1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Masalah Penelitian Peradaban masyarakat mengalami perubahan sejak terjadinya pertemuan para bangsa. Masyarakat yang sifatnya dinamis terus membentuk sebuah pembaharuan tindakan sosial. Popper mencoba untuk membahas bentuk masyarakat yang dilatar belakangi oleh kondisi sosial, politik, dan ekonomi secara global. Bentuk masyarakat menurut Popper dibedakan menjadi dua, yaitu: masyarakat terbuka dan masyarakat tertutup (Popper, vol.1, 1947: 152). Masyarakat tertutup merupakan masyarakat yang magis, kolektif atau tribal. Dalam masyarakat terbuka bentuk prilaku masyarakat menjadi dinamis. Perubahan bentuk masyarakat didahului oleh gejala sosial yang membentuk suatu realitas baru. Perubahan dinamika masyarakat menuju masyarakat terbuka juga berdampak pada kehidupan sosial yang terbentuk secara otomatis. Dampak yang ditimbulkan berupa segala bentuk efek samping dari kemajuan ilmu, teknologi, telekomunikasi, sosial politik, sosial ekonomi, pendidikan. Beberapa hal yang disebutkan itu merupakan bentuk nyata dari dinamika masyarakat, berupa sistem yang saling memengaruhi satu sama lainnya. Dinamika masyarakat terbuka memiliki orientasi terhadap hubungan sosial, kepentingan sosial, dan lembaga sosial yang otomatis tersistem. Hubungan
2
sosial, kepentingan sosial, dan lembaga sosial merupakan sumber dari penelaahan lebih lanjut dari pandangan sosio epistemologi. Kajian sosio epistemologi banyak dikembangkan oleh ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan tentang sistem sosial dan kebudayaan untuk melihat pengaruhnya bagi pengetahuan manusia. Dinamika sosial budaya mendorong kreativitas pikiran dalam mengembangkan teori pengetahuan untuk memperbaharui klaim-klaim pengetahuan menjadi sebuah revolusi pengetahuan yang dinamis. Popper menginginkan bentuk masyarakat terbuka yang menjunjung tinggi demokrasi. Masyarakat terbuka menurut Popper tidak dapat terwujud dengan sempurna karena bentuk negara demokrasi yang dicita-citakan Popper adalah tahapan untuk mencapai kesempurnaan (Popper, vol.1, 1947: 157). Cita-cita Popper merupakan kritik terhadap pandangan Plato, Hegel, dan Karl Marx yang utopis tentang wujud masyarakat. Titik pijak Popper tentang masyarakat terbuka menggunakan cara berpikir falsifikasi untuk memperoleh bentuk masyarakat yang tidak komunis, marxis, maupun utopis (Popper, vol.1, 1947: 241). Epistemologi masyarakat terbuka mencoba untuk melihat lebih jauh sistem dan gejala yang terbentuk dalam dinamika masyarakat. Pada kajian epistemologi, sumber pengetahuan dijadikan acuan dasar. Epistemologi modern mencoba untuk memperluas pandangan pengetahuan ke arah sosial. Sosio epistemologi bertujuan untuk mengembangkan sistem pengetahuan dan keilmuan masyarakat pada praxis emansipatorisnya sebagai jembatan humanisasi (Watloly, 2013: 69).
3
Sosio epistemologi Karl R. Popper dalam relevansinya di Yogyakarta setelah reformasi merupakan kajian untuk melihat dan memetakan kondisi kultural masyarakat ilmiah setelah permasalahan sosial politik di masa Orde Baru dengan latar belakang sejarah panjang. Kondisi kultural sangatlah dipengaruhi oleh dinamika masyarakat yang terjadi, sehingga pergerakan masyarakat secara terus menerus dan perlahan membentuk tradisi baru. Tradisi masyarakat organik pada masyarakat tertutup mendapat benturan dari sistem sosial masyarakat, sehingga berevolusi menjadi masyarakat terbuka. Yogyakarta pada masa Pra Reformasi memiliki sistem sosial masyarakat tertutup. Hal ini ditandai dengan pengaruh kekuasaan rezim Soeharto, di mana keadaan masyarakat di bawah hegemoni Soeharto, dan semua berlangsung dengan komando Soeharto. Bidang-bidang dibatasi, terutama dalam kaitannya dengan agama, partai, pers. Semua harus sesuai perintah dari Soeharto, sehingga hal ini memengaruhi cara berpikir masyarakat menjadi primordialisme. Perubahan cara berpikir masyarakat menjadi primordialisme, yang menganggap kelompok, ethnis, agamanya merupakan yang lebih unggul, membutuhkan waktu yang tidak singkat. Hal ini ditandai dengan masa jabatan Soeharto menjadi kepala negara yang panjang dan membentuk hegemoni sehingga berdampak pada pembatasan pada hal-hal yang dianggap merugikan untuk rezim Orde Baru. Pada masa peralihan pemerintahan terjadi dinamika sosial yang berbeda, khususnya pada saat terjadinya pergolakan politik 1998. Masyarakat Yogyakarta yang dikenal sebagai kota istimewa dengan bentuk pemerintahan dan kesultanan memiliki ciri khas. Masyarakat Yogyakarta sangatlah cepat menyesuaikan diri
4
dengan perubahan atas adaptasi individu masyarakat dari para pendatang yang bermukim di kota ini. Dinamika masyarakat di Yogyakarta dapat dilihat dari dimulainya perubahan politik masa Orde Baru ke Reformasi yang berimbas pada perubahan dalam segala segi kehidupan. Reformasi di Yogyakarta merupakan tonggak dari dinamika masyarakat Yogyakarta. Masyarakat Yogyakarta terlepas dari hegemoni Soeharto dan memasuki tahapan baru untuk menata kembali sistem sosial masyarakat yang sebelumnya mengalami pembatasan. Masyarakat Yogyakarta yang multikultur dijadikan sebagai keistimewaan bagi Yogyakarta. Diawali oleh kampanye menyuarakan damai oleh Partai Amanat Nasional (PAN) di Yogyakarta. Bentuk kampanye PAN merupakan cara untuk menyuarakan eklektisme budaya Jawa yang dapat menghormati dan fleksibel terhadap beragam etnis, agama, dan kebudayaan dari pendatang yang tinggal di Yogyakarta. Pendatang mulai banyak masuk ke Yogyakarta sejak adanya Universitas sebagai payung dari institusi pendidikan tinggi untuk mewadahi masyarakat multikultur. Sultan tidak tinggal diam pada saat terjadi demo besar di Jl. Solo bertepatan dengan deklarasi Reformasi di Yogyakarta. Sultan langsung turun tangan ke Jl. Solo untuk memberikan penjelasan bahwa Yogyakarta aman dan damai. Fakta lainnya adalah tingginya harga tanah di Yogyakarta dikarenakan Yogyakarta terhindar dari kerusuhan dan terorisme. Yogyakarta sebagai kota damai dilatar belakangi oleh cara berpikir Sultan yang dipengaruhi tradisi budaya Jawa. Gagasan pandangan hidup yang didasarkan kultural Jawa terdapat pada pandangan mistik dan transendental tentang keselarasan antara manusia dengan
5
dirinya sendiri, sesama, dan alam semesta serta dengan Tuhan. Hubungan mikrokosmos dengan makrokosmos sangatlah kuat dalam budaya Jawa (Nurhayati dkk, 2006: 64). Masa setelah Reformasi di Yogyakarta merupakan masa pembaharuan dari sistem pemerintahan daerah karena pelaksanaan pilkada, amandemen undangundang, dan pada masa ini merupakan tonggak awal pembaharuan dari runtuhnya masa Orde Baru. Pola pembaharuan yang terjadi pada masa setelah Reformasi memberikan perubahan pada dinamika masyarakat. Pengaruh atau dampak yang ditimbulkan dengan adanya dinamika masyarakat Yogyakarta setelah Reformasi tampak pada keadaan sosial masyarakat, semua ini menimbulkan dampak yang signifikan. Perubahan pada sistem sosial masyarakat menjadi titik balik dari dinamika yang dialami. Sistem sosial masyarakat membentuk sebuah perubahan cara pandang dalam pengetahuan dari bentuk gejala sosial. Hal ini akan memengaruhi pola sosial masyarakat jangka panjang karena akan terjadi perubahan pola sosial masyarakat lama menjadi pola sosial masyarakat baru. Sosio epistemologi Popper yang berbentuk masyarakat terbuka memberikan sumbangan penting bagi masa depan masyarakat ilmiah dengan gejala-gelaja sosial yang ditimbulkan. 2. Perumusan Masalah a. Apa pengertian dan permasalahan utama sosio epistemologi ? b. Apa yang menjadi kekhasan sosio epistemologi Karl Raimund Popper ?
6
c. Apa relevansi sosio epistemologi Karl Raimund Popper bagi dinamika masyarakat di Yogyakarta setelah Reformasi 1999-2004 ? 3. Keaslian Penelitian Peneliti telah melakukan penelusuran terhadap penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan pihak-pihak lain terkait masyarakat terbuka Karl R. Popper. Penelurusan dilakukan dengan dua jalan, yakni penelusuran literatur kepustakaan dan penelusuran keterangan literatur melalui internet. Penelusuran kepustakaan mendapatkan penelitian Ichwan Supandi Azis dengan judul “Konsep Pengetahuan Menurut Karl Raimund Popper (dalam komparasi dengan penelitian Auguste Comte), pada tahun 1999, untuk memperoleh jenjang Master di Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini merupakan studi komparasi antara pemikiran Popper dengan Auguste Comte yang dipengaruhi oleh pemikiran positivisme. Pemikiran Popper dengan Auguste Comte ada perbedaan yang mendasar. Popper mendasarkan pemikirannya pada rasionalisme kritis dan empirisme kritis, sedangkan Comte berpijak pada landasan empirik positivistik. Metodologi Popper adalah deduktif falsifikatif, dengan solusi tentatifnya problem solving, sedangkan Comte menggunakan metode induktif verifikatif dengan andalannya observasi, eksperimentasi, dan komparasi. Titik temu keduanya ada pada kesamaan tujuan, yakni pengembangan, kemajuan, dan kebenaran yang ingin dicari. Pemikiran Popper secara intensif dapat dijadikan sebagai mitra dialog dan sarana kritik terhadap setiap problem yang timbul.
7
Penelusuran kepustakaan mendapatkan penelitian Soedarso, dengan judul “Filsafat Demokrasi Karl Popper Dan Relevansinya Bagi Pengembangan Demokrasi Indonesia”, pada tahun 2010, untuk memperoleh jenjang Doktor di Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini memaparkan filsafat demokrasi Karl Popper dan relevansinya bagi pengembangan demokrasi di Indonesia. Tema ini penting untuk mendukung proses demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia, guna mengokohkan landasan teoritik serta menyediakan bahan-bahan kritis bagi pengembangannya. Penelitian ini menunjukan bahwa menurut Popper dasar demokrasi adalah masyarakat terbuka, yakni suatu masyarakat yang dibangun atas pengakuan kemanusiaan universal, kesetaraan hak dan sifat kontrol terhadap kekuasaan. Hakikat demokrasi bukan pada penyeragaman tetapi pengakuan atas perbedaan, bukan pula mekanisme penyelesaian konflik kelas dalam masyarakat tetapi bagaimana menciptakan komunikasi kritis antar komponenn di dalamnya. Relevansi filsafat demokrasi Karl Popper terhadap pengembangan demokrasi di Indonesia terletak pada penekanan penyatuan dua persoalan yakni teoritik dan praksis, yang kemudian diketahui bahwa penekanaan pada satu aspek teoritik saja seperti penyatuan ideologis sebagaimana terjadi pada Orde Lama dan Orde Baru justru menghasilkan pemerintahan totaliter, serta menyisakan persoalan baru bagaimana mengakomodasi adanya realitas plural dalam teori dan praksis demokrasi Indonesia. Demokrasi Indonesia era Reformasi mengikuti langkah rasionalisme kritis dengan menolak tindakan revolusioner yang juga mengembangkan filsafat
8
demokrasi Pancasila melalui jalan amandemen konstitusional dan perbaikan secara terus menerus proses serta kelembagaan demokrasi. Penelusuran kepustakaan mendapatkan majalah Prisma tentang pemikiran sosial ekonomi, dengan judul “Masyarakat Terbuka Indonesia: Pesona atau Persoalan?” (Vol. 30, No. 1, tahun 2011). Majalah ini membahas banyak hal tentang masyarakat terbuka Karl R. Popper secara luas dari perspektif politik, ekonomi, pendidikan tetapi tidak cukup mendalam dan hanya review singkat atas tema tersebut. Penelusuran melalui sumber kepustakaan mendapatkan penelitian untuk memperoleh jenjang Master yang dilakukan oleh Canggih Gumanky Farunik di Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, pada tahun 2013. Judul penelitian yang dilakukan adalah “Dasar Epistemologi Ilmu Kognitif Dalam Tinjauan Pemikiran Tiga Dunia Karl Raimund Popper”. Peneliti melihat bahwa pemikiran Tiga Dunia merupakan salah satu pemikiran terpenting Popper, karena merupakan dasar ontologis dan juga dasar epistemologis dari filsafat Popper. Pemikiran Tiga Dunia Popper digunakan untuk melihat dasar epistemologis dari ilmu kognitif. Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan pengertian dan permasalahan utama di dalam ilmu kognitif, dan juga menemukan dasar epistemologis di dalam ilmu kognitif. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah pemikiran Tiga Dunia Popper membagi realitas yang terdiri dari dunia fisik sebagai dunia pertama, dunia proses pemikiran sebagai dunia kedua, dan dunia hasil proses pemikiran sebagai dunia ketiga. Bentuk epistemologi dari ilmu kognitif dalam tinjauan pemikiran Tiga Dunia Popper, menjelaskan bahwa pengetahuan objektif didapatkan melalui
9
pemahaman atas ”thought content”, kemudian dikritisi oleh justifikasi kebenaran, tanpa melibatkan proses justifikasi moral. Penelusuran kepustakaan yang dilakukan juga mendapatkan penelitian Fuad, dengan judul “Kebenaran Ilmiah Dalam Pemikiran Thomas S. Kuhn Dan Karl R. Popper: Suatu Kajian Hermeneutika Dan Kontribusinya Bagi Masa Depan Ilmu”, pada tahun 2013, untuk memperoleh jenjang Doktor di Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini mengkaji pemikiran Kuhn dan Popper tentang kebenaran ilmiah. Pemikiran Kuhn dan Popper terlihat dalam perdebatan penting yang berimplikasi dengan kajian Hermeneutika masa kini dan tidak terlepas dari pemahaman tentang masa depan ilmu. Hermeneutika Kuhn bercorak fenomenologis karena hanya memahami kebenaran ilmiah berdasarkan fenomena kemajuan ilmiah, sedangkan hermeneutika Popper bercorak ontologis karena meyakini adanya kebenaran absolut. Persamaan essensial hermeneutika Kuhn dan Popper karena mengakui kebenaran ilmiah yang bersifat relatif ideal. Perbedaan fundamental hermeneutika Kuhn dan Popper karena Kuhn bertitik tolak dari dimensi
deskriptif,
sedangkan
Popper
bertolak
dari
dimensi
normatif.
Hermeneutika Kuhn dan Popper dapat dikontribusikan sebagai landasan filosofis pengembangan ilmu, yaitu: wilayah penyelidikan ilmiah (landasan ontologis), dialektika kemajuan ilmiah (landasan epistemologis), dan menuju kebenaran absolut transendental (landasan aksiologis). Hermeneutika Kuhn dan Popper dapat dikontribusikan bagi upaya reintegrasi ilmu dan filsafat, terkait korelasi dan inkoneksi dimensi empiris dan metafisik, yang sekaligus dapat dijadikan dasar untuk memahami demarkasi ilmu (sistem pengetahuan empiris) dan filsafat
10
(sistem pengetahuan metafisik). Hermeneutika Kuhn dan Popper dapat dikontribusikan untuk mewujudkan integrasi ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu kemanusiaan di Indonesia dalam rangka pengembangan IPTEK yang relevan dengan nilai-nilai etika Pancasila. Penelusuran melalui internet telah menghasilkan beberapa temuan atas penelitian yang telah dilakukan. Peneliti melakukan identifikasi terhadap literaturliteratur yang bersangkutan di internet, yaitu: Karl Popper dan Masa Depan Masyarakat Terbuka, tahun 2012, ditulis oleh Amin Mudzakkir. Tulisan ini membahas tentang historisisme Masyarakat Terbuka Popper terhadap cita-cita bersama. Pada bagian awal, tulisan ini membahas pandangan Popper pada bagian ontologi dan epistemologi, kemudian memunculkan permasalahan sosial politik pada masyarakat terbuka. Permasalahan utama yang dibahas pada tulisan ini diselesaikan dengan sistem penyelesaian masalah dengan rumusan Popper sendiri, yaitu rasionalisme kritis (Mudzakkir, 2012). Penelusuran melalui internet ditemukan penelitian dengan judul, Madzhab Ideologi Open Society dalam Perspektif Islam, ditulis oleh Ali Imron, tahun 2013. Open society menyangkut realitas sosial empirik masyarakat Indonesia dalam pluralitas dan perbedaan-perbedaanya. Masyarakat yang dalam komunitasnya tidak lagi mempedulikan serta mempersoalkan perbedaan tanah air, agama, suku, bahasa, warna kulit, budaya, adat istiadat dan memiliki cita-cita terbuka dalam masyarakatnya yaitu untuk membentuk sebuah nation building, construst society building, conaction humanity, development of mentality, behavior and solidarity society, nation and state. Open society atau masyarakat terbuka dalam masyarakat
11
muslim, setidaknya terdapat dua bahasan; (1) Membahas tentang realitas sosial empirik masyarakat pluralis, termasuk di dalamnya masyarakat muslim yang sudah menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam komunitas masyarakat terbuka, di situ masyarakat muslim dituntut harus melakukan upayaupaya nyata dalam merubah sikap eksklusifitas menjadi sikap inklusifitas. (2) Dalam kajian open society disini masyarakat muslim seharusnya dapat memposisikan diri dalam wacana humanitas rahmatan lil’alamien yang toleran (Imron, 2013). Penelusuran kepustakaan dan internet yang dilakukan peneliti, tidak menemukan judul yang mirip dengan ini. Hal ini berarti, penelitian ini belum pernah diteliti atau ditulis oleh orang lain, sehingga penelitian ini dapat diteliti lebih lanjut. 4. Manfaat Penelitian a. Bagi filsafat dan sains, hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu bahan studi sejarah pengetahuan manusia, jembatan komunikasi antar bidang khusus (antar science), dan bahan refleksi filosofis pengembangan science lebih lanjut. b. Bagi bidang penelitian terkait, bermanfaat sebagai inventaris kepustakaan dan wahana diskusi. c. Bagi peneliti, akan mendapatkan pemahaman menyeluruh dari prinsip-prinsip umum dan hal-hal khusus tentang pemikiran sosio epistemologi Karl R. Popper tentang masyarakat terbuka, yang dijadikan acuan pengembangan pribadi.
12
d. Bagi Bangsa dan Negara Indonesia, penelitian tentang pemikiran sosio epistemologi Karl R. Popper tentang masyarakat terbuka dan relevansinya dengan dinamika masyarakat di Yogyakarta Pra Reformasi – Pasca Reformasi 1999-2004 dapat menyumbangkan khasanah acuan cara berpikir filosofis dan ilmiah di dalam rangka kemajuan Bangsa dan Negara. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. Melakukan pendefinisian pemikiran sosio epistemologi pada umumnya dan analisis permasalahan utama sosio epistemologi. 2. Melakukan analisis terhadap kekhasan sosio epistemologi Karl Raimund Popper. 3. Analisis relevansi pemikiran sosio epistemologi Karl Raimund Popper bagi dinamika masyarakat di Yogyakarta setelah Reformasi 1999-2004. C. Tinjauan Pustaka Karlina Supeli dalam tulisannya berjudul ‘Masyarakat Terbuka Catatan Kritis untuk Pesona sebuah Konsep’ yang termuat dalam Jurnal Prisma tahun 2011, lebih mengkritisi konsep masyarakat terbuka yang digunakan Popper. Karlina menjelaskan bahwa Masyarakat Terbuka Popper adalah masyarakat yang mengandalkan ruang publik untuk menjamin kebebasan setiap individu untuk menyampaikan pemikirannya, sehingga memungkinkan untuk mengemukakan daya kritis setiap individu dengan bebas. Konsep Masyarakat Terbuka Popper
13
berasal dari logika sains yang melandasi filsafat ilmu Popper yang mengandaikan bahwa masyarakat dapat menyelesaikan berbagai macam persoalan dengan pikiran yang jernih daripada menggunakan emosi dan hasrat. Juga disertai dengan keyakinan bahwa setiap gagasan pengetahuan dan keyakinan bisa saja salah. Perbedaan bukanlah menjadi penghalang, tetapi semangat untuk membangun dan menghidupkan ruang publik. Ruang publik menjamin kebebasan setiap individu untuk menyampaikan pemikirannya dan memungkinkan untuk mengemukakan daya kritis manusia dengan bebas. Musuh-musuh lainnya yang dimaksud Popper dalam Masyarakat Terbuka adalah fasisme dan komunisme, serta terdapat bentuk barunya yaitu, rezim fasis klerik, rezim korup, rezim militer diktator, dan nasionalisme militan. Popper memiliki dasar landasan bertindak yang kuat tentang rasionalisme kritis yang juga menjadi landasan dari Masyarakat Terbuka (Supelli, 2011:7). Masyarakat terbuka merupakan proses panjang perjalanan manusia yang melaluinya dengan sikap rasional. Masyarakat terbuka lahir dari pemikiranpemikiran terbuka anggotanya yang tidak anti kritik dan senantiasa menjadikan ide-ide dan pandangan anggotanya sebagai esensi dari perbedaan, sehingga tak harus dihalang-halangi ataupun ditolak. Masyarakat terbuka tidak memerlukan penyeragaman ide, melainkan membangun identitas dari beragam ide dan pandangan sebab penyeragaman akan menciptakan masyarakat statis, bukan yang dinamis. Sikap otoriter memusuhi ide dan pandangan yang berbeda merupakan musuh masyarakat terbuka (Sihotang, 2010).
14
Gombrich dalam tulisanya di The British Journal of Sociologi Desember 1952, menguraikan Masyarakat Terbuka Popper menurut ulasan dari Plamenatz yang kemudian juga dikomparasikan dengan pandangan Popper tentang Masyarakat Terbuka dalam bukunya Open Society and Its Enemies. Terdapat dua hal yang membingungkan pada penyataan Popper. Pertama, Popper menegaskan permasalahan Plato dengan tergesa-gesa tentang egoisme dan individualisme. Kedua, Popper mencoba meninggalkan kesan pembaca dengan berhati-hati menambahkan catatan kaki untuk memperkecil kesalahpahaman. Popper memilih untuk mendiskusikan Plato, Hegel, dan Marx sebagai yang paling berpengaruh dari totalitarian utopis dan historis fatalistik tercermin pada masyarakat tertutup (Gombrich, 1952: 358-360). Willmoore Kendall menulis artilel dengan judul The ‘Open Society’ and Its Fallacies tahun 1960, dengan landasan awal dari buku On Liberty ditulis oleh John Stuart Mill yang berisi tentang permasalahan peradaban masyarakat terletak pada komunikasi. Di sisi lain Popper juga berikir tantang masyarakat terbuka yang diawali dengan ide tentang masyarakat tertutup. Pendapat Mill tentang masyarakat terbuka adalah demokrasi, kebebasan, dan cara untuk memperoleh semuanya, dan menentang authoritarian, musuh masyarakat merdeka dan masyarakat totarian (Kendall, 1960: 972-973). Masyarakat terbuka Popper menurut Alfred Cobban, memiliki cara pandang historis dan akan melemahkan sehingga tidak perlu dilakukan. Cobban mengkritik Popper karena fokus dengan permasalahan masyarakat yang dilihat dengan cara pandang yang berbahaya dan salah. Popper memilih Plato karena
15
merupakan penulis dari Republic, dan melihat permasalahannya dengan cara pandang sederhana memakai banyak pandangan spekulatif subjek (Political Science Quarterly, 1954: 119).
Kritik yang disampaikan Cobban merupakan
kritik yang wajar karena tulisan Popper pada bukunya didasarkan pada konsepsi positif masyarakat terbuka, meskipun unsur-unsur positif itu juga merupakaan perbedaan argumen (Cobban, 1954: 124). Nasionalisme merupakan termin yang muncul dengan adanya masyarakat terbuka. Popper mengakui bahwa nasionalisme merupakan tantangan yang mengacaukan, dan akhirnya berbalik pada multikulturalisme di atas kepala dari idetitas nasional sebagai ras. Popper memberi banyak kesan dari harapan untuk menyingkirkan dengan memberi contoh pada masyarakat tertutup. Dilain pihak, nasionalisme merupakan hal yang tidak perlu pada masyarakat tribal dan primitive karena tidak memiliki nilai. Permasalahan ke dua Popper dari penerapan pembeda antara nasionalisme dan multikulturalisme. Nasionalisme merupakan penerapan kepadatan bangsa. Multikulturalisme menurut Popper merupakan penerapan kemungkinan dialog internal beragam budaya (Vincent, 2005:54-55). Epistemologi secara historis difokuskan pada inquirers individu yang menjalankan kepentingan intelektual secara independen satu sama lain. Sebagai persoalan yang dijelaskan, bagaimanapun juga, apa yang orang tahu dan percaya sebagian besar merupakan fungsi masyarakat dan budaya mereka. Hal ini ditafsirkan secara sempit ataupun luas. Sebagian besar dari apa yang kita yakini dipengaruhi, secara langsung atau tidak langsung, dengan ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan orang lain. Jadi epistemologi sosial layak atau setidaknya sama
16
berdiri di samping sebuah sektor epistemologi individu. Hal ini tidak menantang integritas atau kepatutan epistemologi individu. Goldman siap untuk mengakui bahwa banyak pengetahuan persepsi individu, pengetahuan memorial, dan pengetahuan introspektif dicapai secara murni individualistis. Tetapi mengingat berat dan pentingnya penyebab sosial untuk sektor yang sangat besar keyakinan kita, sebab-sebab sosial harus menerima proporsi yang jauh lebih besar perhatian epistemologis dari mereka secara tradisional diterima. Faktor sosial memainkan peran semakin penting dalam teori saat ini konsep semantik, jenis teori-teori yang berada di luar ruang lingkup esai saat ini. Meningkatnya minat dalam faktor sosial juga terlihat dalam literatur epistemologis baru-baru ini, tetapi belum ada konsensus tentang bagaimana bidang epistemologi sosial harus dibangun atau dipahami (Goldman, 1999: 3-4). Sosio epistemologi merupakan sebuah teori pengetahuan bersifat sosial dan bersifat humanisasi untuk kepentingan sosial kemasyarakatan. Pengetahuan merupakan sebuah bentuk dari kekayaan kemanusiaan yang didapat dari interaksi masyarakat. Pengetahuan seharusnya berfungsi untuk kepentingan sosial yang luas dalam dinamika sosial. Oleh sebab itu, unsur-unsur dari nilai-nilai kemanusiaan dan sosial budaya menjadi pendorong pertumbuhan pengetahuan. Nilai kebenaran yang menjadi landasan untuk melihat pola dinamika sosial, sifatnya majemuk dan selalu membuka kemungkinan untuk dikritisi (Watloly, 2013: 20-22). Sosio epistemologi berorientasi pada pengetahuan dan keilmuan yang digunakan sebagai jembatan untuk membebaskan diri dari proses dehumanisasi, yang cenderung membentuk kesadaran naif yang berujung pada
17
pseudo-science (Watloly, 2013: 70). Dapat dijelaskan lebih lanjut, bahwa sosio epistemologi bebasis pada pengetahuan dan keilmuan yang dalam proses dinamika sosial tidak dapat terlepas dari perubahan kontradiksi sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi dalam masyarakat. Sehingga dalam proses selanjutnya, sosio epistemologi memiliki posisi sebagai agen pembebasan dari proses dehumanisasi (Watloly, 2013: 79). Sudarminta menjelaskan bahwa epistemologi sosial merupakan kajian konseptual dan normatif tentang dimensi sosial pengetahuan tentang relevansi hubungan sosial, kepentingan sosial, dan lembaga sosial bagi pengetahuan. Tujuan dari adanya sosio epistemologi adalah untuk mempertanyakan kemunculan dari pengetahuan yang tidaklah mungkin ada tanpa adanya pengaruh dari lingkungan sosial. Keberadaan pengetahuan selalu berkaitan dengan pengujian kebenaran pengetahuan berdasarkan pengamatan inderawi dan penalaran (primer), berbeda halnya dengan epistemologi sosial untuk memperoleh kebenaran pengetahuan yang biasanya melalui konsensus dan kesepakatan bersama (sekunder). Epistemologi sosial akan selalu berkaitan dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial. Perkembangan dari episemologi sosial akan selalu menelaah hubungan individu dan masyarakatnya dalam konteks pengetahuan akan semakin kompleks. Pemahaman dari pengertian masing-masing dan hubungan antara pengetahuan dan struktur sosial masyarakat mengalami prubahan terus menerus. Hubungan keduanya selalu saling berinteraksi sehingga membentuk realitas yang baru (Sudarminta, 2000: 5-6).
18
Epistemologi sosial untuk institusi liberal memenuhi persyaratan liberalime politik dengan membuat kasus yang kuat untuk institusi liberal tanpa mengandalkan konsepsi tertentu atau konsepsi moral komprehensif, landasan itu bukan dalam komitmen untuk memperbaiki moral dan resiko kita semua untuk bertanggung jawab berdasarkan ketergantungan sosial. Epistemologi sosial menjelaskan kebijakan menghindari ketergantungan pada permasalahan toleransi. Hubungan antara epistemologi sosial dengan institusi liberal, ada pada efektifitas antar disiplin dari epistemologi sosial kemungkinan ada pada masyarakat liberal karena hanya di masyarakat liberal terdapat kemungkinan akses informasi bebas tentang proses sosial dan kemampuan dengan kerelaan untuk menyelidiki kondisi perbedaan rasional epistemik yang menuntut epistemologi sosial
(Buchanan,
2004: 129-130). D. Landasan Teori Epistemologi adalah bidang kajian tentang pengetahuan. Epistemologi mencoba mengkaji dan berusaha menemukan ciri-ciri umum dan sifat dasar dari pengetahuan manusia. Epistemologi pada dasarnya merupakan upaya rasional untuk menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan kesadarannya sendiri, lingkungan sosialnya, dan alam sekitarnya. Bertolak dari itu semua, epistemologi adalah disiplin ilmu yang sifatnya evaluatif, normatif, dan kritis. Epistemologi merupakan cabang dari ilmu filsafat yang belum cukup jika hanya memberi penjelasan secara deskriptif, tetapi haruslah bisa memberikan alasan secara rasional berdasarkan norma atau metodologi epistemik (Sudarminta, 2002: 18-19).
19
Persoalan epistemologi berpijak dari pertimbangan kebutuhan bagi hidup manusia akan landasan dasar pengetahuan untuk mengambil strategi untuk menentukan pilihan tindakan hidup. Berkaitan erat dengan sistem kebudayaan, ekonomi, politik, religi, seni, teknologi, bahasa, pendidikan (Pranarka, 1987:1920). Hal ini dapat menganalisis permasalahan dan mengambil keputusan untuk revolusi pengetahuan yang membawa dampak pada kebudayaan. Epistemologi sering dikaitkan dengan bentuk metode ilmiah sebagai penentu kerangka ilmu dalam sistem pendidikan. Beberapa bentuk dari persoalan epistemologi merupakan bagian dari peta ilmu, sejarah perkembangan, sifat hakiki, dan cara kerja ilmu (Sudarminta, 2002: 28-29). Sosio epistemologi yang merupakan kajian khusus dari pembahasan tesis ini, merupakan pengetahuan yang dikaji secara sosial. Kajian sosio epistemologi mulai dikenal mulai zaman Descartes yang merupakan awal zaman epistemologi modern (Watloly, 2013: 49). Pembahasan dari sosio epistemologi berkaitan dengan pengetahuan yang berkaitan dengan individu dan masyarakat, tentang kepentingan manusia atas kekuasaan ilmiah dalam bentuk klaim-klaim teori, kebenaran universal, kepentingan kaum elit. Sosio epistemologi menerima wacana pengetahuan yang terdapat dalam praktek sosial yang dapat menentukan kebenaran pengetahuan. Praktek sosial dilakukan oleh pelaku yang berkepentingan terhadap perkembangan pengetahuan. Pelaku tersebut dinamakan sebagai rezim yang memiliki kepentingan akan wacana-wacana pengetahuan sosial sebagai jaringan produktif dalam kehidupan sehari-hari. Wacana pengetahuan yang dibentuk dalam pola sosial dan dari
20
karakteristik individu membentuk transformasi pengetahuan secara kultural. Kerja epistemologi sosial berada dalam lingkaran filsafat transendental yang bertujuan melakukan kritik, pengujian, analisis, konseptualisasi, negosiasi makna, secara sistematis untuk menghasilkan pengetahuan berdasarkan relevansi ilmiah yang objektif (Watloly, 2013: 91-98). Prinsip kultural dalam perkembangan epistemologi menurut Aholiab Watloly
dalam
bukunya
berjudul
Tanggung
Jawab
Pengetahuan
Mempertimbangkan Epistemologi secara Kultural, dibagi menjadi 4 bagian. Prinsip pertama adalah prinsip humanitas yang menekankan pada keutamaan manusia. Kedudukan manusia bukan hanya dalam posisi subjektif, tetapi lebih pada posisi objektif yang mengarah pada pandangan dasar prinsip nilai dan pandangan dasar dari pengembangan epistemologi. Pada prinsip pertama ini, tujuan utamanya adalah untuk mewujudkan citra keagungan manusia sebagai makhluk yang memiliki kodrat dan berbudaya (Watloly, 2001:183-184). Prinsip kedua adalah prinsip holistik yang berkaitan dengan bipolaritas kesadaran manusia untuk mencapai pengenalan akan eksistensi dirinya. Prinsip holistik ingin menunjukkan bahwa pengetahuan mempunyai sifat analogis. Kesadaran tidaklah bersifat subjektif murni tetapi memiliki kesadaran objektif yang memiliki tingkat kejelasan yang berbeda. Pengembangan epistemologi holistik dimaksud bahwa kebenaran pengetahuan selalu bersifat intersubjektif, yang saling dipengaruhi dari berbagai aspek. Prinsip ini menunjukkan bahwa spesifikasi ilmu pengetahuan menjadi penting dalam rangka mensistematisir seluruh kenyataan dinamika masyarakat yang beraneka ragam dalam kerangka
21
keutuhannya yang sifatnya menyeluruh atau yang disebut sebagai holistik (Watloly, 2001: 196-204). Prinsip ketiga adalah prinsip tanggung jawab. Aktivitas manusia dalam komunitas ilmiah memerlukan tanggung jawab yang berkaitan dengan penyebab salah satu akibat yang telah berlangsung. Pentingnya tanggung jawab dalam perkembangan epistemologi sudah lama dikenal, pada zaman Socrates dan pada zaman Plato yang disebut dengan Kritias. Tanggung jawab ilmiah menempatkan manusia yang memiliki kedudukan di antara manusia-manusia yang lainnya. Hal ini berkaitan dengan aspek aksiologis pengetahuan. Tanggung jawab manusia hakikatnya adalah terbatas yang ditunjukan dengan adanya tahapan kodrat manusia. Tanggung jawab sosial merupakan kerangka dasar bagi pengembangan epistemologi yang harus memiliki sikap tanpa pamrih, kesadaran etis, sikap professional dan integritas intelektual, dan integritas religious demi keutuhan harmoni (Watloly, 2001: 207-221). Prinsip keempat adalah prinsip kontekstualisasi. Tanggung jawab kultural merupakan bentuk dari pentingnya kontekstualisasi epistemologi secara khusus berdasarkan nilai-nilai kultural masyarakat setempat. Prinsip ini bertujuan untuk memecahkan permasalahan kultural secara langsung maupun tidak langsung. Epistemologi yang berada dalam kondisi masyarakat tertentu yang berkembang dengan struktur sosial dan tradisi kebudayaan yang keduanya saling mendukung. Epistemologi sangat membutuhkan masyarakat dan kebudayaan dalam rangka merealisasikan keberadaannya secara mendasar. Terdapat tiga alasan yang mendorong adanya kontekstualisasi dalam rangka pengembangan epistemologi.
22
Pertama, globalisasi merupakan bentuk dari evolusi kebudayaan modern yang telah memberikan perubahan besar dalam pertumbuhan epistemologi yang bersifat kontekstual. Kedua, permasalahan kontekstual membawa tantangan baru yang memerlukan jawaban epistemologis yang kontekstual. Ketiga, dinamika epistemologi yang membentuk dimensi baru dalam perkembangan epistemologi (Watloly, 2001: 222-224). E. Metode Penelitian 1. Bahan Penelitian : a. Pustaka Primer Pustaka primer adalah karya-karya utama Popper yang terkait dengan penelitian tesis ini, yakni: i.
Karl R. Popper, 1966. The Open Society and Its Enemies. Vol I. and II. London: Routledge
ii.
Karl R. Popper, 1957. The Proverty of Historicism. London: Great Britain
iii.
Karl R. Popper, 1989. Conjectures and Refutations The Growth of scientific Knowledge. London: Routledge b. Pustaka Sekunder Pustaka sekunder, yakni berbagai literatur yang berhubungan dengan
tulisan terkait masyarakat terbuka, dan juga literatur terkait dengan objek formal Sosio Epistemologi, yakni:
23
i.
J.
Sudarminta,
2002.
Epistemologi
Dasar
Pengantar
Filsafat
Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius ii.
Kenneth T. Galllagher. 1982. The Philosophy of Knowledge. New York: Fordham University Press
iii.
Ernst Cassirer, 1950. The Problem of Knowledge, trans. W.H. woglom and Charles W. Hendel, New Haven: Yale University Press
iv.
B. Barnes, 1974. Scientific Knowledge and Sosiological Theory. London and Boston: Routledge & kegan Paul Ltd.
v.
A. M. W. Pranarka, 1987. Epistemologi Dasar: Sebuah Pengantar. Jakarta: CSIS
vi.
Roderick Chisholm, 1977. Theory of Knowledge. Englewood Cliffs, N.J:
vii.
Aholiab
Watloly,
2001.
Tanggung
Jawab
Pengetahuan
Mempertimbangkan Epistemologi secara Kultural. Yogyakarta: Kanisius viii.
Aholiab Watloly, 2013. Sosio Epistemologi Membangun Pengetahuan Berwatak Sosial. Yogyakarta: Kanisius
2. Jalan Penelitian a. Pengumpulan data kepustakaan yang berkaitan dengan tema penelitian dari berbagai sumber dan wawancara terhadap nara sumber. b. Bahan yang telah terkumpul kemudian diidentifikasi, dikelompokan menurut kriteria tema yang telah dipetakan dalam rencana daftar isi.
24
c. Analisis bahan dari bahan yang telah diklasifikasi menurut tema persoalan kemudian dianalisis secara sistematis, sesuai objek formal penelitian, dan dilakukan sintesis baru. d. Penulisan dilakukan setelah bahan dianalisa dan dievaluasi, proses selanjutnya adalah penulisan berdasar sistematika dan urutan yang telah direncanakan. 3. Analisis Hasil : Penelitian kepustakaan ini dianalisis dengan metode hermeneutika filsafati, dengan unsur-unsur sebagai berikut: a. Deskripsi, menjelaskan berbagai definisi dari unsur-unsur, dan persoalan yang terdapat pada Sosio Epistemologi Karl R. Popper. b. Koherensi Intern adalah dengan menemukan dan menggabungkan struktur komprehensif dari persoalan Sosio Epistemologi Karl R. Popper. c. Interpretasi dilakukan peneliti untuk memahami data yang telah ditemukan secara objektif tentang Sosio Epistemologi Karl R. Popper. d. Heuristika
merupakan
tahapan
dimana
peneliti
berusaha
untuk
menemukan hal baru yang terdapat dalam Sosio Epistemologi Karl R. Popper dalam kaitanya dengan dinamika masyarakat di Yogyakarta Pra Reformasi – Pasca Reformasi.
25
F. Hasil Yang Akan Dicapai 1. Inventarisasi data-data tentang pemikiran Sosio Epistemologi Karl R. Popper. 2. Deskripsi dan uraian secara sistematis metodis tentang pemikiran Sosio Epistemologi Karl R. Popper. 3. Sebuah tulisan yang komprehensif dan holistik tentang pemikiran Sosio Epistemologi Karl R. Popper. 4. Pemahaman baru tentang pemikiran Sosio Epistemologi Karl R. Popper dalam kaitanya dengan dinamika masyarakat di Yogyakarta Pra Reformasi – Pasca Reformasi 1999-2004. G. Sistematika Penulisan Pada Bab I, berisi penjelasan secara umum dan garis besar keseluruhan tulisan. Secara berurutan terdiri dari bagian latar belakang penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang akan dicapai, dan sistematika penelitian. Bab II, berisi pengertian sistematis tentang Sosio Epistemologi, objek formal dan objek material, persoalan-persoalan umum epistemologi, dan aliranaliran utama sosio epistemologi. Bab III, berisi biografi dan pemikiran Karl R. Popper, peta pemikiran Karl R. Popper, Masyarakat Terbuka Karl R. Popper dan musuh-musuhnya.
26
Bab IV, berisi tinjauan pemikiran umum tentang Sosio Epistemologi Karl. R. Popper, menguraikan masyarakat terbuka Karl R. Popper, dan permasalahan yang muncul pada Sosio Epistemologi Karl R. Popper, solusi dan perkembangan Sosio Epistemologi Karl R. Popper. Bab V, berisi uraian tentang relevansi Sosio Epistemologi Karl R. Popper dengan relevansinya dinamika masyarakat di Yogyakarta setelah Reformasi 19992004. Bab VI, berisi kesimpulan dan saran.