1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Salah satu sisi dari wawasan dasar Islam adalah Rahmatal lil „Alamin yaitu menjadi rahmat bagi kehidupan alam. Oleh karena itu ajaran Islam dan hukum- hukumnya selalu mengacu pada hal- hal sebagai berikut: mendidik individu sebagai elemen dasar masyarakat dengan kesadara beribadah, menegakkan keadilan dalam kehidupan sosial, melindungi hak- hak asasi manusia, mewujudkan kemaslahatan Imam Ghazali mengemukakan bahwa masalah dlaruriyah dalam hidup manusia ada lima yaitu: agama (ad- diyn), jiwa (an- nafs), akal (al- aql), harta (al- maal), keturunan (an- nasl).1 Apabila An- Nasl atau keturunan termasuk masalah dlaruriyah, maka dengan sendirinya persoalan- persoalan yang berkaitan dengan anak menjadi sangat penting dan bersifat dlaruri juga. Islam memandang anak dalam tiga dimensi (ukuran) yaitu: pertama dimensi sosial: tujuan perkawinan dalam Islam antara lain untuk melestarikan keturunan. Kedua dimensi ekonomi: kita dianjurkan memiliki keprihatinan terhadap keturunan kita, jangan sampai mereka menjadi generasi yang lemah
1
Muhammad Tolhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia(Jakarta: Lantabora Press, 2003), cet.II., hlm.5
1
2
secara ekonomis. Ketiga dimensi religi (agama): keturunan dapat menjadi salah satu aset amal jariyah, apabila anak tersebut menjadi anak yang shaleh.2 Setiap orang yang berumah tangga pasti menginginkan keturunan, ada yang diberi banyak keturunan ada pula sebaliknya. Yang tidak mempunyai keturunan ada yang mengambil jalan untuk mengadopsi anak orang lain ataupun meminta anak kepada saudaranya untuk dirawat, diasuh sebagai anak kandungnya. Fakta yang jelas banyak peristiwa remaja yang berhubungan seks bebas, sampai- sampai hamil diluar nikah, sehingga melahirkan bayi yang tidak dikehendaki oleh orang tuanya, akhirnya mengambil jalan untuk menggugurkan kandungan maupun membuang bayi yang tidak berdosa. Dalam upaya untuk menjamin dan melindungi anak dan hak- haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan seperti yang tercantum dalam UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia pasal 28B ayat 2 yang berbunyi:“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.3 Sehingga anak itu bisa merasakan hidup aman, tentram, bahagia dan tidak merasa kecil hati maupun rasas takut. Oleh karena itu dalam UU no.23 tahun 2002 yang berbunyi: „‟anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat serta merupakan tunas, potensi dan generasi muda penerus cita- cita perjuangan bangsa. Setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang 22 3
Ibid UUD 1945 dan Amandemennya , (Solo: Sendang Ilmu, 2009- 2014), hlm.19
3
seluas- luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia‟‟.4 Undang- undang ini menegaskan bahwa pertanggung jawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus- menerus demi terlindungnya hakhak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.5 Dan yang mendapatkan perlindungan itu anak yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang ada dalam kandungan entah itu anak yang menyandang cacat, anak yang memiliki keunggulan, anak angkat, anak asuh maupun anak terlantar (laqith). Anak temuan “al- laqith” adalah seorang anak yang hidup, yang dibuang keluarganya karena mereka takut akan kemiskinan, atau karena lari dari tuduhan.6 Oleh karena itu anak temuan termasuk bagian substansi dari hukum perlindungan anak. Adapun untuk mendorong supaya individu, masyarakat dan negara mau memungut dan memelihara anak yang terlantar, maka fuqaha berkata: 4
Pelayanan Terpadu Penanganan Kekerasan terhaadap Perempuan dan Anak Berbasis Gender, (Semarang: Seruni, 2002), hlm.3 5 Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasi dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), hlm.233 6 Ahmad Kamil, M. Fauzan, Hukum perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm, 169
4
“orang yang menyia- nyiakan berdosa dan orang yang mengambilnya beruntung”.7 Bagaimana mungkin bukan sutu kewajiban dan menyianyiakannya bukan suatu dosa. Sejarah membuktikan tidak sedikit diantara anak- anak pungut diberikan keutamaan oleh Allah, mereka dapat memimpin umat dan memberi petunjuk pada manusia. Dengan demikian bagi orang yang menemukan anak tersebut wajib mengambilnya, karena diharapkan suatu saat dia akan bermanfaat bagi kehidupannya. Dan bagi orang yang menemukan anak tersebut bahkan telah merawat, menafkahi sebagaimana layaknya anak sendiri akan mendapatkan ganjaran atau pahala dari Allah SWT, karena telah menolong orang yang membutuhkan pertolongan, dan telah dianjurkan dalam firman Allah:
صلى
ِْ َوتَ َع َاونُوا َعلَى الِْ ِِّب َوالتَّ ْقوى صلى َوََلتَ َع َاونُوا َعلَى اْل ِْْث َوالْعُ ْد َوا ْن ج َواتَّ ُقوااهلل َ ِ يد الْعِ َق )۲:اب (املائدة ُ إِ َّن اهللَ َش ِد “ Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha berat siksa-Nya‟‟.8 Ayat diatas menunjukkan kewajiban memungut anak temuan, karena
merupakan salah satu bentuk tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Maka mengambil dan merawatnya berarti telah menjaga kehidupannya sebagaimana memberi makan pada orang yang dalam kondisi darurat dan menyelamatkan orang yang tenggelam.
7 8
Ibid. Hlm. 172 DEPAG RI, Al- Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta, 1971, hlm. 156- 157
5
Seorang anak yang ditemukan (al- laqith) oleh seseorang, sedangkan orang yang menemukannya tidak mengetahui keluarganya, maka orang yang menemukannya tersebut dapat mengakui dirinya sebagai orang tuanya sampai benar- benar mengetahui orang tua kandungannya. Ulama‟ fiqih telah sepakat, apabila ada orang Islam mengakui seorang anak sebagai anaknya dan dia yakin anak tersebut bukan anak orang lain dengan ciri yang ada, maka nasab anak tersebut dapat dinisbahkan kepadanya untuk menjaga kehormatan dan memuliakan kehidupan anak tersebut dimasyarakat dengan menisbahkannya dengan ayah yang diketahuinya. Jika ditetapkan nasabnya, maka harus ditetapkan juga hak- haknya sebagai seorang anak baik nafkah, pendidikan maupun hak waris.9Jika pengakuan anak telah dilakukan oleh seseorang dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum Islam, maka akan lahir akibat hukum yaitu timbulnya pertalian nasab antara orang yang mengakui dan orang yang diakui dan anak yang diakui tersebut menjadi anak yang sah menurut syar‟i dan kedudukannya sama dengan anak hasil perkawinan sah. Taufiq mengemukakan bahwa ada perbedaan prinsipil antara pengakuan anak menurut hukum Islam dengan konsep pengangkatan anak dalam hukum perdata barat. Menurut hukum Islam pengakuan dan pengangkatan anak tidak semata- mata memberikan kedudukan anak luar nikah sebagai anak kandung, sedangkan menurut hukum perdata barat pengakuan dan pengangkatan anak semata- mata memberikan kedudukan 9
Andi Syamsu Alam, M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 195
6
anak luar kawin sebagai anak kandung.10 Dalam ketentuan hukum Islam mengenai pengangkatan anak itu dilihat dari segi lahir saja bukan dari segi hakikat dan agama. Sehubungan dengan hal itu apabila ada seseorang mengambil anak dari rumah sakit yang tidak diketahui siapa orang tuanya dan orang yang mengambilnya mengakui anaknya, maka perbuatan ini mengakibatkan hubungan hukum keperdataan antara orang yang mengakui dengan anak yang diakui. Sehingga anak temuan itu bisa diakui sebagai anak orang yang mengakuinya dan bisa juga menimbulkan pertalian nasab. Dengan melihat latar belakang masalah diatas, penulis hendak mengkaji, mempelajari dan menganalisanya. B. Penegasan Istilah Untuk memudahkan pembahasan dan menjaga agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap judul dalam proposal ini, maka perlu adanya penjelasan atau penegasan istilah yang berkaitan dengan judul tersebut. Adapun judul proposal ini adalah STUDI ANALISIS NASAB ANAK TEMUAN (LAQITH) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. Studi Analisis
: Studi = pelajaran Analisis = penyelidikan suatu peristiwa (kerangka, perbuatan) untuk mengetahui apa sebab- sebabnya, bagaimana duduk perkaranya.11
10
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 96- 97 11 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1960), hlm.40
7
Nasab
: Keterunan, pertalian darah12
Anak Temuan
: Anak kecil yang belum balig yang ditemukan dijalan dan tidak diketahui ketahui keluarganya.13
Perspektif
: Suatu pengharapan atau sebuah tinjauan.14
Hukum Islam
: peraturan yang berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama islam.15
C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis perlu merumuskan permasalahan proposal ini dapat berfokus. Diantaranya adalah: 1. Apa definisi anak temuan (laqith)? 2. Bagaimana hukum menemukan anak temuan (laqith)? 3. Bagaimana kedudukan laqith dari segi agama Islam? D. Tujuan Penelitian Di dalam penulisan proposal ini penulis mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui definisi anak temuan (laqith) 2. Untuk mengetahui hukum menemukan anak (laqith) 12
Pius A Partanto, M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994),
hlm. 511 13
Ibid. Hlm. 94 Ibid. Hlm. 592 15 Abdul Halim Barakatullah, Teguh Prasetya, Hukum Islam: Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm.3 14
8
3. Untuk mengetahui kedudukan laqith dari segi agama Islam E. Manfaat penelitian 1. Sebagai bahan informasi atau pengetahuan tentang nasab anak temuan menurut hukum Islam 2. Sebagai referensi bagi mahasiswa maupun masyarakat yang ingin mempelajari permasalahan tersebut 3. Hasil dari penelitian secara umum diharapkan dapat menjadi acuan- acuan refrensi baru serta memperkaya khazanah pendidikan bagi fakultas Syari‟ah UNISNU Jepara. F. Telaah Pustaka Sejauh penulis sudah ketahui, belum ada yang membahas tentang penelitian ini, namun penulis temukan tentang pendapat Imam Mazhab empat yaitu: Imam Syafi‟i, Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hambali (anak yang dibuamg dijalan atau disebut dengan al- laqith) yang termuat dalam fiqih empat Mazhab karangan Syaikh Al- „Allamah Muhammad bin „Abdurrahman Ad- Dimasyqi. Kajian ini juga terdapat pada literatur- literatur fiqih. Dalam penulisan ini penulis menggunakan beberapa daftar pustaka, diantaranya adalah karangan Andi Syamsu Alam, Ahmad Kamil, Abdul Manan dan lain- lain. Disamping kitab- kitab penulis juga menelaah buku- buku atau skripsi yang ada hubungannya dengan kajian penulis.
9
Beberapa penelitian yang membahas tentang anak temuan ini telah banyak ditemukan. Adapun diantara beberapa penelitian tersebut adalah: Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan dalam bukunya yang berjudul “Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam”, menjelaskan bahwa anak yang ditemukan tidak diketahui asal usul keluarganya, maka orang yang menemukannya dapat mengklaim dirinya sebagai ayahinya atau orang tuanya sampai benar- benar diketahui ayah yang sebenarnya dan apabila yang ditemukannya itu anaknya dengan ciri yang ada, maka dapat ditetapkan hubungan nasab demi menjaga kehormatan dan nama baik anak itu dimasyarakat. Prof. Dr. H. Abdul Manan, SH, S. Ip, M. Hum dalam bukunya yang berjudul “Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia”, menjelaskan bahwa orang islam yang menemukan laqith (anak temuan) dapat melakukan pengakuan terhadap anak tersebut sebagai anak kandungnuya dan bahkan mengikrarkannya, maka sahlah pertalian nasab meskipun pengakuan tersebut dilawan oleh orang lain. G. Metodologi penelitian Mengenai pembahasan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut: 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian kualitatif,
yaitu
penelitian
yang
memecahkan
masalahnya
dengan
10
menggunakan data empiris.16 Adapun metode yang digunakan adalah dengan studi pustaka (library research) yaitu pengkajian informasi tertulis yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian.17 2. Sumber Data Dalam penyusunan ini, penulis mengambil beberapa referensi sebagai sumber data. Sumber data tesebut berasal dari kepustakaan. Data kepustakaan digunakan untuk menyusun landasan teori sebagai dasar berpijak dalam menyusun skripsi. Disamping itu ada juga sumber referensi yang berasal dari media massa koran, internet, majalah dan media massa lainnya.Termasuk didalamnya adalah refernsi kitab- kitab fiqih maupun hadits- hadits. Dari hasil penelaah itusemua merupakan sumber pegangan penulis dalam penyusunan. 3. Metode Analisis Data Dalam analisis data, penulis menggunakan beberapa metode yaitu: a. Metode Deduktif Suatu pembahasan yang didasarkan pada pemikiran yang bersifat umum, kemudian disimpulkan kedalam pengertian yang bersifat khusus, menyimpulkan
16
hubungan
yang
tadinya
tidak
tampak,
berdasarkan
Masyhuru dan M.zainuddin, Metodologi penelitian Pendekatan Praktis dan Aplikatif, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), cet.II, hlm.13 17 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hlm.81
11
generalisasi yang sudah ada.18 Metode ini digunakan dalam membahas masalah sebab dan akibat nasab anak temuan menurut pandangan hukum Islam. b. Metode Induktif Suatu pembahasan dengan mengambil dari pemikiran yang bersifat khusus untuk ditarik kedalam suatu generalisasi yang bersifat umum, maupun mengorganisasikan fakta- fakta atau hasil- hasil pengamatan yangterpisahpisah menjadi suatu rangkaian hubungan.19 Metode ini mengusahakan agar dapat membahas secara rinci guna memperoleh suatu ketegasan dan jawaban tentang pokok permasalahan sesuai tujuan yang hendak dicapai. Metode ini digunakan dalam membahas masalah nasab anak temuan dalam pandangan hukum islam. Selain itu dikaji juga dengan metode induktif ini, akibat positif dan negatif laqith. H. Sistematika Penulisan Sistematika penilisan ini akan di bagi dalam 5 (lima) bab: 1. Bagian Muka A. Halaman Sampul B. Halaman Judul C. Halaman Persembahan D. Halaman Persetujuan Pembimbing E. Halaman Pengesahan F. Halaman Motto 18 19
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 40 Ibid
12
G. Halaman Kata Pengantar H. Halaman Daftar Isi. 2. Bagian Isi Pada bagian isi terdiri dari lima bab yakni: BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Penegasan Istilah C. Rumusan Masalah D. Tujuan Masalah E. Manfaat Penelitian F. Telaah Pustaka G. Metodologi Penelitian H. Sistematika Penulisan BAB II : LANDASAN TEORI A. Konsep Nasab B. Konsep Al- Laqith BAB III: OBJEK KAJIAN A. Laqith dalam Syari‟at Islam B. Nafkah Laqith C. Kedudukan Laqith dalam Agama
13
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PENBAHASAN A. Nasab Menurut Perspektif Hukum Islam B. Nasab Menurut Mazhab Imam Empat BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran C. Penutup DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
14
BAB II LANDASAN TEORI
A. KONSEP NASAB 1. Pengertian Nasab Nasab menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yaitu keturunan (keturunan dari bapak), pertalian keluarga.20 Sedangkan menurut Wahbah Az- Zuhaili, nasab adalah salah satu fondasi kuat yang menopong berdirinya sebuah keluarga,karena nasab itu mengikat antara anggota keluarga dengan pertalian darah dan pertalian nasab itu merupakan ikatan
keluarga yang tidak mudah diputuskan karena
merupakan kenikmatan yang besar yang diberikan Allah kepada manusia.21 Adapun pengertian nasab yang dimaksud adalah keturunan atau pertalian keluarga sebagai hubungan darah baik itu hubungan darah dari bapak, kakek, ibu, nenek, anak, cucu, saudara, paman dan lain- lain. Firman Allah dalam surat Al- Furqan ayat 54:
قلى ِ ِ ك ب ر ن ا ك و ُّ َ َ َ َ َ َوُه َو الَّذى َخلَ َق ِم َن الْ َمآء بَ َشًرا فَ َج َعلَه نَ َسبًا َو ِص ْهًرا )٣٤) قَ ِد ًيرا
20
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta:Balai Pustaka, 1960) Cet.3, hlm.612 21 Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm 25
14
15
“Dan dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan Dialah Tuhanmu Maha Kuasa”.22 Ayat diatas ditafsirkan bahwa kata nasab dan shahr keduanya bersifat umum yang mencakup hubungan kerabat di antara manusia. Namun dalam perspektif lain menjelaskan bahwa nasab adalah istilah yang merefleksikan proses percampuran antara sperma laki- laki dan ovum perempuan berdasarkan ketentuan syari‟at, jika percampuran itu dilakukan dengan cara maksiat (zina), maka itu tidak lebih merupakan reproduksi biasa, bukan merupakan nasab yang benar secara syari‟at, sehingga tidak masuk dalam kandungan ayat tahrim. Konsep nasab tidak hanya menyangkut masalah asal usul orang tua dan kekerabatan, tetapi juga masalah status kekerabatan dan ikatan keturunan. Memang benar nasab seorang anak diambil dari kedua belah pihak (ayah dan ibu), akan tetapi penghubungan nasab kepada bapak lebih dominan dari pada ibu. Semua Ulama Mazhab mengatakan bahwa makna paling utama dari nasab adalah menyangkut dari sisi bapak yang erat kaitannya dengan legitimasi dimana anak memperoleh identitas hukum dan agamanya. 2. Sebab- sebab Terjadinya Hubungan Nasab Penentuan nasab mempunyai dampak sangat besar terhadap individu, keluarga dan masyarakat, dengan demikian diharapkan nasabnya mejadi jelas. Disamping itu, bila nasabnya tidak jelas dikhawatirkan akan terjadi perkawinan dengan mahram. Maka hukum Islam mengharamkan untuk
22
DEPAG RI, Al- Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta, 1971, hlm.156- 157
16
menisbahkan nasab seseorang kepada orang lain yang bukan ayah kandungnya, begitu pula sebaliknya. Nasab seorang anak dari ibunya tetap bisa diakui dari setiap sisi kelahiran, baik yang Syar‟i atau tidak. Adapun nasab seorang anak dari ayahnya hanya bisa diakui melalui nikah yang shahih, fasid, maupun wathi syubhat. Dalam hukum Islam nasab anak terhadap ayah bisa terjadi karena tiga hal yaitu: a. Nasab melalui perkawinan sah Para fuqahak sepakat bahwa anak yang terlahir dari rahim seorang wanita dengan jalan pernikahan yang shahih atau sah, nasabnya dikembalikan kepada suami waniat tersebut. Dalam hadis yang berbunyi:
َّ َع ْن أَبِی ُهَر َيرَة أ صلَّى اهلل َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ُ َن َر ُس َ ول اهلل ِ اش ولِْلع ِِ اْلَ َجُر ْ اه ِر َ َق َ َ ِ ال الْ َولَ ُد لْلفَر Artinya : “Diriwayatkan dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW, bersabda: Anak itu bagi siapa yang menggauli ibunya (dalam nikah yang sah)”. (H.R. Muslim).23 Hadis ini menegaskan bahwa nasab anak yang lahir dari perkawinan yamg sah itu dihubungkan kepada ayah kandungnya. Dalam konteks ini nasab anak hanya dihubungkan kepada ibu dan keluarganya saja.
23
Wahbah Az- Zuhaili, Op. Cit., hlm 32
17
b. Nasab melalui perkawinan fasid Pernikahan fasid adalah pernikahan yang dilangsungkan dalam keadaan kekurangan syarat, baik keseluruhan maupun sebagian. Seperti tidak ada wali dan tidak ada saksi atau saksinya itu saksi palsu. Sedangkan menurut Mazhab Hanafi wali tidak menjadi syarat sahnya perkawinan.24 Dalam pernikahan fasid sama seperti penisbatan anak dalam pernikahan sah. Tetapi, ada tiga syarat dalam penentuan nasab anak dalam pernikahan fasid yaitu: 1) Suami mempunyai kemampuan untuk menjadikan istrinya hamil, yaitu dengan usia yang sudah baligh. 2) Sudah jelas melakukan hubungan suami istri 3) Anak dilahirkan dalam waktu enam bulan setelah terjadinya akad nikah fasid.25 Apabila anak tersebut lahir sebelum enam bulan setelah akad nikah atau melakukan senggama, maka anak tersebut tidak bisa dinisbahka kepada suami wanita tersebut. c. Nasab Anak dari Hubungan Senggama Syubhat (Wathi Syubhat) Berkaitan dengan hukum, kata syubhat dapat ditafsirkan sebagai suatu situasi dan kondisi adanya ketidakjelasan dalam sebuah peristiwa hukum, sebab ketentuan hukumnya tidak jelas apakah berada dalam halal atau haram. Dalam konteks ini, maka yang dimaksud dengan senggama syubhat (wathi syubhat) adalah hubungan senggama selain zina dan bukan juga dalam perkawinan yang sah atau fasid. Contohnya seorang suami menggauli 24
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam (Jakarta: Kencana, 2008), Cet.1, hlm. 183 25 Ibid. Hlm 184
18
perempuan yang berada ditempat tidurnya dan perempuan itu dikira istrinya tetapi ternyata bukan istrinya. Dalam kasus seperti ini, jika perempuan itu melahirkan anak setelah lewat enam bulan atau lebih waktu terjadinya senggama, maka nasab anak tersebut diikutkan orang yang menggaulinya. Dan apabila kelahirannya sebelum lewat enam bulan dari waktu terjadinya , maka nasab anak tersebut tidak diikutkan pada lelaki yang menggaulinya. 26 Peristiwa diatas sangat jelas kemungkinan wanita tersebut hamil sebelum melakukan senggama bersamanya. Kecuali, jika memang lelaki itu mengaku bahwa anak tersebut adalah anaknya sendiri karena bisa jadi sebelumnya lelaki itu telah menggaulinya. 3. Cara Menetapkan Nasab Ulama fikih sepakat bahwa nasab seorang anak dapat ditetapkan melalui tiga cara yaitu: a.
Melalui nikah sahih atau fasid Ulama fikih berpendapat bahwa nikah yang secara sah atau fasid itu
merupakan suatu cara untuk menetapkan nasab seorang anak kepada ayahnya, meskipun pernikahan dan kelahiran anak tidak didaftarkan secara resmi pada instansi yang terkait.27 sehingga jika ada orang yang menikah dan tidak mendaftarkan secara resmi, maka nasab anak tersebut tetap bersambung dengan orang tuanya.
26 27
Wahbah Az- Zuhaili, Op. Cit, hlm. 37 Andi Syamsu Alam, Op. Cit, hlm. 186
19
b.
Melalui pengakuan atau gugatan Para Ulama membedakan antara pengakuan terhadap anak dan
pengakuan terhadap selain anak seperti: saudara, paman, atau kakek. Apabila ada seseorang mengakui bahwa anak kecil adalah anaknya, ataupun sebaliknya seorang anak kecil yang telah baligh mengakui seseoarang adalah orang tuanya, maka pengakuan tersebut dapat dibenarkan dan anak tersebut dapat dinasabkan pada orang yang mengakuinya.28 Namun harus memenuhi beberapa syarat yaitu: 1) Anak tidak jelas nasabnya, tidak diketahi ayahnya. Jika ayahnya diketahui, maka pengakuan anak menjadi batal, karena Rasulullah mencela bagi orang yang mengakui dan menjadikan anak orang lain sebagai nasabnya. Begitu pula Ulama fikih bersepakat bahwa jika anak itu adalah anak yang dinafikan ayahnya melalui li‟an, maka tidak diperbolehkan seseorang mengakui nasabnya, selain suami yang meli‟an ibunya.29 2) Pengakuan tersebut rasional. Maksudnya, seseorang yang mengakui sebagai ayah anak tersebut usianya harus berbeda jauh dari anak yang diakuinya tersebut. Demikian pula apabila ada orang yang mengakui nasab seorang anak namun datang orang lain yang mengakui nasab anak tersebut. Dalam kasus seperti ini terdapat dua pengakuan, sehingga hakim perlu
28
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 97 29 Andi Syamsu Alam, Op. Cit, hlm. 187
20
meneliti lebih jauh tentang siapa yang berhak terhadap anak tersebut.30 3) Apabila anak tersebut telah baligh dan berakal membenarkan pengakuan bagi orang yang mengakui anak tersebut. Namun syarat ini tidak diterima oleh Madzhab Maliki, karena menurut mereka nasab itu merupakan hak dari anak bukan ayah. 31 4) Seseorang yang mengakui nasab anak tersebut menyangkal bahwa anak tersebut bukan dari hasil hubungan perzinaan, karena perzinaan tidak bisa menjadi dasar penetapan nasab anak.32 Apabila syarat- syarat diatas telah terpenui, maka pengakuan nasab terhadap seseorang menjadi sah sehingga anak tersebut berhak mendapatkan nafkah, pendidikan yang layak, harta warisan dari ayahnya tersebut. Ketika itu, ayah yang telah mengkui anak tersebut sebagai anaknya tidak boleh mencabut pengakuannya, karena nasab tidak bisa dibatalkan. 5) Melalui alat bukti Dalam konteks ini Ulama fikih sepakat bahwa saksi harus benarbenar mengetahui keadaan dan sejarah anak yang dinasabkan. Adapun pengetahuan nasab selain anak (seperti saudara, kakek, paman dan kemenakan), menurut Ulama fikih hukumnya sah apabila memenuhi syarat- syarat yang telah disebutkan diatas ditambah dengan satu syarat lagi yaitu alat bukti (al- bayyinah) yang 30
ibid Ibid, hlm. 188 32 ibid 31
21
menguatkan pengakuan tersebut atau diakui oleh dua ahli waris dari orang yang mengaku. 33 B. KONSEP AL- LAQITH 1. Pengertian Al- Laqith Sayyid Sabiq mendefinisikan bahwa yang dimaksud al- laqith (anak temuan) adalah anak kecil yang belum baligh yang ditemukan dijalan atau sesat dijalan dan tidak diketahui keluarga.34 Sementara itu menurut ulama Mazhab Syafi‟iyah sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Kamil dan M. Fauzan mendefinisikan bahwa al- laqith adalah seorang anak yang dalam keadaan hidup dibuang oleh keluarganya karena takut kemiskinan atau menghindari tuduhan zina.35 Juga menurut Teungku Muhamad Hasbi Ash- Shiddieqy laqith adalah anak yang dipungut dari jalan raya atau anak yang ditinggalkan oleh ibu dan ayahnya sedang ibu dan ayahnya atau keluarganya tidak diketahui.36 Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa al- laqith adalah anak kecil yang belum baligh yang ditinggalkan atau dibuang oleh keluarganya karena takut kemiskinan atau menghindari tuduhan zina dan ditemukan orang dijalan dan tidak diketahui keluarganya.
33
Ibid, hlm. 189 Abdul manan, Op. Cit., hlm. 94 35 Ahmad Kamil, M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 169 36 Teungku Muhammad Hasbi Ash- Shiddieqy, Fiqih Mawaris (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010), hlm. 259 34
22
2. Rukun Al- Laqith Rukun merupakan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kata tersebut arti yang harus diadakan. Karena rukun itu adalah sesuatu yang berada didalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mengujudkan. Adapun rukun bagi laqith adalah: a.
Iltiqoth
(mengambil anak yang dibuang)
b.
Multaqith (orang yang menemukan dan mengambil anak tersebut)
c.
Laqith
(anak yang dibuang)37
3. Syarat Multaqith Syarat juga merupakan suatu perbuatan hukum yang harus diadakan, karena syarat itu sendiri adalah sesutu yang berada diluarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Adapula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur- unsur rukun. Dalam hal hukum al- laqith ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh Multaqith (orang yangmenemukan anak) agar bisa mengasuhnya yaitu: a.
Adil
b.
Merdeka, budak tidak diperbolehkan kecuali dapat izin dari tuannya
c.
Islam
d.
Rasyid (tidak bodoh)38
37
Ibnu Rusyd al- Qurtubi, Bidayatu al- Mujtahid Wa Nihayatu al- Muqthasid (Mesir: Bab al- Halabi, 1960), hlm. 309 38 Ibnu Qosim, Attaqrib (Surabaya: Al- Hidayah, t.t), hlm.41
23
Oleh karena itu jika seseorang sudah tahu mengenai syarat- syarat Multaqith dan apabila dia menemukan laqith maka bisa untuk tidak meminta kebenaran kepada pemimpin terlebih dahulu dalam memungut laqith, akan tetapi lebih baik jika diserahkan dulu kepada pemimpin. Adapun jika orang yang memungut laqith itu tidak memenuhi syarat diatas, seperti orang fasik, anak- anak, orang kafir memungut laqith yang beragama Islam, maka wajib bagi pemimpin untuk mengambil laqith tersebut. 4. Nasab Al- Laqith Para fuqaha sepakat, apabila ada seorang muslim mengakui seorang anak sebagai anaknya dan dia yakin bahwa anak tersebut adalah anaknya dengan ciri yang ada, maka nasab anak tersebut dapat dinisbahkan kepada orang yang menemukan. Hal ini untuk menjaga kehormatan dan memuliakan anak tersebut di masyarakat dengan menisbahkannya dengan ayah yang diketahuinya. Ketika ditetapkan nasabnya maka ditetapkan juga hak- haknya sebagai seorang anak baik berupa nafkah, pendidikan dan hak waris.39 Menurut pendapat diataas apabila seseorang mengaku ada hubungan nasab dengannya baik laki-laki maupun wanita, maka ia dihubungkan kepadanya jika memang ada kemungkinan, karena didalamnya terdapat maslahat bagi si laqith tanpa ada madharat bagi yang lain. Ketika itu, nasabnya ditetapkan dan warisannya diberikan pendakwanaya. Jika yang mendakwa lebih dari seorang, maka nasabnya ditetapkan untuk orang yang membawa bukti terhadap dakwaannya. Dan jika mereka tidak memiliki bukti
39
Andi Syamsu Alam, Op. Cit., hlm. 195
24
atau masing- masing memiliki bukti, maka si laqith dihadapkan kepada ahli nasab (Qaafah), jika ahli nasab menghubungkannya kepada salah seorang diantara mereka, maka anak itu dihubungkan kepadanya jika memang ahli nasab itu Mukallaf, laki- laki, adil, dan berpengalaman. Jika kesulitan demikian dilakukan undian, siapa saja yang keluar undiannya maka dialah yang berhak menerimanya. Apabila tidak ada orang yang mengakui anak tersebut sebagai anaknya, maka dia tetap berada ditangan orang yang menemukannya. Orang tersebut menjadi walinya dan berkewajiban mendidik, memberikan pengetahuan yang bermanfaat supaya anak tersebut tidak menjadi beban bagi masyarakat. Menurut Imam Malik, pengkuan tertsebut tidak sampai menimbulkan nasab yang sah, kecuali yang menemukan anak tersebut mempunyai alasan dan bukti yang dibenarkan oleh hukum Islam.40 Para ulama Mazhab sepakat bahwa tidak ada hak waris- mewarisi antara orang yang menemukan dengan anak yang ditemukan itu. Sebab, apa yang dilakukan orang itu semata- mata merupakan perbuatan baik dan bijak, serta merupakan cerminan dari sikap saling tolong- menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.41 Apa yang dilakukan oleh orang tersebut tidak ada bedanya dengan orang yang menggunakan kekayaan dengan jumlah besar sematamata untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan itu, Multaqith telah menjadikan anak tersebut kaya sesudah dia terlantar dan terhormat setelah sekian lama dia berada dalam kehinaan. 40 41
397
Abdul Manan, Op. Cit., hlm. 96 Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab (Jakarta: Lentera, 2001), cet.I, hlm.
25
BAB III OBJEK KAJIAN
A. Laqith dalam Syari’at Islam Syari‟at Islam pada hakikatnya adalah sebuah fenomena pergumulan antara teks dan realitas sepanjang sejarah umat Islam. Karenanya, teks inti (al- Qur‟an dan al- Sunnah) yang ada dihadapan kita, tidaklah mesti layak untuk dikonsumsi sebelum ia bergumul bahkan bersetubuh dengan realitas kehidupan itu sendiri.42 Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad Saw dengan membawa agama. Disamping itu, ajaran yang di bawa Nabi adalah ajaran Syari‟ah yang komprehensif, mencakup seluruh umat manusia tanpa kecuali. Islam merupakan ajaran yang memberikan jaminan kepada umat manusia agar dapat meraih kehidupan yang mulia, sehingga memperoleh derajat yang luhur dan sempurna, baik di dunia maupun di akhirat. Perlu ditegaskan bahwa ajara Islam adalah ajaran yang bersifat Syamil (menyeluruh, komprehensif) dan berlaku sampai hari kiamat. Ajaran Islam tidak hanya untuk generasi tertentu, melainkan untuk semua umat manusia tanpa terkecuali. 43 Dalam keadaan bagaimanapun umat Islam (Negara) berkewajiban membiayai hidup dan pendidikan laqith. Ada suatu hal yang perlu diingat, 42
Abdul Halim Barakatullah, Teguh Prasetya, Hukum Islam: Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm.2 43
Ibid
25
26
bahwa perlakuan terhadap laqith itu tidak boleh disamakan statusnya dengan anak kandung, karena menyangkut dengan warisan dan kemahraman (haram kawin). Padahal, anak tersebut bukan muhrimnya yang boleh kawin dengan anak kandungnya dan pergaulan dalam rumah tanggapun tidak sebebas bergaul dengan muhrim. Sadar atau tidak, diantara orang yang memungut anak (multaqith) adakalanya melupakan hal ini.44 Nilai- nilai yang terdapat dalam Syari‟t Islam sangat memperhatikan perlindungan terhadap anak, sehingga ahli fiqih yang bertugas sebagai artikulator yang terdapat dalam Al- Qur‟an dan
As- Sunnah mengkaji
masalah laqith. Apabila ditemukan anak kecil ditengah jalan, maka mengambil laqith, mengurusi atau mendidik serta memeliharanya adalah Fardhu Kifayah.45 Mengapa dihukumi fardhu kifayah, itu karena untuk memelihara laqith serta menghormatinya dari kerusakan dan juga untuk menghidupi jiwanya. Sebagaimana Allah berfirman:
َِ ومن اَحياها فَ َكاَََّّنَا اَحيا النَّاس َجْي ًعا َ َْ ْ ََ َ َْ
“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah- olah dia telah memelihara kehidupan manusia semua”46. Syari‟at Islam tidak melarang untuk medidik anak temuan, namun
setelah baligh atau menginjak usia baligh dianjurka untuk lebih berhati- hati
44
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al- Haditsah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), cet.I, hlm. 102-103 45 Daib Al- Bagha, Matan Ghoyah Wattaqrib (semarang: Toha Putra, 1993), cet.I, hlm. 296 46 DEPAG RI, Al- Qur‟an dan Terjemah, Jakarta, 1971, hlm. 164
27
dalam mendidiknya. Tetapi, bukan berarti menutup pintu kebaikan kepadanya. Kehati- hatian itu dilakukan untuk menyelamatkan jiwa dari kehancuran dan menjaga hidup seorang anak manusia, karena siapa saja yang menjaga satu nyawa maka ia seperti menghidupkan seluruh manusia. Ketika dijalan atau ditempat- tempat yang bersifat umum dijumpai anak yang terlantar, tidak ada yang merawat, maka wajib hukumnya memungut anak tersebut untuk dirawat dan dididik. Disamping itu, apabila anak temuan tersebut tidak dirawat, maka akan mengakibatkan kematiannya dan
mengeluarkan
biaya
untuk
merawatnya
adalah
bentuk
dari
menyenangkan orang lain sebagaimana menjamu tamu. Kewajiban disini bersifat fardhu kifayah. Artinya jika salah satu dari orang- orang yang mengetahui sudah memungut anak tersebut maka, kewajiban sudah gugur untuk orang lain. Sehingga, jika orang lain tidak memungutnya maka tidak berdosa. Dan jika sama sekali tidak ada yang memungut maka,berdosalah semua. Apabila yang melihat cuma satu orang saja tanpa ada orang lain yang melihat, maka hukum wajibnya berubah menjadi fardhu „ain, kewajiban yang bersifat tertentu untuk orang yang melihat tadi. Kewajiban yang harus dilakukan orang yang memungut (Multaqith) adalah medatangkan saksi atas temuan atau pungutanya.47
47
Ibnu Qosim, Attaqrib (Surabaya: Al- Hidayah, t.t), hlm. 41
28
B. Nafkah Laqith Nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makan, pakaian, rumah dan sebagainya. Banyaknya nafkah yang diwajibkan adalah sekedar mencukupi keperluan dan kebutuhan serta mengingat keadaan dan kemampuan orang yang berkewajiban menurut kebiasaan masing- masing tempat.48 Nafkah untuk anak temuan diambil dari harta yang dibawanya. Jika ternyata ada, maka kewajiban hakim untuk memelihara laqith dari uang tersebut. Apabila ditemukan laqith tidak membawa harta, maka pemberian nafkah atas diri laqith adalah menjadi tanggungan Negara.49 Jika mudah, maka bagi orang yang mengetahui keadaannya hendaknya memberi nafkah, karena hal itu termasuk menyelamatkannya dari kebinasaan. Ia tidak menarik dana dari Baitul Maal kecuali jika hakim mengizinkan orang itu menafkahi, jika tidak ada izin untuknya maka menafkahinya menjadi tabarru‟ (sukarela). Karena sesungguhnya Umar ra. pernah meminta pendapat atau bermusyawarah dengan para sahabat tentang menafkahi anak terlantar, maka para sahabat itu bersepakat sesungguhnya nafkah anak- anak terlantar menjadi tanggungan kas negara atau disebut dengan Baitul Maal.
50
Keterangan Umar ini menunjukkan bahwa pada asalnya orang yang menemulkan anak yang hilang tidak berkewajiban menanggung nafkah
48
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Bandung, Sinar Baru Algensindo, 1994), hlm. 421 Ibid 50 Daib Al- Bagha, OP. Cit., hlm, 297 49
29
hidupnya, biaya nafkah ini diambil dari Baitul Maal. Jika tidak memungkinkan maka nafkahnya ditanggung oleh kaum muslimin. Disamping itu para Ulam‟ tidak berhenti sampai disini saja dalam memperhatikan
kelanjutan
hidup
memperhatikan
pendidikan
dan
laqith
dan
nafkahnya,
saranaakhirnya
sarana para
untuk Ulama‟
menetapkan jika Baitul Maal tidak ada untuk menutupi kebutuhan anak tersebut sedangkan walinya tidak sanggup memberikan nafkah, maka dalam keadaan seperti ini masyarakat berkewajiban saling tolong- menolong dalam memberikan nafkah kepadanya, hal ini mejadi kebajikan umum dan sangat dianjurka dalam Al- Qur‟an surat al- Maidah
ج
ِْ َوتَ َع َاونُوا َعلَى الِْ ِِّب َوالتَّ ْقوى صلى َوََلتَ َع َاونُوا َعلَى اْل ِْْث َوالْعُ ْد َوا ْن َ ِ واتَّ ُقوااهلل صلى إِ َّن اهلل ش ِ يد الْعِ َق )۲:اب (املائدة د ُ َ َ َ
“Dan tolong- menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong- menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa- Nya”.51 Firman Allah dalam surat al- Insan ayat 8 yakni:
َويُطْعِ ُمو َن الطَّ َع َام َعلَى ُحبِّ ِه ِم ْس ِكْي نًا َويَتِْي ًما َوأ َِسْي ًرا
“Dan mereka memberikan makan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan”.52
Ada riwayat yang menyatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa yang dialami oleh Sayyidina Ali ra. bersama istri beliau Fatimah serta kedua putra mereka Sayyidina al- Hasan dan al- Husain yang selama 51 52
DEPAG RI, Al- Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta, 1971, hlm. Ibid, hlm.
30
tiga hari berturut- turut memberi makan, pada hari pertama kepada orang miskin, hari kedua kepada anak yatim dan hari ketiga pada tawanan.53 Firman Allah dalam surat al- Ma‟un ayat 1-3 yaitu:
ِ ِ َّأَرءيت ال ِّ ﴾۲﴿ ك الَّ ِذى يَ ُدعُّ الْيَتِْي َم ذ ك ي ى ذ َ َ ﴾ فَذل۱﴿ ب بِالدِّيْ ِن َ َْ َ ُ ُ ِ ْ ض َعلى طَ َع ِام الْ ِمس ِك ﴾۳﴿ ي ُّ َُوََل ََي ْ “Tahukah kamu (orang) yang mendustaka agama?. Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”.54 Firman Allah dalam surat
﴾ َوََل َتض ُّْو َن َعلَى طَ َع ِام۱۱﴿ َك َّّل صلى بَ ْل ََّلتُ ْك ِرُم ْو َن الْيَتِْي َم ِ اْملِس ﴾۱۱﴿ ي ك َْ ْ
“Sekali- kali tidak demikian, sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin”.55
Maksud ayat diatas yaitu bahwa anak yang terlantar (laqith) mencakup didalamnya yatim dan miskin. Seorang anak terlantar dianggap yatim karena kehilangan orang tuanya dan orang yang menjaganya, dan dianggap miskin karena dia hanya tinggal ditanah dan dipinggir pantai. Oleh sebab itu dia lebih berhak untuk mendapatkan kelembutan dan perhatian yang selayaknya. Jadi kewajiban umat Islam terhadap mereka sama seperti kewajiban terhadap fakir miskin dan anak yatim. Karena umat Islam akan mendapatkan sangsi yang berat bila tidak memperhatikan mereka itu.
53
M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 572 Ibid, hlm.1108 55 Ibid, hlm.1058 54
31
Sedangkan tanggung jawab perawatan anak tersebut ada ditangan orang yang menemukannya jika ia dapat dipercaya. Karena Umar ra. menyetujui ketika Abu Jamilah mengambil anak temuaan, karena Umar tahu bahwa Abu Jamilah adalah orang yang shaleh. Lalu Umar berkata kepadanya:” perwaliannya ada padamu”. Disamping itu, Abu Jamilah adalah orang pertama yang menemukan anak tersebut, sehingga ia berhak menjadi walinya.56 Jika orang yang menemukannya tidak layak untuk merawatnya, seperti oarang kafir atau orang fasik. Sedang anak tersebut adalah orang muslim, maka penguasa muslim tidak boleh menyetujuinya apabila anak tersebut dirawat oleh orang kafir atau orang fasik. Dikarenakan orang kafir atau orang fasik tidak bisa menjadi wali bagi orang muslim dan bisa merusak agama anak tersebut. C. Kedudukan Laqith dari Segi Agama Jika laqith ditemukan di wilayah Islam (daarul Islam) ataupun di wilayah kafir tetapi di wilayah tersebut banyak orang- orang muslim, maka anak tersebut dihukumi
sebagai muslim. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah:
ُك ُّل َمولُْود يُ ْولَ ُد َعلَى الْ ِفطَْرِة
“Semua bayi dilahirkan atas fitrah (kesucian)”.
Sedangkan jika ditemukan di wilayah yang didalamnya hanya terdapat orang- orang kafir saja ataupun wilayah tersebut jumlah orang- orang muslim 56
529
Saleh Al- Fauzan, Fiqih sehari- hari (Jakarta: Gema Insani Perss, 2005), cet.I., hlm.
32
hanya sedikit, maka anak tersebut dihukumi kafir sebagaimana wilayah tersebut.57 Pada dasarnya anak temuan adalah merdeka baik laki- laki maupun perempuan, ini adalah diriwayatkan dari Umar dan Ali, telah diriwayatkan dari keduanya bahwa keduanya menghukumi anak temuan adalah merdeka. Karena pada dasarnya dia itu merdeka
dan termasuk bani Adam dan
manusia semua adalah anak cucu Adam alaihis salam dan Hawa, karena keduanya adalah merdeka dan orang yang lahir dari orang merdeka hukumnya merdeka. Adapun terjadi perbudakan bagi yang menentang, maka wajib beramal dengan aslinya yaitu merdeka dan keadaan anak temuan adalah merdeka, sampai ada ketetapan bahwa anak temuan adalah budak. Oleh karena itu, kalau multaqith (orang yang memungut) mengklaim bahwa anak temuan itu tidak merdeka akan tetapi dia adalah budaknya, itu tidak benar setelah diketahui bahwa dia adalah anak temuan, karena dia dihukumi merdeka menurut dhohirnya dan karena aslinya adalah merdeka sampai ditetapkan sebaliknya, maka tidak bisa dibatalkan dengan perkataan multaqith saja. Karena kedudukan multaqith adalah sebagai penjaganya atau pelindungnya, maka tidak mungkin berubah kedudukannya menjadi pemilik hanya dengan perkataannya tanpa ada hujjah. Menurut Imam Malik, Imam Syafi‟i dan Imam Hambali, apabila ditemukan anak yang dibuang orang tuanya di jalan (laqith) dalam negara Islam maka laqith tersebut di hukumi sebagai muslim. Sedangkan menurut
57
Ibid
33
Imam Hanafi, jika ia ditemukan didalam gereja atau rumah peribadatan Yahudi atau disuatu desa diperkampungan orang- orang dzimmi, maka dia di hukumi sebagai seorang dzimmi (orang kafir yang dijamin negara Islam).58 Status anak temuan adalah merdeka dalam semua hukum yang berkaitan dengan manusia, karena status merdeka adalah hukum asal bagi manusia, sedangkan perbudakan adalah sesuatu yang datang setelahnya. Sehingga, jika tidak diketahui statusnya maka yang diberlakukan atasnya adalah hukum asal tersebut. Apabila didapati anak kecil didalam negara Islam, maka ia dipandang sebagai anak yang merdeka dan muslim. Menurut Imam Malik dan Imam Hambali apabila laqith sesudah baligh ia menolak untuk memeluk agama Islam, maka ia tidak dapat ditetapkan sebagai muslim dan apabila tetap enggan tidak mau memeluk agama Islam, maka ia boleh dibunuh. Menurut Imam Hanafi ia dikenai had dan tidak perlu dibunuh. Sedangkan menurut Imam Syafi‟i, hendaknya diterangkan kepadanya akan keburukan- keburukan kekafirannya. Tetapi jika ia tetap berpegang teguh pada pendiriannya, maka ia dihukumi sebagai seorang kafir.59
58 59
Abdullah Zaki Alkaf, Fiqih Empat Mazhab (Bandung: Hasyimi, 2012),hlm.298 Ibid
34
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Nasab Menurut Perspektif Hukum Islam Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia dan realistis. Ia menghadapi realitas kehidupan ini dengan kearifan yang mendidik, menjauhkannya dari sikap melampaui batas sekaligus dalam memandang masalah
nasab
laqith.
Dengan
didasarkan
kepada
pertimbangan-
pertimbangan manusiawi yang sangat penting, baik secara individu maupun sosial. Ia memperbolehkan merawat, medidik laqith akan tetapi ia tidak akan memperbolehkan seorang muslim untuk menasabkan laqith (anak temuan) terhadap multaqith (orang yang menemukan anak). Dalam hukum Islam asal usul seorang anak (nasab) dapat diketahui dari salah satu diantara tiga sebab yaitu: 1. Cara
al-
firasy,
yaitu
berdasarkan
kelahiran
karena
dilakukan
oleh
adanya
perkawinan yang sah. 2. Cara
iqrar,
yaitu
pengakuan
yang
seseorang
terhadap seorang anak dengan menyatakan bahwa anak tersebut adalah anaknya. 3. Cara bayyinah, yakni dengan cara pembuktian bahwa berdasarkan bukti- buktiyang sah.60
60
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta, kencana, 2008), Cet.II, hlm76.
34
35
Termasuk juga anak yang lahir dari wathi‟ syubhat dan anak yang lahir dari nikah fasiq. Dengan ini dapat diketahui bahwa dalam hukum Islam anak dibagi kepada dua bagian, yaitu anak yang diketahu hubungan darah dengan bapaknya. Anak yang tidak diketahui hubungan darah dengan bapaknya dengan sendirinya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu yang melahirkannya dan bisa mempunyai hubungan keperdataan dengan bapaknya, jika bapaknya itu telah mengakuinya.61 Apabila pengakuan anak telah dilaksanakan oleh seseorang sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh hukum Islam, maka akan lahir akibat hukum yaitu timbulnya pertalian nasab antara yang mengakui dengan yang diakui, anak yang diakui tersebut menjadi anak yang sah menurut hukum Islam dan sama kedudukannya dengan anak hasil perkawinan sah dalam segala hal dan kewajiban yang timbul dari padanya. Khusus pengakuan anak untuk orang lain, jika dibantah oleh anak yang diakuinya dan tidak ada bukti yang menguatkan pengakuannya, maka tidak ada akibat hukum dari padanya seperti hak kewarisan dan pertalian nasab, hubungannya hanya sebatas hak kekeluargaan saja seperti hak memberi nafkah, memelihara dan memberikan pendidikan secukupnya. Untuk melakukan pengakuan anak tidak ada pembatas waktu. Seseorang dapat saja melakukan pengakuan anak kapan saja, bahkan pada saat anak yang diakui itu telah meninggal duniapun pengakuan itu dapat dibenarkan. Hanya saja dalam hal yang terakhir ini hukum Islam sangat
61
Ibid.,hlm.78.
36
bersikap hati- hati, jangan sampai pengakuan itu mengakibatkan timbulnya kemadharatan pada pihak lain sebab sebagian besar pengakuan yang dilakukan setelah anak itu meninggal biasanya bermotif harta warisan bukan motif yang lain.62 Disamping itu, harta warisan anak temuan setelah dia dewasa dan belum berkeluarga menjadi milik Baitul Maal. Ini jika dia belum menikah sehingga tidak punya anak istri, jika dia sudah berkeluarga maka anak istrinya adalah orang yang paling berhak kepadanya. Demikian pula ketika anak temuan ini seorang perempuan yang hendak menikah, maka yang menjadi walinya adalah hakim (KUA). Tentang anak temuan (laqith) apabila ada orang yang menemukannya wajib hukumnya untuk memungut anak tersebut. Apakah anak itu akan dirawat sendiri atau dirawat oleh orang lain. Adapun tentang nasab anak temuan tersebut tidak dapat dinisbahkan kepada orang yang memungutnya (multaqith). Jika orang yang menemukan hendak menjadikannya sebagai anak, maka diperbolehkan dengan jalan ilhaq nasab yaitu dengan mengikutkan anak pada nasab orang yang menemukannya. Bisa jadi itu akan lebih baik baginya, sehingga anak tersebut memiliki nasab bersambung, disamping hal ini tidak membahayakan orang lain. Ketentuan ini dengan syarat tidak ada keterangan tentang nasabnya dan tidak ada orang yang mengklaim nasabnya.
62
Abdul Manan, Op. Cit., hlm. 95
37
Hukum ilhaq nasab berbeda dengan adopsi anak yang dilarang dalam hukum Islam. Karena adopsi anak, telah diketahi nasab dari anak yang didopsi, sehingga tidak boleh dinisbahkan kepada ayah angkat. Demikian juga untuk kasus anak hasil zina, dia tidak boleh dinasabkan kepada bapak biologisnya, karena nasab anak tersebut disambungkan kepada ibunya. Begitu juga dengan laqith yang ditemukan oleh seseorang dan orang yang menemukan anak tersebut yakin dan mengakui bahwa anak yang ditemukan itu adalah anaknya dengan ciri yang ada, maka nasab anak tersebut dapat dinisbahkan kepada orang yang menemukannya (multaqith). Disamping itu untuk menjaga kehormatan dan memuliakan kehidupan anak diantara masyarakat dengan menisbahkannya pada ayah yang diketahuinya. Ketika ditentukan nasabnya, maka harus ditetapkan juga hak- haknya sebagai seorang anak baik berupa nafkah, pendidikan dan hak waris. Apabila tidak ada orang yang mengakui anak tersebut sebagai anaknya, maka laqith tetap berada ditangan orang yang menemukannya. Orang tersebut menjadi walinya dan berkewajiban mendidik, memberikan pengetahuan yang bermanfaat supaya anak tersebut tidak menjadi beban masyarakat. B. Nasab Menurut Pendapat Imam Madzhab Empat Imam Madzhab adalah seorang Imam yang menghasilkan ijtihad suatu permasalahan hukum ataupun tentang kaidah- kaidah Istimbath.63
63
M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab Fiqih, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), Cet.I., hlm.1
38
Kalau kita perhatikan dalam menetapkan suatu hukum, adakalanya terdapat perbedaan pendapat antara Imam Madzhab, walaupun sama- sama merujuk kepada Al- Qur‟an dan Sunnah Rasulullah disamping sumber lainnya, baik yang muttafaq alaih maupun yang mukhtalaf fiih. Jalan pikiran Imam Mujtahid inilah yang perlu kita lihat dan telaah kemudian membanding- bandingnya lebih baik lagi, apabila kita mengetahui latar belakang ataupun dasar seorang Mujtahid menetapkan suatu hukum. Mungkin karena dipengaruhi oleh lingkungan atau masa, disamping sumber hukum yang dipergunakan sebagaimana permasalahan suatu hukum nasab. Dalam semua Imam Madzhab makna paling utama dari nasab adalah menyangkut sisi bapak yang erat kaitannya dengan legitimasi dimana anak memperoleh identitas hukum dan agamanya. Nasab seorang anak dapat diketahui, salah satunya yaitu dengan cara iqrar (pengakuan) atau gugatan terhadap anak. Jika seorang laki- laki mengakui bahwa seorang anak kecil adalah anaknya, maka pengakuan itu dapat dibenarkan dan nasabnya dapat diikutkan pada lelaki tersebut, namun harus memenuhi syarat. Adapun salah satu syarat tersebut adalah apabila anak yang diakui itu telah baligh dan berakal atau telah mumayyiz (menurut ulama Madzhab Hanafi) membenarkan pengakuan tersebut. Namun syarat tersebut tidak diterima Ulama Madzhab Maliki, karena menurut mereka nasab merupakan hak dari anak bukan ayah.64
64
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum pengangkatan Anak Perspektif Hukum Islam (Jakarta: Kencana, 2008), cet.I, hlm.188
39
Ulama fiqih kemudian berbeda pendapat, apakah anak yang diakui disyaratkan harus hidup sehingga pengakuan nasab dianggap sah. Ulama Madzhab Hanafi mensyaratkan bahwa anak yang diakui sebagai nasabnya harus dalam keadaan masih hidup. Apabila anak yang diakui telah wafat, maka pengakuannya dianggap tidak sah karena nasab anak tidak bisa dinasabkan kepada orang yang memberi pengakuan. Namun Ulama Madzhab Maliki tidak mensyaratkan bahwa anak yang diakui nasabnya harus hidup. Menurut mereka sekalipun anak yang diakui telah wafat dan pengakuan yang diberikan memenuhi syarat, maka nasab anak tersebut bisa dinasabkan pada orang yang mengakuinya. Ulam Madzhab Syafi‟i dan Hambali menyatakan bahwa disamping telah memenuhi syarat- syarat tersebut namun diperlukan syarat lagi, yaitu pengakuan itu juga datang dari seluruh ahli waris orang yang mengakui dan orang yang mengaku telah wafat .65 Selai dengan cara iqrar, nasab seorang anak dapat diketahui dengan cara bayyinah (pembuktian). Menurut Imam Abu Hanifah alat bukti yang dibutuhkan adalah pengakuan dua orang laki- laki atau satu orang laki- laki dan dua orang wanita. Menurut Ulama Madzhab Maliki pengakuan harus dikemukakan oleh dua orang laki- laki saja. Sedangkan menurut Ulama Madzhab Syafi‟i, Madzhab Hambali pengakuan itu harus datang dari seluruh ahli waris yang mengaku.66 Orang Islam yang menemukan anak temuan (laqith) dapat melakukan pengakuan terhadap anak tersebut sebagai anak kandungnya. Apabila pihak 65 66
Ibid Ibid, hlm. 189
40
yang menemukan anak tersebut telah mengikrarkan pengakuannya, maka sahlah anak tersebut sebagai anaknya sendiri dan sah pula pertalian nasab anak tersebut dengan orang yang mengakuinya meskipun pengakuan tersebut dilawan oleh orang lain dengan menunjukkan bukti- bukti yang kuat dan meyakinkan. Namun menurut Imam Malik pengakuan tersebut tidak sampai menimbulkan nasab yang sah, kecuali yang menemukan anak tersebut mempunyai alasan dan bukti yang dibenarkan oleh hukum Islam. Jika hal ini dapat dilaksanakan oleh orang yang menemukan anak tersebut, maka sahlah anak tesebut sebagai anak kandungnya dan mempunyai akibat hukum keperdataan dalam bidang kewarisan, perwalian dan sebagainya.67
67
Abdul Manan,. Op. Cit., hlm. 95- 96
41
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan dan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Laqith adalah anak kecil yang belum baligh yang ditinggalkan atau dibuang oleh keluarganya karena takut kemiskinan atau menghindari tuduhan zina dan ditemukan orang dijalan dan tidak diketahui keluarganya. Seseorang tergolong sebagai orang hilang, ketika dia tidak mampu mengurusi dirinya sendiri, baik karena masih kecil atau akalnya yang kurang sehat, sementara tidak diketahui walinya atau nasabnya. Karena itu, bukan disebut orang hilang ketika dia masih mampu mengurusi dirinya sendiri atau mereka yang bisa pulang ke daerahnya.
2.
Hukum bagi orang yang menemukan anak temuan (laqith) yaitu fardhu kifayah, sehingga jika sudah ada orang yang merawatnya dengan kadar mencukupi, maka itu menggugurkan kewajiban yang lainnya. Jika tidak ada satupun yang bersedia merawat, padahal memungkinkan untuk dilakukan, maka semua masyarakat di tempat itu berdosa.
3.
Kedudukan anak temuan (laqith) dari segi agama islam yaitu: Jika laqith ditemukan di wilayah Islam ataupun diwilayah kafir tetapi diwilayah tersebut banyak orang- orang muslim, maka anak tersebut dihukumi sebagai muslim.
41
42
Jika ditemukan diwilayah yang didalamnya hanya terdapat orangorang kafir saja ataupun wilayah tersebut jumlah orang- orang muslim hanya sedikit, maka anak tersebut dihukumi kafir sebagaimana wilayah tersebut. B. Saran- Saran Penentuan nasab merupakan salah satu hak seorang anak yang terpenting dan merupakan sesuatu yang banyak memberikan dampak terhadap kepribadian dan masa depan anak. Seorang anak seharusnya mengetahui tentang keturunannya, sebab asal usul yang menyangkut keturunannya sangat penting untuk menempuh kehidupannya dalam masyarakat. Nikah merupakan jalan untuk menentukan dan menjaga asal usul (nasab) seseorang. Dalam pengertian, nasab seseorang hanya bisa dinisbahkan kepada kedua orang tuanya kalau ia dilahirkan dalam pernikahan yang sah. Penetapan nasab menpunyai dampak yang sangat besar terhadap individu, keluarga dan masyarakat. Sehingga setiap individu berkewajiban merefleksikannya dalam masyarakat, dengan demikian diharapkan nasab atau asal usulnya menjadi jelas. Disamping itu, dengan ketidak jelasan nasab dikhawatirkan akan terjadi perkawinan dengan mahram. Untuk itu Islam mengharamkan untuk menisbahkan nasab seseorang kepada orang lain yang bukan ayah kandungnya.
43
Begitu pula, jika ada orang tua yang nekad membuang anak atau menitipkan kepada seseorang kemudian orang tuanya menghilang dan ada pula yang meletakkannya dipinggir jalan atau ditempat lainnya, adakalanya karena aib ataupun tidak mampu membiayai dan mendidik anaknya itu. Bahkan ada yang tega menjual anaknya, karena dihimpit penderitaan dengan harapan mungkin anaknya dapat terawat dengan baik ditangan orang. Agar kejadian seperti yang dikemukakan diatas itu tidak terjadi pada para remaja terutama untuk perempuan, itu harus berhati- hati dalam mencari teman jangan sampai mempunyai pergaulan bebas dan para orang tua harus mengontrol anak gadisnya supaya tidak terjerumus kedalam perbuatan zina. Begitu pula agar tidak terjadi dalam masyarakat, maka masalah ekonomi masyarakat perlu mendapat perhatian. Kemiskinan dan penderitaan perlu di perangi dan dihapus. C. Penutup Ucapan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah- Nya. Hanya dengan pertolongan dan bimbingannya, penulis dapat menyelesaikan tugas akademis ini yaitu penulisan skripsi sebagai syarat meraih gelar Sarjana Program Strata 1 dalam bidang al- Ahwal al- Syakhshiyyah pada Fakultas Syari‟ah UNISNU Jepara. Penulis menyadari bahwa skripsi ini baik isi atau pembahasannya sangat sederhana, banyak terdapat kekurangan- kekurangan dan jauh dari kesempunaan walaupun penulis telah berusaha semaksimal mungkin. Hal ini disebabkan keterbatasan yang ada pada penulis, baik dari segi waktu, tenaga,
44
biaya dan lain sebagainya. Begitu juga dangkalnya pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis dengan rendah hati mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kasempurnaan skripsi ini. Dalam kesempatan ini pula, penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini. Akhirnya kepada Allah SWT semata-mata semua ini dapat terwujud. Sebagai penutup penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan, serta penulis berdo‟a kepada Allah SWT semoga karya yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi diri penulis khususnya dan para pembaca umumnya. Amin Ya Rabbal Alamin. `
45
DAFTAR PUSTAKA
Alam, Andi Syamsu dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta: Kencana, 2008. Al- Bagha, Daib, Matan Ghoyah Wattaqrib, Semarang: Toha Putra, 1993. Alfauzan, Saleh, Fiqih Sehari- hari, Jakarta: Gema Insani Press, 2005. Alkaf, Abdullah Zaki, Fiqih Empat Mazhab, Bandung: Hasyimi, 2012. DEPAG, Al- qur‟an dan terjemahnya, Jakarta, 1971. Al- qurtubi, Ibnu Rusyd, Bidayatu al- Mujtahid Wa Nihayatu al- Muqthasid Mesir: Bab al- Halabi, 1960. Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Az- Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Jakarta: Gema Insani, 2011. Barkatullah, Abdul Halim , Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah Al- Haditsah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996. Hasan, M. Tolhah, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta: Lantarbora Press, 2003.. Hasbi Ash- Shiddieqy, Teungku Muhammad, Fiqih Mawaris, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010. Kamil, Ahmad dan M. Fauzan, Hukum perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010.
46
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008. Masyhuru, dan M.zainuddin, Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dan Aplikatif, Bandung: PT Refika Aditama, 2009. Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004. Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasi dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung: PT. Refika Aditama, 2005. Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, 2001. Partanto, Pius A., dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994. Pelayanan Terpadu Penanganan Kekerasan terhaadap Perempuan dan Anak Berbasis Gender, Semarang: Seruni, 2002. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1960. Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994. Shihab, M. Quraish, Tafsir Al- Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002. UUD 1945 dan Amandemennya , Solo: Sendang Ilmu, 2009- 2014. Qosim, Ibnu, Attaqrib, Surabaya: Al- Hidayah, t.t.