BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Revolusi Mental berasal dari dua kata yaitu “revolusi” dan “mental”. Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang cukup mendasar yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok pokok kehidupan masyarakat, sedangkan mental memiliki arti yang berhubungan dengan watak dan batin manusia. Revolusi Mental sama halnya mengubah sikap hidup yang mau mengalah untuk menang. Biasanya masih banyak mentalitas yang tidak mau mengalah untuk menang. Kemenangan apapun selalu disikapi arogan karena yang diburu bukan mengalah untuk menang (Endraswara, 2015). Revolusi mental mengubah cara pandang, pikiran, sikap dan perilaku masyarakat yang berorientasi pada kemajuan dan kemodernan dengan mengangkat kembali nilai-nilai luhur bagi pembangunan sosial masyarakat. Gagasan revolusi mental di Indonesia pernah disampaikan oleh Presiden Soekarno dan digaungkan kembali oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraannya pada tanggal 14 Agustus 2014 dengan membuat Gerakan Nasional Revolusi Mental yang mempunyai tujuan untuk membangun jiwa bangsa yang berkarakter dan berkepribadian. Kepemimpinan merupakan titik sentral dan penentu kebijakan dari kegiatan yang akan dilaksanakan dalam organisasi. Slamet (2002, 29) mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan. Kepemimpinan merupakan suatu kemampuan,
1
2
proses, fungsi, pada umumnya untuk memengaruhi orang-orang agar berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pakeliran atau Wayangan adalah suatu kegiatan yang mempertunjukkan atau mementaskan suatu sajian cerita dengan menggunakan materi utama wayang yang dilakukan oleh dalang. Kegiatan ini melibatkan berbagai unsur yaitu unsur peraga, unsur materi, unsur alat dan unsur pendukung (Soetarno, 2005:214-215). Garap sedalu natas merupakan sebuah pertunjukan wayang yang dilakukan dalam waktu semalam suntuk atau sepadan dengan waktu 9 jam. pertunjukan dimulai dari pukul 21.00 sampai 06.00 pagi. Waktu tersebut apabila tidak ditepati, maka pertunjukan wayang menjadi cacat yakni kebogelan (tidak sampai waktunya) dan karahinan atau kawanan (melebihi batas waktu yang ditentukan) (Nojowirongko, 1960: 57). Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama” Karya Ki Purbo Asmoro merupakan hasil transkripsi Kathryn Emerson dari rekaman pementasan wayang oleh Ki Purbo Asmoro yang di gelar pada tanggal 27 Oktober 2007 di Halaman Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Teks ini memiliki 180 halaman dari ketiga garapannya yang diterbitkan oleh Yayasan Lontar pada tahun 2013 dengan nomor ISBN: 978-602-9144-02-4. Lakon Makutharama ini merupakan lakon carangan Mahabarata yang mengisahkan tentang pencarian wahyu Makutharama yang diajarkan oleh Begawan Kesawasidhi (jelmaan Prabu Kresna) kepada Raden Arjuna di pertapaan Kutharungu melalui ajaran Hasthabrata. Bermula dari Resi Bisma yang meminta Prabu Duryudana untuk berbuat kebaikan agar mendapakan anugerah Pepakem Makutharama untuk mengakhiri kenistaan pada Negeri Astina. Kenyataanya
3
permintaan kakeknya tersebut ditolak oleh Duryudana dan memberikan kesempatan kepada Adipati Karna. Merasa mendapatkan kesempatan yang berharga, Adipati Karna pun segera berangkat ke Gunung Swelagiri. Pertengahan jalan memasuki hutan, ia bertemu dengan Anoman yang memang ditugaskan oleh Begawan Kesawasidi. Adipati Karna mengungkapkan kedatangannya dan terjadi kesalahpahaman dengan Anoman. Ia merasa terdesak dan melepaskan panah Kunthawijayadanu merasa gagal menjalankan tugasnya dan malu untuk kembali ke Astina. Sementara di pihak Pandhawa, Arjuna juga mencari Makutharama ditemani oleh Punakawan. Perjalanannya ke Kutharungu, ia dihadang oleh para raksasa dan ia pun dapat mengalahkannya. Arjuna kemudian bertemu dengan Begawan Kesawasidhi. Arjuna dianggap sebagai orang yang pantas menerima ajaran Hasthabrata, maka keturunan Arjunalah yang akan menurunkan raja-raja di Tanah Jawa. Ajaran Asthabrata merupakan sebuah ajaran untuk pedoman pemimpin melalui gambaran alam semesta. Ki Purbo Asmoro adalah seorang dalang yang dikenal sejak tahun 1990-an. Ia dikenal sebagai seorang dalang yang mempunyai prinsip harus berpijak di atas semua kelompok dan golongan. Ki Purbo Asmoro juga dikenal sebagai dalang yang aktif dalam kepengurusan GANASIDI (Lembaga Seni Pedalangan Indonesia) dan Yayasan Sesaji Dalang. Beliau juga sering mendalang dan memberikan workshop keberbagai negara antara lain Inggris, Austria, Yunani, Amerika, dan sebagainya. Penelitian terdahulu yang dapat dijadikan sebagai referensi dalam penelelitian ini, sebagai berikut:
4
1. Emmy Nur Issae Fitri, Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya UNS (2015), dengan judul “Ajaran Kepemimpinan Asthabrata dalam Serat Rama karya R.Ng. Yasadipura (Kajian Estetika Resepsi Berdasarkan Horison Harapan Robert Jauss). 2. Cahyo Utomo, FKIP Pendidikan Bahasa dan Seni UNS (2011) dengan judul “Naskah Drama Barabah Karya Motinggo Busye (Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan)”. 3. Astiana Ajeng Rahadini, FKIP Bahasa Jawa UNS dengan judul “Revolusi Mental melalui Piwulang Luhur dalam Naskah Wayang Kulit Purwa Lakon “Bawor dadi Ratu” sebagai Pemateri Pembelajaran Bahasa Jawa. Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama” karya Ki Purbo Asmoro ini menarik untuk diteliti karena kisahnya mampu memberikan acuan masyarakat dalam memahami tema revolusi mental kepemimpinan yang yang berkarakter dan berkepribadian demi kejayaan bangsa. Pendekatan yang akan digunakan dalam melakukan penelitian ini yaitu pendekatan Sosiologi Sastra. Sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dan masyarakat, telaah tentang lembaga struktur sosial dan unsur-unsur sosial. Melalui sosiologi, pembaca mendapat gambaran tentang caracara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing (Damono, 1978: 6) Penelitian terfokus kepada kajian isi, tujuan serta beberapa hal lain yang tersirat di dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama” karya ki Purbo Asmoro berkaitan langsung dengan tema revolusi mental kepemimpinan dan perubahan sosial masyarakat yang tercermin melalui nilai-nilai
5
dan hal tersebut juga akan menjadi sumbangsih terhadap gagasan revolusi mental yang gencar dibicarakan pemerintahan sekarang. Hal ini membuktikan bahwa tema revolusi mental kepemimpinan yang terkandung dalam naskah-naskah pewayangan masih menarik dan masih mempunyai relevansi yang erat dengan kehidupan sekarang. Berdasarkan uraian di atas maka penulis mengambil judul “Tema Revolusi Mental Kepemimpinan dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama” karya Ki Purbo Asmoro (Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut: a. Bagaimanakah struktur Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama” karya ki Purbo Asmoro menurut Robert Stanton? b. Bagaimanakah tema revolusi mental kepemimpinan yang terkandung dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama” karya ki Purbo Asmoro? c. Bagaimanakah relevansi tema revolusi mental kepemimpinan dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama” karya ki Purbo Asmoro dengan kehidupan sekarang? C. Tujuan Masalah Tujuan yang ingin dicapai penulis pada penelitian ini adalah: a. Mendeskripsikan unsur-unsur struktur dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama” karya ki Purbo Asmoro.
6
b. Mendeskripsikan tema revolusi mental kepemimpinan berdasarkan karakter pemimpin dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama” karya ki Purbo Asmoro. c. Meendeskripsikan relevansi tema revolusi mental kepemimpinan dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama” karya ki Purbo Asmoro dengan kehidupan sekarang. D. Batasan Masalah Pembatasan masalah sangat penting dilakukan dalam sebuah penelitian karena akan mempengaruhi ketepatan sasaran, sehingga hal-hal yang tidak relevan dapat dihindarkan. Batasan masalah dalam penelitian ini adalah pada unsur struktur Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas lakon “Makutharama” karya ki Purbo Asmoro menurut Robert Stanton. Penulis menjabarkan tema revolusi mental kepemimpinan berdasarkan karakter pemimpin yang terkandung di dalamnya dan
merelevansikan tema tersebut dengan yang terjadi dengan
kehidupan sekarang. E. Landasan Teori 1. Teori Struktural Sastra Robert Stanton Pendekatan Struktur dipandang mampu mewujudkan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menemukan persamaan sekaligus perbedaan yang terjadi akibat pengadaptasian.Teori struktur yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori struktural Robert Stanton. Stanton membagi unsur struktur intrinsik fiksi menjadi tiga bagian yaitu fakta cerita, sarana cerita dan tema.
7
a. Fakta Cerita Fakta cerita terdiri dari tiga macam elemen yaitu tokoh, latar dan alur. Elemen-elemen tersebut berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita, apabila dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan “unsur factual” atau “tingkatan faktual cerita”. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita yang disorot dari satu sudut pandang (Stanton, 2007:22). Unsur-unsur yang berhubungan dengan fakta cerita adalah sebagai berikut. a) Alur Alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita. Alur biasanya terbatas oleh peristiwa kausal saja. Peristiwa kausal ini merupakan peristiwa yang menyebabkan atau yang menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain yang tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya (Stanton, 2007:26). Berbeda denga elemen lain, alur juga dapat diartikan sebagai punggung cerita. Alur dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang lebar dalam sebuah analisis. Dua elemen dasar yang membangun alur adalah “konflik” dan “klimaks”. Konflik utama selalu bersifat fundamental, membenturkan “sifat-sifat” dan “kekuatan-kekuatan” tertentu (Stanton, 2007:32). b) Tokoh atau Karakter Tokoh atau karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama ialah karakter yang merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita, sedangkan konteks kedua ialah karakter yang muncul dari berbagai percampuran, kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-
8
individu. Sebagian besar cerita dapat ditemukan satu “tokoh utama” yaitu tokoh yang berkaitan dengan semua peristiwa yang berlangsung, alasan seorang tokoh untuk bertindak dinamakan “motivasi” (Stanton, 2007: 33). c) Latar Latar adalah lingkungan yang meliputi sebuah peristiwa dalam cerita. Latar dapat berwujud dekor, waktu, berpengaruh dengan karakter dan terkadang merupakan representasi dari tema. Latar memiliki daya yang untuk memunculkan tone (atmosfer) yang merefleksikan suasana jiwa pada karakter dan mode emosional yang melengkapi karakter (Stanton, 2007:46-47). b. Sarana Cerita Sarana sastra adalah metode (pengarang) dan penyususan detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode ini dianggap perlu karena dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang (Stanton, 2007:46-47). Sarana cerita dalam teori Robert Stanton adalah sebagai berikut. a) Judul Judul merupakan kunci dari pada makna dalam sebuah cerita. Judul berhubungan langsung dengan keseluruhan isi cerita karena menunjukkan tema, latar dan karakter. Judul dalam karya sastra mempunyai tingkatantingkatan makna yang terkandung dalam cerita, bisa juga dapat berisi sindiran terhadap kondisi yang ingin dikritisi oleh pengarang satu atau merupakan kesimpulan terhadap keadaan yang sebenarnya dalam cerita. b) Sudut Pandang Sudut pandang menurut Stanton dalam bukunya membagi sudut pandang menjadi empat tipe diantaranya:
9
Orang pertama pelaku utama, pada tipe ini karakter menceritakan dengan kata-katanya sendiri;
Orang pertama pelaku sampingan, satu karakter bukan karakter utama yang dituturkan dalam cerita;
Orang ketiga terbatas, pengarang mengacu kepada semua karakter dan emosinya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu karakter saja.
Orang ketiga tidak terbatas, pengarang mengacu pada setiap karakter melihat, mendengar, atau berpikir atau saat tidak ada satu karakter pun hadir.
c) Gaya dan Tone Gaya ialah cara pengarang dalam menggunakan bahasa, meskipun dua orang pengarang memakai alur, karakter dan latar yang sama, tetapi hasil tulisan keduanya bisa berbeda. Perbedaan tersebut terletak pada bahan dan penyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang pendek kalimat, humor, detail, kekonkretan dan banyak imajinasi serta metafora. Campuran dari perbedaan tersebut akan menghasilkan gaya (Stanton, 2007:61). d) Simbolisme Simbolisme di dalam fiksi dapat memunculkan tiga efek yang masingmasing
bergantung
pada
bagaiman
simbol
bersangkutan
dalam
penggunaannya. Ketiga efek tersebut di antaranya: Pertama, sebuah simbol yang muncul pada suatu kejadian penting dalam cerita menunjukkan makna peristiwa; kedua, simbol yang ditampilkan berulang-ulang mengingatkan kita akan beberapa elemen konstan dalam semesta cerita; ketiga, sebuah simbol
10
muncul pada konteks yang berbeda-beda akan membantu kita menentukan tema (Stanton, 2007:65). Salah satu bentuk simbol yang khas adalah “momen simbolis” atau yang biasa disebut dengan “momen kunci” atau “momen pencerahan” yang merupakan tabula tempat seluruh detail yang terlihat dan hubungan fisis mereka dibebani makna (Stanton, 2007:68). e) Ironi Ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya. Ironi dapat ditemukan dalam hamper semua cerita. Menurut Stanton, (2007:71-72) menyebutkan bahwa ironi dibagi menjadi dua jenis yaitu: Ironi dramatis, biasanya muncu melalui kontras diametris antara penampilan dan realitas, antara maksud dan tujuan karakter, atau antara harapan dengan yang terjadi sebenarnya. Tone
Ironi,
digunakan
untuk
menyebut
cara
berekspresi
yang
mengungkapkan suatu makna dengan cara kebalikan. c. Tema Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia, sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Bagian awal dan akhir akan menjadi pas, sesuai dan memuaskan berkat keberadaan tema (Stanton, 2007:36-37). Tema menurut Stanton (2007: 44-45) mempunyai kriteria-kriteria di antaranya:
11
Interpretasi yang baik hendaknya selalu mempertimbangkan berbagai detail menonjol dalam sebuah cerita. Kriteria ini adalah yang paling penting;
Interpretasi yang baik hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai detail cerita yang saling berkontradiksi;
Interpretasi yang baik hendaknya tidak sepenuhnya bergantung pada buktibukti yang tidak jelas diutarakan (secara implisit).
Interpretasi yang dihasilkan hendaknya diujarkan secara jelas oleh cerita bersangkutan.
2. Definisi Revolusi Mental Revolusi secara sederhana dapat dimaknai dengan perubahan yang mendasar (Steven, 2000:1367). Brinton (1958:3) dalam tulisannya yang berjudul “The Anatomy of Revolution” mengemukakan bahwa penggunaan nomina revolusi dan adjektiva revolusioner mengindikasikan beragam jenis perubahan. Makna perubahan ini berkembang pada beragam bidang di antaranya ekonomi, sosial, budaya, agama atau pun politik dapat dipastikan bahwa makna revolusi akan mengalami perluasan cakupan pada bidang-bidang tersebut. Menurut Mao (1967) revolusi merupakan suatu perubahan sosial yang bersifat kontinyu. Terjadinya revolusi tergantung pada kehendak revolusioner masing-masing. Revolusi Mao merupakan salah satu dari sekian tahap perubahan masyarakat yang dilaksanakan sehingga akan mencapai sosialisme sebagai citacita akhir masyarakat. Pengertian mental secara definitif belum ada kepastian yang jelas dari para ahli kejiwaan. Secara etimologi kata “mental” berasal dari bahasa Yunani yang mempunyai arti kesamaan pengertian dengan psyche, yang artinya kejiwaan
12
(Moeljono, 2001:21). Mental dapat dipahami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan batin dan watak atau karakter, tidak bersifat jasmani. Demikian mental merupakan hal-hal yang berada dalam diri manusia yang terkait dengan psikis atau kejiwaan yang dapat mendorong terjadinya tingkah laku dan membentuk kepribadian. Mental yang sehat akan melahirkan tingkah laku maupun kepribadian yang sehat pula. Sigmund Freud memberikan definisi bahwa kepribadian yang sehat adalah adanya keseimbangan antara dorongan-dorongan dan motif-motif tiap bagian jiwa dalam pemuasannya. Berdasarkan kedua pengertian di atas, revolusi mental merupakan sebuah perubahan yang mendasar yang berkaitan dengan kejiwaan masyarakat untuk mendorong terjadinya tingkah laku dan membentuk kepribadian masyarakat yang berkarakter
dan
berkepribadian.
Munculnya
gagasan
revolusi
mental
memperlihatkan bahwa mentalitas masyarakat belum kuat atau semakin akut. Revolusi mental dilihat dari strategi budaya dapat dilakukan dengan membangun dan menanamkan pandangan serta keyakinan keagamaan, nilai-nilai, normanorma, dan aturan-aturan yang sejalan dengan mentalitiet anti seperti: anti kebodohan, anti kesenjangan, anti rendah diri dan merendahkan, dan anti kerusuhan (Ahimsa, 2015: 13). Revolusi Mental berdasarkan nilai-nilai merupakan patokan atau kriteria untuk menentukan baik-buruknya sesuatu sebagai contohnya adalah nilai akan kemandirian. Kemandirian tidak dipandang sesuatu yang ideal karena seseorang yang mandiri tidak akan meminta bantuan orang lain. Perubahan nilai kemandirian merupakan perubahan yang mendasar karena akan sangat mengubah hubungan seseorang dengan lingkungan sosialnya (Ahimsa, 2015: 14).
13
Menurut Supriyanto (2015: 181) cara mewujudkan revolusi mental ada dua yaitu melalui pendidikan karakter dan rekontruksi sosial. Pertama, pendidikan karakter dianggap penting karena dapat dipertanggungjawabkan secara moral, etika, religious, ilmiah dan jujur. Karakter dapat dibentuk melalui beberapa hal di antaranya kejujuran, keterbukaan, keberanian mengambil resiko, bertanggung jawab, komitmen, dan kemampuan berbagi (sharing). Kedua, rekonstruksi sosial dapat diartikan sebagai pemahaman untuk memusatkan perhatian
pada masalah-masalah sosial
dalam masyarakat.
Rekontruksi sosial dapat mewujudkan sebuah pembaharuan akan cermin keteladanan dari masyarakat. Melalui rekonstruksi sosial, masyarakat dapat menyelesaikan masalah-masalah sosialnya dan membentuk masyarakat yang baru dan lebih baik tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur suatu kebudayaan (Supriyanto, 2015: 182). 3. Teori Kepemimpinan Kepemimpinan merupakan komponen fundamental di dalam menganalisis proses dan dinamika di dalam organisasi. Menurut Katz dan Khan (dalam Watkin, 20: 1992) mengemukakan bahwa kepemimpinan diklasifikasikan menjadi tiga kelompok besar di antaranya “sebagai atribut atau pelengkap suatu kedudukan, sebagai karakteristik seseorang, dan sebagai kategori perilaku”. Kepemimpinan berkaitan dengan anggota yang memiliki kekhasan dari suatu kelompok yang dapat dibedakan positif dari anggota lainnya baik dalam perilaku, karakteristik, kepribadian, pemikiran atau struktur kelompok. Pemahaman akan kepemimpinan harus berdasarkan keyakinan bahwa pemimpin yang baik harus memiliki karakteristik bawaan dari lahir yang baik juga
14
menyangkut ciri fisik maupun kepribadian, motivasi dan ketrampilan. Menurut Koentjaraningrat, kepribadian merupakan ciri dari watak seseorang yang terbentuk sejak lahir dan menjadi latar belakang terbentuknya tingkah laku. kepribadian terdiri dari lima hal yaitu: 1) Tingkat semangat (energi), 2) Percaya diri, 3) Tahan stress, 4) Kedewasaan emosi, dan 5) Integritas Motivasi merupakan kondisi internal dan eksternal dalam diri seseorang yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu. Motivasi juga dapat diartikan sebagai hasrat dan minat seseorang untuk bertindak dalam menghadapi dampak dari interaksi seseorang. Motivasi terdiri dari: 1) Orientasi kekuasaan terisolasi, 2) Kebutuhan berprestasi kuat, 3) Kurang memerlukan afiliasi, dan 4) Kebanggaan diri Karakteristik selanjutnya ialah Keterampilan. Menurut Dunnette (1976:33) mengemukakan
bahwa
keterampilan
merupakan
sebuah
kapasitas
yang
dibutuhkan dalam melaksanakan beberapa tugas dari pengembangan hasil percobaan dan pengalaman yang didapat. Keterampilan terdiri dari empat kategori di antarannya: 1) Keahlian dasar, keahlian yang wajib dimiliki seseorang,
15
2) Keahlian teknik, keahlian seseorang dalam pengembangan teknik yang dimiliki, 3) Keahlian interpersonal, kemampuan seseorang untuk berinteraksi, dan, 4) Penyelesaian masalah, proses aktifitas untuk beragumentasi, menajamkan logika. 4. Teori Sosiologi Sastra Sastra merupakan karya seni yang mencerminkan ekspresi kehidupan manusia. Antara karya sastra dengan sosiologi sebenarnya merupakan dua bidang yang berbeda, tetapi keduanya saling melengkapi. Sosiologi tidak hanya menghubungkan manusia dengan lingkungan sosial budayanya, tetapi dengan alam (Fananie, 2000:132). Sosiologi sastra adalah penelitian terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan keterlibatan struktur sosialnya. Penelitian sosiologi sastra, baik dalam bentuk penelitian ilmiah maupun aplikasi praktis, dilakukan dengan cara mendeskripsikan, memahami, dan menjelaskan unsur-unsur karya sastra dalam kaitannya dengan perubahan. Perubahan struktur sosial yang terjadi di sekitarnya (Ratna, 2003:26). Sosiologi sastra memahami karya seni sebagai kesatuan yang utuh. Artinya, sebagai gejala alamiah yang secara totalitas, pertama, ditopang oleh pengarang, semestaan yang diacu, dan masyarakat pembaca. Kedua, yang lebih utama, karya seni tersebut, secara hakiki adalah totalitas yang otonom (Ratna, 2003:292-293). Sosiologi mempelajari masyarakat dalam keseluruhannya, bukan sesuatu segi khusus masyarakat yang berhubungan dengan studi tentang interaksi antara
16
manusia, syarat-syarat dan akibat-akibatnya. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial dibagi sebagai berikut. 1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang dan institusi sastra, masalah yang berkaitan disini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat. 2. Sosiologi karya sastra, mempermasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaaahan atau apa yang tersirat dan memiliki tujuan. 3. Sosiologi sastra mempermasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat. Sehingga banyak orang meniru-niru tokoh dan diterapkan dalam kehidupannya (Wellek & Warren, 1990:111). Sosiologi dapat dipakai sebagai ilmu bantu dalam pendekatan karya sastra. Sosiologi maupun sastra mempunyai bidang yang sama yaitu kehidupan manusia dengan masyarakat. Pendekatan yang umum terhadap hubungan karya dengan masyarakat adalah mempelajari karya sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial. Ada semacam potret sosial yang bisa ditarik dari karya sastra karena sedikit banyak dalam karya sastra tercermin kehidupan manusia dalam masyarakat pada suatu zaman (Wellek & Warren, 1995:122). F. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan alat, prosedur dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan sebuah penelitian. Metode menurut Kridalaksana (201:136) adalah cara mendekati, mengamati, menganalisis, dan menjelaskan suatu fenomena (Subroto. 1992:3132). Metode mencakup kesatuan dari serangkaian proses
17
kerangka piker, perumusan masalah, penentuan populasi, penentuan sample, data, teknik perolehan data, dan analisis data. Metode dapat ditafsirkan sebagai strategi kerja berdasarkan rancangan tertentu karena rencana merukapan kerangka berpikir untuk menentukan metode. Metode penelitian ini dijelaskan mengenai beberapa hal di antaranya: (1) bentuk dan jenis penelitian; (2) data dan sumber data; (3) teknik pengumpulan data; (4) metode dan teknik analisis; (5) alat penelitian; dan (6) metode penyajian hasil analisis data. a. Bentuk dan Jenis Penelitian Bentuk penelitian ini adalah penelitian sastra yang bersifat deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif artinya data yang terkumpul berbentuk kata atau gambar bukan angka-angka. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada faktor-faktor dan atau fenomenafenomena yang secara empiris hidup pada penuturnya (Padmaningsih, 2008:1). Jenis penelitian ini berupa library research (penelitian perpustakaan). Library research merupakan penelitian yang dilakukan di kamar kerja peneliti atau di ruang perpustakaan. Peneliti akan memperoleh informasi tentang objek yang ditelitinya lewat buku-buku atau audio visual lainnya (Atar Semi, 1993:8). Penelitian pustaka ini mempunyai tujuan untuk mengumpulkan data, informasi, sebanyak-banyaknya yang berhubungan langsung dengan objek yang ditelitinya. b. Data dan Sumber Data 1) Data Data pada dasarnya adalah bahan mentah yang dikumpulkan oleh peneliti dari dunia yang dipelajarinya (Sutopo, 2002:73). Data merupakan fenomena
18
lingual khusus yang mengandung dan terkait langsung dengan masalah yang dimaksud. Data dalam penelitian ini adalah teks dialog-dialog yang ada dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama” karya Ki Purbo Asmoro. 2) Sumber Data Sumber data adalah segala sesuatu yang mampu menghasilkan atau memberikan data, atau menunjuk pada tempat. Sumber data yang dipilih berdasarkan informasi yang diperlukan berdasarkan arahan yang terdapat dalam rumusan masalah (Sutopo, 2002 dalam Yusi Nur Cahya Dewi, 2012). Sumber data dibagi menjadi dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. a) Sumber Data Primer Sumber data primer dalam penelitian ini adalah buku yang berjudul Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama” karya Ki Purbo Asmoro yang ditranskripsikan oleh Kathryn Emerson dari pementasan Ki Purbo Asmoro pada tanggal 27 Oktober 2007 di halaman Kantor Kabupaten Pacitan, Jawa Timur dan diterbitkan oleh Yayasan Lontar Jakarta pada tahun 2013. b) Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder dalam penelitian ini diambil dari buku-buku yang relevan dengan topik penelitian misalnya pendapat tentang revolusi mental, artikel atau berita, dan hasil wawancara dengan Ki Purbo Asmoro selaku narasumber yang menciptakan karya Makutharama.
19
c. Teknik Pengumpulan Data a) Pustaka Content Analysis merupakan metodologi penelitian yang memanfaatkan prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen (Moleong, 2001:163). Melalui Pustaka, data dapat diperoleh secara cermat dan dapat dijadikan bahan untuk mengambil kesimpulan yang relevan dengan penelitian dilakukan dengan mengumpulkan dokumen-dokumen tertulis, bukubuku referensi yang mendukung penelitian. b) Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, percakapan itu dilakukakan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (informan) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2007: 186). Teknik wawancara ialah teknik yang dipakai untuk membantu memperoleh informasi melalui kegiatan sastra yang diteliti dengan yang diteliti. Penelitian ini menggunakan wawancara tak terstruktur atau sering disebut teknik wawancara mendalam (in-depth interview). Wawancara yang dilakukan lebih bersifat open ended dan mengarah pada kedalaman informasi guna menggali pandangan subyek yang diteliti tentang banyak hal yang sangat bermanfaat secara lebih mendalam (Sutopo, 2002). Wawancaraakan dilakukan adalah dengan Ki Purbo Asmoro selaku dalang yang mementaskan lakon Makutharama.
20
d. Teknik Analisis Data Teknik analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam sebuah pola, kategori dan satuan uraian dasar (Patton 1990: 268). Teknik analisis data dibagi menjadi tiga komponen di antaranya:
(Sutopo 2002:96) a) Reduksi Data Reduksi data adalah proses penyederhanaan dengan membatasi permasalahan penelitian. Dengan membatasi permasalahan penelitian dan juga membatasi pernyataan-pernyataan pokok yang perlu dijawab dalam penelitian. Tahapan ini dimulai dengan menganalisis terlebih dahulu dialog-dialog dalam objek penelitian kemudian dilakukan wawancara kepada Ki Purbo Asmoro mengenai apa yang akan diteliti untuk menambah informasi yang lebih luas. b) Penyajian Data Penyajian data merupakan sajian dari data-data yang terkumpul. Datadata yang terdiri dari catatan lapangan serta komentar peneliti, dokumen, biografi, artikel, hasil wawancara akan diurutkan dan dikelompokkan
21
(Moleong, 2010: 103). Tahapan ini merupakan kelanjutan dari reduksi data dengan mengurutkan informasi dari informan sesuai dengan nilai-nilai yang di analisis. c) Kesimpulan dan Verifikasi Kesimpulan merupakan mengecek kembali (direverifikas) pada catatan yang telah dibuat oleh peneliti dan selanjutnya membuat kesimpulan sementara. Pemeriksaan kembali
merupakan
hal
yang penting agar
meminimalisir kesalahan-kesalahan yang terjadi (Sutopo 2002:96). Penarikan kesimpulan pada tahapan ini mengacu kepada rumusan masalah yang sudah tertera di atas. G. Sistematika Penulisan Sistematika
penulisan
dalam
sebuah
penelitian
berfungsi
untuk
memberikan gambaran mengenai langkah-langkah suatu penelitian. Sistematika dalam penelitian dengan judul “Tema Revolusi Mental dalam Teks Pakeliran Garap Sedhalu Natas Lakon “Makutharama” karya Ki Purbo Asmoro (Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra” sebagai berikut. BAB I
:PENDAHULUAN Pendahuluan meliputi latar belakang masalah, tujuan, rumusan masalah, batasan masalah. Landasan teori meliputi teori struktural, teori revolusi mental, teori kepemimpinan dan teori sosiologi sastra. Metode penelitian melupiti data dan sumber data, bentuk dan jenis, teknik pengumpulan data, teknik analisis, dan sistematika penulisan.
22
BAB II
:PEMBAHASAN Pembahasan berisi tentang sajian data dan pembahasan dari hasil wawancara dengan informan dan analisis dari dialog-dialog tokoh wayang
yang
berkaitan
dengan
tema
revolusi
mental
kepemimpinan kemudian dicari relevansinya dengan kehidupan masyarakat sekarang ini melalui sumber berita media massa. BAB III
:PENUTUP Penutup berisi kesimpulan dan saran, pada bagian akhir dicantumkan daftar pustaka dan lampiran.