1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wacana tentang pendidikan karakter sangat penting didalami ketika bangsa Indonesia dihadapkan pada persoalan dekadensi moral. Wacana ini serentak ingin membangkitkan gairah lembaga pendidikan untuk melihat kembali pentingnya pendidikan karakter sejak dini. Menurut Latif (dalam Basis, 2007) pendidikan karakter yang dimaksudkan disini adalah suatu payung istilah yang menjelaskan berbagai aspek pengajaran dan pembelajaran bagi perkembangan personal. Beberapa area dibawah payung ini meliputi penalaran moral, pembelajaran sosial dan emosional, kebajikan moral, pendidikan keterampilan hidup, pendidikan kesehatan, pencegahan kekerasan, resolusi konflik, dan etika. Secara konkret, pendidikan karakter harus dikembangkan dalam sebuah komunitas. Dalam pendidikan karakter, komunitas sekolah mengidentifikasi nilai-nilai inti sekolah dan pekerjaan untuk mendidik dan meneguhkan nilai-nilai bersama dalam kehidupan siswa (Latif, dalam Basis, 2007). Lembaga pendidikan seminari yang sangat menekankan kehidupan berkomunitas mengedepankan nilai-nilai pendidikan karakter kedalam empat aspek pendidikan seminari yakni spiritualitas, akademik, kepribadian, dan pastoral. Dalam kehidupan berkomunitas, siswa seminari diharapkan mampu mengembangkan karakternya secara spiritual, akademik,kepribadian,dan pastoral.
2
Tujuan utama pendidikan karakter seminari adalah pembinaan calon-calon imam atau selibat dalam Gereja Katolik. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2005), “selibat” diartikan sebagai pranata yang menentukan bahwa orang-orang di kedudukan tertentu tidak boleh kawin (dalam gereja Katolik Roma, para rohaniwan yang telah ditahbiskan harus hidup membujang atau tidak boleh kawin). Imam atau pastor Katolik dipahami sebagai “pelayan” bagi umatnya. Sebagai seorang pelayan seorang imam harus mampu melayani kebutuhan spiritual dan kebutuhan sosial Gereja (Singgih, 1997). Karakter sebagai seorang Imam (pastor) sebagai seorang pelayan bukanlah hal yang mudah dibangun. Untuk membentuk karakter sebagai seorang imam, Gereja Katolik mendirikan panti pendidikan calon imam (seminari). Di Gereja Katolik ada jenjang Seminari Menengah Pertama (setingkat SMP), Seminari Menengah Atas (setingkat SMA) dan Seminari Tinggi (setingkat perguruan tinggi). Di seminari, karakter atau kepribadian seorang calon imam sebagai pelayan diasah sehingga layak untuk menjadi seorang imam. Seminari menengah Atas Yohanes Paulus II Labuan Bajo merupakan salah satu seminari dibawah naungan keuskupan Ruteng. Sama seperti seminari lainnya, seminari Labuan Bajo memiliki tujuan pendidikan yang tidak terlepas dari keempat aspek pembinaan yakni pembinaan kepribadian, pembinaan spiritual, pembinaan akademik, dan pembinaan pastoral. Untuk menunjang keempat aspek tersebut, peran para pastor yang merupakan pembina sangatlah penting. Selain itu, seminari juga memiliki aturan disiplin yang ketat yang mengarah kepada pembentukan aspek pembinaan seminari bagi para remaja seminaris.
3
Berdasarkan hasil studi arsip Seminari MenengahYohanes Paulus II Labuan Bajo (2010), dapat disimpulkan bahwa aturan disiplin dipandang sebagai media yang menunjang pembinaan kepribadian, pembinaan spiritual, dan pembinaan akademik. Selain itu juga, di dalam arsip tersebut dijelaskan bahwa selain aturan harian, seminari juga mempunyai aturan umum yang berkaitan dengan ketiga aspek tersebut. Pertama, Akademik: 1) Tuhan telah memberikan kemampuan akal budi kepada manusia untuk membedakannya dari ciptaan lainnya. Potensi semacam ini diberikan Tuhan untuk mengharmonisasikan dan menghumanisasikan alam dan sesamanya. Para seminaris diharapkan untuk mengembangkan potensi tersebut dalam belajar yang sungguh-sungguh, bertanggung jawab sehingga pada akhirnya bisa dipertanggungjawabkan kepada Allah, diri sendiri, orang tua, gereja, dan negara. 2) Seminaris hendaknya berdisiplin dalam mengawali, mengikuti dan mengakhiri kegiatan sekolah dan belajar. Mereka hendaknya memulai, mengikuti dan mengakhiri proses belajar mengajar dan studi “in time” yang didahului dan diakhiri dengan doa. 3) Selama proses belajar mengajar dan studi, seminaris hendaknya melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran personal serta tidak diperkenankan untuk ribut dan mondar-mandir di dalam kelas dan sekitarnya. 4) Seminaris hendaknya menyadari tata sopan santun dalam mengikuti proses belajar mengajar dan studi; loyal dan dedikatif terhadap tugas yang dipercayakan; beretika dalam berhadapan dengan guru, para pembina, karyawan/i dan teman. 5) Standar penilaian: a) KPB (kelas persiapan bawah): Semester I :Rata-rata: 6, 2; NK: 4, Semester II: Rata-rata : 6, 5; NK : 3. b) Kelas I: Semester I: Rata-rata : 7, 0; NK : 3, Semester II : Rata-rata : 7, 2; NK : 3 c) Kelas II:
4
Semester I: Rata-rata : 7, 2; NK: 3, Semester II : Rata-rata : 7, 4; NK : 3. d)Kelas III: Semester I: Rata-rata : 7, 5; NK
:3. 6)Syarat Kelulusan Per Semester: a) Nilai
untuk masing-masing mata pelajaran PKS (Pelajaran Khusus Seminari) : 6,5. b) Rata-rata umum persemester harus memenuhi standar kriteria nilai kelulusan untuk masing-masing tingkat kelas. c) Siswa dinyatakan tidak lulus kalau tidak memenuhi salah satu dari kriteria point a dan b. d) Kepribadiaan dan kesehatan. Kedua, Kepribadian. a) Seorang seminaris diharapkan berkembang menjadi seorang pribadi yang matang demi tujuannya untuk menjadi imam. b) Seminaris harus pandai menciptakan persahabatan dengan semua orang dengan selalu menyadari identitas dan jarak. c) Seminaris tidak diperkenankan untuk menciptakan suatu relasi personal dengan seorang seminaris atau dengan lawan jenis. Ketiga, Spiritual. a) Setiap hari seminaris wajib berdoa bersama atau pribadi dan wajib mengikuti perayaan Ekaristi di Kapela. b) Seminaris wajib berdoa secara pribadi dan membuat bacaan-bacaan rohani, membaca Kitab Suci sebelum doa malam bersama, serta kegiatan rohani lainnya seperti meditasi. c) Seminaris hendaknya mengakui dan menerima Sakramen Tobat sekali sebulan. d) Sekali sebulan diadakan rekoleksi bersama untuk membangkitkan semangat baru. e) Setiap tahun diadakan ret-ret / khalwat selama beberapa hari. Aturan yang dibuat untuk menunjang aspek pembinaan siswa seminari dijalani dengan taat oleh siswa seminari. Seorang siswa seminari harus mampu menjalani semua aturan dan dituntut untuk mampu mengembangkan ketiga aspek pendidikan seminari. Hal ini tentu saja bukan hal yang mudah untuk dijalani oleh seminaris yang pada umumnya adalah remaja. Ada dua alasan utama mengapa
5
menjalankan norma yang mengikat dalam lingkup komunitas seminari merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk dijalani. Pertama, Secara psikologis, remaja sedang berada dalam proses pencarian identitas diri, mereka cendrung untuk mempertanyakan nilai-nilai dan aturan-aturan secara otomatis pada lingkungannya sebelum ia menerima nilai dan aturan tersebut dengan yakin (Santrock, 2002). Sikap yang mempertanyakan berbagai hal ini hendaknya dilihat sebagai sesuatu yang “sehat”, selama tidak berlebihan dan dilanggar. Resiko yang diterima oleh siswa seminari jika melanggar aturan-aturan tersebut adalah hukuman. Kedua, Carver dan Scheier (1998) menyebutkan bahwa dalam memproduksi sebuah tindakan bagi seorang individu yang hidup dalam ikatan norma tertentu ada dua elemen yang bekerja yakni (personal) sikap dan norma subyektif (sosial). Jika sikap dan norma subyektif bernilai positif maka akan membentuk sebuah tindakan positif. Hal ini akan berbeda jika sikap dan norma subyektif bernilai negatif. Seorang individu akan memproduksi sebuah tindakan negatif dengan melanggar norma yang berlaku. Dalam kaitannya dengan kehidupan seminaris, yang terbelenggu dengan aturan yang sangat mengikat ada dua kecendrungan yang akan terjadi yakni seorang seminaris akan melaksanakan aturan dengan baik jika secara pribadi dan juga menurut norma subyektif seorang individu menilai positif aturan. Sebaliknya, seorang seminaris akan melanggar sebuah aturan jika secara pribadi dan juga menurut
norma
membelenggunya.
subyektif
seorang
individu
menilai
negatif
aturan
yang
Menurut Caltabiano (2005) kecendrungan umum seorang
remaja adalah melawan aturan yang ditetapkan. Disisi lain, remaja juga mempunyai kecendrungan untuk menerima begitu saja aturan yang telah ditetapkan.
6
Oleh karena itu, untuk menghadapi berbagai macam aturan dan disiplin dibutuhkan tekad, niat yang kuat dan regulasi diri. Regulasi diri (self-regulation) dapat dipahami sebagai kemampuan yang menuntun aktivitas seseorang dari waktu ke waktu dan dapat mengubah keadaan secara menyeluruh (Cellar, Stuhlmacher & Young, 2011). Pengaturan diri merupakan proses kepribadian yang penting ketika seseorang berusaha untuk melakukan kontrol terhadap pikiran, perasaan, dorongandorongan dan keinginan serta kinerja mereka (Baumister & Heatherton, 1996: Baumister, Gailliot, DeWall & Oaten, 2006). Regulasi diri juga menyangkut kapasitas pribadi yang secara internal diarahkan untuk mengatur emosi, perhatian dan prilaku agar dapat memberi respon secara efektif terhadap tuntunan internal dan lingkungan (Raffaeli, Crockett & Shen, 2005). Dalam beberapa penelitian dijelaskan bahwa regulasi diri merupakan kunci utama dalam mencapai keberhasilan siswa (remaja) terutama dalam dunia pendidikan. Ormrod (2002) menjelaskan regulasi diri dapat memiliki pengaruh positif bagi siswa dimanapun. Regulasi diri dapat berpengaruh positif terhadap kecemasan siswa, strategi pembelajaran, dan self-efficacy (Kondakci dan Aydin, 2013). Regulasi diri juga berpengaruh positif bagi siswa dalam mengatur kecerdasan emosi (Mikolajczak, Petrides, dan Hurry, 2009; Lamm dan Lewis, 2010), mempengaruhi kepercayaan diri siswa ketika mengalami kegagalan (Kurman, 2006).Kesimpulan yang dapat diambil dari berbagai penelitian tentang regulasi diri dalam dunia pendidikan adalah regulasi diri merupakan salah satu faktor psikologi siswa dalam mencapai keberhasilan pembelajaran. Kegagalan siswa dalam membentuk regulasi diri terutama berkaitan dengan aspek kognitif, emosi, self efficacy, kecemasan, dan
7
kepercayaan diri siswa akan berdampak negatif terutama berkaitan dengan pembelajaran. Pembahasan tentang regulasi diri dalam konteks pendidikan seminari merupakan hal yang menarik untuk didalami. Ada tiga alasan,kajian tentang regulasi diri menarik untuk didalamidalam konteks pendidikan seminari:Pertama, Boekaerts (2005) menyebutkan bahwa atribut personal yang terlibat dalam mempengaruhi selfregulation adalah kesadaran akan penghargaan terhadap diri sendiri, keinginan untuk mencoba, komitmen, manajemen waktu, kesadaran akan metakognitif, dan penggunaan strategi yang efisien. Keenam atribut personal yang disebutkan Bokaerts secara implisit tertuang dalam keempat aspek pendidikan seminari. Pada arsip Seminari Yohanes Paulus II L. Bajo (2010), ada beberapa poinyang merupakan aspek personal yang dapat mempengaruhi regulasi diri seminaris, yakni, seminari senantiasa menciptakan dan mengajak siswanya untuk memperhatikan kebiasaan belajar, memperhatikan strategi belajar, menaati aturan harian sesuai dengan pembagian waktu, bertumbuh menjadi pribadi yang matang sebagai seorang seminaris dengan menciptakan relasi yang harmonis dengan semua orang tetapi dengan batasan tertentu (kaum hawa), memperhatikan kegiatan spiritual seperti mengikuti doa dan misa secara tepat waktu. Dari hal tersebut, dapatdisimpulkan bahwa komunitas seminari sangat menekankan aspek regulasi diri dalam menjalankan proses pendidikan. Kedua, Regulasi diri memungkinkan seseorang untuk untuk lebih fleksibel, menyesuaikan diri dengan berbagai situasi yang berbeda, aturan dan juga berbagai tuntutan (Baumister dan Bushman, 2011). Hal ini mengindikasikan bahwa seorang
8
seminaris yang mampu bertahan dalam komunitas seminari memiliki kemampuan meregulasi diri. Dengan regulasi diri siswa seminari mampu menyesuaikan diri dengan aturan disiplin seminari yang sangat ketat. Ketiga, Pemahaman tentang regulasi diri juga tidak bisa terlepas dari aspek orientasi tujuan (Bokaerts, 1996). Carver dan Scheier (1998) mengatakan bahwa regulasi diri adalah upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk mengatur pikiran, perasaan, dorongan dan tindakannya untuk mencapai suatu tujuan. Longitudinal studi yang dilakukan oleh Dierdorff dan Ellington (2012) menunjukkan bahwa orientasi tujuan dapat mempengaruhi regulasi diri. Orientasi tujuan merupakan sebuah alasan mengapa seseorang dapat bertahan dalam situasi sulit (Cellar, et al, 2011). Kemampuan regulasi diri siswa seminari tentu saja mengarah kepada tujuan umum pendidikan seminaris itu sendiri yakni pembinaan manusiawi, budaya dan rohani yang akan mengantar orang muda untuk memulai perjalanan mereka di seminari tinggi dengan dasar yang memadai dan andal (Pastores Dabo vobis, Seri Dokumen Gerejawi, KWI, 1992). Tujuan inilah yang menuntun para seminaris untuk membentuk regulasi diri. Dengan regulasi diri mereka akan mampu menyesuaikan diri dengan situasi
seminari menengah. Hal ini merupakan modal utama agar
mereka dapat masuk ke seminari tinggi. Kajian tentang regulasi diri dalam konteks seminari semakin menarik untuk digali ketika beberapa penelitian menyebutkan bahwa regulasi diri merupakan salah satu aspek yang tidak mudah dijalankan oleh remaja. Colman, Hardy, Albert, Raffaelli, & Crockett(2006) menjelaskan bahwa regulasi diri dapat berfungsi dengan baik dalam lingkungan seseorang dan mencapai tujuan yang diinginkan, individu
9
harus belajar untuk mengendalikan perhatian mereka, perilaku, dan emosi, dan dapat memanfaatkan kapasitas ini secara adaptif ketika dihadapkan dengan tuntutan kontekstual dan pribadi. Namun, kapasitas regulasi diri yang efektif merupakan sebuah tantangan utama bagi perkembangan seorang individu. Bagi siswa seminari menciptakan semangat pengaturan diri dalam kaitannya dengan aspek akademik, afektif, dan spiritual butuh ketekunan dan kesabaran. Selalu ada ketegangan antara kebutuhan pribadi dan lingkungan. Suasana lingkungan yang tidak mendukung mampu membuat ketegangan dan konflik. Situasi seperti ini mempengaruhi afeksi pada siswa seperti timbulnya marah, frustasi. Padahal, salah satu komponen belajar berdasar regulasi diri tentang pengaturan dalam bidang motivasi dan emosi (Kristanto, 2007). Hal inilah yang menggerakkan penulis untuk mengkaji dinamika regulasi diri remaja seminaris. Dalam melakukan penelitian yang membahas tentang dinamika psikologi regulasi diri siswa seminari, ada tiga aspek yang akan didalami: Pertama, Akademik. Ada keunikan yang dimiliki oleh seminari Yohanes Paulus II Labuan Bajo dibandingkan dengan seminari lainnya yang ada di Indonesia yakni pendidikan di seminari menggunakan dua kurikulum yakni kurikulum nasional dan kurikulum seminari atau Pelajaran Khusus Seminari (PKS) (Arsip Seminari Yohanes Paulus II L. Bajo, 2010). Hal ini berdampak pada waktu pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Siswa kelas I,II,dan III seminari melaksanakan kegiatan pembelajaran di SMAK St. Ignatius Loyola pada pagi sampai siang hari. Pada sore hari, siswa kelas I,II, dan III melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan kurikulum seminari. Siswa
10
KPB (Kelas Persiapan Bawah) tetap melaksanakan pembelajaran di seminari sesuai dengan kurikulum seminari. Berdasarkan hasil studi arsip dan standar nilai yang telah ditetapkan oleh seminari Yohanes Paulus II Labuan Bajo, peneliti menyimpulkan bahwa nilai akademik merupakan syarat utama seorang seminaris dapat bertahan di seminari. Realitas kehidupan seminari dengan disiplin yang tinggi dan standar penilaian akademik yang tinggi menuntut para seminaris untuk berdisiplin dan mampu berprestasi. Seorang seminaris harus mampu menguasai pengetahuan umum berdasarkan kurikulum nasional dan juga pengetahuan khusus seminari. Para ahli kognitif sosial dan juga psikologi kognitif mulai menyadari bahwa untuk menjadi pembelajar yang benar-benar efektif, siswa harus terlibat dalam beberapa aktivitas mengatur diri (self-regulating activities) (Ormrod, 2002). Siswa harus secara proaktif mengatur dirinya sendiri dalam kaitannya dengan pembelajaran (Zimmerman, 1998). Secara realistis, siswa seminari tidak hanya dituntut untuk mengatur perilakunya sendiri, melainkan juga mereka harus mengatur proses-proses mental (perhatian, persepsi, latihan, susunan, elaborasi, penyimpanan, dan penarikan) yang pada dasarnya bersifat metakognitif. Kedua, Afeksi. Sebagai remaja, ia (seminaris) sedang berada dalam proses menuju kematangan fisik dan seksual dengan segala konsekuensi sosial dan psikologisnya (Driyanto, 2001). Menurut Hurlock (1991), meningkatnya ketertarikan remaja pada seks sebagai akibat meningkatnya kematangan hormon-hormon mereka. Mereka akan melakukan apapun untuk memuaskan minat mereka ini. Dalam penelitian yang dilakukan Caltabiano (2005), ada perubahan relasi pada
11
remaja. Jika sebelumnya yakni pada remaja awal, relasi para remaja lebih didominasi relasi antara sesama jenis (geng) karena dipengaruhi masa kanakkanak, maka pada usia remaja tengah (sekitar usia 14-15), relasi berubah menjadi relasi dengan lawan jenis. Pada akhir masa remaja (sekitar usia 16-18), relasi remaja mengarah kepada kelompok pasangan kencan. Bila proses ini berjalan tanpa masalah, itu artinya ia akan tumbuh menjadi remaja yang sehat. Sebaliknya, bila proses ini terganggu oleh banyak masalah, kemungkinan remaja yang bersangkutan akan mengalami banyak kesulitan dalam perkembangannya. Realitas perkembangan remaja khususnya berkaitan dengan kematangan afektifitas, bertolak belakang dengan kehidupan para seminaris yang berada dalam sebuah komunitas dengan aturan disiplin yang ketat. Pada proses masa transisi menuju kematangan afektifitas ini, diharapkan remaja seminaris memiliki kontrol diri terhadap prilaku seksual yang lebih tinggi daripada remaja pada umumnya (You, 2010). Hal ini dikarenakan remaja seminari yang tinggal dalam lingkungan yang khusus dengan tata tertib hidup yang khas ini telah mendapat penggemblengan dalam kehidupan religius. Salah satu aspeknya adalah pembinaan kepribadian dengan menekankan kematangan afektifitas. Selain melihat dinamika afeksi dalam kaitannya dengan perkembangan seksual, penelitian ini juga mencoba mendalami dinamika emosi remaja. Dalam arsip seminari Yohanes Paulus II L. Bajo (2010) disebutkan bahwa seorang seminaris harus mempunyai kepribadian yang baik, artinya seminaris harus mampu menjalin relasi dengan sesama anggota komunitas (pendamping, sesama seminaris, dan karyawan/i) dengan baik. Hal ini bukanlah hal yang mudah dijalankan oleh
12
remaja seminaris ketika mereka dihadapkan pada realitas perkembangan remaja yang menjelaskan bahwa masa remaja merupakan masa badai dan topan (storm and stress). Pada masa ini keadaaan emosi remaja tidak menentu, tidak stabil dan meledak-meledak (Mikolajczak, Petrides & Hurry, 2010) Ketiga, Spiritual. Tuntutan untuk menjadi seorang imam, mengharuskan seorang seminaris untuk mengembangkan kehidupan spiritual. Aspek spiritualitas sangat ditekankan dalam komunitas seminari. Dalam tata aturan kegiatan harian seminari, kehidupan seminaris tidak pernah lepas dari doa. Selain mengawali hari dengan misa pagi, setiap kegiatan harus diawali dan diakhiri dengan doa. Hidup yang tidak pernah terlepas dari aspek spiritualitas akan mempunyai dinamika tersendiri bagi siswa seminari. Siswa seminaris yang merupakan remaja dan hidup dengan tuntutan kehidupan spiritualitas pada titik tertentu akan mengalami tekanan (Wright, Frost, & Wisecarver, 1993). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pearce, Little, and Perez (2003) menyebutkan bahwa praktik religius seperti doa, disiplin religius, dan sebagainya akan mendatangkan depresi bagi remaja. Hal ini menjadi salah satu hal penting yang didalami oleh penulis yakni dengan melihat bagaimana seorang seminaris mampu meregulasi dirinya sendiri dalam kaitannya dengan kehidupan spiritual yang mewarnai kehidupan para seminaris. Bagi siswa seminari, nilai-nilai yang terkandung dalam kelima aspek pendidikan seminari (5 S: sanctitas, sanitas, scientia, socialitas, dan sapientia) dapat menjadi sumber potensial untuk melakukan regulasi diri. Nilai-nilai yang terkandung dalam kelima aspek tersebut dapat membantu siswa seminari menghadapi berbagai
13
kendala dan rintangan untuk dapat menaati aturan di komunitas seminari. Mentaati aturan seminari membutuhkan tekad dan juga kemauan yang kuat serta disiplin yang tinggi. Hal ini tentu saja menuntut siswa seminari untuk mampu melakukan regulasi diri. Oleh karena itu, penelitian ini ingin memperoleh gambaran mengenai dinamika psikologi regulasi diri siswa seminari dalam kaitannya dengan aspek kognitif, afeksi, dan spiritual. Dalam relasi seperti yang dijelaskan diatas, regulasi diri merupakan aspek utama
yang
harus
dimiliki
oleh
siswa
seminari
dalam
mengembangkan
kepribadiaannya terutama berhadapan dengan tuntutan untuk mengembangkan aspek kognitif, kepribadian, afeksi, dan spiritual. Seperti yang dijelaskan oleh Baumister dan Bushman (2011) regulasi diri memungkinkan seseorang mematuhi aturan, menghormati orang lain, mampu mengontrol emosi, dan melakukan hal-hal lain yang membuat hubungan interpersonal yang lebih baik. Dalam konteks pendidikan seminari, menjalankan regulasi diri bagi siswa seminari bukanlah hal yang mudah. Hal ini membutuhkan ketekunan ketika berhadapan dengan tantangan baik secara internal maupun eksternal. B. Perumusan Masalah Menaati aturan dalam komunitas seminari bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan oleh siswa seminari. Berbagai tantangan yang datang dari lingkungan maupun dari pribadi siswa seminari itu sendiri dapat menjadi penghalang potensial untuk dapat melanggar aturan seminari. Situasi ini menuntut mereka untuk mampu melakukan regulasi agar aturan-aturan seminari dapat ditegakkan oleh siswa
14
seminari. Dengan kemampuan regulasi diharapkan mereka mampu untuk menginternalisasi aturan seminari tanpa menyampingkan aspek perkembangan diri sebagai remaja. Hal inibermaksudagartujuan utama pendidikan seminari menengah dapat dicapai oleh siswa seminari. Situasi yang dihadapi oleh remaja seminari memunculkan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah dinamika psikologi regulasi diri siswa seminari Yohanes Paulus II Labuan Bajo dalam kaitannya dengan aspek akademik, afeksi, dan spiritualitas ? 2. Bagaimanakah dinamika psikologi regulasi diri siswa seminari Yohanes Paulus II Labuan Bajo 3. Apakah regulasi diri dalam kaitannya dengan aspek akademik, afeksi, dan spiritualitas telah diinternalisasi atau telah menjadi bagian penting dari kepribadian siswa seminari ? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memahami dinamika psikologi regulasi diri dalam kaitannya dengan aspek akademik, afeksi, dan spiritual. D. Originalitas Penelitian Penelitian ini menggali secara lebih mendalam mengenai dinamika regulasi diri remaja seminari yang berkaitan dengan aspek kognitif, afektif, dan spiritual. Terkait dengan tema “regulasi diri”, ada beberapa penelitian sebelumnya yang telah meneliti tentang regulasi diri. Pada umumnya, penelitian tentang regulasi diri
15
dilakukan dengan metode kuantitatif yang mau menyelidiki hubungan antara variabel regulasi diri dengan variabel lainnya. Sebagian besar penelitian dilakukan dalam seting pendidikan. Beberapa diantaranya yang telah dilakukan di fakultas psikologi adalah sebagai berikut: Alsa (2005) melakukan penelitian mengenai program belajar, jenis kelamin, belajar berdasar regulasi diri dan prestasi belajar matematika pada pelajar SMA Negeri di Yogyakarta. Suarni (2011) melakukan penelitian mengenai dukungan orang tua, dukungan teman sebaya, dan belajar berdasar regulasi diri terhadap prestasi akademik siswa sekolah menengah pertama di Yogyakarta. Penelitian tentang regulasi diri dengan menggunakan metode penelitian kualitatif lebih sedikit dilakukan daripada menggunakan metode penelitian kuantitatif. Ada dua penelitian tentang regulasi diri dengan menggunakan metode kualitatif: Chairani (2010) melakukan penelitian tentang dinamika regulasi diri pada remaja penghafal Al-Quran. Ningrum (2008) melakukan penelitian mengenai regulasi diri pada penderita diabetes melitus tipe II. Penelitian yang berkaitan dengan remaja seminari dilakukan oleh beberapa orang yakni: Sasmito (2011) melakukan penelitian tentang dinamika perkembangan kepribadian dan spiritualitas remaja seminaris yang memiliki kebiasaan menulis buku refleksi harian. You (2010) meneliti tentang efektivitas pendidikan seksualitas untuk meningkatkan kontrol diri terhadap prilaku seks remaja seminari. Kristanto (2006) meneliti tentang belajar berdasar regulasi diri ditinjau dari kesadaran diri dan kecerdasan emosi pada mahasiswa seminari tinggi.
16
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, belum terdapat penelitian tentang dinamika regulasi diri pada remaja seminaris. Keaslian penelitian tesis ini terletak pada tema pembahasannya yakni regulasi diri. Fokus perhatian penelitian ini lebih kepada dinamika regulasi diri yang berkaitan dengan aspek spiritualitas, kognitif, dan afeksi. Dengan kata lain, penelitian ini menggali lebih mendalam terkait dengan dinamika regulasi diri siswa seminari dalam kaitannya dengan aspek spiritualitas, kognitif, dan afeksi. E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian mengenai dinamika psikologi regulasi diri siswa seminari, diharapkan secara teoretis dapat memberikan pemahaman yang komprehensif dalam disiplin ilmu psikologi, khususnya dalam bidang psikologi pendidikan, psikologi kepribadian, dan psikologi perkembangan. Secara khusus, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan wawasan dan pemahaman tentang dinamika psikologi regulasi diri yang dilakukan oleh remaja seminari dalam kaitannya dengan aspek kognitif, afeksi, dan spiritual. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para formator atau pembina di lembaga-lembaga pendidikan calon pastor (seminari), khususnya seminari menengah. Selain itu, secara lebih luas lagi, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi bagi masyarakat secara khusus bagi pihakpihak terkait dalam dunia pendidikan mengenai manfaat regulasi bagi remaja. Regulasi diri diri tidak hanya bermanfaat bagi remaja seminari yang hidup dalam
17
aturan dan disiplin komunitas yang ketat tetapi juga bagi remaja umumnya karena kemampuan regulasi diri dapat memberikan manfaat positif bagi siswa dimanapun.