1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Untuk mengukur kadar keterpencapaian kurikulum di jenjang sekolah, khususnya yang mencakup tujuan dan isi, penilaian terhadap pencapaian hasil pembelajaran harus dilakukan. Dalam kurikulum yang berbasis kompetensi sebagaimana yang dipergunakan di dunia pendidikan di Indonesia yang bernama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) komponen penilaian menempati posisi penting. Ada tiga fokus utama dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi,
yaitu
penentuan
kompetensi,
pengembangan
silabus,
dan
pengembangan penilaian. Oleh karena itu, salah satu kompetensi yang harus dikuasai oleh guru adalah melaksanakan penilaian hasil pembelajaran. Penilaian merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dengan kegiatan belajar mengajar. Perubahan Kurikulum 1994 menjadi Kurikulum 2004 membawa implikasi terjadinya perubahan penilaian khususnya pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Keberhasilan kegiatan belajar mengajar bergantung pada kegiatan penilaian. Kegiatan belajar mengajar akan efektif apabila didukung oleh kegiatan penilaian yang efektif pula. Untuk itu, diperlukan penilaian yang hadir sebagai alternatif penilaian untuk menilai semua aspek kemampuan yang tidak dapat dinilai dengan tes tertulis (paper and pencil test). Salah satunya adalah melalui penilaian otentik. Menurut Suparlan, Budimansyah dan Meirawan (2009:8
2
6) menerangkan bahwa penilaian otentik dilakukan untuk mengukur kemampuan siswa yang sebenarnya. Bukan hanya perkiraan kemampuan yang diperoleh dari tes faliditasnya belum diketahui. Penilaian otentik pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan tidak hanya mengukur ranah kognitif saja namun juga mengukur ranah afektif dan psikomotor siswa. Komponen penilaian otentik diyakini memberikan dampak nyata bagi keberhasilan pembelajaran kompetensi kepada siswa, maka penilaian kini ditempatkan pada posisi yang penting alam rangkaian kegiatan pembelajaran. Bentuk dan cara penilaian dalam banyak hal memberikan pengaruh penting bagi proses pembelajaran, bagaimana guru harus membelajarkan dan bagaimana siswa harus belajar, dan karenanya menentukan pencapaian kompetensi. Pada kenyataannya, penilaian otentik belum begitu populer dilaksanakan di setiap sekolah khususnya pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, proses penilaian dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan selama ini lebih menekankan pada dampak instruksional yang terbatas dalam setiap materi pokok hanya diorientasikan pada aspek kognitif dengan taksonomi tingkat rendah, hal ini berakibat pencapaian aspek kompetensi afektif dan psikomotor tidak maksimal. Tidak heran kalau studi tentang Civic Education yang dilakukan oleh National Foundation for Educational Research in England and Wales (NFER) menghasilkan beberapa temuan, diantaranya adalah deskripsi tentang “citizenhip education continuum” MINIMAL dan MAKSIMAL (Kerr, 1999:5). Citizenship Education pada titik minimal ditandai oleh “thin, exclusive, elitist, civics education, formal, content led, knowledge based, didactic transmission, easier to
3
achieved and measure in practice (Kerr, 1999:6)”. Maksudnya adalah didefinisikan secara sempit, hanya mewadahi aspirasi tertentu, berbentuk pengajaran kewarganegaraan (Civic Education), bersifat formal, terikat oleh isi, berorientasi pada pengetahuan, menitikberatkan pada proses pengajaran, hasilnya mudah diukur. Civic education yang bersifat maksimal ditandai oleh “thick, inclusive, activist, citizenship education, participative, process led, values based, interactive interpretation, more difficult to achieve and measure in practice” (Kerr, 1999:7). Maksudnya adalah didefinisikan secara luas, mewadahi berbagai aspirasi dan menitikberatkan berbagai unsur masyarakat, kombinasi pendekatan formal dan informal, dilabeli “citizenship education”, menitikberatkan pada partisipasi siswa melalui pencarian isi dan proses interaktif di dalam maupun di luar kelas, hasilnya lebih sukar dicapai dan diukur karena kompleksnya hasil belajar. Berdasarkan konseptualisasi di atas, Kerr (1999:16) mengemukakan bahwa
di
negara-negara
Asia
Tenggara
“citizenship
education”
lebih
mencerminkan kategori “MINIMAL” sebagai “Education About Citizenship”, yaitu memusatkan perhatian pada “...providing students with sufficient knowledge and understanding of national history and the structures and processes of government and political life”. Berdasarkan temuan di atas, khusus dalam hal penilaian, terungkap bahwa di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia digolongkan sebagai “...easier to achieved and measure in practice...” atau hasilnya mudah diukur.
4
Keadaan tersebut juga sejalan dengan hasil temuan Sadeli (2008), yang mengungkapkan bahwa penilaian pencapaian kompetensi siswa pada setiap materi pokok hanya diorientasikan pada aspek kognitif dengan taksonomi tingkat rendah yaitu melalui tugas-tugas Lembar Kerja Siswa (LKS), ulangan harian, Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS), hal ini berakibat pencapaian aspek kompetensi afektif dan psikomotor tidak maksimal, Sehingga untuk mengukur pencapaian siswa pada kompetensi pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, pada umumnya guru menggunakan instrumen penilaian yang lebih menekankan pada aspek kognitif. Siswa hanya dituntut untuk menguasai konsep-konsep tertentu tanpa disertai tagihan lain yang lebih komprehensif, sehingga nilai Pendidikan Kewarganegaraan mudah dicapai. Sekaitan dengan hal di atas, Wildaiman (2006) mengungkapkan bahwa, di sekolah, kemampuan peserta didik untuk memahami arti khusus (menerapkan konsep) itu biasanya diukur dengan soal-soal yang umumnya bersifat kuatitatif. Jika dikaji, soal-soal yang biasa digunakan dalam Evaluasi Bersama Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) atau Ujian Nasional (UN), ternyata soal-soal Ebtanas atau UN dari tahun 1991 hingga 2008 sebagian besar bersifat kuantitatif dan sedikit yang bersifat kualitatif paling banyak 24% dari 50 butir soal yang terdapat pada tes Ebtanas tahun 1995 dan 1998. Soal-soal UN 2008 yang bersifat kualitatif hanya 8%. Diasumsikan jika peserta didik sudah dapat mengerjakan soal-soal yang bersifat kuantitatif itu, maka berarti sudah mengungkap arti khusus itu. Selain itu, ada kasus menarik yang terjadi di Inggris yang ditemukan oleh Shirran (2008:1) bahwa guru salah satu mata pelajaran yang didatangi oleh salah
5
seorang orang tua siswa yang tidak puas dengan nilai yang diberikan oleh guru, sehingga orang tua tersebut mempertanyakan dari aspek apa saja guru memberikan anaknya nilai yang rendah. Jawaban dari guru ternyata tidak memuaskan, sehingga orang tua tersebut mengajukan protes kepada kepala sekolah. Dalam menyelidiki masalah tersebut, kepala sekolah melakukan wawancara informal dengan guru tadi. Akhirnya ditemukan bahwa guru tidak memakai prosedur evaluasi yang seharusnya. Kepala sekolah menyimpulkan bahwa, meskipun tugas yang diberikan guru itu menarik dan memang mencapai tujuan mata pelajaran tersebut, metode guru itu cacat, tidak akurat dan kurang bagus. Dengan melihat kasus tersebut jelas bahwa harus ada standar penilaian yang diberikan oleh guru, sehingga jelas bahwa nilai tersebut betul-betul mewakili kompetensi yang dimiliki oleh siswa. Bahkan menurut Shirran (2008:2) bahwa sebelum seorang siswa mulai menggarap tugas apa saja untuk mata pelajaran apa saja, guru harus dengan jelas dan di depan umum menyebutkan tiga komponen evaluasi ; Tingkat kriteria yang tertulis, Tingkat pemikiran akademik, Peryataan tentang persyaratan. Bila melihat ketiga komponen evaluasi tersebut, guru harus jelas tentang hal ini, ketiga bagian proses penilaian ini harus disebutkan dengan jelas kepada siswa dan orang tua siswa untuk tugas apa saja. Berdasarkan hal di atas, jelas bahwa peserta didik dalam hal ini siswa hanya dinilai dari aspek penguasaan konsep saja dengan jumlah soal yang ada, sedangkan penilaian aspek lainnya belum mendapat perhatian yang cukup. Maka dari itu, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang dibelajarkan di sekolah kurang mendapat perhatian dari siswanya, bahkan sering dianggap mata
6
pelajaran yang kurang menarik. Terkait dengan penilaian tersebut, Budimansyah (2004:7) mengemukakan satu di antara indikasi empirik yang menunjukkan salah kaprahnya pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dari visi dan misinya adalah sebagai berikut: ...penilaian dalam Pendidikan Kewarganegaraan lebih menekankan pada dampak instruksional yang terbatas pada penguasaan materi atau dengan kata lain hanya menekankan pada dimensi kognitifnya saja. Sedangkan pengembangan dimensi-dimensi lainnya (afektif dan psikomotorik) dan pemerolehan dampak pengiring sebagai hidden curriculum belum mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Hal di atas tentu saja berbeda dengan esensi penilaian yang sebenarnya, sebab menurut Sapriya (2003): Penilaian merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa yang diperoleh melalui pengukuran untuk menganalisis atau menjelaskan unjuk kerja atau prestasi siswa dalam mengerjakan tugas-tugas yang terkait. Proses penilaian ini meliputi pengumpulan sejumlah bukti-bukti yang menunjukkan pencapaian hasil belajar siswa. Dengan demikian, penilaian adalah suatu pernyataan berdasarkan sejumlah fakta untuk menjelaskan karakteristik seseorang atau sesuatu Berdasarkan uraian di atas, penilaian Pendidikan Kewarganegaraan yang mudah
dicapai dan diukur dalam penilaian harus secepatnya diubah, agar
penilaian Pendidikan Kewarganegaraan menjadi lebih komprehensif dan bermakna. Untuk itu, hal ini menjadi penting sebagai pijakan untuk melakukan pembenahan penilaian Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam kerangka itu, Budimansyah (2004) mengemukakan bahwa “penilaian yang digunakan dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan harus menerapkan prinsip penilaian proses dan hasil”. Penilaian proses dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung. Hasil penilaian proses dipergunakan untuk memperbaiki proses
7
pembelajaran. Oleh karena itu, tujuan penilaian proses adalah mencari umpan balik (feedback) untuk memperbaiki pembelajaran yang sedang berlangsung. Penilaian hasil dilakukan untuk memperoleh data atau informasi sampai dimana penguasaan atau pencapaian belajar siswa terhadap bahan pelajaran yang telah dipelajarinya selama jangka waktu tertentu, dilakukan penilaian hasil belajar. Sementara Branson (1999:4) mengidentifikasi ada tiga komponen penting yang harus dicapai ole siswa dalam Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu Civic Knowledge
(pengetahuan
kewarganegaraan),
Civic
Skills
(keterampilan
kewarganegaraan), dan Civic Disposition (watak-watak kewarganegaraan). Komponen pertama, civic knowledge “berkaitan dengan kandungan atau nilai apa yang seharusnya diketahui oleh warganegara” (Bransons 1999:8). Aspek ini menyangkut kemampuan akademik-keilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori atau konsep politik, hukum dan moral. Dengan demikian, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bidang kajian multidisipliner. Secara lebih terperinci, materi pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab warga negara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non-pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasar hukum (rule of law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat. Kedua, Civic Skills meliputi keterampilan intelektual (intelectual skills) dan keterampilan berpartisipasi (participatory skills) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh keterampilan intelektual adalah keterampilan dalam
8
merespon berbagai persoalan politik, misalnya merancang dialog dengan DPRD. Contoh keterampilan berpartisipasi adalah keterampilan menggunakan hak dan kewajibannya di bidang hukum, misalnya segera melapor kepada polisi atas terjadinya kejahatan yang diketahui. Ketiga, Civic Disposition (Watak-watak kewarganegaraan), komponen ini sesungguhnya merupakan dimensi yang paling substantif dan esensial dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Dimensi watak kewarganegaraan dapat dipandang sebagai "muara" dari pengembangan kedua dimensi sebelumnya. Dengan memperhatikan visi, misi, dan tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, karakteristik mata pelajaran ini ditandai dengan penekanan pada dimensi watak, karakter, sikap dan potensi lain yang bersifat afektif. Untuk mencapai ketiga kompetensi tersebut diperlukan penilaian pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang efektif, sehingga kompetensikompetensi tesebut bisa tercapai. Dalam demokrasi konstitusional, “civic education yang efektif adalah suatu keharusan” (Barber, 1992), karena kemampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat demokratis, berpikir secara kritis, dan bertindak secara sadar dalam dunia yang plural, memerlukan empati yang memungkinkan kita mendengar dan oleh karenanya mengakomodasi pihak lain, semuanya itu memerlukan kemampuan yang memadai. Selanjutnya, Branson (Winataputra dan Budimansyah 2007:196-198) memberikan contoh indikator ketercapaian kompetensi kewarganegaraan siswa dalam hal pengetahuan, ketrampilan dan watak kewarganegaraan sebagai mana diuraikan berikut ini. Pertama, komponen civic knowledge harus diwujudkan
9
dalam bentuk lima pertanyaan penting yang secara terus-menerus harus diajukan sebagai sumber belajar Pendidikan Kewarganegaraan. Lima pertanyaan yang dimaksud
adalah:
(1)
apa
kehidupan
kewarganegaraan,
politik,
dan
pemerintahan?; (2) apa dasar-dasar sistem politik Indonesia?; (3) bagaimana pemerintahan yang dibentuk oleh konstitusi mengejewantahkan tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip demokrasi Indonesia?; (4) bagaimana hubungan antara Indonesia dengan negara-negara lain di dunia?; (5) apa peran warganegara dalam demokrasi Indonesia?. Kedua, komponen civic skills memiliki kecakapan-kecakapan intelektual dan partisipatoris yang relevan. Kecakapan-kecakapan intelektual meliputi: berpikir kritis, mengidentifikasi, mendeskripsikan, menjelaskan dan menganalisis, mengevaluasi, mengambil, dan mempertahankan pendapat; sedangkan kecakapan partisipatoris mencakup: berinteraksi, memonitor, dan mempengaruhi. Ketiga, komponen civic disposition mengisyaratkan pada karakter publik maupun privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional.
Watak
kewarganegaraan
sebagaimana
kecakapan
kewarganegaraan, berkembang secara perlahan sebagai akibat dari apa yang telah dipelajari dan dialami oleh seseorang di rumah, sekolah, komunitas, dan organisasi-organisasi civil society. Secara singkat karakter publik dan privat itu adalah (a) menjadi anggota masyarakat yang independen, (b) memenuhi tanggung jawab personal kewarganegaraan di bidang ekonomi dan politik, (c) menghormati harkat dan martabat kemanusiaan tiap individu, (d) berpartisipasi dalam urusan-
10
urusan kewarganegaraan secara efektif dan bijaksana; (e) mengembangkan berfungsinya demokrasi konstitusional secara sehat. Kedua karakter tersebut memerlukan dukungan kompetensi/karakteristik yang harus nampak pada diri warga negara. Cogan (1998:115) mengkonstruksi karakteritik yang harus dimiliki warga negara sebagai berikut: 1.
2.
3.
4. 5.
6.
7.
8.
the ability to look at and approach problems as a member of a global society (kemampuan mengenal dan mendekati masalah sebagai warga masyarakat global) the ability to work with others in a cooperative way and to take responsibility for one’s roles/duties within society (kemampuan bekerjasama dengan orang lain dan memikul tanggung jawab atas peran atau kewajibannya dalam masyarakat) the ability to understand, accept, appreciate and tolerate cultural differences (kemampuan untuk memahami, menerima, dan menghormati perbedaan-perbedaan budaya) the capacity to think in a critical and sistemic way (kemampuan berpikir kritis dan sistematis) the willingness to resolve conflict and in a non-violent manner (kemampuan menyelesaikan konflik dengan cara damai tanpa kekerasan) the willingness to change one’s lifestyle and consumption habits to protect the environment (kemampuan mengubah gaya hidup dan pola makanan pokok yang sudah biasa guna melindungi lingkungan) the ability to be sensitive towards and to defend human rights (eg, rights of women, ethnic minorities, etc), and (memiliki kepekaan terhadap dan mempertahankan hak asasi manusia (seperti hak kaum wanita, minoritas etnis, dsb) the willingness and ability to participate in politics at local, national and international levels (kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan politik pada tingkatan pemerintahan lokal, nasional, dan internasional).
Tuntutan pengembangan karakteristik warga negara di atas menurut Cogan (1998:117) harus dikonstruksi dalam kebijakan pendidikan kewarganegaraan yang multidimensional (multidimensional citizenship), yang ia gambarkan dalam empat dimensi yang saling berinterelasi, yaitu the personal, social, spatial and temporal dimension. Keempat dimensi ini akan melahirkan atribut kewarganegaraan yang
11
mungkin akan berbeda di tiap negara sesuai dengan sistem politik negara masingmasing, yakni: (1) a sense of identity; (2) the enjoyment of certain rights; (3) the fulfilment of corresponding obligations; (4) a degree of interest and involvement in public affairs; and (5) an acceptance of basic societal values. Bagi Indonesia, karakter kewarganegaraan akan memiliki kekhususan sesuai dengan ideologi yang dianut, yakni Pancasila dan Konstitusi yang berlaku di Indonesia, ialah UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Dalam konteks ini juga, maka Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bagian integral dari Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dan Pendidikan pada umumnya memiliki peran penting karena “mata pelajaran ini secara etimologis pada awalnya dikembangkan dalam tradisi Citizenship Education antara lain mengembangkan nilai demokrasi dan kesadaran berdemokrasi untuk menegakkan negara
hukum” (Al Muchtar,
2000:19).
Oleh karena
itu,
Pendidikan
Kewarganegaraan di sekolah sangatlah penting, yakni untuk membekali siswa pengetahuan dasar nilai-nilai demokrasi sehingga dalam diri siswa tumbuh kesadaran berdemokrasi yang diperlukan guna menegakkan negara hukum. Salah Satu tuntutan dalam peningkatan sumber daya manusia itu adalah peningkatan sikap dan perilaku warga negara yang demokratis, karena salah satu cita-cita kehidupan bangsa dan negara Indonesia adalah terwujudnya suatu tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya pendidikan demokrasi yang baik. Winataputra, (2002:119) menyatakan bahwa "ethos demokrasi sesungguhnya tidaklah diwariskan, tetapi
12
dipelajari dan dialami". Oleh karena itu, pendidikan demokrasi sangat penting artinya dalam upaya pembentukan warga negara yang demokratis. Pendidikan merupakan instrumen pengembangan demokrasi yang sangat penting, baik aspek konseptual maupun penerapannya. Tujuan pendidikan demokrasi menurut Manan (2003:146) adalah "menumbuhkan kesadaran berdemokrasi, pengetahuan mengenai mekanisme demokrasi seperti democratic responsibility, fairness, transparency, peaceful, moderate, dan lain-lain". Tujuan pendidikan demokrasi ini sangat penting untuk dicermati oleh pars pendidikan agar tidak terjebak pada pemberian pengetahuan demokrasi semata. Oleh karena itu, dalam pendidikan demokrasi selain pendidikan konseptual harus pula diikuti dengan latihan berdemokrasi. Salah satu mata pelajaran yang bertanggung jawab untuk
pendidikan
demokrasi
itu
adalah
mata
pelajaran
Pendidikan
Kewarganegaraan, karena Pendidikan Kewarganegaraan ini dalam sejarahnya "mengambil bagian dari ilmu politik yaitu demokrasi politik" (Somantri; 2001 : 274). Agar pencapaian kompetensi kewarganegaraan siswa dapat tecapai secara optimal, maka diperlukan penilaian hasil pembelajaran yang komprehensif, yaitu melalui penilaian otentik. Dalam suatu proses pembelajaran, penilaian otentik mengukur, memonitor dan menilai semua aspek komponen kompetensi yang tercakup dalam pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), kecakapan kewarganegaraan (civic skill), dan watak kewarganegaraan (civic disposition) atau domain kognitif, afektif, dan psikomotor, baik yang tampak sebagai hasil akhir dari suatu proses pembelajaran, maupun berupa perubahan dan perkembangan
13
aktivitas, dan perolehan belajar selama proses pembelajaran didalam kelas maupun diluar kelas. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka penulis mengajukan masalah pokok penelitian ini, yaitu : Apakah terdapat Perbedaan Kompetensi Kewarganegaraan Siswa dalam Materi Demokrasi pada Kelas Eksperimen yang menggunakan Penilaian Otentik dengan Siswa pada Kelas Kontrol? Agar penelitian ini lebih terarah dan terfokus pada pokok permasalahan, maka masalah pokok tersebut penulis jabarkan dalam beberapa sub-sub masalah sebagai berikut: 1. Apakah terdapat perbedaan pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge) siswa dalam materi demokrasi antara siswa pada kelas eksperimen yang menggunakan sistem penilaian otentik (more difficult to achieve) dengan siswa pada kelas kontrol? 2. Apakah terdapat perbedaan Kecakapan Kewarganegaraan (Civic Skill) siswa dalam materi demokrasi antara siswa pada kelas eksperimen yang menggunakan sistem penilaian otentik (more difficult to achieve) dengan siswa pada kelas kontrol? 3. Apakah terdapat perbedaan Kebajikan Kewarganegaraan (Civic Disposition) siswa dalam materi demokrasi antara siswa pada kelas eksperimen yang menggunakan sistem penilaian otentik (more difficult to achieve) dengan siswa pada kelas kontrol?
14
4. Apakah terdapat perbedaan kompetensi kewarganegaraan siswa dalam materi demokrasi antara siswa pada kelas eksperimen yang menggunakan sistem penilaian otentik (more difficult to achieve) dengan siswa pada kelas kontrol? C. Variabel Penelitian dan Definisi Variabel 1. Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini adalah Pengaruh Penilaian Otentik (authentic assessment) dan Kompetensi Kewarganegaraan Siswa SMP dalam Materi Demokrasi. 2. Definisi Operasional Variabel Penelitian Setiap terminologi memiliki makna yang berbeda dalam konteks dan dalam lapangan studi yang berbeda. Oleh sebab itu, untuk memperjelas konsep dari variabel yang diteliti, sehingga tidak mengundang tafsir yang berbeda, maka dirumuskan definisi operasional atas variabel penelitian berikut ini. a. Penilaian Otentik (Authentic Assessment) Penilaian otentik adalah suatu penilaian belajar yang merujuk pada situasi atau konteks “dunia nyata”, yang memerlukan berbagai macam pendekatan untuk memecahkan masalah yang memberikan kemungkinan bahwa satu masalah bisa mempunyai lebih dari satu macam pemecahan. Menurut Suparlan, Budimansyah dan Meirawan (2009:86) menerangkan bahwa penilaian otentik dilakukan untuk mengukur kemampuan siswa yang sebenarnya. Bukan hanya perkiraan kemampuan yang diperoleh dari tes faliditasnya belum diketahui. Penilaian otentik pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan tidak hanya mengukur ranah kognitif saja namun juga mengukur ranah afektif dan psikomotor siswa.
15
Tabel 1.1 Komponen Penilaian Otentik (authentic assessment) dalam Pendidikan Kewarganegaraan No 1
Variabel
Penilaian Otentik (authentic assessment)
Dimensi Penilaian Komponen Civic Knowledge
Penilaian Komponen Civic Skill
Penilaian komponen Civic Disposition
Indikator a. Tingkat pengetahuan b. Tingkat pemahaman c. Tingkat penerapan d. Tingkat analisis e. Tingkat sintesis f. Tingkat evaluasi a. kemauan untuk menerima pelajaran dari guru b. perhatian siswa c. hasrat untuk bertanya d. kemauan untuk mempelajari bahan pelajaran lebih lanjut e. menerapkan hasil pelajaran f. senang terhadap guru dan mata pelajaran a. Reciving/attending b. responding c. valuing d. organisasi e. karakteristik nilai atau internalisasi nilai
Alat Ukur Tes uraian Tes bentuk objektif - multiple choice
Performance Test Penilaian Produk
Attitude Scale
b. Pendidikan Kewarganegaraan Dalam penelitian ini, istilah Pendidikan Kewarganegaraan pada dasarnya digunakan dalam pengertian sebagai civic education, yaitu Pendidikan Kewarganegaraan yang berkedudukan sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah. Kerr (Winataputra dan Budimansyah, 2007:4), mengemukakan bahwa Citizenship education or civic education didefinisikan sebagai berikut: Citizenship or civic education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (trough schooling, teaching, and learning) in that preparatory process.
16
Dari
definisi
tersebut
dapat
dijelaskan
bahwa
Pendidikan
Kewarganegaraan dirumuskan secara luas untuk mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warganegara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran dan belajar, dalam proses penyiapan warganegara tersebut. Cogan (1999:4) mengartikan civic education sebagai "...the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives", maksudnya adalah suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warganegara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya. c. Kompetensi Kewarganegaraan Siswa SMP dalam Materi Demokrasi Kompetensi Kewarganegaraan adalah pengetahuan, keterampilan, dan disposisisi Kewarganegaraan yang harus dikuasai siswa SMP sebagai warga negara yang demokratis, sehingga dapat berperan serta dalam kehidupan demokrasi di berbagai lingkungan kehidupan yang terdiri atas: a) Pengetahuan Kewarganegaraan (civic knowledge), yaitu pemahaman mendasar yang dimiliki oleh siswa tentang hal-hal yang berkaitan dengan Kewarganegaraan, yang meliputi demokrasi dan struktur pemerintahan Indonesia, serta Kewarganegaraan Indonesia. b) Kecakapan Kewarganegaraan (civic skill), yaitu seperangkat keterampilan mendasar yang dimiliki siswa berkaitan dengan Kewarganegaraan yang terdiri atas kecakapan intelektual dan kecakapan partisipatoris. Kecakapan intelektual berupa: (1) kemampuan membaca dan memahami informasi
17
tentang pemerintahan dan isu yang ditemukan di media; (2) kemampuan membedakan antara fakta dan opini dalam tulisan teks; dan (3) kemampuan mengartikulasikan konsep abstrak. Kecakapan partisipatoris berupa
:
(1)
kemampuan
partisipasi
umum;
(2)
kemampuan
berkomunikasi; dan (3) partisipasi melalui kemampuan menganalisis isuisu publik, kepemimpinan, kelompok mobilisasi, dan komunikasi. c) Disposisi Kewarganegaraan (Civic Disposition), yakni memiliki karakter dan komitmen yang penting bagi kehidupan kewarganegaraan. Disposisi dalam penelitian ini meliputi karakter privat dan karakter publik. Karakter privat dalam penelitian ini meliputi tanggung jawab moral, kejujuran, kecintaan, keyakinan, disiplin diri, serta penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia, sedangkan karakter publik meliputi kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main serta kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi (Branson, 1999:8).
18
Tabel 1.2. Komponen Kompetensi Kewarganegaraan dalam Materi Demokrasi No 1
Variabel Kompetensi Kewarganegaraan dalam Materi Demokrasi
Dimensi Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic Knowledge) dalam Materi Demokrasi
Kecakapan Kewarganegaraan (Civic Skills) dalam Materi Demokrasi
Kebajikan Kewarganegaraan (Civic disposition) dalam Materi Demokrasi
Indikator a. Memahami hakikat demokrasi b. Memahami nilai-nilai demokrasi c. Menyadari pentingnya penerapan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara d. Mampu menerapkan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan sehari-hari (rumah, sekolah dan masyarakat) a. Kecakapan intelektual 1) Kemampuan membaca dan memahami informasi tentang pemerintahan dan isu yang ditemukan di media 2) Kemampuan membedakan antara fakta dan opini dalam tulisan teks 3) Kemampuan mengartikulasikan konsep abstrak b. Kecakapan partisipatoris 1) Kemampuan partisipasi umum 2) Kemampuan berkomunikasi 3) Partisipasi melalui kemampuan menganalisis isu-isu publik, kepemimpinan, kelompok, mobilisasi dan komunikasi a. Karakter privat 1) Tanggung jawab moral 2) Kejujuran 3) Kecintaan 4) Disiplin diri 5) Penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia b. Karakter Publik 1) Kesopanan 2) Kepedulian sebagai warga negara 3) Mengindahkan aturan 4) Kemampuan untuk mendengarkan, bernegosiasi dan berkompromi
Alat Ukur Tes
Skala symantic Differensial Dogman
Skala Sikap Likert
19
D. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai Perbedaan Kompetensi Kewarganegaraan Siswa dalam Materi Demokrasi pada Kelas Eksperimen yang menggunakan penilaian otentik dengan Siswa pada Kelas Kontrol. 1. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: a. Perbedaan pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge) siswa dalam materi demokrasi antara siswa pada kelas eksperimen yang menggunakan sistem penilaian otentik (more difficult to achieve) dengan siswa pada kelas kontrol. b. Perbedaan kecakapan kewarganegaraan (civic skill) siswa dalam materi demokrasi antara siswa pada kelas eksperimen yang menggunakan sistem penilaian otentik (more difficult to achieve) dengan siswa pada kelas kontrol. c. Perbedaan watak kewarganegaraan (civic disposition) siswa dalam materi demokrasi antara siswa pada kelas eksperimen yang menggunakan sistem penilaian otentik (more difficult to achieve) dengan siswa pada kelas kontrol. d. Perbedaan kompetensi kewarganegaraan (civic competences) siswa dalam materi demokrasi antara siswa pada kelas eksperimen yang menggunakan sistem penilaian otentik (more difficult to achieve) dengan siswa pada kelas kontrol.
20
E. Signifikansi dan Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, baik secara keilmuan (teoretik) maupun secara empirik (praktis). Secara teoretik, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran atau bahan kajian dalam dunia pendidikan khususnya Pendidikan Kewarganegaraan, sehingga pada akhirnya akan memperkuat landasan kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan yang terdiri atas pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), kecakapan kewarganegaraan (civic skill), dan kebajikan kewarganegaraan (civic disposition). Dari temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi beberapa pihak sebagaimana diuraikan berikut. 1. Bagi peneliti; Mampu menelaah secara kritis tentang pengembangan penilaian otentik dalam Pendidikan Kewarganegaraan yang lebih komprehensif, sehingga dapat mencapai kompetensi kewarganegaraan yang diharapkan. 2. Bagi pihak lain Memberikan kontribusi positif mengenai pentingnya memahami
dan
mengarahkan
perubahan
penilaian
pada
Pendidikan
Kewarganegaraan agar dapat memberikan penilaian yang sebenar-benarnya atau melalui penilaian otentik, sehingga dapat mencapai semua komponen kompetensi yang diharapkan. 3. Institusi Pemerintahan: Penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk mempertegas bahwa pengembangan penilaian otentik dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang lebih komprehensif, dapat membangun kompetensi kewarganegaraan siswa SMP.
21
F. Asumsi dan Hipotesis Penelitian Penelitian ini dilaksanakan atas dasar asumsi bahwa penilaian otentik (authentic assessment) dapat membentuk kompetensi siswa yang lebih komprehensif. Melalui pengembangan penilaian ini, dapat meningkatkan ketiga kompetensi yang ada dalam Pendidikan Kewarganegaraan yakni, pengetahuan dan pemahaman serta dapat membentuk sikap dan perilaku siswa sebagai warga negara yang demokratis. Bertolak dari asumsi tersebut dan mengacu kepada rumusan masalah, maka dapat dikemukakan rumusan hipotesis berikut ini: 1.
Terdapat perbedaan pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge) dalam materi demokrasi antara siswa pada kelas eksperimen yang menerapkan sistem penilaian otentik (more difficult to achieve) dibandingkan dengan siswa kelas kontrol.
2.
Terdapat perbedaan kecakapan kewarganegaraan (civic skill) dalam materi demokrasi antara siswa kelas eksperimen yang menerapkan sistem penilaian otentik (more difficult to achieve) dibandingkan dengan siswa kelas kontrol.
3.
Terdapat perbedaan kebajikan kewarganegaraan (civic disposition) dalam materi demokrasi antara siswa kelas eksperimen yang menerapkan sistem penilaian otentik (more difficult to achieve) dibandingkan dengan siswa kelas kontrol.
4.
Terdapat perbedaan kompetensi kewarganegaraan (civic competences) dalam materi demokrasi antara siswa kelas eksperimen yang menerapkan sistem
22
penilaian otentik (more difficult to achieve) dibandingkan dengan siswa kelas kontrol.
G. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen dan deskriptif. Best (1982) menjelaskan bahwa Metode tersebut dilakukan untuk memperoleh informasi yang merupakan perkiraan bagi informasi yang dapat diperoleh dengan eksperimental sesungguhnya, dalam keadaan tidak memungkinkan untuk mengontrol atau mengendalikan semua variable. Desain penelitian dalam penelitian ini adalah dengan desain “Randomized control group pretes-postest design” (Fraenkel:1993). Bentuk design eksperimen ini merupakan pengembangan dari true experimental design, yang sulit dilaksanakan. Design ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi
sepenuhnya
untuk
mengontrol
variable-variabel
luar
yang
mempengaruhi pelaksanaan eksperimen. Quasi experimental design, digunakan karena pada kenyataannya sulit mendapatkan kelompok kontrol yang digunakan untuk penelitian (Sugiyono, 2009:114). Desain ini, sampel dibagi dalam dua kelompok yaitu satu kelompok eksperimen dan satu kelompok kontrol. Tahapan-tahapan yang ditempuh dengan penelitian ini meliputi enam langkah, yaitu: studi pendahuluan, memilih masalah yang akan dikaji, persiapan, implementasi, dan diakhiri dengan analisis hasil dan penyusunan laporan Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah teknik angket, wawancara serta studi dokumentasi.
23
H. Lokasi dan Subjek Penelitian Lokasi penelitian adalah SMP Negeri 10 Cimahi. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII tahun pelajaran 2009/2010. Kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dipilih secara acak. Masing-masing kelompok terdiri dari 30 siswa untuk kelas eksperimen dan 30 untuk kelas kontrol. Kelompok eksperimen diberi perlakuan dengan penilaian otentik (more difficult to achieve), sementara kelompok kontrol diberi perlakuan dengan penilaian yang mudah dicapai (easier to achieve).