1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Setiap manusia pada hakikatnya menginginkan kebebasan dan tidak sedikit orang yang berani memperjuangkannya. Kebebasan merupakan hal asasi dan menjadi kebutuhan dasar manusia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila banyak manusia rela mempertaruhkan nyawa demi “merebut” kebebasannya. Manusia mempertaruhkan nyawa untuk berjuang melawan penindasan, sebab mereka berpikir lebih baik meninggal dalam pertempuran daripada hidup tanpa kebebasan. Di samping itu, kematian dengan cara seperti ini menunjukkan pernyataan penuh atas individualitas dan merupakan bukti bahwa manusia mempunyai hak penuh atas hidupnya di dalam berpikir, membuat keputusan, memilih, sesuai dengan apa yang manusia lihat baik untuk kehidupan dirinya sendiri. Dalam hal ini kebebasan individu hanya dapat diperoleh ketika terjadi “penghancuran terhadap dominasi eksternal” (Fromm, 1997:1-2). Namun, sering kali timbul konflik yang menyangkut kebebasan. Di dalam kehidupan sehari-hari banyak persoalan yang berkaitan dengan kebebasan. Persoalan tersebut sering berkaitan dengan kebebasan seseorang untuk beragama, berpendapat, memilih, dan masih banyak permasalahan kebebasan yang lain. Pemerintah pun menyadari pentingnya penjaminan kebebasan warga negaranya dan membuat undang-undang untuk menjamin kebebasan, agar tidak bertentangan dengan kebebasan orang lain.
2
Kebebasan akan mendatangkan perasaan bahagia dan membuat manusia menjadi manusia seutuhnya. Namun, pada kenyataannya, banyak manusia merasa tidak bebas dan sering timbul permasalahan eksternal yang berkaitan dengan kebebasan. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika banyak orang menuntut kebebasannya dari orang lain. Namun, makna tentang kebebasan pun masih diperdebatkan hingga sekarang, sehingga muncul banyak definisi mengenai kebebasan dan ambiguitas makna kebebasan. Kebebasan sangat erat kaitannya dengan manusia, sebab manusia merupakan pusat dan pelaku kehidupan. Manusialah yang menghasilkan berbagai macam kemajuan dan hanya manusia yang mampu mengadakan evaluasi terhadap dirinya. Inilah salah satu yang membedakan manusia dengan makhluk Tuhan yang lain. Manusia yang mempelajari dan mengubah sejarah di bidang apapun. Namun sering kali kemajuan yang dihasilkan membawa dua dampak yang bertolak belakang. Kemajuan teknologi yang disambut baik oleh mayoritas manusia ternyata membawa dampak negatif bagi kemajuan mental manusia. Bahkan, terkadang kemajuan teknologi mendukung “penghancuran” manusia itu sendiri, seperti yang dilihat di dalam perang. Manusia melihat kemajuan teknologi di bidang persenjataan yang justru menjadi alat yang ampuh untuk menghancurkan peradaban manusia. Kemajuan teknologi
menghasilkan sisi
negatif bagi manusia, yang membuat manusia merasa kebebasan individunya terbelenggu oleh lingkungan sekitarnya dan merasakan diri mereka semakin menjadi budak.
3
Permasalahan mengenai kebebasan sesungguhnya sudah disadari sejak zaman pra-Sokrates, di mana terjadi perbedaan pandangan tentang makna kebebasan. Herakleitos (+540-475 SM), seorang filsuf pada zaman tersebut menyadari bahwa alam semesta penuh dengan perubahan. Pemikiran filsafatnya adalah tentang “menjadi”. Herakleitos mengatakan bahwa segala sesuatu itu berubah dan perubahan terjadi tanpa henti. Bahkan, “yang mati” dapat berubah menjadi “yang hidup”. Api merupakan lambang perubahan, dan menurutnya segala sesuatu berasal dari api dan akan kembali ke api. Dengan kata lain, api merupakan lambang perubahan dan diyakini sebagai sesuatu yang sejenis dengan roh, karena kehidupan ini berasaskan api. Oleh karena itu, api disebut juga logos (akal, firman, arti), merupakan “hukum yang mengatur segala sesuatu, dan juga menguasai manusia” (Hadiwijono, 2005:21-22). Perubahan merupakan lambang dari kebebasan itu sendiri. Dengan kata lain, kebebasan ada di dalam diri manusia sejak ia dilahirkan dan kebutuhan akan rasa bebas tersebut merupakan hal yang penting. Berbeda dengan Herakleitos, Permenides, menganggap bahwa kebebasan terdapat di dalam sesuatu yang tetap dan stabil. Permenides (+ 540 - + 475), yang berkeyakinan bahwa segala sesuatu pada hakikatnya tetap, tidak berubah. Permenides berkeyakinan, “ yang ada itu ada”, tidak dapat dibagi-bagi, dan satu kesatuan, sehingga menurutnya kenyataan adalah suatu kesatuan, tanpa mengenal perbedaan antara jasmani dan rohani (Hadiwijono, 2005:23-24). Perbedaan
pendapat
di
antara
Herakleitos
dan
Permenides
ini
memperlihatkan bahwa kebebasan merupakan hal yang penting di dalam
4
kehidupan. Herakleitos memandang bahwa kebebasan merupakan sesuatu yang ada di dalam alam semesta, termasuk manusia dan kebebasan merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan. Sedangkan kaum Permenides berpendapat bahwa kebebasan merupakan suatu hal yang ditentukan oleh “kekuatan lain” di luar diri manusia. Dengan kata lain, manusia tidak bisa memperoleh kebebasannya, sebab segala sesuatu sudah ditentukan oleh hukum-hukum yang sifatnya tidak berubah. Perbedaan pendapat mengenai makna kebebasan masih berlangsung hingga sekarang. Persoalan mengenai kebebasan tidaklah mudah untuk diselesaikan, sebab kebebasan mengandung kompleksitas yang saling berkaitan satu sama lain. Nico Syukur Dister (1993:40) di dalam bukunya Filsafat Kebebasan menjelaskan bahwa kebebasan membutuhkan penjelasan lebih mendalam, seperti kebebasan tentang apa. Kajian mengenai kebebasan bukanlah suatu kajian yang baru. Manusia mengenal kebebasan individu (human right), kebebasan berpolitik, kebebasan beragama, kebebasan di bidang ekonomi, yang semuanya itu dijamin penuh oleh negara dan tertuang di dalam undang-undang. Kebebasan manusia yang satu sering kali dibatasi oleh kebebasan manusia yang lain. Namun, kebebasan bukan hanya berkaitan dengan diri orang lain, tetapi ada kebebasan yang tidak kalah pentingnya, yaitu kebebasan di dalam diri pribadi. Oleh karena itu, menurut penulis, penelitian mengenai kebebasan manusia merupakan tema yang penting untuk diteliti. Penulis meneliti tokoh yang bernama Albert Camus, karena beliau fokus berbicara tentang kebebasan. Ia berpikir secara mendalam tentang
5
kebebasan manusia, hingga menyangkut kebebasan yang berkaitan dengan hal transendental. Albert Camus dan para eksistensialis pada umumnya merasa bahwa diri mereka “terlempar” di dunia, dan menyadari bahwa akhir dari segalanya adalah kematian. Kesadaran akan adanya kematian bisa berdampak positif atau negatif terhadap pola pikir seseorang, yang akan memengaruhi tindakan sehari-hari. Albert Camus, salah satu tokoh yang digolongkan sebagai tokoh eksistensialis, tidak hanya memikirkan kebebasan manusia dari faktor luar saja, namun ia memikirkan makna kebebasan manusia hingga menyangkut faktor intern atau dalam diri manusia. Oleh karena itu, penulis memilih tokoh Albert Camus, karena sangat relevan untuk membahas tentang “kebebasan manusia“. Pembahasan mengenai kebebasan juga menjadi topik utama di dalam Filsafat Pendidikan, terutama Filsafat Pendidikan Eksistensialisme, yang sangat menekankan kebebasan anak didik. Oleh karena itu, sangat menarik apabila pemikiran Albert Camus tentang kebebasan dilihat dari sudut pandang Filsafat Pendidikan Eksistensialisme yang juga membahas mengenai persoalan kebebasan, sehingga akan diperoleh suatu pemahaman mengenai kebebasan di dalam Pendidikan, yang kemudian akan direlevansikan dengan pendidikan di Indonesia. 1.
Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, penelitian ini bermaksud untuk
menjawab persoalan-persoalan sebagai berikut: 1.
Apa arti Filsafat Pendidikan Eksistensialisme?
2.
Bagaimana pemikiran filosofis Albert Camus tentang absurditas dan etika?
6
3.
Apa makna pendidikan untuk kebebasan menurut filsafat eksistensialisme Albert Camus?
4.
Bagaimana relevansi pemikiran Albert Camus tentang kebebasan bagi pengembangan pendidikan di Indonesia
2. Keaslian Penelitian Sejauh penelusuran peneliti, terkait dengan keaslian penelitian, sudah banyak penelitian yang membahas tentang Albert Camus, namun dengan permasalahan yang berbeda. Penelitian lain yang terkait dengan penelitian tentang Albert Camus, antara lain: 1) Dwi Siswanto, 1992, di dalam laporan penelitian yang berjudul “Eksistensi Manusia menurut Albert Camus”, dikatakan bahwa pemikiran absurditas merupakan sesuatu yang harus diterima sebagai konsekuensi kehidupan. Absurditas tersebut lahir dari pertemuan antara pikiran dan alam dunianya, konfrontasi antara budi dan kosmos yang mempunyai nilai relasi
antara
manusia
dan
dunia.
Camus
mengatakan
bahwa
pemberontakan adalah cara terbaik untuk menghadapi absurditas. Namun, pemberontakan yang dimaksud adalah pemberontakan yang bertujuan untuk “memperoleh keadilan dan kepuasan pribadi yang berorientasi masa kini (kekinian), menolak setiap utopi (orientasi masa depan)”. Oleh karena itu, pemikiran Camus mengenai pemberontakan mengandung suatu kemerdekaan absolut. 2) Mudji Sutrisno. SJ, 1999, di dalam jurnal filsafat Driyarkara tahun XXIV No.2, hal. 7-15, edisi November dengan judul “Albert Camus dan
7
Dramanya : Melihat Contoh Hubungan Drama (Sastra) dan Refleksi Filsafat”, yang berisi tentang drama Caligula yang ditulis oleh Albert Camus. Di dalam jurnal tersebut dikatakan bahwa ada sebuah konsekuensi yang harus dihadapi manusia dengan cara pemberontakan yang berlangsung tanpa henti, bahkan tanpa harapan untuk menghadapi absurditas. Pemberontakan yang dilakukan secara terus-menerus tersebut mengandung suatu keputusan moral yang dilakukan untuk menghadapi absurditas. Oleh karena itu, manusia yang menghindari absurditas telah melakukan suatu “tindakan bunuh diri filosofis”. 3) Saepul Akhkam,2002,UGM, tesis yang berjudul “Absurditas Manusia dalam Perspektif Albert Camus: Evaluasi Kritis atas Pandangan Antropologi Filosofis”, menyimpulkan bahwa Albert Camus, sebagai salah satu filsuf eksistensialisme menyadari bahwa kehidupan adalah absurd dan irasional, serta telah kehilangan maknanya. Camus bukan penemu absurditas, ia berusaha melanjutkan pemikiran absurditas yang telah ada, dengan cara berusaha mengatasi kebuntuan yang terdapat di dalam pemikiran absurditas sebelumnya. Di samping itu, pemikirannya tentang eksistensi manusia menghasilkan suatu pemahaman bahwa manusia selalu berada di dalam proses “menjadi”. 4) Wiwit Sofiantari, 2008,UGM dengan tesis yang berjudul “Albert Camus’ Ethical Thought in the outsider.” Di dalam tesis ini disimpulkan bahwa terdapat peristiwa absurd di balik klaim etis. Tokoh utama dari cerita tersebut yang bernama Meursault. Atas nama kebebasan, ia mengabdikan
8
dirinya untuk setiap nilai yang sebagaimana ia harapkan. Albert Camus menolak berharap kepada Tuhan dan masa depan dengan berusaha untuk melepaskan diri dari nilai tradisional. Dia menolak bentuk masyarakat yang religius dan munafik dengan pemberontakan karena hanya itu satusatunya cara yang masuk akal dan dibenarkan
untuk menghadapi
kehidupan yang absurd. Ia memberontak terhadap Tuhan demi integritas dan penderitaan hidup. 5) Sunahrowi, 2008, S2 Sastra UGM, judul “Individualitas dan Absurditas dalam roman L’etranger karya Albert Camus: kajian semiotika Roland Barthes”, disimpulkan bahwa melalui tokoh utama yang bernama Mersault, dapat dilihat tema-tema eksistensialisme yang mendominasi karya ini. Tema-tema tersebut yaitu, “tubuh milik sendiri, kebebasan, dan pandangan orang lain.” Hal yang paling menonjol di dalam cerita ini adalah absurditas dan individualitas tokoh utama tersebut. Absurditas dan individualitas
merupakan
suatu
ideologi
individual,
yang
selalu
bertentangan dengan ideologi kolektif , tanpa berkesudahan. 6) Joko Siswanto,2008, S3 Filsafat UGM, dengan disertasi yang berjudul “Ontologi
Kejahatan
Menurut
Filsafat
Barat
Kontemporer
dan
Relevansinya Bagi Pemahaman Kejahatan Korupsi di Indonesia.” Penelitian tersebut merupakan penelitian yang menggali hakikat kejahatan, dengan menggunakan beberapa filsuf barat kontemporer dan salah satunya adalah Albert Camus. Dari penelitian tersebut dikatakan bahwa sumber
9
dari segala kejahatan adalah situasi Absurd, yang diambil dari sudut pandang Albert Camus. 7) Ari Rokmawati, Filsafat UGM, 2010, dengan tesis yang berjudul “Makna kebebasan
dalam
Perspektif
Filsafat
Politik
Hannah
Arendt”,
menyimpulkan: “Kebebasan merupakan suatu bentuk tindakan politis yang mengikutsertakan inisiatif dan ingatan sosial, sehingga hanya wilayah publik dalam suatu badan politik yang mampu mewujudkannya”. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kebebasan merupakan suatu hal yang dibentuk ketika individu menjadi warga negara dan bukan suatu hal yang natural. Negara menjamin kebebasan warganya di dalam bertindak dengan membentuk badan hukum, sehingga dapat dicapai kehidupan “masyarakat yang demokratif, egaliter dan partisipatif untuk mencapai “keadilan sosial bagi seluruh rakyat”. 8) Nana Sutikna, 2013, dengan disertasi yang berjudul “Dimensi Ontologis Kebebasan Menurut Erich Fromm Relevansinya bagi Pengembangan Pers di Indonesia”, disimpulkan bahwa Erich Fromm memandang kebebasan sebagai “orientasi struktur karakter dan sebagai kemampuan untuk memilih”. Manusia, pada masa sekarang baru berhasil mencapai tahap “freedom from”, yang ditandai dengan keberhasilan mengalahkan “penentuan naluri” dan belenggu alam, sedangkan “freedom to” belum berhasil dicapai karena manusia belum mampu mewujudkan produktivitas dan kemandirian diri. Kebebasan, di dalam pemikiran Erich Fromm
10
mempunyai dimensi ontologis, yaitu: “dimensi otonomi kebebasan, dimensi dinamika kebebasan, dan materialitas kebebasan”. Berdasarkan penelitian-penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian tentang Konsep Kebebasan Albert Camus dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan: Relevansinya dengan Pendidikan di Indonesia, belum pernah diteliti sebelumnya oleh peneliti lain, sehingga penulis menjamin keaslian dari penelitian ini. B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah menjawab empat pertanyaan yang telah disebutkan di dalam rumusan masalah, yaitu. 1. Mendapatkan pemahaman tentang Filsafat Pendidikan Eksistensialisme . 2. Memahami pemikiran filosofis Albert Camus tentang absurditas dan moral. 3. Mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang pendidikan untuk kebebasan menurut filsafat eksistensialisme Albert Camus. 4. Menemukan relevansi pemikiran Albert Camus tentang kebebasan bagi pengembangan pendidikan di Indonesia. C. Manfaat Penelitian Penelitian ini berkewajiban memberikan suatu pemahaman baru. Oleh karena itu, maka penelitian ini bermaksud untuk memberikan manfaat antara lain: 1. Bagi individu, masyarakat, dan negara, penulis berharap mampu memberikan wawasan dan penyadaran, minimal kepada diri sendiri, kemudian masyarakat mengenai pentingnya penyadaran “kebebasan”
11
manusia, dan dalam lingkup yang lebih besar, mampu memberikan solusi alternatif terhadap persoalan kenegaraan yang muncul. Di samping itu, bagi negara mampu memberikan alternatif atau instrumen agar lebih bijaksana dalam menyikapi dan menyelesaikan masalah pendidikan 2. Bagi Filsafat, penulis berharap penelitian ini mampu memberikan pemikiran kritis terhadap pemikiran Albert Camus mengenai bagaimana manusia memandang kebebasan di dalam kehidupannya. Kemudian, secara lebih luas memberikan sumbangan pemikiran terhadap filsafat pendidikan. 3. Bagi Ilmu Pengetahuan: Mampu memberikan sumbangsih terhadap kontinuitas ilmu pengetahuan dan berpartisipasi dalam kelanjutan penelitian ilmu pengetahuan secara luas dan studi tentang pendidikan. D. Tinjauan Pustaka Kebebasan merupakan permasalahan yang penting bagi kehidupan manusia, sehingga banyak pemikir yang telah mendefinisikan kebebasan. Salah satunya adalah pendapat yang dikemukakan oleh F.A. Hayek dalam Aron (1993:81-82), yang berkata kebebasan adalah semata-mata tidak adanya paksaan (coercion). Pemaksaan terjadi ketika seseorang kehilangan otoritas dirinya dan harus menuruti perintah orang lain yang lebih berkuasa. Dengan kata lain, paksaan menghasilkan tingkah laku tertentu yang tidak berasal dari dirinya sendiri melainkan berasal dari ancaman penindasan. Paksaan tersebut membuat manusia tidak mampu menentukan alat dan tujuan, sebab kecerdasan manusia dihambat. Oleh karena itu, kebebasan yang dimaksudkan di sini adalah kebebasan dari
12
(from), yang dirumuskan secara negatif. Dalam hal ini manusia bebas dari hal-hal yang menghambat aktivitasnya. Kebebasan identik dengan peneguhan manusia untuk menjadi tuan bagi dirinya tanpa diganggu oleh pihak lain. Kebebasan berkaitan dengan proses individuasi. Proses Individuasi mempunyai dua aspek, yaitu : Pertama, proses individuasi dimulai sejak masa kanak-kanak. Seorang anak seiring dengan bertambahnya usia akan semakin kuat secara fisik, mental dan emosional. Anak tersebut juga mengalami perkembangan intelektual, yang semakin terintegrasi seiring dengan bertambahnya aktivitas. Kehendak dan perkembangan rasional individu bertugas untuk membimbing suatu struktur agar terorganisir. Dengan kata lain, proses individuasi merupakan suatu bentuk perkembangan kekuatan diri, sebab diri manusia “terorganisir” dan “terintegrasi”. Namun, terdapat batas-batas di dalam diri manusia dan di dalam proses individuasi, yang merupakan sesuatu hal yang pasti ada, yaitu keadaankeadaan pribadi manusia, dan kondisi sosial (Fromm, 1997: 28). Kedua, aspek lain yang memengaruhi proses individuasi adalah kesepian yang terus bertambah. Dalam hal ini terjadi suatu perubahan di dalam diri manusia, ketika manusia menyadari dirinya sebagai individu, yang harus bertanggung jawab dan menghadapi kenyataan hidup yang sering membuat cemas, takut dan tidak berdaya. Manusia merasakan dunia, sebagai sesuatu yang hendak menyerangnya dan ia harus menghadapinya seorang diri (Fromm, 1997:28-29). Erich Fromm, di dalam bukunya yang berjudul Lari dari Kebebasan menuliskan bahwa salah satu wujud tindakan kebebasan adalah dengan cara
13
ketidakpatuhan, dan ini merupakan awal dari akal budi. Manusia benar-benar menjadi manusia sesungguhnya, ketika mereka menyadari kebebasannya, yaitu ketika mereka memberontak terhadap manusia dan Tuhan. Ia memberikan contoh manusia pertama yang memberontak terhadap Tuhan, yaitu Adam dan Hawa. Dalam hal ini, menentang Tuhan adalah memerdekakan diri dari paksaan, yang muncul untuk menaikkan tingkat, dari kehidupan “pra-manusiawi yang tidak sadar ke tingkat manusia” (Fromm, 1997: 33). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mortimer J. Adler, dalam Robert E. Dewey dan James A. Gould, terhadap lebih dari dua puluh responden yang berasal dari Institute Penelitian Filsafat, pada tahun 1950 selama periode lima tahun, menghasilkan kesimpulan bahwa kebebasan berkaitan dengan tiga konsep dasar, yaitu mampu melakukan kebaikan untuk dirinya sendiri, mempunyai kebijaksanaan, dan moral yang baik, serta kemampuan manusia di dalam memperbaiki diri. Hal ini tertuang dalam tulisannya, yaitu: “First, there is a circumstantial freedom of self-realization, described as“ a freedom which is possessed by any individual who, under favorable circumstances, is able to act as he wishes for his own good as he sees it.”.... Second, there is an acquired freedom of self-perfection, conceived as “a freedom which is possessed only by those men who, through acquired virtue or wisdom, are able to will or live as they ought in conformity to the moral law or an ideal befitting human nature.... Finally, there is a natural freedom of selfdetermination defined as “a freedom which is possessed by all men, in virtue of a power inheren in human nature, whereby a man is able to change his own character creatively by deciding for himself what he shall do or shall become” (Dewey, Robert E dan James A. Gould, 1970:58). Mortimer J. Adler di dalam Robert E. Dewey dan James A. Gould (1970) memberikan definisi umum untuk semua konsep kebebasan manusia, yaitu: “A man is free who has in himself the ability or power to make what he does his own
14
action and what he achieves his own property” (Dewey, Robert E dan James A. Gould, 1970:58-59). Terkait dengan definisi kebebasan, Herbert J. Muller di dalam Robert E. Dewey dan James A. Gould (1970:77) mengungkapkan definisi yang relatif netral dan obyektif, yang memberikan kesatuan konsepsi ke mana kebebasan dibahas dan dicari oleh manusia. Muller menuliskan bahwa di dalam istilah formal, kebebasan berarti “the condition of being able to choose and to carry out puposes”. Ia mencatat bahwa menurut definisi ini, kebebasan mempunyai implikasi: “(1) the primary dictionary meaning-the absence of external constraints; (2) practicable purposes, or an actual ability with available means; and (3) a power of conscious choice, between significant, known alternatives. It accordingly involves the common ideas of freedom from, freedom to, and freedom of, but it leaves open the question of freedom for what” (Dewey, Robert E dan James A. Gould, 1970:77). Permasalahan kebebasan juga menjadi topik yang hangat di antara filsuf eksistensialis, Albert Camus merupakan salah satu sastrawan yang digolongkan sebagai filsuf eksistensialis. Eksistensialisme merupakan “aliran filsafat yang berpangkal pada manusia sebagai eksistensi”. Nama lain dari Eksistensialisme adalah
fenomenologi
eksistensial,
yang
merupakan
penyatuan
antara
eksistensialisme Kierkegaard (1813-1855) dan fenomenologi Edmund Husserl (1859-1938) (Snijders,2008:23). Eksistensialisme menekankan bagaimana cara berada manusia di dunia, yang unik dan khas, termasuk tentang manusia. Eksistensialisme merupakan suatu bentuk ketidakpuasan terhadap Materialisme, dan Spiritualisme. Aliran ini
15
memberi tempat istimewa terhadap pengalaman pribadi manusia. Pangkal dan jiwa Eksistensialisme ialah “pandangan atas manusia sebagai eksistensi” (Snijders, 2008: 23). Sartre berpendapat bahwa sikap yang harus dihindari oleh kaum eksistensialis adalah lari dari tanggung jawab. Tanggung jawab di sini mencakup tanggung jawab terhadap diri sendiri maupun orang lain (Bertens,2001:106). Kemudian, terkait dengan kebebasan, Sartre mengungkapkan bahwa kesadaran merupakan bentuk kebebasan itu sendiri, sehingga kebebasan tidak dapat dipisahkan dari kesadaran. Ia menyebut kesadaran dengan istilah être-pour-soi (being-for-itself)”yang berarti “Ada-bagi-dirinya. Menurut Sartre, “kesadaran akan sesuatu berada sebagai kesadaran (akan) dirinya. Kehadiran (pada) dirinya sendiri adalah konstitutif bagi kesadaran” (Bertens,2001:93-95). Berbeda dengan tokoh eksistensialis sebelumnya yang berusaha untuk menemukan Ada, Albert Camus lebih bertitik tolak pada kehidupan yang absurd, yang menganggap bahwa dunia atau realita merupakan suatu yang sukar untuk dipahami dan kebenaran tidak pernah ditemukan secara utuh. Perasaan absurditas timbul
dikarenakan
“pertemuan
antara
alam
dan
pikiran
manusia”
(Martin,2003:53). Camus mengatakan bahwa kegiatan sehari-hari yang dilakukan manusia, mulai dari bangun tidur, bekerja, bersosialisai dengan manusia lain, hingga tidur kembali dan terus terjadi secara berulang-ulang akan menimbulkan rasa jemu, bosan, dan lelah, tetapi hal ini justru membuat manusia menyadari absurditas” (Martin, 2003:52).
16
Kaufmann, sebagaimana dikutip oleh Sindhunata dan A. Sudiardja menggolongkna Albert Camus sebagai filsuf eksistensialis ireligius berdasarkan karya Camus yang berjudul Le Myte de Sisyphe (Mitos Sisiphus). Sisiphus adalah tokoh yang berani untuk mempertahankan prinsip dan bertanggung jawab atas pilihannya, meskipun ia menentang para dewa di dalam tragedi Homerus (Sastrapratedja (ed), 1982:18). Kemudian, Joko Siswanto (2012:58-59) bertitik tolak dari Kundert, menuliskan terdapat tiga prinsip di dalam pemikiran Albert Camus, yaitu: Tuhan sudah mati (God is death), hidup itu absurd (life is absurd), dan hidup itu nir-makna (life is meaningless), yang akan dijelaskan lebih lanjut di dalam bab III. Albert Camus membedakan manusia menjadi dua, yaitu “manusia yang absurd” dan “manusia yang menyadari absurditasnya”. Manusia yang absurd tidak menyadari bahwa hidupnya absurd, tenggelam di dalam kehidupan sehari-hari, dan hidup menuruti “prinsip-prinsip absurditas kehidupan”, sedangkan manusia yang menyadari absurditasnya bertingkah laku sebagai seorang “pemberontak” atau seorang yang “putus asa”, tetapi Camus lebih memilih untuk menjadi seorang “pemberontak”. Ini adalah cara yang ditempuh oleh Camus untuk berperang melawan absurditas. Albert Camus, di dalam persoalan moral mengambil sikap berpendirian kuat dan terlibat di dalamnya, meskipun ia tidak bisa dikatakan sebagai pengajar moral (Sastrapratedja (ed), 1982:24). Di dalam drama Albert Camus yang berjudul Caligula, terdapat pemikiran Camus yang mendalam tentang absurditas. Pertama, absurditas merupakan suatu konsekuensi dari kehidupan manusia, sebab manusia yang berhadapan dengan
17
dunia, yang tidak berhasil memenuhi kerinduan terdalam manusia. Kedua, absurditas harus dihadapi dengan cara pemberontakan yang berlangsung tanpa henti, tidak menyerah, hingga berani menantang maut, meskipun pemberontakan ini tidak mempunyai harapan di dalamnya. Ketiga, di dalam Caligula, Camus menyampaikan wujud “keputusan moral” yang ada di dalam diri manusia, yaitu pemberontakan secara terus-menerus yang dilakukan manusia untuk menghadapi realitas dunia yang penuh dengan keabsurdannya. Prinsip yang dipertahankan oleh Camus
ini
merupakan
suatu
tindakan
di
dalam
menyikapi
nihilisme
(Sutrisno,1999:12-13), yang berkembang semenjak Perang Dunia II. Nihilisme merupakan suatu paham yang berpikir tentang makna hidup manusia, yang menjadi salah satu pertanyaannya adalah “apakah kehidupan ini akan berakhir dalam ketiadaan, ketanpaartiaan?” Pemikiran Camus tentang nihilisme terlihat dalam dramanya yang berjudul Caligula (Sutrisno,1999:8). Manusia tidak mampu untuk menghindar dari absurditas selama menjalani kehidupan di dunia. Oleh karena itu, Camus berkeyakinan bahwa absurditas harus dihadapi, dan menghindari absurditas merupakan tindakan bunuh diri filosofis. Ketiga pemikiran di atas merupakan “konsekuensi logis” dari pemikiran Camus tentang manusia dan dunia, yaitu: manusia mempunyai kerinduan yang terdalam, tetapi kerinduan atau keinginan manusia ini tidak dapat dipenuhi oleh dunia, dan absurditas selalu ada ditengah-tangah interaksi antara manusia dengan dunia (Sutrisno,1999:12-13). Terkait dengan pemikiran Albert Camus mengenai absurditas, Joko Siswanto (2012:163-166) di dalam buku yang berjudul Filsafat Kejahatan
18
mengatakan bahwa situasi absurd merupakan akar dari kejahatan, yang pada akhirnya menghasilkan penderitaan dan kematian. Manusia selalu berhadapan dengan pertentangan antara dua hal yaitu: “konfrontasi antara keinginan manusia atas kejelasan makna kehidupannya dengan dunia yang tidak terpahami”. Oleh karena itu konfrontasi merupakan suatu hal yang sudah seharusnya terjadi atau wajar, dan diakui sebagai hal yang “given”. Hal terpenting yang harus dilakukan adalah mempersiapkan diri menghadapi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh absurditas. Kemudian, kejahatan bersifat objektif dan dimensi kejahatan bersifat imanen, jika menggunakan sudut pandang Albert Camus. Kejahatan bersifat objektif disimbolkan di dalam karya sastra Camus yang berjudul La Peste (Plague), sedangkan kejahatan bersifat imanen terlihat di dalam judul Mitos Sisifus . Kejahatan bersifat objektif karena kejahatan dapat menimpa siapa saja dan dalam waktu yang tidak dapat diperkirakan, sedangkan kejahatan bersifat imenen dapat terjadi ketika kejahatan diyakini berasal dari luar diri manusia, yaitu Tuhan yang terdapat di dalam setiap agama atau dewa seperti yang terlihat di dalam cerita Mitos Sisifus. Oleh karena itu, kejahatan bersifat imanen di dalam dimensinya mengkibatkan pemberontakan manusia terhadap Tuhan, karena Tuhan dinilai sebagai penyebab ketidakadilan dan kematian yang menimpa manusia. Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengambil unsur-unsur dan nilai-nilai filosofis utama dalam pemikiran Albert Camus terkait dengan kesadaran, kebebasan, pemberontakan, yang nantinya akan memunculkan makna kebebasan manusia yang lebih mendalam. Kemudian, pemikirannya mengenai kebebasan
19
tersebut akan ditinjau dari Filsafat Pendidikan Eksistensialisme yang pada akhirnya akan direlevansikan dengan pendidikan di Indonesia. E. Landasan Teori Bagian ini akan membahas tentang pemikiran-pemikiran apa saja yang dapat di gunakan sebagai dasar pembahasan untuk menjawab pertanyaan secara teoritis. Hal ini terkait dengan obyek formal. Obyek formal penelitian ini adalah Filsafat Pendidikan. Sedangkan, obyek material penelitian ini adalah pemikiran Albert Camus, yang nantinya akan direlevansikan dengan pendidikan di Indonesia. Sebagaimana telah disebutkan di atas, obyek formal penelitian ini adalah Filsafat Pendidikan. Di dalam Filsafat Pendidikan terdapat banyak aliran pendidikan, namun penelitian ini hanya akan membahas tentang
Filsafat
Pendidikan Eksistensialisme. Imam Barnadib di dalam bukunya yang berjudul Filsafat Pendidikan : Sistem dan metode, menuliskan bahwa Filsafat pendidikan adalah Ilmu pendidikan yang bersendikan filsafat atau filsafat yang diterapkan dalam usaha pemikiran dan pemecahan mengenai masalah pendidikan” (Barnadib, 1997:7). Dengan kata lain, filsafat pendidikan adalah ruang untuk menyediakan pemecahan masalah yang terjadi di lapangan pendidikan, dengan menggunakan analisa filosofis (Barnadib, 1997:14). Pendidikan merupakan institusi yang pada masa sekarang merupakan kebutuhan yang umum. Oleh karena itu, kajian tentang filsafat pendidikan merupakan kajian yang dibutuhkan dan fundamental. Penekanan yang menjadikan kajian mengenai hal tersebut adalah penting yaitu
20
adanya temuan-temuan “formula pendidikan secara holistik” tentang “apa” dan “bagaimana” suatu pendidikan seharusnya dilaksanakan, sehingga relevansi kegiatan pendidikan bagi kehidupan dapat dialami di dalam kehidupan sehari-hari (Gandhi HW, 2011:84). Filsafat pendidikan harus dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar di dalam dunia pendidikan. Pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan pengertian pendidikan, alasan pentingnya pelaksanaan pendidikan, sasaran atau tujuan yang akan diraih dalam pelaksanaan pendidikan, dan cara agar sasaran atau tujuan tersebut dapat dicapai atau direalisasikan. Filsafat pendidikan secara praktis mempunyai empat peranan utama, yaitu “menginspirasikan, menganalisis, mempreskriptifkan, dan menginvestigasi”(Gandhi HW, 2011: 86). Filsafat pendidikan mempunyai ruang lingkup yang dibagi menjadi tiga ruang, yaitu, ruang ontologi, ruang epistemologi, dan aksiologi. Ruang lingkup ontologi akan mengupas mengenai hakikat pendidikan. Sedangkan pertanyaan mengenai “mengapa” dan “bagaimana” pendidikan harus dijalankan akan dibahas di dalam ruang lingkup epistemologi. Di dalam ruang lingkup epistemologi inilah permasalahan mengenai pentingnya pendidikan di dalam kehidupan manusia akan dibahas, sedangkan aksiologi membahas tentang arti keberadaan pendidikan dan mempertanyakan tentang “validitasi urgenisasi umum”, yang mendukung pentingnya peran pendidikan di dalam kehidupan (Gandhi HW, 2011: 89-90). Di dalam filsafat pendidikan terdapat aliran-aliran. Salah satu aliran tersebut adalah eksistensialisme yang menekankan pentingnya kebebasan personal. Kebebasan inilah yang nantinya akan membawa seorang manusia menjadi
21
“otentik” dan hal ini merupakan “nilai pusat” bagi kaum eksistensialis (O’Neill, 2002:440). Eksistensialisme, yang berbicara tentang keberadaan manusia merupakan aliran yang sangat dekat dengan dunia pendidikan, yang menjadikan manusia sebagai pelaku utama dan satu-satunya, sebab hanya manusia yang mampu mengadakan kegiatan belajar-mengajar. Penekanan kaum eksistensialis terhadap pendidikan adalah pemenuhan diri dengan cara mendorong individu untuk mengembangkan kemampuannya. Oleh karena itu salah satu faktor penting di dalam pendidikan adalah adanya pemberian “pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan”. Di samping itu, kebebasan siswa menjadi faktor penting di dalam kurikulum, sehingga bersifat liberal (Gandhi HW, 2011:189). Oleh karena itu, jika berbicara tentang kebebasan, Filsafat pendidikan, khususnya eksistensialisme memandang kebebasan sebagai salah satu persoalan penting untuk dibahas. Hingga saat ini, definisi tentang kebebasan sangat beragam jenisnya, sehingga setiap individu mempunyai sudut pandang masing-masing. Sudut pandang seseorang tentang kebebasan menentukan cara manusia tersebut menemukan diri seutuhnya dan mempengaruhi pemikiran serta tindakannya. Oleh karena itu, pembahasan tentang kebebasan dari sudut pandang Albert Camus merupakan hal yang penting, sebagai upaya untuk menghayati diri menuju manusia seutuhnya. F. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang bercorak kualitatif deskriptif analisis kritis. Seluruh data yang disajikan dalam
22
kajian ini bersumber dari data kepustakaan berupa buku, artikel, jurnal, ensiklopedi dan data lain yang berkaitan dengan penelitian ini. 1. Materi Penelitian Penelitian ini bersifat penelitian kepustakaan yang sumber datanya diperoleh dari riset kepustakaan. Materi dalam penelitian ini dibagi menjadi dua sebagai berikut: a. Materi Primer Materi penelitian ini diperoleh dari karya-karya Albert Camus yang berkaitan dengan kebebasan, yaitu: 1) Albert Camus, 1942, Le Mythe de Sisyphe, Librairie Gallimard, France dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris “The Myth of Sisyphus and Other Essays”, penerjemah: Justin O’Brien, 1955, Vintage Books, New York. 2) Albert Camus, 1999, “Mite Sisifus : Pergulatan dengan Absurditas”, penerjemah: Apsanti D, PT. Gramedia, Jakarta. 3) Albert Camus, 1988, Resistance, Rebellion, and Death, Vintage Internasional, Vintage Books, New York, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Perlawanan, Pemberontakan, Kematian”, alih bahasa : Ahmad Asnawi, 2001, Pustaka Promethea, Surabaya. 4) Albert Camus, L’Envers et l’Endroit, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Mati dalam Jiwa”, 2004, penerjemah : Decky Juli Zafilus, Tinta, Yogyakarta.
23
b. Materi Sekunder Materi sekunder diperoleh dari berbagai tulisan yang berkaitan dan relevan dengan tema dan judul penelitian ini, yaitu: 1) Joko Siswanto, 2012, Filsafat Kejahatan, Lintang Pustaka Utama, Yogyakarta. 2) Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, 1996, “A Short History of
Philosophy”,
Oxford
University
Press,
New
York
dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Saut Pasaribu, 2002, dengan judul “Sejarah Filsafat”, Yayasan Bentang Budaya, Jogjakarta. 3) M. Sastrapratedja (ed), Manusia Multi Dimensional: sebuah renungan filsafat, PT. Gramedia bekerjasama dengan Pusat Pengembangan Etika Atmajaya, Jakarta. Di samping itu, penulis juga menggunakan buku-buku, jurnal, dan artikelartikel lain yang berhubungan dengan obyek material dan obyek formal.
2. Jalan Penelitian Penelitian ini diadakan dalam tiga tahap jalan penelitian, antara lain: a. Tahap pertama meliputi: 1) Pengumpulan data baik data primer maupun data sekunder sesuai dengan lingkup penelitian. 2) Pembuatan kategori dengan mengumpulkan dan menyatukan data ke dalam satu kesatuan yang tersistematisasi.
24
b. Tahap kedua meliputi: 1) Klasifikasi data dan selanjutnya akan dilakukan pendeskripsian dan penginterpretasian. 2) Analisis data sesuai dengan pemahaman peneliti tentang segala hal yang berhubungan dengan objek penelitian. c. Tahap ketiga meliputi 1) Penyusunan draf hasil penelitian. 2) Penyusunan laporan hasil penelitian secara sistematis dan mengikuti format atau aturan baku dalam penelitian.
3. Analisis hasil penelitian Untuk mendukung analisis filosofis, penelitian ini akan menggunakan metodologi dan unsur-unsur metodis analisis data yang bertitik tolak dari buku yang berjudul Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat, karya Kaelan (2005:54-95). Adapun dalam tahap analisis data ini, penulis menggunakan metode analisis data sebagai berikut: a. Metode deskriptif Penelitian ini menggunakan
metode penelitian kepustakaan yang
bersifat kualitatif deskriptif, dengan menggunakan sumber data berupa bukubuku yang berkaitan dengan Albert Camus. Metode deskriptif ini dilakukan ketika penulis memaparkan pemikiran-pemikiran Albert Camus, teori-teori yang berkaitan dengan Filsafat Pendidikan, khususnya tentang filsafat
25
pendidikan eksistensialisme dan teori-teori yang menyangkut pendidikan di Indonesia. b. Metode analisis data Dalam tahap analisis data ini, penulis menggunakan metode analisis data sebagai berikut: 1) Verstehen, yaitu metode yang digunakan dalam tahap inventarisasi data. Sejak awal pembacaan dan penulisan pemikiran Albert Camus, peneliti sudah mencoba untuk memahami makna yang terdapat di dalam tulisantulisan Camus (Kaelan, 2005:252). 2) Interpretasi data, yaitu metode yang digunakan dalam tahap pengumpulan data. Peneliti bermaksud untuk mengungkapkan arti dan esensi pemikiran Albert Camus secara obyektif bertitik tolak pada data yang telah diperoleh. Metode ini juga mencakup penerjemahan bahasa asing ke bahasa Indonesia (Kaelan, 2005:252). 3) Hermeneutika, yaitu metode yang digunakan untuk menangkap maksud dari pengarang. Definisi tentang hermeneutika ini diambil dari metode Schleiermacher
(Mustansyir,2009:36-38).
Hermeneutika
melibatkan
interpretasi terhadap data setelah data terkumpul sehingga dapat diperoleh esensi pemikiran pengarang dan dipahami sesuai dengan konteks waktu sekarang (Kaelan, 2005:252-253). Dalam hal ini peneliti mencoba untuk memahami makna yang terkandung di dalam tulisan-tulisan Albert Camus, melalui latar belakang kehidupannya dan tulisan-tulisan lain tentang
26
Camus, sehingga peneliti dapat menangkap esensi pemikiran Camus secara objektif dan sesuai dengan konteks sekarang. 4) Heuristika, yaitu suatu metode untuk menemukan dan mengembangkan metode baru dalam suatu ilmu pengetahuan bahkan pada filsafat itu sendiri (Kaelan, 2005: 96). Peneliti mencoba menganalisa pemikiran Albert Camus dari sudut pandang filsafat pendidikan eksistensialisme untuk menemukan relevansi pemikiran Albert Camus tentang kebebasan bagi pendidikan di Indonesia.
G. Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini diuraikan secara praktis dan teknis dalam pelaksanaan penelitiannya. Sistematika penulisannya terdiri dari beberapa bab, yaitu. Bab I merupakan bab pendahuluan. Terdiri atas latar belakang masalah, meliputi rumusan masalah, keaslian penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode yang digunakan dalam penelitian dan sistematika penulisan. Bab II, berisi tentang Filsafat Pendidikan yang menekankan aliran pendidikan eksistensialis. Bab III, berisi tentang riwayat hidup, latar belakang, karya-karya, tokoh yang mempengaruhi Albert Camus, dan pikiran-pikiran pokok Albert Camus. Bab IV, berisi tentang analisis tentang konsep kebebasan menurut Albert Camus yang ditinjau dari filsafat pendidikan eksistensialisme.
27
Bab V, berisi tentang pemahaman tentang pendidikan, yang menjelaskan tentang posisi manusia di dalam pendidikan, definisi dan batas-batas pendidikan, serta tujuan pendidikan. Di samping itu, bab ini juga berbicara tentang permasalahan pendidikan, serta relevansi pemikiran kebebasan Albert Camus di dalam pendidikan di Indonesia. Bab VI, merupakan bab penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.