BAB I
PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan (Tjay dan Rahardja, 2007). Nyeri adalah suatu mekanisme protektif bagi tubuh yang timbul bilamana jaringan dirusak dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan nyeri tersebut (Guyton dan Hall, 2006). Nyeri merupakan hal yang umum terjadi sebab kerusakan jaringan sangat mudah terjadi kapan saja meskipun seseorang sedang melakukan kegiatan yang ringan, sebagai contoh nyeri dapat timbul ketika seseorang duduk terlalu lama. Timbulnya rasa nyeri ini disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat aliran darah yang kurang lancar karena pembuluh darah tertekan oleh berat tubuh (Guyton dan Hall, 2006). Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai macam tumbuhan yang di antaranya mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi obat. Perubahan pola pikir sebagian besar masyarakat Indonesia ke arah back to nature membuat perkembangan dan pemanfaatan tanaman obat di Indonesia semakin meningkat, apalagi dengan adanya program saintifikasi jamu yang merupakan suatu program dari Kementrian Kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan penggunaan jamu di kalangan medis terutama dokter (Pramono, 2011). Oleh karena itu, banyak tanaman di Indonesia yang dapat dimanfaatkan
1
2
sebagai analgetik untuk meredam rasa nyeri. Contohnya adalah cabe jawa, kulit buah manggis, bunga cengkeh, dan lain-lain. Salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai analgetik adalah manggis. Kulit buah manggis banyak mengandung xanthone yang memiliki efek analgetik. Kulit buah manggis biasa digunakan oleh orang-orang Asia Tenggara seperti Indonesia, Thailand, Vietnam sebagai obat tradisional untuk pengobatan sakit perut, disentri, infeksi luka, nanah, dan maag kronis (Cui dkk., 2009). Saat ini, masyarakat Indonesia telah sering memanfaatkan ekstrak kulit buah manggis untuk bahan pengobatan. Publikasi yang beredar melalui media juga membantu masyarakat lebih sering memanfaatkan ekstrak kulit buah manggis. Namun demikian, masyarakat lebih mengenal penggunaan ekstrak kulit buah manggis sebagai bahan antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas dan mempercantik kulit. Pemanfaatan ekstrak kulit buah manggis sebagai tanaman herbal masih kurang dipahami secara pasti oleh masyarakat luas. Masyarakat seringkali tidak mengetahui secara pasti khasiat-khasiat tertentu dari ekstrak kulit buah manggis. Mereka hanya mengikuti orang lain dan percaya secara empiris tentang penggunaan ekstrak kulit buah manggis. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian apakah ekstrak kulit buah manggis benar-benar memiliki khasiat analgetik. Pengujian ekstrak kulit buah manggis sebagai analgetik pernah dilakukan sebelumnya. Pengujian juga dilakukan pada penelitian ini dengan dosis yang lebih rendah dan lebih tinggi dari dosis sebelumnya yang pernah diteliti, yaitu 50 mg/20 g BB dengan pembawanya adalah aquades. Penelitian sebelumnya menguji
3
ekstrak kulit buah manggis hanya menggunakan metode hot plate (Ponggele dkk, 2013). Oleh sebab itu, peneliti mengangkat permasalahan ini untuk dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan metode geliat dan metode hot plate.
B. Rumusan Masalah Permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah: Apakah ekstrak etanol 95% kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.) memiliki efek analgetik?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya analgetik perifer dari ekstrak kulit buah manggis dengan menggunakan metode geliat dan mengetahui daya analgetik sentral dari ekstrak kulit buah manggis dengan menggunakan metode hot plate.
D. Tinjauan Pustaka 1. Nyeri Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan (Tjay dan Rahardja, 2007). Nyeri melibatkan jaringan saraf yang kompleks di otak yang disebabkan oleh stimulus aferen (Baumann dan Strickland, 2008). Nyeri merupakan suatu mekanisme protektif. Nyeri terjadi ketika ada jaringan yang rusak, dan ini
4
menyebabkan terjadinya reaksi yang berbeda pada tiap orangnya untuk menghilangkan stimulus nyeri (Guyton dan Hall, 2006). Mediator nyeri penting adalah histamin yang bertanggungjawab untuk kebanyakan reaksi alergi (bronkokonstriksi, pengembangan mukosa, pruritus) dan nyeri. Bradikinin adalah polipeptida yang dibentuk dari protein plasma. Prostaglandin mirip strukturnya dengan asam lemak dan terbentuk dari asam arakhidonat. Menurut perkiraan zat-zat ini meningkatkan kepekaan ujungujung saraf sensoris bagi rangsangan nyeri yang diakibatkan oleh mediator lainnya.
Zat-zat
ini
berkhasiat
vasodilatasi
kuat
dan
meningkatkan
permeabilitas kapiler yang mengakibatkan radang dan udema. Kerja dan inaktivasi dari mediator-mediator ini bersifat lokal sehingga disebut juga sebagai hormon lokal (Tjay dan Rahardja, 2007). Berdasarkan penyebab terjadinya nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi 2, yaitu nociceptive pain dan neurophatic pain/functional pain. a. Nociceptive pain Nyeri termasuk dalam kategori nociceptive pain jika berasal dari kulit, tulang, persendian, otot, atau jaringan ikat (daerah somatik) atau berasal dari daerah visceral (dari organ dalam seperti usus besar atau pankreas). Stimulasi pada nyeri ini diterima oleh ujung saraf yang disebut nociceptor. Reseptor ini dapat ditemukan baik pada struktur somatik maupun visceral. Reseptor ini sensitif terhadap impuls mekanis, suhu, dan kimiawi (Baumann dan Strickland, 2008).
5
b. Neurophatic pain / functional pain Neuorophatic pain dan functional pain sering disebut sebagai nyeri kronis. Neurophatic pain merupakan akibat dari kerusakan saraf, sedangkan functional pain karena abnormalitas dari sistem saraf. Nyeri ini seringkali tidak mudah dikenali (susah jika melalui pemeriksaan fisik) dan sulit untuk diobati (Baumann dan Strickland, 2008). Nyeri secara garis besar terbagi menjadi 2 yaitu nyeri cepat (nyeri akut) dan nyeri lambat (nyeri kronis). Nyeri akut terjadi ± 0,1 detik setelah stimulus nyeri dipaparkan sedangkan nyeri kronis terjadi setelah 1 detik atau lebih dari waktu pemamaparan nyeri dan meningkat selama beberapa detik sampai beberapa menit. Nyeri akut dan nyeri kronis memiliki mekanisme yang berbeda (Guyton, 2006). Nyeri dapat juga digolongkan menjadi 3, yaitu nyeri akut, nyeri kronik, dan nyeri kanker. a. Nyeri akut Nyeri akut dapat menjadi peringatan fisiologi yang berguna jika terjadi suatu penyakit dan ada situasi berbahaya. Nyeri akut pada umumnya merupakan nociceptive pain, meskipun dapat pula merupakan neurophatic pain. Penyebab umum terjadinya nyeri akut adalah pembedahan, penyakit akut, dan trauma (Baumann dan Strickland, 2008). Jalur nyeri akut dipengaruhi oleh stimulus mekanik dan thermal. Stimulus ini ditransmisikan melalui saraf perifer ke saraf tulang belakang oleh serabut Aδ dengan kecepatan antara 6 sampai 30 m/s (Guyton dan Hall, 2006).
6
b. Nyeri kronik Pada kondisi normal, nyeri akut akan sembuh dalam waktu yang cepat. Namun, pada beberapa kasus, nyeri dapat bertahan dalam hitungan bulan sampai tahun. Tipe nyeri kronik dapat berupa nociceptive, neurophatic, atau keduanya (Baumann dan Strickland, 2008). Jalur nyeri kronik sebagian besar dipengaruhi oleh stimulus kimiawi namun terkadang dipengaruhi oleh stimulus mekanik dan thermal. Nyeri kronik ini di transmisikan ke saraf tulang belakang oleh serabut C dengan kecepatan antara 0,5 sampai 2 m/s (Guyton dan Hall, 2006). c. Nyeri kanker Nyeri ini dihubungkan dengan kondisi yang sering disebut sebagai nyeri malignant atau simply cancer pain. Nyeri kanker termasuk dalam nyeri akut dan nyeri kronik yang memiliki berbagai macam penyebab. Nyeri ini dapat disebabkan oleh penyakit itu sendiri (misal invasi tumor, obstruksi organ), pengobatan (misal kemoterapi, radiasi, pembedahan) atau prosedur diagnosis (misal biopsi) (Baumann dan Strickland, 2008). Rasa nyeri terjadi sebagai akibat adanya rangsang mekanis atau kimiawi berupa rangsang kalor atau listrik. Rangsang-rangsang ini dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan pada jaringan kemudian melepaskan zat-zat tertentu yang kemudian disebut mediator-mediator nyeri antara lain adalah histamin, serotonin, prostaglandin. Senyawa nyeri atau mediator nyeri setelah menimbulkan kerusakan jaringan dapat digambarkan sebagai berikut:
7
Noksius
Kerusakan jaringan
Pembebasan asetilkolin Serotonin, histamin
Nyeri pertama
Pembentukan kinin prostaglandin
Sensibilisasi
reseptor Nyeri lama (Mutschler, 1991) Gambar 1. Mekanisme nyeri
2. Analgetik Analgetik adalah obat atau suatu senyawa kimia yang dalam dosis terapeutik dapat menekan atau menghilangkan rasa nyeri, tanpa menimbulkan kerja anestesi umum (tanpa menghilangkan kesadaran). Analgetik bekerja dengan meningkatkan nilai ambang batas persepsi rasa sakit (Mutschler, 1991). Berdasarkan mekanisme kerjanya pada tingkat molekul, analgetik dibagi menjadi dua golongan yaitu analgetik opioid dan analgetik non narkotik.
8
a. Analgetik Opioid Analgetik opioid merupakan kelompok obat yang menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif, mempunyai daya penghalang nyeri yang sangat kuat dengan titik kerja yang terletak pada susunan saraf pusat. Telaah tentang ikatan opioid dan peptida dengan tempat yang spesifik di otak dan organ tubuh menunjukan adanya 4 jenis reseptor opioid. Telah terbukti adanya 4 kategori di SSP, yaitu μ (mu), κ (kappa), δ (delta), σ (sigma). Efek farmakologik tertentu terjadi akibat interaksi opioid dengan reseptorreseptor ini. Misalnya, efek analgetik dihubungkan dengan reseptor μ dan κ, sedangkan disforia atau efek psikotomimetik dikaitkan dengan reseptor σ; terutama atas dasar lokasinya di daerah limbik otak (Gan dkk, 1987). Umumnya, analgetik opioid dapat mengurangi kesadaran dan menimbulkan perasaan nyaman (euforia). Analgetik opioid ini merupakan pereda nyeri yang paling kuat dan sangat efektif untuk mengatasi nyeri yang hebat. Obat ini termasuk golongan obat narkotik. Analgetik opioid memiliki aktivitas yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan golongan analgetik non opioid, sehingga disebut pula analgetik kuat. Semua obat golongan opioid
menimbulkan
adiksi
sehingga
obat
golongan
ini
sering
disalahgunakan. Mekanisme
umumnya
adalah terikatnya opioid pada
reseptor
menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam sel. Hal tersebut mengakibatkan hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K+ ke dalam sel serta pengurangan terlepasnya dopamin, serotonin, dan peptida
9
penghantar nyeri (Sinatra dkk, 2011). Golongan obat opioid dimaksudkan untuk obat yang berasal dari opium-morfin, senyawa semisintetik morfin, dan senyawa sintetik yang berefek seperti morfin (Gan dkk, 1987). b. Analgetik non-Opioid Golongan analgetik non opioid ini bekerja pada perifer dan tidak mempengaruhi sistem susunan saraf pusat. Obat-obat golongan ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim COX (siklooksigenase). Mekanisme umum dari obat-obat golongan ini adalah dengan cara mengeblok biosintesis prostaglandin dengan cara menginhibisi enzim COX sehingga mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit oleh mediator-mediator rasa sakit. Mekanisme kerja senyawa analgetik secara umum adalah bekerja dengan mempengaruhi
proses
sintesis
prostaglandin.
Menghambat
proses
pembentukan prostaglandin dapat dilakukan dengan menghambat enzim COX atau pembentukan asam arakhidonat yang pada akhirnya nanti dapat mempengaruhi sintesis prostaglandin sebagai mediator rasa nyeri dan inflamasi (Sinatra dkk, 2011). 3. Manggis a. Klasifikasi botani pohon manggis adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Theales
10
Keluarga
: Guttiferae
Genus
: Garcinia
Spesies
: Garcinia mangostana L.
(Backer dan van den Brink, 1965)
b. Karakterisasi/morfologi tanaman manggis adalah: 1) Pohon Pohon manggis mencapai tinggi 10-25 meter. Diameter batang 25-35 cm dan kulit batang biasanya berwarna coklat gelap atau hampir hitam, kasar, dan cenderung mengelupas. Getah manggis berwarna kuning dan terdapat pada semua jaringan utama tanaman (Shabella, 2011). 2) Daun Daun manggis merupakan daun tunggal, lonjong, ujung runcing, pangkal tumpul, tepi rata, pertunlangan menirip, panjang 20-25 cm, lebar 6-9 cm, tebal, tangkai silindris, hijau (Hutapea, 1994). 3) Buah Buah manggis berbentuk bulat atau agak pipih dengan diameter 3,5-8 cm. Berat buah bervariasi sekitar 75-150 gram, tergantung pada umur pohon dan daerah geografisnya. Tebal kulit buah berkisar antara 0,8-1 cm, berwarna keunguan dan biasanya mengandung cairan kuning yang rasanya pahit (Shabella, 2011). 4) Biji Berat biji bervariasi antara 0,1-2,2 gram (Shabella, 2011).
11
5) Bunga Bunga manggis tunggal, berkelamin dua, tangkai silindris, panjang 1-2 cm, benang sari kuning, putik satu. Akarnya tunggang, putih kecoklatan (Hutapea, 1994). c. Kandungan Kulit Buah Manggis 1) Xanthone Antioksidan yang terdapat dalam kulit buah manggis dengan kadar yang tinggi memiliki sifat yang baik dan bermanfaat bagi tubuh. Manfaatnya antara lain sebagai antinyeri, antiperadangan, antidiabetes, antikanker, antibakteri, antijamur, antiplasmodial, mampu meningkatkan kekebalan tubuh, dan hepatoprotektif. Dalam kulit buah manggis banyak terkandung alfa-mangostin dan gamma-mangostin yang merupakan xanthone (Pedraza-Chaverri, 2008). a) Alfa-mangostin (1,3,6-trihidroksi-7-metoksi-2,8-bis(3-metil-2-butenil) -9H-xanten-9-on) Alfa-mangostin adalah senyawa yang sangat berkhasiat dalam menekan pembentukan senyawa karsinogen pada kolon. Selain itu, alfa-mangostin juga mampu menghambat proses oksidasi lipoprotein densitas rendah (LDL) yang sangat berperan dalam aterosklerosis. Alfa-mangostin juga menunjukkan aktivitas sebagai antagonis reseptor histamine H1 dan reseptor histamin H2 (Cui dkk., 2009; Pedraza-Chaverri dkk., 2008).
12
Gambar 2. Struktur α-mangostin
b) Gamma-mangostin (1,3,6,7-tetrahidroksi-2,8-bis(3-metil-2-butenil)9H-xanten-9-on) Gamma-mangostin adalah senyawa yang dapat digunakan sebagai antioksidan, antitumor, antiinflamasi. Gamma-mangostin bekerja sebagai antagonis reseptor serotonin. Oleh karena itu, gammamangostin
dapat
bekerja
sebagai
senyawa
analgetik
karena
menghambat impuls mencapai reseptor di sistem saraf pusat (Cui dkk., 2009).
Gambar 3. Struktur γ-mangostin
2) Antosianin Antosianin pada kulit buah manggis bertanggungjawab terhadap tingginya tingkat aktivitas antioksidan (Farida dan Nisa, 2015). Mekanisme penghambatan aktivitas radikal bebas DPPH oleh antosianin adalah dengan mendonorkan atom hidrogen dari sebagian gugus
13
hidroksilnya ke senyawa radikal bebas DPPH sehingga membentuk senyawa radikal bebas DPPH lebih stabil (DPPH-H) (Prior, 2003). 4. Metode dan Penetapan Daya Analgetik Dalam pengujian efek analgetik, ada beberapa metode analgetik yang cukup dikenal antara lain : a. Metode Induksi Cara Kimia (Metode Writhing / Metode Geliat) Prinsip metode dari uji ini adalah obat uji dinilai kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa nyeri pada mencit diperlihatkan dalam bentuk respon gerakan geliat. Frekuensi gerakan ini dalam waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang dirasakannya (Anonim, 1991). b. Metode Induksi Nyeri Cara Panas Prinsip metode ini adalah hewan percobaan yang ditempatkan di atas plat panas dengan suhu tetap sebagai stimulus nyeri akan memberikan respon dalam bentuk mengangkat atau menjilat telapak kaki depan, atau meloncat. Selang waktu antara pemberian stimulus nyeri dan terjadinya respon, yang disebut waktu latensi ini selanjutnya dapat dijadikan sebagai ukuran dalam mengevaluasi aktivitas analgetik (Anonim, 1991). 5. Parasetamol (Asetaminofen) Parasetamol adalah para-asetilaminofenol yang merupakan metabolit fenasetin dan telah digunakan sejak tahun 1893 (Sunaryo, 1995). Parasetamol mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang
dan
tidak
menyebabkan
iritasi
serta
peradangan
lambung
(Sartono,1993). Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti
14
nyeri kepala, mialgia, nyeri pasca melahirkan dan keadaan lain (Katzung, 1992). Parasetamol bekerja sebagai penghambat pembentukan prostaglandin dengan cara berkompetisi dengan asam arakhidonat pada sisi aktif dari enzim COX. Parasetamol mereduksi metabolit prostaglandin di urin tetapi tidak mereduksi sintesis prostaglandin oleh platelet dan mukosa lambung. Parasetamol diduga bekerja pada COX-3 sehingga efek antiinflamasinya sangat kecil (Botting, 2000).
Gambar 4. Struktur parasetamol
6. Ekstrak dan Ekstraksi Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Anonim, 1995). Terdapat bermacam-macam metode ekstraksi, yaitu:
15
a. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut 1) Cara dingin a) Maserasi Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu. Remaserasi berarti penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Anonim, 2000). b) Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap
maserasi
antara,
tahap
perkolasi
sebenarnya
(penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Anonim, 2000). 2) Cara panas a) Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didinya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan
16
proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Anonim, 2000). b) Metode Soxhlet Metode Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Anonim, 2000). c) Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50˚C (Anonim, 2000). d) Infundasi Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98˚) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Anonim, 2000). e) Dekok Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Anonim, 2000). b. Destilasi uap Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa kandungan menguap (minyak atsiri) dari bahan (segar atau simplisia) dengan uap air berdasarkan peristiwa tekanan parsial senyawa kandungan menguap dengan fase uap air dari
17
kental secara kontinu sampai sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran campuran (senyawa kandungan menguap ikut terdestilasi) menjadi destilat air bersama senyawa kandungan yang memisah sempurna atau memisah sebagian. Bahan (simplisia) pada destilasi uap tidak tercelup ke air yang mendidih, namun dilewati uap air sehingga senyawa kandungan menguap ikut terdestilasi. Pada metode ini, bahan (simplisia) bercampur sempurna atau sebagian dengan air mendidih, senyawa kandungan menguap tetap kontinu ikut terdestilasi (Anonim, 2000). c. Cara ekstraksi lainnya, seperti ekstraksi berkesinambungan, superkritikal karbondioksida, ekstraksi ultrasonik, dan esktraksi energi listrik (Anonim, 2000). Pemilihan pelarut sangatlah penting dan perlu memperhatikan beberapa persyaratan pada metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut. Persyaratan tersebut antara lain adalah selekstivitas, sifat pelarut, kemampuan untuk mengekstraksi, tidak bersifat racun, kemudahan untuk diuapkan, dan harganya relatif murah (Gamse, 2002).
E. Landasan Teori Nyeri merupakan suatu mekanisme protektif. Nyeri terjadi ketika ada jaringan yang rusak, dan ini menyebabkan terjadinya reaksi yang berbeda pada tiap orangnya untuk menghilangkan stimulus nyeri (Guyton dan Hall, 2006). Nyeri diinduksi oleh mediator nyeri seperti bradikinin, prostaglandin, histamin,
18
serotonin. Pelepasan mediator ini dapat disebabkan karena adanya rangsang thermal atau kimiawi sehingga menyebabkan respon nyeri. Kulit buah manggis diketahui memiliki efek analgetik sentral pada dosis 50 mg/20 g BB. Selain itu, penilitian yang dilakukan oleh Cui dkk. menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak kulit buah manggis yang dilarutkan dalam larutan NaCl 0,9 % dengan dosis 1 g/kg BB dan 3 g/kg BB memberikan peningkatan waktu latensi mencit di atas alat hot plate. Penelitian tersebut juga menujukkan bahwa terdapat penurunan jumlah geliat pada mencit dengan dosis pemberian ekstrak kulit buah manggis dalam larutan NaCl 0,9% 0,5 g/kg BB, 1 g/kg BB, dan 3 g/kg BB. Efek ini diperoleh dari zat aktifnya, yaitu xanthone (α-mangostin dan γ-mangostin). Gamma-mangostin bekerja sebagai antagonis reseptor serotonin, sedangkan alfa-mangostin bekerja sebagai antagonis reseptor histamin H1 dan reseptor histamin H2. Oleh karena adanya mekanisme kerja ini, ekstrak kulit buah manggis berpotensi memiliki efek analgetik sentral dan perifer yang ditunjukkan dengan penurunan respon menjilat dan melompat serta penurunan respon geliat pada mencit.
F. Hipotesis Ekstrak kulit buah manggis memiliki daya analgetik sentral dan daya analgetik perifer pada mencit betina galur Balb/C sehingga dapat menekan rasa nyeri akibat stimulus thermal dan stimulus senyawa kimia.