIK yang diselenggarakan oleh Dinas Kominfo Pemkot Surabaya, sekaligus memberikan latihan dan bimbingan kepada peserta pelatihan.
4.
Program
Definisi program yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sekumpulan kegiatan pelatihan TIK yang dilakukan secara sistematis dan terpadu dalam rangka mencapai tujuan agar masyarakat Surabaya melek IT
29
untuk mewujudkan Surabaya Cyber City. Di dalam program tersebut terdapat 3 elemen, yaitu: 1) Jenis Program; 2) Target; 3) Partisipan. Adapun masing-masing pengertiannya adalah sebagai berikut: 1) Jenis Program dalam penelitian ini adalah ragam materi pengajaran TIK dengan menu pelatihan yang berbeda. Semuanya disesuaikan dengan mapping segmentasi & kebutuhan dari peserta pelatihan serta pengunjung. 2) Target dalam penelitian ini adalah sasaran yang telah ditetapkan untuk dicapai dari program pelatihan TIK. Yaitu menjadikan massyarakat Surabaya melek IT, sehingga dapat mewujudkan Surabaya Cyber City. 3) Partisipan dalam penelitian ini adalah orang yang ikut berperan serta dalam kegiatan pelatihan TIK yang terdiri dari beberapa segmen masyarakat. Diantaranya, pelajar, mahasiswa, pekerja dan non pekerja. 5.
Problem
Problem yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hal-hal yang dipermasalahkan di dalam pelaksanaan program pelatihan TIK oleh Dinas
30
Kominfo Pemkot Surabaya, untuk kemudian dicarikan solusinya sesuai dengan target yang telah ditentukan. 6.
Tantangan
Definisi tantangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu upaya yang bersifat memberikan stimuli untuk Dinas Kominfo Pemkot Surabaya agar lebih meningkatkan kemampuannya. Yaitu mewujudkan Surabaya Cyber City melalui program pelatihan TIK.
7.
Literasi Internet
Literasi internet dalam penelitian ini adalah kemampuan masyarakat untuk mengoperasikan komputer & mengakses internet atau bahkan sampai pada tahapan memproduksi konten new media sebagai bentuk pemberdayaan (empowerment). Tujuannya agar mereka lebih menguasai TIK sehingga dapat berinteraksi serta mengakses informasi pelayanan pemerintah berbasis digital.
8.
Cyber City
Definisi Cyber City dalam penelitian ini adalah masyarakat jaringan yang saling terhubung antara satu dengan lainnya dalam sebuah kompleksitas simbiosis mutualisme. Mereka terdiri dari “aktor” yaitu instansi, masyarakat, organisasi yang terikat dalam sebuah interaksi secara digital. Untuk itu, Cyber Cityharus memiliki infrastruktur TIK yang lengkap baik kuantitas dan kualitasnya yang
31
dengan fasilitas akses informasi, internet, pangkalan data, intranet yang mempunyai kecepatan tinggi dan kapasitas yang besar.
H. Metodologi Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sifat deskriptif diarahkan untuk menggambarkan fenomena yang terjadi berkaitan dengan pelaksanaan program Broadband Learning Center (BLC) oleh Dinas Kominfo Pemkot Surabaya untuk mewujudkan masyarakat Surabaya Cyber City. Sifat kualitatif mengarah pada latar belakang instansi dan konteks sosial secara komprehensif berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. Metode dalam penelitian ini menggunakan studi kasus untuk menjawab pertanyaan, bagaimana pelaksanaan program Broadband Learning Center (BLC) oleh Dinas Kominfo Pemkot Surabaya untuk mewujudkan Surabaya Cyber City periode 2014-2015. H.1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Menurut Bogdan dan Bikien (1982), studi kasus merupakan pengujian secara rinci terhadap sebuah latar atau satu orang subjek atau satu tempat penyimpanan dokumen atau satu peristiwa tertentu. Dalam penelitian ini, metode studi kasus dipilih untuk mengetahui lebih detil tentang pelaksanaan program Broadband Learning Center (BLC) sebagai pusat pelatihan IT bagi masyarakat Surabaya. Sehingga dapat diketahui tentang pelaksanaan program BLC oleh Dinas Kominfo Pemkot Surabaya selama periode 2014-2015 untuk mewujudkan Surabaya Cyber City (SCC). Studi kasus dipilih karena dengan metode ini diharapkan akan lebih fokus pada persoalan dengan penggalian masalah secara lebih mendalam dan dapat dianalisis lebih baik. Sehingga akan diperoleh kesimpulan yang lebih
32
baik tentang Dinas Kominfo Pemkot Surabaya dalam mengkomunikasikan program Broadband Learning Center (BLC) kepada masyarakat kota Surabaya untuk mewujudkan Surabaya Cyber City. Selain itu, pemilihan studi kasus dianggap cocok, karena dalam penelitian ini akan menjawab pertanyaan “bagaimana”. Kasus ini dianggap menarik untuk diteliti karena tidak semua Dinas Kominfo di Indonesia yang memiliki Broadband Learning Center, yaitu pusat pelatihan IT dengan materi pengenalan internet dan aplikasinya yang diberikan secara gratis dan bersertifikat sebagai media literasi IT bagi masyarakatnya. H.2 Objek Penelitian Penelitian ini dilakukan di kantor Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang berlokasi di Jalan Jimerto No 25-27 Lt V Surabaya. Pertimbangan penting yang mendasari pemilihan lokasi adalah karena Dinas Kominfo merupakan instansi di Pemkot Surabaya yang melaksanakan program Broadband Learning Center (BLC) sejak tahun 2009. H.3 Fokus Penelitian Fokus penelitian ini adalah pelaksanaan program BLC oleh Dinas Kominfo Pemkot Surabaya untuk mewujudkan Surabaya Cyber City selama periode 2014-2015.
H.4 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan studi kasus (Wimmer, 2000: 110; Kriyantono, 2006: 95), yaitu dilakukan dengan teknik: a. Focus Group Discussion (FGD) Yaitu teknik pengumpulan data informasi dengan cara mengumpulkan peserta pelatihan IT. Hal ini dibutuhkan untuk mengoreksi kebenaran informasi dari masing-masing informan. Dalam FGD, seringkali ada beberapa hal berupa data/ informasi yang tidak dapat muncul karena sifat
33
hubungan peneliti dengan yang diteliti tidak memungkinkannya (Suyanto, 2006). b. Wawancara Penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam (indepth interview) dan berstruktur dengan memakai daftar pertanyaan sebagai acuan. Teknik wawancara mendalam dilakukan dengan cara bertatap muka langsung dengan informan agar mendapatkan data lengkap dan mendalam. Yaitu mengarah fokus pada topik pengelelolaan Broadband Learning Center (BLC) untuk mewujudkan Surabaya Cyber City. Aktivitas wawancara
dilakukan
secara
intensif.
Dalam
wawancara,
peneliti
memposisikan informan agar bersedia memberikan jawaban-jawaban lengkap & mendalam serta bila perlu tidak ada yang disembunyikan. Caranya dengan mengusahakan wawancara berlangsung informal seperti orang sedang mengobrol. c. Observasi Langsung Yaitu teknik pengamatan secara langsung pada objek yang diteliti secara sistematik dengan melakukan kunjungan langsung. Data yang dikumpulkan melalui observasi ada dua bentuk yaitu: 1) Interaksi dan 2) Percakapan. Observasi yang dilakukan peneliti merupakan observasi langsung dan tak langsung (pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya suatu peristiwa yang sedang diteliti, tetapi melalui dokumentasi data, artikel, rangkaian slide atau rangkaian foto) agar peneliti dapat melakukan penelitian secara obyektif. Menurut Wimmer & Dominick (2000) dalam Teknik Praktis Riset Komunikasi (Kriyantono, 2006), dalam riset ada dua jenis metode observasi, yaitu observasi partisipan & non-partisipan. d. Dokumentasi Yaitu pengambilan data sekunder dengan mempelajari berbagai dokumen. Pertimbangan jenis dokumen-dokumen yang dapat digunakan meliputi: 1) data Dinas Kominfo Pemkot Surabaya mengenai sejarah dan struktur organisasi, 2) data berupa sejarah, berita atau informasi mengenai Pemkot Surabaya, 3) data mengenai sejarah dan struktur organisasi pengelola
34
Broadband Learning Center (BLC) untuk mewujudkan Surabaya Cyber City, 4) data mengenai hasil pelaksanaan pelatihan IT oleh BLC, 5) surat, memorandum atau surat keputusan yang mendukung untuk penelitian ini.
H.5 Teknik Penentuan Informan Penentuan informan dalam penelitian ini lebih fokus pada kesesuaian realitas di lapangan. Wawancara dengan para informan untuk mengetahui kondisi riil tentang peran Dinas Kominfo Pemkot Surabaya dalam melaksanakan program Broadband Learning Center (BLC). Berikut data narasumber yang dilibatkan dalam kegiatan wawancara:
No
Tabel 1.3 Data Narasumber Wawancara Narasumber Keterangan
Waktu Pelaksanaan
1.
Ir. Antiek Sugiharti, M.Si
Kepala Dinas Kominfo Pemkot Surabaya
2 September 2014; 6 Desember 2014; 10 Maret 2015 (wawancara dilakukan 3x untuk mengetahui up date pelaksanaan program BLC) 10 Maret 2015
2.
Cahyono Utomo, ST, MTP
Sekretaris Dinas Kominfo
3.
drh. Irvan Dani Ananda
10 Maret 2015
4.
Rudiantara
Kabid Sarana Komunikasi & Diseminasi Informasi Dinas Kominfo Pemkot Surabaya Menteri Kominfo
5.
Arief Insani, S.Kom, MT
Kasie Penyiaran dan Kemitraan Media
10 Maret 2015
6.
Dr. Henry Subiakto, SH, MA
7.
Juli Setyaningsih
Staf Ahli Kementerian Kominfo Bidang Media Massa Koordinator Instruktur
Pemkot Surabaya
BLC Taman Prestasi
7 Maret 2015
2 September 2014
16 Desember 2014 11 Maret 2015
35
8.
Aris
9.
Rizki Sari Nastiti
10.
Dita
11.
Ricky
12. 13.
I.
Instruktur BLC Taman Prestasi Instruktur BLC Grudo
11 Maret 2015
16 Desember 2014
Budiono
Instruktur BLC Rumah Bahasa Instruktur BLC Rumah Bahasa Praktisi IT
Erwin K. Aditama
Praktisi IT
11 Maret 2015
16 Desember 2014 12 Februari 2015 7 April 2015
Teknik Analisis Data Untuk mengetahui tentang pola komunikasi yang tercipta antara Dinas Kominfo Pemkot Surabaya melalui tim BLC dalam menyampaikan pesan komunikasi berupa program literasi TIK kepada peserta pelatihan di BLC, maka dijelaskan dengan pendekatan atau asumsi pokok dalam memahami komunikasi. Yaitu memposisikan komunikasi sebagai interaksi yang bersifat multi dimensi (communication is multi dimensional). Baik berkaitan dengan dimensi dan karakter komunikator (sources), pesan (message) yang akan disampaikan, media (channels or tools) yang digunakan, komunikan (audiences) yang menjadi sasarannya dan dampak (effect) yang ditimbulkan (Ruslan, 1999). Bahwa manajemen komunikasi merupakan tools yang digunakan oleh Dinas Kominfo Pemkot Surabaya untuk mencapai tujuannya, yakni mewujudkan masyarakat kota Surabaya melek IT secara keseluruhan melalui program BLC. Penelitian ini menempatkan pelaksanaan program BLC selama periode 2014-2015 oleh Dinas Kominfo Pemkot Surabaya dalam perspektif komunikasi, sebagaimana yang disebutkan dalam fokus penelitian. Sedangkan tujuan teknik analisis data dalam penelitian ini yaitu mengetahui tentang bagaimana pelaksanaan program BLC yang diselenggarakan oleh Dinas Kominfo Pemkot Surabaya dengan dibantu tim BLC yang berperan sebagai tenaga pengajar TIK. Dinamika pelaksanaan program BLC menyertakan bagaimana proses komunikasi yang terbangun pada hubungan antara
Dinas
Kominfo
Pemkot
Surabaya
dan
tim
BLC
dalam
36
menyelenggarakan pelatihan TIK untuk masyarakat Surabaya. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan mengetahui tentang apa saja upaya yang dilakukan oleh Dinas Kominfo Pemkot Surabaya bersama tim BLC dalam melakukan transfer knowledge literasi TIK yang bertujuan untuk menjadikan seluruh masyarakat kota Surabaya melek IT. Pendekatan
tersebut
juga
mengungkapkan
tentang
proses
penyampaian dan penerimaan pesan komunikasi selama pelaksanaan program BLC pada periode 2014-2015. Sehingga peneliti dapat menemukan titik celah kekurangan dari segi penerapan manajemen komunikasi pada Dinas Kominfo Pemkot Surabaya sebagai penyelenggara program BLC.
J.
Limitasi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus. Seperti yang dirumuskan Yin (2012), studi kasus merupakan metode mengacu pada penelitian yang mempunyai unsur how dan why pada pertanyaan utama penelitiannya dan meneliti masalah-masalah kontemporer (masa kini). Dalam penelitian ini, studi kasus yang digunakan teknik studi kasus penjodohan pola, yakni membandingkan pola yang didasarkan data empiris dengan pola yang diprediksikan. Jika kedua pola ada persamaan, maka hasilnya dapat menguatkan validitas studi kasus yang sedang diteliti. Teknik studi kasus penjodohan pola juga yang dijadikan acuan pembatasan dalam menganalisa objek penelitian tentang pelaksanaan program Broadband Learning Center (BLC) oleh Dinas Kominfo Pemkot Surabaya. Adapun limitasi tersebut meliputi: 1.
Penelitian ini terbatas pada Dinas Kominfo Pemkot Surabaya.
2.
Objek penelitian ini adalah pelaksanaan program BLC oleh Dinas Kominfo
Pemkot
Surabaya
selama
periode
2014-2015
untuk
mewujudkan Surabaya Cyber City berdasarkan perspektif komunikasi. Yaitu untuk mengetahui tentang pelaksanaan program BLC oleh Dinas Kominfo Pemkot Surabaya.
37
3.
Melalui perspektif komunikasi, penelitian ini hanya memfokuskan pada proses komunikasi yang terjadi antara Dinas kominfo Pemkot Surabaya, tim BLC dan peserta pelatihan di BLC serta hasil yang dicapai selama periode pelaksanaan program.
38