BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Olahraga adalah suatu pembuktian bangsa dalam memajukan nama baik bangsa. Salah satu olahraga yang ada di Indonesia adalah cabang olahraga Beladiri yang berpotensi untuk menyumbangkan prestasinya dalam kancah Internasional dan nasional. Indonesia memulai SEA Games XVII dari cabang Wushu,Achmad Hualefi tercatat sebagai atlet pertama Indonesia yang menyumbangkan medali bagi Indonesia, ia meraih medali perak dari cabang Wushu. Sehari kemudian kembali Achmad Hualefi tercatat sebagai peraih medali emas pertama bagi kontingen Indonesia. Keberhasilan wushu meraig medali sesuai target menjadi sebuah harapan besar bagi kontingen Indonesia untuk meraih yangterbaik. Namun menjelang seminggu sebelum penutupan pundi-pundi medaliIndonesia mulai berjalan lambat. Dari 36 cabang olahraga yang terdiri dari cabang akurasi, bela diri, permainan dan terukur yang diikuti Indonesia, hanya tujuh cabang yang memenuhi target emas yang diberikan Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas. Sangat disayangkan dari cabang Olahraga beladiri kurang bisa memberikan kontribusi yang signifikan. Hal ini yang
1
2
menyebabkan peneliti untuk mengadakan penelitian mengapa tim beladiri belum bisa meraih target. Saat bertanding Atlet berperilaku sering marah saat akan bertanding, kurang dapat mengontrol dengan baik emosinya, selalu terburu-buru dalam bertindak dan tidak adanya kestabilan emosi dalam bertanding sehingga mengakibatkan kalah dalam bertanding. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bentukbentuk emosi yang muncul pada seorang atlet bela diri yang mengikuti pertandingan. Emosi yang muncul sebelum memasuki arena pertandingan, sampai dengan emosi pada saat menghadapi lawan. Pada saat menghadapi lawannya di arena pertandingan, seorang atlet profesional akan berusaha menunjukkan performa terbaiknya, mengerahkan segala kemampuan, dan mengeluarkan teknik-teknik yang telah dipelajarinya selama latihan. Performa atlet tersebut juga akan sangat dipengaruhi oleh kondisi lawan yang dihadapinya, termasuk emosi yang akan muncul selama pertandingan berlangsung. Emosi negatif seperti marah dapat muncul pada seorang atlet ketika lawannya menjadikan wajah atlet tersebut sebagai sasaran dari serangannya. Kecenderungan yang terjadi, seorang atlet akan menjadi lebih sensitif dan mudah terpancing emosinya untuk membalas ketika wajahnya sudah dipukul oleh lawannya. Emosi negatif juga dapat muncul apabila seorang atlet sudah tertinggal nilainya sejak awal pertandingan, apalagi jika atlet tersebut merasa bahwa serangan-serangan yang
3
dilakukannya dianggap tidak masuk oleh wasit, sehingga tidak memberikan tambahan pada nilainya. Emosi negatif yang muncul pada seorang atlet ketika bertanding dapat mempengaruhi gerakan dan serangannya. Emosi dianggap mempengaruhi faktor kontrol diri pada diri atlet. Gerakan atau serangan atlet tersebut dapat menjadi tidak akurat dan tidak sesuai dengan teknik yang sebenarnya ingin dikeluarkan atau digunakannya. Kejadian lainya yaitu saat pertandingan gulat dalam PON XIX Jabar 2016 diwarnai kericuhan, Senin (26/9/2016). Pertandingan di GOR Saparua, Kota Bandung ini, diawali protes oleh pemain gulat Kalimantan Timur, Ardiansyah, yang merasa harus mendapat 2 poin namun hanya diberi 1 poin oleh juri. Merasa protes pemainnya tak dihiraukan, giliran pelatih Kaltim yang protes. Pelatih dari Kaltim masuk, lalu memukul wasit dari Iran karena tidak terima dengan keputusannya yang memenangkan atlet asal Jawa Barat di kelas 65 kilogram. (http://www.arah.com) Tidak hanya di dalam arena pertandingan saja seorang atlet atau praktisi beladiri dapat menunjukan emosi negatifnya. Pada kasus di Solo pada tanggal 17 November 2014 terjadi bentrokan antara pesilat dengan sebuah oragnisasi pemuda di Solo, Gerombolan beratribut seragam beladiri serba berwarna hitam menyerang Kantor Organisasi Barisan Muda Indonesia (BMI) Solo, di Jalan Popda Nusukan Banjarsari, Solo, Senin 17 November 2014. Akibat penyerangan itu yang dilakukan pukul 12.00 WIB itu, kantor mengalami kerusakan parah di bagian depan. Keterangan yang didapatkan dari Kapolsek Banjarsari Komisaris Polisi (Kompol) I Ketut Rahman, aksi pengerusakan kantor dilakukan oleh massa dari sebuah
4
perkumpulan beladiri. "Sebelum pengerusakan, massa sempat mondar-mandir di sekitar lokasi, pada pukul 12.30 WIB. Kemudian langsung melempari kantor BMI dengan menggunakan batu, dan benda-benda yang berada di sekitar gedung," katanya, kepada wartawan. (berita: infoheboh.com) Goleman (2002) menyatakan bahwa bila emosi telah mengalahkan konsentrasi atau kemampuan berpikir seseorang, semua informasi atau pengalaman yang telah dimilikinya akan menjadi lumpuh atau tidak berfungsi dengan baik. Dalam hal ini, informasi atau pengalaman yang dimiliki oleh seorang atlet didapat dari latihan yang telah dilakukannya sebagai persiapan selama jangka waktu tertentu sebelum mengikuti pertandingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosional memiliki hubungan positif yang signifikan dengan kesehatan mental, di lain kata-kata, dengan peningkatan kecerdasan emosional siswa atlet, jumlah kesehatan mental mereka akan meningkat. Temuan ini konsisten dengan temuan Slaski & Cartwright (2002) dan Jain & Sinha (2005). Hasil regresi analisis untuk memeriksa komponen kecerdasan emosional dalam menjelaskan kesehatan mental menunjukkan bahwa faktor-faktor pengendalian diri, empati dan keterampilan sosial memiliki pengaruh yang signifikan dalam memprediksi kesehatan mental. Pengendalian diri sebagai penting komponen saja dapat menjelaskan 76 persen dari variasi dalam kesehatan mental. atlet efisien dalam komponen ini dapat menghindari dari emosi negatif seperti rasa frustrasi, kecemasan dan mudah tersinggung. atlet ini selama acara olahraga kurang menghadapi situasi sulit atau bermasalah atau dalam hal terjadi masalah yang mereka
5
dapat dengan cepat kembali ke optimal kondisi. Temuan penelitian ini konsisten dengan hasil temuan dari Carson et al (2000). Empati sebagai Kemampuan seseorang adalah salah satu variabel penting dalam memprediksi kesehatan mental atlet untuk mengenali emosi dalam lain. Selain kemampuan untuk berinteraksi secara efektif dengan atlet lainnya dalam membuat hubungan dan efektif interaksi dengan orang lain memiliki hasil yang lain yang mencakup akses yang lebih mudah dan lebih baik untuk sumber-sumber dukungan sosial yang ini memiliki peran penting dalam melindungi orang-orang terhadap masalah seperti stres. Analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa keterampilan sosial memiliki korelasi tidak berarti dengan kesehatan mental. Salah satu manfaat utama dari olahraga adalah pengembangan keterampilan sosial. Individu yang berpartisipasi dalam kegiatan olahraga yang akrab dengan orang lain. Menghormati lainnya atlet, menghormati pelatih, menghormati peran, membantu orang lain, berpartisipasi dalam pengambilan keputusanbahwa ini dapat menyebabkan kesehatan mental atlet. Oleh karena itu disarankan pelatih dengan penggunaan yang tepat dari Emotional Intelijen bantuan untuk mengembangkan kesehatan mental atlet. (Niazi, Mohammad, Nasser Bai, dkk. 2014. The Relationship between Emotional Intelligence and Mental Health in Collegiate Champions) Perlu dicatat bahwa penelitian kecemasan dihasilkan dua komponen (kognitif dan somatik) dari negara-terkait kinerja. Di sisi lain tangan, model IZOF mengusulkan beberapa komponen yang lebih komprehensif, sehingga memungkinkan peneliti untuk memperhitungkan lebih luas emosi dan negara. Keterbatasan dari dua
6
dimensikonseptualisasional juga tercermin dalam kesulitan untuk menerapkan pengertian kognitif dan somatik emosi selain kecemasan. Meskipun kecemasan kognitif dan kecemasan somatik yang konvensional dan historis juga 'mapan' istilah, dapat dikatakan bahwa ini hanya dua komponen dari negara psychobiosocial. .(Robazza, Claudio, Melinda Pellizzari, dkk. 2004. Emotion self – regulation and
Athletic Performance : An Application of the IZOF model.) Selain itu, tidak ada hubungan antara atlet, keterampilan dan jenis olahraga dalam kontrol dan stabilitas subskala. Jadi pelatih dan psikolog olahraga harus menyajikan strategi yang tepat untuk meningkatkan atlet, kontrol dan stabilitas terlepas dari atlet, tingkat elit dan jenis olahraga. Strategi yang tepat untuk meningkatkan faktor ini dapat memeriksa dalam penelitian masa depan. (Biglari, Sanat karan, dkk. 2015. The Comparison of Team and Indiidual Male Athletes’ Mental Toughness at Different levels of Skills). Pengendalian diri sebagai komponen penting sendiri dapat menjelaskan 57 persen dari variasi dalam kebahagiaan. atlet efisien dalam komponen ini dapat menghindari dari emosi negatif seperti rasa frustrasi, kecemasan dan mudah tersinggung. Atlet ini selama acara olahraga kurang berwajah dengan kesulitan atau situasi bermasalah atau dalam kasus terjadi masalah yang mereka dapat dengan cepat kembali ke optimal kondisi. Temuan ini konsisten dengan penelitian dari Carson et al (2000). Empati sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali emosi orang lain merupakan salah satu variabel penting dalam memprediksi kebahagiaan atlet. Kemampuan ini memiliki Hasil lain selain efektif berinteraksi dan dalam hubungan
7
dengan lainnya oleh atlet. (Bai, Nasser, Sayed Mohammad Niazi. 2014.
The
relationship between emotional intelligence and happiness in collegiate champions) Kecerdasan emosi secara tunggal kinerja orang faktor prediktor terbesar dan kekuatan yang palingkekuatan untuk kepemimpinan dan keberhasilan telah diperkenalkan. Athletic kecerdasan emosional tidak hanya di Iran, tapi juga di negara lain serta metode baru dalam mengelola emosi atlet dan mereka. Kinerja modifikasi dipertimbangkan. Emosi berdampak pada kinerja atletik oleh kebanyakan peneliti,pelatih, manajer Athletic dan atlet baik sebelum pertandingan dan atau selama pertandingan dan setelah pertandingan telah disetujui dan paling atlet Hubungkan kinerja yang sukses atau kinerja memimpin mereka ke kegagalan faktor emosional. Latihan psikolog melalui keterampilan mental pelatihan untuk atlet membantu untuk mengontrol emosi mereka. Karena sebagian besar keterampilan mental memiliki dasar emosional dan atlet keadaan mental penting. Faktor dan mempengaruhi pada hasil pertandingan. Terutama Atlet persiapan mental yang diatur keterampilan dan model teoritis yang. Kinerja juara perbedaan lebih dari waktu lainnya terkait dengan persiapan ini dan membedakan atlet. (Arzeshmand, Mansoureh. 2015. A comparative examination of emotional Intelligence among the Athletes’ Girl, Boy and non- Athletes of Jahrom University) Atlet (sering pula dieja sebagai atlit; dari bahasa Yunani: athlos yang berarti "kontes") adalah olahragawan yang berpartisipasi dalam suatu kompetisi olahraga kompetitif. Dalam beberapa cabang olaharaga tertentu, atlet harus mempunyai kemampuan fisik yang lebih tinggi dari rata-rata. Seringkali kata ini digunakan untuk
8
merujuk secara spesifik kepada peserta atletik. Atlet beladiri adalah seorang olah ragawan yang berpartisipasi dan berfokus pada cabang olah raga yaitu bela diri. Bela Diri adalah sebuah frase yang sering kita dengar. Begitu mendengarnya, asumsi kita melayang pada Karate, Pencak Silat, Tae Kwon Do, dan lain-lain. Anggapan ini tidak salah sepenuhnya dan tidak benar pula sepenuhnya.
Ada dua pengertian bela diri, yakni secara sempit dan secara luas. Bela diri dalam arti sempit adalah seni bertarung yang secara mendasar dibentuk oleh Dharma Taishi (Tatmo Cawsu), Pendeta Budha Generasi ke-28. Pada tahun 550 Masehi, ia bepergian ke Cina dari India untuk mengajarkan agama Budha. Di samping itu, ia juga mengajarkan Indo Kempo (Seni Bertarung Ala India). Hal ini memang penting diajarkan karena pendeta Budha saat itu sering bepergian dari Cina ke India atau sebaliknya untuk belajar agama Budha. Jalur Sutra saat itu tidak pernah sepi dari perampok.
Kemudian seni ini dikembangkan di Kuil Shaolin, yang kemudian disebut "Kung Fu Shaolin". Seiring perjalanan waktu, seni ini merambah ke berbagai negara di dunia ini. Di Jepang, adopsi seni ini melahirkan Ju Jitsu, Aikido, Hapkido, Judo, dan Karate. Di Thailand, Thai Boxing. Di Indonesia, Pencak Silat. Di Korea, Tae Kwon Do. Bahkan di zaman moderen sekarang ini, seni ini masih melahirkan bela diri baru seperti Mixed Martial Art dan Shinto Ryu. Bagaimana dengan Bela Diri Dalam Arti Luas?
9
Pengertiannya di sini lebih luas daripada dalam arti sempit. Mencakup metode apapun yang digunakan manusia untuk membela dirinya. Tidak masalah bersenjata atau tidak. Gulat, Tinju, permainan pedang, menembak, dan seni bela diri yang terurai di atas termasuk bagian di dalam pengertian ini. Walaupun banyak ahli bela diri Timur yang berpendapat bahwa Gulat dan Tinju tidak termasuk di dalam seni bela diri, namun dua ini sekarang dikategorikan sebagai seni bela diri. Secara sistematis, keduanya memenuhi syarat untuk disebut sebagai Seni Bela Diri.
Bela diri adalah sebuah usaha kita untuk melindungi diri kita sendiri dari serangan manusia atupun yang lainya. Dengan belajar bela diri kita tidak mungkin lagi di lecehkan ataupun selalu direndahkan oleh orang lain sebab dengan bela diri juga mampu membuat sikap dan perilaku pun akan berubah ,tergantung akan berubah kepada positif ataupun negatif tergantung dari bagaimana kita belajar ataupun perguruan beladiri yang kita ikuti .
Sebaiknya bela diri juga harus digunakan pada hal hal yang baik seperti menolong orang yang teraniaya, menolong orang yang kesusahan ,menolong keluarga ,yang paling penting kita selalu membela kebenaran.
Pada kenyataanya atlet bela diri sering tidak mampu mengontrol perbuatannya, bila kontrol diri lemah atlet bela diri akan cenderung dikuasai oleh emosinya dan tidak berpikir panjang. Kalau sudah begini kenyataanya, maka atlet
10
bela diri tersebut pun akan lebih cenderung untuk bersikap tidak peduli lagi dan arogan.
Kontrol diri atau kendali diri adalah sikap mengendalikan pikiran dan tindakan agar tindakan kita sesuai dengan norma-norma yang benar. Kontrol diri merupakan hal yang penting terutama bagi atlet bela diri.
Jika atlet bela diri
memiliki kontrol diri, ia tahu dirinya punya pilihan dan dapat mengontrol tindakannya. Kontrol diri atau disebut juga kendali diri dapat pula diartikan sebagai suatu aktivitas pengendalian tingkah laku. Pengendalian tingkah laku mengandung makna, yaitu melakukan pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu untuk bertindak. Dengan menggunakan berbagai pertimbangan sebelum bertindak, individu tersebut mencoba untuk mengarahkan diri mereka sesuai dengan yang mereka kehendaki. Dengan kata lain, semakin tinggi kendali diri yang dimiliki seseorang semakin intens pengendalian terhadap tingkah laku.
Dengan adanya kontrol diri pada setiap atlet bela diri, setidaknya mereka dapat menjadi lebih terkontrol dalam perilakunya. Sebab, atlet bela diri dengan kontrol diri yang dimilikinya tersebut dengan sendirinya pula akan mampu mengendalikan segala tindakan dan dapat mempertimbangkan manfaat dan tujuanya, bukan hanya untuk mengutamakan emosinya saja sebagaimana banyak terjadi di kalangan atlet bela diri. Sifat kontrol adalah factor kemampuan individu dalam mengontrol kondisi tertentu (jones et al.,2002)
11
Atlet yang memiliki kestabilan emosi dapat mengenali kondisi dan mengenali emosi yang muncul pada dirinya. Apabila emosi yang muncul dirasa dapat merugikan dirinya dan diri orang lain, atlet tersebut dapat mengatur emosinya sehingga tidak sampai keluar menjadi suatu gerakan atau serangan yang merugikan lawannya. Menurut Salovey, salah satu bentuk kecerdasan emosional adalah dapat mengenali emosi pada diri sendiri, yang mencakup adanya kesadaran diri, dan mengetahui perasaan apa yang dirasakan sewaktu perasaan itu terjadi (Goleman, 2002).
Kestabilan emosi terdiri dari dua kata yaitu kestabilan dan emosi. Kestabilan berarti perihal yang bersifat stabil. Sedangkan emosi menurut Crow yang dikutip oleh Usman Effendi dan Juhaya S. Praja adalah “suatu keadaan yang bergejolak pada individu yang berfungsi atau berperan sebagai penyesuaian dari dalam terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu”. Jadi kestabilan emosi adalah keadaan emosi seseorang yang stabil dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan dirinya. Menurut Najati (2000) bahwa
kestabilan emosi adalah tidak berlebih-lebihan dalam
pengungkapan emosi, karena emosi yang diungkapkan secara berlebih-lebihan bisa membahayakan kesehatan fisik dan psikis manusia.
Atlet yang tidak memiliki kestabilan emosi pada saat bertanding akan mudah terpengaruh secara fisik dan mental. Secara mental, atlet yang tidak memiliki kestabilan emosi akan sangat mudah terpancing emosinya oleh gerakan-gerakan atau
12
serangan yang dilakukan oleh lawannya. Ketika emosinya sudah mulai terpancing, atlet tersebut akan terpengaruh aspek fisiologisnya. Misalnya, atlet tersebut akan merasakan ketegangan otot, yang dapat menyebabkan gerakannya menjadi kaku. Hal ini akhirnya akan mempengaruhi kondisi atlet secara fisik. Gerakan atlet yang tidak memiliki kestabilan emosi akan menjadi kacau, serangan yang dikeluarkannya sudah tidak berdasarkan teknik yang telah dipelajari, dan ritme permainan menjadi berubah dan tidak beraturan
Fenomena tersebut terjadi pada beberapa atlet bela diri yang sia - sia karena mereka memiliki kemampuan yang mumpuni namun, kurang menjaga emosi akhirya mengalami kegagalan.
Kecerdasan emosional EQ (Emotional Quotient) adalah
kemampuan seseorang untuk menerima, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain disekitarnya.
Kestabilan emosi yang terbentuk karena adanya pengaruh dari luar diri atlet dapat dipengaruhi oleh faktor pengalaman, pelatih, kesiapan dalam menghadapi pertandingan, pendukung, penonton, dan kepercayaan diri. Kepercayaan diri dalam suatu pertandingan olah raga dapat dipastikan menjadi salah satu faktor penentu suksesnya seorang atlet. Atlet yang rasa percaya dirinya hilang atau berkurang akan mengakibatkan
penampilannya
tidak
maksimal
karena
tampil
di
bawah
kemampuannya. Seorang pelatih juga sangat berpengaruh dalam menumbuhkan rasa kepercayaan diri dalam diri atlet. Hal tersebut dapat dilakukan dengan dibangunnya
13
komunikasi dua arah yang baik antara atlet dengan pelatih agar terjalin pengertian antar keduanya, sehingga program latihan dan peraturan dapat dijalankan sesuai dengan yang telah ditetapkan (PB-PBSI, 2006).
Kestabilan emosi yang terbentuk karena faktor dari luar diri atlet sifatnya dapat dilatih dan dapat berkembang, seiring dengan pengaruh dari keenam faktor di atas. Berkembangnya kestabilan emosi pada diri atlet tidak secara pasti dapat dirasakan
tahap-tahap
perubahannya,
terbentuk
seiring
dengan
banyaknya
pengalaman bertanding yang dialami seorang atlet, dan akan dapat dirasakan manfaatnya secara tidak langsung pada saat atlet tersebut bertanding. Pengalaman sebagai salah satu komponen yang didapat karena interaksi individu dengan lingkungan, menurut Lewis akan memberikan pengaruh pada perkembangan emosi seseorang yang akan mempengaruhi kematangan emosinya. Lewis mengatakan bahwa pembentukan kematangan emosi terbentuk karena adanya interaksi antara bawaan (secara natural) dengan lingkungan (Strongman, 2003). Emosi dan bagaimana cara mengatasi itu adalah bagian dari kepribadian manusia dan mempengaruhi pada kesehatan mentalnya (Pervin, 1996)
Atlet yang telah memiliki kestabilan emosi akan selalu berusaha untuk mengawali pertandingannya dengan perasaan yang lebih tenang dan rileks. Atlet tersebut tahu bagaimana caranya agar dirinya dapat lebih santai dan merasa rileks ketika bertanding. Salah satu contoh perilaku yang membantu menenangkan diri atlet
14
sebelum bertanding adalah dengan berteriak. Selain membantu menenangkan diri, berteriak juga dapat membantu meningkatkan rasa percaya diri dan semangat dalam diri atlet tersebut. Berteriak merupakan salah satu cara yang dianjurkan oleh seorang pelatih olah raga bela diri, karena sedikit banyak dapat mengendurkan ketegangan yang dialami oleh atlet yang sedang bertanding
Atlet yang memiliki kestabilan emosi dapat mengenali kondisi dan mengenali emosi yang muncul pada dirinya. Apabila emosi yang muncul dirasa dapat merugikan dirinya dan diri orang lain, atlet tersebut dapat mengatur emosinya sehingga tidak sampai keluar menjadi suatu gerakan atau serangan yang merugikan lawannya. Menurut Salovey, salah satu bentuk kecerdasan emosional adalah dapat mengenali emosi pada diri sendiri, yang mencakup adanya kesadaran diri, dan mengetahui perasaan apa yang dirasakan sewaktu perasaan itu terjadi (Goleman, 2002).
Kondisi lain yang terdapat pada atlet yang memiliki kestabilan emosi adalah adanya usaha untuk selalu bermain safe atau aman. Atlet tersebut dapat menyiasati perasaannya sendiri pada saat bertanding dan dapat mengontrol emosi selama pertandingan berlangsung sehingga dapat memenangkan pertandingan tanpa merugikan diri sendiri atau orang lain.
Atlet yang tidak memiliki kestabilan emosi pada saat bertanding akan mudah terpengaruh secara fisik dan mental. Secara mental, atlet yang tidak memiliki kestabilan emosi akan sangat mudah terpancing emosinya oleh gerakan-gerakan atau
15
serangan yang dilakukan oleh lawannya. Ketika emosinya sudah mulai terpancing, atlet tersebut akan terpengaruh aspek fisiologisnya. Misalnya, atlet tersebut akan merasakan ketegangan otot, yang dapat menyebabkan gerakannya menjadi kaku. Hal ini akhirnya akan mempengaruhi kondisi atlet secara fisik. Gerakan atlet yang tidak memiliki kestabilan emosi akan menjadi kacau, serangan yang dikeluarkannya sudah tidak berdasarkan teknik yang telah dipelajari, dan ritme permainan menjadi berubah dan tidak beraturan.
Selain hal-hal yang telah disebutkan, akibat yang akan sangat merugikan tanpa adanya kestabilan emosi adalah apabila gerakan-gerakan yang dilakukan atlet tanpa adanya kontrol dapat menciderai dirinya sendiri dan lawannya. Apabila seorang atlet cidera, atau menciderai lawannya sampai salah satu pihak tidak dapat melanjutkan pertandingan lagi, maka atlet yang menciderai itu akan dikenakan sanksi berupa diskualifikasi dan tidak dapat melanjutkan pertandingan. Tentu saja hal tersebut akan sangat merugikan atlet yang bersangkutan.
Namun demikian adakalanya seorang atlet bela diri yang memiliki kestabilan emosi, kurang mampu dalam mengontrol dirinya dengan baik. Sebagai contoh, seorang atlet bela diri memiliki ketenangan dan kesabaran yang tinggi membuat atlet tersebut tidak sembarangan dalam meluapkan emosinya, dan dapat tenang dalam menghadapi berbagai lawannya, namun tekanan untuk menang dari pelatihnya dan
16
kondisi terdesak saat pertandingan membuatnya kehilangan kontrol pada dirinya. Hal tersebut merupakan salah satu pertanda dari kontrol diri yang kurang baik.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka penulis ingin mengadakan penelitian mengenai “Hubungan Antara Kestabilan Emosi Dengan Kontrol Diri Pada Atlet Bela Diri Kota Surakarta”
B. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu untuk: 1. Mengetahui hubungan antara kestabilan emosi dengan kontrol diri pada atlet beladiri. 2. Mengetahui tingkat Kestabilan Emosi. 3. Mengetahui tingkat Kontrol Diri. 4. Mengetahui sumbangan efektif Kestabilan Emosi terhadap Kontrol Diri. C. Manfaat penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam ilmu psikologi khususnya teori Psikologi olah raga dalam hubungannya dengan bela diri.
17
2.
Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi atlet beladiri
bahwa kestabilan emosi sangat berpengaruh dalam kontrol dirinya. Selanjutnya kemampuan melakukan kontrol diri ini akan mempengaruhi keberhasilan seorang atlet bela diri.