BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ditetapkan dengan pertimbangan utama untuk memberikan jaminan sosial yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia, yang terdiri dari jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Melalui SJSN,setiap orang memungkinkan untuk mengembangkan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Hal ini sesuai amanat UUD 1945 Pasal 28 H ayat (3) yang menyatakan “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”(DJSN, 2012; Pemerintah RI, 2004). Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah program nasional yang telah diresmikan oleh pemerintah sejak tanggal 1 Januari 2014 yang lalu, dimana hal ini adalah merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) yang tercantum dalam pasal 60. Jaminan kesehatan didefinisikan sebagai jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Pada era JKN ini untuk pelayanan kesehatan diselenggarakan oleh semua Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, salah satunya adalah Puskesmasyang
1
2
merupakan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) milik pemerintah daerah kabupaten/kota (Kemenkes RI, 2013a; Pemerintah RI, 2011). Puskesmas didefinisikan sebagai fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
upaya
kesehatan
masyarakat
dan
upaya
kesehatan
perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Pembayaran klaim atas pelayanan yang diberikan Puskesmas kepada peserta JKN dilakukan oleh BPJS kesehatan dengan skema kapitasi, dimana besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka oleh BPJS Kesehatan kepada
Puskesmas
memperhitungkan
berdasarkan jenis
dan
jumlah
peserta
jumlah
yang
pelayanan
terdaftar
tanpa
kesehatan
yang
diberikan(Kemenkes RI, 2014a, 2014b, 2014c). Dari pengamatan penelitipada saat bertugas di Pemerintah Kota Pangkalpinang, selama pelaksanaan program nasional JKN teridentifikasi 3 isu aktual yang muncul terkait dengan kapitasi dan pelayanan kesehatan di FKTP khususnya Puskesmas, yaitu: isu terkait kelayakan dan nilai keekonomian besaran harga kapitasi, isu pemanfaatan dana kapitasi oleh Puskesmas dan isu kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan Puskesmas. Isu terkait kelayakan dan nilai keekonomian besaran harga kapitasi adalah merupakan isu yang sampai saat ini masih tetap menjadi pembicaraan oleh semua pihak terkait. Dalam hal kebijakan, selama pelaksanaan program JKN Kementrian Kesehatan telah mengeluarkan 2 Permenkes yaitu Permenkes nomor 69 tahun 2013 tentang standar tarif pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat
3
pertama dan fasilitas kesehatan tingkat lanjutan dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan dan Permenkes nomor 59 tahun 2014 tentang standar tarif pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan.Dari kedua Permenkes tersebut, standar tarif kapitasi untuk Puskesmas tidak mengalami
perubahan
yaitu sebesar Rp 3.000,00 sampai dengan Rp
6.000,00(Kemenkes RI, 2014b, 2013b). Adapun norma kapitasinya berbeda-beda untuk tiap Puskemas, tergantung pada ketersedian dokter umum, dokter gigi, bidan/perawat, laboratorium sederhana dan apotek/pelayanan obat (PT. ASKES Devisi Regional I, 2013). Dalam perspektif pelayanan kefarmasian, angka kapitasi untuk komponen obat dinilai layak dan memiliki nilai keekonomian jika besaran nominalnya dikalikan dengan jumlah total peserta JKN yang terdaftar di Puskesmas dapat mencukupi pengadaan seluruh obat yang digunakan untuk pelayanan kesehatan di Puskesmas selama periode tertentu serta dapat menjamin bahwa seluruh pasien peserta JKN yang berobat di Puskesmas bisa mendapatkan pengobatan yang rasional(DJSN, 2012; Tridamayati, 2010).Pertanyaan yang sering muncul dari isu ini adalah apakah nilai nominal harga kapitasi yang telah ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan tersebut telah layak dan memiliki harga keekonomian serta tidak merugikan provider kesehatan maupun tenaga kesehatan yang terlibat dan juga tidak mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien. Pemanfaatan dana kapitasi oleh Puskesmas merupakan isu yang sangat penting karena kedudukan Puskesmas sebagai FKTP milik pemerintah dimana
4
operasionalnya harus tunduk dan terikat dengan peraturan perundangan terkait. Secara teknis, Kementrian Kesehatan telah mengeluarkan Permenkes nomor 19 tahun 2014 tentang penggunaan dana kapitasi jaminan kesehatan nasional untuk jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional pada fasilitas kesehatan tingkat pertama milik pemerintah daerah. Dana kapitasi yang diterima oleh puskesmas dari BPJS Kesehatan dimanfaatkan seluruhnya untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan dimana jasa pelayanan kefarmasian oleh apoteker termasuk didalamnya, yang ditetapkan sekurang-kurangnya 60% dari penerimaan dana kapitasi dan sisanya (40%) digunakan untuk dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan yang dapat dimanfaatkan untuk membeli obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta membiayai kegiatan operasional pelayanan kesehatan lainnya dimana besaran persentase untuk masing-masing komponen diserahkan kepada tiap kepala daerah atas usulan SKPD terkait(Kemenkes RI, 2014c). Terkait dengan isupemanfaatan dana kapitasi ini, melalui website resminyawww.kpk.go.id tanggal19 Januari 2015, diberitakan bahwa KPK telah melakukan kajian sistem pada mekanisme pembiayaan dalam sistem JKN terhadap FKTP atau yang dikenal dengan dana kapitasi dan menemukan 4 kelemahan pengelolaan dana kapitasi, yaitu: 1. Aspek regulasi, Pada aspek regulasi ditemukan bahwa aturan pembagian jasa medis dan biaya
operasional
ketidakwajaran,
berpotensi
aturan
menimbulkan
penggunaan
dana
moral kapitasi
hazard juga
dan
kurang
5
mengakomodasi kebutuhan Puskesmas dan regulasi yang ada juga belum mengatur mekanisme pengelolaan sisa lebih dana kapitasi. 2. Aspek pembiayaan. KPK
menemukan
adanya
potensi
fraud
atas
diperbolehkannya
perpindahan peserta PBI dari Puskesmas ke FKTP swasta dan efektivitas dana kapitasi dalam meningkatkan mutu layanan masih rendah. 3. Aspek tata laksana dan sumber daya. Sejumlah persoalan terjadi, antara lain lemahnya pemahaman dan kompetensi petugas kesehatan di Puskesmas dalam menjalankan regulasi, proses verifikasi eligibilitas kepesertaan di FKTP belum berjalan dengan baik,pelaksanaan mekanisme rujukan berjenjang belum berjalan baik, potensi petugas FKTP menjadi pelaku penyimpangan (fraud) semakin besar,petugas puskesmas rentan menjadi korban pemerasan berbagai pihak serta sebaran tenaga kesehatan yang tidak merata. 4. Aspek pengawasan KPK melihat tidak adanya anggaran pengawasan dana kapitasi di daerah. Hal ini juga diperburuk dengan tidak adanya alat pengawasan dan pengendalian dana kapitasi oleh BPJS Kesehatan. KPK mendorong para pemangku kepentingan untuk segera melakukan monitoring dan evaluasi, khususnya terhadap dana kapitasi di Puskesmas. Terkait regulasi, KPK mendorong perbaikan terkait pengelolaan dana kapitasi, khususnya pada FKTP milik pemerintah daerah, sekaligus meningkatkan lingkungan pengendalian baik di tingkat FKTP maupun di Pemerintah Daerah. yang tak kalah
6
penting, kompetensi dan pemahaman petugas kesehatan di daerah terhadap pengelolaan dana kapitasi, perlu ditingkatkan agar potensi penyimpangan dapat diminimalisasi dan penggunaan dana kapitasi bisa lebih efektif dan efisien(KPK, 2015). Pemanfaatan dana kapitasi ini sangat terkait dengan kecukupan anggaran untuk pengadaan obat dan tingkat ketersediaan obat di FKTP. Untuk dapat menghitung persentase komponen obat dalam besaran kapitasi yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan dengan memperhatikan pola peresepan yang rasional paling tidak harus memperhatikan beberapa faktor, diantaranya adalah jumlah peserta JKN yang terdaftar di puskesmas, angka morbiditas tiap kelompok penyakit yang dilayani Puskesmas, Utilization rate, prescription cost untuk tiap kelompok penyakit yang dilayani Puskesmas dan nilai besaran tarif kapitasi yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada Puskesmas (Kemenkes RI, 2014b, 2014c, 2014d, 2014e, 2014f, 2014g, 2013c; PCNE, 2006; Tridamayati, 2010; WHO, 2007; Widyati, 2014). Isu kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan Puskesmas sangatlah sensitif karena terkait dengan outcome terapi dan kualitas kesehatan pasien peserta JKN sehingga akan mempengaruhi persepsi pasien terhadap program JKN. Pengobatan rasional adalah merupakan muara dari efisiensi dan efektifitas terapi dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan.Walaupun ketersediaan obat dan vaksin cukup baik, tetapi pelayanan kefarmasian di fasilitas pelayanan kesehatan pada umumnya masih belum sesuai standar.
7
Berdasarkan data yang dicuplik dalam Rencana Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2015-2019, pada tahun 2013, baru 35,15% Puskesmas dan 41,72% IFRS yang memiliki pelayanan kefarmasian sesuai standar. Penggunaan obat generik sudah cukup tinggi, tetapi penggunaan obat rasional di fasilitas pelayanan kesehatan baru mencapai 61,9%(Kemenkes RI, 2015, 2013d). Hal ini menunjukkan
bahwa
mutu
pelayanan
kesehatan
di
puskesmas
masih
membutuhkan perbaikan dikarenakan penggunaan obat di puskesmas dengan tidak rasional masih cukup tinggi yang mencapai 39,9%. Namun, untuk Kota Pangkalpinang belum tersedia data yang menunjukkan tingkat penggunaan obat yang rasional (POR) di Puskesmas. Penggunaan suatu obat dikatakan tidak rasional jika kemungkinan dampak
negatif
manfaatnya.Dampak
yang
diterima
negatif
disini
oleh dapat
pasien berupa
lebih
besar
dampak
dibanding
klinik
yang
mempengaruhi outcome klinik terapi yang diharapkan dan dampak ekonomi yang mengakibatkan meningkatnya biaya pengobatan suatu penyakit.Drugrelated problems (DRPs) yang teridentifikasi pada resep terapi merupakan indikator dari ketidak-rasionalan pengobatan. DRPs merupakan suatu kejadian atau keadaan yang menyertai terapi dimana secara aktual atau potensial dapat mengganggu outcome klinik yang diinginkan(Aguado dkk., 2008; Kemenkes RI, 2011; PCNE, 2006). Kota Pangkalpinang yang merupakan ibukota dari Povinsi Kepulauan Bangka Belitung, pada tahun anggaran 2014 yang merupakan tahun pertama pelaksanaan JKN, memiliki realisasi anggaran untuk pengadaan obat yang kurang
8
baik. Anggaran untuk pengadaan obat yang bersumber dari DAK bidang kesehatan sebesar Rp 1.165.197.000,00 hanya dapat terealisasi sebesar Rp 567.618.220,00 pada bulan Desember 2014.Sedangkan anggaran yang bersumber dana APBD Kota Pangkalpinang sebesar Rp. 500.000.000,00dan alokasi dana kapitasi JKN untuk pengadaan obat di seluruh Puskesmas dengan total anggaran sebesar Rp. 875.883.700,00 tidak dapat terealisasi. Kondisi ini sangat berpotensi menyebabkan terjadinya kekosongan obat dalam pelayanan resep pada Puskesmas di Pangkalpinang. Padahal di era JKN ini fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan tidak boleh membebankan biaya tambahan kepada pasien dengan alasan apapun (Kemenkes RI, 2014e) sehingga kemungkinan pasien tidak menerima obat yang seharusnya sangat diperlukan untuk terapi penyakitnya juga akan meningkat, yang berarti juga akan meningkatkan potensi terjadinya DRPs. Ketiga isu aktual yang timbul dan menyertai pelaksanaan JKN tersebut, sesungguhnya adalah merupakan satu kesatuan permasalahan karena ketiganya saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Sehingga untuk meminimalisir dampak negatif dari ketiga isu aktual tersebut, dan dengan harapan dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui peningkatan penggunaan obat yang rasional serta meningkatkan efektivitas penggunaandana kapitasi di Puskesmas diperlukan suatu penelitian untuk dapat menghasilkan suatu konsep atau metode perencanaan anggaran untuk pengadaan obat di Puskesmas yang disesuaikan dengan kebijakan jaminan kesehatan nasional. Adapun langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penelitian untuk melihat bagaimana dampak dariDRPsterhadap prescription cost
9
dan persentase komponen obat dalam besaran tarif kapitasi sehingga diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah mengenaidampak dari penggunaan obat yang tidak rasional terhadap alokasi pemanfaatan dana kapitasi JKN pada puskesmas yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang, makarumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kejadian DRPs potensial apakah yang teridentifikasi dalam proses pelayanan kesehatan dasar pada Puskesmas di Kota Pangkalpinang ? 2. Apakah terdapat perbedaan antara nilai prescription costaktual yang dihitung dari sampel lembar resep yang teridentifikasi DRPs potensial dengan nilai prescription cost standaruntuk tiap penyakit yang dilayani oleh Puskesmas di Kota Pangkalpinang? 3. Apakah terdapat perbedaan antara persentase komponen obat aktual berdasarkan nilaiprescription costaktual yang dihitung dari sampel lembar resep yang teridentifikasi DRPs potensial dengan persentase komponen obat standar dalam besaran tarif kapitasi pada tiap Puskesmas di Kota Pangkalpinang? C. Manfaat Penelitian 1.
Bagi pengambil kebijakan di Pemerintah Kota Pangkalpinang, hasil penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan secara ilmiah tingkat POR di Puskesmas
dan
pengaruh
rasionalitas
pengobatan
terhadap
alokasi
penggunaan dana kapitasi JKN yang berupa besaran nilai persentase untuk
10
komponen obat dalam tarif kapitasi pada tiap Puskesmas di Kota Pangkalpinang, sehinggadapat digunakan sebagai sumber informasiuntuk menetapkan dan mengadvokasi besaran alokasi pemanfaatan dana kapitasi untuk pembayaran dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan pada puskesmas terutama komponen obat, sesuai dengan amanat pasal 3 ayat 4 Permenkes nomor 19 tahun 2014 tentang penggunaan dana kapitasi jaminan kesehatan nasional untuk jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional pada fasilitas kesehatan tingkat pertama milik pemerintah daerah. 2.
Bagi peneliti, dapat memberikan informasi dan pengetahuan tentang dampak yang ditimbulkan oleh DRPs pada pelayanan pengobatan terhadap proses perencanaan anggaran untuk pengadaan obat yang dialokasikan dari dana kapitasi JKN Puskesmas.
3.
Bagi institusi pendidikan dapat digunakan sebagai pendahuluan dan sumber informasi untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pengaruh rasionalitas pengobatan terhadap alokasi penggunaan dana kapitasi JKN di FKTD dan tarif INA-CBGs di FKRTL yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Mengidentifikasi dan mengklasifikasikan DRPs potensial yang kemungkinan terjadi dalam proses pelayanan kesehatan dasar pada Puskesmas di Kota Pangkalpinang.
11
2.
Mengetahui apakah terdapat perbedaan nilai prescription costaktual yang dihitung dari sampel lembar resep teridentifikasi DRPs potensialdan nilai prescription coststandaruntuk tiap penyakit yang dilayani oleh Puskesmas di Kota Pangkalpinang.
3.
Mengetahui apakah terdapat perbedaan nilai aktual dari persentase komponen obat dalam besaran tarif kapitasiberdasarkan nilaiprescription costaktual yang dihitung dari sampel lembar resep yang teridentifikasi DRPs potensial pada tiap puskesmas di Kota Pangkalpinang dengan nilai standarnya. E. Keaslian Penelitian Tujuan utama yang ingin dicapai oleh peneliti dari dilakukannya penelitian
ini adalah dapat memberikan informasi ilmiah terkait pengaruh rasionalitas pengobatan yang merupakan tujuan dari pelaksanaan pelayanan farmasi klinik terhadap penentuan besaran komponen obat atau pelayanan farmasi dalam paket tarif pelayanan kesehatan
yang umum digunakan dalam konsep penjaminan
kesehatan dengan model asuransi kesehatan, dalam hal ini adalah alokasi penggunaan dana kapitasi JKN di FKTD yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Tingkat kerasionalan pengguaan obat didasarkan pada angka kejadian DRPs, dimana angka kejadian DRPs akan berbanding terbalik dengan tingkat POR di suatu fasilitas kesehatan. Berdasarkan hal ini, dari penelusuran kepustakaan yang dilakukan, peneliti belum menemukan penelitian yang memiliki tema penelitian serupa dengan rancangan penelitian ini.
12
Pada umumnya, penelitian terkait dengan DRPs bertujuan mengidentifikasi dan mengklasifikasikan DRPs untuk kemudian dilanjutkan dengan melihat dampak dari rekomendasi intervensi dari seorang farmasis klinik pada outcome klinik terapi. Untuk penelitian dengan tema penentuan besaran komponen obat atau pelayanan farmasi dalam paket tarif pelayanan kesehatan yang pada umumnya digunakan dalam konsep penjaminan kesehatan dengan model asuransi kesehatan seperti BPJS Kesehatan dengan JKN-nya di Indonesia, tidak membicarakan hal-hal terkait dengan rasionalitas pengobatannya. Berikut adalah beberapa contoh penelitian dengan tema DRPs dan tema penelitian penentuan besaran komponen obat atau pelayanan farmasi dalam paket tarif pelayanan kesehatan, yang pernah dilakukan adalah seperti terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Penelitian dengan tema DRPs dan penentuan besaran komponen obat
atau pelayanan farmasi dalam paket tarif pelayanan kesehatan. Peneliti
Khan dan Ahmad, 2014
Judul Penelitian
The impact of clinical pharmacists’ interventions on drug related problems in a teaching based hospital ( Prospektif )
Hasil Penelitian “ Penelitian dilakukan di Pakistan, identifikasi dan pengklasifikasian DRPs menggunakan sistem PCNE V.6.2. Penelitian ini dilakukan dengan cara mereview 373 profil dengan 184 profil diantaranya diduga terkait dengan isu DRPs. Jumlah total DRPs yang teridentifikasi adalah 147 dengan sebagian besar terkait dengan efek samping obat (n=61, 41.5%). DRPs ini disebabkan (cause) oleh 161 item penyebab, yang pada umumnya disebabkan karena kesalahan dosis (n=68, 42.2%). Dari 161 rekomendasi yang diberikan oleh farmasis klinik, 86.33% (n=139) –nya dapat menyelesaikan permasalahan medik yang muncul sebagai dampak dari DRPs, walaupun 6.83% diantaranya diisebutkan inefektif.”
13
Tabel 1 lanjutan Peneliti
Canning dkk., 2015
Jadoo dkk., 2015
Judul Penelitian
Results of a clinical audit on drug-related problems identified by a clinical pharmacist in a thoracic outpatient clinic ( Prospektif )
Development of MY-DRG casemix pharmacy service weights in UKM Medical Centre in Malaysia ( Retrospektif )
Hasil Penelitian “Penelitian ini menggunakan sistem PCNE V.6.2. mengidentifikasi dan mengklasifikasian DRPs pada pasien rawat jan di klinik thorax dengan menitik beratkan pada respiratory atau non-respiratory related. Total teridentifikasi 97 DRPs dari 66 pasien yang di review, rata-rata terjadi 1,47 DRPs pada tiap pasien.50 kejadian DRPs merupakan non-respiratory related dan sisanya adalah respiratory related. DRPs yang paling sering muncul adalah efek obat yang tidak optimal (n = 35, 36%), diikuti oleh „non-allergic adverse drug event‟ (n = 23, 23.7%) dan „untreated indication‟ (n = 23, 23.7%). Intervensi yang paling sering diberikan adalah dengan memberikan konseling kepada pasien. Dimana 37% (n = 36) dari kejadian DRPs dianggap beresiko tinggi oleh farmasis dan 44% (n = 43) diantaranya dianggap beresiko tinggi oleh consultant thoracic physician.” Obat dan proses penyalurannya merupakan komponen utama (86,0%) dari pharmacy cost jika dibandingkan dengan overhead cost centers (7.3%), biaya pegawai (6.5%) dan pharmacy equipments (0.2%). Terdapat lebih kurang 789 koding atau group untuk rawat inap MY-DRGs case-mix, 450 (57.0%) dari koding atau group tersebut telah digunakan oleh UKMMC. Bobot pelayanan kefarmasian telah dihitung untuk tiap koding dari 450 MY-DRGs groups. MY-DRG case-mix group untuk Lymphoma & Chronic Leukemia group dengan tingkat keparahan level tiga (C-4-11-III) merupakan koding dengan bobot pelayanan kefarmasian tertinggi yaitu 11,8 % yang setara dengan rata-rata nilai pharmacy cost
14
Tabel 1 lanjutan Peneliti
Judul Penelitian
Hasil Penelitian sebesar RM 5383.90. Sementara itu,MY-DRG case-mix group untuk Circumcision dengan tingkat keparahan level satu (V-1-15-I) merupakan koding dengan bobot pelayanan kefarmasian terrendah yaitu 0,04 % yang setara dengan rata-rata nilai pharmacy cost sebesar RM 17.83.”