1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Pterostilben (3,5-dimetoksi-4′-hidroksistilben) adalah komponen stilben yang secara alami terdapat dalam buah blueberries, kulit buah berbagai varietas Vitis vinifera (Adrian dkk., 2000), dan daun V. vinifera (Langcake dkk., 1979). Hasil studi pre-klinik menunjukkan bahwa pterostilben memiliki aktivitas farmakologi di antaranya adalah anti-inflamasi (Choo dkk., 2014), antihiperglikemik (Manickam dkk., 1997), dan dapat menurunkan kolesterol (Pari dan Satheesh, 2006; Rimando dkk., 2005). Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Park dkk. (2010) dan Zhang dkk. (2012) pterostilben mampu menekan stres oksidatif intraseluler dan melindungi sel endotel terhadap aterogenik yang disebabkan oleh oxidized-LDL sehingga berpotensi untuk antiaterosklerosis. Meskipun
pterostilben
menunjukkan
berbagai
potensi
aktivitas
farmakologi akan tetapi senyawa ini memiliki kekurangan, yaitu kelarutannya dalam medium berair rendah yaitu sekitar 21 μg/mL (Bethune dkk., 2011). Studi yang dilakukan oleh Yeo dkk. (2013) menunjukkan bahwa rendahnya kelarutan pterostilben menjadi masalah terhadap absorpsinya pada pemberian secara oral sehingga untuk memastikan tercapainya efikasi terapi membutuhkan eksipien yang dapat meningkatkan kelarutannya. Di antara pendekatan yang dapat digunakan untuk tujuan tersebut adalah digunakannya formulasi sistem
2
pengantaran berbasis lipid, yaitu pengantaran obat yang terdiri dari campuran isotropik komponen minyak, surfaktan, dan ko-surfaktan. Salah satu sistem pengantaran berbasis lipid ini adalah self-nanoemulsifyig drug delivery system (SNEDDS) (Neslihan Gursoy dan Benita, 2004). Obat lipofilik akan meningkat kelarutannya dalam fase lipid komponen SNEDDS dan dapat membentuk sistem nanoemulsi dengan adanya surfaktan dan ko-surfaktan ketika didispersikan dalam medium berair. Karakteristik SNEDDS di antaranya adalah dapat teremulsi secara spontan (self-emulsified) ketika berada dalam cairan di saluran pencernaan dan membentuk nanoemulsi dengan ukuran droplet 20–200 nm (Mou dkk., 2008; Porter dkk., 2008). SNEDDS yang baik akan terdispersi dalam medium berair secara cepat (hitungan detik) hanya dengan pengadukan ringan (Pouton dan Porter, 2008). Hasil dispersi tampak bening atau slightly bluish appearance (Basalious dkk., 2010). Karakteristik-karakteristik tersebut merupakan parameter SNEDDS dan untuk memperolehnya diperlukan optimasi jenis dan perbandingan komponen penyusunnya, yaitu minyak, surfaktan, dan ko-surfaktan (Date dkk., 2010). Surfaktan yang paling dianjurkan untuk formulasi self-emulsifying drug delivery system adalah surfaktan non-ionik dengan nilai hydrophile-lipophilebalance (HLB) relatif tinggi (Agubata dkk., 2014). Rancangan formulasi SNEDDS membutuhkan banyak surfaktan hidrofilik (HLB>12) dan ko-surfaktan untuk meningkatkan kapasitas drug loading serta untuk menghasilkan dispersi droplet fase minyak yang sangat halus (Cuiné dkk., 2007). Kandidat surfaktan dan ko-surfaktan yang digunakan dalam penelitian ini adalah surfaktan non-ionik
3
hidrofilik, yaitu Croduret® 50 yang memiliki HLB 14,1 dan Tween 80 yang memiliki HLB 15. Surfaktan non-ionik hidrofilik tersebut dikombinasikan dengan surfaktan non-ionik yang lebih lipofil, yaitu Span 20 yang memiliki HLB 8,6, dan Span 80 yang memiliki HLB 4,3. Penggunaan amphipilic solubilizer, seperti propilen glikol, polietilen glikol, dan diethylene glycol monoethyl ether, untuk memformulasikan SNEDDS dapat meningkatkan waktu emulsifikasi dan loading obat (Date dkk., 2010). Dalam penelitian ini yang digunakan adalah PEG 400. Bioavailabilitas obat yang diberikan menggunakan SNEDDS lebih tinggi dibandingkan sekedar pemberian obat langsung dalam bentuk dispersi minyak dan surfaktan (Nielsen dkk., 2008). Nasib obat yang diformulasikan dalam SNEDDS, ketika berada di saluran pencernaan akan dipengaruhi oleh faktor fisiologi yaitu proses pencernaan komponen minyak oleh enzim pencernaan (Pouton, 2000). Produk hasil pencernaan tersebut membentuk mixed micelles dengan garam empedu dan fosfolipid yang disekresikan oleh pankreas dalam lumen usus. Mixed micelles tersebut berperan dalam solubilisasi (micellar solubilization) dan transpor komponen obat lipofilik ke sel epitelium (Rao dkk., 2013). Secara umum, laju dan jumlah
produk
pencernaan
komponen
minyak
yang
terbentuk
serta
kemampuannya untuk membentuk mixed micelles berpengaruh terhadap absorpsi obat (Dahan dan Hoffman, 2008). Solubilisasi obat lipofilik akan meningkat jika mixed micelles yang terbentuk semakin banyak. Di sisi lain, solubilisasi tidak hanya dipengaruhi oleh mixed micelles yang terbentuk dari proses pencernaan komponen minyak tetapi juga oleh kapasitas solubilisasi asam lemak yang membentuk misel tersebut (Yang dan McClements, 2013). Fraksi komponen
4
lipofilik yang tersolubilisasi ke dalam fase mixed micelle yang terbentuk setelah pencernaan
lipid
bioaksesibilitas
dalam obat
usus
tersebut
halus
dapat
(Ahmed
dijadikan
dkk.,
2012).
sebagai
penanda
Bioaksesibilitas
(bioaccessibility) adalah fraksi komponen obat yang dilepaskan dari matriks sistem pengantaran ke dalam cairan pada saluran pencernaan (McClements dkk., 2009) atau dapat juga disebut sebagai fraksi yang tersolubilisasi dan yang tersedia untuk diabsorpsi (Ahmed dkk., 2012). Pada penelitian ini dilakukan optimasi formula SNEDDS menggunakan minyak kedelai sebagai fase lipid dan kombinasi surfaktan terpilih dari hasil penapisan berbagai jenis surfaktan, yaitu Croduret® 50, Tween 80, Span 20, dan Span 80. Pemilihan minyak kedelai sebagai fase lipid SNEDDS adalah karena kandungan asam lemak tidak jenuh terutama omega-3, seperti alpha-linolenic acid, merupakan asam lemak esensial yang dapat memberi kemanfaatan untuk kesehatan termasuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler (He dan Chen, 2013) sehingga dapat bersinergi dengan efek pterostilben. Formula optimum SNEDDS ditetapkan berdasarkan karakteristik waktu emulsifikasi dan % transmitan. Formula optimum SNEDDS-pterostilben yang dihasilkan kemudian dievaluasi sifat fisiknya dan diuji secara in vitro menggunakan model cairan pencernaan untuk mengetahui % bioaksesibilitas dibandingkan terhadap pterostilben yang tidak diformulasikan ke dalam SNEDDS.
5
B. Rumusan Masalah 1. Apakah surfaktan dan ko-surfaktan yang dapat membentuk SNEDDS dengan minyak kedelai dan bagaimana perbandingannya untuk menghasilkan formula optimum
SNEDDS-pterostilben
yang
memiliki
karakteristik
waktu
emulsifikasi kurang dari 1 menit dan % transmitan hingga 100 %? 2. Berapakah % bioaksesibilitas pterostilben yang dihasilkan oleh formula optimum SNEDDS setelah diuji menggunakan model cairan pencernaan secara in vitro?
C. Keaslian Penelitian Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Sun dkk., 2015) adalah memformulasikan pterostilben dalam bentuk nanoemulsi menggunakan flaxeed oil dan olive oil. Hasil uji in vitro menggunakan model cairan pencernaan menunjukkan bahwa bioaccessibility pterostilben dalam nanoemulsi yang diformulasikan menggunakan olive oil dan flaxseed oil masing-masing adalah 44 dan 47 %.
D. Pentingnya Penelitian Pterostilben memiliki potensi aktivitas farmakologi terutama sebagai antiinflamasi dan mencegah aterosklerosis. Akan tetapi rendahnya kelarutan pterostilben membatasi potensinya untuk dikembangkan lebih lanjut. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil pengembangan formulasi pterostilben dalam bentuk SNEDDS akan berkontribusi dalam menghasilkan sistem pengantaran yang
6
efisien. Sistem pengantaran ini dapat meningkatkan aplikasi pterostilben baik sebagai nutraceuticals maupun sediaan terapeutik.
E. Tujuan Penelitian 1. Memperoleh jenis surfaktan dan ko-surfaktan yang dapat membentuk SNEDDS dan mengoptimasi perbandingan surfaktan dan ko-surfaktan dengan minyak kedelai untuk menghasilkan formula optimum SNEDDS-pterostilben yang memiliki karakteristik waktu emulsifikasi kurang dari 1 menit dan % transmitan hingga 100 %. 2. Mengetahui % bioaksesibilitas pterostilben, yaitu jumlah pterostilben yang tersolubilisasi ke dalam fase mixed micelle yang terbentuk setelah formula optimum SNEDDS-pterostilben diuji menggunakan model cairan pencernaan secara in vitro.